• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

12 A. STRES

Konsep tentang stres merupakan suatu konsep yang sulit dipahami. Ibaratnya, semua orang tahu makna dari konsep ini, tetapi tidak akan ada orang yang bisa mendefinisikannya dengan cara yang sama (Rice, 1992). Dengan melihat sejarah konsep ini, kita juga akan tahu bahwa memahami dan mendefinisikan konsep stres telah menimbulkan kebingungan, kerumitan, bahkan permasalahan, sehingga dalam perkembangannya, para peneliti mengkonsepkan istilah stres ke dalam tiga cara, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai penilaian individu mengenai dirinya dan lingkungan (DiMatteo, 1990).

Stres diartikan sebagai suatu stimulus (dapat diartikan sebagai stressor) yang memunculkan perasaan tegang. Stressor bisa berupa peristiwa-peristiwa yang menggemparkan seperti bencana alam, perubahan hidup yang signifikan, konflik, situasi yang mengganggu, dan kondisi lingkungan atau tempat tinggal (Lahey, 2010). Selanjutnya, stres sebagai repon merupakan suatu proses yang melibatkan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990).

(2)

Individu secara aktif akan menentukan dampak sebuah stressor pada pemikiran, perasaan, dan perilakunya. Pandangan ini berpendapat bahwa lingkungan yang stressful akan mengganggu fungsi fisik, keseimbangan psikologis, dan hubungan

individu dengan oranglain.

Pandangan ke tiga menyatakan bahwa apa yang individu pikirkan tentang tuntutan (demand) dalam situasi dan apa yang ia pikirkan tentang kemampuan dan sumber daya (resource) yang ia miliki untuk menerima tuntutan tersebut adalah hal yang sangat penting (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990). Jika individu percaya bahwa tuntutan dalam lingkungan sosial dan fisik melebihi kemampuan dan sumber daya yang ia miliki, individu tersebut akan mengalami stres. Sebaliknya, jika lingkungan tidak banyak memberikan tuntutan pada individu, maka hanya sedikit stres bahkan tidak ada stres yang akan dialami individu.

B. PENANGANAN STRES (COPING STRESS)

1. Pengertian Penanganan Stres (Coping Stress)

Penanganan (coping) adalah suatu istilah yang populer digunakan. Orang-orang banyak berbicara tentang usaha mereka untuk menangani permasalahan yang mereka hadapi, di waktu lain, mereka mungkin mengatakan bahwa mereka tidak bisa menangani permasalahan yang lainnya (DiMatteo, 1990). Dalam perspektif psikologi, definisi coping yang paling umum dipakai, dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984), yang mendefinisikan coping sebagai

“constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external

(3)

of the person”. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai usaha kognitif dan

perilaku yang secara konstan berubah untuk mengelola tuntutan ekternal dan internal tertentu yang dinilai sebagai pengganggu dan melebihi sumber daya yang dimiliki seseorang.

Tokoh lain mendefinisikan coping sebagai proses yang digunakan seseorang untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres (Atkinson, 1993). Coping juga diartikan sebagai upaya seseorang dalam mengatasi masalah dan

menangani emosi yang umumnya negatif (Davidson, Neale, & Kring, 2006). Menurut Dalton, Elias, & Wandersman (2007), coping adalah respon atau strategi yang digunakan seseorang untuk mengurangi stres. Selanjutnya Lahey (2010), menggambarkan coping sebagai usaha yang dilakukan individu untuk menangani sumber stres dan usaha untuk mengontrol reaksi mereka terhadap sumber stres tersebut.

(4)

Lalu, apa sebenarnya yang menjadi penentu utama respon coping yang dilakukan ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan? Menurut pendekatan disposisional, faktor yang ada dalam diri individulah yang mendasari pilihan coping, dan faktor ini juga yang membuat individu cenderung menggunakan gaya

coping yang relatif sama ketika dihadapkan dengan permasalahan dan situasi yang

menekan. Menurut Dalton dkk.(2007), faktor ini meliputi faktor genetik dan biologis, trait kepribadian, kondisi kesehatan individu dan pengalaman hidup yang terdahulu. Sedangkan pandangan contekstual mengasumsikan bahwa faktor situasi atau lingkunganlah yang membentuk pilihan coping individu. Faktor ini meliputi tren ekonomi, tekanan sosial dan politik, dinamika keluarga, tradisi budaya, dan ancaman lingkungan.

