BAB 1 PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Tantangan dunia pendidikan masa depan adalah bagaimana menyelenggarakan
pendidikan yang tanggap terhadap tantangan global. Kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi telah membuat dunia seakan menjadi sebuah “desa
global”. UNESCO (dalam A Atmadi, 2010: 6) telah mempersiapkan pendidikan manusia abad XXI yaitu “peserta didik perlu dilatih untuk bisa berfikir (learning
to think), bisa melakukan (learning to do) dan menghayati hidupnya menjadi apa
yang diinginkan (learning to be)”. Apabila tidak ingin tertinggal dengan masyarakat modern lainnya, maka seseorang dituntut untuk selalu gemar belajar.
Dengan cara demikian, orang dapat menerima kemajuan tanpa beban dan keluhan.
Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 (M. Jumali dkk, 2008: 91)
dirumuskan bahwa pendidikan nasional mempunyai fungsi “mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Fungsi pendidikan tersebut dirancang dalam bentuk pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses interaksi
antara guru dan peserta didik dengan tujuan tertentu. Guru mengajar di satu pihak
dan peserta didik belajar di lain pihak. Menurut Oemar Hamalik (2011: 54) proses
pembelajaran itu berlangsung dalam situasi pembelajaran, di mana di dalamnya
terdapat komponen-komponen yaitu tujuan mengajar, peserta didik yang belajar,
pembelajaran. Guru bertugas merancang berbagai komponen pembelajaran agar
proses pembelajaran dapat berlangsung.
Peserta didik adalah individu yang mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda, misalnya dalam hal minat. Oemar Hamalik (2011: 105) mengatakan bahwa
“guru perlu mengenal minat murid-muridnya agar dapat memilih bahan pelajaran,
merencanakan pengalaman belajar, menuntun ke arah pengetahuan dan untuk
mendorong motivasi belajar peserta didiknya”. Hal ini karena pendidikan yang
benar seharusnya mengabdi kepada kepentingan, kemampuan, minat dan bakat
anak. Dengan kata lain pembelajaran yang baik tidak terlepas dari minat pesera
didik. Pembelajaran yang tidak sesuai dengan minat siswa dapat memunculkan
berbagai permasalahan di dalam proses pembelajaran.
Hasil observasi di kelas IV SDN 3 Pengasih pada tanggal 4 Oktober 2013
menunjukkan bahwa ada beberapa siswa yang bermain dengan pensil,
menggambar, bermain dengan penggaris, tiduran dan mengobrol dengan teman
sebangkunya Ada siswa yang kurang percaya diri saat disuruh mengerjakan soal
di papan tulis. Hasil wawancara dengan siswa kelas IV SDN 3 Pengasih pada
tanggal 4 Oktober 2013 menunjukan bahwa 50% siswa berminat pada
Matematika. Konsep diri siswa masih negatif, hal ini ditunjukkan siswa tidak tahu
mengapa mereka harus mempelajari Matematika, siswa kadang merasa tidak
percaya diri dengan jawabannya dan siswa kadang mencontek jawaban temannya.
Hasil wawancara siswa kelas IV SDN Serang pada tanggal 9 Oktober 2013
yaitu setengah dari jumlah siswa dikelas tidak percaya diri dengan
yang mengatakan berminat dalam Matematika karena siswa lebih menyukai
pelajaran Agama, IPA ataupun Bahasa Indonesia. Hasil wawancara dengan
siswa kelas IV SDN Gebangan pada tanggal 16 Oktober 2013. 40% siswa
mengaku berminat pada Matematika. Walaupun konsep diri masih negatif untuk
mendapatkan nilai bagus dalam Matematika.
Hasil wawancara dengan wali kelas IV SDN 3 Pengasih pada tanggal 4
Oktober 2013 menyampaikan bahwa kesulitan yang dihadapi saat mengajar
Matematika adalah membuat siswa berminat dengan Matematika. Guru tidak
memperoleh media yang tepat untuk mengajarkan Matematika kepada siswa Hal
yang sama juga disampaikan oleh wali kelas IV SDN 1 Pengasih pada wawancara
tanggal 22 Oktober 2013. Wali kelas IV menyampaikan bahwa guru mengakui
tidak selalu menggunakan media karena kendala fasilitas sekolah.
Hasil wawancara dengan wali kelas IV SDN Klegen pada tanggal 8 Oktober
2013 menyampaikan bahwa 50% siswa di kelas IV yang mendapat nilai di bawah
KKM yaitu kurang dari 68 dalam Matematika. Beliau juga jarang menggunakan
media dalam mengajarkan Matematika karena sulit menemukan media yang tepat.
Hasil wawancara dengan wali kelas IV SDN Serang pada tanggal 9 Oktober
juga mengatakan bahwa beliau jarang menggunakan media dalam mengajarkan
Matematika karena beliau berasal dari bidang studi PKn bukan PGSD. Hasil
wawancara dengan wali kelas IV SDN Kepek pada tanggal 22 Oktober 2013. Ada
30 % siswa yang mendapat nilai Matematika kurang dari KKM yaitu kurang dari
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi siswa kelas IV SDN Se-Gugus 2
Kecamatan Pengasih tersebut disimpulkan permasalahan yang berhubungan
dengan proses pembelajaran yaitu sebagai berikut. Pertama, siswa kurang
berminat terhadap mata pelajaran Matematika. Siswa lebih menyukai pelajaran
Agama, IPA ataupun Bahasa Indonesia daripada Matamatika. Siswa mengatakan
bahwa Matematika adalah pelajaran yang sulit dan menguras banyak pikiran.
Siswa juga tidak memahami manfaat belajar Matematika sehingga siswa tidak
berminat terhadap pelajaran Matematika. Selain itu siswa suka mengalihkan
perhatian guru jika siswa diminta untuk mengerjakan soal di papan tulis.
Kedua, konsep diri siswa yang negatif. Hal ini terlihat saat siswa malu, takut
dan enggan untuk mengerjakan soal di papan tulis. Siswa mengatakan bahwa
hanya siswa yang mempunyai intelek yang tinggilah yang mampu mengerjakan
soal Matematika. Hal tersebut menyebabkan banyak siswa merasa dirinya kurang
pandai dalam Matematika.
Ketiga, siswa tidak memperhatikan materi yang disampaikan guru. Hal ini
terlihat saat proses pembelajaran berlangsung. Siswa lebih memilih bermain
dengan pensil dan mengobrol dengan temannya dibandingkan memperhatikan
penjelasan guru.
Keempat, guru kelas bukanlah lulusan dari jurusan pendidikan guru sekolah
dasar. Berdasarkan wawancara dengan guru kelas, ada salah satu guru kelas yang
mengatakan bahwa ia merupakan lulusan dari jurusan PKN. Hal tersebut
menyebabkan pengetahuannya tentang media pembelajaran dalam pelajaran
Kelima, hampir 50% siswa mendapatkan nilai ulangan harian di bawah KKM.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas mengatakan bahwa setengah dari
siswa belum mencapai KKM. Misalnya pada siswa kelas IV SDN Serang yang
berjumlah 21 siswa. Hasil ulangan harian 1 menyebutkan bahwa ada 10 siswa
harus perbaikan nilai, hasil ulangan harian 2 ada 7 siswa harus perbaikan nilai dan
pada ulangan harian 3 ada 14 siswa yang harus perbaikan nilai.
Keenam, guru sering kali hanya menggunakan metode ceramah saat pelajaran
Matematika. Hal ini terlihat ketika guru mendominasi penyampaian materi dengan
menggunakan buku cetak dan papan tulis. Dengan kondisi demikian, siswa
menjadi bosan dan kurang menaruh perhatian pada materi yang disampaikan.
Ketujuh, guru masih minim menggunakan media dalam mengajarkan
Matematika. Hal ini dikatakan guru dalam wawancara bahwa guru jarang
menggunakan media karena sulit menemukan media yang tepat untuk
mengajarkan Matematika dan fasilitas sekolah yang kurang mendukung.
Berdasarkan permasalahan yang ditemukan, peneliti membatasi permasalahan
pada minat belajar Matematika yang rendah. Minat belajar merupakan salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan dalam belajar. Apabila permasalahan
rendahnya minat belajar tidak segera diatasi maka akan menurunkan prestasi
belajar dan perhatian siswa dalam pelajaran Matematika. Sebaliknya apabila
minat belajar Matematika siswa tinggi, maka prestasi belajar dan perhatian siswa
dalam pelajaran juga tinggi.
