• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Siswa dalam Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Negeri 3 Kota Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku Siswa dalam Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Negeri 3 Kota Medan Tahun 2016"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

2.1.1 Batasan perilaku

Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebur teori ―S-O-R‖ atau Stimulus Organisme Respons. Skinner membedakan

adanya dua respons.

1. Respondent Response atau reflective, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut

(2)

Misalnya: makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Rerpondent response ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.

2. Operant response atau instrumental response, yakni respons yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan atau atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua.

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup

(covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,

(3)

bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya. Bentuk perilaku tertutup lainnya adalah sikap, yakni penilaian terhadap objek.

2. Perilaku terbuka (Overt Behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau tersudah buka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktik misalnya, seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi, penderita TB paru minum obat secara teratur, dan sebagainya.

Seperti telah disebutkan di atas, sebagian benar perilaku manusia adalah

operant response. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku

perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skinner adalah sebagai berikut.

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau

reinforce berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan

dibentuk.

(4)

c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforce atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen (perilaku) yang kedua kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.

Sedangkan menurut Lawrence Green, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu:

a) Faktor predisposisi (Predisposing factor): factor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, tingakat pendidikan, tingakat sosial ekonomi, dan sebagainya.

(5)

c) Faktor penguat (Reinforcing factors): faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan.

2.1.2 Perilaku Kesehatan

Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner, perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan manjadi tiga kelompok.

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintanance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek, yaitu:

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

(6)

c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan.

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati diri sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya.

2.1.3 Domain Perilaku

(7)

tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Dan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah hasil bersama atau resultan antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain, sesuai dengan tujuan pendidikan. Bloom menyebutnya ranah atau kawasan yakni: a) kognitif

(cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor). Dalam

(8)

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan:

a. Tahu (know)

(9)

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintrepetasikan materi tersebut secara benar. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving

cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

d. Analisis (analysis)

(10)

e. Sintesis (syntesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu criteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan criteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya diare di suatu tempat, dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak mau ikut KB dan sebagainya.

(11)

2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.

Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah lalu yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

a. Komponen pokok sikap

Dalam bahasa lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok.

(12)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan,

dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya, seorang ibu telah mendengar tentang penyakit polio (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berfikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena polio. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat mengimunisasikan anaknya untuk mencegah supaya anaknya tidak terkena polio. Ibu ini mempunyai sikap tertentu terhadap objek yang berupa penyakit polio.

b. Berbagai tingkatan sikap

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan:

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari ketersedian dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.

2. Merespons (responding)

(13)

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapat tentangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

(14)

3. Praktik atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orang tua atau mertua, dan lain-lain. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan.

1. Respons terpimpin (guided respons)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh merupakan indikator praktik tingkat pertama. Misalnya seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-motongnya, lamanya memasak, menutup pancinya, dan sebagainya.

2. Mekanisme (mecanism)

(15)

3. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Misalnya, ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan sederhana.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Pengukuran praktik (overt behavior) juga dapat diukur dari hasil perilaku tersebut. Misalnya perilaku higiene perorangan (personal hygiene) dapat diukur dari keberhasilan kulit, kuku, rambut, dan sebagainya.

2.1.4 Perubahan (Adopsi) Perilaku dan Indikatornya

Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan perilaku seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui tiga tahap.

1. Perubahan Pengetahuan

(16)

apa bahayanya bila tidak melakukan PSN tersebut. Indikator-indikator apa yang dapat digunakan untuk mengetahui tingat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi:

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perihal yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, disingkat AIETA, yang artinya:

1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu,

2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus

3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi

dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi,

4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru,

5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas.

(17)

Contohnya ibu-ibu menjadi peserta KB, karena diperintahkan lurah atau ketua RT tanpa mengetahui makna dan tujuan KB, maka mereka akan segera keluar dari keikutsertaannya dalam KB setelah beberapa saat perintah tersebut diterima.

