• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASlL DAN PEMBAHASAN. tahun ke tahun ada kecenderungan angka LO meningkat, sedangkan pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASlL DAN PEMBAHASAN. tahun ke tahun ada kecenderungan angka LO meningkat, sedangkan pada"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

HASlL DAN PEMBAHASAN

Laju Ovuksi:

Gambar 1 memperlihatkan turun-naiknya iaju ovulasi (LO) dari tahun

ketahun pada masing-masing genotipe ternak. Pada genotipe ~ e d ~ ~ e c ~ ~ , dari tahun ke tahun ada kecenderungan angka LO meningkat, sedangkan pada

genotipe FecJ'FecJ' dan ~ecd~Fec.J+ fluktuasinya tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan bahwa LO dari domba dengan genotipe FecJFFec.JF lebih dipengaruhi oleh fluktuasi musim dibandingkan dengan kedua genotipe lainnya.

I I I I I I I I I

I

1 0 B s ~ w m 6 l o s s w e r l o s e t o g o r e c n , . l O o l l o e n s P e a

Tahun

Garnbar 1. Rataan laju ovulasi (LO) pada masing-masing genotipe dari tahun 1 983-1 993.

Hal yang sama tampak pula pada dornba prolifik dari Maroko seperti yang dilaporkan oleh Bradford et

a/.

(1989) bahwa terlihat adanya pengaruh musim

(2)

pada LO dari dornba D'Man, pada kondisi pakan yang baik (MeiJuni) LO

rneningkat sebanyak 31 persen.

Seperti telah diterangkan di atas terjadinya turuknaik angka LO dari tahun ke tahun erat hubungannya dengan faktor ketersediaan pakan. Bradford et a/. (1991) rnengelompokkan kondisi ketersediaan pakan di Stasiun Cicadas menjadi dua kelornpok yaitu kelornpo k kondisi pakan baik (tahun 1983, 1 984, 1 987, 1 989 dan 1990) dan kondisi pakan bumk (tahun 1985, 1986. dan 1988). Selanjutnya kondisi ini disebut sebagai manajemen sedang (MNJ-2) dan rnanajemen buruk (MNJ-1) secara berturut-turut, setelah kelompok ternak ini dipindahkan ke Bogor pada bulan Agustus 1990 dirnana ternak tersebut sarnpai saat ini berada, manajernen yang diterapkan disebut sebagai manajernen balk (MNJ-3).

Dengan rnenggunakan keriteria pengeiornpokan ternak seperfi yang telah diterangkan di atas, rnaka didapatkan hasil analisa data seperti yang terlhat pada Larnpiran 1 dan pada Tabel 8.

Dari tampiran 1 didapatkan rataan laju ovulasi (LO) pada penelitian ini sebesar 1.96 (N=1938; SD=0.65; CV=33.2%). Secara keseluruhan satu duplikat gen FedF rneningkatkan LO sebanyak 0.93 buah. Surnber keragarnan yang mempengaruhi LO adalah interaksi genotipe ternak dan tingkat manajernen (Gen x MNJ) dan bobot badan induk (P4.01). namun tidak ada pengaruh paritas terhadap LO (Pw0.05).

Tabel 8 menunjukkan bahwa genotipe yang berbeda pada tingkat manajemen yang sama menghasilkan LO yang berbeda. Perbedaan LO antar

(3)

5 I genotipe terlihat kian meningkat dengan rnakin baiknya rnanajernen yang diterapkan. Hal yang sebaliknya terjadi pada ternak dengan genotipe FecJ'Fed, karena secara definisi ternak yang terrnasuk genotipe FecJ'FecJ' hanya induk- induk yang rnernpunyai LO sebanyak satu atau dua buah saja, nilai rataan LO yang rnendekati 1 menunjukkan kernantapan ketasifikasi dari ternak ini.

Tabel 8. Jurnlah pengarnatan (N), rataan kuadrat terkecil

(LSM) dan salah baku (SE) laju ovulasi (LO) dari tiga genotipe prolifikasi pada manajernen yang berbeda.

Keteranganr Huruf superskrip yang sama pada satu lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (Pz0.05).

Perbedaan LO pada masingmasing genotipe ini disebabkan oleh kehadiran gen ~ e c J ~ (Bradford et

a/.,

1991). Dalarn penefitian ini induk-induk dengan genotipe FecJFFecJF pada kondisi MNJ-1 menghasilkan LO sebesar 2.40

-

Mana- jemen MNJ-I MNJ-2 MNJ3 Rataan Genotipe F ~ c J + F ~ ~ J + N LSM SE 193 1.2P (0.06) 357 1.22b (0.04) 182 1 . W (0.05) 732 1.19 (0.03) F ~ C J ~ F ~ C S N LSM SE 274 2.06= (0.05) 391 2.128 (0.04) 155 2.19" (0.06) 820 2.72 (0.03) F ~ C J ~ F ~ C J ~ N LSM SE 86 2.40a (0.08) 161 3.036 (0.05) 139 3.44' (0.06) 386 2.96 (0.04) I

(4)

buah dan rneningkat rnenjadi 3.44 buah pada MNJ-3. Dornba betina dewasa Finnsheep dengan prolifikasi tinggi rnernpunyai LO sebesar 4.5 buah (&adford

et

a/.

397%) dan pada laporan lainnya sebesar 4.2 buah (Scaramuzzi and Land. 1978). Selanjutnya pada dornba Rornanov yang dipelihara di Kanada dilaporkan LO sebesar 2.51 buah (pada dornba rnuda), dilaporkan pula LO pada dornba dewasa dipengaruhi oleh rnusim yakni 3.29 buah pada rnusirn gugur dan rnenurun rnenjadi 2.81 buah pada musim panas (Fahrny, t 989). Pada domba Booroola Merino didapatkan hanya 1 YO saja induk yang rnernpunyai LO=2 buah. selebihnya (99'30) rnernpunyai LO antara 3 sampai 9 buah (Piper and Bindon, 1996). Untuk mernbuktikan kehadiran gen FedF ini telah dilakukan perkawinan antara induk-induk yang diduga FecJ'FecJ' dengan pejantan-pejantan

yang

diduga FecJFFecJ' dan antara induk-induk yang diduga FecJFFecJ+ dengan pejantan-pejantan yang diduga FecJ'FecJ'. Pendugaan pada betina dilakukan berdasarkan catatan prestasi produksi LO dan jurnlah anak lahir, clan pada pejantan berdasarkan catatan prestasi induknya. Keriteria pengelornpokan ternak berdasarkan genotipe rnengikuti kritena dari Bradford et al. (1991). Anak hasil

perkawinan diamati jurnfah LO dari indung telurnya sebanyak 4 kali siklus birahi dan kemudian dikeiompokkan berdasarkan catatan LO kedalarn masing-masing ketompok genotipe.

(5)

Tabel 9. Distribusi ( O h ) anak kedalam kelornpok genotipe

berdasarkan kelasifikasi pejantan dan induk.

Keterangan: 'Pengelornpokan berdasarkan 4 catatan laju owlasi. ()=persen.

Hasil di atas mernbuktikan bahwa gen F ~ C J ~ merupakan gen tunggal yang mempengaruhi LO pada domba-domba di P. Jawa. Dari ternak-ternak hasil perkawinan ini kernudian dilakukan analisis DNA dengan penciri mikrosatelit.

Hasil yang positif menunjukkan bahwa ale1 1 dengan penciri OarAEHH55 terkait dengan gen F e d F dan juga terdapat buMi bahwa gen yang serupa juga mernpengaruhi LO pada domba Booroola Merino (Purwadaria et

a/..

1995). Kemiripan antara gen FecJF dengan gen FecB sebenarnya dapat diterangkan dari asal-usul ternak tersebut. Turner (1 983) melaporkan bahwa ternak Booroola Merino rnernpunyai nenek-moyang yang berasal dari Tanjung Harapan dan juga dari Banglades. Sementara itu untuk rnemperbaiki dornba di Indonesia, Wanda telah mengirnpor sejurnlah ternak dari Tanjung Harapan, juga ternak Merino dari Spanyol (Merkens dan Soemirat, 19261, sehingga keterkaitannya dengan gen

Nomor Pejantan 88043 92098 90079 91 079 92123 Genotipe fnduk FecJ'FecS F e c S F e c S F e c J F F e e S F&F& F e c J F F d Genotipe Pejantan F ~ C J ~ F W F ~ F ~ C J ' FecJ'FecJ' FecJ'FecJ* FecJ'FecJ' Genotipe an&' FeoSFecJ+ 4 (36) 6 (67) 2 (33) 4 (50) 1 (33) F e c j F F d 7 (64) 3 (33) 4 (67) 4 (50) 2 (67) A

(6)

FecB, kernungkinan besar tejadi karena adanya asal-usul nenek moyang yang sama. Pada saat ini kemungkinan tersebut sedang dijajagi kebenarannya dengan menganalisa contoh darah dari ketiga lokasi (India, Indonesia dan Australia),

Pada MNJ-1 perbedaan LO yang disebabkan oleh kehadiran satu duplikat gen FecJF adalah 0.79, dan perbedaannya meningkat lagi sebesar

0.90

dan 1.1 0 pada MNJ-2 dan MNJ-3 secara berturut-turut. Perbedaan LO antara genotipe ~ 0 c ~ ~ ~ e c . l ' dan ~ e c ~ pada ~ FMNJ-1 d ~adalah sebesar 0.36 dan meningkat secara mencolok menjadi 0.91 dan 1.25 pada MNJ-2 dan MNJ-3 secara berturut- turut. Peningkatan yang mencofok yang terjadi pada ternak homosigot (FecJFFedf) dengan perbaikan pada rnanajemen. Pengaruh faktor manajemen terutama manajemen pakan terhadap LO, masih meragukan hasilnya, karena sementara peneliti mendapatkan peningkatan LO seiring dengan peningkatan kadar protein ransum (Davies et a/., 1981 ; Knight et al., 1 981 ), namun peneliti lain mendapatkan hasil yang tidak berbeda (Cumming et al. (1975). Pada dornba yang berasal dari P. Jawa, fnounu

eta/.

