PERLINDUNGAN KARYA CIPTA TARI DAN SENI RUPA1
Oleh: Laina Rafianti, S.H.,M.H.
PENDAHULUAN
Manusia memiliki akal, budi, dan pikiran yang membedakan manusia dengan makhluk lain sehingga ia dapat berkreasi dan menghasilkan berbagai bentuk karya seni. Diperlukan tenaga, pikiran, waktu, bahkan biaya yang tidak sedikit untuk mewujudkan suatu ide menjadi karya seni yang dapat dilihat, didengar atau dibaca. Oleh karena itu,wajar apabila pencipta memperoleh penghargaan yaitu berupa perlindungan karya cipta dalam suatu 'hak', yang dikenal dengan hak kekayaan intelektual. Dalam hukum nasional di Indonesia dikenal 7 rezim HKI yaitu: hak cipta, paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan perlindungan varietas tanaman. Tulisan ini akan menitikberatkan pada potensi perolehan hak kekayaan intelektual atas perlindungan karya cipta di bidang tari dan seni lukis.
Karya cipta di bidang tari dan seni lukis dapat menjadi objek hak cipta terlebih lagi karena indonesia kaya akan seni budaya tradisional, karya di kedua bidang ini dapat pula menjadi objek perlindungan ekspresi budaya tradisional. Konsep kekayaan intelektual dan perlindungannya adalah pandangan yang ditawarkan oleh para pemikir barat. Pandangan ini memang kurang selaras dengan pola pikir masyarakat indonesia yang konkrit, komunal, magis, religius. (Sumber: hukum adat) Sehingga di dalam pelaksanaannya, seringkali terdapat perbedaan, seperti: konsep hak cipta memberikan hak eksklusif bagi pencipta untuk membuat, mengumumkan dan memperbanyak karyanya untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan masyarakat Indonesia menganggap karya yang diciptakannya dapat digunakan olehnya atau siapapun secara bersama-sama. Perbedaan lainnya adalah, objek hak cipta adalah karya orisinil sedangkan karya seniman indonesia biasanya mengangkat jenis kesenian baik seutuhnya atau dengan format yang berbeda.
Pencipta di bidang seni tari dan seni rupa dapat memperoleh perlindungan hak cipta atas karya orisinil mereka berdasarkan Undang-undang
1
▸ Baca selengkapnya: karya cipta seni seketika berlangsung hanya sekali spontanitas dan tidak bersifat abadi dinamakan
(2)Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Namun, perlu diingat bahwa seni yang diangkat dari karya-karya tradisional harus dibedakan perlindungannya dari karya cipta biasa karena karya tradisional memiliki karakteristik perlindungan yang khusus.
Karya cipta dapat berupa karya-karya orisinil ataupun merupakan ekspresi budaya tradisional, sehingga terdapat irisan karya yang masuk ke kedua bidang tersebut maka perlu diangkat topik perlindungan karya seni di bidang tari dan seni rupa untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Perlindungan apa yang dapat diperoleh pencipta karya-karya di bidang seni tari dan seni rupa dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia?
2. Karya cipta seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai Ekspresi Budaya Tradisional?
3. Bagaimana pengaturannya apabila suatu karya diangkat dari kesenian tradisional dikaitkan dengan konsep perlindungan ekspresi budaya tradisional?
A. CABANG SENI YANG BERSIFAT DINAMIS DALAM INDUSTRI SENI
1. Seni tari
Berbagai definisi tari dari para pakar adalah sebagai berikut:2 a. Andre Levinson: Tari adalah gerak tubuh yang berkesinambungan
melewati ruang yang telah ditentukan sesuai dengan ritme tertentu serta mekanisme yang sadar.
b. Doubler: Tari adalah ekspresi gerak ritmis dari keadaan perasaan secara estetis dinilai yang lambang-lambang geraknya dengan sadar dirancang untuk kenikmatan serta kepuasan dari pengalaman ulang, ungkapan, berkomunikasi, melaksanakan serta penciptaan bentuk-bentuk.
c. Waterman: Tari terdiri dari gerak-gerak tubuh secara artistik yang secara kultular dipola serta distilasi.
2
d. Frans Boas: Tari adalah gerak-gerak ritmis setiap bagian tubuh, lambaian lengan, gerak dari torso atau kepala atau gerak-gerak dari tungkai serta kaki.
e. Kealiinohomuku: Tari adalah seni sesaat dari ekspresi yang dipertunjukkan dengan bentuk serta gaya tertentu lewat tubuh manusia yang bergerak dalam ruang.
f. Curt Sachs: Tari adalah gerak tubuh yang ritmis.
g. Soedarsono: Tari adalah ungkapan perasaan manusia tentang suatu dengan gerak-gerak ritmis yang indah.
