• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Imbalan (Countervailing Duties) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Imbalan (Countervailing Duties) Chapter III V"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINDAKAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH NEGARA UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DARI TINDAKAN

SUBSIDI NEGARA ASAL BARANG

D. Pengertian Industri Dalam Negeri

Istilah industri sering diidentikkan dengan semua kegiatan ekonomi manusia yang mengolah barang mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dari definisi tersebut, istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur (manufacturing). Padahal, pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial. Disebabkan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha tersebut.68

68

Loveyta, Perlindungan Terhadap Kepentingan Nasional Melalui Pengecualian Penerapan Prinsip-Prinsip WTO Untuk Negara Berkembang, (Malang : Fakultas Hukum Univ. Brawijaya, 2008), hlm. 3.

(2)

Pengertian industri dalam negeri tidak dijumpai baik di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian maupun Di Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional, hanya saja di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian disebutkan bahwa perindustrian diselenggarakan berdasarkan asas:69

a. Kepentingan nasional; b. Demokrasi ekonomi; c. Kepastian berusaha; d. Pemerataan persebaran;

e. Persaingan usaha yang sehat; dan f. Keterkaitan Industri.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian menyebutkan bahwa perindustrian diselenggarakan dengan tujuan:70

a. Mewujudkan Industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional;

b. Mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur Industri;

c. Mewujudkan Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau;

d. Mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan Industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat;

69

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian

(3)

e. Membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja;

f. Mewujudkan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan

g. Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian disebutkan industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.71

Industri adalah usaha untuk memproduksi barang jadi dengan bahan baku atau bahan mentah melalui proses produksi penggarapan dalam jumlah besar sehingga barang tersebut dapat diperoleh dengan harga serendah mungkin tetapi dengan mutu setinggi-tingginya.

Pengertian industri yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) cukup komprehensif untuk mencakup semua jenis industri baik berupa industri barang ataupun industri jasa. Dari pengertian tersebut, bisa diketahui bahwa perindustrian tersebut mencakup hal yang sangat luas dalam perekonomian, terutama dalam bidang produksi.

Menurut Ensklopedia Indonesia, Industri merupakan bagian dari proses produksi yang tidak mengambil bahan-bahan tersebut langsung dari alam untuk konsumsi, tetapi bahan-bahan diproses dan akhirnya menjadi komoditas yang berharga kepada masyarakat.

72

71

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian

72 Ida Bagus Wyasa Putra,

(4)

Adapun klasifikasi industri berdasarkan kriteria masing-masing, adalah sebagai berikut:73

a. Klasifikasi industri berdasarkan bahan baku

Tiap-tiap industri membutuhkan bahan baku yang berbeda, tergantung pada apa yang akan dihasilkan dari proses industri tersebut. Berdasarkan bahan baku yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi:

1) Industri ekstraktif, yaitu industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam. Misalnya: industri hasil pertanian, industri hasil perikanan, dan industri hasil kehutanan.

2) Industri nonekstraktif, yaitu industri yang mengolah lebih lanjut hasil-hasil industri lain. Misalnya: industri kayu lapis, industri pemintalan, dan industri kain.

3) Industri fasilitatif atau disebut juga industri tertier. Kegiatan industrinya adalah dengan menjual jasa layanan untuk keperluan orang lain. Misalnya: perbankan, perdagangan, angkutan, dan pariwisata.

b. Klasifikasi industri berdasarkan tenaga kerja

Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi:

1) Industri rumah tangga, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. Ciri industri ini memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga kerja berasal dari anggota keluarga, dan pemilik atau pengelola industri biasanya kepala rumah tangga itu sendiri atau anggota

73

(5)

keluarganya. Misalnya: industri anyaman, industri kerajinan, industri tempe/tahu, dan industri makanan ringan.

2) Industri kecil, yaitu industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar 5 sampai 19 orang, Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relative kecil, tenaga kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Misalnya: industri genteng, industri batubata, dan industri pengolahan rotan.

3) Industri sedang, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja sekitar 20 sampai 99 orang. Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar, tenaga kerja memiliki keterampilan tertentu, dan pimpinan perusahaan memiliki kemapuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri bordir, dan industri keramik.

4) Industri besar, yaitu industri dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yang dihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham, tenaga kerja harus memiliki keterampilan khusus, dan pimpinan perusahaan dipilih melalui uji kemapuan dan kelayakan (fit and profer test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil, industri besi baja, dan industri pesawat terbang.

c. Klasifikasi industri berdasarkan produksi yang dihasilkan

Berdasarkan produksi yang dihasilkan, industri dapat dibedakan menjadi: 1) Industri primer, yaitu industri yang menghasilkan barang atau benda yang

(6)

tersebut dapat dinikmati atau digunakan secara langsung. Misalnya: industri anyaman, industri konveksi, industri makanan dan minuman. 2) Industri sekunder, yaitu industri yang menghasilkan barang atau benda

yang membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum dinikmati atau digunakan. Misalnya: industri pemintalan benang, industri ban, industri baja, dan industri tekstil.

3) Industri tertier, yaitu industri yang hasilnya tidak berupa barang atau benda yang dapat dinikmati atau digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung, melainkan berupa jasa layanan yang dapat mempermudah atau membantu kebutuhan masyarakat. Misalnya: industri angkutan, industri perbankan, industri perdagangan, dan industri pariwisata.

d. Klasifikasi industri berdasarkan bahan mentah

Berdasarkan bahan mentah yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi: 1) Industri pertanian, yaitu industri yang mengolah bahan mentah yang

diperoleh dari hasil kegiatan pertanian. Misalnya: industri minyak goreng, industri gula, industri kopi, industri teh, dan industri makanan.

2) Industri pertambangan, yaitu industri yang mengolah bahan mentah yang berasal dari hasil pertambangan. Misalnya: industri semen, industri baja, industri BBM (bahan bakar minyak bumi), dan industri serat sintetis. 3) Industri jasa, yaitu industri yang mengolah jasa layanan yang dapat

(7)

e. Klasifikasi industri berdasarkan lokasi unit usaha

Keberadaan suatu industri sangat menentukan sasaran atau tujuan kegiatan industri. Berdasarkan pada lokasi unit usahanya, industri dapat dibedakan menjadi:

1) Industri berorientasi pada pasar (market oriented industri), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah persebaran konsumen.

2) Industri berorientasi pada tenaga kerja (employment oriented industri), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah pemusatan penduduk, terutama daerah yang memiliki banyak angkatan kerja tetapi kurang pendidikannya.

3) Industri berorientasi pada pengolahan (supply oriented industri), yaitu industri yang didirikan dekat atau ditempat pengolahan. Misalnya: industri semen di Palimanan Cirebon (dekat dengan batu gamping), industri pupuk di Palembang (dekat dengan sumber pospat dan amoniak), dan industri BBM di Balongan Indramayu (dekat dengan kilang minyak).

4) Industri berorientasi pada bahan baku, yaitu industri yang didirikan di tempat tersedianya bahan baku. Misalnya: industri konveksi berdekatan dengan industri tekstil, industri pengalengan ikan berdekatan dengan pelabuhan.

(8)

dan pasarnya sangat luas serta dapat ditemukan di mana saja. Misalnya: industri elektronik, industri otomotif, dan industri transportasi.

f. Klasifikasi industri berdasarkan proses produksi

Berdasarkan proses produksi, industri dapat dibedakan menjadi:

1) Industri hulu, yaitu industri yang hanya mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Industri ini sifatnya hanya menyediakan bahan baku untuk kegiatan industri yang lain. Misalnya: industri kayu lapis, industri alumunium, industri pemintalan, dan industri baja.