(1985) menunjukkan bahwa pada induk-induk yang sebelumnya telah beranak banyak, peningkatan kualitas pakan mengakibatkan peningkatan LO, namun tidak begitu halnya pada induk- induk yang beranak tunggal. Hasil ini menerangkan mengapa pada induk-induk non karier dan heterosigot akan gen FedF tidak tampak adanya pengasuh faktor manajemen, sehingga dapat dikatakan tujuan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan ("flushing") untuk rnendapatkan peningkatan LO hanya efektif pada ternak- ternak yang membawa gen prolifik.

(7)

55 Hasil penting lainnya adaiah dengan meningkatnya bobot badan ternak sebesar 1 kg diiringi pula dengan meningkatnya LO sebesar 0.03 (P4.01). Hal tersebut lebih menjelaskan bagaimana terjadinya peningkatan laju ovulasi pada ternak-ternak dengan terjadinya perbaikan manajernen pakan. Smith (1985) dalam ulasannya rnenyimpulkan bahwa banyak faktor yang mernpengaruhi laju pencernaan pakan dafarn rumen, juga interkonversi antara protein dan energi, yang kemudian akan menyebabkan perbedaan-perbedaan respon laju owlasi terhadap perbaikan pakan. Respon ini juga akan dipengaruhi oleh bobot badan indu k akibat perbedaan pakan sebelumn ya.

Selanjutnya, Fahmy (1992) mendapatkan peningkatan LO sebanyak 1 4696 rebih banyak pada betina-betina yang disembelih pada bobot badan 42 kg dibandingkan dengan betina yang disembelih pada bobot badan 31 kg, walaupun perbedaan ini cukup tinggi namun secara statistik tidak berbeda nyata.

Daya Hidup Embryo:

Daya hidup embryo

(DHE)

didefinisikan sebagai perbandingan jumlah anak yang lahir dibagi dengan jumlah "corpus luteum" dari kedua indung telur yang dicatat pada masa perkawinan dikatikan dengan 100 persen, dan hanya terbatas pada induk-induk dengan LO lebih besar dari satu. Hat ini disebabkan pada ternak dengan LO satu buah tidak diketahui apakah pada &at ternak melontarkan set telur terjadi pembuahan atau tidak, sedangkan pada temak- ternak dengan LO lebih dari satu, terjadinya pembuahan terlihat dari adanya

(8)

kelahiran anak (Bojenane et

a/.,

f 991). Apabila pengamatan dapat dilakukan sejak awal terjadinya konsepsi, hasilnya akan iebih menarik karena induk-induk dengan LO satu buah dapat diikut sertakan dalam pengamatan. Narnun karena terbatasnya sarana yang digunakan, perhitungan DHE hanya dilakukan berdasarkan pada hasil akhir dari kebuntingan yaitu pada saat beranak, sehingga tidak dapat dicatat berapa jumlah sel telur yang terbuang karena tidak terbuahi. Gambar 2, rnernperlihatkan bahwa dari tahun ke tahun terlihat adanya fluktuasi dari nitai DHE. Hat ini disebabkan pengaruh dari kondisi pakan yang kernudian mernpengaruhi kondisi induk pada awal kebuntingan. Pada kondisi pakan rendah kematian embrio pada awal kebuntingan atau kematian anak sekitar kelahiran dari induk-induk genotipe Fec.JF~ec.JF akan sangat tinggi, akibatnya induk-induk ini tidak berlaktasi dan mempunyai kesernpatan untuk memperbaiki kondisi tubuhnya pada masa perkawinan yang akan datang, sebatiknya pada induk-induk dengan genotipe FecJ'FecJ* pada kondisi pakan buruk masih mampu untuk rnenyusui anaknya, narnun sebagai akibatnya kondisi tubuh induk menjadi Iebih buruk dibandingkan induk-induk yang tidak laktasi karena gagal bunting atau karena terjadinya kernatian di ni pada anak yang dilahirkan. Perbedaan dari kondisi tubuh induk pada saat perkawinan inilah yang membuat terjadinya perbedaan pada daya hidup ernbrio dari tahun ketahun pada ternak dengan genotipe yang berbeda.

(9)

Gambar 2. Rataan daya hidup embrio (DHE) pada masing- masing genotipe dari tahun f 983-1 993.

Rataan DHE pada penelitian ini adalah 85.74%

(N=770;

SD-21.61

YO

dan CV-25.2%). DHE dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan manajemen (P4.01). dan oleh PKB (P4.01). Bradford etal. (1989) melaporkan adanya DHE yang lebih rendah pada induk-induk muda dibandingkan dengan induk-induk dewasa. Daiam penelitiannya Bradford et

a/.

(1974) menggunakan teknik transfer embrio pada domba-domba yang prolifik (Finnish Landrace) dan domba-domba yang kurang prolifik (Oxford Down, Border Leicester, Southdown, Tasmanian Merino, Welsh mountain dan Soay) dari hasil penelitian didapatkan DHE rata- rata sebesar 69% dan tidak dipengaruhi okeh bangsa dari embrio yang ditransfer. Pada domba Romanov ditaporkan DHE sebesar 82% pada ternak muda dan

(10)

86.3% pada ternak dewasa (Fahmy, 1989). Terlepas dari metoda yang digunakan untuk mendapatkan nilai tersebut, dapat dinyatakan DHE dari domba- domba dari P. Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan DHE dari domba yang beiasal dari negara beriklim dingin. DHE pa& penelitian ini juga lebih tinggi dibandingkan DHE yang telah dilaporkan oleh tahlou-Kassi dan Marie (1985) pada domba D'man dari Maroko (DHE=75%).

Tabel f 0. Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan galat baku (SE) dari daya hidup embryo (%) pada tiga genotipe prolifikasi dengan rnanajemen yang berbeda.

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada satu tajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (F30.05).

Mana- Genotipe

jemen

Pada induk-induk dengan genotipe FecJ'FecJ' tidak ada pengaruh manajemen yang diterapkan terhadap nilai persentase DHE, demikian pula pada

F~CJ'F~CJ' F ~ C J ~ F ~ ~ J ' N LSM SE 139 88.40" (2.46) 798 9 0 . 7 8 (1.66) 108 89.1Y (2.21) 89.23 MNJ-1 MNJ-2 MNJ-3 Rataan: F ~ C J ~ F ~ C J ~ N LSM SE 38 90.33b (3.92) 84 80.90b (2.44) f03 75.2fe (2.20) 82.15 N LSM SE 28 86.79' (4.50) 45 82.31- (3.30) 27 90.85a (4.17) a.65

(11)

59 induk-induk dengan genotipe FecJFFecJ+. Namun perlu diingat bahwa nilai DHE dari fernak dengan genotipe FecJ'FecJ', tidak melibatkan induk-induk yang menghasilkan LO satu buah, sehingga dapat dikatakan nilai DHE dari ternak- ternak FecJ'FecJ' hanya berasal dari induk-induk yang menghasitkan LO dua buah pada saat dilakukan pengamatan.

Pada induk-induk FecJF~ecJF, membaiknya manajemen yang diterapkan (MNJ-3) mengakibatkan turunnya persentase DHE. Hal ini erat kaitannya dengan peningkatan LO akibaf rnembaiknya manajemen yang diterapkan pada MNJ-3, narnun meningkatnya angka LO ini dibatasi oleh kapasitas tampung uterus (KTU), sehingga meningkatkan jumlah embrio yang mati seperti yang terli hat pada Tabel 1 1.

Tabel 11. Daya hidup embryo (DHE) berdasarkan taju ovulasi (LO) induk dan kapasitas tampung uterus (KTU).

LO N DHE (%) KTU' 2 448 90.07 1.80 3 222 84.53 2.54 4 76 73.68 2.95 5 17 61.1 8 3.06 6

7

38.10 2.29

Tabel 1 1 menunjukkan meningkatnya LO diiringi pula dengan menurunnya DHE. Meningkatnya satu buah LO diiringi dengan menurunnya DHE sebesar

(12)

60

12.7%, sedangkan Lahlou-Kassi dan Marie (1 985) rnelaporkan penurunan DHE pada dornba D'rnan sebesar 11% dengan bertambahnya satu buah LO. Selanjutnya Boujenane

eta/.

(1 991) rnelaporkan hasil yang serupa pada dornba D'man yaitu rataan DHE untuk induk-induk dengan LO 2.3 dan 14 buah sebesar 92, 70 dan

57

persen, sedangkan Bradford et a!. (1 989) mefaporkan untuk

L O

yang sarna dari bangsa yang sarna sebesar 90.82 clan 69 persen.

Hasil perhiktngan kapasitas tarnpung uterus (KTU) rnenunjukkan bahwa KTU optimum pada ternak ini dicapai pada angka 3.06 anak per induk, sedangkan induk-induk FecJF~edF rnernpunyai LO yang lebih besar dari 3.06 sehingga terjadilah peningkatan angka kernatian ernbrio yang tercerrnin pada penurunan persentase angka DHE untuk ternak hornosigot. Bindon et

at.

(1 978)

rnelaporkan kapasitas tarnpung uterus pada dornba Booroola dan Merino dengan cara mentransfer ernbrio sebanyak 3 buah kedalarn uterus betina dan ternyata kedua bangsa dornba tersebut rnempunyai kapasitas uterus yang rnirip yaitu antara 2.35-2.60 buah ernbrio per induk. Hasil penelitian ini rnenunjukkan pada LO=3, didapatkan KTU sebesar 2.54, sehingga dapat dikatakan dornba ini rnernpunyai KTU yang sarna dengan dornba Booroola.

