• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Pelatihan Bersyukur Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Pelatihan Bersyukur Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1. Resiliensi

2.1.1. Definisi resiliensi

Definisi resiliensi masih menjadi perdebatan oleh para ahli. Banyak ahli yang memandang definisi resiliensi sebagai suatu proses, atau sebagai sifat individu, atau sebagai dinamika proses perkembangan, atau suatu hasil atau kumpulan dari semua yang telah dikemukakan (Reich, Zautra, & Hall, 2010). Secara umum resiliensi merupakan suatu proses yang dinamis dalam beradaptasi saat menghadapi kemalangan (Luthar, Cicchetti, Becker, 2000 ; Resnick, Gwyther, & Roberto 2011).

Reich dkk (2010) memandang resiliensi sebagai suatu hasil dari penyesuian yang baik terhadap kemalangan. Resiliensi bersifat universal namun setiap manusia memiliki kapasitas resiliensi yang berbeda-beda. Situasi lingkungan juga mempengaruhi untuk meningkatkan atau justru memperlemah resiliensi untuk menghadapi tekanan (Gallo, Bogart, Vranceanu & Matthews, 2005 ; Reich dkk 2010).

(2)

Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi ketika keadaan menjadi tidak pasti. Setiap orang membutuhkan resiliensi karena kemalangan termasuk dalam proses kehidupan. Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk memberikan respon dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan penderitaan atau trauma, yang mana kemampuan tersebut sangat penting untuk mengelola tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Resiliensi merupakan hal yang penting saat harus mengambil keputusan yang cepat meskipun berada dalam keadaan yang kacau. Dengan resiliensi akan memberikan perubahan dalam kehidupan, kesulitan akan menjadi tantangan, kegagalan menjadi keberhasilan, keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat mengubah korban menjadi survivor dan membuatnya menjadi lebih baik.

(3)

hidupnya. Resiliensi bukan sifat bawaan atau faktor genetis sehingga dapat ditingkatkan melalui pelatihan (Reivich & Shatte, 2002)

Masten & Gabrielle (dalam Snyder & Lopez, 2002) mengatakan bahwa resiliensi merupakan sebuah fenomena yang ditandai dengan pola penyesuian yang positif saat menghadapi kemalangan atau suasana yang penuh resiko.

Berdasarkan uraian diatas maka resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat menghadapi dan mengatasi penderitaan yang terjadi dan menyesuaikan diri secara positif dengan keadaan yang penuh tekanan.

2. 1.2. Sifat dasar resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (2002) ada 4 hal yang mendasari manusia untuk menggunakan resiliensi, yaitu :

a. Overcoming ( menanggulangi)

Resiliensi digunakan untuk menanggulangi hambatan pada masa kanak-kanak.

b. Steer through

Resiliensi digunakan untuk melewati penderitaan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Bounce back

(4)

individu justru dapat bangkit kembali dan menemukan jalan untuk melanjutkan kehidupan.

d. Reaching out

Reaching out digunakan ketika individu menemukan makna baru dan tujuan hidup serta membuka diri terhadap pengalaman dan tantangan yang dihadapi.

2.1.3. Kunci utama resiliensi

Berbagai penelitian telah menunjukkan bagaimana cara seseorang menganalisa kejadian-kejadian yang dialaminya memberikan efek yang sangat besar terhadap resiliensinya. Bagaimana seseorang merespon suatu situasi dinamakan thinking style. Hal ini terlihat seperti bagaimana seseorang melihat dunianya dan menginterpretasi kejadian dalam hidupnya yang akan menentukan respon secara emosional terhadap kejadian yang dialaminya. Sebab itu thinking style akan menentukan resiliensi yang dimiliki oleh individu (Reivich & Shatte, 2002).

(5)

Menurut Reivich & Shatte hambatan utama untuk berdamai dengan penderitaan adalah cognitive style individu. Dengan kata lain tergantung pada keyakinan seseorang tentang penderitaan dan keyakinan akan kesempatan untuk berdamai dengan penderitaan tersebut. Thinking style menentukan resiliensi seseorang karena menentukan bagaimana seseorang menginterpretasi penderitaan yang dialami, serta keyakinan akan kemampuannya untuk berdamai dengan penderitaan secara sukses.