2) Industri hilir, yaitu industri yang mengolah barang setengah jadi menjadi barang jadi sehingga barang yang dihasilkan dapat langsung dipakai atau dinikmati oleh konsumen. Misalnya: industri pesawat terbang, industri konveksi, industri otomotif, dan industri meubeler.

g. Klasifikasi industri berdasarkan barang yang dihasilkan

Berdasarkan barang yang dihasilkan, industri dapat dibedakan menjadi:

1) Industri berat, yaitu industri yang menghasilkan mesin-mesin atau alat produksi lainnya. Misalnya: industri alat-alat berat, industri mesin, dan industri percetakan.

2) Industri ringan, yaitu industri yang menghasilkan barang siap pakai untuk dikonsumsi. Misalnya: industri obat-obatan, industri makanan, dan industri minuman.

h. Klasifikasi industri berdasarkan modal yang digunakan

(9)

1) Industri dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yaitu industri yang memperoleh dukungan modal dari pemerintah atau pengusaha nasional (dalam negeri). Misalnya: industri kerajinan, industri pariwisata, dan industri makanan dan minuman.

2) Industri dengan Penanaman Modal Asing (PMA), yaitu industri yang modalnya berasal dari penanaman modal asing. Misalnya: industri komunikasi, industri perminyakan, dan industri pertambangan.

3) Industri dengan modal patungan (join venture), yaitu industri yang modalnya berasal dari hasil kerja sama antara PMDN dan PMA. Misalnya: industri otomotif, industri transportasi, dan industri kertas.

i. Klasifikasi industri berdasarkan subjek pengelola

Berdasarkan subjek pengelolanya, industri dapat dibedakan menjadi:

1) Industri rakyat, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik rakyat, misalnya: industri meubeler, industri makanan ringan, dan industri kerajinan.

2) Industri negara, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik Negara yang dikenal dengan istilah BUMN, misalnya: industri kertas, industri pupuk, industri baja, industri pertambangan, industri perminyakan, dan industri transportasi.

j. Klasifikasi industri berdasarkan cara pengorganisasian

(10)

1) Industri kecil, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relatif kecil, teknologi sederhana, pekerjanya kurang dari 10 orang biasanya dari kalangan keluarga, produknya masih sederhana, dan lokasi pemasarannya masih terbatas (berskala lokal). Misalnya: industri kerajinan dan industri makanan ringan.

2) Industri menengah, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relative besar, teknologi cukup maju tetapi masih terbatas, pekerja antara 10-200 orang, tenaga kerja tidak tetap, dan lokasi pemasarannya relative lebih luas (berskala regional). Misalnya: industri bordir, industri sepatu, dan industri mainan anak-anak.

3) Industri besar, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal sangat besar, teknologi canggih dan modern, organisasi teratur, tenaga kerja dalam jumlah banyak dan terampil, pemasarannya berskala nasional atau internasional. Misalnya: industri barang-barang elektronik, industri otomotif, industri transportasi, dan industri persenjataan.

E. Akibat Subsidi Terhadap Industri Dalam Negeri Suatu Negara.

Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan atau bantuan kepada indusrti dalam negeri dalam bentuk keringanan pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit, subsidi harga.

(11)

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, Dan Tindakan Pengamanan Perdagangan bahwa : 74

a. Terhadap barang impor selain dikenakan Bea Masuk dapat dikenakan Bea Masuk Imbalan, jika:

(1) Barang yang diimpor mengandung Subsidi di negara pengekspor;

(2) Impor barang sebagaimana dimaksud pada huruf a menyebabkan Kerugian.

b. Besarnya Bea Masuk Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sama dengan Subsidi Neto.

Subsidi Neto adalah selisih antara Subsidi dengan:75

h. Biaya permohonan, tanggungan, atau pungutan lain yang dikeluarkan untuk memperoleh Subsidi; dan/atau

i. Pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk pengganti Subsidi yang diberikan kepada barang ekspor tersebut.

Bea masuk imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dikenakan setelah dilakukan penyelidikan oleh Komite Antidumping Indonesia (KADI). Penyelidikan oleh KADI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan permohonan atau berdasarkan inisiatif KADI.76

Produsen dalam negeri barang sejenis dan/atau asosiasi produsen dalam negeri barang sejenis dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud

74

Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

75

Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

76

(12)

dalam Pasal 38 ayat (2) secara tertulis kepada KADI untuk melakukan penyelidikan dalam rangka pengenaan tindakan imbalan atas barang impor yang diduga mengandung subsidi yang menyebabkan Kerugian. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri barang sejenis dan asosiasi produsen dalam negeri barang sejenis yang mewakili Industri dalam negeri. produsen dalam negeri barang sejenis dan asosiasi produsen dalam negeri Barang Sejenis dianggap mewakili Industri dalam negeri apabila:77

a. Produksinya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah produksi pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan produsen dalam negeri Barang Sejenis yang menolak permohonan penyelidikan;

b. Produksi dari pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan produsen dalam negeri Barang Sejenis yang mendukung permohonan penyelidikan menjadi lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah produksi pemohon, pendukung, dan yang menolak permohonan penyelidikan.

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat bukti awal dan didukung dengan dokumen lengkap mengenai adanya:78

a. Subsidi b. Kerugian

c. Hubungan sebab akibat antara barang impor yang mengandung Subsidi dan d. Kerugian yang dialami oleh pemohon.

77

Pasal 39 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

78

(13)

Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas data yang bersifat rahasia dan data yang bersifat tidak rahasia. Dalam hal data yang bersifat rahasia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak didukung alasan yang kuat bahwa bersifat rahasia, KADI dapat mengabaikan kerahasiaan data dimaksud.

Penyelidikan berdasarkan inisiatif KADI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilakukan apabila KADI memiliki bukti awal yang cukup mengenai adanya subsidi neto, kerugian industri dalam negeri, dan hubungan sebab akibat antara subsidi neto dan kerugian industri dalam negeri.79

Penyelidikan hanya dapat dilakukan apabila:80

a. Produksi dari pemohon atau produksi dari pemohon dan yang mendukung permohonan berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari total produksi Barang Sejenis yang dihasilkan oleh Industri Dalam Negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan permohonan;

b. Produksi dari Industri Dalam Negeri yang mendukung dilakukannya penyelidikan berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari total produksi Barang Sejenis yang dihasilkan oleh Industri Dalam Negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan inisiatif KADI.

F. Tindakan Imbalan (Countervailing Duties) Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri.

1. Pengertian Tindakan Imbalan (Countervailing Duties).

Tindakan imbalan (Countervailing Duties) adalah tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara

79

Pasal 40 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

80

(14)

pengekspor untuk perusahaan eksportir. Menurut UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdangangan pada Pasal 67 ayat (3) bagian d, tindakan imbalan bertujuan untuk mengatasi praktik perdagangan yang tidak sehat. Dalam Pasal 71 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, diatur juga mengenai kewajiban pemerintah untuk mengambil tindakan imbalan dalam rangka menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian industri dalam negeri.

Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establisshing The World Trade Organization/WTO (Pesetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO, artinya dalam melakukan harmonisasi, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO.81

a. Keringanan dalam perpajakan dalam bentuk penangguhan pembebasan pembayaran pajak

Subsidi diartikan sebagai bantuan atau insentif yang diberikan oleh pemerintah atau suatu negara kepada para pelaku ekonomi di negaranya. Bantuan tersebut dapat berupa :

b. Pembatasan bea masuk atau impor c. Keringanan bunga kredit perbankan

81

(15)

d. Bantuan ‘in natura’ seperti pemberian bonus uang kepada produsen ekspor untuk setiap volume produksi yang berhasil di ekspor yang dikenal dengan sebutan subsidi ekspor (export subsidy)

e. Biaya riset dan pengembangan terknologi.82

Tujuan diberikannya subsidi agar mendorong pertumbuhan produksi dan menggalakkan ekspor dan mengurangi impor. Subsidi pada prinsipnya tidak dilarang, akan tetapi perlu adanya pembatasan agar mencegah timbulnya penyalah gunaan yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara lain. Dalam perdagangan internasional subsidi merupakan suatu perbuatan yang tidak fair (unfair practices) yang dapat merugikanpihak-pihak yang terkena perbuatan praktik subsidi.Praktik subsidi mengeleminasi persaingan yang wajar dalam mekanismepasar sehingga dapat melumpuhkan iklim usaha yang kompetitif yangmengakibatkan rusaknya tatanan hubungan dagang yang fair.83

a. Kontribusi finansial yang berasal dari pemerintah seperti, hibah, pinjaman, penyertaan modal, pengalihan kewajiban atau modal, pengalihan pemasukan kas negara, penghapusan pajak,

Kriteria subsidi yang masuk dalam pengawasan WTO, diatur dalam Article

1 Agreement on Subsidies and Countervailing Measures GATT/WTO 1994, adalah sebagai berikut:

b. Khusus bidang pertanian, subsidi dianggap jika terdapat apa yang disebut

price support atau income support,

c. Subsidi harus menimbulkan keuntungan bagi pihak yang menerima,

82

Muhammad Sood. Op.Cit, hlm. 189

83 Ida Bagus Wyasa Putra,

(16)

Subsidi tersebut harus bersifat spesifik, artinya subsidi itu memang diberikan pemerintah hanya kepada sebuah perusahaan atau industri, atau sekelompok perusahaan atau sekelompok industri.84

2. Tujuan dari Tindakan Imbalan

Subsidi adalah suatu pemberian (kontibusi) dalam bentuk uang atau finansial yang diberikan oleh pemerintah atau suatu badan umum (public body).85 Kontribusi pemerintah tersebut dapat berupa antara lain, penyerahan dana secara langsung seperti hibah, pinjaman, dan penyertaan, pemindahan dana atau jaminan langsung atas hutang : hilangnya pendapatan pemerintah atau pembebasan fiskal (seperti keringanan pajak), penyediaan barang atau jasa diluar prasarana umum atau pembelian barang, pemerintah melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan atau memberikan otorisasi kepada suatu badan swasta untuk melaksanakan tugas pemerintah dalam hal penyediaan dana. Disamping hal tersebut, semua bentuk income dan price support

Tindakan konkret untuk mengkompensasikan dampaknya, dalam juga merupakan subsidi apabila bantuan tersebut menimbulkan suatu keuntungan.

contervailing duty, seperti juga halnya anti-dumping terhadap duty yang diterapkan dumping, ditujukan terhadap produk yang memperoleh unfair advantage tersebut. Sebagai konsekuensi, inside dari tindakan balsan tersebut ditujukan terhadapat perusahaan yang memperoleh subsidi karena countervail

yang dikenakan akan mempunyai dampak langsung terhadap perusahaan yang memperoleh subsidi.86

84

Muhammad sood. Op.Cit, hlm. 195

85

Erwan, “Pengantar Mengenai Subsidi dan Contervailling Di Dalam Perdagangan” melalui https://wordpress.com, diakses tanggal 05 April 2017 Pukul 10.00 Wib.

86

(17)

Perjanjian tentang mengenai subsidi dan tindakan imbalan (countervailing) diatur tersendiri dalam Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan

Countervailing yang dimaksudkan untuk mengembangkan Agreement on Interpretation and Application Pasal VI, XVI dan XXIII yang dinegosiasikan dalam Putaran Tokyo (Tokyo Round Subsidies Code). Berbeda dengan peraturan sebelumnya, perjanjian tersebut memperkenalkan definisi subsidi dan memperkenalkan konsep subsidi khusus.

Definisi subsidi mengandung tiga elemen dasar yang harus terpenuhi, yaitu: 87

a. Kontribusi keuangan

b. Oleh pemerintah atau badan publik dalam wilayah anggota WTO

c. Yang memberikan manfaat. Dengan kata lain, subsidi yang tersedia hanya untuk suatu perusahaan atau industri atau kelompok perusahaan atau industri dalam yurisdiksi kewenangan pemberian subsidi.

Salah satu bagian dari perjanjian tersebut menyangkut penggunaan tindakan imbalan (countervailing) atas barang impor bersubsidi. Ketentuan tersebut mengatur mengenai inisiasi kasus tindakan imbalan, penyelidikan oleh otoritas nasional dan aturan penetapan bukti-bukti untuk memastikan bahwa semua pihak yang berkepentingan dapat menyajikan informasi dan argumen yang jelas. Perhitungan jumlah subsidi juga diatur dalam ketentuan sebagai dasar untuk penentuan kerugian pada industri dalam negeri. Semua faktor ekonomi yang relevan harus diperhitungkan dalam menilai keadaan suatu industri dan hubungan sebab akibat harus terpenuhi antara impor bersubsidi dan dugaan kerugian.

87

(18)

Investigasi tindakan imbalan akan segera diakhiri dalam kasus di mana jumlah subsidi adalah de minimis (subsidi kurang dari 1% ad valorem) atau di mana volume impor bersubsidi aktual atau potensial maupun kerugian dapat diabaikan. Kecuali dalam keadaan luar biasa, investigasi harus dapat disimpulkan dalam waktu satu tahun setelah inisiasi dan tidak boleh melebihi 18 bulan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan yang menentukan bahwa penyelidikan tidak dapat dilakukan atau segera harus dihentikan terhadap eksportir, eksportir produsen, atau negara pengekspor tertentu apabila KADI menemukan:88

a. Jumlah Subsidi kurang dari 1% ad valorem;

b. Volume impor barang yang mengandung subsidi yang secara nyata ataupun potensial sedemikian kecil sehingga dapat diabaikan

Semua bea masuk imbalan (countervailing duties) harus dihentikan dalam waktu 5 tahun dari tanggal pengenaan kecuali countervailing duties pihak yang berwenang menentukan bahwa berdasarkan review menjelang berakhirnya pengenaan bea masuk imbalan akan cenderung mengarah pada berlanjutnya atau berulangnya subsidi dan kerugian.