Menurut Hurlock (1978: 114) “minat menjadi sumber motivasi yang kuat
maupun pekerjaan akan berusaha lebih keras untuk mempelajari permainan atau
pekerjaan tersebut. Demikian pula dalam hal pelajaran, siswa yang berminat pada
pelajaran tertentu, akan berusaha lebih keras untuk mencapai prestasi yang
diinginkan melalui pengalaman belajarnya.
Frymeir (dalam Farida Rahim, 2008: 28-29) menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi minat belajar yaitu (1) pengalaman sebelumnya, (2) konsep diri,
(3) nilai-nilai moralitas (4) mata pelajaran yang bermakna bagi dirinya, (5) tingkat
keterlibatan tekanan dan (6) kekompleksitasan materi pelajaran. Salah satu faktor
yang mempengaruhi minat belajar yaitu konsep diri. Arsenault (dalam Muijs
&Reynolds, 2008: 221) mengatakan bahwa “siswa yang memiliki konsep diri
yang rendah menjadi kurang gigih”. Sedangkan menurut Byer (dalam Muijs &
Reynolds, 2008: 221) mengatakan bahwa “siswa yang memiliki konsep diri yang positif mempunyai keterlibatan di kelas yang lebih tinggi”. Misalnya siswa yang
mempunyai konsep diri yang positif bahwa dia bisa mendapat nilai yang
memuaskan dalam hal belajar, maka siswa tersebut akan berminat pada pelajaran
dengan penuh kegigihan.
Setelah dilakukan wawancara dan observasi dengan siswa dan guru kelas IV
SDN Se-Gugus 2 Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo ditemukan
bahwa minat belajar Matematika siswa masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan
indikasi siswa lebih menyukai pelajaran lain daripada Matematika, siswa tidak
aktif dalam pembelajaran, siswa lebih memilih mengobrol dengan temannya
dibandingkan memperhatikan penjelasan guru, nilai ulangan harian siswa kurang
Berdasarkan permasalahan di atas, minat belajar dipengaruhi oleh berbagai
faktor . Dalam penelitian ini, peneliti memilih variabel bebas yaitu konsep diri dan
variabel terikat yaitu minat belajar Matematika. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk meneliti tentang “Pengaruh secara signifikan Konsep Diri terhadap Minat
Belajar Matematika Siswa Kelas IV SDN Se-Gugus 2, Kecamatan Pengasih,
Kabupaten Kulon Progo”.
B.Identifikasi Masalah
1. Minat belajar Matematika siswa kelas IV SD se-Gugus 2 Kecamatan
Pengasih masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan siswa lebih menyukai
pelajaran lain seperti Agama dan Bahasa Indoensia daripada Matematika.
2. Konsep diri beberapa siswa kelas IV SD se-Gugus 2 Kecamatan Pengasih
masih negatif. Hal ini terlihat saat siswa malu dan takut untuk mengerjakan
soal di papan tulis.
3. Siswa tidak memperhatikan guru saat guru sedang menyampaikan materi
pelajaran Matematika.
4. Guru kelas bukan lulusan dari PGSD tetapi lulusan PKN.
5. Hampir 50% dari jumlah siswa mendapatkan nilai Matematika di bawah
KKM.
6. Guru hanya menggunakan metode ceramah sehingga siswa cepat merasa
bosan.
C.Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang disebutkan di atas, peneliti hanya
membatasi masalah konsep diri dan minat belajar Matematika pada siswa
kelas IV SD se-Gugus 2, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo.
D.Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah peneliti sebutkan di atas,
maka dapat dirumuskan masalah adalah apakah konsep diri berpengaruh
secara signifikan terhadap minat belajar Matematika siswa kelas IV SD
se-Gugus 2 Kecamatan Pengasih?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah konsep diri
berpengaruh secara signifikan terhadap minat belajar Matematika siswa kelas
IV SD se-gugus 2 Kecamatan Pengasih.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat sebagai berikut.
1. Secara Praktis
a. Bagi sekolah
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam mengembangkan
konsep diri dan minat belajar siswa saat yaitu dengan menambah fasilitas dan
b. Bagi siswa
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan pada siswa agar mempunyai
konsep diri yang positif terhadap dirinya dalam belajar Matematika sehingga
akan berminat terhadap Matematika.
c. Bagi guru
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan menambah wawasan
guru untuk menumbuhkan dan meningkatkan minat belajar Matematika siswa.
2. Secara Teoritis
a. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti tentang tingkat
pengaruhkonsep diri terhadap minat belajar Matematika
b. Bagi pembaca
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan sumber
informasi pada penelitian selanjutnya.
G.Definisi Operasional Variabel
1. Konsep diri adalah gambaran atau pemahaman individu tentang dirinya
yang berpengaruh terhadap orang lain. Aspek-aspek konsep diri mencakup
diri identitas, diri pelaku, diri penilai, diri fisik, diri etik-moral, diri sosial,
diri keluarga dan diri pribadi
2. Minat belajar Matematika adalah rasa lebih suka dan ketertarikan seseorang
terhadap kegiatan belajar Matematika lebih dari kegiatan belajar pelajaran
minat belajar yaitu pengalaman sebelumnya, konsep diri, nilai-nilai, mata
pelajaran yang bermakna, tingkat keterlibatan tekanan, dan
kekompleksitasan materi pelajaran.
3. Konsep diri menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi minat belajar
Matematika. Siswa yang mempunyai konsep diri yang positif akan memiliki
minat belajar yang tinggi. Hal tersebut ditandai dengan keterlibatan belajar
siswa yang tinggi di dalam kelas. Sebaliknya siswa yang memiliki konsep
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Menurut Andi Mappiare (2006: 293) kata “self concept” atau konsep diri
secara umum didefinisikan sebagai “keseluruhan pola persepsi diri
sebagaimana dirumuskan individu itu sendiri, atau pemahaman dan
pemaknaan seseorang yang berkaitan dengan diri”. Seifert dan Hofnung
(dalam Desmita, 2006: 180), juga berpendapat bahwa “konsep diri berarti
suatu pemahaman atau ide tentang diri sendiri”. Menurut Calhoun & Acocella
(1990: 90) “konsep diri adalah gambaran mental diri sendiri yang terdiri dari
pengetahuan tentang diri, pengharapan, dan penilaian terhadap diri”.
Atwater (dalam Desmita, 2006: 180) menjelaskan bahwa “konsep diri
berupa keseluruhan gambaran diri yang meliputi persepsi seseorang tentang
dirinya, keyakinan, perasaan, dan nilai-nilai yang ada hubungannya dengan
dirinya”.Selanjutnya menurut Anant Pai (dalam Djali, 2008: 129) konsep diri
merupakan “pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut
apa yang ia ketahui dan rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan
perasaannya serta bagaimana perilakunya berpengaruh terhadap orang lain”.
Sedangkan Hurlock (1978: 58) mengatakan bahwa “konsep diri adalah
gambaran seseorang tentang diri mereka sendiri yang menyangkut
karakteristik fisik, psikologis, sosial dan emosional, aspirasi, dan prestasi”.
Selanjutnya, Shavelson dan Bolus (dalam Muijs dan Reynolds, 2008: 218)
sendiri, yang terbentuk melalui pengalaman, interaksi dengan orang-orang lain
yang memiliki arti penting dan atribusi yang melekat pada dirinya”.
Sependapat dengan Shavelson dan Bolus, Leonard dan Supardi (2010: 343)
juga berpendapat bahwa “konsep diri terbentuk melalui pengalaman individu
dalam berhubungan dengan orang lain bukan faktor yang dibawa sejak lahir”.
Ketika berhubungan dengan orang lain, individu akan memperoleh tanggapan.
Tanggapan tersebut akan digunakan individu sebagai acuan untuk menilai dan
memahami dirinya.
“Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena
konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam
berinteraksi dengan lingkungan” (William Fitts dalam Hendriyanti Agustiani,
2006: 138). Ketika seseorang memberikan penilaian tentang dirinya, berarti ia
telah memiliki kesadaran dan kemampuan untuk melihat dirinya terhadap
dunia di luar dirinya. Selanjutnya, Jalaluddin Rakhmat (2012: 102)
berpendapat bahwa “konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan
dalam komunikasi intrapersonal, karena tingkah laku seseorang didasarkan
dengan konsep dirinya”. Bila seseorang mempunyai konsep diri yang negatif
misalnya rendah diri, maka ia akan sulit berbicara menyampaikan pedapatnya
kepada orang lain.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
konsep diri adalah gambaran atau pemahaman individu tentang dirinya yang
berkaitan dengan apa yang individu ketahui dan rasakan tentang perilakunya,
orang lain. Konsep diri penting bagi individu sebagai acuan untuk berinteraksi
dengan lingkungannya. Dengan adanya pemahaman diri yang positif, individu
akan mampu menyesuaiakan dirinya dengan baik pula.
2. Perkembangan konsep diri pada anak
Proses perkembangan konsep diri merupakan proses yang berlangsung
seumur hidup. Symond dalam Fitts yang dikutip Hendriyanti Agustiani (2006:
143) berpendapat bahwa “konsep diri tidak langsung muncul pada saat
kelahiran. “Perkembangan konsep diri bersifat hirarkis yang meliputi konsep
diri primer dan konsep diri sekunder” (Hurlock, 1978: 59). Konsep yang
paling dasar yaitu konsep diri primer. Dinamakan konsep diri primer karena
konsep diri mula-mula terbentuk sebagai hasil dari pengalaman bersama
anggota keluarganya. Konsep awal mengenai perannya dalam hidup, cita-cita
dan tanggungjawab yang didasarkan atas didikan orang tua. Hurlock
melanjutkan bahwa konsep diri primer meliputi citra fisik diri dan citra
psikologis diri. Citra fisik diri berkembang lebih awal dari citra psikologis diri.
Citra fisik diri berhubungan dengan keadaan fisiknya, sedangkan citra
psikologis diri didasarkan pada hubungan anak dengan saudara kandungnya
dan perbandingan dirinya dengan saudara kandungnya serta konsep awal
perannya dalam hidup yang diajarkan oleh orang tuanya.
Meningkatnya hubungan dengan lingkungan di sekitarnya, membuat anak
mulai mengembangkan konsep diri sekundernya. “Konsep diri sekunder
berkaitan dengan bagaimana anak melihat dirinya di mata orang lain”
dan citra psikologis diri. Dalam hal citra fisik diri, anak-anak berfikir struktur
fisik mereka sama dengan orang di luar rumahnya sedangkan dalam hal citra
psikologis dirinya anak-anak menilai dengan membandingkan citra yang
mereka peroleh di rumah dengan penilaian orang lain seperti guru, teman
sebaya atau orang lain di lingkungan lainnya tentang diri mereka.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dapat disimpulkan bahwa
perkembangan konsep diri anak dimulai dari konsep diri primer yang terjadi di
dalam lingkungan keluarganya. Perilaku orang tua terhadap anak berperan
dalam mengembangkan konsep diri anak. Kemudian berlanjut pada konsep
diri sekunder yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
3. Jenis-Jenis Konsep Diri
Menurut Calhoun & Acocella (1990: 71), konsep diri dibagi menjadi dua
jenis yaitu sebagai berikut.
a) Konsep diri positif
“Konsep diri positif lebih berupa penerimaan terhadap diri bukan berupa
kebanggan yang besar tentang dirinya” (Calhoun & Acocella, 1990: 73).
Konsep diri positif mengarah pada kerendahan hati bukan keangkuhan dan
keegoisan. Jadi orang yang memiliki konsep diri positif adalah orang yang
memiliki perasaan berupa penerimaan tentang dirinya. Ia dapat menerima
berbagai fakta yang berkaitan dengan dirinya dan menanggapi bahwa
fakta-fakta yang ada pada dirinya bukan merupakan ancaman baginya. Jalaluddin
Rahmat (2012: 104) menyampaikan tanda-tanda orang yang memiliki konsep
1) Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah. 2) Ia merasa setara dengan orang lain.
3) Ia menerima pujian tanpa rasa malu.
4) Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
5) Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.
Orang yang mempunyai konsep diri positif, menurut Calhoun dan Acocella
(1990: 73), mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1) Orang dengan konsep diri yang positif akan mengenal dirinya dengan baik.
2) Orang dengan konsep diri yang positif akan mempunyai sifat stabil dan
bervariasi.
3) Orang dengan konsep diri yang positif dapat menerima fakta tentang dirinya
baik itu positif maupun negatif.
4) Orang dengan konsep diri yang positif dapat menerima dirinya sendiri dan
dapat menerima orang lain.
5) Orang dengan konsep diri yang positif merancang tujuan-tujuan yang sesuai
dan realistis.
6) Orang dengan konsep diri yang positif akan bertindak berani dan
memperlakukan orang lain dengan hangat dan hormat.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa orang dengan
konsep diri yang positif adalah orang yang mau menerima fakta tentang dirinya
dengan baik. Selain itu, ia juga dapat menerima fakta-fakta tentang orang lain.
Konsep diri yang positif akan membawa orang kepada hidup yang
b) Konsep diri negatif
Menurut Calhoun & Acocella (1990: 73), konsep diri negatif merupakan
“perasaan yang negatif tentang dirinya”. Ia merasa pribadinya tidak cukup baik
daripada orang lain. Hal ini terjadi karena individu menghadapi informasi
tentang dirinya yang tidak dapat diterima dengan baik oleh dirinya. Calhoun &
Acocella (1990: 73) berpendapat, bahwa “konsep diri negatif dapat
mengakibatkan depresi atau kecemasan dan kekecewaan emosional”.
Konsep diri negatif menurut Calhoun & Acocella (1990: 72) dibagi menjadi
dua tipe yaitu tipe orang yang memilliki pandangan tentang dirinya sendiri
yang benar-benar tidak teratur dan tipe orang yang kaku. Tipe orang yang tidak
teratur mempunyai ciri-ciri yaitu (1) tidak memiliki perasaan kestabilan dan
keutuhan diri, (2) tidak tahu siapa diri sendiri, (3) tidak tahu apa kelemahan
dan kekuatan diri, dan (4) tidak tahu apa yang dihargai dalam dirinya.
Sedangkan tipe kaku mempunyai ciri-ciri yaitu terlalu stabil dan terlalu teratur.
Artinya individu menciptakan konsep diri yang tidak mengizinkan adanya
penyimpangan dalam hidupnya. Hal ini terjadi karena ada kemungkinan
didikan orang tua yang terlalu keras.
Menurut Wiliam D. Brooks dan Philip Emmert (dalam Jalaluddin Rakhmat,
2012: 103), ada empat tanda seseorang yang mempunyai konsep diri negatif,
antara lain sebagai berikut.
a) Menganggap bahwa kritik sebagai alat untuk menjatuhkan harga dirinya. Orang yang mempunyai konsep diri negatif cenderung tidak menyukai dialog terbuka.
b) Responsif sekali terhadap pujian.
d) Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. e) Bersikap pesimis terhadap kompetisi. Misalnya ia tidak mau bersiang
dengan orang lain dalam hal prestasi.
Berdasarkan uraian ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif di atas
dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki konsep diri negatif adalah
orang yang tidak tahu kekurangan maupun kelebihan dirinya. Ia menganggap
informasi tentang dirinya yang diterima dari orang lain merupakan ancaman
terhadap dirinya, sehingga ia akan diliputi kecemasan.
4. Aspek-Aspek Konsep Diri
Atwater (dalam Desmita, 2006: 180) mengidentifikasi konsep diri menjadi
tiga bentuk, yaitu (1) body image yaitu kesadaran tentang tubuhnya berupa
pandangan seseorang tentang dirinya, (2) ideal self yaitu harapan-harapan
seseorang mengenai dirinya, dan (3) social selfyaitu pandangan orang lain
melihat dirinya. Semua bentuk konsep diri tersebut akan mempengaruhi
tingkah laku seseorang di dalam kehidupannya. Pada umumnya tingkah laku
seseorang berhubungan dengan gagasan-gagasan tentang dirinya sendiri. Jika
seseorang memiliki gagasan tentang dirinya bahwa dia tidak akan diterima di
lingkungannya, maka ia akan cenderung bertingkah diam dan menarik dari
pergaulan.
