• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kebutuhan tanah setiap tahunnya semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Pertumbuhan penduduk disebabkan oleh beberapa faktor seperti arus urbanisasi dan pertumbuhan secara alami. Kebutuhan akan lingkungan, tempat tinggal yang baik dan kegiatan perekonomian masyarakat, memerlukan ruang dalam pelaksanaannya, sementara luas tanah relatif tetap. Hal ini membuat manusia dituntut untuk melakukan pengelolaan penggunaan lahan secara efektif dan efisien untuk mendapatkan hasil yang optimum. Pengelolaan penggunaan lahan harus berawal dari perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan segala parameter yang terkait dan saling mempengaruhi satu sama lainnya (Syahid, 2003).

Daerah perkotaan identik dengan jumlah penduduk yang tinggi dan penggunaan lahan didominasi oleh lahan terbangun. Tingginya jumlah penduduk ini mengakibatkan kebutuhan penduduk akan ruang terutama ruang yang semakin tinggi terutama untuk lahan terbangun. Hal ini pada akhirnya akan menjadi pemicu terjadinya konversi lahan dari lahan non terbangun menjadi lahan terbangun (Anonim, 2012).

Tujuan dari penataan ruang dimaksudkan untuk mencapai kondisi aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Untuk dapat menjaga konsistensi dari pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang wilayah, setiap pemerintah kota memerlukan upaya pemantauan terhadap pemanfaatan ruang yang berjalan serta mengevaluasi kesesuaian dari pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang wilayahnya (Anonim, 2007).

Kondisi tata ruang Kota Yogyakarta yang telah ada sekarang merupakan bagian dari perencanaan dari pihak Bappeda Kota Yogyakarta. Sehingga untuk membuktikan apakah kondisi tersebut sesuai atau mengalami perubahan maka dilakukan evaluasi. Adapun evaluasi yang dilakukan menggunakan satelit

(2)

WorldView-2 tahun 2013 sebab merupakan citra resolusi tinggi yang tersedia saat ini untuk studi kasus Kota Yogyakarta.

Penelitian ini dilakukan sebagai upaya mengevaluasi penggunaan lahan di Kota Yogyakarta. Hasilnya, dapat digunakan sebagai referensi serta acuan bagi institusi-institusi terkait untuk pengambilan keputusan dalam rencana pembangunan wilayah di Kota Yogyakarta selanjutnya.

I.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi RTRW untuk wilayah Kota Yogyakarta dengan memanfaatkan citra WorldView-2 tahun 2013.

I.3. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat dari penelitian ini, manfaat-manfaat tersebut antara lain :

1. Memberikan informasi berupa evaluasi dari pelaksanaan RTRW Kota Yogyakarta dan sebagai referensi serta acuan bagi institusi-institusi terkait untuk pengambilan keputusan dalam rencana pembangunan wilayah Kota Yogyakarta selanjutnya.

2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pada pelaksanaan periode yang direncanakan.

I.4. Batasan Masalah

Penelitian yang akan dilakukan tidak seutuhnya mencakup seluruh Kota Yogyakarta. Wilayah yang akan dievaluasi hanya meliputi daerah yang tercakup dalam radius citra WorldView-2 hasil rekaman tahun 2013. Penelitian ini lebih ditekankan pada aspek evaluasi RTRW dari citra WorldView-2 yang terdiri dari 12 kelas.

I.5. Tinjauan Pustaka

Evaluasi suatu tata ruang dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah penggunaan tanah yang tidak terkendali. Untuk

(3)

membuktikan evaluasi tersebut, maka Syahid (2003) melakukan penelitian evaluasi RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) menggunakan citra Ikonos Level Geo untuk sebagian Kota Tasikmalaya. Metode yang digunakan adalah survei lapangan yang kemudian hasilnya dicocokkan dengan hasil interpretasi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dalam bentuk peta yang memperlihatkan luas penggunaan lahan di Kota Tasikmalaya yang telah sejalan dengan RUTRK.