Perjanjian tersebut mengakui bahwa subsidi dapat memainkan peran penting dalam program pembangunan ekonomi negara-negara berkembang dan negara-negara transisi dari sistem ekonomi terpusat ke sistem ekonomi pasar. Negara-negara kurang berkembang dan negara-negara berkembang yang memiliki

88

(19)

GNP per kapita kurang dari USD 1.000 dibebaskan dari ketentuan subsidi ekspor dan memiliki pengecualian terikat waktu dari subsidi terlarang lainnya. Untuk negara-negara berkembang lainnya, larangan subsidi ekspor akan berlaku 8 tahun setelah berlakunya perjanjian pembentukan WTO, dan mereka memiliki pembebasan terikat waktu dari subsidi terlarang lainnya. Investigasi tindakan imbalan suatu produk yang berasal dari anggota negara berkembang akan dihentikan jika tingkat keseluruhan subsidi tidak melebihi 2% (dari negara-negara berkembang tertentu sebesar 3%) dari nilai produk, atau jika volume impor bersubsidi kurang dari 4% dari total impor untuk produk sejenis. Untuk negara-negara transisi, subsidi yang dilarang harus dihapus dalam jangka waktu 7 tahun sejak tanggal berlakunya perjanjian.89

3. Syarat-Syarat dalam Menggunakan Tindakan Imbalan

Menurut Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (Article 3 – Article 8) bahwa jenis subsidi meliputi :

a. Subsidi yang terlarang dalam Article 3 yaitu : 32

1) Kelompok subsidi yang diberikan kepada pelaksana ekspor misalnya subsidi ekspor (yang berhubungan dengan kinerja ekspor). Larangan subsidi ekspor ini tidak berlaku untuk negara yang tergolong sangat terbelakang, dan untuk negara berkembang dalam jangka waktu 8 tahun terhitung sejak berlakunya persetujuan WTO mengenai subsidi tersebut. 2) Kelompok subsidi yang diberikan untuk pemakaian produk lokal

(penggunaan barang dalam negeri) sebagai pengganti produk impor.

89 Kemendag, “Analisis Kebijakan Pengamanan”, melalui

(20)

Larangan subsidi ini tidak berlaku bagi negara berkembang dalam jangka waktu 5 tahun, dan negara terbelakang selama jangka waktu 8 tahun sejak berlakunya persetujuan WTO

b. Subsidi yang dapat terkena tindakan, Article 5 :

Kelompok subsidi jenis ini adanya kemungkinan terkena sanksi apabila :

1) Mengakibatkan kerugian industri dalam negeri dari negeri yang mengimpor produk yang disubsidi tersebut

2) Menghilangkan atau merusak keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung yang seharusnya dinikmatinya oleh negara lain

c. Subsidi yang tidak terkena tindakan,Article 8 : Kelompok subsidi jenis ini meliputi :

1) Subsidi yang tidak spesifik.90

2) Subsidi berupa bantuan penelitian yang dilakukan oleh perusahaan, universitas, lembaga penelitian, sepanjang besarnya bantuan itu tidak melebihi 75% dari biaya penelitian industry.

Subsidi yang tidak spesifik adalah subsidi yang khusus diberikan untuk riset dan pengembangan, subsidi untuk daerah miskin yang terbelakang dan bantuan yang ditujukan untuk proses adaptasi.

3) Subsidi untuk wilayah yang terbelakang, sepanjang kriteria daerah terbelakang itu disusun secara objektif, transparan, dan eksplisit melalui peraturan perundang-undangan dengan menggunakkan tolok ukur pembangunan ekonomi yang minimal terdiri dari faktor pendapatan per kapita, angka pengangguran

90

(21)

4) Subsidi untuk membantu penyesuaian fasilitas persyaratan lingkungan hidup sesuai dengan undang-undang, sepanjang bantuan itu hanya untuk satu kali saja dan besarnya 20% dari biaya yang dibutuhkan.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, bahwa syarat-syarat dalam menggunakan tindakan imbalan adalah terhadap barang impor selain dikenakan Bea Masuk dapat dikenakan Bea Masuk Imbalan, jika:91

a. Barang yang diimpor mengandung subsidi di negara pengekspor;

b. Impor barang sebagaimana dimaksud pada huruf a menyebabkan Kerugian. Produsen dalam negeri barang sejenis dan/atau asosiasi produsen dalam negeri barang sejenis dapat mengajukan permohonan terhadap barang impor selain dikenakan bea masuk dapat dikenakan bea masuk imbalan dilakukan secara tertulis kepada KADI untuk melakukan penyelidikan dalam rangka pengenaan tindakan imbalan atas barang impor yang diduga mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian.

4. Proses Pemeriksaan dan Pengambilan Keputusan Tindakan Imbalan Sesuai dengan tujuan pemberian subsidi, yaitu untuk merangsang kegiatan ekspor, maka pemerintah masih diperbolehkan memberikan subsidi kepada pelaku ekonomi sebatas subsidi tersebut untuk produk primer, misalnya untuk mendukung pengembangan produk pertanian, perikanan, dan kehutanan.

91

(22)

Sementara subsidi untuk produk non-primer, yaitu produk lain diluar pertanian, perikanan, dan kehutanan tidak diperbolehkan karena berindikasi menimbulkan dampak kerugian terhadap negara lain.

Dalam usaha pemberian subsidi untuk mendorong pertumbuhan ekspor, pemerintah suatu negara wajib memberitahukan terlebih dahulu secara tertulis kepada para eksportirnya. Pemberitahuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi industri domestik negara pengimpor bagi subsidi produksi. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh pelapor adalah sebagai berikut :

a. Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara tertulis b. Pemberitahuan harus berisi :

1) Jumlah produk yang diberikan subsidi 2) Nilai subsidi

3) Keadaan-keadaan yang dijadikan alasan diberikannya subsidi

(23)

adanya subsidi juga akan diancam dengan sanksi yang sama. Dengan tidak adanya kekuatan hukum mengenai kewajiban pemberitahuan tersebut, sehingga suatu negara cenderung tidak mempergunakan prosedur.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, bahwa:92

a. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) diterima secara lengkap, KADI memberitahukan mengenai adanya permohonan kepada pemerintah negara pengekspor.

b. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) diterima secara lengkap, KADI:

1) Melakukan kajian atas kecukupan dan ketepatan bukti awal yang disampaikan dalam permohonan;

2) Memberikan keputusan:

a) Menolak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan Pasal 39 dan Pasal 41 ayat (1) huruf a; atau

Menerima dan menetapkan dimulainya penyelidikan, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan Pasal 39 dan Pasal 41 ayat (1) huruf a.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan menentukan :93

92

(24)

a. Penyelidikan dalam rangka pengenaan tindakan imbalan dimulai pada saat diumumkan kepada publik. Selain diumumkan kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KADI memberitahukan dimulainya penyelidikan kepada:

1) Eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik Indonesia di negara pengekspor, importir, dan pemohon, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan permohonan; atau

2) Eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik Indonesia di negara pengekspor, importir, dan Industri Dalam Negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan inisiatif KADI.

b. Penyelidikan berakhir pada tanggal laporan akhir hasil penyelidikan.

Pasal 44 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan menentukan :94

(1) Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal penyelidikan dimulai.

(2) Dalam keadaan tertentu, jangka waktu penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 18 (delapan belas) bulan.

93

Pasal 43 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

94

(25)

(3) Apabila dalam masa penyelidikan tidak ditemukan adanya bukti Barang Subsidi yang menyebabkan Kerugian, KADI segera menghentikan penyelidikan dan melaporkan kepada Menteri.

(4) Penghentian penyelidikan harus segera diberitahukan kepada eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik Indonesia di negara pengekspor, pemohon atau Industri Dalam Negeri, dan importir disertai dengan alasan.

Pasal 45 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan menentukan :95

(1) KADI menyampaikan laporan akhir hasil penyelidikan kepada Menteri dan kepada eksportir dan/atau produsen secara langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik Indonesia di negara pengekspor, pemohon atau Industri Dalam Negeri, dan importir dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penyelidikan berakhir.

(2) Dalam hal yang menyebabkan Kerugian, KADI menyampaikan besarnya Subsidi laporan akhir hasil penyelidikan terbukti adanya barang mengandung Subsidi Neto dan merekomendasikan kepada Menteri mengenai pengenaan Bea Masuk Imbalan.