2. Perubahan Sikap

Telah diuraikan di atas bahwa sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek (dalam hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk penyakit). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut. Oleh sebab itu indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan kesehatan seperti di atas, yakni:

a. Sikap terhadap sakit dan penyakit

Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap: gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan penyakit, dan sebagainya.

b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat

(18)

c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan

Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Misalnya pendapat atau penilaian terhadap air bersih, pembuangan limbah, polusi, dan sebagainya.

3. Perubahan Praktik atau Tindakan (Practice)

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya yang diharapkan, yaitu ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui (practice) kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan

(overt behavior). Oleh karena itu indikator praktik kesehatan ini juga mencakup

hal-hal tersebut di atas, yakni:

a. Tindakan (praktik) sehubungan dengan penyakit

(19)

b. Tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

Tindakan atau perilaku ini mencakup antara lain: mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, melakukan olahraga secara teratur, tidak merokok, tidak minum minuman keras dan narkoba, dan sebagainya.

c. Tindakan (praktik) kesehatan lingkungan

Perilaku ini antara lain mencakup: membuang air besar di jamban (WC), membuang sampah di tempat sampah, menggunakan air bersih untuk mandi, cuci, masak, dan sebagainya.

Secara teori memang perubahan perilaku atau mengadopsi perilaku baru itu mengikuti tahap-tahap yang telah disebutkan diatas, yakni melalui proses perubahan: pengetahuan (knowledge)—sikap (attitude)—praktik (practice) atau ―KAP‖ (PSP). Beberapa penelitian telah membuktikan hal itu, namun penelitian

lainnya juga membuktikan bahwa proses tersebut tidak selalu seperti teori di atas (KAP), bahkan di dalam praktik sehari-hari terjadi sebaliknya. Artinya, seseorang telah berperilaku positif meskipun pengetahuan dan sikapnya masih negatif.

(20)

Namun dapat juga dilakukan melalui wawancara dengan pendekatan recall atau mengingat kembali perilaku yang telah dilakukan oleh responden beberapa waktu yang lalu. Misalnya untuk mengetahui perilaku pemeriksaan kehamilan seorang ibu hamil ditanyakan apakah ibu memeriksakan kehamilan terakhirnya.

2.2 Kawasan Tanpa Rokok

Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau (Peraturan Kota Medan No. 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok).

Penerapan KTR adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang memberlakukan suatu area terlarang untuk kegiatan penggunaan, kegiatan produksi, penjualan, iklan, penyimpanan, dibakar, dihirup, atau dikunyah (Khairi Ilham, 2014).

2.2.1 Kebijakan Mengenai Kawasan Tanpa Rokok

(21)

Adapun yang menjadi dasar hukum kawasan tanpa rokok di Indonesia cukup banyak seperti dinyatakan Depkes RI yaitu:

1. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan:

a. Pasal 2 yaitu pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, nondiskriminatif, dan norma-norma agama.

b. Pasal 3 yaitu pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

c. Pasal 6 yaitu setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.

d. Pasal 7 yaitu setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.

e. Pasal 9 (1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.

(22)

g. Pasal 11 yaitu setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.

h. Pasal 14 yaitu (1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. (2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada pelayanan publik.

i. Pasal 49 yaitu (1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan. (2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.

j. Pasal 50 yaitu (1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan. (2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat. (3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian. (4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerja sama antar-pemerintah dan antar-lintas sektor.

(23)

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. (3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.

l. Pasal 115 UU No. 36 Tahun 2009 yaitu (1) Kawasan tanpa rokok antara lain: a. fasilitas pelayanan kesehatan; b. tempat proses belajar mengajar; c. tempat anak bermain; d. tempat ibadah; e. angkutan umum; f. tempat kerja; dan g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. (2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.