Selain faktor penggunaan tanah juga dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan penduduk. Sabngiarso (2008) pernah melakukan penelitian rencana detail tata ruang di Kota Semarang dengan memanfaatkan citra Quickbird. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terjadinya ketimpangan dalam distribusi penduduk, pertumbuhan penduduk dan perkembangan areal terbangun di wilayah penelitian.

I.6. Landasan Teori I.6.1. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh menurut Lillesand dan Kiefer (2004) merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis menggunakan kaidah ilmiah data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. Sedangkan menurut Lindgran dalam Sutanto (1994) mengemukakan bahwa penginderaan jauh adalah teknik yang dikembangkan untuk perolehan data dan analisis tentang informasi kebumian.

Sistem penginderaan jauh terdiri atas sumber energi, sensor, obyek yang diamati, serta media perambatan energinya. Konsep penginderaan jauh didasarkan pada pengukuran energi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh suatu obyek yang bisa ditangkap oleh suatu perangkat yang disebut sensor. Sensor ditempatkan pada suatu platform bergerak yang biasanya berupa pesawat ataupun satelit. Karakteristik obyek dapat dibedakan berdasarkan perbedaan pantulan energi elektromagnetik yang diterima oleh sensor. Setiap obyek yang berbeda jenisnya akan memberikan respon yang berbeda pula terhadap gelombang elektromagnetik yang mengenainya, karena setiap obyek memiliki keunikan sifat

(4)

refleksi dan emisinya. Salah satu output dari sistem penginderaan jauh adalah citra digital (Widiastuti, 2013).

Harintaka (2007) menjelaskan bahwa citra adalah penyajian fungsi intensitas cahaya f (x,y) dalam ruang dua dimensi, f (x,y) menyatakan nilai intensitas cahaya, x menunjukan posisi baris sedangkan y menunjukkan posisi kolomnya. Citra berupa matrik-matrik dengan elemen terkecilnya adalah piksel yang menunjukkan nilai spektral suatu obyek. Gambar I.1 menggambarkan tentang konsep penginderaan jauh.

Gambar I.1 Konsep penginderaan jauh (National Space Development Agency of

Japan, 1996 dalam (Widiastuti, 2013))

Platform penginderaan jauh dirancang untuk beberapa tujuan khusus. Tipe

sensor, platform, penerima data, pengirim serta pemrosesan dipilih sesuai dengan tujuan tersebut. Perkembangan perolehan data penginderaan jauh melalui satelit menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan melalui pemotretan udara, antara lain dari segi harga, periode perekaman daerah yang sama, serta kombinasi saluran spektral yang lebih sesuai untuk aplikasi tertentu (Danoedoro, 1996).

Saat ini telah beredar banyak jenis satelit yang diluncurkan oleh banyak negara. Mulai 8 dari negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jepang, Rusia, dan negara-negara besar lainnya. Berbagai satelit yang diluncurkan menawarkan resolusi spasial yang bervariasi, dari resolusi rendah hingga resolusi

(5)

tinggi. Resolusi spasial merupakan kemampuan sensor mendeteksi ukuran terkecil obyek di bumi untuk membedakan diantara dua obyek yang berdekatan pada citra (Sabins, 1997 dalam Nosicca, 2015).

Worldview-2 merupakan salah satu jenis satelit beresolusi tinggi yang menyediakan 8 sensor spektral dari gelombang tampak hingga inframerah jarak dekat. Satelit ini diluncurkan menggunakan roket Delta 7920 pada tanggal 8 Oktober 2009 di Vandenberg Air Force Base, California. Setiap sensor yang dibawa pada satelit ini dipusatkan pada jarak partikular dari spektrum gelombang elektromagnetik yang sensitif menuju partikular objek yang ada di permukaan bumi (Anonim, 2010). Kenampakan satelit WorldView-2 terdapat pada gambar I.2 dan karakteristiknya dapat dilihat pada tabel I.1.