(3) Dalam hal laporan akhir hasil penyelidikan tidak terbukti adanya barang mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian, KADI melaporkan kepada Menteri mengenai penghentian penyelidikan.

95

(26)

Dalam menyelidiki Kerugian, KADI wajib mengevaluasi faktor ekonomi yang terkait dengan kondisi Industri Dalam Negeri dan faktor lain yang relevan.96

Pasal 52 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan menentukan :97

(1) Apabila dalam masa penyelidikan, KADI menemukan bukti permulaan yang cukup mengenai adanya barang mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian, KADI dapat menyampaikan laporan sementara hasil penyelidikan dan merekomendasikan kepada Menteri untuk mengenakan Tindakan Sementara.

(2) Laporan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor, pemohon atau Industri Dalam Negeri, dan importir.

(3) Menteri menyampaikan rekomendasi KADI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada menteri dan/atau kepala lembaga pemerintah non kementerian yang terkait dengan Barang Yang Diselidiki untuk memperoleh pertimbangan dalam rangka kepentingan nasional.

(4) Menteri dan/atau kepala lembaga pemerintah non kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberikan pertimbangan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat Menteri mengenai permintaan pertimbangan.

(5) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menteri dan/atau kepala lembaga pemerintah non

96

Pasal 51 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

97

(27)

kementerian yang terkait dengan Barang Yang Diselidiki tidak menyampaikan pertimbangan, maka menteri dan/atau kepala lembaga pemerintahan non kementerian dianggap menyetujui rekomendasi KADI.

(6) Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal rekomendasi KADI, Menteri memutuskan untuk menerima atau menolak rekomendasi KADI.

(7) Dalam hal Menteri menerima rekomendasi KADI, Menteri dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menyampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan mengenai keputusan:

a. Besarnya pengenaan Bea Masuk Imbalan Sementara yang jumlahnya paling tinggi sama dengan Subsidi Neto; dan

b. Jangka waktu pengenaan Bea Masuk Imbalan Sementara.

(8) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan menetapkan besaran tarif dan jangka waktu pengenaan Bea Masuk Imbalan Sementara sesuai dengan keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat Menteri oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

(28)

Pasal 53 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan menentukan :98

(1) Tindakan Sementara dikenakan paling cepat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal dimulainya penyelidikan dan berlaku untuk jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan.

(2) Pelunasan pengenaan Bea Masuk Imbalan Sementara dapat dilakukan dengan cara:

a. Pembayaran sebesar Bea Masuk Imbalan Sementara; atau

b. Penyerahan jaminan dalam bentuk uang tunai, jaminan bank, atau jaminan dari perusahaan asuransi, sebesar Bea Masuk Imbalan Sementara.

(3) Cara pelunasan pengenaan Bea Masuk Imbalan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam penetapan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (8).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelunasan pengenaan Bea Masuk Imbalan Sementara diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

Pasal 54 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan menentukan :99

98

Pasal 53 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

99

(29)

(1) Menteri memutuskan penghentian Tindakan Sementara apabila laporan akhir hasil penyelidikan tidak terbukti adanya barang mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian.

(2) Menteri menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan KADI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).

(3) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan menetapkan pengakhiran Tindakan Sementara sesuai dengan keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat Menteri oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

(4) Dalam hal ditetapkan pengakhiran Tindakan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), importir dapat mengajukan permohonan pengembalian pembayaran atau jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

(30)

BAB IV

TINDAKAN IMBALAN (COUNTERVAILING DUTIES) DALAM HUKUM DI INDONESIA

E. Kebijakan Pemerintah Mengenai Tindakan Imbalan (Countervailing Duties) Dalam Perdagangan Luar Negeri menurut Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

Kebijakan pemerintah mengenai tindakan imbalan (countervailing duties)

dalam perdagangan internasional diartikan sebagai tindakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk memengaruhi struktur, komposisi, dan arah dari perdagangan internasional. Dengan demikian dapat dikatakan arah kebijakan perdagangan internasional itu untuk mengatur perdagangan internasional agar sesuai dengan yang dikehendaki pemerintah. Banyak macam atau ragam kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah dalam bidang perdagangan internasional.

Adapun tujuan yang akan ditargetkan pemerintah dari kebijakan perdagangan internasional itu antara lain : 100

1. Melindungi kepentingan dalam ekonomi nasional terhadap berbagai kemungkinan pengaruh buruk/negatif dari berbagai negara lain.

2. Melindungi kepentingan industri di dalam negeri dari berbagai kemungkinan persaingan yang tidak sehat maupun kondisi yang kurang menguntungkan. 3. Melindungi lapangan kerja agar bisa tetap tersedia.

4. Menjaga keseimbangan dan stabilitas neraca terhadap pembayaran internasional

100

(31)

5. Mampu mendorong laju ekspor

6. Menjaga tingkatpertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil. 7. Menjaga stabilitas nilai tukar atau kurs.

Kebijakan pemerintah mengenai tindakan imbalan (countervailing duties)

dalam perdagangan luar negeri menurut Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan adalah :101

(1) Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan Luar Negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor.

(2) Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:

a. Peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia;

b. Peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar negeri; dan

c. Peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal.

(3) Kebijakan Perdagangan Luar Negeri paling sedikit meliputi: a. Peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah produk ekspor;

b. Pengharmonisasian Standar dan prosedur kegiatan Perdagangan dengan negara mitra dagang;

c. Penguatan kelembagaan di sektor Perdagangan Luar Negeri;

d. Pengembangan sarana dan prasarana penunjang Perdagangan Luar Negeri; dan

e. Pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif Perdagangan Luar Negeri.

(32)

(4) Pengendalian Perdagangan Luar Negeri meliputi: a. Perizinan;

b. Standar; dan

c. Pelarangan dan pembatasan.

F. Harmonisasi Kebijakan Pemerintah Mengenai Tindakan Imbalan (Countervailing Duties) Dalam Perdagangan Luar Negeri Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Lahirnya WTO membawa dampak pada usaha-usaha harmonisasi pengaturan tarif yang dibahas dalam perundingan-perundingan. Perundingan perdagangan internasional sebelum Putaran Uruguay dan terbentuknya WTO 1994, para peserta lebih banyak membahas mengenai upaya penurunan tarif impor, sedangkan masalah non-tarif baru dibahas setelah perundingan Tokyo

Round 1973. Adapun perundingan tersebut yaitu :102 a. Perundingan Jenewa tahun 1947

Tahun 1947 GATT berhasil dibentuk melalui perundingan yang diselenggarakan di Jenewa (Swiss) yang disebut dengan putaran Perundingan Jenewa 1947 (GATT Conference 1947). Perundingan tersebut merupakan perundingan putaran pertama GATT yang diikuti oleh 23 negara peserta yang dalam perundingan tersebut, negara-negara peserta menyetujui konsesi penurunan tarif sebanyak 45.000 produk dengan nilai sebesar 10 miliar, mewakili separuh perdagangan dunia.

b. Perundingan Annecy 1949

102 Muhamad Sood,

(33)

Perundingan GATT putaran kedua diselenggarakan di Annecy (Prancis) tahun 1949, sehingga dikenal dengan Perundingan Annecy Round 1949. Perundingan tersebut diikuti oleh 33 negara peserta, dan berhasil menyepakati penambahan penurunan bea masuk sekitar 5.000 tarif.

