• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KERJA PRAKTEK PROSEDUR PENANGANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN KERJA PRAKTEK PROSEDUR PENANGANA"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KERJA PRAKTEK

PROSEDUR PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN PADA KEJAKSAAN NEGERI BATAM

(Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Kota Batam)

Oleh : ADI BUYONO

1051052

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI LMU HUKUM UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM

(2)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Yang bertanda tangan di bawah ini, Pembimbing Kerja Praktek di Universitas Internasional Batam, Program Studi Ilmu Hukum menyatakan bahwa laporan Kerja Praktek dari :

NPM : 1051052 Nama : Adi Buyono Jurusan : Ilmu Hukum

Telah diperiksa dan dinyatakan sudah selesai melaksanakan Kerja Praktek pada bulan Oktober hingga Desember di Kejaksaan Negeri Kota Batam.

Batam,

Universitas Internasional Batam Jurusan Ilmu Hukum

(3)

SURAT KETERANGAN KERJA PRAKTEK

Bersama surat ini, saya, Pofrizal, SH, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam, dengan ini menerangkan bahwa mahasiswa yang disebut dibawah ini:

NPM : 1051052 Nama : Adi Buyono Jurusan : Ilmu Hukum

Universitas : Universitas Internasional Batam (UIB)

Telah melakukan Kerja Praktek di Kejaksaan Negari Batam selama 3 (tiga) bulan yaitu dari bulan 01 September 2013 sampai dengan 31 Desember 2013.

Demikian surat keterangan ini di buat dengan sebenar-benarnya.

Batam, 1 Januari 2014

POFRIZAL, SH.

(4)

LEMBAR PENGESAHAN PENYELIA

Yang bertanda tangan di bawah ini, Penyelia Kerja Praktek di Kejaksaan Negeri Kota Batam menyatakan bahwa laporan Kerja Praktek dari :

NPM : 1051052 Nama : Adi Buyono Jurusan : Ilmu Hukum

Telah diperiksa dan dinyatakan sudah selesai melaksanakan Kerja Praktek pada bulan September 2013 hingga Desember 2013 di Kejaksaan Negeri Kota Batam.

Batam,

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam Laporan Kerja Praktek ini memang benar-benar karya sendiri, bukan dari karya tulis orang lain, baik sebagian maupun keseluruhannya. Pendapat ataupun temuan dari orang lain yang terdapat dalam Laporan Kerja Praktek ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Batam,

Universitas Internasional Batam Program Studi Ilmu Hukum

……… Adi Buyono

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa karena atas Rahmat-Nya kepada penulis selama menjalankan kewajiban menuntut ilmu dan penyelesaian tugas akhir. Selama melakukan penelitian dan penulisan laporan, penulis memperoleh bantuan moril dan materiil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih , yang tidak terhingga terutama kepada kedua orang tua penulis yaitu Ang Jong Lai dan Tjan A Tuan tercinta yang telah memberikan segala pengorbanannya, doa yang tak henti-hentinya, cinta, motivasi, saran dan dukungan baik moril dan materiil dalam kehidupan penulis, juga saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Lu Sudirman, S.H, M.M., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam.

2. Siti Nur Janah, S.H, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, waktu, tenaga, dan pikiran dalam penulisan kerja praktek ini.

3. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam.

(7)

5. Mohtar Arifin, S. Kom, S.H, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam yang telah banyak memberikan dukungan, dan membagi pengetahuan kepada penulis dalam penulisan kerja praktek ini

6. Triyanto, S.H, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam yang telah banyak memberikan dukungan, dan membagi pengetahuan kepada penulis dalam penulisan kerja praktek ini

7. Seluruh anggota Kejaksaan Negeri Batam.

Penulis berharap karya tulis ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya mengetahui Prosedur dalam penegakan hukum pada kasus pembunuhan yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Kota Batam dan bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran untuk meningkatkan kualitas ilmiah penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga Tuhan yang maha kuasa melimpahkan rahmat serta karunia-Nya kepada kita semuanya. Amin.

Batam, 22 Maret 2014 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

2.2 Luas Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Batam...5

2.3 Visi dan Misi Kejaksaan Negeri Batam...7

2.4 Tugas dan Wewenang Kejaksaan Negeri Batam...7

2.4.1 Bidang Pidana...8

2.4.2 Bidang Keperdataan dan Tata Usaha Negara...9

2.4.3 Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum...9

(9)

BAB III...12

3.1 Pengertian...12

3.1.1 Penanganan...12

3.1.2 Tindak Pidana...13

3.1.2.1 Pengertian Tindak Pidana...13

3.1.2.2 Teori-teori Hukum Pidana...14

3.1.2.3 Unsur-unsur Tindak Pidana...18

3.1.3 Pembunuhan...26

3.1.4 Kejaksaan...30

BAB IV...35

4.1 Kegiatan Rutin...35

4.2 Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Menangani Kasus Dugaan Tindak Pidana Pembunuhan...43

4.3 Sikap Jaksa Penuntut Umum dalam Menghadapi Hambatan-hambatan. 44 BAB V...46

5.1 Penutup...46

5.2 Keterbatasan...46

5.3 Rekomendasi...47

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai Negara Hukum, Negara Kesatuan Republik Indonesia mewajibkan setiap warga negaranya untuk menjunjung tinggi hukum. Namun, manusia merupakan makhluk yang didasari dengan perilaku egois, sehingga setiap orang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan orang lain, sehingga bukan hal yang baru bagi manusia untuk melakukan kesalahan-kesalahan, baik itu dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, sehingga perbuatan itu merugikan orang lain dan tidak jarang pula melanggar hukum, kesalahan itu dikenal sebagai perbuatan tindak pidana.

Salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat adalah tindak pidana pembunuhan. Pembunuhan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan/merampas jiwa orang lain. Selain itu pembunuhan dianggap perbuatan yang sangat terkutuk dan tidak berperikemanusiaan. Dipandang dari sudut agama, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang dilarang keras.

(11)

nyawa itu sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”

Apabila kita melihat ke dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang bermaksud mengatur ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang itu dalam Buku ke II Bab ke-XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas pasal, yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.

Salah satu masalah yang sering muncul di masyarakat adalah tindak pidana pembunuhan, tindak pidana pembunuhan adalah suatu bentuk kejahatan dalam jiwa seseorang dimana perbuatan tersebut sangat bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat yaitu norma agama dan adat-istiadat, sekaligus bertentangan dengan norma ketentuan hukum pidana dan melanggar hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup.

Sedemikian banyaknya norma, agama, hukum, adat istiadat, Hak Asasi Manusia bahkan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni Undang-undang Dasar 1945, dengan keras mengharamkan tindak pidana pembunuhan sehingga tindak pidana pembunuhan harus diadili seadil-adilnya.

(12)

melalui hakim-hakimnya yang telah disumpah. Sedangkan Kejaksaan Negeri diberi kewenangan untuk membuktikan perbuatan tindak pidana pembunuhan yang diduga dilakukan oleh terdakwa.

Dalam membuktikan suatu tindakan pidana yang diduga dilakukan terdakwa, Kejaksaan Negeri dibantu oleh penyidik-penyidik untuk mengungkapkan fakta-fakta yang benar-benar terjadi di Tempat Kejadian Perkara. Jaksa Penuntut Umum diberi tugas untuk mengumpulkan alat-alat bukti dan barang-barang bukti untuk membuktikan bahwa benar-benar terjadinya kejadian yang sebagaimana dijelaskan dalam surat dakwaannya kepada hakim.

Dalam menegakkan keadilan, Kejaksaan memegang peran yang sangat penting dimana para Jaksa Penuntut Umum harus mampu meyakinkan hakim-hakim pada Pengadilan bahwa benar terjadinya kejadian sebagaimana yang disebutkan dalam Surat dakwaan dan Terdakwa adalah pelaku atas kejadian tersebut. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan pada Kejaksaan Negeri Batam” dimana Penulis akan melakukan penelitian mengenai prosedur-prosedur dan upaya-upaya yang dilakukan Kejaksaan dalam mengungkapkan dugaan tindak pidana pembunuhan.

(13)

1. Prosedur-prosedur / Tahapan-tahapan apa saja yang dilalui oleh Kejaksaan Negeri Batam dalam mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan pada kasus dugaan tindak pidana pembunuhan?

2. Apa saja yang menjadi hambatan-hambatan Kejaksaan Negeri Batam dalam membuktikan kasus dugaan tindak pidana pembunuhan?

3. Apa saja upaya-upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Batam dalam menghadapi hambatan-hambatan dalam membuktikan kasus dugaan pidana pembunuhan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui tata cara dan tahapan-tahapan yang dilalui oleh Kejaksaan Negeri Batam dalam mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan pada kasus dugaan tindak pidana pembunuhan.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi Kejaksaan Negeri Batam dalam membuktikan kasus dugaan tindak pidana pembunuhan.

(14)

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

2.1 Letak Daerah

Kejaksaan Negeri Batam memiliki tugas dan wewenang mencakup seluruh daerah yang termasuk dalam Kota Batam, salah satu Kota yang berada di Provinsi Kepulauan Riau. Cakupan Kota Batam terdiri dari 12 (dua belas) Kecamatan antara lain Kecamatan Batam Kota , Kecamatan Batu Aji, Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Bengkong, Kecamatan Bulang, Kecamatan Galang, Kecamatan Lubuk Baja, Kecamatan Nongsa, Kecamatan Sagulung, Kecamatan Sekupang dan Kecamatan Sungai Beduk. Untuk kantor Kejaksaan Negeri Batam sendiri terletak di Jalan Engku Putri Nomor 2, Kecamatan Batam Kota, tepat di depan BANK INDONESIA (BI).

2.2. Luas Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Batam

Luas Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Batam adalah 3.990,00 Km² (71.500 Hektar/715 Km2) meliputi 400 buah Pulau, 329 buah di antaranya telah bernama dengan perincian sebagai berikut :

(15)

b. Pulau Rempang terletak 2,5 Km di sebelah Tenggara Pulau Batam luas 165,83 Km² (16.583 Ha) = 27 % x luas Singapore.

c. Pulau Galang terletak 350 M di sebelah tenggara Pulau Rempang luas 32 Km² ( 8.000 Ha) = 13 % x Luas Singapore.

d. Pulau Galang Baru terletak 180 M disebelah Selatan Pulau Galang, luas 32 Km² ( 3.200 Ha) = 15 % x Luas Singapore.

2.3 Visi dan Misi Kejaksaan Negeri Batam

Visi Kejaksaan Negeri Batam ialah Mewujudkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugasnya secara independen dengan menjunjung tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka Kejaksaan Negeri mempunyai misi sebagai berikut:

a. Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum.

b. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM.

c. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.

(16)

Kejaksaan Negeri Batam dalam menjalankan Tugas dan Wewenang yang diberi oleh Negara sebagaimana tercantum pada Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Secara garis besar, Tugas dan wewenang Kejaksaan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu Bidang Pidana, Bidang Keperdataan dan Tata Usaha Negara, dan Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum.