Menurut DiMatteo (1990), coping merupakan proses yang dinamis. Berbagai macam strategi coping mungkin telah dilakukan oleh individu dan umpan balik (feedback) tentang keberhasilan pada suatu tipe coping akan memacu seseorang untuk mencoba lagi tipe coping tersebut. Sedangkan jika gagal, disisi sebaliknya, akan membawa individu untuk mengganti dengan tipe coping yang lain. Individu secara berkelanjutan akan menilai lingkungan dan kemampuannya untuk melakukan suatu coping. Sejalan dengan DiMatteo, Dalton dkk. (2007) menyatakan bahwa coping juga merupakan proses yang dinamis, yang dapat berubah setiap waktu, tergantung pada tuntutan situasi, ketersedian sumber daya dan penilaian yang terus menerus.

(5)

dikembangankan berdasarkan fungsinya. Teori ini dikembangkan oleh Richard Lazarus dan koleganya (1984), ia mengatakan bahwa coping menyajikan dua fungsi utama, yaitu untuk bertindak secara langsung terhadap penyebab stres atau untuk mengontrol respon emosi yang ditimbulkan dari penyebab stres tersebut. fungsi coping ini dikenal dengan Problem-focused coping dan Emotion-focused coping.

Berdasarkan kategori fungsi coping tersebut, Moos (1995) mengemukakan konsep coping yang multidimensional yang didasarkan pada dua sistem klasifikasi yakni orientasi coping dan metode coping. Orientasi coping terdiri dari dua tipe yaitu Problem-focused yang ia namakan dengan Approach coping dan Emotion-focused yang ia namakan dengan Avoidance coping. Metode coping juga terdiri dari dua kategori, yaitu kognitif yang merupakan proses mental di dalam diri untuk menangani stres dan perilaku yang merupakan respon eksternal. Lebih lanjut konsep Approach-oriented dan Avoidance-oriented coping ini yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2. Strategi Coping Stress

(6)

Pada dasarnya, tidak ada coping tertentu yang dikatakan paling efektif untuk menangani stres. Setiap coping tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Approach Coping sangat baik digunakan apabila seseorang memfokuskan diri pada informasi yang hadir di situasinya dan mengambil tindakan untuk mengurangi dan mengatasi sumber stres. Orang-orang yang menghadapi situasi yang menekan dan mengancam dirinya dengan menggunakan Approach Coping akan melibatkan usaha-usaha kognitif dan perilaku yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman jangka panjang.

Akan tetapi, apapun itu baik Approach maupun Avoidance, kesuksesan penggunaannya juga bergantung pada seberapa lama (durasi) stressor yang hadir (Taylor, 2009). Bagi orang-orang yang menggunakan Avoidance coping mungkin akan lebih baik dalam menghadapi ancaman jangka pendek (Taylor, 2009). Akan tetapi, jika ancaman terus terulang kembali, penggunaan Avoidance coping ini tidak lagi berhasil. Hal ini dikarenakan orang-orang yang menangani stres dengan Avoidance Coping mungkin tidak melakukan usaha kognitif dan perilaku untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah jangka panjang (Taylor & Stanton, 2007). Penelitian membuktikan bahwa, pada umumnya ApproachCoping diasosiasikan dengan hasil yang baik, seperti menurunnya tingkat stres. Sedangkan AvoidanceCoping diasosiasikan dengan dampak psikologis dan kesehatan yang buruk (Zeidner & Endler, 1996).

(7)

coping sehari-hari. Studi ini dilakukan untuk melihat perubahan penggunaan coping seseorang dari hari-hari dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan psikologis. Kesimpulan dari penelitian ini menyebutkan bahwa orang-orang yang bisa mengganti (shift) strategi coping mereka untuk menghadapi tuntutan-tuntutan situasinya lebih baik dalam menghadapi stres dari pada mereka yang tidak. Artinya adalah, orientasi coping baik Approach maupun Avoidance barangkali berguna lebih baik untuk jenis stressor yang berbeda. Secara keseluruhan, penelitian-penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang fleksibel menggunakan orientasi coping, akan menangani stres dengan lebih baik (Cheng, dalam Taylor, 2009).