Definisi tari yang dipaparkan oleh para pakar sebagaimana disebutkan di atas sangat luas. Tari terbagi lagi menjadi dua golongan besar yaitu tari tradisional dan tari modern. Pada tari tradisional, gerakannya mengadopsi ide bentuk-bentuk gerak yang telah ada sebelumnya. Tari tradisional pun memiliki gaya klasik dan gaya rakyat. Gaya klasik lebih cenderung pada gaya tari yang biasa digunakan di wilayah keraton sedangkan tari rakyat merupakan tari tradisional yang berasal dari ekspresi rakyat di luar lingkungan keraton. Lain halnya dengan tari modern, jenis tari ini dianggap telah mendapat pengaruh dari luar masyarakat asli/ tradisional setempat atau dipengaruhi oleh tarian dari negara barat.
Pada hakikatnya, suatu tari tidak terpisahkan dari yang dinamakan koreografi3. Walaupun selintas tampak sama, istilah tari berbeda dengan istilah koreografi, istilah yang kedua ini adalah seni dalam penataan tari. Koreografi dapat dikatakan sebagai proses perwujudan gerak-gerak dan posisi (blocking) sehingga menjadi tarian. Orang yang melakukan proses tersebut dikenal dengan istilah koreografer. Tari adalah bentuk jadi (produk) dari proses penataan sang koreografer.
Tari tidak semata-mata diciptakan tanpa memiliki fungsi, menurut Sach, tari berfungsi untuk tujuan magis selain untuk kepentingan hiburan.
3
Tari untuk kepentingan magis masih dilakukan di daerah Bali. Di wilayah Jawa Barat jarang ditemukan tari yang bersifat magis, adapun tari yang berfungsi sebagai seni pertunjukan tetapi mengandung unsur-unsur magis. Terutama di pantai utara Jawa Barat yaitu wilayah Cirebon, Indramayu, Subang, dan Kuningan terdapat kesenian Sintren4 yang merupakan salah satu jenis seni pertunjukan rakyat yang masih memiliki sifat magis religius yaitu dengan adanya adegan kesurupan (trance) yang dialami seorang sintren.
Sementara Soedarsono, membagi fungsi tari menjadi 3 kelompok,
yaitu: tari sebagai upacara atau ritual, hiburan pribadi, dan penyajian
estetis atau tontonan.5 Berdasarkan fungsinya, tarian di Indonesia dapat
dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu:
a. Tari Upacara
Sebelum agama masuk ke Indonesia, dikenal tiga ajaran
kepercayaan, yaitu animisme, dinamisme dan totemisme. Animisme
yaitu ajaran agar manusia mempercayai benda-benda yang dianggap
memiliki kekuatan gaib. Lain halnya dengan dinamisme, aliran ini
mengajarkan manusia untuk mempercayai roh-roh para leluhur.
Sedangkan totemisme yaitu ajaran yang mempercayai binatang
sebagai Tuhan mereka. Pada saat itu, tari digunakan sebagai media
upacara untuk persembahan kepada apapun yang dianggap memiliki
kekuatan gaib. Tarian sebagai sarana upacara ini merupakan fungsi
tari yang tertua dalam sejarah.6 Tarian ini sebagai sarana untuk
4
Sintren berasal dari kata sin (sindir) dan tetaren (artinya pertanyaan melalui syair yang perlu dipikirkan dan dicari jawabannya). Penari menggunakan kaca mata hitam untuk menutupi bola matanya pada waktu kesurupan. Lagu-lagu yang dilantunkan umumnya memanggil ruh yang dipercaya mendatangkan kekuatan. Deskripsi tarian ini secara lengkap dapat dilihat pada: Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan, Deskripsi Kesenian Jawa Barat, Disbudpar Jawa Barat dan PDP Unpad, 2003, hlm. 60-62.
5
Harmoko, et.al., op.cit., hlm. 35.
6
menyatakan rasa terima kasih atau mengungkapkan keinginan
masyarakat adat di masa itu. Misalnya, pada saat panen, masyarakat
adat melakukan upacara “serah bumi” seraya melakukan tari-tarian
sebagai ungkapan kegembiraan.
b. Tari Hiburan
Berdasarkan fungsinya sebagai hiburan, tarian lebih menitikberatkan
pada kepuasan penari tanpa memperhatikan keindahan gerak dan
umumnya merupakan tari pergaulan. Salah satu unsur pelengkap
dalam tari yaitu musik, dalam tarian ini para penari bergerak
sepuasnya sesuai alunan musik. Di Jawa Barat terdapat dua
golongan tari pergaulan atau tari hiburan, yaitu: tari hiburan yang
terdapat di kalangan bangsawan dan di kalangan rakyat. Tarian
hiburan yang hidup di kalangan bangsawan dikenal dengan nama tari
Tayuban. Tari-tarian hiburan rakyat banyak berkembang di daerah
Jawa Barat, misalnya: tari Bangreng di Sumedang, tari Belentuk
Ngapung dari Subang, dan tari Banjet dari Karawang.