Gambar I.2 Satelit WorldView-2 (Anonim, 2010) Tabel I.1 Tabel karakteristik WorldView-2 (Anonim, 2010)

No. Karakteristik Spesifikasi

1 Peluncuran 8 Oktober, 2009

Vandenberg Air Force Base, California

2 Wahana Roket Delta 7920

3 Orbit Ketinggian: 770 km

(6)

No. Karakteristik Spesifikasi

4 Waktu orbit

mengelilingi bumi 100 menit

5 Band citra

Pankromatik : 450-800 µm Multispektral, terdiri atas :

Coastal : 400-450 µm Merah : 630-690 µm

Biru : 450-510 µm Red Edge : 705-745 µm Hijau : 510-580 µm IR1-dekat : 770-895 µm Kuning : 585-625 µm IR2-dekat : 860-1040 µm

6 Resolusi citra

Pankromatik: 0.46 m pada nadir, 0.52 m pada 20o

off-nadir

Multispektral: 1.85 m pada nadir, 2.07 m pada 20o

off-nadir

7 Dynamic range 11 bit per piksel 8 Lebar sapuan 16.4 km pada nadir 9

Max contiguous area collected in a single pass

65.6 km x 110 km mono pada nadir 48 km x 110 km stereo pada nadir 10 Pengulangan orbit 1.1 hari pada 1 m GSD atau kurang

3.7 hari pada 20o off-nadir atau kurang (0.52 m GSD)

I.6.2. Rektifikasi Citra

Rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari suatu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Pekerjaan rektifikasi dengan cara pemberian koordinat pada citra berdasarkan koordinat hasil survei lapangan atau koordinat yang telah ada pada suatu peta maupun dari citra yang sudah tergeoreferensi yang mencakup area yang sama (Lillesand dan Ralph, 2002).

Akibat proses transformasi koordinat akan terjadi pergeseran di dalam penentuan titik kontrol yang besarnya ditunjukkan dengan Nilai Root Mean

Square Error (RMSE). Nilai RMSE ialah nilai yang menunjukkan tingkat akurasi

geometrik yang dilakukan atau merupakan ukuran ketelitian dari GCP (Ground

Control Point) yang diekspresikan dengan ukuran piksel. Semakin kecil nilai

RMSE maka akan semakin baik pula penempatan atau identifikasi GCP pada Tabel I.1 (lanjutan)

(7)

citra. Nilai RMSE untuk setiap titik dapat dihitung dengan persamaan matematika berikut (Jensen, 1996).

RMSE= √(𝑥′− 𝑥

𝑜𝑟𝑖𝑔)2 + 𝑦′ − 𝑦𝑜𝑟𝑖𝑔)2 ...(1.1) Dalam hal ini :

x’,y’ : Koordinat titik GCP dalam sistem koordinat peta. xorig, yorig : Koordinat titik GCP dalam sistem koordinat citra.

Hasil hitungan nilai RMSE dari seluruh titik kontrol yang ada, dimungkinkan untuk mengetahui titik kontrol yang memiliki kesalahan terbesar serta memperoleh jumlah total RMSE. Pada koreksi geometrik ini, RMSE yang diperoleh tidak boleh melebihi dari 0,5 piksel yang artinya rata-rata posisi hasil-hasil koreksi yang menyimpang kurang dari 0,5 x ukuran piksel dalam kenyataan di lapangan (Jensen, 1996).

Model transformasi yang umum digunakan untuk rektifikasi citra satelit adalah model matematika polinomial. Berikut rumusan transformasi interpolasi polinomial yang digunakan dari orde satu hingga orde tiga (Jensen, 1996).