2.4.1 Bidang Pidana

Dalam Bidang Pidana, Kejaksaan Negeri Batam sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, memiliki Tugas dan Wewenang sebagai berikut :

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

(17)

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2.4.2. Bidang Keperdataan dan Tata Usaha Negara

Sedangkan pada Bidang Keperdataan dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan Negeri Batam sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, memiliki Tugas dan Wewenang dimana dengan kuasa khusus, Kejaksaan Negeri Batam dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

2.4.3 Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum

Selain tugas dan wewenang yang disebut diatas, Kejaksaan Negeri juga dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat umum, yaitu sebagai berikut :

a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. pengawasan peredaran barang cetakan;

(18)

e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

2.5. Doktrin Kejaksaan

Dalam menjalankan tugas dan wewenang, Kejaksaan Negeri Batam memiliki doktrin yang dikenal dengan “TRI KRAMA ADHYAKSA”, yang dijadikan sebagai pedoman yang menjiwai setiap warga Kejaksaan Republik Indonesia demi terwujud dalam sikap mental yang terpuji, yaitu :

SATYA : Setia dan Taat serta Melaksanakan Sepenuhnya Perwujudan Nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta Peraturan Perundang-undangan Negara sebagai Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat.

ADHI : Jujur, Berdisiplin dan Bertanggung Jawab

WICAKSANA : Bijaksana dan Berperilaku Terpuji

Tujuan utama dari penyusunan Doktrin-doktrin Kejaksaan ini adalah :

(19)

2. Menyukseskan pelaksanaan rencana dan program Pemerintah sesuai dengan kehendak rakyat seperti termaktub dalam Garis-garis Besar Haluan Negara;

3. Melaksanakan tugas serta kewenangan Kejaksaan dengan penuh tanggung jawab kedewasaan intelektual, sosial dan emosional, berorientasi kepada amanah dan tugas;

(20)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas beberapa pengertian yang terkait dengan masalah yang diteliti. Selain pengertian, juga dibahas dasar hukum yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang disebutkan di bab sebelumnya.

3.1. Pengertian

Berdasarkan masalah dalam ”Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan pada Kejaksaan Negeri Batam”, maka pengertian yang perlu dijelaskan ialah pengertian Penanganan, Tindak Pidana, Pembunuhan, dan Kejaksaan.

3.1.1. Penanganan

(21)

(KUHP), ”Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan Perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.

3.1.2. Tindak Pidana

3.1.2.1 Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana terdiri dari 2 (dua) kata yaitu kata “tindak” dan “pidana”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, kata tindak diartikan sebagai langkah ataupun perbuatan. Sedangkan kata “pidana” diartikan sebagai Kejahatan ataupun Kriminal. Berdasarkan penjelasan diatas, Tindak Pidana dapat diartikan sebagai Perbuatan Kejahatan ataupun Perbuatan Kriminal.

Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, mengartikan Tindak Pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku tersebut dapat dikatakan merupakan subjek dari tindakan pidana tersebut. Dalam membuktikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, menjelaskan unsur-unsur tindak pidana yang harus ditekankan yakni pada Subjek Tindak Pidana, Perbuatan dari tindak pidana, Hubungan Sebab-akibat, Sifat Melawan Hukum, Kesalahan Pelaku, Kesengajaan atau Kelalaian, dan asas Legalitas.1

Dalam bukunya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Subjek Tindak Pidana yang dimaksud adalah seorang

(22)

manusia. Meskipun suatu Tindakan Pidana dilakukan dengan mengatasnamakan suatu perusahaan, badan ataupun organisasi-organisasi lainnya, contohnya seperti, suatu Perseroan Terbatas yang melakukan impor tanpa terlebih dahulu memperoleh Surat-surat Izin dari instansi pemerintah yang berwenang ataupun dikenal sebagai penyelundupan, Pihak-pihak yang dapat dijatuhkan hukuman pidana tetaplah manusia, bukan badan tersebut, dalam hal ini adalah orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan tersebut, contohnya pada suatu Perseroan Terbatas, dipertanggungjawabkan oleh anggota-anggota direksi yang melakukan putusan tersebut.2

Sedangkan oleh Prof. Moeljatno, S.H, mengartikan Perbuatan Pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Larangan tersebut dimaksudkan pada Perbuatan yang telah dilakukan dan oleh aturan hukum dianggap sebagai sebuah tindakan Pidana. Sedangkan ancaman (sangsi) ditujukan kepada orang yang mengakibatkan atau menimbulkan suatu kejadian tersebut.3

3.1.2.2 Teori-teori Hukum Pidana (Strafrechts-theorien)

Teori-teori Hukum Pidana selalu berasal dari dasar pikiran pada persoalan “Mengapa suatu kejahatan harus dikenai hukuman pidana”. Teori-teori hukum ini

2Ibid,.

(23)

berhubungan erat dengan pengertian Subjektif strafrecht sebagai hak atau kewenangan untuk menentukan dan menjatuhkan hukuman pidana. Teori-teori hukum pidana antara lain :

a. Teori Negativisme

Dalam teori Negativisme, menjelaskan bahwa manusia tidak mempunyai hak untuk menghukum orang lain, sehingga hak untuk memidanakan seseorang adalah tidak ada. Hal ini dikarenakan adanya pemikiran bahwa penjahat tidak boleh dilawan dan musuh tidak boleh di benci. Hal serupa ini juga ditunjuk oleh seorang guru besar wanita kepada para pengikutnya. Guru besar tersebut adalah Johannes Huss (1365-1415), seorang gerejawan di Bohemen (Hussieten), yang mengingkari hak suatu pemerintah, yang tahu diri sendiri bersalah terhadap tuhan untuk menghukum orang lain. Menurutnya, hanya tuhan yang berhak untuk menjatuhkan pidana kepada makhluk-makhluknya.4

b. Teori Absolut atau Mutlak

Dalam pandangan teori Absolut atau Mutlak, setiap kejahatan harus diikuti dengan hukuman pidana, tidak boleh tidak, dan tidak diperbolehkan tawar menawar. Teori ini menganggap setiap orang yang telah melakukan kejahatan wajib dihukum tanpa memedulikan apakah dengan demikian