c. Tari Pertunjukan
Adapun Anthony V. Shay mengemukakan bahwa tari memiliki 6 fungsi, yaitu: tari sebagai refleksi dari organisasi sosial, tari sebagai sarana ekspresi untuk ritual sekuler dan keagamaan, tari sebagai aktivitas rekreasi, tari sebagai refleksi ungkapan psikologis, tari sebagai refleksi ungkapan estetis, dan tari sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.7
Fungsi tari yang dipaparkan oleh Shay di atas sangat komprehensif melihat tari dari berbagai sudut pandang. Fungsi terakhir yang beliau kemukakan adalah sebagai refleksi dari keterkaitannya dengan bidang industi seni. Seniman tari sangat berkepentingan dalam menjadikan tari sebagai mata pencaharian, namun karena kebebasannya berekspresi kadang-kadang mereka terlena untuk berkarya tanpa memikirkan aspek-aspek intelektual yang dapat menjadi sumber penghasilan.
2. Seni rupa
Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika. Berdasarkan gayanya, seni rupa dapat terbagi atas beberapa bagian:8
a. Seni Rupa Tradisional
Seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu suku bangsa tertentu. Seni tradisional yang ada di suatu daerah berbeda dengan yang ada di daerah lain, meski pun tidak menutup kemungkinan adanya seni tradisional yang mirip antara dua daerah yang berdekatan. Seni rupa jenis ini memiliki ciri-ciri penciptaannya selalu berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas dalam suatu budaya, bisa berupa aktivitas religius maupun seremonial/istanasentris, karyanya selalu terikat dengan pakem-pakem tertentu. Contoh: Wayang kulit, wayang golek, wayang beber, ornamen pada rumah-rumah tradisional di tiap daerah, batik, songket, dan lain-lain. b. Seni Rupa Modern
7
Seni rupa modern adalah seni rupa yang tidak terbatas pada kebudayaan suatu adat atau daerah, namun tetap berdasarkan sebuah filosofi dan aliran-aliran seni rupa. Seni rupa modern memiliki ciri-ciri: konsep penciptaannya tetap berbasis pada sebuah filosofi , tetapi jangkauan penjabaran visualisasinya tidak terbatas dan tidak terikat pada pakem-pakem tertentu. Contohnya Lukisan-lukisan karya Raden Saleh Syarif Bustaman, Basuki Abdullah, Affandi, S.Soedjojono dan pelukis era modern lainnya.
c. Seni Rupa Kontemporer
Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang. Lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Seni rupa kontemporer dicirikan dengan, karyanya tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman; tidak adanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, hingga aksi politik. Contohnya yaitu karya-karya happening art, karya-karya Christo dan berbagai karya-karya enviromental art. Seniman: Gregorius Sidharta, Christo, dan Saptoadi Nugroho.
Berdasarkan produknya, seni rupa dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu seni rupa murni atau seni murni, kriya, dan desain. Seni rupa murni mengacu kepada karya-karya yang hanya untuk tujuan pemuasan eksresi pribadi, sementara kriya dan desain lebih menitikberatkan fungsi dan kemudahan produksi. Seni rupa murni terdiri atas: seni lukis, seni grafis, seni patung, seni instalasi, seni pertunjukan, seni keramik, seni film, seni koreografi, seni fotografi. Desain terdiri atas: arsitektur, desain grafis, desain
8
interior, desain busana, dan desain produk. Sedangkan kriya, terbagi menjadi: kriya tekstil, kriya kayu, kriya keramik, dan kriya rotan.9
Terkait dengan perlindungan pencipta atas karya intelektual di bidang seni rupa, banyak hal yang dapat diakomodasi oleh Hak Kekayaan Intelektual. Bidang seni rupa sangat luas sehingga dapat mencakup pula hak atas Desain Industri di samping Hak Cipta. Kini, industri seni di bidang seni rupa kian meningkat, hal tersebut harus dibarengi dengan kesadaran penciptanya atas hak-hak yang mereka miliki supaya tidak terjadi penyalahgunaan dalam pemanfaatannya.