Hal lain yang rnenarik untuk diperhatikan adalah pertarnbahan bobot badan induk rnulai dari saat kawin sarnpai dengan saat beranak (PKB). Meningkatnya

1 kg PKB diiringi dengan penurunan DHE sebanyak 0.62 persen. Hal ini terjadi karena kernatian embryo pada saat kebuntingan menyebabkan tern&-ternak ini rnernpunyai kelebihan zat-zat rnakanan dibandingkan dengan ternak-ternak yang

(13)

6 1 memelihara semua embrionya sampai saat kelahiran. Hal ini mengakibatkan pertarnbahan bobot badan induk yang lebih tinggi. Hasil ini rnenunjukkan bahwa walaupun jurnlah anak yang dikandung oleh seekor induk telah diestimasi dengan cara laparoskopi, namun rnasih perlu dilanjutkan dengan perneriksaan kebuntingan agar pernberian pakan dapat dilakukan secara efisien menurut jumlah anak yang dikandungnya.

Jumlah Anak Sekelahiran:

Gambar 3 mernperlihatkan jurnlah anak sekelahiran (JAS) dari rnasing- rnasing genoiipe dari tahun ke tahun. JAS dari ternak dengan genotipe FecJF~ecJF tampak lebih bervariasi dad tahun ke tahun. Hal ini mernbuktikan bahwa jurnlah anak lahir pada indukinduk prolifik erat kaitannya dengan lingkungan. Fahmy (1989) melaporkan adanya pengaruh musirn pada saat perkawinan terhadap JAS pada domba Romanov, JAS tertinggi didapatkan pada musim gugur (3.18 ekorhnduk) dan JAS yang terrendah didapatkan pada musim panas (2.50 ekorlinduk).

(14)

rnasing genotipe dari tahun 1981-1 993.

Rataan JAS atau yang sering disebut besar liter pada penelitian ini adalah 1.77 ekor per induk per kelahiran (N=1437; SD-0.64 CV=35.99%). Distribusi JAS dari penelitian ini adalah 44.5% tunggal. 37.640 kernbar dua, 14.5% triplet. 3.1 % kernbar ernpat dan 0.3% anak kernbar 2 lirna. Maijala (1 996) rnelaporkan bahwa pada dornba finnsheep dijurnpai induk-induk yang beranak 9 ekor per kelahiran, induk induk dengan 8 ekor an& sering dijurnpai dan indukinduk dengan

7

ekor anak selalu terjadi setiap tahun. Lahlou-Kassi dan Marie (1 985) rnelaporkan bahwa domba D'man dari Maroko mempunyai distribusi jurnlah anak sekeiahiran sebesar 29%, 47.5Oh. 17Oh, 5% dan 1.5% untuk induk-induk yang

(15)

63 beranak tunggal, kernbar dua, tiga, empat, dan lima secara berturut-tunrt. Hasil tersebut serupa dengan yang didapatkan pada penelitian ini.

Distribusi JAS berdasarkan genotipenya terlihat pada Gambar 5. Hasil ini lebih memperkuat Iagi laporan-laporan mengenai kemampuan domba Jawa untuk beranak banyak seperti yang dilaporkan oleh Mason (1 980), &adford e t a . (1 986, t 991), dan lnounu et

a/.

(1 993).

1 P 1 B S 1 a s 4 6

Jumlah

Anak Seketahlron (JAS)

Gambar 4. Distribusi

(YO)

jumlah anak sekelahiran berdasarkan genotipe.

Sumber keragaman yang mempengaruhi nilai JAS addah genotipe (Tabel 12; Pd.Ot), manajemen (Tabet 13; P4.05), paritas induk (PcO.05) dan

(16)

pertambahan bobot induk (PKB; Lampiran 3; P4.01). Pada domba Booroola Merino, yang telah terlebih dahulu dinyatakan produktivitasnya dipengaruhi oleh gen prolifik dengan simbul gen ~ e c B ~ , rataan JAS pada masing-masing genotipenya lebih tinggi dibandingkan JAS dari domba pada penelitian ini, yaitu masingmasing 1.48,2.38 dan 2.74 untuk genotipe FecB+FecB+, ~ e c B ~ F e c B + dan FecBFFecBF secara berturut-turut (Piper et a/.,

t

985).

Tabel

12.

Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) jumlah anak sekelahiran (JAS) dari tiga genotipe yang berbeda.

Keterangan: Huruf superskrip yang sarna pada satu Iajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (PS.05). Genotipe:

FecJ'FecJ'

FecJF~ecJ+

~ e c J ~ ~ e c J ~

Seperti sudah diduga sejak semula terdapat perbedaan JAS antara ternak- ternak non-karier dengan ternak karier gen FecJF. Secara keseluruhan, satu duplikat gen FedF, terlihat meningkatkan jumlah anak sekelahiran sebanyak 0.80 ekor. Piper et a/. (1985) mendapatkan pada domba Booroola Merino satu

Jumlah anak sekelahiran (ekorhnduk) N 542 632 263 LSM 1 .22b 2-02" 2.50" SE (0.03) (0.03) (0-04)

(17)

65 duplikat pertama gen ~ e c B ~ rneningkatkan JAS sebanyak 0.90 ekor sedangkan untuk satu duplikat yang kedua sebanyak 0.40 ekor per induk.

Tabel 13. Jumlah pehgamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) jumlah anak sekelahiran (JAS) dari manajemen yang berbeda.

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada satu lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05). Manajemen

MNJ-1

MNJ-2

MNJ-3

Secara keseluruhan perbaikan manajemen menyebabkan terjadinya kenaikan JAS, terutama dari MNJ-1 ke MNJ-2 terjadi peningkatan JAS sebesar 4.3 persen. Trdak demikian halnya apabila peningkatan dilakukan dari MNJ-2 ke MNJ-3. Hohenboken dan Clarke (1 981) melaporkan adanya peningkatan JAS pada domba keturunan Finnsheep yang dipelihara di daerah beririgasi, yang mencerminkan ketersediaan pakan yang kontinyu, dibandingkan dengan betina yang dipdihara di daerah pegunungan yang ketersediaan hijauannya sangat tergantung pada musim. Namun sebaliknya pada domba keturunan Cheviot pada

Jumlah anak sekelahiran (ekorhnduk) N 446 705 286 LSM 1 .83a 1.91 1-99''

SE

(0.04) (0.02) (0.04)

-

(18)

daerah yang beririgasi dihasilkan JAS yang lebih rendah dibandingkan dengan JAS dari betina Cheviot yang dipelihara pada daerah pegunungan. Sdanjutnya Reese

eta/.

(1 990) melaporkan adanya kenaikan JAS dengan peningkatan enerji pada pakan tambahan yang diberikan, JAS meningkat dari 1.27 rnenjadi 1.49 pada dornba Sumatera yang beranak pertama kali. Hasil yang berlawanan dilaporkan oleh Maijala (1996) bahwa tidak ada perbedaan JAS antara induk- induk Finnsheep yang dipelihara di negara-negara tain dengan yang dipelihara di Finlandia, hal ini menunjukkan bahwa pada dornba Finnsheep JAS yang tinggi tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana domba tersebut dipelihara.

Tabel 14. Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari anak sekelahiran (JAS) domba pada berbagai tingkat paritas.

Keterangan: Huruf. superskrip yang sama pada satu lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (Ps0.05). Paritas MNJ-1 N LSM SE MNJ-2 N LSM SE 1 2 3 4 5 MNJ-3 N LSM SE 75 1 .81a 0.08 82 1 .93a 0.07

55

2.04b 0.09 48 2.28b 0.09 26 1 .91a 0.13 179 1.71a 0-05 124 1 .93b 0.06 47 1 .90a 0.10 40 1.76a 0.09 56 1 .86a 0-05 765 1.8Sa 0.05 203 1.87% 0.05 67 1 .85a 0.05 103 1 .9Pb 0.06 67 2.05b 0.08

(19)

67 Angka-angka pada Tabel f 4 di atas rnemperlihatkan kenaikan JAS dengan bertarnbah dewasanya induk. Ternak yang beranak untuk kedua kalinya mernpunyai jurnlah anak sekelahiran 6.3% tebih tinggi dibandingkan ternak-ternak primipara (Lampiran 3). Pada MNJ-1 JAS tertinggi dicapai pada paritas kedua. pada MNJ-2 pada paritas ke 4, dan pada MNJ-3 pada paritas ketiga dan baru rnenurun pada paritas kelirna. Fahmy (1 989) melaporkan adanya kenaikan JAS

pada dornba Romanov rnulai dari paritas 1 sampai paritas 2 6, secara berturut- turut sebagai berikut: 2.07, 2.69, 2.92, 2.89, 3.54 dan 3.07 ekor per induk. Pola yang serupa juga ditemukan pada dornba St. Croix (Fitzugh dan Bradford, 1983) dan pada dornba Surnatera (Iniguez et at., 1991 ). Young dan Dickerson (1 991) mendapatkan hasil yang jauh lebih tinggi pada dornba persilangan Finnsheep dan Booroola Merino. Pada dornba persilangan tersebut kenaikan JAS pada paritas kedua sebesar 22.8 persen. Fahmy (1 996) dalam studi pustakanya rnelaporkan penelitian Marin dan Peyrand (1 975) pada dornba Romanov dari 6 kdornpok ternak di Perancis yang rndiputi 1500 kelahiran, didapatkan bahwa JAS meningkat dari 2.87 ekor dari induk yang berumur 2 tahun hingga mencapai 3.32 ekor dari induk-induk yang berumur 4 tahun, tetapi hanya 2.07 ekor dari induk- induk yang dikawinkan pada umur 7-8 bulan.

Meningkatnya satu kg PKB diiringi dengan rnenurunnya jurnlah anak sekelahiran sebanyak 0.04 ekor (PcO.01). Hal ini menunjukkan pada induk-induk yang beranak banyak, seluruh zat rnakanan yang didapat digunakan untuk rnerawat kebuntingan, sehingga peningkatan bobot badannya lebih rendah

(20)

68

dibandingkan betina-betina yang beranak lebih sedikit jumlahnya. Narnun, dapat pula disebabkan kernatian ernbrio yang tinggi terjadi pada betina yang telah dideteksi rnenghasilkan LO tinggi pada saat perkawinan dan terlanjur diberi pakan yang lebih tinggi dibandingkan betina yang rnenghasilkan LO rendah, sehingga tat-zat makanan yang seharusnya digunakan untuk rnerawat sejurnlah besar anak tidak terrnanfaatkan dan tertirnbun rnengakibatkan rneningkatnya bobot badan induk. Hasil sebdiknya pada dornba Surnatera dilaporkan oleh Reese et

a/.