2.1.4. Prinsip Dasar Keterampilan Resiliensi

Reivich & Shatte (2002) mengemukakan ada 4 prinsip yang menjadi dasar bagi keterampilan resiliensi, yaitu :

a. Manusia dapat berubah

Setiap orang bebas untuk merubah hidupnya kapan saja bila memiliki keinginan dan dorongan. Setiap orang dilengkapi dengan keterampilan yang sesuai dan merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri.

b. Pikiran adalah kunci untuk meningkatkan resiliensi

Aaron Beck mengatakan bahwa kognisi mempengaruhi emosi dan emosi akan menentukan siapa yang akan resilien dan siapa yang tidak.

c. Ketepatan berpikir merupakan kunci

(6)

yang terjadi pada kesehatan sehingga justru menjadi tidak tertolong. Optimisme realistis tidak mengasumsikan bahwa hal-hal baik akan datang dengan sendirinya namun melalui usaha, pemecahan masalah dan perencanaan.

d. Fokus pada kekuatan manusia

Psikologi positif memiliki 2 tujuan utama, pertama meningkatkan pemahaman tentang kekuatan manusia (human streghts) melalui perkembangan sistem dan metode klasifikasi untuk mengukur kekuatan tersebut. kedua menanamkan pengetahuan ini ke dalam program dan intervensi efektif yang terutama dirancang untuk membangun kekuatan individu daripada untuk memperbaiki kelemahan. Resiliensi merupakan kekuatan utama yang mendasari semua karakteristik positif pada kondisi emosional dan psikologis manusia. Kurangnya resiliensi menjadi penyebab keberfungsian yang negatif, tidak adanya keberanian, rasionalitas dan insight.

2.1.5 Keterampilan resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (2002) ada 7 keterampilan yang diperlukan oleh individu untuk bisa menjadi resilien, yaitu :

a. Learning your ABCS

(7)

juga harus memahami bagaimana pemikiran mempengaruhi perasaan dan perilaku.

b. Avoiding thinking traps

Keterampilan ini mengajarkan individu untuk mengidentifikasi kebiasaan dalam memberikan respon terhadap permasalahan yang dialami dan mengoreksi kebiasaan tersebut

c. Detecting ice berg

Keterampilan ini mengajarkan individu untuk mengidentifikasi deep belief yang ada pada dirinya. Kemudian menentukan kapan deep belief yang ada tersebut membantu atau malah memperburuk keadaannya d. Challenging beliefs

Keterampilan ini mengajarkan individu untuk menguji akurasi dari keyakinannya mengenai permasalahan yang dialami dan bagaimana menemukan solusi atas masalah yang sedang dihadapi dengan tepat. e. Putting in perspective

Keterampilan ini mengajarkan individu untuk menghentikan pemikiran “what-if” dan mempersiapkan diri untuk menghadapi permasalahan tersebut.

f. Calming and focusing

(8)

g. Real time resilience

Keterampilan ini mengajarkan individu untuk bisa dengan cepat mengubah counterproductive thoughts menjadi resilience thought.

Dengan 7 keterampilan tersebut individu akan memiliki hubungan yang lebih bermakna, lebih produktif dan individu akan merasa bahwa hidupnya menyenangkan dan penuh semangat. Keseluruhan keterampilan tersebut tidak harus dikuasi namun individu harus bisa fokus terhadap beberapa keterampilan yang dianggap penting untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi saat ini.

2.1.6 Faktor-faktor resiliensi

Reivich & Shatte (2002) mengemukakan ada 7 kemampuan yang membangun resiliensi dan tidak ada orang yang bisa menguasai semua kemampuan tersebut dengan baik. Adapun 7 kemampuan tersebut yaitu :

a. Regulasi emosi

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang walaupun berada dalam situasi yang menekan. Individu yang resilien mengembangkan keterampilan dengan baik untuk membantu mengontrol emosi, perhatian dan perilaku.

b. Impuls control

(9)

Kemampuan yang baik dalam mengontrol dorongan yang ada menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memiliki kemampuan yang baik dalam hal regulasi emosi.

c. Empathy

Empati menunjukkan bagaimana seseorang mampu membaca sinyal-sinyal dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan emosional mereka melalui isyarat nonverbal seperti ekspresi wajah, intonasi suara atau gerak tubuh dan kemudian menentukan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. seseorang yang memiliki empati yang kurang baik walaupun memiliki tujuan yang baik akan cenderung mengulangi pola perilaku yang tidak resilien.

d. Optimisme

Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu yang resilien yakin bahwa kondisi kehidupan dapat menjadi lebih baik, memiliki harapan pada masa depan dan memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mengatur bagian dari kehidupannya. individu yang optimis memiliki kesehatan yang baik, dan memiliki kemungkinan yang kecil mengalami depresi, memiliki prestasi yang lebih baik dan lebih produktif.