B. HAK CIPTA: HAK EKSKLUSIF PENCIPTA UNTUK MEMBUAT,
MENGUMUMKAN, MEMPERBANYAK DAN MEMBERI IZIN UNTUK ITU
Berdasarkan ketentuan hukum nasional mengenai hak cipta yaitu
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya
disebut UUHC), Pasal 1 angka 1 menyebutkan pengertian Hak Cipta sebagai
berikut:
“Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Ciptaan yang dilindungi berdasarkan UUHC adalah ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup:10
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
9
Seni Rupa, http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_rupa, 18 September 2010, akses tanggal 19 November 2010.
10
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni
Hak cipta memiliki unsur-unsur hak cipta sebagai berikut: 1. Merupakan hak eksklusif bagi pencipta;
2. Melindungi kreasi di bidang seni dan sastra; 3. Terdiri dari hak ekonomi dan hak moral.
Terdapat pula beberapa prinsip-prinsip hak cipta yang secara konseptual berlaku bagi suatu ciptaan:11
1. Karya cipta yang berwujud;
Ciptaan dapat dilindungi hak cipta apabila wujudnya dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Ide, gagasan, pikiran, atau cita-cita tidak dapat dianggap sebagai karya yang dilindungi hak cipta.
2. Karya asli;
Suatu ciptaan dianggap asli apabila bentuk perwujudannya bukan merupakan jiplakan (plagiat) dari ciptaan lain yang telah diwujudkan. 3. Hak cipta timbul secara otomatis;
Suatu hak cipta eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya dalam suatu bentuk yang berwujud. Setelah wujud dari ide itu lahir, ciptaan dapat diumumkan maupun tidak diumumkan. Suatu ciptaan yang tidak diumumkan hak ciptannya tetap melekat pada pencipta.
4. Hak cipta harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan.
Manakala suatu ciptaan sudah dialihwujudkan menjadi materi yang bisa diperbanyak, kepemilikan seseorang atas materi tersebut tidak dapat disamakan dengan memiliki hak cipta atas karya yang terdapat didalamnya. Contoh: Tari Merak karya R. Tjetje Soemantri telah dialihwujudkan ke dalam bentuk rekaman VCD. Pihak yang memiliki
11
rekaman VCD dimaksud bukan berarti memiliki hak cipta Tari Merak. Hak cipta tetap melekat pada R. Tjetje Soemantri.
5. Hak cipta tidak bersifat absolut.
Terdapat batasan-batasan dalam pemberlakuan hak cipta. Misalnya pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta pun bukan merupakan monopoli mutlak melainkan hanya monopoli terbatas. Seperti misalnya, jika karya cipta tercipta secara koinsiden dengan ciptaan lain pada waktu yang sama. Dalam hal demikian tidak terjadi plagiat dan bukan merupakan pelanggaran.
Dari penjelasan di atas, hak cipta memiliki dua ciri utama, yang pertama adalah hak ekonomi yaitu berupa hak kekayaan intelektual atas ciptaan dan kedua yakni hak moral.
1. Hak Ekonomi
Hak ekonomi khususnya untuk karya cipta di bidang tari dapat dikelompokkan ke dalam kategori sebagai berikut:12
a. Hak perbanyakan (right of reproduction);
Hak perbanyakan adalah hak kekayaan intelektual yang paling dasar dan substansial. Hak perbanyakan berarti menggunakan bagian dari ciptaan atau seluruh ciptaan untuk membuat produk yang lain, membuat salinannya, atau membuat rekaman audio atau visual. Seperti halnya membuat rekaman audio visual dari tarian beserta musik pengiringnya juga merupakan hak perbanyakan.
b. Hak mempertunjukkan (right of performance);
Hak mempertunjukkan berarti hak untuk mempertunjukkan di muka umum sebuah tarian hasil ciptaan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama. Pencipta memiliki hak eksklusif untuk mengadakan pertunjukan. Di muka umum berarti di depan sejumlah orang, tidak mencakup kegiatan berlatih seorang diri atau mengadakan pertunjukan di hadapan anggota keluarga sendiri. Hal ini berlaku bagi pertunjukan langsung dan pemutaran rekaman di depan
Edition, Sweet and Maxwell, 1989, hlm. 286-296; dan Afrillyana Purba, (et.al), TRIPs-WTO dan Hukum HKI di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 22.