(24)

masyarakat akan dirugikan. Teori ini hanya memandang masa lampau, tidak melihat ke masa depan. Tujuan dari teori absolut atau mutlak adalah melakukan pembalasan atau dikenal dengan “Vergelding”. Dalam teori absolut atau mutlak, hal yang dikejar adalah kepuasan hati. Contohnya, pada kasus pembunuhan, pelaku harus dihukum demi mencapai kepuasan hati terutama kepuasan hati keluarga korban dan masyarakat.5

c. Teori Relatif atau Nisbi

Pandangan teori Relatif atau Nisbi merupakan teori yang tolak belakang dari pandangan teori Absolut atau Mutlak. Dalam teori ini, setiap kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan hukuman pidana. Teori ini tidak mengharuskan setiap tindakan pidana wajib di hukum, namun, tindak pidana tersebut akan dihukum apabila ditemukan adanya manfaat bagi masyarakat maupun bagi pelaku itu sendiri. Tujuan dari teori ini bersifat preventif, di mana dengan menghukum pelaku kejahatan tersebut, diharapkan di kemudian hari, tidak terjadi lagi kejahatan yang sama lagi. Prevensi dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu prevensi khusus dan prevensi umum. Prevensi khusus bertujuan untuk membuat pelaku kejahatan takut sehingga tidak lagi melakukan kejahatan, sedangkan pada Prevensi umum bertujuan untuk membuat masyarakat umum takut

(25)

sehingga tidak melakukan kejahatan yang pernah dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut.6

Teori Relatif atau Nisbi juga bertujuan untuk mengarahkan pelaku kejahatan kembali ke jalan yang benar. Hal ini bertujuan agar pelaku kejahatan tersebut dapat kembali menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen, terdapat 3 (tiga) macam perbaikan terhadap pelaku kejahatan, antara lain :

- Perbaikan Yuridis, yaitu perbaikan mengenai sikap si pelaku kejahatan agar dapat menaati Peraturan Perundang-undangan.

- Perbaikan Intelektual, yaitu perbaikan mengenai tata cara pelaku kejahatan tersebut berpikir.

- Perbaikan Moral, yaitu perbaikan mengenai rasa kesusilaan agar pelaku kejahatan tersebut menjadi orang yang bermoral tinggi7

d. Teori Gabungan (Verenigings-Theorien)

Teori Gabungan (Verenigings-Theorien) merupakan teori campuran dari teori Absolut atau Mutlak dan teori Relatif atau Nisbi. Teori gabungan mempunyai unsur “pembalasan” (Vergelding) sebagaimana yang terdapat pada teori Absolut atau Mutlak dan juga terdapat unsur “prevensi” dan

6Ibid., Hal. 25

(26)

unsur “memperbaiki pelaku kejahatan” sebagaimana yang terdapat pada teori Relatif atau Nisbi.8

3.1.2.3 Unsur-unsur Tindak Pidana

Para Ahli Hukum berpendapat bahwa dalam setiap perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut terdiri dari unsur-unsur. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :

a. Subjek Hukum Pidana

Dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat menjadi subjek dari tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum dari tindak pidana tersebut. Perumusan ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat dari subjek tindak pidana itu. Perumusan ini juga dapat terlihat pada wujud hukuman yang termuat dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda. Dalam hal suatu tindak pidana dilakukan atas nama suatu badan hukum, organisasi dan sebagainya, yang menjadi subjek hukum pidana dalam suatu tindak pidana adalah oknum-oknum dalam badan hukum atau organisasi tersebut yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, misalnya seorang direktur dari

(27)

suatu perseroan terbatas yang akan mempertanggungjawabkan suatu tindak Belanda dinamakan delicts-omshrijving. Misalnya dalam tindak pidana mencuri, perbuatannya dirumuskan sebagai “mengambil barang”. Ini merupakan perumusan secara formal, yaitu benar-benar disebutkan wujud suatu gerakan tertentu dari badan seorang manusia. Sebaliknya, pada perumusan secara material memuat penyebutan suatu akibat yang disebabkan oleh perbuatannya, misalnya tindak pidana pembunuhan, membunuh dirumuskan sebagai “mengakibatkan matinya orang lain”.10

c. Hubungan Sebab – Akibat (Causaal Verband)

Tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab – akibat (Causaal Verband) antara perbuatan pelaku dan kerugian kepentingan tertentu. 11

9Ibid., Hal. 59

10Ibid,.

