1 A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang rawan mengalami bencana alam. Hal ini
disebabkan karena pergerakan dan tumbukan tiga lempeng dunia yakni lempeng
Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik yang terletak di negara ini. Selain disebabkan
oleh pergerakan dan tumbukan lempeng, pemicu bencana alam juga disebabkan
karena Indonesia dikelilingi oleh serangkaian gunung berapi yang berjumlah
sekitar 240 buah (Tanjung & Kamtini, 2005). Akibatnya, bencana alam pun
datang silih berganti, saling menyusul dari daerah satu ke daerah lain, baik itu
bencana gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.
Bencana alam digambarkan sebagai suatu kehendak Tuhan “acts of God”
(Ursano & Norwood, 2003), sehingga pada dasarnya ini merupakan sesuatu yang
tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikontrol (Nickerson, 2008). Hadirnya
bencana alam dapat mengancam kelangsungan hidup individu melalui kehancuran
lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992). Bencana alam juga merupakan salah
satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi dalam kehidupan, yang dapat
menyebabkan perubahan besar bagi suatu komunitas, daerah, bahkan negara
(Dalton dkk., 2007), dan ini tentunya merupakan salah satu peristiwa hidup yang
begitu menekan (Lahey, 2010).
Di Sumatera Utara, bencana datang melalui peristiwa meletusnya Gunung
Meskipun sempat digolongkan kedalam gunung berstatus tipe B, karena tidak lagi
menunjukkan aktivitasnya selama 400 tahun dan tidak mempunyai karakter
meletus secara magmatik. Tetapi nyatanya Gunung ini kembali menunjukkan
aktivitasnya dan meletus pada tahun 2010 kemudian kembali meletus pada bulan
September 2013 lalu (Arfa, 2013).
Sejak dinyatakan darurat bencana dengan status gunung pada level
tertinggi yaitu Awas oleh Pemerintah Kabupaten Karo, masyarakat yang berada di
radius tiga sampai tujuh kilometer diharuskan untuk mengungsi ke posko-posko
pengungsian yang telah disediakan (Arfa, 2013). Seiring dengan aktivitas gunung
yang semakin meningkat dari hari ke hari, jumlah pengungsi juga terus
mengalami peningkatan. Tercatat hingga bulan Januari 2014, sebanyak 28.536
jiwa harus diungsikan yang tersebar di 39 titik pengungsian. (Situs Resmi
Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24 Juni 2014)
Peristiwa erupsi Gunung Sinabung ini tentunya berdampak pada
lingkungan fisik dan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung. Selain
masyarakat diharuskan mengungsi, debu vulkanik yang keluar akibat erupsi
menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Debu
vulkanik ini juga menyebabkan kerusakan tempat tinggal dan berbagai bangunan
infrastruktur seperti sekolah, rumah ibadah, dan kantor desa. Selain debu
vulkanik, guguran awan panas yang keluar sangat membahayakan dan
mengancam kelangsungan hidup (Sudibyo, 2014).
Tokoh masyarakat Karo, Arya Mahendra Sinulingga mengatakan bahwa
meluas bagi masyarakat Karo (dalam Pinem, 2015).Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh permerintah Kabupaten Karo, ditemukan terjadi tren
penurunan pada sektor partanian Kabupaten Karo sebesar 35 persen yang mana
kerugian diperkirakan mencapai 712,2 Milyar (Nugroho, 2014). Dari segi
pendidikan, jumlah masyarakat Karo yang masuk perguruan tinggi juga sangat
menurun (Pinem, 2015). Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Fahri Hamzah mengatakan bahwa “perhitungan PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) Kabupaten Karo mengalami minus 45 persen pada
pertumbuhannya. Artinya, Kabupaten Karo untuk mencapai tingkat normal seperti
halnya pada tahuan 2012 bila pertumbuhan normal lima persen, maka dibutuhkan
sembilan sampai sepuluh tahun untuk sama dengan kondisi di tahun 2012.”
(dalam Pinem, 2015).