(1

990),

didapatkan bahwa pada kelornpok betina yang rnernpunyai PKB <70 g/hari dihasilkan kelahiran anak kembar sebanyak 20% sedangkan pada kelornpok betina yang rnernpunyai PKB antara 70-85 ghari dihasilkan kelahiran anak kernbar sebanyak 60-75 persen. Narnun perlu diingat bahwa dornba pada penelitian tersebut rnernpunyai rataan JAS yang lebih rendah dibandingkan pada penetitian ini.

Bobot Lahlr Total Per Induk:

Garnbar 5 rnemperlihatkan rataan bobot lahir total (BL) per induk dari

rnasing-rnasing genotipe dari tahun ke tahun. Secara urnurn BL dari induk dengan genotipe FedF~ec.JF lebih berfluktuasi dan tebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya.

(21)

Gambar 5. Rataan total bobot lahir per induk (BL) pada masing- rnasing genotipe dari tahun 1981-1993.

Rataan BL pada penelitian ini adalah 3.43 kg per induk per kelahiran (N-f

437;

SD=1.00; CV=29.21%). lniguez et

a/.

(1 991 ) rnelaporkan pada dornba lokal Sumatera rataan SL per induk per ketahiran sebesar 2.74

kg.

Rendahnya EL pada domba Surnatera erat hubungannya dengan bobot induk yang rendah pula (22.2 kg), sedangkan pada penelitian ini bobot tubuh induk rata-rata pada saat beranak adalah 26.4 kg. Hafez (1969a) rnelaporkan bahwa induk yang berukuran tubuh kecil akan membatasi ukuran fetus agar proses kelahiran menjadi mudah, sebaliknya induk-induk yang berukuran besar akan memberikan pengaruh yang rnenguntungkan pada anaknya, setidaknya pada ukuran tubuh anak pada saat dilahirkan. Donald dan Russell (1 970) metaporkan bahwa EL erat

(22)

hubungannya dengan bobot induk saat kawin, induk dengan bobot kawin sebesar 25 kg rnempunyai anak dengan B t sebesar 9.6% dan 15.2Oh dari bobot kawin

induk untuk anak tunggal dan kernbar dua, sedangkan induk dengan bobot kawin

t

00 kg mempunyai an& dengan BL sebesar 6.5% dan

10.6%

dari bobot kawin induk untuk anak tunggal dan kernbar dua secara berturut-turut. Selanjutnya lnounu et a/- (1995) melaporkan bahwa dengan menyilangkan domba Garut dengan dornba St. Croix didapatkan bobot lahir yang sama antara keturunan domba Garut murni dengan hasil persilangannya, sedangkan hasil persilangan domba St. Croix dengan domba lokal Sumatera rnasih lebih kecil dibandingkan persilangan St. Croix dengan Garut. Hasil ini rnenunjukkan bahwa ukuran tubuh induk merupakan faktor pembatas dari BL. Hasil yang sejalan dilaporkan oleh Hunter (3 956)- yang melakukan perkawinan silang resiprokal antara Border Leicester yang berukuran tubuh besar dengan Welsh yang berukuran tubuh kedl. Anak dari induk berbadan besar lebih besar dibandingkan dari induk yang

berbadan kecil. Pejantan kecil mempunyai sedikit pengaruh pada ukuran tubuh anak dari induk besar dibandingkan dengan anak dari pejantan besar dengan induk kecil.

Surnber-surnber keragarnan yang rnempengaruhi SL pada peneiitian ini adalah genotipe, manajemen dan interaksi manajemen dan paritas induk (P4.01), sedangkan pertambahan

bobot

induk (PKB) tidak mempengaruhi BL (F30.05). Angka-angka pada Tabel 15 rnenunjukkan adanya peningkatan BL, satu duplikat gen F ~ C J ~ meningkatkan BL sebesar 0.78 kg.

(23)

Tabel 15. Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) bobot lahir (BL) dari tiga genotipe yang berbeda.

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada satu fajur yang sama rnenunjukkan tidak berbeda nyata (Ps0.05). Genotipe:

FecJ'FecJ' F e d F ~ e d '

F ~ C J ~ F ~ C J ~

Selanjutnya perbedaan yang tejadi terutama antara genotipe FecJ'FecJ' dengan genotipe FecJFFecJ' maupun dengan genotipe FedFFecJF dapat dikatakan disebabkan oleh meningkatnya jurnlah anak yang dilahirkan. lnounu

et

a/.

(1994) melaporkan adanya kenafkan b b o t lahir per induk dengan meningkatnya jumlah an& fahir. Masing-masing 2.6, 3.2, 4.5 dan 5.5 kg untuk induk-induk yang beranak tunggal, kembar dua, tiga dan empat secara berturut- turut. Priyanto et a/. (1992) melaporkan ternak-ternak di desa-desa di daerah Girebon dengan jumlah anak sekelahiran 1, 2, dan 3 secara berturut-turut mempunyai BL sebesar 2.6, 3.3, dan

6.0

kg bila dikandangkan

dan

bila digembalakan didapafkan BL sebesar 2.1 dan 3.0 untuk ternak dengan jumlah anak sekelahiran 1 dan 2 secara berturut-turut.

Bobot lahir total (kglinduk) N 542 632 263 LSM 3.10" 3 . e 4.06" SE (0 -05) (0.05) (0.07)

(24)

Tabel 16. Jumlah pengarnatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) bobot lahir (BL) dari rnanajemen yang berbeda.

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada satu lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (rn.05). Manajemen

MNJ-1 MNJ-2 MNJ-3

Perbaikan manajernen baru terlihat meningkatkan BL pada MNJ-3 sebanyak 0.56 kg dibandingkan pada MNJ-t (Tabel 76). Hafez (1969a) menyatakan bahwa pada keadaan induk sangat kekurangan gizi (undernourishment) fetus akan terus turnbuh dan akan rnencapai bobot lahir yang mendekati normal. Namun pada kondisi tertentu dijumpai pula bobot fetus yang proporsional dengan jumlah kalori yang dikonsumsi induk. Ituiah sebabnya pada penelitian ini antara MNJ-1 dan MNJ-2 tidak terdapat perbedaan BL pada rnasing- rnasing genotipenya. Narnun pada MNJ-3 perbedaannya rnenjadi jelas terlihat. Hasil yang sejalan dilaporkan oleh Priyanto et al. (t992) bahwa

BL

pada ternak dornba yang dikandangkan di daerah Cirebon lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang digernbalakan, karena kondisi padang pengembalaan yang lebih rniskin pakan dibandingkan dengan induk-induk yang dikandangkan disamping rnendapat pakan hijauan, peternak biasa pula rnemberikan pakan tarnbahan.

Bobot lahir total (kghnduk) SE (0.06) (0.04) (0.07) A N 446 705 286 LSM 3 . W

3.52"

4.04b

(25)

73 Tingkat paritas induk menunjukkan kedewasaan seekor induk. Hal ini terlihat dari kian meningkatnya BL dengan bertarnbahnya pengalaman ternak datam beranak (Tabet 17).

Tabel 17. Jumlah pengamatan (N). rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari bobot lahir (BL) domba pada berbagcti tingkat paritas.

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada satu lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (Pz0.05).

Paritas 1 2 3 4 5

Ternak yang beranak untuk kedua kalinya menghasilkan BL yang lebih berat dibandingkan ternak-ternak yang beranak untuk pertama kalinya, dan terus meningkat dengan bertambah dewasanya seekor induk. Hal ini terjadi pada semua kondisi manajernen yang diterapkan. Hasif yang sejalan dilaporkan pula oleh Singh eta/. (1 985) yang mendapatkan BL dari induk "primipara" lebih tinggi

MNJ-1 N LSM SE 179 2.91a 0.08 124 3.65b 0.09 47 3.55b 0.15 40 3.52b 0.16 56 3.77b 0.14 MNJ-2 N LSM SE 165 3.15* 0.08 203 3.Wab 0.07 67 3.3? 0.08 103 3.77 0.10 67 3.95C 0.12 MNJ-3 N LSM SE 75 3.12% 0.12 82 3.91b 0.1 1 55 4.29 0.14 48 4.670 0.15 26 4.1Sbc 0.20

(26)

dibandingkan dengan BL dari induk "pluripara" (2.78 vs 3.20 kg). Hafez (1 969a) menyatakan bahwa paritas induk rnernpengaruhi derajat perkembangan uterus dan vaskularitas dari uterus, yang pada gilirannya kondisi ini rnempengaruhi BL. Narnun dinyatakan puta pada induk-induk yang telah tua dan dengan pengalaman beranak yang banyak, uterus akan dipenuhi oleh lernak dan ha1 ini mengakibatkan pengaruh yang negaiip pula terhadap bobot lahir anak.

Daya Hidup Anak:

Garnbar 6 mernperlihatkan rataan daya hidup

anak

(DHA) pra sapih dari masingmasing genotipe ternak dari tahun ke tahun. Secara urnurn induk dengan genotipe FecJFFecJF mempunyai DHA yang paling rendah dibandlngkan genotipe

lainnya. Seperti telah diterangkan di atas induk-induk dengan genotipe F ~ C J ~ F ~ C ~

Iebih dipengaruhi oleh lingkungan dibandingkan dengan ternak-ternak dengan genotipe lainnya, sedangkan induk-induk dengan genotipe FecJ'FecJ' lebih tahan terhadap fluktuasi kondisi lingkungan. Dengan rnemperhatikan grafik JAS pada Gambar 3 dan grafik

DHE

pada Garnbar 6, rnaka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kenaikan JAS diikuti dengan penurunan DHE.

(27)

Garnbar 6. Rataan daya hidup anak pra-sapih per inctuk (DHA) pada masingmasing genotipe dari tahun 1981 -1 993.

Hasil yang sejalan telah dilaporkan oleh lnounu et

al.