(28)

d. Sifat Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad)

Onrechmatigedaad juga dinamakan sebagai wederrechtelijkheid. Unsur ini secara tegas disebutkan dalam perumusan ketentuan hukum pidana (strafbepaling). Misalnya, dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian sering disebutkan bahwa pencurian ini adalah mengambil barang milik orang lain dengan maksud memiliki barang itu “secara melawan hukum”. Artinya, seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana pencurian harus tidak memiliki hak atas barang tersebut, sehingga perbuatan pelaku dalam mengambil barang tersebut adalah sifat melawan hukum.12

e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana

Unsur kesalahan ini berupa 2 (dua) macam yaitu :

- Kesengajaan (Opzet)

Yang dimaksud dengan kesengajaan (opzet) di sini adalah pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana dilakukan karena memang adanya niat untuk itu. Kesengajaan (Opzet) dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu kesengajaan yang bersifat tujuan (Opzet Oogmerk), Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids Bewustzinj), dan Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids Bewustzijn).13

12Ibid,. Hal 61

(29)

 Kesengajaan yang bersifat tujuan (Opzet Oogmerk)

Teori kesengajaan bersifat tujuan (Opzet Oogmerk) dapat artikan bahwa pelaku dalam melakukan tindak pidana benar-benar menghendaki mencapai hasil yang diinginkan oleh pelaku, sehingga perbuatan pelaku tersebut dapat dijadikan pokok alasan untuk diadakan ancaman hukuman pidana. Contoh dari Kesengajaan yang bersifat tujuan (Opzet Oogmerk), A menembak B dengan menggunakan senapan yang mengakibatkan B meninggal dunia, dari kasus ini dapat terlihat maksud atau tujuan A dalam menembak B adalah untuk mencapai tujuan A yaitu menghendaki B meninggal dunia, sehingga A dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan.14

 Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids Bewustzinj)

Kesengajaan semacam ini ada apabila pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi pelaku mengetahui apabila perbuatan tersebut dilakukan, maka akibat dari perbuatannya akan mengakibatkan perbuatan pidana. Contoh dari Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids Bewustzinj), Seorang pemilik kapal dengan sengaja menggantikan mesin kapalnya dengan mesin yang sudah tidak layak

(30)

digunakan dan apabila tetap digunakan, mesin tersebut akan meledak. Akan tetapi, demi mendapatkan uang asuransi kapal, pemilik kapal tersebut sengaja menggunakan mesin kapal tersebut untuk berlayar. Pada saat di tengah laut, kapal tersebut meledak dan mengakibatkan awak-awak kapal tersebut meninggal dunia. Meskipun perbuatan pemilik kapal tersebut tidak bertujuan membunuh awak-awak kapal tersebut, namun oleh karena pemilik kapal mengetahui apabila mesin tersebut tetap digunakan, maka akan meledak dan mengakibatkan awak-awak kapal tersebut meninggal dunia, pemilik kapal tersebut dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan.15

 Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids Bewustzinj)

Kesengajaan ini diartikan sebagai perbuatan yang sengaja dilakukan pelaku tanpa disertai bayangan suatu akibat yang pasti, melainkan hanya bayangan suatu kemungkinan. 16

- Kelalaian (Culpa)

Culpa dalam bahasa Belanda berarti kesalahan pada umumnya. Namun dalam ilmu hukum, culpa diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh pelaku secara tidak sengaja atau karena kurang berhati-hati

15Ibid,. Hal 67

(31)

sehingga menimbulkan suatu akibat yang merugikan. Dalam hukum pidana Indonesia, meskipun menimbulkan akibat yang sama dengan opzet, perbuatan pidana yang dilakukan secara culpa dihukum lebih ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan secara sengaja (Opzet). Misalnya, dalam hal mengakibatkan matinya orang lain, jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja (Opzet), maka berlaku pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan hukuman setinggi-tingginya 15 (lima belas) tahun penjara, berbeda dengan hal mengakibatkan matinya orang lain yang dilakukan karena kelalaian (culpa), maka berlaku pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan hukuman setinggi-tingginya 5 (lima) tahun penjara.17

f. Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan (Genn Straf Zonder Schuld)

Dalam menerapkan pasal-pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan pelaku harus terdapat unsur kesalahan. Pada sebagian pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dijelaskan dengan tegas bahwa untuk menerapkan pasal tersebut, harus terpenuhi unsur kesalahan, baik berupa kesengajaan (Opzet) ataupun Kelalaian (Culpa). Contoh pasal yang menjelaskan unsur kesalahan secara tegas adalah sebagai berikut :

(32)

- Pasal 338 menyatakan “barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dalam pasal ini, terlihat bahwa untuk mendakwakan seorang pelaku dengan pasal 338, harus terdapat unsur kesalahan pada perbuatan pelaku tersebut, yaitu kesalahan berupa kesengajaan (Opzet).

- Pasal 359 menyatakan “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. Dalam pasal 359, terlihat bahwa untuk mendakwakan seorang pelaku dengan pasal 359, harus terdapat unsur kesalahan pada perbuatan pelaku tersebut, yaitu kesalahan berupa kelalaian (Culpa).

Akan tetapi tidak semua pasal menyatakan secara tegas unsur kesalahan dari perbuatan tersebut, namun secara tidak langsung tersirat dalam kalimat pasal tersebut. Contohnya antara lain :

(33)

- Pasal 490 ke-3 menyatakan “Barang siapa tidak menjaga secukupnya binatang buas yang ada di bawah penjagaannya, supaya tidak menimbulkan kerugian”. Dalam pasal 490 ke-3, terlihat dari kata kerja “tidak menjaga” mengandung unsur kelalaian (Culpa).

g. Unsur-unsur Khusus dari Tindak-tindak Pidana Tertentu.

Sebelumnya, telah dibahas unsur-unsur pidana pada umumnya. Namun, pada tindakan pidana tertentu, harus memenuhi unsurnya tersendiri. Unsur khusus tersebut dapat berupa identitas pelaku tersebut, misalnya:

- Pada Bab XXVII dari buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan jabatan, memuat beberapa pasal yang menyebutkan sebagai unsur khusus bahwa pelaku harus seorang pegawai negeri.

- Pada Bab XXIX dari buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan pelayaran, memuat beberapa pasal yang menyebutkan sebagai unsur khusus bahwa pelaku harus sebagai orang yang mengendarai kapal atau sebagai awak kapal.