Berikut akan dijelaskan mengenai Approach Coping dan Avoidance Coping beserta strategi-strategi yang mengacu pada kedua orientasi tersebut.

a. Approach-Oriented Coping

Approach-Oriented Copingmerujuk pada strategi kognitif dan perilaku

yang digunakan secara langsung terhadap suatu stressor. Strategi ini meliputi usaha untuk memahami dan merubah cara berpikir tentang permasalahan, penyebab permasalahan dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut beserta konsekuensinya secara langsung (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat empat strategi yang merupakan Approach-oriented coping yaitu :

1) Logical Analysis

(8)

Mereka yang menggunakan logical analysis akan memikirkan cara-cara tertentu dan cara-cara yang berbeda untuk menerima suatu permasalahan.

2) Positive Reappraisal

Positive reappraisal adalah usaha kognitif yang bertujuan untuk menyusun kembali permasalahan dalam bentuk yang positif ketika sedang menerima keyataan suatu situasi. Salah satu usaha tersebut seperti berpikir bahwa diri kita lebih baik dari pada oranglain yang mengalami permasalahan yang sama.

3) Seeking Guidance and Support

Seeking guidance and support merupakan usaha perilaku untuk mencari informasi, panduan atau dukungan untuk menerima stressor. Hal ini bisa dilakukan adalah dengan berbicara kepada teman tentang permasalahan yang dihadapi, meminta saran, atau meminta pertolongan mereka.

4) Problem Solving

(9)

b. Avoidance-Oriented Coping

Avoidance-Oriented Coping merujuk pada strategi yang digunakan untuk pergi menjauh dari sumber tekanan (stressor) untuk melegakan stres dengan mengekspresikan emosi dan mencari sumber kesenangan lain. Strategi ini meliputi usaha kognitif untuk menolak stressor dan usaha perilaku untuk menarik diri dan menghindari stressor tersebut (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat empat strategi yang merupakan Avoidance-oriented coping yaitu

1) Cognitive Avoidance

Cognitive avoidance merupakan suatu usaha kognitif untuk menghindari berpikir tentang permasalahan dan stressor. Individu yang melakukan Cognitive Avoidance, cenderung berusaha untuk menolak permasalahan secara keseluruhan, tidak mau memikirkan tentang masalah padahal ia ada di situasi tersebut, dan berusaha menolak sumber penyebab permasalahan yang terjadi.

2) Acceptance or Resignation

(10)

3) Seeking Alternative Reward

Seeking alternative reward merupakan usaha perilaku untuk mengurangi dampak stres yang disebabkan oleh permasalahan dengan mencari kepuasan dalam bentuk lain.

4) Emotional Discharge

Emotional discharge merupakan usaha perilaku untuk menangani tegangan dengan mengekspresikan perasaan yang negatif. Mereka yang melakukan ini akan berteriak dan meluapkan emosi yang ada dalam diri mereka.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress

Menurut Taylor (2009), coping stress dipengaruhi oleh sumber daya (resources) yang dimiliki oleh individu. Sumber daya ini berasal dari dalam diri (internal) dan luar diri (eksternal).

a. Sumber daya internal

1) Karakteristik Kepribadian

(11)

2) Usia

Para ilmuan psikologi mengganggap bahwa proses coping akan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia, tetapi pendapat ini masih belum terlalu jelas karena minimnya penelitian khususnya dalam studi longitudinal (Aldwin & Brustrom, dalam Sarafindo & Smith, 2011). Sejauh ini, beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya usia, individu akan cenderung mengembangkan dan menggunakan strategi coping yang lebih beragam. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif dan kemampuan untuk beradaptasi, individu akan semakin memperhatikan tuntutan hidup yang semakin bertambah sesuai dengan tingkatan usianya (Sarafindo & Smith, 2011).