Dalam budaya Karo sendiri, yang merupakan suku mayoritas masyarakat
yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung, terkandung sebuah nilai yang
menggambarkan mengenai ketergantungan antara manusia dengan alam, karena
relasi yang kuat dengan alam ini pula, terciptalah pola kehidupan masyarakat
yaitu bercocok tanam. Masyarakat sangat bergantung pada alam, yang mana telah
memberikan banyak manfaat bagi kehidupan mereka (Sitepu, 1996). Begitu juga
halnya dengan Gunung Sinabung, menurut cerita lokal yang turun temurun di
masyarakat, diceritakan bahwa sejak zaman nenek moyang orang Karo yang
tinggal di sekitar Gunung Sinabung, mereka sangat menggantungkan mata
Akan tetapi, yang terjadi adalah bencana. Gunung Sinabung yang
dibanggakan masyarakat Karo karena kesuburan dan keindahannya ini justru
menunjukkan aktivitas dan erupsi secara terus menerus. Selain berimbas pada
terganggunya perekonomian masyarakat (Sofyan, 2014). Erupsi ini juga
mengakibatkan perubahan-perubahan baik sosial maupun psikologis masyarakat.
Dilaporkan oleh penelitian dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
bahwasannyamasyarakat Karo mengalami guncangan emosi yang luar biasa,
karena dalam ingatan mereka, gunung sinabung tidak pernah menjadi sumber
bencana. (Tim, 2014)
Menurut Dr. Langkah Sembiring, salah satu peneliti dari Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, masyarakat dan pemerintah daerah Karo sama sekali
tidak siap menghadapi bencana ini, akibatnya masyarakat banyak yang mengalami
kepanikan dan ketakutan. Ia juga mengatakan bahwa pengungsi mengalami
masalah karena sudah tinggal di pengungsian dalam waktu yang lama. Akibatnya,
tingkat kejenuhan di pengungsian sudah cukup tinggi, sehingga mereka menjadi
sensitif bahkan diantara mereka ada yang saling berkelahi (dalam Tim, 2014).
Para peneliti tersebutjuga telah menemukan data bahwa ada salah satu pengungsi
yang hendak bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban (Tim, 2014).
Selain itu, bencana ini juga mempengaruhi kondisi fisik masyarakat. Salah
satu masyarakat juga mengatakan bahwa “tekanan darah saya naik terus karena ingat harta benda dan ladang yang rusak, saya juga bosan tidak ada kegiatan,
keluhan-keluhan fisik seperti menderita penyakit asma, sesak napas, diare, demam, dan
hipertensi (Jangan, 2014).
Berbeda dengan bencana-bencana alam erupsi gunung api lain yang
pernah terjadi di Indonesia. Bencana alam erupsi Gunung Sinabung tergolong
panjang dan lama (Priyasidharta, 2014). Sampai pada bulan April 2015, Gunung
Sinabung masih dinyatakan tanggap darurat bencana karena masih terus
menunjukkan aktivitasnya. Bahkan sampai saat ini (April 2015) belum ada
kepastian kapan Gunung Sinabung akan dinyatakan aman. Sekretaris utama
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Dody Ruswandi mengatakan bahwa
“perubahan watak letusan gunung api membuat bencana ini semakin sulit
diprediksi, erupsi gunung api juga tidak dapat diprediksi untuk jangka panjang” (dalam Linggasari, 2014). Jika kita tarik mundur, maka terhitung sudah satu tahun
lima bulan lamanya masyarakat mengalami bencana.
Dengan segala kondisi yang terjadi, gunung yang tidak bisa diprediksi dan
tidak bisa dikontrol ini, masyarakat justru memilih untuk menunggu. Berdasarkan
hasil survey yang dilakukan peneliti pada bulan November 2014 kepada 30
penyintas erupsi Gunung Sinabung, sebanyak 22 penyintas mengatakan bahwa
kondisi gunung memang tidak bisa dipastikan, tetapi mereka memilih untuk tetap
menunggu sampai aktivitas gunung mereda. Meskipun mereka memiliki pilihan
lain seperti pindah rumah dan mencari pekerjaan di daerah lain tetapi mereka
lebih memilih untuk tinggal. Masyarakat mengatakan bahwa hidup mereka
bergantung pada gunung ini, mereka dibesarkan karena gunung ini, dan gunung
Pada akhirnya nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat sendiri memaksa
mereka untuk tetap tinggal dan menunggu meskipun dengan fakta bahwa gunung
dalam kondisi yang tidak bisa dikontrol maupun diprediksi. Dalam kondisi ini,
terlihat bahwa masyarakat menghadapi situasi yang cukup menekan, hal ini
ditandai dengan munculnya reaksi-reaksi baik fisik maupun psikologis seperti
ketakutan, kecemasan, kejenuhan, dan keluhan-keluhan fisik yang dirasakan
masyarakat. Reaski-reaksi tersebut diindikasikan sebagai reaksi stres. Pernyataan
ini diperkuat oleh penelitian Leitch (2003), ia menyatakan bahwa individu yang
dihadapkan dengan kondisi tidak pasti lebih cenderung mengalami stres daripada
mereka yang berada dalam kondisi yang lebih bisa diprediksi, karena di kondisi
yang tidak pasti ini biasanya membuat mereka kesulitan untuk menentukan apa
respon yang sebaiknya mereka berikan.
Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa ketika kondisi ini dialami
individu dalam waktu yang berlangsung lama, bisa menimbulkan dampak negatif
pada diri mereka (Gardner & Stern, 2002). Khususnya dalam kondisi bencana
alam, yang notabenenya adalah “acts of God” sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengontrol keadaan gunung, besar kemungkinan memicu
terjadinya stres (Ursano & Norwood, 2003), dan ketika ini berlangsung lama,
dampak psikologis yang mungkin terjadi adalah helpless-perasaan tidak berdaya
dan merasa tidak mampu untuk menghadapi lingkungannya (Sarafindo, 2011).
Selain itu, juga memungkinkan munculnya perasaan insecure, yang mana individu
percaya bahwa lingkungannya adalah suatu hal yang mengancam dirinya dan bisa
Akan tetapi, sejatinya sebagai seorang individu, ketika dihadapkan pada
situasi-situasi yang menekan (stressful), individu akan terus melakukan penilaian
terhadap situasi tersebut lalu mempertimbangkan respon-respon yang akan
diberikan untuk menghadapinya (Lazarus & Launier, dalam Rice, 1992). Hasil
survey yang dilakukan peneliti, menunjukkan bahwa ketika menghadapi bencana
ini, mereka mengaku melakukan beberapa aktivitas seperti mencari pekerjaan
dengan berladang di ladang orang lain, membangun usaha, memperbaiki
kerusakan infrastruktur, membantu teman yang juga mengalami kesusahan, dan
menyewa rumah di daerah yang aman dari bencana. Respon-respon yang
dilakukan penyintas untuk menghadapi situasi bencana ini disebut sebagai coping
stress.
Copingmerupakan suatu upaya, baik mental maupun perilaku yang
dilakukan secara sadar untuk mengelola suatu situasi yang penuh tekanan dengan
tujuan untuk mengurangi perasaan tertekan atau kesukaran (Lazarus, dalam
DiMatteo, 1990). Coping berperan penting ketika individu mengatasi stres. Peran
coping dalam hal tersebut adalah sebagai mediator dan moderator. Sebagai
mediator,coping berfungsi untuk menghalangi dampak stres pada individu dan
coping ini berkorelasi negatif dengan ketidakmampuan individu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Coping juga berfungsi sebagai moderator
dalam mendorong individu menjadi lebih positif setelah mengalami berbagai
situasi yang menekan. (Lazarus & Folkman, 1984).
Moos (1993), mengemukakan bahwa ada dua orientasi coping yang
mendekat (Approach-oriented coping) dan orientasi menjauh (Avoidance-oriented
coping). Approach-oriented mengacu pada strategi-strategi baik kognitif dan
perilaku yang dilakukan untuk memahami penyebab stres dan berusaha untuk
menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung.
Sedangkan avoidance-oriented mengacu pada strategi kognitif untuk menyangkal
atau meminimalisir penyebab stres dan stretegi perilaku untuk menarik diri atau
menghindar dari penyebab stres tersebut.
Moos (1993) mengungkapkan bahwa Approach-oriented dan
Avoidance-oriented masing-masingnya tersusun atas empat strategi coping. Strategi-strategi
ini yang mendasari Approach coping adalah Logical Analysis, Positive
Reappraisal, Seeking Guidance and Support, dan Problem Solving. Selanjutnya,
strategi-strategi yang mendasari Avoidance coping adalah Cognitive Avoidance,
Acceptance/Resignation, Seeking Alternative Reward, dan Emotional Discharge.