(34)

3.1.3. Pembunuhan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi keempat, Pembunuhan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan membunuh. Sedangkan kata membunuh sendiri, diartikan oleh Kamus Besar Indonesia Edisi Keempat sebagai menghilangkan (menghabisi, mencabut) nyawa. Sehingga kata pembunuhan dapat diartikan sebagai rangkaian tata cara yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan nyawa baik nyawa manusia ataupun nyawa makhluk hidup lainnya.

Pembunuhan, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), di atur dalam Bab XIX. Pembunuhan sendiri dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal juga sebagai Kejahatan Terhadap Nyawa. Dalam pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan tindakan pembunuhan sebagai sebuah perbuatan merampas nyawa orang lain yang dilakukan dengan sengaja.

Dilihat dari Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, dapat diketahui bahwa dalam membuktikan suatu tindak pidana pembunuhan harus memenuhi unsur-unsur barangsiapa, dengan sengaja, dan merampas nyawa orang lain.

(35)

- Pembunuhan, yaitu pada pasal 338, 339 dan 340

- Pembunuhan sengaja yang berbentuk khusus, yaitu pada pasal 341 sampai dengan pasal 345

- Pengguguran dan pembunuhan kandungan, yaitu pada pasal 346 sampai dengan 349

- Penganiayaan, yaitu pada pasal 351 sampai dengan 357

- Karena salahnya menyebabkan mati atau luka orang lain, yaitu pada pasal 359, 360 dan 361

- Penyertaan pada penyerangan atau penyertaan pada perkelahian, yaitu pada pasal 358

- Menelantarkan orang, yaitu pada pasal 304 sampai dengan 309

- Duel, yaitu pada pasal 182 sampai dengan 186

- Perbuatan membahayakan jiwa atau keselamatan seseorang, yaitu pada pasal 300, 301, 531 dan 538.18

S.R. Sianturi, S.H menjelaskan bahwa pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan tolak ukur untuk seluruh kejahatan yang diatur pada pasal 339 sampai dengan pasal 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

18 S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHAM, Jakarta, 1983,

(36)

(KUHP), yaitu mengenai kejahatan terhadap nyawa. Artinya, dalam pasal 338 sampai dengan pasal 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), harus ternyata ada orang lain yang terbunuh. Bedanya, dalam pasal 338 sampai dengan pasal 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat hal-hal ataupun keadaan yang meringankan ataupun memberatkan.19

Pembunuhan yang dimaksud dalam pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dijelaskan oleh S.R. Siantur, S.H sebagai penghilangan jiwa seseorang. Unsur-unsur dalam pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang harus dipenuhi antara lain :

a. Unsur Barangsiapa, yaitu subjek dari tindak pidana Pembunuhan dalam hal ini adalah pelaku tindak pidana Pembunuhan tersebut. Sehingga, pelaku pembunuhan tersebut yang kemudian akan dijadikan sebagai terdakwa di depan persidangan untuk minta pertanggungjawabannya atas perbuatan yang telah dilakukannya dengan ketentuan tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan pelaku pembunuhan tersebut.

b. Unsur dengan sengaja yang juga dikenal dengan kata opzet tidak diartikan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “sengaja” berarti dimaksudkan, memang diniatkan begitu, tidak secara kebetulan. Sehingga, dapat diartikan bahwa dengan

(37)

sengaja yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh pelaku karena memang niatnya pelaku tersebut, di mana pelaku mengetahui dan menghendaki matinya seseorang dengan tindakannya itu. Unsur inilah yang membedakan antara pembunuhan dengan penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang. Dalam hal pembunuhan, pelaku benar-benar menghendaki matinya korban, sedangkan dalam penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang, pelaku benar-benar tidak menghendaki matinya korban, melainkan hanya supaya korban merasakan sakit, rusak kesehatan, atau cedera.

(38)

d. Unsur orang lain, merupakan objek dari pembunuhan, yaitu orang yang dibunuh. Dalam hal ini, orang yang dibunuh harus orang lain yang masih hidup, bukan jenazah, dirinya sendiri, boneka ataupun lainnya yang bukan orang.20

3.1.4. Kejaksaan

Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga penyelenggara kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang, Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga yang bergerak atas kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan.

Kejaksaan secara khusus diatur oleh Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan. Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, memberikan pengertian dari Kejaksaan dengan menyatakan “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.

Kejaksaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, dalam melaksanakan kekuasaannya diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri, di mana semuanya merupakan satu

(39)

kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan, yang masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan yang berbeda, yaitu sebagai berikut :

1. Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh Jaksa Agung.

2. Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh Kepala Jaksa Tinggi.

3. Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Negeri

(40)

Kejaksaan Negara Republik Indonesia memiliki struktur organisasi sebagai berikut :

Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tugas dan wewenang Kejaksaan yaitu:

1. Di Bidang Pidana

a. melakukan penuntutan;

(41)

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Dai bidang Perdata dan Tata Usaha Negara :

Kejaksaan dengan kuasa khusus, dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3. Di bidang ketertiban dan ketenteraman umum Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. pengawasan peredaran barang cetakan;

d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

(42)
(43)

BAB IV

HASIL LAPORAN KERJA PRAKTEK

4.1. Kegiatan Rutin

Kegiatan yang dilakukan Penulis dalam melakukan kegiatan kerja praktek di Kejaksaan Negeri Batam yang dilaksanakan dari tanggal 1 September 2013 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 adalah mempelajari berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diterima dari pihak penyidik, dan membantu para jaksa menyiapkan surat dakwaan, surat tuntutan, serta surat-surat lainnya secara bertahap. Berikut rincian kerja rutin yang dilakukan penulis selama magang di Kejaksaan Negeri Batam :