2. PP No. 109 Tahun 2012: Tentang Pengamanan Produk Tembakau Bagi

Kesehatan:

a. Pasal 1 yaitu nomor 11 bahwa Kawasan Tanpa Rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau.

b. Pasal 2 yaitu (1) Penyelenggaraan pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

(24)

peredaran; c. perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil; dan d. Kawasan Tanpa Rokok.

3. Permenkes No. 40 Tahun 2013 yaitu:

a. Pasal 1 yaitu penyusunan Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan upaya pengendalian dampak konsumsi rokok yang terintegrasi, efektif, dan efisien. b. Pasal 2 yaitu (1) Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi

Kesehatan digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan strategi berbagai program dan kegiatan di bidang kesehatan yang terkait dengan pengendalian dampak konsumsi rokok di Indonesia. (2) Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

c. Pasal 3 yaitu Masyarakat berperan positif secara perorangan maupun organisasi dalam pelaksanaan Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan.

2.2.2 Tempat Kawasan Tanpa Rokok

a. Kawasan Tanpa Rokok yang dimaksud adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau.

(25)

tempat ibadah; e. angkutan umum; f. tempat kerja; dan g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Berikut penjelasan lengkapnya:

1. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat

2. Tempat proses belajar mengajar adalah gedung yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/atau pelatihan.

3. Tempat anak bermain adalah area tertutup maupun terbuka yang digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak.

4. Tempat ibadah adalah bangunan atau ruang tertutup yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga.

5. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air, dan udara biasanya dengan kompensasi.

6. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.

(26)

untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat.

8. Tempat lainnya yang ditetapkan adalah tempat terbuka yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat.

2.2.3 Peraturan Daerah Kota Medan

Perda Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan dan Walikota Medan memutuskan; Menetapkan: Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok.

a. Pasal 1: Dalam peraturan Walikota ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah adalah kota Medan.

2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan ralryat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

(27)

6. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kota Medan. Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Medan meliputi sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, badan daerah, kantor daerah, dan kecamatan. Dinas Kesehatan adalah Dinas Kesehatan Kota Medan.

7. Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau.

8. Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/ atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman tembakau dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.

9. Nikotin adalah zat atau bahan senyawa pyrolidine yang terdapat dalam

nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang

bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan.

10.Tar adalah kondensat asap yang merupakan total residu yang dihasilkan saat rokok dibakar setelah dikurangi nikotin dan air, yang bersifat karsinogenik. 11.Zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan yang

(28)

penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat.

12.Pengelola, Pimpinan dan/ atau penanggung jawab adalah orang dan atau badan yang karena jabatannya memimpin dan/ atau bertanggung jawab atas kegiatan dan/ atau usaha di tempat atau kawasan yang ditetapkan sebagai KTR, baik milik pemerintah maupun swasta.

13.Masyarakat adalah orang perorangan dan/atau kelompok orang.

14.Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara sosial dan ekonomis.

15.Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/ atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/ atau masyarakat.

16.Tempat proses belajar mengajar adalah gedung atau area terbuka yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, pendidikan dan/ atau pelatihan. 17.Tempat anak bermain adalah area tertutup maupun terbuka yang digunakan

untuk kegiatan bermain anak-anak.

18.Tempat ibadah adalah bangunan atau ruang tertutup yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama.

(29)

20.Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja; atau yang dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha.

21.Tempat Umum adalah semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan/atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan/atau masyarakat.

22.Tempat tertutup adalah tempat atau ruang yang ditutup oleh atap dan dibatasi oleh satu dinding atau lebih terlepas dari material yang digunakan dan struktur permanen atau sementara.

23.Ruang terbuka adalah ruangan yang salah satu sisinya berhubungan langsung dengan udara luar, sehingga asap rokok dapat langsung keluar di udara bebas. 24.Pimpinan atau penanggungjawab KTR adalah orang yang karena jabatannya,

memimpin dan/ atau bertanggungiawab atas kegiatan dan/ atau usaha di kawasan yang ditetapkan sebagai KTR.

