• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Menikahi Wanita Dibawah Umur Menur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Menikahi Wanita Dibawah Umur Menur"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis atau melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. (Dep Dikbud, 1994:456). Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:398), “kawin” diartikan dengan (1) menikah; (2) bersetubuh; (3) berkelamin (untuk hewan). Sedangkan “perkawinan” adalah pernikahan; hal (urusan dan sebagainya) kawin.

1. Pengertian Perkawinan Menurut Fiqih Islam

Dalam Al-Quran dan As-Sunnah, perkawinan disebut dengan annikh

(



)

yang berasal dari bahasa arab 

-



-



-



dan az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah

(



-



-



)

. (Ahmad Warson

Munawwir, 1984:1671-1672). Sedangkan menurut Al-Syarif Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy (1988:246), perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata

(



)

yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh.

Menurut sebagian ulama Hanafiyah, nikah adalah akad yang memberikan kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan seksual semata. Oleh mazhab Syafi’iyah, nikah dirumuskan dengan akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan lafal inkah. Sedangkan

(2)

ulama Hanabilah mendefinisikan nikah dengan akad yang dilakukan dengan menggunakan kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan. (Al-Juzairi, 1984:2-3)

2. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Positif

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah : “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai berikut :

1. Ikatan lahir bathin.

2. Antara seorang pria dengan seorang wanita. 3. Sebagai suami isteri.

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri. (http://repository.usu.ac.id)

(3)

adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (KHI:pasal2) B. Tujuan Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan perkawinan adalah “Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban kedua orang tua.

Bahagia adanya kerukunan dalam hubungan antara suami isteri dan anak-anak dalam rumah tangga. Kebahagiaan yang dicapai bukanlah yang sifatnya sementara, tetapi kebahagiaan yang kekal karenanya perkawinan yang diharapkan adalah perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir dengan kematian salah satu pasangan dan tidak boleh diputuskan atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang penting.

(4)

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa selain dari perkawinannya harus dilangsungkan menurut ajaran agama masing-masing sebagai pengejewantahan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Abd Rahman Ghazaly (2006:24-30), tujuan perkawinan antara lain :

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. Hal ini terlihat dari isyarat QS. An-Nisa [4] : 1 yang berbunyi:

































         

    

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa [4] : 1)

2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung

jawab.

3. Memelihara diri dari kerusakan. Orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik.

(5)

5. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang. Hal ini diungkapkan dalam QS.Ar-Rum [30] : 21 yang berbunyi :

































    

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.Ar-Rum [30] : 21)

Menurut Amir Syarifuddin (2007:41-42), sifat perkawinan sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut :

1. Allah menciptakan makhluk ini dalam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana dalam QS. Adz-Dzariyat [51] : 49yang berbunyi:

       

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat kebesaran Allah”. (QS. Adz-Dzariyat [51] : 49)

2. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam QS. An-Najm [53] : 45 yang berbunyi :

     

“Dan bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria

dan wanita”. (QS. An-Najm [53] : 45)

3. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini terdapat dalam QS. An-Nisa [4] : 1 yang berbunyi :

(6)

         

    

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa [4] : 1)

4. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat atau tanda-tanda dari kebesaran Allah. Hal ini diungkapkan dalam QS.Ar-Rum [30] : 21 yang untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.Ar-Rum [30] : 21)

Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam hadits yang berasal dari Anas bin Malik, sabda Nabi yang bunyinya :





























“Tetapi aku sendiri melakukan shalat, tidur, aku berpuasa dan juga aku berbuka, aku mengawini perempuan. Siapa yang tidak senang dengan sunnahku, maka ia bukanlah dari kelompokku”

Oleh sebab itu, perkawinan sangatlah urgen dalam kehidupan umat manusia. (http://elmawardie.blogspot.com)

C. Rukun, Syarat Sah dan Batalnya Perkawinan

“Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya

suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan

(7)

a. Rukun Perkawinan Menurut Fiqih Islam

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas : (Slamet Abidin dan H. Aminuddin, 1999:64-68)

1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan 2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita

3. Adanya dua orang saksi 4. Sighat akad nikah

b. Rukun Perkawinan Menurut Hukum Positif

UU Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU Perkawinan hanya membicarakan syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. HKI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti madzhab fiqh Syafi’iy dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun. (Amir Syarifuddin, 2007:61)

“Syarat yaitu sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum

syar’i, dan dia berada di luar hukum itu sendiri.” (Ensiklopedi Hukum Islam, 1997:1691)

c. Syarat Sah Perkawinan Menurut Fiqih Islam

Menurut Fiqih dalam Islam, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah :

(8)

Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. Al-Baqarah [2] :221)

Ayat ini menjelaskan tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an, yaitu :















“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”

(QS. Al-Maidah [5] :5)

(9)