TAHAP I

1. Menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)

(44)

Membuat Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana (P-16)

2. Membuat Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana (P-16)

Setelah mendapat perintah dari Kepala Kejaksaan Negeri, penulis melanjutkan membuat Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana (P-16) yang isinya menunjuk Jaksa-jaksa yang telah ditentukan Kepala Kejaksaan Negeri untuk mengikuti perkembangan kasus perkara sebagaimana disebut di Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Setelah itu, Penulis menunggu kedatangan berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

3. Mempelajari berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

(45)

4. Membuat Hasil Penelitian Berkas Perkara atau Checklist

Setelah membaca berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penulis membuat Hasil Penelitian Berkas Perkara atau Checklist. Dalam tahap ini, penulis melakukan pengecekan terhadap berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut, dan apabila menurut penulis berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah memenuhi syarat Formil dan syarat materiil, maka penulis akan membuat “Surat Pemberitahuan bahwa Hasil Penyidikan sudah Lengkap” yang diberi kode formulir P-21.

Sebaliknya, apabila berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dianggap belum memenuhi syarat, maka penulis akan membuat “Surat Hasil Penyidikan Belum Lengkap” yang diberi kode formulir P-18 dan “Surat Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi” yang diberi kode formulir P-19, yang kemudian bersama berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) akan dikirim balik kepada penyidik untuk kembali dilengkapi penyidik.

5. Membuat Rencana Surat Dakwaan dan Matriks

(46)

6. Mengajukan Rencana Surat Dakwaan ke Kepala Seksi dan Kepala Kejaksaan Negeri

Setelah membuat Rencana Surat Dakwaan, Matriks dan Surat P-21, Penulis selanjutnya menyerahkannya kepada Jaksa yang ditunjuk sesuai P-16 dan berkas-berkas yang dibuat penulis akan dipelajari oleh Jaksa tersebut. Apabila Jaksa merasa berkas yang dibuat Penulis sudah benar, maka berkas-berkas tersebut akan diserahkan kepada Kepala Seksi dan Kepala Kejaksaan Negeri. Oleh karena penulis menulis judul mengenai “Pembunuhan”, maka penulis ditempatkan di bagian Seksi Tindak Pidana Umum, di mana berkas-berkas yang telah dibuat oleh penulis diserahkan kepada Kepala Seksi Pidana Umum.

TAHAP II

7. Pemeriksaan Tersangka

(47)

diberi kode formulir BA-18. Oleh karena tahap ini bersifat rahasia, maka penulis tidak dilibatkan dalam tahap ini.

8. Membuat Surat Perpanjangan Penahanan dan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana

Setelah melakukan tahap Pemeriksaan Tersangka, penulis akan membuatkan Surat Perpanjangan Penahanan yang diberikan kode formulir T-7 dan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana yang diberikan kode formulir P-16A

9. Membuat Surat Pelimpahan Perkara kepada Pengadilan Negeri

Dalam Tahap ini, terhadap berkas-berkas yang telah dibuat P-16A dan T-7, Penulis membuat Surat Pengantar kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri. Penulis juga membuat Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa yang diberi kode formulir P-31 untuk Acara Pemeriksaan Biasa, atau Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Singkat yang diberi kode formulir P-32 untuk Acara Pemeriksaan Singkat.

10. Mengantar Surat Pelimpahan ke Pengadilan Negeri

(48)

kepada Pengadilan Negeri antara lain Surat Pengantar Pelimpahan Perkara, P-31 atau P-32, berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Surat Dakwaan, T-7, dan P-16A dan mengantarnya ke Pengadilan Negeri. Sebagai tanda terima berkas, Penulis juga membuat Surat Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan yang diberi kode formulir P-33.

TAHAP III

11. Memantau Penetapan Hari Persidangan

Setelah melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Negeri akan menetapkan hari sidang. Dalam tahap ini, Penulis akan terus memantau Penetapan Hari Sidang tersebut. Pada hari yang ditetapkan, Jaksa Penuntut akan membacakan Surat Dakwaan yang diberi kode formulir P-29. Apabila Terdakwa tidak melakukan eksepsi dan memungkinkan untuk langsung melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, Jaksa Penuntut Umum akan memanggil saksi-saksi dalam perkara tersebut.

12. Membuat Surat Pemanggilan Saksi

(49)

Surat Panggilan Saksi ke bagian Sekretariat untuk penomoran. Setelah memperoleh tanda tangan dan melakukan penomoran surat, penulis kemudian membuat amplop dan mengantarkan Surat Panggilan Saksi ke alamat saksi-saksi.

13. Membuat Rencana Tuntutan dan Nota Dinas

Setelah pemeriksaan alat bukti, maka sidang berikutnya akan dilanjutkan dengan acara pembacaan tuntutan. Sebelum membuat surat tuntutan, apabila berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut berasal dari Kejaksaan Tinggi, maka Jaksa Penuntut Umum akan meminta Penulis untuk membuat Surat Rencana Tuntutan yang diberi kode formulir P-41 yang akan dikirim ke Kejaksaan Tinggi. Apabila berkas tersebut berasal dari Kejaksaan Negeri, maka Jaksa Penuntut Umum akan meminta penulis untuk membuat Nota Dinas yang isinya mengenai Rencana Tuntutan yang akan diajukan kepada Kepala Seksi Pidana Umum dan Kepala Kejaksaan Negeri.