12
umum atau menggunakan pengeras suara untuk menyiarkan sebuah pertunjukan kepada orang-orang di luar gedung atau teater.
c. Hak presentasi (right of presentation);
Hak mempresentasikan berarti hak memproyeksikan karya di depan layar atau objek lain seperti LC (liquid crystal) proyektor. Penyajian
dapat juga dimaksudkan untuk ditampilkan pada media-media elektronik seperti alat pemutar VCD atau DVD.
d. Hak siaran (right of public transmission);
Pencipta memiliki hak eksklusif untuk menyebarluaskan ciptaannya di depan umum. Hal ini termasuk juga menyebarkannya melalui media lain seperti televisi dan jaringan komputer.
e. Hak distribusi, mengalihkan hak milik, dan meminjamkan (right of distribution, transfer of ownership, and lending);
Distribusi berarti perbanyakan karya yang telah dialihwujudkan ke dalam bentuk rekaman. Hak mengalihkan hak milik ialah memberikan hak kepemilikan kepada pihak lain. Hak meminjamkan adalah hak menawarkan ciptaan kepada umum dengan meminjamkan salinan dari ciptaan yang bersangkutan.
f. Hak mengadaptasi (right of adaptation);
Adaptasi berarti mengubah karya orisinal dan bentuk ekspresi menjadi suatu tarian tanpa mengubah cerita atau motif. Misalnya cerita atau tokoh dalam pewayangan diekspresikan menjadi sebuah Tari Gatot Gaca.
g. Hak mengeksploitasi ciptaan turunan (rights in the exploitation of a derivative work);
Ciptaan turunan adalah sebuah ciptaan baru yang diciptakan melalui adaptasi. Meskipun hak cipta bagi ciptaan turunan adalah milik penciptanya, pada waktu bersamaan, pencipta ciptaan orisinal juga memiliki hak yang sama dengan hak yang dimiliki pencipta ciptaan turunan. Izin perbanyakan suatu karya turunan harus diminta dari pemegang hak cipta orisinal. Apabila penciptanya lebih dari satu orang maka izin dari satu pemegang hak cipta saja tidak cukup. Izin harus diperoleh dari semua pemegang hak cipta.
Hak moral merupakan hak yang sifatnya non ekonomi bagi pencipta untuk mengklaim karya ciptanya, hak untuk melarang pihak lain untuk melakukan distorsi, mutilasi, atau berbagai modifikasi sehingga dapat merusak reputasi pencipta.13 Hak moral, pada umumnya terdiri dari hak menyebarluaskan ciptaan, hak mencantumkan nama pencipta, dan hak melindungi integritas ciptaan.14
a. Hak menyebarluaskan ciptaan;
Pencipta memiliki hak untuk menyebarkan ciptaannya kepada masyarakat luas. Ini berarti bahwa pencipta memiliki hak memutuskan apakah ciptaannya akan disebarkan atau tidak. Hal ini juga melindungi ciptaan dari penyebarluasan tanpa izin. Dalam hal ciptaan telah dialihkan hak ciptanya, pencipta dianggap telah menyetujui bahwa ciptaan yang bersangkutan dapat disebarluaskan.
b. Hak mencantumkan nama pencipta;
Bila suatu ciptaan diumumkan, pencipta memiliki hak untuk menentukan apakah nama pencipta harus dicantumkan atau tidak, dan apakah nama sebenarnya atau nama samaran yang digunakan, atau tidak. Pencipta juga memiliki hak untuk menentukan hal ini bila sebuah ciptaan turunan diumumkan. Hak ini bukan berarti keharusan menggunakan nama pencipta.
Dalam penulisan sinopsis tari untuk suatu pertunjukan, biasa dicantumkan nama koreografer tari. Pada suatu lukisan biasa pula disebutkan nama dan tanggal pelukisnya.
c. Hak melindungi integritas ciptaan;
Pencipta memiliki hak untuk melindungi integritas ciptaan dan judul ciptaannya dari distorsi, mutilasi, atau perubahan-perubahan lain tanpa izin pencipta. Dalam tarian, untuk kepentingan pertujukan suatu
op.,cit, hlm. 63-64. Menurut Desbois Hak Moral mengandung 4 makna, yaitu:
1. Droit de publication: hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman ciptaan;
2. Droit de repentier: hak untuk melakukan perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya, dan hak untuk menarik dari peredaran ciptaan yang telah diumumkan;
karya sering mengalami mutilasi karena keterbatasan waktu, kreasi pelaku, atau kebutuhan panggung. Sebenarnya hal ini tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu memberi tahu pencipta atau meminta izin dari pemegang hak cipta.