Menurut Hurlock (1978: 58), konsep diri dapat ditinjau dari 2 citra diri,
yaitu sebagai berikut.
a) Citra fisik diri
Citra fisik diri merupakan citra diri yang pertama yang dirasakan individu.
individu dengan bentuk fisiknya, daya tarik terhadap penampilannya dan
sesuai atau tidaknya dengan jenis kelaminnya. Citra diri fisik ini akan
mempengaruhi perilaku individu dan harga diri individu dimata orang lain
lain.
b) Citra psikologis diri
Citra psikologis diri didasarkan atas pikiran, perasaan, dan emosi. Contoh dari
citra psikologis diri adalah sifat keberanian, kejujuran, kemandirian, dan
kepercayaan diri. Citra psikologis diri akan mempengaruhi kualitas dan
kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Fitts (dalam Hendriati Agustiani, 2006: 142) melengkapi aspek konsep diri
dengan membagi konsep diri menjadi 2 dimensi, yaitu sebagai berikut.
a. Dimensi Internal
Dimensi internal adalah penilaian yang dilakukan individu untuk menilai
dirinya berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi internal dibagi menjadi
tiga bentuk, yaitusebagai berikut.
1) Diri identitas (identity self)
Diri identitas berkaitan dengan identitas diri individu itu sendiri, misalnya
gambaran tentang dirinya “siapa saya”. Selain itu berkaitan dengan label
yang diberikan kepada diri oleh individu yang bersangkutan.
2) Diri pelaku (behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang
berisikan segala kesadaran mengenai apa yang dilakukan oleh dirinya. Diri
dengan diri pelakunya sehingga ia dapat menerima baik dari diri identitas
maupun diri pelakunya.
3) Diri penerimaan/ penilaian (judging self)
Diri penerimaan berkaitan dengan kepuasaan seseorang akan dirinya atau
seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Jika individu mempunyai
kepuasaan yang tinggi pada dirinya, maka ia memiliki kesadaran diri yang
realistis, dan memfokuskan untuk mengembangkan dirinya. Sebaliknya,
jika seseorang tidak mempunyai kepuasaan terhadap dirinya, maka ia akan
mengalami ketidakpercayaan diri dan menimbulkan rendahnya harga diri.
b. Dimensi Eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungannya
dengan orang lain. Baik itu aktivitas sosial, nilai-nilai yang dianut di dalam
masyarakat, ataupun hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi eksternal menurut
Fitts di bagi menjadi lima bentuk, yaitu sebagai berikut.
1) Diri fisik (Psysical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang tentang keadaannya secara fisik.
Contohnya mengenai kesehatan diri, penampilan dirinya (cantik, jelek,
menarik atau tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk
atau kurus).
2) Diri etik-moral (moral-ethical self)
Diri etik-moral merupakan persepsi seseorang yang didasarkan pada standar
pertimbangan secara moral dan etika. Hal ini berhubungan dengan Tuhan,
3) Diri pribadi (personal self)
Diri personal merupakan persepsi seseorang mengenai keadaan pribadinya.
Dalam hal ini menyangkut sejauh mana individu merasa sebagai pribadi
yang tepat.
4) Diri keluarga (Family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri dalam kedudukannya
sebagai anggota keluarga. Dalam hal ini, diri keluarga berkaitan dengan
peran yang dijalani sebagai anggota keluarga.
5) Diri Sosial (Sosial self)
Diri sosial merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan
orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri menurut
Atwater di bagi menjadi tiga bentuk, yaitu (1) body image, (2) ideal self, dan
(3) social self. Menurut Hurlock konsep diri yang dimiliki siswa dapat ditinjau
dari 2 citra diri, yaitu: citra fisik diri dan citra psikologisdiri. Fits
melengkapinya dengan membagi konsep diri menjadi diri identitas, diri pelaku,
diri penilai, diri fisik, diri etik-moral, diri sosial, diri keluarga, dan diri pribadi.
Asepk diri tersebut membentuk suatu kesatuan diri yang utuh dalam rangka
menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Pada penelitian ini, aspek-aspek
konsep diri yang digunakan adalah menurut Fits yaitu diri identitas, diri pelaku,
diri penilai, diri fisik, diri etik-moral, diri sosial, diri keluarga, dan diri pribadi
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Konsep diri tidak terbentuk secara kebetulan tetapi melalui proses
interaksi dengan orang lain. Setelah orang lain memberikan tanggapan atau
respon kepada diri individu tersebut, maka individu akan memberikan
penilaian kepada dirinya apakah ia termasuk individu yang diterima atau tidak
dalam lingkungannya. Konsep diri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu sebagai berikut.
a. Orang tua
Konsep diri mula-mula terbentuk dalam lingkungan keluarga. Kepercayaan
dasar seorang bayi akan terbentuk melalui perlakuan orang tuanya dalam
memenuhi berbagai kebutuhannya. Menurut Cony R. Semiawan (1998: 169)
“seorang bayi yang kelahirannya tidak diharapkan oleh orang tuanya dan
diperlakukan secara tidak wajar akan menumbuhkan sikap tidak percaya diri”.
Kemudian pada saat dewasa rasa ketidakpercayaan pada orang lain akan lebih
besar, maka akan menjadi frustasi, menarik diri, dan penuh curiga pada
lingkungannya. Calhoun & Acocella (1990: 77) mengatakan bahwa
“berdasarkan penelitian yang ditemukan pada orang dewasa bahwa orang
menilai diri sendiri seperti ketika di miliki oleh orang tuanya”. Dengan
demikian, orang tua adalah kontak sosial yang paling awal dan paling kuat
yang mempengaruhi konsep diri indiviidu.
b. Teman sebaya
Menurut Desmita (2006: 187). “Interaksi dengan teman sebaya dapat
umpan balik kepada anak apakah dia di terima dalam kelompok sebayanya
atau tidak. Menurut Calhoun & Acocella (1990: 78), “apabila tidak ada
penerimaan dari teman sebayanya, hal itu dapat mengganggu konsep diri
anak”. Misalnya dikenal ada anak yang disenangi temannya dan ada anak yang
kurang disenangi temannya. Dengan interaksi tersebut, anak-anak akan
menilai dirinya apakah termasuk anak yang disenangi atau tidak disenangi.
c. Guru
“Interaksi dengan guru dan teman di sekolah memberikan peluang bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif, ketrampilan, dan
pengetahuan tentang dunia serta mengembangkan konsep dirinya” (Desmita,
2006: 187). Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penggunaan waktu anak
sekolah dasar dihabiskan di sekolah untuk berinteraksi dengan guru dan
teman-temannya. Interaksi tersebut menghasilkan pengalaman-pengalaman
baik itu keberhasilan maupun kegagalan. “Pengalaman kegagalan atau
keberhasilan siswa pada tahun pertama di sekolah dasar, lebih ditentukan oleh
interaksinya dengan guru daripada prestasi akademisnya” (Stipek dalam
Desmita, 2006: 188). Selama mereka memiliki teman dan guru yang
memberikan motivasi, mereka akan merasa senang dan berhasil di sekolah.
Untuk itulah guru sebaiknya memberikan penguatan yang positif kepada siswa
apabila siswa mengalami kegagalan dan memberikan dukungan apabila anak
d. Pengalaman yang pernah dialami.
Pengalaman yang pernah dialami terutama pengalaman yang berhubungan
dengan diri sendiri, seperti perasaan positif dan perasaan berharga akan
berdampak positif pada konsep diri seseorang. Studi dari Meichanbeum dalam
Slameto (2006:184) mengatakan bahwa “bila siswa dibantu menyatakan
hal-hal positif mengenai dirinya dan diberi penguatan, maka hal-hal itu akan
menghasilkan konsep diri yang positif”. Slameto (2003:183) juga berpendapat
bahwa “keberhasilan dan kegagalan mempengaruhi diri seseorang”. Bila
seseorang mengalami keberhasilan secara teratur, maka kegagalan akan
memacu seseorang untuk menjadi lebih giat. Sedangkan kegagalan yang
dialami berulang kali, kemungkinan apabila terjadi kegagalan yang baru akan
mengurangi motivasinya untuk mencapai tujuan.
Untuk menghindari kegagalan atau ketakutan pada diri siswa, biasanya
siswa memakai cara-cara sebagai berikut.
1) Menghindari penilaian diri sendiri, sehingga tidak mengetahui kesahalannya. 2) Membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki kemampuan yang lebih
rendah.
3) Hanya memilih tugas-tugas yang sangat muda.
4) Menghindari partisipasi yang dapat menyebabkan kegagalan.