Ada beberapa alasan mengapa peneliti menggunakan teori
Approach-oriented dan Avoidance-oriented. Pertama, teori ini merupakan perluasan teori
Lazarus dan Folkman mengenai problem-emotion focused coping. Selanjutnya,
orientasi coping juga lebih konsisten ditemukan pada teori approach dan
avoidancecoping ini. Kedua, teori ini juga dirasa paling sesuai dipakai dalam
konteks bencana, Moos sendiri mengatakan bahwa teori ini bisa digunakan untuk
mengetahui coping stress penyintas erupsi Gunung Sinabung (Moos,
2015).Dengan mengetahui orientasi serta strategi-strategi coping penyintas erupsi
Gunung Sinabung, ini bisa menjadi saran dan referensi bagi instansi
Penelitian-penelitian ilmiah menemukan bahwa Avoidance coping pada
umumnya bukan strategi yang efektif digunakan ketika menghadapi stress,
sedangkan penggunaan Approachcoping ditemukan lebih efektif dan mendorong
penyesuaian diri di berbagai situasi (Moos, 1995). Penggunaan coping ini
ditemukan memediasi hubungan antara optimisme dan penyesuaian diri yang
lebih baik dalam keadaan stressful (Brissette, dalam Taylor & Stanton, 2007).
Sebaliknya, avoidance coping dihubungkan dengan peningkatan stres, dan
kesehatan mental yang semakin memburuk. Pemakaian coping ini juga berperan
dalam menciptakan stres yang berkelanjutan (Holahan, dalam Taylor & Stanton,
2007).
Penelitian mengenai stress dan coping stress dalam situasi bencana juga
telah banyak dilakukan. Salah satunya oleh Andreas Baum (dalam Rice, 1992), ia
mengemukakan bahwa dalam situasi bencana, strategi coping yang paling efektif
dilakukan adalah dengan membersihkan diri dari emosi-emosi negatif. Para
korban bencana seharusnya mencari cara untuk mengekspresikan emosi dan
perasaan-perasaan negatifnya. Selanjutnya mereka juga sebaiknya menunda
dahulu untuk mencoba mengontrol dan menyelesaikan masalahnya. Khususnya
pada situasi bencana alam yang pada dasarnya adalah peristiwa yang tidak bisa
dikontrol dan tidak bisa diprediksi, usaha-usaha untuk secara langsung
menyelesaikan masalah, justru semakin meningkatkan stres dan perasaan frustrasi
karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengatasi bencana tersebut.
Dengan melihat fenomena yang terjadi akibat bencana erupsi Gunung
masyarakat dalam menghadapi bencana tersebut. Mengetahui strategi apa yang
dipakai merupakan sesuatu yang penting mengingat strategi coping yang
digunakan individu merupakan suatu cara untuk menghindari dampak negatif
yang bisa terjadi dandapat menentukan kesehatan mental dan fisik serta
keberhasilan mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan
mengetahui orientasi dan strategi pula, ini bisa menjadi saran bagi instansi
penanggulanan bencana dalam mengadakan program penanganan psikologis dan
rehabilitasi.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Bagaimana gambaran coping stress penyintas dalam menghadapi bencana
erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo?
C. TUJUAN PENELITIAN
Menggambarkan coping stress penyintas dalam menghadapi bencana
erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah wawasan teoritis mengenai strategi coping
stress (approach-oriented dan avoidance-oriented), khususnya yang digunakan
dalam konteks bencana alam.
2. Manfaat Praktis
Memberikan pemahaman mengenai strategi coping stress yang digunakan
instansi penanggulangan bencana ketika membuat program penanganan
psikologis dan rehabilitasi untuk penyintas bencana erupsi Gunung Sinabung di
Kabupaten Karo.
E. SISTEMATIKA PENELITIAN
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan dibahas sejumlah konsep yang berhubungan dengan
masalah penelitian. Tinjauan pustaka yang digunakan berkaitan dengan konsep
Stress,Coping Stress, Penyintas, Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung, dan
Paradigma berpikir.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian yang mencakup
variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel,
teknik pengambilan sampel, metode pengambilan data dan metode analisa data.
BAB IV : Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini, akan diuraikan keseluruhan hasil analisa data penelitian,
diawali dengan gambaran umum subjek penelitian, gambaran penggunaan coping
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang menjawab pertanyaan
penelitian, serta diakhiri dengan saran-saran bagi peneliti lain dan instansi