Selain dua jenis ciri utama dijelaskan di atas, hak cipta juga mengenal suatu jenis hak lain, dinamakan sebagai hak terkait atau
neighboring rights. Dalam penerapannya, hak terkait dibedakan dari hak
cipta. Hak cipta selain dipegang oleh pencipta, hak terkait diberikan kepada pelaku (performer), produser rekaman (producers of phonogram), dan lembaga penyiaran (broadcasting organisation). Hak terkait adalah hak yang diberikan kepada pelaku, produser rekaman, dan lembaga penyiaran yang memainkan peranan penting dalam penyebaran sebuah karya kepada masyarakat luas dengan izin pencipta. Pemilik hak tersebut seperti penari sebagai pelaku (performer) mendapatkan perlindungan serupa hak cipta didasarkan pada pertimbangan atas kemungkinan adanya kerugian ekonomis dan kerugian lain yang timbul karena pelanggaran hak terkait yang pada dasarnya sama dengan kerugian pada pelanggaran hak cipta. Penari mungkin bukan pencipta dari tarian yang dibawakannya, tetapi penari tersebut bisa membawakan tarian dengan gaya dan ekspresi yang berbeda sehingga dianggap tindakan yang kreatif dengan seizin dari pencipta. Gaya dan ekspresi penari tersebut dilindungi dengan hak terkait dalam hal ini adalah pelaku yaitu pelaku tari yang membawakan tarian.
C. PERLINDUNGAN DESAIN INDUSTRI SEBAGAI POTENSI
PERLINDUNGAN KARYA SENI RUPA YANG DIPRODUKSI MASAL
Desain industri adalah suatu desain industri mengacu pada aspek tampilan bentuk atau konfigurasi atau komposisi garis atau warna atau gabungannya yang memiliki kesan estetik (keindahan). Sedangkan hak bagi pendesain adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara RI kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakannya sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak
lain untuk melaksanakan hak tersebut. Hukum nasional telah mengatur rezim desain industri dalam suatu ketentuan yaitu Undang-undang R.I. Nomor 31 Tahun 2000, yang diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000.
Karya-karya di bidang seni rupa, selain mendapat perlindungan berdasarkan rezim Hak Cipta, juga berpotensi untuk memperoleh perlindungan Desain Industri. Pada seni rupa, yang menjadi pembedanya adalah, ketika suatu karya seni rupa diproduksi masal, ini menjadi objek perlindungan desain industri. Seperti misalnya, suatu lukisan yang kemudian dibuat dalam bentuk desain kaos dan diproduksi masal secara berulang-ulang, hal ini dapat dikategorikan sebagai desain industri.
D. Ekspresi Budaya Tradisional: suatu konsep baru dalam perlindungan
seni tradisional yang bersifat komunal
Pengelolaan Ekspresi Budaya Tradisional atau Folklor (selanjutnya disebut EBT) baik melalui rezim public domain maupun rezim hak cipta, tidak dapat memuaskan para pemangku kepentingan di bidangnya. Untuk itu diperlukan suatu rezim khusus yang mengatur EBT secara terpisah. Alternatif pengaturannya adalah melalui ketentuan yang bersifat sui generis
mengingat karakteristik EBT yang berbeda dengan hak cipta pada umumnya atau memasukkan pengaturannya ke dalam rezim public domain. Dimulai sejak tahun 2000, WIPO (World Intellectual Property Organisation) telah membentuk suatu Inter-governmental Committee (IGC) on Genetic
Resources, Traditional Knowledge, and Folklore. Bulan Desember
mendatang, pertemuan IGC ini sudah sampai pada Sesi ke-17. Pokok-pokok yang dibahas pada pertemuan tersebut sebagaimana telah dituangkan dalam rekomendasi WIPO15, perlindungan EBT mencakup hal-hal berikut ini: 1. Definisi;
2. Subjek dan objek perlindungan; 3. Mekanisme;
a. disclosure of origin: penyebutan daerah tempat EBT berasal;
b. dokumentasi dan inventarisasi EBT;
pencipta setiap waktu yang diinginkan.
15
c. access and benefit sharing: pemberian izin dan pembagian keuntungan.
4. Kelembagaan;
Terdapat sekurang-kurangnya dua unsur, yaitu pemerintah dan kostudian (pemilik EBT yang sifatnya komunal).
Hal-hal yang dicantumkan di atas adalah karakteristik atau unsur-unsur dan syarat-syarat yang diperlukan untuk menentukan eksistensi EBT dan membedakannya dengan pengaturannya berdasarkan rezim hak cipta pada umumnya. Karakteristik inilah yang megakibatkan perlunya dibentuk peraturan khusus mengenai EBT.
EBT pada umumnya bersifat anonim, akan tetapi ada kalanya budaya tradisional yang sudah diketahui penciptanya dianggap sebagai EBT. Sebagai contoh, dalam kebiasaan seniman di Jawa Barat, Tari Merak karya Irawati Durban dianggap milik bersama, sehingga dimanfaatkan oleh semua penari tanpa seizin pencipta. Dalam hal ini pencipta pun membiarkan hal ini terjadi. Sama halnya dengan jaipongan, Tari Bajidor Kahot misalnya, penyebarannya berlangsung sangat cepat dari satu penari ke penari lainnya tanpa sepengetahuan pencipta.