3) Jenis Kelamin

Pada dasarnya laki-laki dan perempuan cenderung menggunakan strategi yang berbeda ketika menghadapi suatu permasalahan. Menurut Pilar (2003) dalam penelitiannya yang berjudul gender differencess in stress and coping styles, ia menyatakanbahwa pada umumnya perempuan secara signifikan lebih tinggi dari pada laki-laki dalam menggunakan strategi avoidancecoping dan berorientasi pada emosi. b. Sumber daya eksternal

1) Materi

(12)

spesifik, Gibbs & Montagnino (2002) dalam penelitiannnya pada 30 dari 40 sampel yang diteliti bagaimana status sosial ekonominya, menemukan bahwa rendahnya status sosial ekonomi seseorang diasosiasikan dengan peningkatan distress. Dinyatakan juga bahwa individu yang hidup dalam kemiskinan cenderung memiliki lebih sedikit sumber daya yang tersedia untuk mengurangsi dampak negatif bencana.

2) Lingkungan Sosial dan Budaya

Lingkungan sosial dan tradisi, ritual, kepercayaan, dan cerita rakyat yang ada dalam suatu budaya akan mempengaruhi individu dalam menilai situasi yang mereka hadapi, bahkan juga mempengaruhi mereka dalam pemilihan coping (Dalton dkk., 2007).

3) Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan berbagai dukungan materi dan sosial yang diterima oleh seseorang dari oranglain (Brannon & Feist, 2007). Dukungan sosial ini bisa diberikan oleh orangtua, pasangan, kerabat, teman, dan komunitas sosial.

4) Tingkat Pendidikan

(13)

Individu yang memiliki sumber daya yang lebih besar akan memiliki penanganan terhadap stres lebih baik, hal ini dikarenakan sumber daya seperti uang, dukungan dari teman, budaya, dan sumber daya lain akan menyediakan lebih banyak cara untuk menerima situasi tersebut Taylor (2009). Akan tetapi, jika individu dihadapkan dalam situasi menekan dalam waktu yang cukup lama, sumber daya yang ia miliki bisa berkurang, bahkan tidak memadai lagi untuk menghadapi situasi tersebut (DiMatteo, 1990).

C. PENYINTAS

Bencana alam datang tanpa peringatan, meskipun kebanyakan orang memiliki kesempatan untuk mempersiapkan bencana yang datang, tetapi tetap saja, datangnya bencana dapat membawa perubahan yang dramatis dan traumatis. Pada korban bencana alam yang selamat atau yang disebut sebagai penyinyas (survivors) tentunya merasa bersyukur. Akan tetapi, bagi mereka pribadi bencana

tentunya menyisakan kepedihan dan cidera bahkan bisa mengalami depresi dan gangguan emosional. Peristiwa bencana alam ini pun bisa berdampak pada kondisi emosi, psikologis, spiritual, finansial, dan sosial para penyintas (Carmen, 2011).

(14)

juga dapat mengalami gejala fisik seperti kram, pusing, reaksi alergi serta adanya keluhan-keluhan yang berhubungan dengan syaraf dan sakit kepala (Carmen, 2011). Dampak sosial yang dialami penyintas antara lain membatasi dan menarik diri dari pergaulan, menghindari relasi-relasi sosial, meningkatnya konflik dalam berhubungan dengan orang lain (Agustin, Kartini, & Pratiwi, 2010).

Dari berbagai dampak yang timbul tersebut, satu hal penting yang perlu disadari ialah bahwasannya reaksi-reaksi yang muncul adalah suatu yang normal ketika seseorang menghadapi peristiwa bencana alam. Hanya saja, bisa gejala tersebut tetap berlangsung selama berbulan-bulan ini bisa mengindikasikan adanya masalah serius yang mungkin perlu ditangani (Miller, 2013).

D. BENCANA ALAM ERUPSI GUNUNG SINABUNG

Bencana alam merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikontrol, merupakan peristiwa yang sering terjadi dan tidak diragukan lagi akan terjadi (Nickerson 2008), dan hal ini dapat mengancam kelangsungan hidup individu melalui kehancuran lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992). Selanjutnya,Brannon dan Feist (2007) menjelaskan bahwa, datangnya bencana alam dapat menyebabkan kematian orang-orang dalam jumlah besar, menciptakan stres, duka cita, dan ketakutan pada orang-orang yang selamat dari bencana.