          

ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4] : 22-24) (Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, Farida Prihatini:60)

2. Syarat Khusus

(10)

1). Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut : (Amir Syarifuddin, 2007:64-66)

a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik yang menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan dirinya.

b. Keduannya sama-sama beragama Islam (tentang kawin lain agama dijelaskan tersendiri).

c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.

d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin atau setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.

e. Keduannya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.

f. Tidak sedang mempunyai istri empat (bagi laki-laki), tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam masa ‘iddah (bagi manita), serta tidak ada paksaan dan tidak dalam keadaan haji atau umrah. (Abd Rahman Ghazaly, 2006:50-55)

2). Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi. Hal tersebut mencangkup : a. Akad Nikah

(11)

lain sebagai wali. Sedangkan Qabul yaitu pernyataan yang keluar dari pihak suami. (M. Amin Suma, 2004:97)

Ijab dan qabul mempunyai syarat-syarat menurut Drs. H. Baharuddin Ahmad, MHI (2008:56), yaitu :

a). Adanya pernyataan mengawinkan dari wali..

b). Adanya pernyataan penerimaan dari calon pengantin laki-laki. c). Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.

d). Antara Ijab dan qabul bersambungan. e). Antara Ijab dan qabul jelas maksudnya.

f). Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umroh.

g) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.

b. Wali

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:     yang artinya “Tidak ada nikah kecuali dengan

wali” (Abd Rahman Ghazaly, 2006:59). Syarat-syarat wali adalah : a). Islam.

b). Akil baliqh.

(12)

d). Laki-laki. e). Adil.

f). Tidak sedang ihram atau umrah. (http://repository.usu.ac.id) c. Saksi

Syarat-syarat kedua orang saksi tersebut adalah : a). Berakal

b). Baligh c). Merdeka d). Islam

e). Kedua saksi itu mendengar. (Slamet Abidin dan H. Aminuddin, 1999:64)

d. Mahar

Mahar adalah pemberian khusus laki-laki kepada perempuan yang melangsungkan pernikahan pada waktu akad nikah dan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala :

















      

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa [4] : 4)

d. Syarat Sah Perkawinan Menurut Hukum Positif

(13)

1. Syarat-syarat Materil, yaitu mencangkup : 1). Beragama Islam

Syarat tersebut diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974, yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. (Baharuddin Ahmad, 2008:57)

2). Persetujuan Calon Mempelai

Syarat tersebut diatur dalam pasal 6 ayat (1) UU No.1/1974, yang berbunyi : “Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. (Baharuddin Ahmad, 2008:65)

3).Izin dari Orang Tua/Wali bagi Calon Mempelai yang belum berumur 21 Tahun Syarat perkawinan ini diatur dalam pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (6) UU No.1/1974.

Izin diberikan oleh orang tua. Kalau orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali. Dalam hal tidak ada orang tua atau wali atau ada perbedaan di antara mereka, maka pengadilan dapat memberikan izin setelah mendengar orang-orang tersebut. (Baharuddin Ahmad, 2008:68)

4). Umur Calon Mempelai

(14)

piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah

mencapai usia 16 (enam belas) tahun”. (Baharuddin Ahmad, 2008:69) 5). Tidak Ada Larangan Perkawinan Antara Dua Calon Mempelai

Ketentuan ini diatur kembali di dalam UU No.1/1974 pasal 8 dan pasal 9 (Baharuddin Ahmad, 2008:71), yaitu larangan perkawinan antara dua orang, antara lain :

a. Larangan perkawinan berdasarkan kekeluargaan (Pasal 8 UU No.1 Tahun 1974) disebabkan berhubungan darah yaitu larangan perkawinan karena hubungan kesaudaraan yang terus menerus berlaku dan tidak dapat disingkirkan berlakunya :

(a). Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas yang terdiri dari ibu sendiri, anak perempuan, ibu dari ayah, cicit. (Pasal 8 sub a)

(b). Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping terdiri dari saudara perempuan ayah, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan (kemanakan). (Pasal 8 sub (c). Hubungan semenda terdiri dari saudara perempuan bibi (makcik), ibu dari isteri (mertua), anak tiri. (Pasal 8 sub c)

(d). Hubungan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan dan bibi atau paman susuan. (Pasal 8 sub d)

(15)

(f). Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. (Pasal 8 sub f)

b. Larangan oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih terikat dengan tali perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).

Larangannya bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak kepada pihak perempuan saja yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang sedang terikat dengan perkawinan atau seorang laki-laki yang beristeri tidak mutlak dilarang untuk melakukan perkawinan dengan isteri kedua.

c. Larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali (Pasal 10 UU No.1 Tahun 1974).

Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan. Pasal 10 bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri saling menghargai satu sama lain.

d. Larangan kawin bagi seorang wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU No.1 Tahun 1974).