25.Anak-anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 26.Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum.

b. Pasal 2 Penetapan KTR berasaskan:

a. Kepentingan kualitas kesehatan manusia b. Kelestarian dan keberlanjutan ekologi c. Perlingdungan hukum

(30)

e. Keterpaduan f. Keadilan

g. Keterbukaan dan peran serta h. Akuntabilitas

i. Kepentingan bersama

c. Pasal 3 mengenai tujuan KTR yaitu:

1. Terciptanya ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat

2. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari dampak buruk rokok baik langsung maupun tidak langsung; dan

3. Menciptakan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat

d. Pasal 4 mengenai ruang lingkup KTR, meliputi:

a. Hak dan kewajiban b. KTR

c. Pengendalian iklan produk rokok di media luar ruangan d. Sponsor untuk produk rokok

e. Tanggung jawab sosial perusahaan untuk produk rokok f. Kewajiban dan larangan

g. Mekanisme peneguran h. Peran serta masyarakat i. Pembinaan dan pengawasan j. Penyidikan

(31)

2.2.4 Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok

Di bawah ini adalah Pedoman Kawasan Tanpa Rokok yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia:

Petugas kesehatan melaksanakan advokasi kepada pimpinan/pengelola tempat proses belajar mengajar dengan menjelaskan perlunya Kawasan Tanpa Rokok dan keuntungannya jika dikembangkan Kawasan Tanpa Rokok di area tersebut. Dari advokasi tersebut akhirnya pimpinan/pengelola tempat belajar mengajar setuju untuk mengembangkan Kawasan Tanpa Rokok. Contoh tempat proses belajar mengajar adalah sekolah, kampus, perpustakaan, ruang praktikum, dan lain sebagainya. Perlu dilakukan oleh pimpinan/ pengelola untuk mengembangkan Kawasan Tanpa Rokok adalah sebagai berikut :

1. Analisis Situasi; Penentu kebijakan/pimpinan di tempat proses belajar mengajar melakukan pengkajian ulang tentang ada tidaknya kebijakan Kawasan Tanpa Rokok dan bagaimana sikap dan perilaku sasaran (karyawan/guru/dosen/ siswa) terhadap kebijakan KawasanTanpa Rokok. Kajian ini untuk memperoleh data sebagai dasar membuat kebijakan.

2. Pembentukan Komite atau Kelompok Kerja Penyusunan KTR; Pihak pimpinan mengajak bicara karyawan/guru/dosen/siswa yang mewakili perokok dan bukan perokok untuk:

 Menyampaikan maksud, tujuan dan manfaat Kawasan Tanpa Rokok.

(32)

 Meminta masukan tentang penerapan Kawasan Tanpa Rokok, antisipasi

kendala dan sekaligus alternatif solusi.

 Menetapkan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok dan mekanisme

pengawasannya.

 Membahas cara sosialisasi yang efektif bagi karyawan/guru/dosen/siswa.

Kemudian pihak pimpinan membentuk komite atau kelompok kerja penyusunan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.

3. Membuat Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok; Komite atau kelompok kerja membuat kebijakan yang jelas tujuan dan cara melaksanakannya.

4. Penyiapan Infrastruktur antara lain:

 Membuat surat keputusan dari pimpinan tentang penanggung jawab dan

pengawas Kawasan Tanpa Rokok di tempat proses belajar mengajar.  Instrumen pengawasan.

 Materi sosialisasi penerapan Kawasan Tanpa Rokok.

 Pembuatan dan penempatan tanda larangan merokok.

 Mekanisme dan saluran penyampaian pesan tentang KTR di tempat proses

belajar mengajar melalui poster, stiker larangan merokok dan lain sebagainya.  Pelatihan bagi pengawas Kawasan Tanpa Rokok.

 Pelatihan kelompok sebaya bagi karyawan/guru/dosen/siswa tentang cara

berhenti merokok.