5) Menolak tanggungjawab untuk kegagalan yang terjadi (Slameto, 2006: 183) Untuk itu guru harus memotivasi siswa agar tidak terjebak dalam perasaan
gagal atau mengingat kegagalan di masa lalu. Guru harus mendorong siswa
memikirkan hal-hal positif tentang dirinya agar cita-cita yang dahulu pernah
e. Aktualisasi diri.
Fitts (dalam Hendrianti Agustiani, 2006: 139) berpendapat bahwa
“aktualisasi diri berupa implementasi dan realisasi dari potensi pribadi yang
sebenarnya”. Potensi diri yang dikembangkan lebih optimal akan
mempengaruhi penilaian diri seseorang daripada potensi yang tidak
dikembangkan. Seorang siswa yang mengaktualisasikan bakatnya akan
membentuk penilaian positif tentang dirinya bahwa dia memiliki kemampuan
dalam bidang tertentu.
Dalam pendidikan, guru diharapkan dapat membimbing siswa-siswanya
yang terkadang mengalami kegagalan untuk mencita-citakan tujuan yang
sesuai dengan cita-cita di masa lalu. Selaian itu, guru harus mendorong
siswanya untuk mengembangkan potensinya agar siswa mempunyai penilaian
diri yang positif.
6. Peran Konsep Diri bagi Siswa dalam Pembelajaran
“Konsep diri penting bagi seseorang sebagai kerangka acuan untuk
menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya” (William Fitts dalam
Hendriyanti Agustiani, 2006: 138). Dalam proses pembelajaran, konsep diri
akan membantu menilai dirinya berminat atau tidak berminat pada materi
pelajaran tertentu. Apabila siswa mempunyai konsep diri yang positif tentang
kemampuan dirinya dalam mata pelajaran tertentu, maka siswa memiliki minat
B.Tinjauan Minat Belajar 1. Pengertian Minat belajar
Menurut Pusat Bahasa Depdiknas (2001: 744), kata “minat” memiliki arti
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, gairah, dan keinginan”.
Keinginan tersebut dapat berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.
Slameto dalam Djali (2008: 121) juga memaparkan bahwa “minat merupakan
rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada sesuatu hal atau aktivitas, tanpa ada
yang menyuruh. Dengan kata lain, minat timbul dari dalam diri sendiri”.
Selanjutnya Hurlock (1978: 114) menjelaskann bahwa “minat merupakan
sumber motivasi yang mendorong orang untuk melakukan apa yang mereka
inginkan bila mereka bebas memilih”. Bila seseorang melihat sesuatu akan
menguntungkan baginya, maka seseorang akan berminat terhadap sesuatu.
Demikian halnya pada seorang siswa yang merasakan bahwa belajar akan
menguntungkan baginya, maka ia akan berminat terhadap belajar.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas disimpulkan bahwa minat
adalah rasa lebih suka dan ketertarikan seseorang terhadap kegiatan tertentu
tanpa ada paksaan dari orang lain. Dalam hal ini, minat dapat menimbulkan
motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan tertentu.
Anita E Wool Folk (dalam Sunaryo Kartadinata, 1998: 57) memaparkan
bahwa “belajar adalah proses perubahan pengetahuan atau perilaku sebagai
hasil dari pengalaman”. Morgan dkk (dalam Mulyani, 1998: 15) menguatkan
pendapat Anita bahwa “belajar dicirikan dengan perubahan tingkah laku yang
Moh. Uzer Usman (2006: 5) menjelaskan bahwa “belajar adalah proses
perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara
individu dan individu dengan lingkungannya”. Setelah mengalami proses
belajar, individu akan mengalami perubahan tingkah laku baik aspek
pengetahuan, ketrampilan, maupun aspek sikapnya. Tidak semua perubahan
tingkah laku dikatakan belajar. Dalam konteks sekolah, seorang anak dikatakan
belajar apabila perubahan yang terjadi pada siswa sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan sekolah.
Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
proses perubahan tingkah laku atau pengetahuan positif seseorang yang terjadi
karena latihan atau pengamatan di lingkungan.
Berdasarkan pendapat ahli tentang minat dan belajar dapat disimpulkan
bahwa minat belajar adalah ketertarikan yang dimiliki seseorang terhadap
kegiatan belajar lebih dari kegiatan lain tanpa ada paksaan dari orang lain.
2. Indikator Minat Belajar
Menurut Hurlock (2006: 115) ciri-ciri minat anak adalah sebagai berikut.
a. Minat tumbuh bersamaan dengan perkembangan fisik dan mental.
Minat disemua bidang berubah selama terjadi perubahan fisik dan mental.
Anak-anak yang tumbuh lebih lambat dari teman sebayanya akan
mengalami masalah saat menghadapi masalah sosialnya. Hal tersebut
dikarenakan minat mereka masih minat anak sedangkan minat teman
sebayanya sudah mencapai minat remaja. Dan sebaliknya, anak-anak yang
minat teman sebayanya adalah minat anak sedangkan minatnya sudah minat
remaja.
b. Minat bergantung pada kesiapan belajar
Anak-anak tidak dapat mempunyai minat sebelum mereka siap secara fisik
dan mental. Misalnya anak belum mempunyai minat terhadap sepak bola
sebelum memiliki kekuatan dan koordinasi otot yang diperlukan untuk
bermain sepak bola.
c. Minat bergantung pada kesempatan belajar
Lingkungan untuk belajar bagi siswa diawali dari rumah, maka minat anak
terbatas pada rumah. Dengan bertambah luas lingkungan sosialnya, maka
bertambah luaslah minat mereka.
d. Perkembangan minat mungkin terbatas
Ketidakmampuan fisik dan mental serta pengalaman sosial akan membatasi
minat anak. Misalnya anak yang memiliki kecatatan fisik mungkin akan
kurang berminat pada bidang olah raga.
e. Minat dipengaruhi pengaruh budaya
Anak-anak mendapat kesempatan oleh orang tua, guru, dan orang dewasa
lainnya untuk belajar apa saja yang dianggap oleh kelompok budayanya
merupakan minat yang sesuai. Sebaliknya, anak-anak tidak diberi
kesempatan untuk menekuni minat yang tidak sesuai dengan budayanya.
f. Minat berbobot emosional
Bobot emosional yang kurang menyenangkan akan melemahkan minat dan
g. Minat itu egosentris
Sepanjang masa perkembangan anak-anak, minat it egosentris. Misalnya
anak laki-laki yang mempunyai minat pada Matematika karena berfikir
bahwa Matematika merupakan langkah penting menuju kedudukan yang
menguntungkan.
Menurut Slameto (2003: 58) indikator siswa yang mempunyai minat dalam
suatu kegiatan tertentu adalah sebagai berikut.
1. Mempunyai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
menyenangi beberapa kegiatan.
2. Kegiatan yang diminati akan diperhatikan terus menerus disertai rasa
senang.
3. Memperoleh kepuasaan dari kegiatan yang diminati.
4. Minat pada kegiatan tertentu akan diimplementasikan melalui partisipasi
aktif.
5. Lebih menyukai kegiatan tertentu daripada kegiatan yang lain.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut, penelitian ini menggunakan indikator
minat belajar menurut Slameto untuk dikembangkan dalam instrumen
penelitian.
3. Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Minat
Menurut Saiful Sagala (2010:152) “pembelajaran perlu memperhatikan
minat dan kebutuhan siswa, sebab keduanya akan menimbulkan perhatian”.
Sesuatu yang menarik minat dan dibutuhkan siswa akan menarik perhatian dan
Rahim, 2008: 28-29) mengidentifikasi enam faktor yang mempengaruhi
perkembangan minat anak, yaitu sebagai berikut.
a. Pengalaman sebelumnya.
Siswa akan mengembangkan minatnya terhadap sesuatu jika sebelumnya ia
pernah mengalaminya.
b. Konsep tentang diri
Konsep diri berkaitan dengan berguna atau tidaknya bagi diri siswa. Siswa
akan menerima informasi jika dipandang berguna dan membantu
meningkatkan dirinya.
c. Nilai-nilai
Minat siswa akan timbul jika suatu mata pelajaran disajikan oleh orang atau
guru yang mempunyai wibawa.
d. Mata pelajaran yang bermakna
Mata pelajaran yang bermakna dapat diartikan bahwa materi yang disajikan
dapat dengan mudah dipahami oleh siswa. Materi yang disusun berdasarkan
pengalaman siswa sehari-hari akan lebih mudah diterima oleh siswa dan
akan menarik minat siswa.
e. Tingkat keterlibatan tekanan
Minat terhadap mata pelajaran tertentu akan lebih tinggi jika siswa
mempunyai beberapa tingkat pilihan dan sedikit tekanan.
f. Kekompleksitasan materi pelajaran
Siswa yang lebih mampu secara intelektual dan psikologis kecenderungan
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi minat belajar yaitu pengalaman sebelumnya, konsep diri,
nilai-nilai, mata pelajaran yang bermakna, tingkat keterlibatan tekanan, dan
kekompleksitasan materi pelajaran.