1. Transformasi Polinomial orde satu (Affine) x = a(1)X + a(2)Y + a(3)

y = a(4)X + a(5)Y + a(6) .……….(1) dimana :

X, Y : Koordinat sistem tanah x,y : Koordinat pada citra a(1),…...….a(6) : Parameter polinomial

2. Transformasi polinomial orde dua

x = a(1)X + a(2)Y + a(3)XY + a(4)X2 + a(5) Y2 + a(6)

y = a(7)X + a(8)Y + a(9)XY + a(10)X2 + a(11)Y2 + a(12)………..(2) dimana :

(8)

3. Transformasi polinomial orde tiga

x=a(1)X+a(2)Y+a(3)XY+a(4)X2+a(5)Y2+a(6)X2Y+a(7)XY2+a(8)X3+a(9)Y3a(10) y=a(11)X+a(12)Y+a(13)XY+a(14)X2+a(15)Y2+a(16)X2Y+a(17)XY2+a(18)X3+a(19)Y3

+a(20)……….(3)

dimana :

a(1)….….a(20) : Parameter polinomial

I.6.3. Resampling

Langkah selanjutnya adalah melakukan resampling/interpolasi nilai spektral, yaitu teknik penyadapan derajat nilai kecerahan (Brightness Value/BV) piksel dari posisinya di citra yang belum terkoreksi ke geometrik ke posisinya yang baru di citra yang telah terkoreksi geometrik. Teknik interpolasi dapat dilakukan dengan beberapa algoritma, yaitu nearest neighbor, bilinier

interpolation dan cubic convolution (Danoedoro, 1996).

Algoritma tetangga terdekat (nearest neighbor) diterapkan hanya dengan mengambil kembali nilai dari piksel terdekat yang telah bergeser ke posisi baru, kemudian dirata-rata secara proporsional. Algoritma bilinier interpolation diterapkan dengan mempertimbangkan keempat nilai piksel yang berdekatan untuk kemudian dirata-rata secara proporsional sesuai dengan jaraknya terhadap posisi baru. Persamaannya menurut Jensen (1996) sebagai berikut :

...………(4)

Dalam hal ini :

BVwt : nilai piksel baru hasil interpolasi

Zk : nilai-nilai piksel di sekitar titik penempatan pusat piksel baru

Dk2 : kuadrat jarak dari titik yang dimaksud

Sedang algoritma cubic convolution menggunakan prinsip seperti algoritma

bilinier interpolation tetapi dengan mempertimbangkan 16 piksel di sekitarnya

(Danoedoro, 1996).

BV

wt

=

∑4𝑘=l (𝑍𝑘/𝐷𝑘2) ∑4𝑘=l (l/𝐷𝑘2)

(9)

I.6.4. Interpretasi Citra Satelit

Sutanto (1992) menjelaskan bahwa hasil proses penginderaan jauh sistem satelit berbentuk citra digital pengolahannya dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu :

1. Analisis data secara visual adalah analisis dengan cara mengenali ciri-ciri obyek yang terdapat pada citra berupa bentuk, ukuran, rona, warna, pola, bayangan, situs dan asiosiasi.

2. Analisis data secara numerik yaitu analisis data dengan cara pengenalan pola spektral. Pola spektral merupakan karakteristik spektral yang dinyatkkan dalam dua dimensi yaitu nilai digital pada tiap tipe piksel. Dalam analisis secara numerik dibutuhkan komputer yang memiliki kapasitas penyimpanan yang besar dan juga melibatkan hitungan statistik.

Pengenalan obyek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Tanpa dikenali identitas dan jenis obyek yang tergambar pada citra, tidak mungkin dilakukan analisis untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Prinsip pengenalan obyek pada citra berdasarkan atas penyidikan karakteristiknya atau atributnya pada citra (Nosicca, 2015).

Unsur interpretasi terbagi atas empat tingkatan kerumitan yang membentuk susunan piramida berjenjang yang dapat dilihat pada gambar I.3.

Gambar I.3 Susunan hirarki unsur interpretasi citra (Estes et al, 1983 dalam Sutanto, 1992)

(10)

Sutanto (1992) menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur interpretasi yang digunakan dalam interpretasi citra secara visual, yaitu:

1. Warna (tone)

Warna merupakan tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi obyek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak yang sering disebut sinar putih, yaitu spektrum dengan panjang gelombang (0.4 - 0.7 µm). Di dalam penginderaan jauh, spektrum demikian disebut spektrum lebar. Jadi rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Sedangkan warna merupakan wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak.