c. Perundingan Torquay 1950-1951

Tahun 1955 perundingan GATT diselenggarakan di Torquay (Inggris) yang dikenal dengan perundingan Torquay Round 1951. Perundingan putaran ketiga ini diikuti oleh 34 negara peserta. Dalam perundingan ini, upaya penurunan tingkat tarif sebesar 25% dari tingkat tarif 1998, dilakukan dengan merundingkan konsesi penurunan tarif produk demi produk dari 45.000 (Perundingan Jenewa) menjadi 55.000 produk.

d. Perundingan Jenewa 1955-1956

Tahun 1955 kembali diselenggarakan perundingan GATT di Jenewa yang dikenal dengan Jenewa Round 1955-1956. Perundingan ini sifatnya lebih terbatas, karena diikuti oleh 22 negara peserta. Nilai perdagangan yang disepakati dalam perundingan ini adalah AS $ 2,5 miliar.

e. Perundingan Dillon Round 1961-1962

(34)

negara-negara berkembang mulai mendapat perhatian. Hasil dari perundingan Dillon

Round yang dapat dicatat adalah tercapainya penurunan tarif sebesar 6,5% dengan nilai sebesar AS $ 4,9 miliar.

f. Perundingan Kennedy Round 1964-1967

Perundingan Kennedy Round tahun 1964 diselenggarakan di Amerika Serikat atas usul yang disampaikan oleh Presiden Kennedy, sehingga disebut Perundingan Kennedy. Perundingan ini diikuti oleh 48 negara peserta dengan tujuan untuk menurunkan tarif secara linear terhadap semua mata dagangan. Dalam perundingan Kennedy Round, negara-negara Eropa yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa telah berupaya melakukan penurunan tarif sebesar 50% dari tingkat semula. Mereka menolak untuk menghapus tarif walaupun untuk sektor yang tidak sensitif. Namun akhirnya disepakati adalah penurunan tarif sebesar 35% dari tingkat semula untuk produk industri, sementara untuk hasil pertanian penurunannya kecil sekali. Penurunan tarif ini diterapkan dalam jangka waktu 5 tahun. Adapun hasil konsesi yang disepakati dalam Kennedy Round

mencapai nilai AS $ 40 miliar.

g. Perundingan Tokyo Round 1973-1979

Perundingan GATT yang diselenggarakan di Tokyo (Jepang) yang disebut dengan perundingan Tokyo Round 1973-1979 karena perundingan ini dibuka dalam sidang tingkat menteri di Tokyo. Namun tahap selanjutnya perundingan diselenggarakan di Jenewa 1973 hingga 1979. Dalam perundingan Tokyo Round

(35)

rintangan dan hambatan non-tarif selain tentunya tetap meneruskan perundingan dibidang tarif. Perundingan ini dihadiri oleh 99 negara peserta.

Hasil yang diperoleh dari perundingan ini, dalam bidang tarif ialah menyangkut hasil industri dan pertanian. Penurunan tingkat tarif sebesar 34% untuk produk industri, diterapkan secara bertahap dalam batas waktu 8 tahun dan sekali pada 1 januari 1987. Adapun nilai perdagangan dari produk ekspor yang diperkenankan bea masuknya, diperlakukan secara non-diskriminatif (most favored nation principle) dan dengan mengikat, mencapai jumlah AS $ 300 miliar pada tahun 1981. Dalam perundingan ini, formula yang digunakan oleh negara maju untuk menurunkan tingkat bea masuk, adalah formula yang menentukan agar penurunan tersebut lebih besar diterapkan pada bea masuk yang paling tinggi. Oleh karena itu, secara keseluruhan dampak dari kegiatan tersebut adalah tercapainya harmonisasi tingkat tarif yang sebelumnya tidak ada. Dalam perundingan ini negara-negara berkembang telah memberi konsesi dalam bentuk

commitment binding atau mengikat untuk impor mereka sebesar AS $ 3,9 miliar tahun 1977.

(36)

h. Perundingan Uruguay Round 1994

Perundingan bidang tarif merupakan bagian yang paling lama ditangani oleh GATT. Semenjak perundingan multilateral putaran GATT pertama di Genewa tahun 1947 hingga berakhirnya perundingan Putaran Uruguay tahun 1994 upaya penurunan tarif selalu menjadi perdebatan diantara peserta perundingan. Sebelum dilaksanakan perundingan ini, negara-negara anggota telah beberapa kali menyelenggarakan perundingan maupun sidang-sidang tingkat menteri antara lain, di Pertemuan Punta Del Este (Uruguay) pada September 1986, Pertemuan Montreal (Kanada) yang disebut dengan Mid-Term Review Montreal pada 1988, dan Pertemuan Brussel pada Desember 1990 dan diakhiri dengan perundingan Putaran Uruguay di Marrakech (Maroko) tanggal 15 April 1994. Namun upaya menurunkan tarif sejak berdirinya GATT 1947 telah banyak mencapai kemajuan, hingga akhirmya pada perundingan Putaran Uruguay penurunan tarif mencapai 30% dari sebelumnya. Adapun ringkasan hasil Uruguay Round tentang tarif yaitu:103

1) Kesepakatan Sidang Montreal menentukan agar negara peserta menurunkan tingkat tarif hingga 30% dari tingkat sebelumnya.

2) Karena tidak semua negara peserta dapat melakukannya, maka yang dapat dicapai adalah melakukan penurunan selektif secara total yang mempunyai dampak penurunan sebesar 30% trade weight.

103

(37)

3) Negara peserta berunding untuk mengadakan tukar-menukar konsesi penurunan tarif secara spesifik dengan mitra dagangnya dengan pendekatan

item by item melalui proses request and offer.

4) Bagi Indonesia yang dilakukan bukan penurunan tingkat tarif 30% dari tingkat sebelumnya, melainkan penentuan tingkat tarif maksimal 40% untuk 95% dari produk yang diimpor.

5) Tekanan dari komitmen Indonesia dipusatkan pada penelusuran jumlah produk yang dikenakan binding walaupun tingkat tarif maksimalnya masih tinggi yakni 40%.

Untuk merealisasi pengaturan tentang tarif impor, pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Undang-undang ini kemudian disempurnakan lagi dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Adapun ketentuan khusus tentang tarif diatur dalam pasal 12 hingga pasal 17A.

(38)

yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).104

Kebijakan pemerintah mengenai tindakan imbalan (countervailing duties)

dalam perdagangan luar negeri menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan sudah terdapat harmonisasi dengan aturan-aturan dalam perdagangan internasional. Harmonisasi tersebut dapat dilihat dalam Pasal 67 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang menyebutkan :

Kebijakan tindakan imbalan (countervailing duties) telah diakomodir di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang dimuat di dalam BAB IX tentang Perlindungan dan Pengamanan Perdagangan.

105

1. Pemerintah menetapkan kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan.

2. Penetapan kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.

3. Kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Pembelaan atas tuduhan dumping dan/atau subsidi terhadap Ekspor Barang nasional;

b. Pembelaan terhadap Eksportir yang Barang Ekspornya dinilai oleh negara mitra dagang telah menimbulkan lonjakan Impor di negara tersebut;

104

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Depok : PT.Rajagrafindo, 2005), hlm. 31

(39)

c. Pembelaan terhadap Ekspor Barang nasional yang dirugikan akibat penerapan kebijakan dan/atau regulasi negara lain;

d. Pengenaan tindakan antidumping atau tindakan imbalan untuk mengatasi praktik Perdagangan yang tidak sehat;

e. Pengenaan tindakan pengamanan Perdagangan untuk mengatasi lonjakan Impor; dan

f. Pembelaan terhadap kebijakan nasional terkait Perdagangan yang ditentang oleh negara lain.

Dalam hal adanya ancaman dari kebijakan, regulasi, tuduhan praktik Perdagangan tidak sehat, dan/atau tuduhan lonjakan Impor dari negara mitra dagang atas Ekspor Barang nasional, Menteri berkewajiban mengambil langkah pembelaan. Dalam mengambil langkah pembelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):106

1. Eksportir yang berkepentingan berkewajiban mendukung dan memberikan informasi dan data yang dibutuhkan; dan

2. Kementerian/lembaga Pemerintah nonkementerian terkait berkewajiban mendukung dan memberikan informasi dan data yang dibutuhkan.

Pasal 69 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa dalam hal terjadi lonjakan jumlah Barang Impor yang menyebabkan produsen dalam negeri dari Barang sejenis atau Barang yang secara langsung bersaing dengan yang diimpor menderita kerugian serius atau ancaman kerugian serius, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan pengamanan

(40)

Perdagangan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian serius atau ancaman kerugian serius dimaksud. Tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan dan/atau kuota. Bea masuk tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri. Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri.107

Pasal 70 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan :108

1. Dalam hal terdapat produk Impor dengan harga lebih rendah daripada nilai normal yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian pada industri dalam negeri terkait atau menghambat berkembangnya industri dalam negeri yang terkait, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan antidumping untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian atau hambatan tersebut.

2. Tindakan antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk antidumping.

3. Bea masuk antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.

107

Pasal 69 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

(41)

Pasal 71 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan dalam hal produk Impor menerima subsidi secara langsung atau tidak langsung dari negara pengekspor yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian industri dalam negeri atau menghambat perkembangan industri dalam negeri, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan imbalan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian atau hambatan tersebut. Tindakan imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk imbalan. Bea masuk imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.109

G. Eksistensi Kebijakan Pemerintah Mengenai Tindakan Imbalan (Countervailing Duties) dalam Perdagangan Luar Negeri menurut Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan.

Kebijakan perdagangan internasional adalah segala tindakan pemerintah/negara, baik langsung maupun tidak langsung untuk memengaruhi komposisi, arah, serta bentuk perdagangan luar negeri atau kegiatan perdagangan. Adapun kebijakan yang dimaksud dapat berupa tarif, dumping, kuota, larangan impor, dan berbagai kebijakan lainnya. Jika dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, maka perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks.

Kebijakan pemerintah mengenai tindakan imbalan (countervailing duties)

dalam perdagangan luar negeri adalah untuk perlindungan dan pengamanan

(42)

perdagangan sebagai disebutkan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan :110

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan.

(2) Penetapan kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.

(3) Kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Pembelaan atas tuduhan dumping dan/atau subsidi terhadap Ekspor Barang nasional;

b. Pembelaan terhadap Eksportir yang Barang Ekspornya dinilai oleh negara mitra dagang telah menimbulkan lonjakan Impor di negara tersebut;

c. pembelaan terhadap Ekspor Barang nasional yang dirugikan akibat penerapan kebijakan dan/atau regulasi negara lain;

d. Pengenaan tindakan antidumping atau tindakan imbalan untuk mengatasi praktik Perdagangan yang tidak sehat;

e. Pengenaan tindakan pengamanan Perdagangan untuk mengatasi lonjakan Impor; dan pembelaan terhadap kebijakan nasional terkait Perdagangan yang ditentang oleh negara lain.

Menurut Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan disebutkan :111

110

Pasal 67 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

(43)

(1) Dalam hal adanya ancaman dari kebijakan, regulasi, tuduhan praktik Perdagangan tidak sehat, dan/atau tuduhan lonjakan Impor dari negara mitra dagang atas Ekspor Barang nasional, Menteri berkewajiban mengambil langkah pembelaan.

(2) Dalam mengambil langkah pembelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. Eksportir yang berkepentingan berkewajiban mendukung dan memberikan

informasi dan data yang dibutuhkan; dan

b. Kementerian/lembaga Pemerintah nonkementerian terkait berkewajiban mendukung dan memberikan informasi dan data yang dibutuhkan.

Pasal 69 Pasal 67 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan :112

(1) Dalam hal terjadi lonjakan jumlah Barang Impor yang menyebabkan produsen dalam negeri dari Barang sejenis atau Barang yang secara langsung bersaing dengan yang diimpor menderita kerugian serius atau ancaman kerugian serius, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan pengamanan Perdagangan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian serius atau ancaman kerugian serius dimaksud.

(2) Tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan dan/atau kuota.

(3) Bea masuk tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diput uskan oleh Menteri.

(44)

(4) Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri. Pasal 70 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan :113

(1) Dalam hal terdapat produk Impor dengan harga lebih rendah daripada nilai normal yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian pada industri dalam negeri terkait atau menghambat berkembangnya industri dalam negeri yang terkait, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan antidumping untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian atau hambatan tersebut.

(2) Tindakan antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk antidumping.

(3) Bea masuk antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.

Pasal 71 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan :114

(1) Dalam hal produk Impor menerima subsidi secara langsung atau tidak langsung dari negara pengekspor yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian industri dalam negeri atau menghambat perkembangan industri dalam negeri, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan imbalan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian atau hambatan tersebut.

113

Pasal 70 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

(45)

(2) Tindakan imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk imbalan.

(3) Bea masuk imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.

H. Hambatan Tindakan Imbalan (Countervailing Duties) Dalam Perdagangan Luar Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

Perundingan non-tarif dalam kerangka GATT/WTO untuk pertama kali dibahas dalam perundingan Tokyo Round 1973-1979 di Tokyo (Jepang). Adapun hasil perundingan Tokyo Round dibidang non-tarif yang disepakati dalam perjanjian GATT masih merupakan code, karena hanya mengikat negara-negara peserta perundingan. Namun demikian, karena ketentuan yang dihasilkan dalam Tokyo Round merupakan upaya penyempurnaan perjanjian GATT, maka perjanjian tersebut juga merupakan elemen dalam perkembangan yurisprudensi GATT. Dibidang non-tarif, hasil perundingan yang dicapai dalam perundingan Tokyo Round, secara ringkas adalah sebagai berikut:115

1. Pengaturan yang lebih rinci mengenai tindakan non-tarif (non-tarif measures), seperti subsidy dan countervaliling duty atau bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi langkah subsidi yang diambil oleh negara pengekspor.

2. Ketentuan yang lebih rinci mengenai hambatan teknis terhadap perdagangan internasional (technical barrier to trade).

3. Ketentuan yang lebih rinci mengenai pembelian dalam bentuk impor sektor pemerintah atau government procurement..

115

(46)

4. Ketentuan yang dirinci mengenai prosedur dalam pemberian lisensi impor. 5. Penyesuaian dan perubahan aturan GATT mengenai anti-dumping yang

dirumuskan dalam GATT dan disetujui pada 1967.

Menurut Pasal 50 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan bahwa :116

1. Semua Barang dapat diekspor atau diimpor, kecuali yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain oleh undang-undang.

2. Pemerintah melarang Impor atau Ekspor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan:

a. untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat;

b. untuk melindungi hak kekayaan intelektual; dan/atau

c. untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.

Pasal 51 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan :Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor. Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor. Barang yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.117

Pasal 52 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan :118

116

Pasal 50 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

117

Pasal 51 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

(47)

1. Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor.

2. Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor.

3. Barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

4. Setiap Eksportir yang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

5. Setiap Importir yang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

6. Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 53 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan:119

1. Eksportir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) terhadap Barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) terhadap Barang impornya wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh Importir, atau ditentukan lain oleh Menteri.