(1986) yang rnendapatkan kernatian anak pada dornba ekor tipis yang rneningkat dengan rneningkatknya jurnlah anak sekeiahiran, masing-masing t 6.7, 18.4. 35.5. 42.9 dan 60% untuk JAS 1, 2, 3, 4, dan 5 secara berturut-turut.

Rataan DHA prasapih pada penelitian ini adalah 73.93% (N=1437; SD=34.26; GV=46.36%). Sumber keragarnan yang mempengaruhi nilai DHA adalah interaksi genotipe dan rnanajernen (P4.06). paritas induk (Pe0.05) dan pertarnbahan bobot induk (PKB. Pc0.01).

(28)

(LSM) dan salah baku (SE) dari daya hidup anak (DHA) dari tiga galur prolifikasi pada manajernen yang berbeda.

Keterangan: Huruf supedrip yang sama pada satu lajur yang sama rnenunjukkan tidak berbeda nyata (F30.05).

Mana- jemen

MNJ-1

MNJ-2

MNJ-3

Secara keseturuhan bertarnbah baiknya manajernen yang diterapkan mengakibatkan rneningkatnya DHA (Lampiran 5). Hafez (1 969a) rnenyatakan bahwa anak dari induk-induk yang kekurangan pakan secara umurn akan sedikit lebih ringan bobot lahirnya dibandingkan dengan anak dari induk-induk yang cukup pakan dan juga anak dari induk-induk yang kurang pakan akan lahir prernatur dan lebih ringan dibandingkan dari anak yang lahir dengan tama kebuntingan yang normal. Hat ini pula yang menyebabkan kernatian yang lebih tinggi pada anak-anak yang dilahirkan dari induk dengan manajernen yang buruk. Selanjutnya dikatakan pula bahwa induk yang menerirna pakan bumk selama akhir kebuntingan rnenyebabkan pengurangan kandungan glikogen pada otot

Genotipe FecJFFecJF N LSM SE 59 43.T (4.57) 121 61.e (3.15) 83 71 .QC (3.89) FecJ'FecS N LSM SE 174 79.8' (2.79) 272 86.6a (2.18) 96 86.6a (3.64) ~ e o J f ~ e o ~ ' N LSM SE 213 64.4e (2.70) 312 75.& (2.02) 107 75.e (3.62)

(29)

77

fetus dan terutama hati fetus. Penimbunan glikogen pada fetus akan meningkat pada akhir kebuntingan dan glikogen ini akan bertindak sebagai sumber energi sesaat setelah kelahiran, itulah sebabnya nutrisi induk yang burok dapat meningkatkan kematian anak saat kelahiran. Hat ini sejalan dengan hasil penelitian lnounu (1991) yang melaporkan bahwa 70 persen dari total kematian prasapih terjadi pada sekitar kelahiran. Selanjutnya Boujenane (1996)

melaporkan bahwa kematian yang tinggi pada awal kelahiran disebabkan oleh BL yang rendah dari JAS yang tinggi. Owens

eta/.

(1 985) melaporkan bahwa pada semua tingkat JAS, anak-anak domba yang lebih berat bobot lahirnya lebih cepat berdiri dan menyusu, sehingga meningkatkan DHA setanjutnya kenaikan satu kg BL meningkatkan DHA sebesar 28 persen.

Kehadiran gen FecJF berakibat negatip terhadap DHA. Pada kondisi MNJ- 1, ternak homosigot ( ~ e c . J ~ F e c ~ ~ ) mempunyai DHA yang paling rendah. Narnun sebaliknya pada ternak-ternak prolifikasi rendah (FecJ'FecJ'), dengan MNJ-1, angka DHA telah menyamai angka DHA pada ternak-ternak pembawa gen Fec.IF. baik pada kondisi MNJ-2 maupun MNJ-3. Jelas terlihat bahwa ternak-ternak dengan prolifikasi rendah (FecJ'FecJ") dapat bertahan dengan kondisi MNJ-1. Perbd~kan manjemen memang menghasilkan DHA yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan pada induk-induk prolifikasi rendah (FecJ+FecJ+) hanya ada 17% dari induk yang melahirkan anak kembar dua. Pada kondisi demikian kematian anak lebih banyak disebabkan oleh induk yang tidak mau menyusui anaknya baik karena kondisi kelenjar susunya yang kering atau adanya infeksi pada puting

(30)

Pada ternak-ternak homosigot ( ~ e c ~ ~ f e c ~ ~ ) penerapan MNJ-1 menghasitkan DHA paling rendah dari semua kelompok. Hal ini dapat dirnengerti karena pada kelompok ini ada 84% dari induk yang melahirkan anak kembar dua atau lebih. Kekurangan gizi pada induk-induk ini akan berakibat buruk, karena fetus akan berebut untuk mendapatkan gizi yang mernang tdah terbatas. Akibatnya dihasilkan anak yang bobot Iahirnya beragam. Pada anak-anak dengan bobot badan rendah biasanya kondisi tubuhnya lemah, lambat untuk berdiri atau sarna sekali tidak dapat berdiri dan menyusu pada induknya. Hal ini rnenyebabkan kernatian anak sangat tinggi. Owens et al. (1 985) melaporkan satu rnenit perpanjangan waktu dari sejak kelahiran ke saat anak mulai belajar berdiri, berdiri atau belajar mencari puting susu induk mengakibatkan menurunnya DHA sebesar 1 persen. Shrestha et

a/.

(1 992) melaporkan penurunan DHA dengan meningkatnya jumlah an& yang dilahirkan. Pada

anak

tipe kelahiran satu didapatkan DHA=84%, dan menurun dengan kenaikan tipe kelahiran, sehingga pada tipe kelahiran 5 daya hidupnya hanya sebesar 55 persen. Selanjutnya Bradford (1 972) dan Hinch

e

f

a/.

(1 985) melaporkan adanya hubungan yang erat antara bobot Iahir dan daya hidup anak. tnounu et

al.

(1993) melaporkan bahwa pada anak tunggal, DHA hanya 29% dipengaruhi oleh bobot lahir, sedangkan pada ternak kelahiran 2 tiga, 51% dari DHA dipengaruhi oleh bobot tahir.

Peningkatan manajemen ke MNJ-2 menghasilkan DHA yang lebih tinggi, narnun peningkatan lebih lanjut

ke

MNJ-3, secara statistik tidak terlihat adanya

(31)

79 peningkatan yang nyata (P>0.05), kecuali pada induk-induk dengan genotipe F ~ C J ~ F ~ C J ~ terjadi peningkatan DHA sebanyak 9.98% dibandingkan pada MNJ-2. Ha4 ini menunjukan bahwa pada domba dengan genotipe ~ e c ~ ~ F e c J ~ masih dapat ditingkatkan daya hidup anaknya dengan perbaikan manajemen, tidak dernikian halnya dengan domba Barbados Blackbelly, dilaporkan bahwa pada umumnya dornba Barbados Hacbelly tidak mernproduksikan cukup banyak air susu untuk merawat lebih dari dua ekor anak walaupun dipelihara pada kondisi manajemen yang baik (Rastogi, 1996).

Tabel 19. Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecif (LSM) dan salah baku (SE) dari daya hidup anak (DHA) pada berbagai tingkat paritas.

Keterangan: Uuruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata ( M . 0 5 ) . Paritas 1 2 3 4 5

Paritas induk rnernpengaruhi daya hidup anak, seperti juga pada sifat-sifat yang lainnya. Pada paritas pertama DHA lebih rendah 9% dibandingkan pada

Ratan daya hidup anak (DHA)

N LSM SE 41 9 66.84" (3.89) 409 75-4eb (1.86) 269 72.03ab (2.46) 191 72.08ab (2.72) 149 72.67ab (3.08)

(32)

paritas kedua. Pada paritas induk yang ke 2 didapatkan DHA tertinggi, kemudian menurun pada paritas induk yang ke 3 dan bertahan sampai pada paritas ke 5. Hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Shrestha et a/. (1992),

bahwa DHA pada betina-betina muda lebih rendah dibandingkan pada betina dewasa (67% vs 75%). Setiadi et a/. (1 995) melaporkan tidak ada perbedaan yang nyata pada DHA prasapih dengan meningkatnya umur induk dari umur 1 tahun sampai umur 6 tahun pada ternak-ternak di pedesaan di Kabupaten Bogor. Diduga pada sekafa pemilikan ternak yang relatif kecil peternak segera mengelualkan ternak mereka yang tidak produktif, dalarn hat ini adalah induk dengan catatan kematian anak yang tinggi, sehingga pada saat pencatatan tidak didapatkan kematian anak dari induk-induk tua. Sebaliknya Fahmy (1989) melaporkan mortalitas anak yang rneningkat dengan meningkatnya paritas, yaitu masingmasing 21.3, 23.1, 26.3, 29.5, 36.8 dan 30.4% pada paritas 1, 2, 3,

4,

5, dan 6 secara berturut-turut.

Pertambahan bobot induk (PKB) sebanyak satu kg mengakibatkan kenaikan daya hidup anak sebesar 2.3 persen. Perbedaan pertarnbahan bobot badan induk selama kebuntingan dapat terlihat pada Tabel

20.

(33)

Tabel 20. Jumlah pengamatan fN), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari pertambahan bobot badan induk selama kebuntingan (PKB) dari tiga genotipe prolifikasi pada manajernen yang berbeda.