(16)

tunggu selama 300 hari, kecuali jika tidak hamil maka masa tunggu menjadi 100 hari. Masa tunggu terjadi karena perkawinan perempuan telah putus karena :

(a). Suaminya meninggal dunia.

(b). Perkawinan putus karena perceraian. (c). Isteri kehilangan suaminya.

2. Syarat-syarat Formil/Administratif

Syarat-syarat formil atau administratif

1). Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.

2). Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.

3). Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

Ketentuan ini diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 yang berbunyi :

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya itu”. (http://repository.usu.ac.id)

4). Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Ketentuan yang berhubungan dengan syarat formil atau administratif ini diatur di dalam pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 yang berbunyi : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

(Baharuddin Ahmad, 2008:80)

(17)

Yang menjadi syarat batalnya perkawinan atau sebab putusnya

perkawinan ialah:

1. Talaq, yaitu memutuskan atau menghilangkan ikatan perkawinan.

2. Khulu, ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya

talaq satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak

isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai

dengan khulu itu.

3. Syiqaq, ialah perselisihan antara suami dan isteri yang diselesaikan dua orang

hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.

4. Fasakh, ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu

diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim

Pengadilan Agama.

5. Ta’lik talaq. Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik

talaq ialah suatu talaq yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi

yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih

dahulu.

6. Ila’, ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan

7. Zhihar, ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu

(18)

dengan punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri

isterinya lagi.

8. Li’aan, arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat

pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan

sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri

untuk selama-lamanya.

f. Syarat Batal Perkawinan Menurut Hukum Positif

Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selamalamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan perkawinan syarat batal atau perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu : 1. Kematian

Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan.

(19)

membawa perubahan budaya dan mengatur hukum waris dengan jelas dalam Al-Qur’an dan hadist-hadist Rasul.

2. Perceraian

Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga seringkali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian. Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera kepala.

Pasal 221 KUH Perdata yang menetukan setiap salinan putusan perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.

Kemudian dalam ajaran agama islam perceraian hanya diperbolehkan apabila dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum islam atau sebagai jalan keluar dari perselisihan keluarga yang sudah tidak mungkin lagi ada penyelesaiannya .

(20)

Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan adalah putusnya perkawinan karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam Undang-Undang perkawinan maupun menurut hukum agama.

Putusnya Perkawinan dapat terjadi karena adanya putusan Pengadilan bagi apabila dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama Islam, perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum perceraian itu.

Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun karena ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini. D. Batasan Umur dalam Perkawinan

(21)

Menurut UU No. 10 Tahun 2008 juncto UU No. 42 Tahun 2008 Pasal 19 :

"

(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin mempunyai

hak memilih.." Dan Pasal (1) angka 21 : “Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah

kawin”. (http://bedahukum.blogspot.com)

2. Dewasa Menurut Undang-Undang Kependudukan

Menurut UU No. 23 Tahun 2006 Pasal (63) :"(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur

17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP."

(http://bedahukum.blogspot.com) 3. Dewasa Menurut KUH Perdata

Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).

(22)

orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap diperlukan.

Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu.

Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Perkawinan membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi dewasa dan kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata).“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh satu tahun, dan tidak

terlebih dahulu telah kawin”

(23)

atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan kehendak orang tua. (http://72legalogic.wordpress.com)

4. Dewasa Menurut KUP Pidana

Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut umur dewasa apabilatelah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yangbelum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia

tidak kembali menjadi "belum cukup umur".

(http://sarmanpsagala.wordpress.com)

5. Dewasa Menurut Hukum Adat

(24)

6. Dewasa Menurut Fiqih Islam Rasulullah SAW, bersabda :



“Terangkat pertanggungjawaban seseorang dari tiga hal: orang yang tidur hingga ia bangun, orang gila hingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia bermimpi dan mengeluarkan air mani (ihtilam)” (HR. Imam Empat)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yakni “ Kepemimpinan kepala desa cukup punya pengaruh terhadap perencanaan pembangunan desa Gulo

Menurut hasil analisis kegiatan Marketing Public Relations berdasarkan dimensi kegiatan sosial yang keefektivitasannya dilihat dari kegiatan sosial yang dilakukan Yamaha

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang telah terkumpul dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang sudah dilakukan dalam catatan

[r]

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa ta‟ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis bias menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas

Pada sekolah SMA N 14 Semarang, siswa yang memiliki sikap negatif (cenderung kurang merespon atau tertarik dengan hal-hal berkaitan dengan kesehatan reproduksi)

Perangkat pembelajaran yang sesuai adalah perangkat pembelajaran yang bercirikan sebagai berikut : mengandung silabus, mengandung rencana pelaksanaan pembelajaran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah leukosit di cairan semen dengan morfologi spermatozoa pada pria yang melakukan pemeriksaan analisis semen di