5. Sosialisasi Penerapan Kawasan Tanpa Rokok antara lain :

 Sosialisasi penerapan Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan internal bagi

(33)

 Sosialisasi tugas dan penanggung jawab dalam pelaksanaan Kawasan Tanpa

Rokok.

6. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok

 Penyampaian pesan Kawasan Tanpa Rokok kepada karyawan/

guru/dosen/siswa melalui poster, tanda larangan merokok, pengumuman, pengeras suara dan lain sebagainya.

 Penyediaan tempat bertanya.

 Pelaksanaan pengawasan Kawasan Tanpa Rokok.

7. Pengawasan dan Penegakan Hukum

 Pengawas Kawasan Tanpa Rokok di tempat proses belajar mengajar mencatat

pelanggaran dan menerapkan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

 Melaporkan hasil pengawasan kepada otoritas pengawasan yang ditunjuk,

baik diminta atau tidak. 8. Pemantauan dan Evaluasi

 Lakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala tentang kebijakan yang telah

dilaksanakan.

 Minta pendapat komite dan lakukan kajian terhadap masalah yang ditemukan.

 Putuskan apakah perlu penyesuaian terhadap masalah kebijakan

(34)

2.3 Kerangka Konsep

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Skema di atas merupakan kerangka konsep hasil dari pemahaman teori Lawrence Green (1980), menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat memengaruhi perilaku, yaitu predisporsing factors, enabling factors, dan

reinforcing factors. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana perilaku

siswa yang berada di kawasan sekolah yang melaksanakan kebijakan KTR. Menurut Lawrence Green, kebijakan KTR merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi perilaku, yaitu berperan sebagai faktor penguat.

Kebijakan KTR merupakan faktor penguat (reinforcing factors) yang dapat memengaruhi perilaku siswa kelas XI yang dalam melaksanakan kebijakan KTR di sekolah. Perilaku siswa yaitu terdiri dari pengetahuan siswa tentang pelaksanaan KTR, sikap siswa terhadap pelaksanaan kebijakan KTR, dan tindakan siswa terhadap kebijakan KTR tersebut, apakah tidak merokok karena pelaksanaan kebijakan KTR atau tetap merokok di lingkungan sekolah yang melaksanakan kebijakan KTR.

1. Pengetahuan Siswa Kelas XI mengenai penerapan kebijakan KTR di Sekolah 2. Sikap Siswa Kelas XI mengenai

penerapan kebijakan KTR di Sekolah 3. Tindakan Siswa Kelas XI dalam

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ekstrak etanol 70% daun kersen ( Muntingia calabura L.) terbukti memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri

Ibu di posyandu “Melati” juga sudah mengetahui porsi makan sesuai dengan kriteria gizi seimbang yang terdiri dari makanan pokok, lauk, sayur, buah, dan susu; menerapkan pola

“Mapassulu yang baru di gelar menghabiskan hampir semua uang yang saya dapatkan dari kedua mayat yang saya curi sebelumnya.” (PKP/ 2015 : 131) Dari kutipan di atas, sikap Allu

According to “Viratpat Darshan,” When Supreme personality of  According to “Viratpat Darshan,” When Supreme personality of  God head Paramatama Sri Krishna

Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga, Tingkat Bagi Hasil, Non Performing Financing dan Modal Sendiri terhadap Volume Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil Pada Perbankan

Dari fenomena tersebut menunjukan bahwa selama tahun 2009, penjualan untuk sepeda motor Yamaha “SCORPIO” di Surabaya, tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh perusahaan,

Atas dasar inilah menjadikan peneliti selanjutnya tertarik mempergunakan variabel pemoderasi yaitu budaya tri hita karana pada pengaruh komitmen organisasi dan time

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang berjudul “Pengaruh Konsentrasi dan Jenis Pati pada Pengolahan Surimi Ikan Tigawaja (฀ibea soldado) terhadap