Keterangan: Huruf superskrip yang sarna rnenunjukkan tidak berbeda nyata (Pz0.05). Mana-

jemen

MNJ-1

MNJ-2

MNJ-3

Angka-angka pada Tabel 20 menunjukkan bahwa pacla MNJ-1, ternak dengan genotipe FecJFFecJF paling menderita akibat cekaman kurang pakan, yang ditunjukkan dengan pertumbuhan induk setama kebuntingan yang paling rendah. Hal ini disebabkan semua cadangan kalori induk digunakan untuk merawat kebuntingan dengan jurnlah anak yang banyak. Namun, pada ternak dengan genotipe FecJ'Fed' dengan MNJ-1 pertambahan bobot badan induk selama kebuntingan telah samadengan yang dicapai pada induk-induk pembawa gen FedF pada tingkat MNJ-2. Tidak mengherankan apabila seianjutnya kondisi tubuh induk yang tejadi akibat kebuntirtgan akan berpengaruh terhadap daya hidup anak yang dilahirkan. Apabila nilai PKB pada Tabel 20 ditambah dengan

Genotipe F ~ ~ J + F & + N LSM Sf 174 1.86' (0.28) 272 2.890 (0.21) 96 5.07" (0.35) F & F ~ N LSM SE 21 3 1 .4Ie (0.26) 312 2.41b (0.20) 307 4.W (0.33) ~ e c ~ ~ ~ e c j ~ N LSM SE 59 0.69s (0.53) 121 1.87- (0.32) 83 5.78b (0.36)

(34)

nil4 BC dari masing-masing kelornpoknya, maka hasit dari penjumlahan nilai-nilai tersebut akan mencerrninkan produksi total induk pada saat beranak yaitu berupa pertambahan bobot badannya sendiri dan bobot anak yang dihasitkannya. Selanjutnya apabila bobot lahir total per induk dibagi dengan nilai produksi total per induk maka akan didapatkan angka persentase bobot tahir total dibandingkan dengan produksi totat per induk (Tabel 2 1 ) .

Tabel 21. Persentase (a/) bobot lahir total (BL) dari produksi induk total (PT') dari tiga genotipe prolifikasi dan manajemen yang berbeda.

Angka-angka pada Tabel 21 menunjukkan bahwa pada tingkat MNJ-1 dan MNJ-2, kecuali pada ternak dengan genotipe Fed'FecJ', lebih dari 60 persen dari produksi induk total digunakan hanya untuk produksi anak (BL). Terutarna pada ternak dengan genotipe FecJ'Fec~~ pada MNJ-1, hanya 15 persen saja dari

Manajemen

MNJ-1

MN J-2

MNJ-3 L

produksi total yang digunakan untuk meningkatkan bobot tubuh induk. Padahal Genotipe FecJ'FecJ' BL 3.01 2.89 3.36 ~ e d ' f e d ' Fec.lFFecJF PKB 1.86 2.89 5-03 B U PT 72 60 45 BC 3.66 3.69 4.29 B U PT 85 68 43 BL 3.90 3.93 4.39 PT 4.90 5.78 8.37 PKB 1.41 2.41 4.66 BU PT 61 50

40

PT 5.07 6.10 9.61 PKB 0.69 1.87 5.78 PT 4.59 5.80 10.17

(35)

83 pertambahan bobot tubuh induk pada saat kebuntingan erat hubungannya dengan persiapan induk untuk mernproduksikan air susu. Pada induk-induk yang tercukupi kebutuhan gizinya, kondisi tubuh induk lebih baik dibandingkan induk yang kekurangan gizi, sehingga produksi susu induk akan lebih tinggi dibandingkan dengan induk-induk yang kurang pakan dan daya hidup anakpun akan lebih tinggi. Di sarnping itu pada induk-induk yang tercukupi gizinya penirnbunan glikogen pada otot fetus berlangsung normal. Sesaat setelah kelahiran, anak dornba pertu tenaga untuk berdiri dan menyusu pada induknya. sedangkan pada anak-an& dari induk yang kurang pakan, surnber energi yang diperlukan untuk berdiri tidak tercukupi. Lebih jauh lagi Hafez (1969a) menyatakan kekurangan gizi pada induk bunting mengakibatkan rnernburuknya otot lokomotor, ha1 ini akan menyebabkan keterkarnbatan anak untuk menyusu pada induknya dan mengakibatkan kernatian dini pada anak yang baru lahir.

Bobot Sapih TomF

Per

Induk:

Gambar 7 mernperlihatkan bobot sapih total

(43s)

per induk dari ketiga genotipe ternak dari tahun ke tahun. Ftuktuasi BS dari tahun ke iahun rnenunjukkan adanya pengaruh ketersediaan pakan dan manajemen

.

secara umum

BS

dari induk dengan genotipe FecjFFec.JF lebih tinggi dibandingkan kedua genotipe lainnya. Fahrny (1 989) melaporkan adanya pengaruh musirn terhadap BS pada dornba Rornanov. lnduk-induk yang dikawinkan pada musirn dingin, panas dan gugur menghasilkan 6S masingmasing sebesar 36.1,35.5 dan 45.3

(36)

Gambar 7. Rataan total babot sapih anak per induk (BS) pada masingmasing genotipe dari tahun 1981 -7 993.

Produksi seekor induk dinilai dari jumlah anak dan jumlah kilogram dari anak-anak yang dihasilkannya pada satuan waktu tertentu, yang dalam ha1 ini adalah bobot sapih total. Rstaan

BS

yang didapat dalam penelitian ini adatah 1 3.1 2 kghnduklkelahiran (N=1224; SD=4.33; CV=33.0%). Hasil ini lebih tinggi dari BS yang dilaporkan oleh lniguez eta/. (1991) pada domba lokal Surnatera sebesar 11.45 kg. tetapi tebih rendah dari BS domba-domba Dorset dan Finnsheep dari negeri beriklirn dingin yaitu masing-masing sebesar 21.3 dan 17.6 kg (Iniguez

eta!..

1986), dan juga lebih rendah bila dibandingkan dengan dornba Romanov yang rnempunyai BS sebesar 39.0 kg seperti yang dilaporkan oleh

(37)

Fahmy (1 989).

Nisbah antara produksi anak

(8s)

per induk dengan bobot tubuh induk (BSBB induk) pada penelitian ini adalah 0.55. Nil& nisbah ini lebih tinggi dari yang didapat pada domba Sumatera maupun Dorset dan Finnsheep (Inigues

el

a/.,

1991) yang masing-masing mempunyai nilai nisbah praduksi sebesar 0.52, 0.41 dan 0.42. Hal ini menunjukkan bahwa domba pada penetitian ini mempunyai efesiensi produksi yang tinggi dibandingkan domba-dornba yang disebutkan tadi. BS dipengaruhi oleh genotipe dan manajernen (P4.01; Tabel 22). Secara keseluruhan peningkatan manajemen ke arah yang lebih baik meningkatkan bobot sapih total per induk pada sernua genotipe. Namun pada tingkat MNJ-1, tidak ada keistimewaan dari ternak-ternak pembawa gen ~ e c d ~ , semua induk menghasilkan bobot sapih di bawah I t kg. Hal ini merupakan pencerminan dari kombinasi kondisi tubuh induk yang buruk diiringi rendahnya produksi susu induk, rendahnya bobot lahir anak dan tingginya angka kematian prasapih. Hafez (1969a) menyimpulkan bahwa pada induk-induk yang kekurangan pakan pada saat kebuntingan, tidak saja menyebabkan pertumbuhan yang rendah pada saat fetus rnasih datam kandungan (pranatal) tetapi juga berakibat pada rendahnya pertumbuhan pascanatal. Hal tersebut terbukti setelah dilakukan peningkatan manajemen pakan. Pada MNJ-2 terlihat perbedaan sntara ternak normal dengan ternak pembawa gen FecJF, bahkan pada MNJ-3 ternak-ternak pembawa gen FedF dapat menghasilkan bobot sapih lebih dari 19 kg. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan manajemen ke arah yang lebih baik tidak saja

(38)

memperbaiki kondisi induk tetapi juga sekaligus meningkatkan produksi induk pada saat sapih.

Tabel 22. Jumlah pengamatan

(N)

dan rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari bobot sapih

(6s)

dari tiga galur prolifikasi pada manajemen yang berbeda.

Keterangan: Huruf superskrip yang s a m a pada lajur yang s a m a menunjukkan tidak berbeda nyata (F30.05).

Mana- jemen MNJ-1 MNJ-2 MNJ-3 Rataan --

Hal lain yang mempengaruhi BS adalah interaksi manajemen dan paritas induk (P4.05; Tabel 23) dan PKB

(P4.01).

Namun, lniguez et al. ( 3 9 9 3 ) melaporkan tidak ada pengaruh yang nyata dari paritas induk terhadap BS pada domba Sumatera. Genotipe FecSFecS N LSM SE 138 9.92s (0.40) 242 11.50" (0.29) 89 16.32c (0.48) 12.58 FeolFFeol+ N LSM SE 162 10.lZe (0.39) 273 13.52b (0.27) 97 19.43= (0.48) 14.38 F ~ F ~ C J ~ N LSM SE 37 10.2V' (0.72) 106 14.Wb (0.42) 80 19.44= (0.50) 14.66

(39)

Tabel 23. Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkesil (LSM) dan salah baku (SE) dari bobot sapih

(6s)

pada berbagai tingkat manajemen dan paritas.

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada satu lajur yang sama rnenunjukkan tidak berbeda nyata (F30.05).

Paritas 1 2 3 4 5

Bertambah dewasanya induk diiringi pula dengan meningkatnya kernampuan induk untuk merawat anaknya, sehingga dihasilkan bobot sapih yang meningkat. Pada semua tingkat manajemen bobot sapih tertinggi dicapai pada paritas keempat dan kemudian menurun kernbali pada paritas kelirna. Hasil yang sama dilaporkan oleh Fahmy (1989). yang mendapatkan pada induk-induk dengan paritas 1 , 2, 3, 4, 5, dan 2 6 menghasilkan

BS

sebesar 29.8, 42.2, 41 -2, 38.3, 43.1 dan 39.2 kg secara berturut-turut.

Pertambahan bobot induk (PKB) sebesar satu kg juga diiringi dengan meningkatnya BS sebesar 0.19 kg. Hal ini rnenunjukkan bahwa peningkatan bobot tubuh induk selama kebuntingan berfungsi untuk menjaga kondisi tubuh

MNJ-1 N LSM SE 124 8.62' 0.45 105 9-82? 0.46 36 10.34" 0.74 31 11.376 0.79 41 10.25b 0.69 MNJ-2 N LSM SE 141 12.27* 0.37 186 12.89e 0.33 142 13.80b 0.37 92 13.& 0.46 60 12.85' 0.57 MNJ-3 N LSM SE 69 15.94' 0.54 78 1 8 . e 0.50 51 18.23b 0.61 42 21.1 1" 0.68 26 1 7 . 7 9 0.86

(40)

induk, sehingga mempunyai cukup cadangan sumber energi untuk memproduksikan susu selama masa laktasi. Dari pembahasan sebelumnya terlihat bahwa meningkatnya DHA seiring dengan kenaikan PKB, sehigga dapat dinyatakan bahwa kenaikan PKB tidak saja menaikkan DHA tetapi juga BS dari ternak yang dihasilkan oleh seekor induk.