14. Membuat Surat Tuntutan (REQUISITOIR)

Setelah mendapat balasan mengenai Surat Rencana Tuntutan baik dari Kepala Kejaksaan Negeri maupun Kepala Kejaksaan Tinggi, penulis akan lanjut membuat Surat Tuntutan (REQUISITOIR) yang diberi kode formulir P-42.

(50)

Dalam tahap-tahap ini, karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman Penulis, Jaksa Penuntut Umum tidak melibatkan penulis dalam tahap-tahap ini sehingga Penulis tidak dapat menjelaskan bagian tahap-tahap ini.

16. Membuat Laporan Putusan

Setelah Putusan Pengadilan Negeri telah memperoleh Kekuatan Hukum Tetap (Inkracht), maka Pengadilan Negeri akan mengirimkan petikan putusan ke Kejaksaan Negeri Batam. Setelah penulis menerima petikan putusan tersebut, penulis akan melanjutkan membuat Laporan Putusan yang diberi kode formulir P-44. Setelah membuat Laporan Putusan, Laporan putusan tersebut kemudian diajukan kepada Kepala Seksi Pidana Umum dan Kepala Kejaksaan Negeri.

17. Membuat Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan

(51)

Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang kemudian diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan eksekusi.

4.2 Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Menangani Kasus Dugaan Tindak Pidana Pembunuhan

Dalam menangani kasus dugaan tindak pidana pembunuhan, tidak jarang para Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam berhadapan dengan hambatan-hambatan yang mempersulit para Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan terjadinya tindak pidana pembunuhan yang didakwakan kepada terdakwa.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa orang Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam, penulis menyimpulkan adanya beberapa hambatan-hambatan yang sering ditemukan oleh para Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam, yaitu :

1. Pengakuan Terdakwa yang berbeda pada saat di Persidangan, pengakuan pada Pemeriksaan Tersangka di Tahap dua dan pengakuan pada Berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

(52)

3. Tidak ditemukannya barang bukti yang digunakan terdakwa dalam melakukan tindak pidana pembunuhan.

4. Kurangnya saksi yang dapat membuktikan terjadinya tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa.

4.3 Sikap Jaksa Penuntut Umum dalam Menghadapi Hambatan-hambatan

Dalam menangani kasus-kasus pembunuhan, Jaksa Penuntut Umum selalu dihadapkan dengan berbagai macam kesulitan seperti yang disebutkan di atas. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam

1. Mengikuti Rekonstruksi

(53)

2. Mengembalikan Berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada penyidik dengan membuat Surat P-18 (Surat Hasil Penyidikan Belum Lengkap) dan Surat P-19 (Surat Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi).

(54)

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penjelasan pembahasan dan penelitian di Bab IV laporan kerja praktek ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Batam sudah sesuai dengan peraturan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Hukum Positif Indonesia yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Surat-surat Edaran Jaksa Agung Indonesia. Meski demikian, masih diperlukan kerja sama yang lebih pada pihak penyidik yaitu pihak Kepolisian Republik Indonesia dengan pihak Kejaksaan Republik Indonesia agar dapat terciptanya proses persidangan yang adil, cepat dan tidak berbelit-belit seperti yang ada pada sekarang ini.

5.2. Keterbatasan

(55)

1. Lamanya proses penyidikan karena susahnya penyidik mengumpulkan bukti-bukti sehingga banyak waktu yang terbuang sia-sia dalam menyusun laporan kerja praktek ini.

2. Kesibukan narasumber sehingga sulit melakukan wawancara lebih detail.

3. Sukarnya penulis mengumpulkan data-data karena kebanyakan data-data pada Kejaksaan Negeri Batam bersifat rahasia.

4. Sukarnya mendapatkan dukungan referensi seperti buku-buku, literatur, data-data Kejaksaan Negeri yang memadai.

5.3. Rekomendasi

Penulis merekomendasikan:

1. Kerja sama yang transparan antara Pihak penyidik dan kejaksaan untuk mengungkap kasus tindak kejahatan Pembunuhan.

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku

Moeljanto. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta, 2002.

Sugandhi, R. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya : Usaha Nasional, 2000. Sianturi, S.R. Tindak Pidana di KUHP Berikut Penjelasannya. Jakarta : Alumni AHM-PTHAM, 1983

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung : Redika Aditama, 2009.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008

Referensi Peraturan

Kitab Undang Hukum Acara Pidana [Wetboek van straftrecht]. Diterjemahkan oleh Andi Hamzah. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dari sini dapat ditarik sebuah pengertian mengenai literasi perpajakan adalah kemampuan atau pengetahuan mengenai pajak, pengetahuan disini diartikan bahwa

Pola makan dapat diartikan suatu sistem, cara kerja atau usaha untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai suatu cara

Akan tetapi daya yang digunakan masih cukup tinggi yang menyebabkan tingginya konsumsi energi, sehingga pada penelitian ini dilakukan penelitian dengan menggunakan

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini

Pendekatan yang digunakan melalui penelitian ini ialah penelitian dengan teknik kualitatif sebab hal ini diakui bahwa penelitiannya lebih mendalam dan

Neutron, Eko Tri Sulistyani, I Putu Eka Widya Pratama ……… 1-10 A 102 Kajian Tentang Sifat Kerak Luar Bintang Neutron Dengan Penghampiran. Model Massa Hartree Fock

Gambar 6.13 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan nilai Stabilitas 57 campuran Pada kadar Filler Batu Bentonit 8%.. Gambar 6.14 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan nilai

Geyser terjadi karena gas panas yang asalnya dari batuan magma memanaskan bagian bawah air yang terdapat dalam celah di dalam bumi.. Uap air yang terjadi tidak dapat