Di samping Inter-governmental Committee, diselenggarakan juga pertemuan para pakar di bidang Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional ini dalam suatu Intersessional
Working Groups (IWG) on Genetic Resources, Traditional Knowledge, and
Folklore di organisasi yang sama, yaitu WIPO. IWG yang telah dilakukan
perdagangan di bidang Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.
Berikut adalah beberapa contoh penyalahgunaan atas pemanfaatan ekspresi budaya tradisional di bidang tari dan seni rupa.
1. Kasus penyalahgunaan ekspresi budaya tradisional dalam bentuk seni pertunjukan tari.
Salah satu contoh pemanfaatan EBT dari Bugis, yaitu pertunjukan
drama tari I La Galigo berikut memperlihatkan bahwa terdapat
kekosongan hukum untuk EBT yang akan dimanfaatkan secara
komersial, utamanya oleh pihak asing. Surek Galigo, epik yang berasal
dari Bugis, Sulawesi Selatan diangkat menjadi suatu pertunjukan teater
besar di beberapa gedung teater dunia seperti Singapura (2004),
Amsterdam (2004), Barcelona (2004), Prancis (2004), Italia (2004), New
York (2005), Indonesia (2005), dan Australia (2006).16 Pertunjukan yang
semua pemainnya berkewarganegaraan Indonesia ini dipentaskan atas
arahan dari sutradara Broadway, Amerika Serikat Robert Wilson dan
dukungan penulis naskah Rhoda Grauer. Hal ini menjadi pertanyaan
besar, mengapa karya sastra Indonesia khususnya Sulawesi Selatan
yang dikemas dalam pertunjukan kombinasi dari gerak, tari, musik, dan
seni peran harus ditangani oleh seseorang yang bukan anak bangsa
Indonesia.
Keterlibatan Robert Wilson bukan atas keinginan pribadinya, ia
diminta oleh Change Performing Arts (CPA)17 untuk dapat berpartisipasi
sebagai sutradara untuk pertunjukan ini. Pada saat Yayasan Bali Purnati
memiliki gagasan untuk mengangkat cerita I La Galigo, hanya CPA yang
16
sanggup membiayai, sehingga terjalin kerjasama antara kedua lembaga
ini. Pada awalnya CPA berkeberatan apabila semua pemain adalah orang
Indonesia, akan tetapi Restu Kusumaningrum sebagai kordinator artistik
berpendirian bahwa semua pemain harus dari Indonesia.18
Seandainya orang Indonesia yang membuatnya, maknanya akan
lebih kaya. Lagipula jika orang asing dibiarkan lebih lanjut terlibat dalam
karya-karya tradisi Indonesia, dikhawatirkan kesenian Indonesia dianggap
sebagai public domain yang bisa seenaknya dikomersilkan. Padahal
karya cipta yang tidak diketahui penciptanya berdasarkan UUHC
dipegang oleh negara.
Dari ilustrasi mengenai pementasan I La Galigo di atas, dapat
dikelompokkan kendala di bidang pengaturan EBT adalah sebagai
berikut:
a. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
tentang kesenian;
b. Tidak ada lembaga khusus di bidang kesenian, yang ada sekarang
kesenian terdapat di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
R.I.;
c. Keterbatasan dana;
d. Bangsa Indonesia tidak terbiasa dengan budaya menulis sehingga tidak terdapat dokumentasi dan inventarisasi yang otentik;
e. Seniman Indonesia kurang percaya diri untuk menunjukkan karya.
17
Change Performing Arts adalah produser dari Italia yang dikenal berhasil memproduksi berbagai pementasan internasional. Lihat: Ratna Sarumpaet, “I La Galigo: Panggung Megah Miskin Makna, 2004, http://www.mspi.org, akses tanggal 18 Juni 2006.
18
2. Kasus penyalahgunaan hak cipta masyarakat adat aborigin yang diproduksi untuk desain karpet. (Kasus Milpurrurru Yumbulul v. Indofurn)19
Kasus berikut adalah sengketa yang terjadi antara 3 orang pelukis Aborigin yaitu George M, Kumantjayi Tjapangati, dan Banduk Marika di satu pihak melawan perusahaan ekspor impor yang berkedudukan di Parth, Indofurn. Objek sengketa ini yaitu lukisan karya ketiga orang pelukis di atas yang diproduksi menjadi karpet di Vietnam. Karpet dengan desain khas Aborigin tersebut kembali diekspor ke Australia dengan harapan akan laku karena desainnya yang sangat menarik, menggunakan gambar yang biasa digunakan oleh suku Aborigin. Indofurn digugat oleh kelompok masyarakat Aborigin karena dianggap telah melecehkan kepercayaan mereka. Singkatnya, gambar yang mengandung nilai sakral digunakan sebagai desain karpet, mengingat lazimnya karpet akan diinjak orang.20 Dalam hal ini Indofurn dianggap telah melakukan impor illegal.
Selain masalah arti dari gambar yang digunakan sebagai desain karpet tersebut, dalam persidangan ditemukan keuntungan yang diperoleh Indofurn atas penjualan karpet tersebut. Indofurn mengimpor lebih kirang 200 karpet sekira 850 meter persegi dan beberapa diantaranya dijual dengan harga masing-masing diatas 4000 dolar Australia. Masyarakat Aborigin seharusnya memperoleh pembagian keuntungan atas karpet yang desainnya diambil dari gambar tradisional Aborigin.
PENUTUP
Sebagai simpulan, diperoleh beberapa hal sebagai berikut, pertama, perlindungan yang dapat dinikmati oleh pencipta karya-karya di bidang seni tari yaitu hak cipta berdasarkan Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002.
19
Terri Janke, “Minding Culture: Case Studies on Intellectual Property and Traditional Cultural Expressions, under commission by WIPO, 200-2001., hlm. 3.
20
Sementara seni rupa, atas seni murni dan beberapa seni terapan dapat dilindungi oleh hak cipta, disamping perlindungan desain industri untuk seni terapan dan seni kriya. Kedua, karya cipta yang dapat dikategorikan sebagai Ekspresi Budaya Tradisional memiliki ciri-ciri: disampaikan dari generasi ke generasi secara turun-temurun, disampaikan secara lisan, dan terus dijaga kelestariaannya oleh masyarakat pemangku budaya. Ketiga, pemanfaatan setiap Ekspresi Budaya Tradisional harus memperhatikan hak moral dan hak ekonomi dari pemangku budaya setempat.
Adapun beberapa hal yang dapat disarankan untuk melindungi karya tari dan seni rupa antara lain:
1. Perlunya sosialisasi yang terus-menerus mengenai hak cipta sebagai hak bagi pencipta untuk membuat karya, mengumumkan dan memperbanyaknya, serta memberikan izin kepada pihak lain untuk melakukan ketiga hal dimaksud. Sosialisasi ini dimaksudkan agar para kreator di bidang seni menyadari pentingnya hak cipta bagi mereka dan pihak lain yang akan memperoleh manfaat dari karya tersebut.
2. Diperlukannya pembentukan ketentuan yang bersifat sui generis untuk melindungi karya-karya yang merupakan Ekspresi Budaya Tradisional. 3. Perlu kejelasan mengenai mekanisme izin pemanfaatan Ekspresi Budaya
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agus Sardjono, Komik Memahami Hak Kekayaan Intelektual: Antara Hak
Kekayaan Intelektual dan Seni Tradisi”, LSPP dan Ford Foundation, 2010.
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, 2004.
Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan, Deskripsi Kesenian Jawa Barat, Disbudpar Jawa Barat dan PDP Unpad, 2003.
Harmoko, et.al., Indonesia Indah, Tari Tradisional Indonesia, Buku Ke-7, Yayasan Harapan Kita, BP 3 TMII, Jakarta, 1996
J.W.R. Cornish, Intellectual Property, Patents Copyright, Trade Marks and Allied
Rights, Second Edition, Sweet and Maxwell, 1989.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I., Jakarta, 1988.
Purba, Afrillyana (et.al), TRIPs-WTO dan Hukum HKI di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
Tomotsu Hozumi, Penerjemah: Masri Maris, Asian Copyright Handbook, ACCU, Ikatan Penerbit Indonesia, 2004.
UNCTAD-ICTSD, Resource Book on TRIPs and Development, Cambridge University Press, Cambridge, 2005.
ARTIKEL
Enden Irma Rachmawaty, Perkembangan Tari Serimpi di Jawa Barat, http://cippad.usc.edu.
Kris Adji A.W., “Pengertian Seni Rupa Tradisional, Modern, dan Kontemporer”, http://tipzsangguru.wordpress.com, 28 Januari 2010.
Ninuk M. Pambudy dan Jimmy S. Hariyanto, “Kesetiaan Wangi Indriya”, http://www.kompas.com., 15 Oktober 2006, akses tanggal: 26 Maret 2007.
Ratna Sarumpaet, “I La Galigo: Panggung Megah Miskin Makna, 2004, http://www.mspi.org, akses tanggal 18 Juni 2006.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang R.I. Nomor 30 Tahun 2000 tentang Desain Industri
Undang-undang R.I. Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
SITUS INTERNET
http://www.balipurnati.com. http://www.wipo.int