4. Peran Minat dalam Pembelajaran
Minat mempunyai pengaruh yang penting terhadap sikap siswa. Menurut
Hurlock (1978: 114) “minat menjadi sumber motivasi yang kuat untuk
belajar”. Siswa yang berminat pada suatu kegiatan seperti permainan maupun
pekerjaan akan berusaha lebih keras untuk mempelajari permainan atau
pekerjaan tersebut. Demikian pula dalam hal pelajaran, siswa yang berminat
pada pelajaran tertentu, akan berusaha lebih keras untuk mencapai prestasi
yang diinginkan melalui pengalaman belajarnya.
Proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar kalau guru dan siswa
mempunyai minat terhadap materi yang dipelajari. “Siswa yang tidak berminat
pada pelajaran, ia akan menjadi malas belajar” (Nasution, 2010: 82). Untuk
itulah guru harus membangkitkan minat siswa agar tertarik pada materi yang
diajarkan. Nasution melanjutkan bahwa minat dapat dibangkitkan melalui
cara-cara sebagai berikut.
a. Membangkitkan rasa butuh pada siswa terhadap materi yang akan dipelajari
misalnya kebutuhan untuk menghargai keindahan, mendapatkan
penghargaan, meraih nilai tinggi, dan agar waspada terhadap bencana.
b. Menghubungkan materi dengan pengalaman yang lampau yang pernah
c. Memberi kesempatan siswa untuk menghasilkan prestasi yang baik. Untuk
itu materi yang disampaikan harus sesuai dengan kesanggupan siswa.
d. Menggunakan berbagai bentuk metode mengajar, seperti diskusi, kerja
kelompok, demonstrasi, dan sebagainya.
Minat menjadi motivasi yang besar agar siswa menikmati proses belajar
mengajar. Siswa yang berminat untuk belajar, ia akan berusaha
sungguh-sungguh daripada siswa yang tidak suka belajar.
C.Tinjauan Matematika di SD 1. Pengertian Matematika
Menurut Depdiknas (2003: 1) “Matematika berasal dari bahasa Latin
“manthanein” atau “mathema” yang artinya belajar atau yang dipelajari”.
Sedangkan Masykur dkk (2007: 42) menyatakan bahwa “Matematika menurut
bahasa Sansekerta “medha” atau “widya” yang berarti kepandaian”. Dengan
mempelajari Matematika seseorang akan mengatur jalan pikirannya dan
menambah kepandaiannya.
Matematika sama halnya dengan ilmu logika. “Kedudukan Matematika
dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai ilmu dasar” (Masykur dkk 2007: 42).
Sehingga untuk menguasai sains, teknologi dan ilmu lainnya, langkah awal
yang dikuasai adalah menguasai Matematika secara benar artinya dapat
memahami makna-makna yang terkandung dalam simbol dan lambang dalam
Matematika.
“Matematika juga merupakan alat komunikasi yang jelas, tepat dan singkat
dalam bahasa verbal membutuhkan jumlah kalimat yang banyak. Hal tersebut
kemungkinan akan menyebabkan kesalahan intrepretasi ataupun kesalahan
informasi. Misalnya a=b:c, b≠0 apabila diverbalkan akan membutuhkan
deretan kata yang jumlahnya banyak yaitu a sama dengan b dibagi c dengan
syarat b tidak sama dengan nol. Apabila diverbalkan, kemungkinan saat
membaca pernyataan tersebut akan menimbulkan salah tafsir dalam penjedaan
misalnya mengartikan bahwa a sama dengan b, hasil tersebut kemudian dibagi
c. Padahal yang diharapkan adalah b dibagi c sama dengan a. Dari pernyataan
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri bahasa Matematika adalah jelas,
tepat, dan singkat.
“Matematika merupakan ilmu penalaran deduktif yang menyatakan bahwa
kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran
sebelumnya” (Depdiknas, 2003: 2). Namun demikian, pembelajaran dan
pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman nyata.
Misalnya mengamati fakta yang ada, melihat gejala, dan dilanjutkan dengan
memperkirakan hasil baru yang diharapkan, kemudian dibuktikan secara
deduktif.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Matematika merupakan
ilmu logika yang menuntun seseorang yang belajar Matematika untuk berfikir
secara logis. Matematika digunakan sebagai dasar untuk menguasai sains dan
2. Tujuan Matematika Sekolah Dasar
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006
dijelaskan bahwa tujuan pelajaran Matematika di sekolah dasar agar peserta
didik mempunyai kemampuan sebagai berikut (Masykur, 2006: 52-53).
a) Memahami konsep Matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
b) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi Matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan Matematika.
c) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model Matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d) Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e) Memiliki sikap menghargai kegunaan Matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari Matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dari pernyataan tersebut disimpulkan bahwa pelajaran Matematika perlu
diberikan kepada siswa sekolah dasar dengan tujuan agar siswa mampu
memahami konsep Matematika, menggunakan penalaran dalam Matematika,
memecahkan masalah dalam Matematika, mampu mengkomunikasikan
gagasan Matematika, dan memiliki sikap menghargai kegunaan Matematika
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Ruang Lingkup Matematika
Menurut Depdiknas (2003: 2), “ruang lingkup Matematika pada standar
kompetensi Matematika adalah bilangan, pengukuran dan geometri, dan
pengelolaan data”. Kompetensi bilangan terkait dengan kemampuan siswa
dalam menggunakan operasi hitung bilangan. Kompetensi pengukuran terkait
datar dan bangun ruang serta menentukan keliling, luas dan volum dalam
pemecahan masalah. Sedangkan dalam kompetensi pengelolaan data, terkait
dengan kemampuan siswa dalam mengumpulkan, menyajikan, dan membaca
data.
Pembelajaran Matematika kelas IV semester 1 meliputi materi sebagai
[image:34.595.109.504.298.622.2]berikut.
Tabel 1. SK-KD Matematika Kelas IV Semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Bilangan
1. Memahami dan menggu-nakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah
1.1 Mengidentifikasi sifat-sifat operasi hitung 1.2 Mengurutkan bilangan
1.3 Melakukan operasi perkalian dan pembagian
1.4 Melakukan operasi hitung campuran 1.5 Melakukan penaksiran dan pembulatan 1.6 Memecahkan masalah yang melibatkan
uang 2. Memahami dan
menggu-nakan faktor dan keli-patan dalam pemecahan masalah
2.1 Mendeskripsikan konsep faktor dan kelipatan
2.2 Menentukan kelipatan dan faktor bilangan 2.3 Menentukan kelipatan persekutuan terkecil
(KPK) dan faktor persekutuan terbesar (FPB)
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Geometri dan Pengukuran
3. Menggunakan pengukuran sudut, panjang, dan berat dalam pemecahan masalah
3.1 Menentukan besar sudut dengan satuan tidak baku dan satuan derajat
3.2 Menentukan hubungan antar satuan waktu, antar satuan panjang, dan antar satuan berat 3.3 Menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan satuan waktu, panjang dan berat 3.4 Menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan satuan kuantitas
4. Menggunakan konsep keliling dan luas bangun datar sederhana dalam pemecahan masalah
4.1 Menentukan keliling dan luas jajargenjang dan segitiga
4.2 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keliling dan luas jajargenjang dan segitiga
Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar Matematika kelas
IV Semester 1 maka peneliti akan membatasi pada Standar kompetensi 2 yaitu
memahami dan menggunakan faktor dan kelipatan dalam pemecahan masalah
meliputi kompetensi dasar 2.3 menentukan kelipatan persekutuan terkecil
(KPK) dan faktor persekutuan terbesar (FPB) dan kompetensi dasar 2.4
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan KPK dan FPB. Dengan
demikian peneliti akan meneliti tentang pengaruh konsep diri terhadap minat
belajar Matematika kelas IV pada materi FPB dan KPK.
4. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Matematika dianggap ilmu yang membutuhkan kecerdasan yang tinggi,
sedangkan siswa yang memiliki kecerdasan yang sedang merasa kurang
yaitu menggunakan hal-hal yang konkret bagi siswa sekolah dasar, anggapan
itu mungkin akan hilang. Hal ini seperti yang dikatakan bahwa “siswa sekolah
dasar yang umumnya berusia 7-12 tahun di mana menurut Jean Piaget
termasuk dalam tahap operasional konkret” (dalam Muchtar A Karim dkk,
1996: 20-21). Pada usia tersebut anak mengembangkan konsep dengan
menggunakan benda-benda konkret. Artinya siswa akan mengerti materi
Matematika yang disampaikan guru apabila menggunakan benda-benda
konkret.
Untuk itu, dalam proses pembelajaran guru harus bertindak efektif untuk
meningkatkan motivasi belajar Matematika pada siswa dengan cara sebagai
berikut.
a. “Pembelajaran Matematika di sekolah dasar akan lebih menarik perhatian
siswa jika proses pembelajarannya sesuai dengan konteks siswa”. (Masykur,
2006: 58). Konteks siswa yang dimaksud adalah melalui pengalaman yang
terjadi di lingkungan siswa seperti latar belakang fisik, keluarga, keadaan
sosial, keadaan ekonomi dan budaya.
b. “Guru membantu dan mendorong siswa untuk mengembangkan pemikiran
atau penalaran siswa sendiri” (Masykur, 2006: 59). Kemudian
menghubungkannya dengan pemikiran orang lain dan disimpulkan sesuai
dengan konteks pelajaran. Dan terakhir guru meminta siswa untuk
merealisasikan gagasan siswa.
c. “Memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam
61). Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk kecil, pemberian model
penyelesaian tugas, pemberitahuan kekeliruan, dan menjaga emosional
siswa agar tidak frustasi.
d. “Menumbuhkan minat siswa dalam belajar Matematika” (Masykur, 2006:
70). Minat akan membantu siswa untuk menyenangi materi pelajaran
Matematika. Tanpa minat, siswa akan malas untuk belajar. Menumbuhkan
minat siswa akan terkait dengan pendekatan pembelajaran, metode, ruang
belajar, dan suasana belajar yang terjadi selama proses pembelajaran
berlangsung.
Penyampaian materi Matematika yang benar, diharapkan agar Matematika
lebih menyenangkan, mengasyikkan, dinamis, dan humanis bagi siswa.
Dengan tujuan agar siswa mampu memahami konsep Matematika,
menggunakan penalaran dalam Matematika, memecahkan masalah dalam
Matematika, mampu mengkomunikasikan gagasan Matematika, dan memiliki
sikap menghargai kegunaan Matematika dalam kehidupan sehari-hari.
D.Pengaruh Konsep Diri terhadap Minat Belajar Matematika
Frymeir (dalam Farida Rahim, 2008: 28-29) berpendapat bahwa konsep diri
berkaitan dengan berguna atau tidaknya bagi diri siswa. Siswa akan berminat
dengan Matematika jika Matematika dipandang berguna dan membantu
meningkakan dirinya. Guru dapat melakukannya dengan cara menghubungkan
bahan pengajaran yang akan diberikan dengan bahan pengajaran yang lalu dan
Ketika siswa mengalami kegagalan yang berulang-ulang, kemungkinan
siswa akan merasa rendah diri dan kurang termotivasi dalam mengikuti
pelajaran Matematika (Slameto, 2003:183). Jika siswa merasa masa lalunya
gagal dalam Matematika, ia akan menilai dirinya kurang pula. Hal tersebut
tentu akan membuat siswa merasa kurang senang terhadap pelajaran
Matematika yang mengakibatkan kurang minat terhadap pelajaran
Matematika.
Konsep diri merupakan penilaian terhadap diri sendiri sebagai hasil
interaksi dengan orang lain. Ketika anak mendapat dukungan dari orang tua
untuk mengembangkan minat Matematikanya, anak akan menilai dirinya
mampu dalam memahami materi dan mengerjakan soal Matematika.
Dorongan dan pemenuhan kebutuhan anak diperlukan agar anak merasa
bahwa orang lain memperdulikan dia. Oleh karena itu, siswa harus memiliki
konsep diri yang positif agar mampu mengembangkan minat terhadap
pelajaran tertentu seperti minat terhadap pelajaran Matematika.
Demikian pula dalam hal minat belajar Matematika dalam Standar
kompetensi 2 yaitu memahami dan menggunakan faktor dan kelipatan dalam
pemecahan masalah meliputi kompetensi dasar 2.3 menentukan kelipatan
persekutuan terkecil (KPK) dan faktor persekutuan terbesar (FPB) dan
kompetensi 2.4 menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan KPK dan FPB.
Siswa kelas IV yang memiliki konsep diri yang positif akan mampu
E.Karakteristik siswa sekolah dasar
Karakteristik siswa, menurut Hamzah B Uno (2011: 20), adalah “aspek
-aspek atau kualitas perseorangan siswa seperti bakat, motivasi, dan hasil
belajar yang dimiliki”. Setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda dalam
hal fisik maupun psikisnya. Dalam perkembangannya, siswa sekolah dasar
mempunyai karakteristik sebagai berikut.
Masa kanak-kanak akhir dibagi menjadi dua fase:
1. Masa kelas-kelas rendah Sekolah Dasar (SD) yang berlangsung antara usia 6/7 tahun-9/10 tahun biasanya duduk di kelas 1,2 dan 3. Ciri-ciri anak masa kelas-kelas rendah SD adalah sebagai berikut.
a. Ada hubungan yang kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah. b. Suka memuji diri sendiri.
c. Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan, tugas atau pekerjaan itu dianggap tidak penting.
d. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain, jika hal itu menguntungkan dirinya.
e. Suka meremehkan orang lain.
2. Masa kelas-kelas tinggi Sekolah Dasar (SD) yang berlangsung antara usia 9/10 tahun-12/13 tahun, biasanya duduk di kelas 4,5 dan 6. Ciri-ciri anak masa kelas-kelas tinggi SD adalah sebagai berikut.
a. Perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari. b. Ingin tahu, ingin belajar dan realistis.
c. Timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus.
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.
e. Anak-anak suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk bermain bersama dan membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya (Rita Eka Izzaty dkk, 2008:116-117).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa
kelas IV SD se-gugus2 Pengasihyang rata-rata berusia antara 9-10 tahun
memiliki karakteristik diantaranya yaitu mempunyai perhatian pada kehidupan
praktis sehari-hari, mempunyai minat pada mata pelajaran tertentu, selalu ingin
mengenaiprestasi belajarnya di sekolah dan suka membentuk kelompok sebaya
dan membuat sendiri aturan dalam kelompoknya.
F. Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian Ulfah Maria tahun 2007 dengan judul “Peran Persepsi
Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri Terhadap Kecenderungan Kenakalan
Remaja” menyimpulkan bahwa persepsi keharmonisan keluarga dan konsep
diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja, dengan sumbangan efektif
masing-masing prediktor yaitu konsep diri memiliki peran 30,5% sedangkan
keharmonisan keluarga yaitu 7,2%.
Hasil penelitian Sumarni tahun 2005 dengan judul “Pengaruh Konsep Diri,
Prestasi Belajar Mata Diklat Kewirausahaan dan Lingkungan Keluarga
Terhadap Minat Berwirausaha Siswa Kelas 3 SMK Negeri 2 Semarang Tahun
Ajaran 2005/2006” menyimpulkan bahwa besarnya kontribusi secara parsial
masing-maisng variabel bebas adalah 29,7% untuk konsep diri, 30,9% untuk
lingkungan keluarga dan lingkungan keluarga juga berpengaruh terhadap
konsep diri sebesar 43,3%.
Hasil penelitian Widya Pratiwi tahun 2010 dengan judul “Pengaruh Teman
Sebaya terhadap Minat Belajar PKN Siswa Kelas V di SD Wonosari”
menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara
pergaulan teman sebaya dengan minat belajar PKN ditunjukkan oleh rxy= 0,620
G.Kerangka Pikir
Penelitian ini berkaitan dengan dua variabel. Dalam penelitian ini, akan
diteliti pengaruh variabel konsep diri yang disimbolkan dalam (X) terhadap
minat belajar Matematika siswa yang disimbolkan dalam (Y) yang dirumuskan
dengan bagan sebagai berikut.