2. Bentuk (shape)

Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas, sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja.

3. Ukuran (size)

Ukuran merupakan atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume.

4. Tekstur (texture)

Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual.

5. Pola atau susunan keruangan (pattern)

Pola merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah.

6. Bayangan (shadow)

Bayangan bersifat menyembunyikan detail obyek yang berada di daerah gelap. Obyek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang-kadang tampak samar-samar. Meskipun demikian, bayangan merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek yang justru lebih tampak dari bayangan.

(11)

7. Situs (site)

Situs ialah lokasi suatu obyek dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar, misalnya letak kota (fisik) terhadap wilayah kota, atau letak suatu bangunan terhadap suatu persil tanahnya.

8. Asosiasi (association)

Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Maka terlihatnya suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain.

Dengan menggunakan kedelapan unsur interpretasi tersebut, menurut Sutanto (1994) terdapat beberapa unsur penutup lahan yang mudah dikenali pada citra satelit, terutama bangunan yang berukuran besar, terpisah jelas dari bangunan di sekitarnya dan ditandai dengan adanya identitas yang jelas. Berikut penjelasan dari unsur-unsur tersebut :

1. Lapangan olahraga

A. Lapangan sepak bola biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Rona cerah dengan tekstur halus dan seragam (rumput) b) Ukuran kurang lebih 100 m x 80 m

c) Kadang terlihat gawangnya (nampak dari bayangan) B. Lapangan tenis biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a) Rona cerah dengan bentuk persegi panjang b) Ukuran kurang lebih 18 m x 36 m

c) Dikelilingi pagar (nampak dari bayangan)

C. Kolam renang biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Rona gelap dengan banyak air

b) Dikelilingi dengan pagar tembok (nampak dari bayangan) c) Bangunan rumah di dalam pagar tembok

2. Stasiun kereta api biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a) Nampak jalur jalan kereta api dengan kenampakan garis sejajar b) Nampak gerbong kereta api

c) Bangunan yang terpisah dengan bangunan sekitarnya 3. Pasar biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

(12)

a) Bentuk dan ukuran atap bangunan yang seragam b) Jarak antar tiap atap relatif dan teratur

c) Pengelompokan kendaraan di dekatnya

4. Rumah sakit biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a) Bentuk dan ukuran atap bangunan yang besar dan seragam b) Jarak antar tiap bangunan teratur dan tidak teratur

c) Ruang terbuka hijau diisi dengan rumput dan tanaman hias d) Terletak ditepi jalan besar

5. Gedung sekolah biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Ukuran bangunan besar dan berkelompok

b) Bentuk bangunan biasanya U, L atau bentuk khusus lainnya

c) Terdapat halaman yang cukup luas atau dekat dengan lapangan olahraga

6. Tempat ibadah

A. Masjid biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran relatif besar

b) Berbentuk bujur sangkar atau mendekati bujur sangkar

c) Atap bagian tengah lebih tinggi dari atap rumah bertingkat satu d) Kadang terdapat makam di bagian ibaratnya, terutama untuk

masjid lama

B. Gereja biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran relatif besar dari rumah pada umumnya b) Terdapat bangunan runcing tinggi di bagian depan 7. Hotel biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a) Berukuran relatif besar

b) Halaman depan cukup luas dengan tempat parkir c) Terletak di tepi jalan besar

d) Kelompok kendaraan sering nampak di bagian depan 8. Terminal bus atau taksi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a) Terkumpulnya jenis kendaraan tertentu dalam deretan berjajar b) Kadang terdapat bangunan memanjang didekatnya

(13)

9. Perumahan dengan pola teratur biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Perumahan dengan pola teratur biasanya nampak jelas dari bentuk atau ukurannya yang seragam serta jarak yang sama. Dapat dikenali dengan mudah meskipun ukuran perumahannya kecil.