(15)

keluarga. Bencana alam mungkin juga akan menyebabkan korban massa, kehancuran dan kehilangan harta benda, serta akan mengganggu jaringan sosial dan aktivitas sehari-hari (Ursano & Norwood, 2003).

Selanjutnya, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bencana alam erupsi Gunung Sinabung. Gunung Sinabung adalah gunung yang terletak di dataran tinggi Tanah Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gunung dengan ketinggian 2.460 meter diatas permukaan laut ini tergolong kedalam gunung berapi dan merupakan gunung tertinggi di Sumatera Utara. Gunung yang dikelilingi dengan hutan ini merupakan salah satu gunung penghasil air yang banyak dan sangat subur. Karena kesuburan tanah dan banyaknya air yang dihasilkan dari gunung Sinabung membuat masyarakat sekitar memanfaatkan kaki gunung ini untuk ditanami sayur-sayuran atau buah-buahan.

Namun, pada bulan september 2013, gunung Sinabung ini meletus. Menurut (Ursano & Norwood, 2003), letusan gunung berapi dapat menimbulkan beberapa dampak negatif bagi lingkungan, seperti banyaknya ternak yang mati, dan rusaknya ribuan kebun, ladang, atau sawah. Bencana dan bahaya letusan gunung api juga akan berpengaruh bagi kehidupan. Bahaya yang muncul diakibatkan oleh material yang dikeluarkan secara langsung saat terjadi letusan. Daerah-daerah yang terkena bahaya ini meliputi daerah sekitar puncak gunung, daerah sekitar puncak, dan bisa mencapai jarak sepuluh kilometer dari gunung.

(16)

dibawah radius enam kilometer. Karena debu ini sangat panas, tanaman tersebut terancam gagal panen dan diperkirakan mengalami kerugian hingga dua puluh sembilan milyar. Selama masa bencana di tahun 2010 ini, diperkirakan sekitar 21.141 jiwa masyarakat yang mengungsi di pos-pos pengungsian.

Gunung Sinabung kembali meletus pada bulan September 2013, gunung ini dinaikkan statusnya dari Waspada (level 2) ke Siaga (level 3), sempat diturunkan kembali menjadi Waspada tanggal 29 September 2014, kemudian langsung dinaikkan menjadi Awas (level 4) setelah terjadi letusan dahsyat pada 25 November 2013. Status Awas pada Gunung Sinabung, mengindikasikan semakin meningkatnya aktivitas gunung dan adanya peningkatan intensitas letusan, serta semakin meluasnya lontaran batu material berukuran tiga sampai empat sentimeter, hingga mencapai jarak empat kilometer (Arfa, 2013).

(17)

harus diungsikan (Situs Resmi Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24 Juni 2014).

(18)

E. PARADIGMA BERPIKIR

Sumber daya eksternal Sumber daya internal

Referensi

Dokumen terkait

Well-being, menurut Pollachek (2001) dan Noreuil (2002), well-being yang merupakan suatu konsep kesejahteraan dimana individu mampu menciptakan kepuasan dalam

Explanatory style merupakan suatu cara yang biasa digunakan orang untuk menjelaskan sebab kejadian buruk yang menimpa mereka (Peterson & Seligman dalam Peterson, 1988)..

Mood Priming and Construct Activation in Test of Cognitive Vulnerability to Unipolar Depression.. Clinical

Subjek menggunakan obat tradisional untuk menurunkan tensi W1.. yang diberikan karena gunung ini semua datang. Kalau nenek sekarang udah sehat karena tidak ada lagi uang untuk

Merasakan keluhan fisik yang mengganggu ketika ada sesuatu yang mengingatkan kembali pada kejadian erupsi gunung Sinabung..

Mekanisme koping maladaptif, yaitu suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan, yang bersifat negatif, merugikan

Respon adalah suatu reaksi baik positif atau negatif yang diberikan masyarakat. Respon akan timbul setelah seseorang atau sekelompok orang terlebih dahulu merasakan

Ketika terjadi bencana tidak terlihat adanya koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga tekhnis karena ketiadaan SOP yang jelas dimiliki secara nasional, kita belum melihat