(10)

efficacy, yakin akan kemampuan untuk memecahkan masalah dan mengarahkan diri sendiri.

e. Causal analysis

Causal analysis menunjukkan kemampuan individu untuk mengidentifikasi penyebab dari masalah yang dialami. Individu yang mampu mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat tidak akan mengulangi masalah yang sama.

f. Self efikasi

Self efikasi merupakan perasaan individu sejauh mana ia mampu berfungsi secara efektif dalam kehidupan. Hal ini menggambarkan keyakinan untuk dapat memecahkan masalah, bagaimana menilai pengalaman yang dilalui dan kemampuan untuk berhasil.

g. Reaching out

(11)

2.2 Pelatihan bersyukur 2.2.1 Definisi bersyukur

Bersyukur berasal dari bahasa Latin gracia yang berarti anggun, luwes atau terima kasih. Hal ini menyiratkan bersyukur merupakan melakukan sesuatu dengan penuh kebaikan, murah hati, karunia, keindahan dari memberi dan menerima atau memperoleh sesuatu yang tidak terlihat (Pruyser, 1976 ; Peterson & Seligman, 2004).

Banyak filsuf dan ahli psikologi yang telah menjelaskan mengenai definisi bersyukur. Menurut Kant ,1964 (dalam Emmon & Mc. Cullough, 2004) bersyukur dapat diartikan sebagai penghormatan kepada orang lain karena kebaikan yang telah dilakukan. Bersyukur merupakan sikap terhadap orang yang memberi, dan sikap terhadap apa yang telah diberikan, tekad untuk menggunakannya dengan baik, untuk menggunakannya secara imajinatif dan bermanfaat sesuai dengan niat yang memberikan ( Harned, 1997 ; Emmon & Mc. Cullough, 2004).

(12)

yang dapat terjadi ketika individu menerima kebaikan atau manfaat dari orang lain. Target dari bersyukur tidak hanya orang lain. kita dapat bersyukur kepada Tuhan, nasib, atau alam semesta (Tsang, Rowatt & Buechsel dalam Lopez, 2008).

Orang yang bersyukur adalah orang yang menerima sebuah karunia dan sebuah penghargaan serta mengenali nilai dari karunia tersebut. Bersyukur bisa diasumsikan sebagai kekuatan dan keutamaan yang mengarahkan kehidupan yang lebih baik. Bersyukur merupakan rasa terimakasih dan bahagia sebagai respon telah menerima suatu pemberian, entah pemberian tersebut merupakan keuntungan yang terlihat dari orang lain ataupun momen kedamaian yang ditimbulkan oleh keindahan alam (Peterson dan Seligman. 2004).

Menurut Goodenough (dalam Emmon & Mc. Cullough, 2004) pengalaman bersyukur secara religi didasari dengan perasaan takjub terhadap alam semesta. Bentuk dari bersyukur dapat dilihat dari berbagai tradisi agama yang ada di dunia. Bersyukur terhadap kehidupan dapat menciptakan kedamaian pikiran, kebahagiaan, kesehatan fisik, dan kepuasan dalam hubungan personal ((Emmon & Shelton dalam Emmon & Mc. Doughlas, 2004).

(13)

2.2.2 Komponen bersyukur

Menurut Fitzgerald (dalam Peterson dan Seligman. 2004 ; Emmon & Mc. Cullough, 2004 ) ada tiga komponen dari bersyukur, yaitu :

a. rasa apresiasi yang hangat untuk seseorang atau sesuatu, meliputi perasaan cinta dan kasih sayang.

b. niat baik (goodwill) yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu, meliputi keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan, keinginan untuk berbagi, dan lain-lain.

c. Kecenderungan untuk bertindak positif berdasarkan rasa apresiasi dan kehendak baik, meliputi intensi menolong orang lain, membalas kebaikan orang lain, beribadah, dan lain-lain.

Selain itu bersyukur terbagi menjadi dua jenis, yaitu

(14)

2.2.3 Aspek bersyukur

Menurut Mc. Collough dkk ( dalam Linley & Joseph, 2004; Peterson dan Seligman, 2004) ada 4 aspek dalam bersyukur yaitu :

a. Gratitude Intensity

Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat ketika mengalami kejadian yang positif akan merasa lebih bersyukur dibandingkan dengan orang yang memiliki rasa bersyukur yang lemah walaupun sama-sama mengalami kejadian yang positif.

b. Gratitude Frequency

Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat akan lebih sering bersyukur dalam kehidupannya sehari-hari. Perasaan bersyukur muncul dari hal yang sederhana dalam kehidupannya.

c. Gratitude Span

Gratitude span mengacu kepada hal-hal apa saja yang ada dalam kehidupannya. Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat akan merasa bersyukur dengan adanya keluarga, pekerjaan, kesehatan, dan kehidupannya sendiri bersama dengan manfaat yang lainnya. Orang yang memiliki rasa syukur yang rendah hanya akan bersyukur terhadap beberapa aspek dalam hidupnya.

d. Gratitude Density

(15)

akan bersyukur kepada semua orang yang ada dalam kehidupannya.

2.2.4 Pelatihan bersyukur

Menurut Willis (dalam Bannet 1993) pelatihan merupakan kegiatan pemberian pengetahuan atau keterampilan yang telah ditentukan dan terukur. Hadjana (2003) menjelaskan bahwa pelatihan adalah kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan performa seseorang yang dilakukan secara sistematis menurut prosedur serta metode yang telah dirancang sesuai tujuan. Pelatihan mencakup pengembangan berbagai informasi kepada individu atau kelompok sehingga memperoleh informasi yang baru. Pelatihan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan dan kemampuan individu dengan berdasarakan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Ridha 2006). Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda sehingga mereka juga berbeda dalam keterampilan yang dapat diperolehnya dari pelatihan (Jewell & Siegall, 1998).

(16)

Dalam penelitian ini pelatihan bersyukur merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan aspek bersyukur yang dijelaskan oleh Mc. Collough dkk ( dalam Linley & Joseph, 2004; Peterson dan Seligman, 2004) yaitu intensity, frequency, span dan density.

Menurut Miler ( dalam Emmons dan Mc. Collough, 2004)

melalui pendekatan behavioural-cognitive ada empat langkah

sederhana yang dapat dilakukan untuk melatih rasa bersyukur yaitu : a. Mengidentifikasi pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri

b. Memformulasikan pemikiran akan hal-hal yang mendukung untuk

disyukuri

c. Mengganti pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri dengan hal-hal yang disyukuri

d. Segera mengerahkan apa yang sedang dirasakan dalam diri menjadi sebuah tindakan.

2.3 Pelatihan Bersyukur Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Sinabung

(17)

khawatir, gelisah, merasa pesimis pada hidup, putus asa, mudah marah, lebih sering berdiam diri karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Menurut Hikmawati dan Rusmiyati (2012) bencana juga berdampak pada hilangnya harga diri dan rasa percaya diri, sehingga terkesan pasrah, putus asa, tidak berdaya dalam menghadapi masa depan, cenderung menyalahkan orang/pihak lain yang dianggap menambah beban hidup mereka. Keadaan yang serba terbatas juga menjadi stressor bagi para penyintas. Kondisi tersebut akan mempengaruhi resiliensi penyintas. Gallo dkk ( dalam Rich dkk, 2010) menyatakan bahwa situasi lingkungan mempengaruhi untuk meningkatkan atau justru memperlemah resiliensi untuk menghadapi tekanan.

Grotberg (1999) mengemukakan bahwa resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber yang tidak jelas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilien dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan hambatan dalam hidupnya. Resiliensi bukan sifat bawaan atau faktor genetis sehingga dapat ditingkatkan melalui pelatihan (Reivich & Shatte, 2002).

(18)

melakukan upacara tertentu sebagai bentuk syukur kepada debata atau Tuhan yang disebut dengan erpanger (Prinst, 2004). Bentuk dari bersyukur dapat dilihat dari berbagai tradisi agama yang ada di dunia. Bersyukur terhadap kehidupan dapat menciptakan kedamaian pikiran, kebahagiaan, kesehatan fisik, dan kepuasan dalam hubungan personal ((Emmon & Shelton dalam Emmon & Mc. Doughlas, 2004). Fredrickson dkk (dalam Ruini & Vescovelli, 2012) mengemukakan bersyukur merupakan kunci utama pada resiliensi saat terjadi kemalangan.

Oleh karena itu maka pelatihan bersyukur dapat meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi Sinabung, sehingga para penyintas dapat bertahan dan bangkit dari keadaannya saat ini.

2.4 Hipotes penelitian

Referensi

Dokumen terkait

1. Peraturan Bupati Kepulauan Sangihe Nomor 4 Tahun 2012tentang Pemberian Tunjangan Perumahan bagi Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Sedangkan berdasarkan lokasi penelitian, pemeriksaan positif ditemukan di semua rumah sakit dengan hasil pemeriksaan positif terbanyak adalah di RSUD Kota Banda Aceh

Saya menyatakan bahwa data yang saya isikan dalam formulir pendaftaran Seleksi Jalur Tulis UIN SUSKA Riau TA. Saya bersedia menerima sanksi pembatalan penerimaan di UIN SUSKA

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Besaran Uang Persediaan Pada Satuan Kerja

Pengarahan merupakan suatu kegiatan memimpin, memilih dan memberikan arahan dan penilaian terhadap para pekerja sehingga mereka akan bekerja secara baik untuk

Dan tugas wartawanpun menjadi sangat penting disini, dimulai dari mencari berita tersebut, menyimpannya baik dalam bentuk gambar atau suara atau langsung mengeditnya dan

[r]

Aplikasi ini memiliki fasilitas dan fitur yang membantu masyarakat pengguna angkutan umum untuk mengetahui nomor angkutan dan jalur trayek yang akan dilewati angkutan