10. Pabrik biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran besar

b) Jarak antar tiap bangunan relatif kecil atau dengan ruang kosong sekecil mungkin

c) Jalan masuk memadai untuk kendaraan berukuran besar seperti truk bahkan trem

d) Terdapat gedung yang sering nampak dari ukuran yang besar serta bentuk bangunan yang berbeda terhadap bangunan yang lain 11. Jalan, jembatan dan sungai biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a) Jembatan dapat dikenali dengan bayangan serta ukuran yang relatif sempit dari jalan

b) Jalan berona cerah dan lebarnya seragam

c) Sungai berona gelap dan lebarnya serta arahnya tidak teratur 12. Makam biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a) Rona cerah dan tidak seragam b) Tekstur agak kasar

c) Sering nampak bangunan kecil-kecil menyerupai rumah

I.6.5. Analisis Spasial dengan Proses Overlay

Prahasta (2001) menyebutkan bahwa terdapat dua jenis fungsi analisis dalam sistem informasi geospasial yang umum digunakan, yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis spasial yang di dalam sistem informasi geografis spasial yang umum digunakan adalah analisis overlay (tumpang susun).

Overlay merupakan teknik penggabungan dua atau lebih data grafis untuk

diperoleh data grafis baru yang memiliki satuan unit pemetaan gabungan dari data grafis tersebut (Suharyadi, 1993).

(14)

Analisis spasial pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.

I.6.6. Skema Klasifikasi Tata Ruang

Skema klasifikasi adalah alur atau tahapan pelaksanaan suatu kegiatan sedangkan klasifikasi adalah penggolongan obyek ke dalam masing-masing kelas berdasarkan kriteria tertentu (Kartini, 1999 dalam Widiastuti, 2013).

Sistem klasifikasi tata ruang yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem klasifikasi penggunaan kota karena wilayah yang diinterpretasi merupakan wilayah kota.

Klasifikasi penggunaan tanah untuk pembuatan peta penggunaan tanah dilakukan dengan mengelompokkannya ke dalam kelas penggunaan tanah dengan mengacu pada sistem klasifikasi tertentu. Pemilihan skema klasifikasi adalah pemilihan (kelas) yang akan diambil/dipergunakan dalam proses klasifikasi. Penentuan klasifikasi diperlukan karena tidak semua kelas yang ada bisa diperoleh dari suatu citra karena setiap citra memiliki tingkat resolusi yang berbeda (Sabngiarso, 2008).

Menurut Anderson (USGS, 1976) mengklasifikasikan penggunaan tanah/penutup lahan pada Level 1 dan Level II yang disajikan pada tabel I.2 berikut :

Tabel I.2 Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut Anderson (USGS, 1976)

LEVEL I LEVEL II

1. Urban or built-up land 1.1 Residental

1.2 Commercial and Services

1.3 Transportation, communications and utilities 1.4 Industrial and commercial complexes

1.5 Mixed and commercial complexes 1.6 Mixed urban or built-up land 1.7 Other urban or built-up land 2. Agricultural land 2.1 Cropland and pasture

(15)

ornamental holticultural areas

2.3 Confined feedings operations 2.4 Other agricultural land 3. Range land 3.1 Herbaceous rangeland

3.2 Shrub-brusland rangeland 3.3 Mixed rangeland

4. Forest land 4.1 Deciduous forest land 4.2 Evergreen forest land 4.3 Mixed forest land

5. Water 5.1 Stream and canal

5.2 Lakes 5.3 Reservoirs

5.4 Bays and estuaries 6. Wet land 6.1 Forested wet land

6.2 Nonforested wet land 7. Barren land 7.1 Dry salt flats

7.2 Beaches

7.3 Sandy areas other than beaches 7.4 Bare exposed rock

7.5 Strip mines, quarries, and gravel pits 7.6 Transitional areas

7.7 Mixed barren land 8. Tundra 8.1 Shrub and brush tundra

8.2 Herbaceous tundra 8.3 Bare ground tundra 8.4 Wet tundra

8.5 Mixed tundra

9. Perennial snow or ice 9.1 Perennial snowfields 9.2 Glaciers

Malingreau (1982) dalam Sabngiarso (2008) membuat klasifikasi penggunaan tanah sekaligus penutup tanah yang ada di dalamnya. Klasifikasi penggunaan tanah menurut Malingreau dibagi menjadi empat golongan utama, yaitu :