Bobot lnduk

Pada

Saat Kawin:

Bobol lnduk Smat b w l n

I I

Gambar 8. Rataan bobot kawin induk (BK) pada masing-masing genotipe dari tahun 1981-3 993.

Bobot betina pada saat kawin (BK) dari tahun ke tahun dari ketiga genotipe ternak ditampilkan pada Gambar 8. Fluktuasi BK yang terjadi dari tahun ke

tahun

memperlihatkan adanya pengaruh ketersediaan pakan dan manajemen yang

(41)

89 diterapkan pada saat itu. Secara urnurn induk dengan genotipe FedFFedF mernpunyai BK yang lebih tinggi dari kedua genotipe lainnya.

Bobot betina pada saat kawin (BK)

pada

penelitian ini rnemiliki rataan sebesar 23.49 kg (N=1228; SD=3.71; CV=15.79?h). fnteraksi genotipe dan rnanajernen nyata rnernpenga~hi BK (Pc0.01). di sarnping itu interaksi rnanajemen dan paritas induk juga rnemberikan pengaruh yang nyata (P4.01) terhadap keragarnan BK.

Tabel 24 tidak menggambarkan pola yang jelas mengenai pengaruh MNJ maupun genotipe ternak terhadap BK. Pada ternak dengan genotipe FecJ'FecJ' rnaupun ~ e d ~ F e c . J + tarnpak adanya peningkatan BK akibat pengamh MNJ. terutama apabila MNJ-3 diterapkan, sedangkan pada kelompok ternak dengan genotipe FedFFecJF, tidak terjadi perbectaan pada BK dengan diterapkannya peningkatan rnanajernen ke arah yang lebih baik. Pada ternak dengan genotipe FedFFedF tidak didapatkan perbedaan BK dengan berbedanya tingkat rnanajernen.

(42)

Tabel 24. dumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari bobot s a t kawin (BK) dari tiga galur prolifikasi pada manajemen yang berbeda.

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada satu lajur yang sarna rnenunjukkan tidek bberbeda nyata (R0.05).

Mana- jemen MNJ-1 MNJ-2 MNJ-3 Rataan:

Hampir pada semua bangsa dornba paritas induk adalah merupakan surnber perbeciaan bobot tubuh, demikisn

juga

yang

terjadi pada penelitian ini (Tabel 25). Bobot tubuh induk meningka? terus sejalan dengan meningkatnya paritas induk (Pd).07), dan rnulai rnendatar pada paritas ke 5.

Genotipe F&FecJF N LSM S E 34 25.6Is (0.67) 112 26.2Ze (0.36) 83 25.35a (0.41) 25.73

.

FecSFeoS N LSM S E 133 24.6@ (0.37) 232 24.07' (0.26) 93 25.774 (0.41) 24.81 F ~ F ~ C J + N LSM SE 157 24.91- (0.38) 281 24.77- (0.24) 103 2 6 . l d (0.40) 25.28

(43)

Tabel 25. dumlah pengarnatan, rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari rataan bobot saat kawin (BK) berdasarkan paritas i nduk.

Keterangan: Huruf superekrip yang sama pada satu lajur yang sama rnenunjukkan tidak berbeda nyata (F30.05).

Dari Lampiran 7 terlihat bahwa domba-dornba pada penelltian ini rnernpunyai bobot kawin untuk pertama kalinya sebesar 20.55 kg. Pada semua tingkat manajernen didapatkan BK yang meningkat terus sarnpai paritas kelima (Tabel 25) dan juga secara urnum pada MNJ-3 didapatkan BK yang Iebih tinggi dibandingkan dengan pada MNJ-1 dan MNJ-2. Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan bobot kawin untuk pertama kati dari domba D'Man (26.5 kg) dan dornba Sardi (29.5 kg) yang dilaporkan oleh Lahlou-Kassi et al. (1989). Apabila bobot induk pada paritas ke 5 dijadikan patokan sebagai bobot dewasa tubuh, rnaka ternak-ternak ini dikawinkan untuk pertama kali pada b b o t 70% dari bobot dewasa tubuh. Secara teori dan yang telah urnurn dipraktekkan.

MNJ-3

1

N LSM SE 75 20.7ff 0.44 81 24.23b 0.42 53 26.46O 0.51 45 27.63' 0.56 25 29.7Id 0.75 Paritas 1 2 3 4 5 MNJ-1 N LSM SE 159 20.22' 0.34 89 23.15b 0.42 39 26-12" 0.61 22 26.66Cd 0.81 15 29.04d 0.98 MNJ-2 N LSM SE 192 20.66- 0.28 179 23.48b 0.29 143 23.97 0.32 69 27.91bS 0.45 52 29.08= 0.52

(44)

perkawinan pertarna kali dapat dilakukan apabila betina telah mencapai bobot tubuh 5540% bobot tubuh dewasa, sedangkan rataan urnur kawin pertama kali

pada penelitian ini adalah sebesar 15.1 8 bulan (N-416;SD=4.63). dan umur paling rnuda yang dicapai untuk pertarna kdi kawin dan berhasil beranak adalah 6 bulan (1% dari populasi), ha1 ini menunjukkan bahwa ada potensi untuk beranak lebih dini pada dornba-domba penelitian ini. Hasil yang sarna dilaporkan oleh Maijala (1 996) dikernukakan bahwa kebanyakan domba Finnsheep telah dapat dikawinkan pada umur 7-8 bulan, faktor pernbatasnya adalah ukuran tubuh betina, bahkan pada betina yang turnbuh dengan baik dapat dikawinkan pada urnur 5 bulan. Hal ini dapat terjadi karena pada kondisi pakan sangat baik, perkembangan organ reproduksi berlangsung lebih cepat dibandingkan ternak pada kondisi kurang pakan. Sebagai akibatnya pada saat dilakukan perkawinan tidak terjadi kegagalan kebuntingan. Dibukfikan pula dengan adanya hubungan antara urnur induk saat kawin pertarna kali dengan BK, dan penundaan urnur perkawinan selama satu butan diiringi pula dengan kenaikan BK sebanyak 0.284 kg (P4.01). Atau dengan perkataan lain pada bobot tubuh induk yang rendah terjadi kegagalan kebuntingan, sehingga terjadi penundaan perkawinan ke siklus berikutnya. Pada saat tersebut bobot tubuh induk sudah lebih meningkat, sehingga perkawinan berhasil dengan baik. Hal ini rnernbuktikan diperlukannya penerapan rnanajemen yang baik sehingga ternak dapat turnbuh dengan baik sejak pra-lahir. Hal ini diperlihatkan dengan adanya hubungan antara kenaikan bobot badan calon induk pada saat disapih sebesar satu kg yang diiringi pula

(45)

93 oleh kenaikan BK pada saat pertama kali dikawinkan sebesar 0.500 kg (PcO.01). Makin besar calon induk pada saat disapih makin tinggi pula bobot badan induk ini saat kawin. Masak kelamin yang dini memang diharapkan pada dombailomba yang dipelihara secara intensif. Maijala dan Osterburg (1977) melaporkan adanya domba betina yang telah siap kawin pada umur kurang dari empat bulan pada domba Finnish Landrace. Selanjutnya Fahmy (1 990) melaporkan terjadinya kebuntingan sampai urnur 90 hari kebuntingan pada 11 ekor dari 19 ekor domba Romanov yang baru berumur 3 bulan saat dikawinkan pertama kali.

Satu ha1 yang pertu diingat, bahwa dalam penelitian ini manajemen perkawinan yang diterapkan terpaksa menyesuaikan dengan jadwal kegiatan penelitian atau jadwal ketersediaan dana sehingga perkawinan tidak dilakukan segera setelah ternak-ternak ini mencapai dewasa kdarnin. Dengan demikian masih tefbuka peluang untuk mengarnati lebih mendatam pengaruh perkawinan dini baik dari segi biologis maupun ekonomi pada domba-domba di Indonesia.

Bobot Beranak:

Pola fluktuasi bobot induk saat beranak (BB) dari tahun ke tahun terlihat serupa pada ketiga genotipe induk, namun pada tahun 1986 dan 1988 induk dengan genotipe Fec.JFFec.JF teriihat menurun lebih tajam (Gambar 9). lniguez

et

4.

(1 991) rnelaporkan tidak ada pengaruh tahun dan fluktuasi musim terhadap bobot saat beranak pada domba Sumatera.

(46)

201 I I 1 I I I I I I I

I

l a a l t O a P # 8 3 l s 6 4 m 8 6 1 0 B C I 1 9 8 7 ~ 1 0 1 W i s e l - ~ ~

Tahun

Gambar 9. Rataan bobot saat beranak (BB) pada masing-masing genotipe dari tahun t 981 -1 993.

Rataan 8B secara keseluruhan yang didapatkan dari penelitian ini adalah 26.40 kg (N-1228; SD=4.55; CV=17.23%). sedangkan rataan bobot beranak pertama kali yang didapatkan dari penelitian ini adalah 24.41 kg (N-416; SD=4.79). lniguez et a/. (1 997) melaporkan bobot badan pada saat beranak pertama kali pada damba Sumatera sebesar 19.5 kg. Pada domba Romanov dilaporkan bobot badan pada saat beranak untuk pertama kali sebesar 46.0 kg. dilaporkan pula t 1 dari 20 ekor domba Romanov betina yang b e ~ m u r 70-90 hari kawin tanpa direncanakan dengan pejantan yang berumur sama dan bunting, selanjutnya domba ini beranak pada umur 230 hari dengan bobot badan 39.2 kg dan menghasilkan anak tanpa gangguan yang berarti pada pertumbuhan dan

(47)

penampilan produksi periode berikutnya (Fahmy, 1989).