(48)

Pasal 54 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan:120

1. Pemerintah dapat membatasi Ekspor dan Impor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan:

a. untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum; dan/atau b. untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan,

tumbuhan, dan lingkungan hidup.

2. Pemerintah dapat membatasi Ekspor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan:

a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;

b. menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri;

c. melindungi kelestarian sumber daya alam;

d. meningkatkan nilai tambah ekonomi bahan mentah dan/atau sumber daya alam;

e. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas Ekspor tertentu di pasaran internasional; dan/atau

f. menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri.

3. Pemerintah dapat membatasi Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan:

a. untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri; dan/atau

b. untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca Perdagangan.

(49)

Hambatan non-tarif adalah semua macam kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang menghambat perdagangan bebas dan mencakup semua hambatan yang bukan merupakan tarif. Dengan demikian, semua hambatan yang timbul karena kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang bukan merupakan tarif termasuk kategori hambatan non-tarif. Macam hambatan non-tarif adalah sangat banyak dan dapat terus bertambah. Alan M. Rugman, et.al

mengilustrasikan berbagai hambatan non-tarif adalah sebagai berikut:121

3. Pembatasan spesifik, yang terdiri dari kuota (termasuk sukarela), lisensi impor, rasio asing-domestik, batas minimum harga impor, embargo, perjanjian-perjanjian bilateral, dan perjanjian-perjanjian pemasaran secara teratur.

4. Peraturan administrasi pabean, yang terdiri dari sistem valuasi, aturan anti-dumping, klasifikasi tarif, dokumentasi yang disyaratkan, biaya-biaya, disparitas standar mutu dan pengujian, standard packaging, labeling dan pemasaran.

5. Partisipasi pemerintah, yang terdiri dari kebijakan pengadaan (procurement), subsidi dan insentif ekspor, bea countervailing, program bantuan domestik, dan bantuan trade-divertin.

6. Pungutan impor, yang terdiri dari jaminan impor (import deposit), pajak-pajak tambahan (suplementary), kredit impor, pungutan variabel (variable levies), dan pungutan perbatasan (border levies).

121

(50)

Rezim perdagangan internasional yang tidak dapat dihindari lagi dalam peningkatan perekonomian suatu negara yang mana perdagangan internasional merujuk pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh berbagai pemerintah dibidang perdagangan. Pemerintah sebagai regulator memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan tidak saja bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan diwilayahnya tetapi juga kewenangan untuk membuat kebijakan atas barang atau jasa asal negara lain yang akan masuk ke negaranya.122 Jika merujuk pada pengertian kebijakan perdagangan yakni merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dilakukan dengan memerhatikan gejala dan perkembangan yang terjadi dinegara lain yang berpengaruh pada perekonomian nasional.123

Secara umum, larangan hambatan non-tarif terhadap akses pasar – untuk barang dan juga untuk jasa dan pemberi jasa dapat berupa :

Maka, kebijakan pemerintah dalam perdagangan, yakni hambatan non tarif adalah semua macam kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang menghambat perdagangan bebas dan mencakup semua hambatan yang bukan merupakan tarif. Dengan demikian, semua hambatan yang timbul karena kebijakan pemerintah atau aturan suatu negara yang bukan merupakan tarif merupakan kategori hambatan non tarif (non-tariff measures). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh United Nation Convention on Trade and Development (UNCTAD, 2010).

124

a. Hambatan kuantitatif (quantitative restriction)

b. Hambatan non-tarif lainnya, seperti hambatan teknis dalam perdagangan, kurangnya transparansi dalam regulasi perdagangan nasional, penerapan yang

(51)

kurang adil dan memihak dari regulasi perdagangan nasional dan formalitas dan prosedur perpajakan.

Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah hambatan non-tarif, yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan, penunjukan pada perusahaan tertentu saja sebagai sebagai pihak yang menangani pemasaran dan pembuatan atas suatu jenis barang. Praktik non-tarif merupakan tindakan kebijakan dan praktik yang menghambat volume, komposisi, dan arah perdagangan barang atau upaya menghambat sampainya barang ke konsumen disuatu negara. Jika merujuk pada hukum WTO, terutama dalam GATT 1994 yang tidak melarang penerapan bea masuk (tarif) namun tidak selain tarif, maka, kebijakan non-tarif adalah hal yang dilarang dalam perdagangan internasional. Menurut GATT 1994, larangan kebijakan hambatan non tarif diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Larangan hambatan kuantitatif

(52)

individu atau perusahaan domestik untuk mengimpor atau mengekspor suatu produk yang jumlahnya dibatasi secara langsung.125

Dilarangnya pemberlakuan hambatan kuantitatif ini adalah sebab hambatan kuantitatif memberi dampak yang lebih luas daripada dampak yang diakibatkan oleh pembatasan melalui tarif dan akan menjadi distorsi terhadap aliran perdagangan bebas yang pada praktiknya pun cenderung tidak adil dan menimbulkan diskriminasidan peluang-peluang subjektif lainnya. Karena ketika partner dagang membatasi impor dengan tarif, masih dimungkinkannya untuk meningkatkan ekspor selama harga barang dapat bersaing dengan produk asing, namun ketika suatu negara menerapkan pembatasan kuantitatif, meskipun produk yang diimpor atau diekspor memiliki harga yang kompetitif namun barang tersebut tidak dapat dimasukkan atau dikeluarkan kesuatu negara.126

Pembatasan ekspor sukarelaadalah sebuah kuota pada perdagangan yang diterapkan dari sisi negara pengekspor, bukan pengimpor, biasanya dikenakan atas permintaan pemerintah negara pengimpor.127 Alasan dilarangnya pembatasan ekpor sukarela adalah karena pada praktiknya VER mengandung unsur intimidasi dimana negara pengimpor biasanya menggunakan ancaman untuk membuat negara pengekspor secara “sukarela” membatasi ekspornya kenegara bersangkutan. Sebagai sebuah kebijakan perdagangan, VER sarat dengan muatan politik.128

125

Kebijakan Non-Tarif”, http://habitat.ub.ac.id/index.php/habitat/article/view/109/194, diakses pada 30 Maret 2017 Pukul 17.08 WIB.

126

Ibid.

127

“Pembatasan Ekspor Sukarela”, http://kamusbisnis.com/arti/pembatasan-ekspor-sukarela/, diakses pada 30 Maret 2017 Pukul 19.30 WIB

128

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah u n t u k mengetahui apakah dengan mengguna- kan pendekatan deduktif-induktif, perangkat perkuliahan yang memadai d a n latih-.. a n secara runtut

Universitas Negeri

Berdasarkan hasil analisis data yang telah diperoleh dalam penelitian ini maka dapat simpulkan bahwa nilai rata-rata Efisiensi Teknis pengolah ikan asin skala kecil sebesar

Fungsi pertama, ialah melakukan Registrasi Client dengan cara pengujian pada client untuk mengisi form pendaftaran pada halaman daftar dengan harapan hasil uji data

Telah dilakukan percobaan tentang Pengaruh Temperatur Pemanasan Pada Superkonduktor Magnesium Diboride (MgB 2 ) menggunakan metode Powder In.. Sealed Tube

Untuk pengujian hipotesis secara simultan diperoleh nilai F-hitung sebesar 22,435 > F-tabel 2,69 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif nilai-nilai

Salah satu metode analisis termal adalah analisis differensial termal ( Differential Thermal Analysis/ DTA) yang didasari pada perubahan kandungan panas akibat

9 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2010), 5. 10 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran…126.. Sebagai suatu bidang