1. Air.

2. Daerah vegetasi. 3. Daerah tak bervegetasi.

(16)

4. Permukiman dan bangunan.

Klasifikasi penggunaan tanah sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029 meliputi :

1. Budaya. 2. Kesehatan. 3. Kuburan. 4. Pariwisata. 5. Pendidikan.

6. Perdagangan dan Jasa. 7. Perkantoran.

8. Perumahan.

9. Rekreasi dan Olahraga. 10. Ruang Terbuka Hijau (RTH). 11. Sarana Transportasi.

12. Industri Mikro Kecil dan Menengah.

Adapun skema klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan penggunaan lahan yang ada pada peta digital RTRW yang diperoleh dari BAPPEDA Kota Yogyakarta yang terdiri atas 12 kelas.

I.6.7. Rencana Tata Ruang Wilayah

Berdasarkan Undang-Undang No. 24 tahun 1992, pengertian tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.

Ruang menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Sedangkan penataan ruang menurut Perda Kota Yogyakarta No.2 Tahun 2010 Bab I pasal 1 menjelaskan bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

(17)

Menurut Menteri Pekerjaan Umum No. 16 Pasal 1 tahun 2009 bahwa rencana tata ruang wilayah dideskripsikan sebagai hasil perencanaan tata ruang pada wilayah yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif.

Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta, maka Kota Yogyakarta sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta harus menjaga keasrian, keterpaduan pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Kota Yogyakarta yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi memiliki dampak pada daerah sekitarnya sehingga perlu menata ruang sehingga kualitas ruang dapat terjaga keberlanjutannya.

Pengertian Rencana Tata Ruang menurut Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta tahun 2010 sampai dengan tahun 2029 adalah sebagai berikut :

1. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat dengan RTRW adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta (Bab I pasal 1). 2. Ruang lingkup Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta mencakup

strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kota sampai dengan batas ruang daratan, ruang perairan, dan ruang udara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bab II pasal 2).

3. RTRW disusun berazaskan: manfaat, kelestarian, keterpaduan, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, perlindungan dan kepastian hukum, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum, akuntabilitas (Bab III pasal 3).

4. Tujuan penataan ruang kota adalah mewujudkan (Bab IV pasal 6) :

a. Ruang wilayah daerah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

b. Keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah Nasional, Provinsi dan Daerah.

(18)

c. Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang daerah dalam rangka memberikan perlindungan fungsi ruang dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

d. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya.

e. Terciptanya ruang-ruang kota yang mendukung nilai-nilai sejarah, budaya, maupun tradisi kehidupan masyarakat Yogyakarta.

f. Terwujudnya peluang-peluang berusaha bagi seluruh sektor ekonomi lemah, melalui penentuan dan pengarahan ruang-ruang kota untuk kegunaan kegiatan usaha dan pelayanan tertentu beserta pengendaliannya.

g. Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang daerah dalam rangka memberikan perlindungan kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam rangka melaksanakan pembangunan Kota Yogyakarta dengan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Sehubungan hal ini maka disusunlah konsep dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional dan provinsi ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi yang ada di daerah tersebut.

I.6.8. Uji Ketelitian Klasifikasi

Uji ketelitian dapat dilakukan dengan beberapa tahap. Sutanto (1994) menjelaskan metode uji ketelitian klasifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan point sampling accuracy, dengan tahapan sebagai berikut :

1. Melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik uji/sampel yang dipilih dari setiap klas obyek.

2. Menilai kecocokan hasil klasifikasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan.

(19)

25+50+60+10 284

3. Membuat matrik perhitungan setiap kesalahan pada kelas obyek hasil klasifikasi sehingga diketahui tingkat ketelitiannya.