Satu hai yang cukup menarik disini adalah bobot saat beranak pada semua genotipe tidak berbeda nyata (F30.05), sehingga adanya anggapan bahwa ternak-ternak yang beranak banyak akan mempunyai bobot badan yang lebih rendah tidak dapat dibuktikan kebenarannya (Lampiran 8). Sebaliknya lniguez

el

al.

(1 991) melaporkan bahwa pada domba Surnatera terdapat hubungan yang negatip antara bobot badan induk saat beranak dengan jumlah anak sekelahiran. induk dengan jumfah anak 1,2,3, dan 4 masing-masing mempunyai bobot badan saat beranak 23.0. 21.5 21.9 dan 21 -0 secara berturut-turut.

Sumber keragaman yang mempengaruhi 68 adalah interaksi antara manajemen dan paritas induk (P<0.05). Bobot pada saat pertama kali kawin ternyata mempunyai hubungan yang erat &ngan

€36,

ternak-ternak yang lebih berat 1 kg. pada saat dikawinkan juga mempunyai 86 saat beranak pertama kati yang lebih berat. sebesar 0.819 kg (P4.01).

Angka-angka pada Tabel 26 menunjukkan bahwa bobot tubuh saat beranak pada domba-domba penelitian ini meningkat dengan bertambah dewasanya ternak, rnulai dari paritas kesatu sebesar 21 -5 kg terus meningkat sarnpai 30.5 kg pada paritas keenam &ngan MNJ-1; dan mulai dan' 24.2 kg pada paritas kesatu sampai 29.4

kg

pada paritas kelima pada MNJ-2, sedangkan pada MNJ-3, mulai dari 27.4 kg pada pariias kesatu sampai 35.5 kg pada paritas kelirna. lniguez et al. (1991) melaporkan hai yang sarna, pada bangsa Dorset

(48)

31 -8 sampai 43.7 kg pada domba Finnsheep, demikian pula pada domba Sumatera bobot badan saat beranak meningkat sampai mencapai puncaknya pada paritas keempat, mulai dari 19.5 sampai 24.2 kg.

Tabel 26. Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan saiah baku (SE) dari bobot saat beranak

(BB) berdasarkan paritas induk pada manajemen yang berbeda.

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada satu lajur yang sama rnenunjukkan tidak berbeda nyata (F30.05).

Paritas 1 2 3 4 5

Pada domba Romanov bobot badan saat beranak untuk pertama kali dilaporkan sebesar 46 kg, dan induk-induk yang gagd pada perkawinan pertamanya akan beranak tiga bulan kemudian setelah musim beranak domba yang lainnya selesai, pada saat itu bobot badannya mencapai 48 kg. Bobot badan domba Romanov pada paritas kedua dan ketiganya adalah 56.5 dan 59.8

MNJ-3 N LSM SE 75 27-49 0.53 81 29.67b 0.51 53 31.90" 0.63 45 33.23' 0.68 25 35.52' 0.92

-

MNJ-I N LSM SE 159 21.58e 0.42 89 23.78b 0.51 39 25.3p 0.75 22 26.74' 0.99 15 30.50' 1.20 MNJ-2 N LSM SE 182 24.221 0.34 179 25.99 0.35 143 26.1Z? 0.39 69 29.14= 0.56 52 29.42' 0.63

(49)

97 kg secara berturut-turut (Fahmy. 1989). Dengan dernikian dapat dikatakan domba pada penelitian ini terrnasuk domba yang besar dibandingkan dengan domba-domba Indonesia lainnya, namun lebi h kecil dibandingkan domba-dornba dari negara-negara beriklim dingin.

Hat yang menarik untuk diperhatikan adalah perbedaan antara BB dan BK pada paritas pertarna pada rnasing-masing tingkat manajemen, hai ini mencerminkan perturnbuhan ternak pada saat awal dari periode reproduksinya. Pada MNJ-1. MNJ-2 dan MNJ-3 rnasing-masing didapatkan pehdaan antara 86 dan BK pada paritas pertama sebesar 1.36, 3.55 dan 6.69 kg. Hal ini mernbuktikan bahwa ternak-ternak yang dipelihara pada MNJ-3 dapat tumbuh lebih baik pada sejak dari dikawinkan untuk pertama kalinya. Hal ini dapat tebih menjeiaskan lagi mengapa ternak-ternak yang dipetihara pada MNJ-3 rnenghasilkan bobot sapih total yang lebih tinggi dari paritas pertama sampai pada paritas kefima dibandingkan pada MNJ-1 &n MNJ-2, seperti yang terlihat pada Tabet 26.

(50)

Ripltabilitas, Herltabilktas, Korelasi Fenotipik dan Korelasl Genetfk RipEtabilitas dan HedtaMIitas:

Nilai dugaan ripitabilitas (r) dan heritabilitas (h2) untuk sifataifat reproduksi dan produksi yang didapat dari penelitian ini dapat difihat pada Tabel 27. Tabel 27. Nilai dugaan ripitabititas (r) dan heritabilitas (h2) untuk

sifat-sifat laju ovulasi

(LO),

daya hidup embrio (DHE). jumlah anak sekelahiran (JAS), bobot lahir total

(BL),

daya hidup anak (DHA), bobot sapih total (BS), bobot kawin (BK) dan bobot beranak (66).

r

Sifat Ripitablitas SE Heritabilitas SE

LO 0.42 (0-03) 0.84 (0 -20)

DHE

0.04 (0.04) 0.003 (0.07) JAS 0.40 (0.03) 0.81 (0.1 9)

B L

0.23 (0.03) 0.32 (0.1 1) DHA 0.14 (0.03) 0.20 (0.08) B S 0.12 (0.03) 0.06 (0.06) BK 0.50 (0.03) 0.39 (0.14) 68 0.43 (0.03) 0.34 (0.13)

Nilai ripitabilitas untuk LO dan DHE pada penelitian ini adalah 0.09 dan 0.04, sedangkan Ricardeau et al. (2 986) mendapatkan nilai ripitabilitas untuk

L O

dan mortalitas embrio sebesar 0.30 dan 0.04.

Nilai ripitabilitas untuk JAS dan DHA dari penelitian ini adalah 0.26 dan 0.10, Hanrahan (1 986) mendapatkan nilai ripitabilitas untuk JAS

dan

DHA sebesar 0.23 dan -0.02, sedangkan Ricardeau

eta/.

(1 986) mendapatkan untuk sifat yang sama yaitu sebesar 0.12 dan 0.07. Shelton dan Menzies (1970)

(51)

99 melaporkan nilai ripitabilitas untuk sifat fertilitas, prolifikasi (JAS) dan DHA sebesar -d.56%, 11

-66%

dan 6.05% pada kondisi kurang pakan, dan masing- masing 9.4396, 14.73% dan 10.48% pada kondisi cukup pakan. Untuk BS dan BK nilai ripitabilitas yang didapat dari penelitian ini adalah 0.1 t dan 0.45. Clarke dan Hohenboken (1983) melaporkan untuk sifat yang sama nilai ripitabilitas sebesar 0.09 dan 0.61 secara berturut-turut.

Nilai heritabilitas untuk LO, DHE. JAS. DHA yang didapatkan pada penelitian ini didapatkan sebesar 029, 0.003, 0.81 dan 0.20. Ricardeau et

a/.

(1 986) melaporkan nilai heritabilitas untuk LO, mortalitas embrio. JAS, dan DHA pada domba Romanov yang baru pertama kali beranak masing-masing sebesar 0.39, 0.08, 0.02 dan 0.09, sedangkan pada saat beranak yang kedua sebesar 0.20, 0.0, 0.23 dan 0.28. Selanjutnya Shelton dan Menzies (1970) rnelaporkan nilai heritabilitas untuk fertitifas, JAS dan DHA pada kondisi kurang pakan sebesar 0.268, 0.139 dan 0.131 sedangkan pada kondisi cukup pakan 0.067. 0.1 02 dan 0.1 90 secara berturut-turut.

Nilai heritabilitas untuk BL, BS, BK dan BB yang didapatkan dari penelitian ini masing-masing adalah 0.32,0.06. 0.39 dan 0.34 secara berturut-turut. CIarke dan Hohenboken (1 983) mendapatkan nilai heritabilitas untuk

BS

dan BK masing- masing sebesar -0.05 .dan 0.40. Shiekh et

a/.

(1 986) rnendapatkan nilai heritabilitas untuk BL, BS, bobot 12 bulan dan bobot 18 bulan pada domba Kashmir Merino masing-masing sebesar 0.03, 0.89, 0.48 dan 0.58, sedangkan MacNaughton (1 957) mendapatkan nilai heritawlitas untuk BL,

BS

dan bobot saat

Referensi

Dokumen terkait

Dari data sekunder tersebut, penulis melakukan perbandingan metode penyusutan garis lurus yang dilakukan oleh perusahaan versus metode penyusutan saldo menurun

Terhadap pemanfaatan sumber daya hayati, Convention on Biological Divers,4/ (CBD) dan Protokol Nagoya telah mengatur akses dan pembagian keuntungan (access and benefit

[r]

Kelemahan metode pemberian tugas : (1) Tugas dirasa menyulitkan dan membebani peserta didik, (2) Tugas dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan guru, (3) Tugas

Monitoring Proxy yaitu untuk memonitoring Proxy server sudah berjalan atau tidak dapat dilakukan langkah sebagai berikut: dengan membuka menu IP— klik web proxy—pilih

Desa Mandiri atau yang disebut Desa Sembada adalah Desa Maju yang memiliki kemampuan melaksanakan pembangunan Desa untuk peningkatan kualitas hidup dan

Nilai p lebih kecil dari 0,05 mengindikasikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku Eksternal Douching dengan kejadian keputihan ibu rumah tangga di

Dari Gambar 11 terlihat bahwa tingkat tekanan suara (SPL) yang terukur (diterima) oleh setiap titik ukur dalam ruangan setelah direnovasi menurun pada setiap frekuensinya