Bagan 1. Kerangka Pikir
Konsep diri merupakan penilaian individu tentang apa yang dipikirkannya
tentang dirinya. Konsep diri membimbing siswa untuk menilai dirinya tentang
apa yang ia minati, misalnya dalam hal minat belajar. Siswa yang mempunyai
konsep diri yang positif akan memiliki minat belajar yang tinggi. Hal tersebut
ditandai dengan keterlibatan belajar siswa yang tinggi di dalam kelas.
Sebaliknya siswa yang memiliki konsep diri yang negatif, ia akan kurang
berminat dalam hal belajar. Demikian pula dalam hal belajar Matematika, jika
siswa mempunyai konsep diri yang positif untuk belajar materi KPK dan FPB
maka siswa akan berminat untuk belajar materi KPK dan FPB. Konsep Diri
(X)
Minat Belajar Matematika (Y)
1. Identity self 2. Behavioral self 3. Judging self 4. Physical self 5. Moral-ethical self 6. Personal self 7. Family self 8. Social self
1. perhatian pada matemaika 2. rasa senang pada Matematika
3. puas terhadap materi dan hasil belajar Matematika
4. partisipasi aktif dalam Matematika 5. cenderung menyukai Matematika
Dengan demikian, apabila siswa mempunyai konsep diri yang positif
maka minat belajar siswa untuk mempelajari materi KPK dan FPB semakin
tinggi. Sebaliknya jika siswa mempunyai konsep diri yang negatif maka siswa
kurang berminat untuk mempelajari materi KPK dan FPB.
H.Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut .
1. Hipotesis alternatif (Ha) : “Konsep diri berpengaruh secara signifikan terhadap
minat belajar Matematika pada siswa kelas IV SD se-gugus 2 Kecamatan
Pengasih Kabupaten Kulon Progo”
2. Hipotesis nihil (Ho) : “Konsep diri tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap minat belajar Matematika pada siswa kelas IV SD se-gugus 2
BAB III
METODE PENELITIAN A.Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian sebagai berikut.
a) Penelitian kuantitatif karena data penelitian yang diperoleh berupa
angka-angka dan analisis menggunakan statistik.
b) Penelitian non-ekperimen karena penelitian ini tidak memberikan perlakuan
khusus pada salah satu variabel dan hanya mendeksripsikan variabel.
c) Pendekatan sampel karena penelitian ini akan meneliti anggota dari populasi
yang ada dalam penelitian.
B.Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian ex-postfacto. Menurut Sukardi (2012: 165)
penelitian ex-postfacto digunakan untuk menentukan apakah ada hubungan dan
tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih. Variabel yang diteliti telah terjadi
dan peneliti tidak memberi perlakuan terhadap variabel yang diteliti.
C.Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat
Tempat yang digunakan untuk penelitian ini adalah SDN se-gugus 2,
Pengasih, Kulon Progo dengan subjek penelitian siswa kelas IV Tahun Ajaran
2013/2014.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2014.
1. Variabel independen (variabel bebas)
Variabel independen menurut Sugiono (2010: 61) adalah variabel yang
mempengaruhi atau variabel yang menjadi sebab timbulnya variabel dependen.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsep diri
2. Variabel dependen (variabel terikat).
Menurut Sugiono (2010: 61) variabel dependen adalah variabel yang
dipengaruhi. Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah minat belajar
Matematika.
E.Populasi dan Sampel
1. Populasi
Menurut Sukardi (2011: 53) populasi adalah semua anggota kelompok
manusia yang tinggal bersama dalam satu tempat. Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa kelas IV SDN se-gugus 2 Kecamatan Pengasih dengan data menurut
UPTD PAUD DAN DIKDAS Kecamatan Pengasih tahun 2013/2014 adalah
[image:44.595.111.516.568.714.2]sebagai berikut.
Tabel. 2 Daftar jumlah siswa kelas IV SD se-gugus 2 Pengasih Kulon Progo
No Nama Sekolah Jml Siswa Laki-Laki Jml Siswa Perempuan Total
1. SD N 1 Pengasih 13 4 17
2. SD N 3 Pengasih 6 21 27
3. SD N Gebangan 8 3 11
4. SD N Kepek 20 14 34
5. SD N Sendangsari 6 13 19
6. SD N Clereng 9 3 12
7. SDN Serang 8 13 21
8. SD N Klegen 7 12 19
2. Sampel
Sampel, menurut Sugiono (2010: 118), adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Jumlah anggota sampel dalam penelitian
ini dihitung menggunakan rumus yang dikembangkan Issac dan Michael (Sukardi,
2011:55), yaitu:
�=
2.�.� (1− �)
�2 � −1 + 2� (1− �)
Keterangan:
S = Jumlah anggota sampel N = Jumlah Populasi akses
P = Proporsi populasi sebagai dasar asumsi pembuatan tabel. Harga ini diambil P=0,50.
d = derajat ketepatan yang direfleksikan oleh kesalahan yang dapat ditoleransi dalam fluktuasi sampel P, d umumnya diambil 0,05. X2 = nilai tabel chisquare untuk satu derajat kebebasan relatif level
konfiden yang diinginkan. X2 = 3,841 tingkat kepercayaan 0,95.
Hasil penghitungan jumlah anggota sampel dari jumlah anggota populasi 160
siswa dengan error sampling 5% diperoleh jumlah anggota sampel sebanyak 113.
Pengambilan anggota sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
probability random sampling. Teknik ini digunakan peneliti karena lapangan
wilayah penelitian Gugus 2 Pengasih yang luas. Dengan teknik ini, peneliti dapat
menghemat biaya dan tenaga dalam menemui subjek penelitian.
Berdasarkan cara perhitungan anggota sampel dengan teknik teknik
probability random sampling diperoleh 5 SD dari 8 SD yang akan dijadikan
sebagai sampel yang dipilih secara acak. Adapun SD yang digunakan sebagai
Tabel 3. Daftar SD Negeri yang menjadi sampel penelitian.
NO Nama SD Negeri Jumlah Siswa
1. Pengasih 3 26
2. Klegen 18
3. Pengasih 1 16
4. Kepek 33
5. Serang 20
Jumlah anggota sampel 113
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala konsep diri
dan skala minat belajar yang tertutup, langsung dan pilihan ganda. Skala tertutup
karena responden hanya memilih jawaban yang sudah disediakan. Skala langsung
karena responden menjawab langsung tentang dirinya dan skala pilihan ganda
karena responden hanya memilih satu jawaban dari beberapa pilihan jawaban
yang sudah tersedia.
G.Instrumen Penelitian
Menurut Sugiono (2010: 133), instrumen penelitian adalah suatu alat yang
digunakan untuk mengukur variabel yang diteliti. Penyusunan skala konsep diri
dan skala minat belajar Matematika pada penelitian ini terdiri dari beberapa
langkah yaitu sebagai berikut.
a. Persiapan
Persiapan penelitian meliputi perumusan tujuan instrumen, definisi
operasional variabel, indikator dan kisi-kisi.
1) Tujuan
Tujuan instrumen skala adalah untuk memperoleh data tentang konsep diri dan
2) Definisi operasional variabel
a) Konsep diri adalah gambaran atau pemahaman individu tentang dirinya
yang berpengaruh terhadap orang lain. Aspek-aspek konsep diri mencakup
diri identitas, diri pelaku, diri penilai, diri fisik, diri etik-moral, diri sosial,
diri keluarga dan diri pribadi
b) Minat belajar Matematika adalah rasa lebih suka dan ketertarikan seseorang
terhadap kegiatan belajar Matematika lebih dari kegiatan belajar pelajaran
yang lain tanpa ada paksaan dari luar. Faktor-faktor yang mempengaruhi
minat belajar yaitu pengalaman sebelumnya, konsep diri, nilai-nilai, mata
pelajaran yang bermakna, tingkat keterlibatan tekanan, dan
kekompleksitasan materi pelajaran.
3) Indikator konsep diri dan minat belajar Matematika
a) Indikator konsep diri dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Diri identitas (identity self)
2. Diri pelaku (behavioral self)
3. Diri penerimaan/ penilaian (judging self)
4. Diri fisik (Psysical self)
5. Diri etik-moral (moral-ethical s