Uji ketelitian dengan menggunakan matrik konfusi yang sering digunakan karena dapat menghitung kesalahan omisi dan komisi sehingga lebih menjelaskan pada ketelitian yang diperoleh. Penelitian ini menggunakan metode uji ketelitian klasifikasi (confusion matrix) yang ditampilkan dalam bentuk matrik konfusi seperti tabel I.3 berikut :

Tabel I.3. Matrik konfusi hasil interpretasi dan pemetaan (Short, 1982) Interpretasi

Cek lapangan

A B C D Jumlah Omisi Komisi Ketelitian pemetaan A 25 5 10 3 43 18/43 7/43 25/(25+18+7) = 50% B 2 50 6 5 63 13/63 11/63 50/(50+13+11) = 68% C 3 4 60 5 72 12/72 18/72 60/(60+12+18) = 67% D 2 2 2 100 106 6/106 13/106 100/(100+6+130) = 84% Jumlah 32 61 78 113 284 Keterangan :

1. Ketelitian klasifikasi keseluruhan =

(20)

Jumlah obyek X yang benar

Jumlah obyek X yang benar + Jumlah omisi obyek X + Jumlah komisis obyek X Kp =

2. Ketelitian pemetaan (Kp) untuk suatu kelas X adalah :

3. Jumlah omisi obyek X = Jumlah semua obyek bukan X pada baris X 4. Jumlah komisi obyek X = Jumlah semua obyek bukan X pada lajur X Tingkat ketelitian suatu uji klasifikasi dikatakan baik jika memenuhi syarat tertentu yang tergantung pada tujuan klasifikasinya. Pada umumnya, ketelitian yang disyaratkan adalah : (1) rata-rata ketelitian > 85 %, dan (2) kesalahan yang berisikan matrik konfusi hasil perhitungan (Short, 1982).

I.7. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah RTRW yang telah disusun dan direncanakan belum seutuhnya sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Gambar

Gambar I.1 Konsep penginderaan jauh (National Space Development Agency of  Japan, 1996 dalam (Widiastuti, 2013))
Gambar I.2 Satelit WorldView-2 (Anonim, 2010)
Gambar I.3 Susunan hirarki unsur interpretasi citra (Estes et al, 1983 dalam  Sutanto, 1992)
Tabel I.2 Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut Anderson (USGS, 1976)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa berdasarkan pemeriksaan setempat, Majelis Hakim berpendapat gambar lokasi tanah dalam surat ukur ketiga Sertipikat Hak Milik milik Penggugat tidak

Wawancara ini akan ditujukan kepada orang-orang asli penduduk Desa Bandar Pasir Mandoge yang berumur minimal 45 Tahun dan juga para pendatang yang masuk ke Desa Bandar Pasir

anita usia subur - cakupan yang tinggi untuk semua kelompok sasaran sulit dicapai ;aksinasi rnasai bnntuk - cukup potensial menghambat h-ansmisi - rnenyisakan kelompok

4 Bagi masyarakat yang mempunyai hak eigendom verponding, dan pemerintah melalui kantor pertanahan (BPN) masih melayani konversi eigendom verponding menjadi sertifikat

Ruang lingkup masalah dalam proyek akhir ini adalah aplikasi ini digunakan sebagai simulasi pemasangan dan pembongkaran scaffolding  yang digunakan pada saat

Jenis–jenis industri yang mengalami kenaikan antara lain industri industri alat angkutan lainnya sebesar 18,70 persen, industri karet, barang dari karet dan plastik sebesar 18,45

3.1 Proses perumusan konsep didasari dengan latar belakang kota Surakarta yang dijadikan pusat dari pengembangan pariwisata Solo Raya karena memiliki potensi

bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta – pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik