• Tidak ada hasil yang ditemukan

Page 4 of 28 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Syarat Mufassir Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA 28 hlm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Page 4 of 28 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Syarat Mufassir Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA 28 hlm"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Syarat Mufassir

Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA 28 hlm

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Judul Buku

Syarat Mufassir

Penulis

Ahmad Sarwat, Lc. MA

Editor

Fatih

Setting & Lay out

Fayyad & Fawwaz

Desain Cover

Faqih

Penerbit

Rumah Fiqih Publishing

Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan

(5)

Daftar Isi Daftar Isi ... 5 A. Mufassir ... 7 1. Pengertian ... 7 a. Bahasa ... 7 b. Istilah ... 7

B. Mufassir Dalam Dua Sumber Tafsir ... 10

1. Mufassir Dalam Tafsir Bil Ma’tsur ... 10

2. Mufassir Dalam Tafsir bir-Ra’yi ... 11

C. Syarat Mufassir ... 12

1. Dr. Manna’ Khalil Al-Qaththan ... 12

a. Sehat Aqidah ... 12

b. Terbebas dari Hawa Nafsu ... 12

c. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran ... 13

d. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah ... 13

e. Merujuk kepada Perkataan Shahabat ... 14

f. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in ... 14

g. Menguasai Ilmu Bahasa Arab ... 14

h. Menguasai Ilmu Terkait dengan Ilmu Tafsir ... 15

i. Pemahaman yang Mendalam ... 16

2. Dr. Musaid bin Sulaiman Ath-Thayyar ... 16

a. Tafsir Nabawi ... 16

b. Asbabun Nuzul ... 18

(6)

d. Makna Mufradat Lafadz Al-Quran ... 19

e. Hukum Syariah ... 20

f. Nasikh dan Mansukh ... 21

(7)

A. Mufassir

1. Pengertian a. Bahasa

Mufassir secara bahasa merupakan isim fail dari kata dasar fassara – yufassiru – tafsiran ( - رسفي – رسف اريسفت). Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menyebutkan al-fasru berarti membuka tabir, sedangkan at-tafsir artinya menyibak makna dari kata yang tidak dimengerti.

Dari definisi tafsir secara etimologi itu, kalau dimaknai membuka tabir untuk sesuatu yang kasat mata dan juga berarti menyingkap makna kata, maka mufassir adalah orang yang melakukannya atau orang yang menafsirkan.

b. Istilah

Secara istilah atau secara terminologi, pengertian tafsir ini cukup banyak yang memberikan definisinya. Diantaranya Abu Hayyan dalam Al-Bahru Al-Muhith

menyebutkan bahwa tafsir adalah :

اهماكحأو اتهلاولدمو نآرقلا ظافلبأ قطنلا ةيفيك نع ثحبي ملع

تامتتو بيكترلا ةلاح اهيلع لمتح تيلا انهاعمو ةيبيكترلاو ةيدارفلإا

كلذل

Ilmu yang membahas tentang bagaimana mengucapkan lafadz Al-Quran, madlulnya,

(8)

hukum-hukumnya baik yang bersifat tunggal atau dalam untaian kalimat, dan makna-maknanya yang terkandung dalam tarkib, serta segala terkait dengan itu.

Maka seorang mufassir itu pekerjaannya adalah menjelaskan Al-Quran dari berbagai segi, di antaranya :

▪ Pertama : bagaimana mengajarkan cara

mengucapkan lafadz Al-Quran ( ظافلأب قطنلا ةيفيك نآرقلا). Ini berarti ilmu tafsir itu mencakup juga

ilmu qiraat yang begitu banyak riwayatnya serta berbeda-beda cara pengucapannya. Dan perbedaan qiraat itu memang pada bagian tertentu, bisa melahirkan perbedaan makna dan hukum.

▪ Kedua : menjelaskan madlulnya (اهتلاولدمو), yaitu ilmu bahasa Arab yang membentuk tiap lafadz itu.

▪ Ketiga : menjelaskan hukum-hukumnya, baik secara tunggal dan dalam untaian kalimat (ةيبيكرتلاو ةيدارفلإا اهماكحأو). Maksudnya hukum dari tiap lafadz itu, baik ketika tunggal alias berdiri sendiri ataupun ketika berada dalam suatu kalimat. Dan ini terkait dengan ilmu sharaf, ilmu i’arab, ilmu bayan dan ilmu badi’.

▪ Keempat : menjelaskan makna-maknanya

yang terkandung dalam tarkib ( اهيلع لمحت يتلا اهناعمو بيكرتلا ةلاح), maksudnya terkait juga dengan ilmu

hakikat dan majaz.

(9)

(كلذل تامتتو), termasuk di dalamnya ilmu nasakh mansukh, asbabun-nuzul dan lainnya.

Dengan demikian, menafsirkan Al-Quran itu bukan hanya berhenti untuk sekedar menjelaskan makna kata per kata, tetapi lebih luas dan lebih jauh lagi.

(10)

B. Mufassir Dalam Dua Sumber Tafsir

Sebagaimana sudah kita bahas sebelumnya bahwa kita mengenal ada dua sumber utama tafsir, yaitu tafsir bil-ma’tsur dan tafsir bir-ra’yi. Dari masing-masingnya ada mufassirnya sendiri-sendiri. 1. Mufassir Dalam Tafsir Bil Ma’tsur

Untuk tafsir bil ma’tsur, maka mufassirnya ada tiga level.

▪ Pertama : Rasulullah SAW

▪ Kedua : Para Shahabat

Diantaranya adalah Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H), Ubay Ibn Ka’ab (w.20 H) , Umar ibn Al- Khattab ( w.23 H), Ibn Mas’ud (w.32 H), Utsman bin Affan (w.35 H), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Abu Musa al- Asy’ari (w. 44 H), Zaid Bin Tsabit (w.45 H), Abdullah bin Abbas (w.68 H), Abdullah bin Zubair (w. 73 H) dan lainnya

radhiyallahuanhum ajmain dan lainnya.

▪ Ketiga : Para Tabi’in

Di antaranya adalah Mujahid ibn Jabr (21 – 103 H), Said ibn Jubair (27 H- 114 H), Ikrimah (25 H-105H), Atha’ ibn Abi Rabah (27 H-115 H), Thawus ibn Kaisan al-Yamani (33H-106H), Abu al-Aliyah (w. 90 H), Muhammad ibn Ka’ab

(11)

al-Qurzi (w. 118 H), Zaid ibn Aslam (w. 136 H), Alqamah Ibn Qais (w. 162 H), Masruq ibn al-Ajda’ (w. 63 H), Al-Aswad al-Nakha’i (w. 75 H), Murrah al-Hamadzani (w. 76 H), Amir al-Sya’bi (w. 109), Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi (w. 117 H) dan lainnya.

Mereka ini disepakati sebagai sumber tafsir, bahkan meskipun misalnya tafsir yang mereka berikan itu datangnya dari ra’yu mereka sendiri dan bukan berasal dari wahyu.

Apa yang mereka tafsirkan itu kemudian dijaga dan diperlihara, serta disampaikan lagi melalui

riwayat yang berjenjang serta sambung

menyambung menjadi sanad-sanad yang bisa ditelusuri jalurnya.

Dalam konteks judul : Syarat-syarat Mufassir yang sedang kita bahas ini, maka kita tidak akan menerapkan syarat-syarat seorang mufassir kepada Nabi SAW, shahabat dan tabi’in. Karena kalau mereka menjelaskan suatu ayat, otomatis sudah menjadi tafsir yang kita akui.

2. Mufassir Dalam Tafsir bir-Ra’yi

Dalam konteks pembicaraan Syarat-syarat Mufassir, maka kajian ini berlaku pada tafsir dalam arti Tafsir bir-Ra’yi. Karena sumbernya bukan dari Nabi SAW, shahabat atau tabi’in, tetapi dari kalangan ulama yang hidup setelah generasi mereka.

Kepada mereka itulah kemudian kita terapkan syarat-syarat sebagai mufassir. Karena bisa saja mereka ini bukan orang yang kompeten.

(12)

C. Syarat Mufassir

Banyak ulama yang menyusun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir.

1. Dr. Manna’ Khalil Al-Qaththan

Dr. Manna’ Khalil Al-Qaththan Mabahits fi Ulum Al-Quran menuliskan bahwa di antara syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi seorang mufassir antara lain adalah : 1

a. Sehat Aqidah

Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi

mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan

‘memperkosa’ ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.

Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.

b. Terbebas dari Hawa Nafsu

Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam,

1Dr. Manna’ Khalil Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Quran,

(13)

cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.

Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.

c. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.

Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang

ditafsirkannya, kecuali setelah melakukan

pengecekan kepada ayat lainnya.

Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruh ayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

d. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.

(14)

pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan

wahyu yang turun dari langit. Sehingga

kebenarannya juga mutlak dan qath'i sebagaimana ayat Al-Quran juga.

e. Merujuk kepada Perkataan Shahabat

Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.

Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.

Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.

f. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in

Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.

Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.

(15)

Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.

Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaitu Al-Quran menjadi mutlak dan absolut. Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa, misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.

Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang berkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.

Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.

Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab

mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir. h. Menguasai Ilmu Terkait dengan Ilmu Tafsir

Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lain ilmu

(16)

asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-mujmal dan mubayyan, dan seterusnya.

Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.

i. Pemahaman yang Mendalam

Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk beluk agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.

Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.

Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna' Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.

2. Dr. Musaid bin Sulaiman Ath-Thayyar

Dr. Musaid bin Sulaiman Ath-Thayyar dalam bukunya At-Tahrir fi Ushul At-Tafsir menyebutkan bahwa yang lebih tepat sebenarnya bukan syarat mufassir, melainkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh mufassir, antara lain adalah :2

a. Tafsir Nabawi

2 Dr. Musaid bin Sulaiman Ath-Thayyar, Tahrir fi Ushul

(17)

Tafsir yang paling tinggi hirarkinya adalah tafsir yang datang langsung dari sisi Nabi Muhammad SAW. Sebab Beliau SAW adalah utusan resmi yang langsung ditunjuk Allah SWT dengan posisi sebagai orang yang makshum alias terhindari dari kesalahan dan dosa. Tentu saja juga sudah dijamin masuk surga. Selain itu Rasulullah SAW juga dikenal dengan 4 sifatnya yaitu sidiq (jujur), tabligh (menyampaikan), amanah dan fathanah (cerdas).

Maka apapun yang datang langsung dari Nabi Muhammad SAW terkait dengan penafsiran, harus diposisikan sebagai tafsir yang paling utama. Versi-versi tafsir yang lain tentu saja harus minggir dan mengalah, seandainya ada beberapa versi yang saling berbeda.

Salah satu contohnya adalah dalam kasus menafsirkan isitlah as-sba’u al-matsani (يناثملا عبسلا) dalam ayat berikut

َميِظَعْلا َنآْرُقْلاَو ِنِاَثَمْلا َنِم اًعْ بَس َكاَنْ يَ تآ ْدَقَلَو

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung. (QS. Al-Hijr : 87)

Dalam hal ini ada dua versi pernafsiran, yaitu versi pertama maksudnya adalah Surat Al-Fatihah yang jumlah ayatnya ada tujuh. Sedangkan versi bahwa maksudnya adalah tujuh surat yang panjang.

Hal itu dijelaskan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari di dalam Tafsir Jamiul Bayan, bahwa veris pertama yang lebih tepat yaitu maksudnya Surat Al-Fatihah. Dan

(18)

hal itu karena bersumber dari perkataan Nabi SAW secara langsung.

Sedangkan versi kedua yang menafsirkan sebagai tujuh surat yang panjang, sumbernya hanya sampai di level shahabat saja, baik Ibnu Abbas, Ibnu Masud atau pun Ibnu Umar.

b. Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul tentu saja sangat penting artinya dalam memahami suatu ayat. Karena biar bagaimana pun peristiwa yang menjadi latar-belakang turunya suatu ayat pasti mengandung banyak sekali informasi dan penjelasan terkait hukum di dalamnya.

Kita bahkan jadi tahu juga kenapa Allah SWT mengharamkan suatu perkara setelah misalnya sebelumnya masih halal. Contohnya ketika turun ayat yang melarang shalat dalam keadaan mabuk.

َرْقَ ت َلا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ َيَ

اَم اوُمَلْعَ ت َّٰتََّح ٰىَراَكُس ْمُتْ نَأَو َة َلََّصلا اوُب

َنوُلوُقَ ت

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (QS. An-Nisa : 43)

Dengan membaca latar belakang turunnya ayat ini, kita tahu bahwa salah satu tujuan diharamkannya khamar adalah biar tidak keliru ketika shalat atau

membaca Al-Quran.Kita juga tahu bahwa

pengharaman khamar itu ternyata bertahap dan tidak dalam sekali turunnya wahyu.

(19)

c. Tafsir Salaf

Ilmu tentang tafsir salaf ini sangat penting untuk dimiliki oleh seorang mufassir. Sebab Al-Quran diturunkan di masa mereka, dan setidaknya

penafsiran dari kalangan salah ini sudah

mendapatkan rekomendasi langsung dari Rasulullah SAW.

Apalagi kita kenal di masa salaf itu tafsir Al-Quran masih murni dan terjaga dari berbagai macam pemikiran dan aliran yang menginfiltrasi (ad-dakhil) Al-Quran yang suci.

Dan khususnya apabila kalangan salaf sudah berijma’ akan suatu tafsir Al-Quran, maka seorang mufassir yang hidup di masa berikutnya tentu harus tahu hal itu. Jangan sampai dia kemudian malah mengarang-ngarang penafsiran sendiri yang mana justru jauh bertentangan dengan apa yang telah ditetpakan oleh para mufassir di generasi salafusshalih.

d. Makna Mufradat Lafadz Al-Quran

Yang dimaksud mufradat adalah kata di dalam Al-Quran. Mufradat di dalam Al-Quran itu sangat unik, seringkali punya banyak makna majazi yang tidak sesuai dengan makna haqiqinya. Sehingga seorang mufassir harus bisa memahami makna hakiki dan majazi dari satu kata.

Seringkali pula ada kata dengan lafadznya yang sama, namun punya banyak makna ketika lafadz itu muncul di ayat yang lain.

(20)

tema al-wujuh wa an-nazhair. Misalnya kata shalat punya makna hakiki doa, namun bisa saja shalat di berbagai ayat lain punya makna yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan makna hakikinya.

Prinsipnya sebuah kata tertentu bisa saja muncul di beberapa ayat yang berlainan, dengan makna yang juga berlainan.

Maka semua ilmu terkait dengan makna suatu kata dengan berbagai macam keunikannya, harus dikuasai oleh seorang yang ingin menjadi penafsir Al-Quran.

e. Hukum Syariah

Seorang mufassir harus paham ilmu fiqih atau hukum syariah. Bukan berarti dia harus menjadi mujtahid. Namun setidaknya dia harus tahu hukum-hukum yang telah diistimbath oleh para mujtahid dan ahli istimbath, biar dia tidak menafsirkan ayat-ayat hukum dengan cara yang keliru.

Sebab yang mampu melakukan istimbath hukum dari Al-Quran adalah bukan orang sembarangan. Kapasitasnya harus memenuhi standar para mujtahid.

Dalam bekerja melakukan istimbath hukum, para mujtahid itu tidak hanya merujuk kepada Al-Quran saja, melainkan kepada banyak sumber syariah lainnya, seperti hadits, ijma’, qiyas, mashalalih mursalah, istishab, istihsan, urf, sya’u man qablana, qaul shahabi dan lainnya. Dan para mufassir yang ahli di bidang Al-Quran saja, belum tentu mereka ahli di bidang-bidang lainnya.

(21)

Sehingga kesimpulannya, para mufassir harus berhati-hati ketika bicara tentang ayat hukum, serta tidak boleh asal menafsirkan sesuatu yang tidak dia pahami.

Dan untuk itu maka wajib bagi mufassir untuk belajar dengan tekun tentang hasil-hasil ijtihadnya para ulama.

f. Nasikh dan Mansukh

Pengetahuan tentang ilmu nasikh dan mansukh adalah pengetahuan yang teramat dibutuhkan oleh seorang mufassir, agar dia tidak keliru dari menarik kesimpulan hukum dari suatu masalah yang tersebar ayatnya di dalam Al-Quran.

(22)

D. Mufassir vs Penyusun Kitab Tafsir

Pada bab ini kita akan sedikit lebih menukik untuk mengupas istilah mufassir dan bukan mufassir, namun sering tertukar-tukar dalam penggunaanya di tengah masyarakat.

Penulis ingin membedakan antara mufassir dengan penulis kitab tafsir, yang kadang berbeda dan terpisah, dan kadang juga memang menyatu.

Kita awali dengan istilah mufassir, yaitu adalah orang yang menafsirkan Al-Quran sebagaimana sudah kita bicarkan panjang lebar sebelumnya.

Sedangkan yang kedua adalah penyusun atau pengarang kitab tafsir, yaitu mereka yang menuliskan tafsir dalam sebuah karya ilmiyah yang dinamakan dengan kitab tafsir.

Benar sekali bahwa terkadang orang yang menyusun kitab tafsir ini disebut mufassir juga, seperti Ibnu Katsir dan yang lainnya. Namun tidak selalu orang yang menulis kitab tafsir berarti seorang mufassir, sebagaimana seorang mufassir belum tentu punya karya tulis berupa kitab tafsir.

Keduanya bisa sama dan bisa berbeda. Mufassir itu belum tentu menulis kitab tafsir. Dan orang yang menyusun kitab tafsir seringkali juga bukan seorang mufassir.

(23)

para shahabat serta para tabi’in, mereka ini disebut dengan mufassir, bahkan mufassir yang paling utama dan berada pada hirarki tertinggi sebagai orang yang menafsirkan Al-Quran.

Namun dari sisi karya tulis, baik Rasulullah SAW, ataupun para shahabat dan juga para tabi’in malah sama sekali tidak menulis kitab tafsir. Kita tidak pernah menemukan kitab tafsir yang dikarang langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW tidak punya karya tulis dalam bentuk kitab tafsir, bahkan para shahabat dan tabi’in pun juga tidak punya karya ilmiyah berubah kitab tafsir.

Lalu orang bertanya, mengapa mereka tidak menyusun kitab tafsir? Mengapa seorang Nabi Muhammad SAW yang agung tidak menulis buku tafsir, yang dengan itu maka umatnya di seluruh dunia akan berpegang teguh dengan karya Beliau sepanjang masa dan tidak perlu berbeda-beda pendapat dalam menafsirkan suatu ayat.

Atau setidaknya Nabi SAW memerintahkan para shahabat untuk menulis kitab tafsir, lalu Nabi SAW bertindak sebagai ‘dosen pembimbing’ atau dosen penguji. Sebelum diterbitkan, tentu dikoreksi dan diuji dulu langsung oleh Nabi Muhammad SAW.

Jawaban masalah itu harus dijelaskan secara hati-hati dan seksama, yaitu :

Pertama, di masa kenabian dan para shahabat, belum dikenal penerbitan buku seperti zaman kita sekarang ini. Bahkan mushaf Al-Quran pun masih digoreskan secara terpisah-pisah di berbagai media seperti kulit-kulit hewan, pelepah kurma, batu pipih

(24)

atau tulang pipih. Yang disebut mushaf di masa itu tidak berwujud buku, tapi berupa benda-benda yang berserakan tidak beraturan. Kita tidak menemukan mushaf Al-Quran 30 juz di masa itu yang berupa kertas dijilid terdiri dari 600 helai kertas bercover tebal (hardcover). Mushaf yang sudah disusun jadi buku baru ada di masa khalifah Utsman bin Al-Affan

radhiyallahuanhu.

Kedua, karena masa itu belum masuk zaman penulisan buku, maka teknik penulisan yang ada masih sangat sederhana. Dan untuk menjaga kesucian Al-Quran dari kemungkinan tersisipkan unsur luar yang bukan Al-Quran, sengaja Rasulullah SAW melarang penulisan apapun yang bukan termasuk ayat Al-Quran.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Rasulullah SAW datang kepada kami dan sedangkan

kami menulis hadits. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang sedang kalian tulis?’ Kami menjawab, ‘hadits-hadits yang kami dengar

dari engkau.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian

menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.’

Hadits yang diriwayatkan oleh Khatib Al-Baghdadi dalam kitabnya ini menyiratkan sebuah informasi penting tentang bagaimana masih sederhananya sistem administrasi penulisan di masa itu. Sampai tidak boleh menuliskan apapun kecuali hanya Al-Quran saja. Alasannya biar tidak terjadi percampuran atau kesisipan tanpa sengaja. Mengingat ayat-ayat Al-Quran itu jumlahnya lebih

(25)

dari 6 ribu, tersebar di berbagai macam benda, berserakan, tidak ada urutannya, tidak ada pengklasifikasiannya dan tidak menjadi satu benda utuh.

Ketiga, secara keilmuan, selain nash ayat Al-Quran, segala ilmu dan informasi dari Nabi SAW kepada para shahabat itu hanya dihafal luar kepala saja. Tidak ada yang bentuknya tertulis di atas suatu benda. Hafalan para shahabat yang sumbernya dari Nabi SAW inilah yang kita sebut sebagai hadits nabi. Termasuk hadits-hadits yang isinya berupa penjelasan atas suatu ayat Al-Quran.

Jadi kalau dilihat secara garis lini masa, sejarah tafsir Al-Quran dulunya justru bagian dari ilmu hadits. Hadits-hadits inilah yang kemudian secara berantai ditransformasikan oleh para shahabat kepada murid-murid mereka, yaitu para tabi’in dan tabiut-tabi’in terus sampai ke bawah-bawahnya lagi.

Keempat, pada generasi kesekian barulah hadits-hadits itu ditulis dalam bentuk buku. Sejarah mencatat bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H) termasuk orang yang memerintahkan untuk menuliskan hadits dalam satu buku.

Saat itu selain tidak ada lagi kekhawatiran

tercampurnya Al-Quran dengan yang lain,

nampaknya secara teknis menulis buku sudah tidak lagi di atas tulang, batu atau pelepah kurma.

Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya.

(26)

Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.

Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah SAW dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.

Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits

menyusunnya secara sistematis dengan

menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.

Ibnu Hajar berkata bahwa orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (w. 16 H) dan Said bin Abi Arubah (w. 156 H). Lalu diteruskan para ulama thabaqah (lapisan) ketiga dari kalangan tabi’in, seperti Imam Malik (w. 179 H) menyusun kitab Al-Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij (w. 150 H) di Makkah, Al-Auza’i (w. 156 H) di Syam, Sufyan At-Tsauri (w. 161 H) di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar (w. 176 H) di Basrah.

Kembali kepada masalah mufassir dan penulis kitab tafsir di atas, yaitu tentang apakah penyusun

(27)

kitab tafsir itu identik dengan mufassir?

Jawabnya belum tentu. Karena ada begitu banyak mufassir yang asli yaitu Rasulullah SW, pada shahabat dan para tabi’in yang hidupnya pada era sebelum ashru at-tadwin atau masa penulisan kitab. Mereka ini jelas tidak punya karya tulis dalam bentuk kitab tafsir.

Kalau pun ada tafsir Ibnu Abbas, sebenarnya bukan Ibnu Abbas yang menulis, melainkan orang zaman sekarang mengumpulkan semua riwayat dari Ibnu Abbas terkait dengan tafsir, sehingga menjadi Tafsir Ibnu Abbas yang berjudul Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni Abbas. 3

Sebaliknya, kita menemukan begitu banyak kitab tafsir yang disusun oleh penulisnya di masa modern sekarang ini. Lalu apakah para penyusun kitab tafsir ini juga bisa disebut sebagai mufassir juga?

Disinilah letak duduk masalahnya. Sebenarnya para penyusun kitab tafsir di masa modern ini bisa disebut sebagai mufassir dan bisa juga tidak, tergantung seperti apa karya tafsirnya. Kalau tafsir bir-ra’yi yang dia masukkan ke dalam karyanya, sebenarnya posisinya bukan mufassir asli, melainkan sekedar orang yang meriwayatkan suatu tafsir. Sedangkan bila isi tafsirnya merupakan hasil

3 Pernah diterbitkan oleh Penerbit Dar al-Fikr, Beirut, dengan

ketebalan 532 halaman, disusun oleh Abu Thahir

Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabad. Namun banyak

kalangan yang meragukan otensitasnya. Beberapa

kalangan menengarai Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub

(28)

pemikiran (ra’yu)-nya dia secara pribadi atas suatu ayat, maka memang dia seperti seorang mufassir, minimal secara lughatan (bahasa).

Maksudnya secara bahasa, orang yang

menafsirkan Al-Quran memang disebut mufassir. Namun sejauh mana keabsahannya sebagai mufassir, itulah yang justru jadi titik pertanyaannya. Karena pada dasarnya siapa saja bisa saja menafsir-nafsirkan Al-Quran sendiri, tetapi apakah tafsirnya itu mu’tabar dan diakui, itu lain lagi ceritanya.

Kurang lebih seperti ijtihad dan mujtahid dalam ilmu hukum-hukum syariah Islam (fiqih). Seorang yang berijtihad memang disebut mujtahid secara bahasa, namun apakah hasil ijtihadnya itu diakui atau tidak, mu’tabar atau mulgha (dibuang), tergantung dari kualifikasi hasil ijtihadnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya program BOS bagi SMP Terbuka mulai bulan Juli 2007, maka dana bantuan “block grant” untuk tambahan biaya operasional SMP Terbuka yang selama ini diterima oleh

Jika fungsi distribusi itu adalah diskrit maka prosedur yang diperlukan untuk membangkitkan random variate dari f(x) sbb:.. Tempatkan RN yang diperoleh pada f(x) axis

Peserta didik didorong untuk mengumpulkan berbagai sumber informasi yang kemudian dari berbagai informasi yang diperolehnya tersebut peserta didik dapat menentukan

Aplikasi pengeditan data geografi ini terdiri dari dua modul utama yaitu modul yang menangani data multiformat (disebut nodemap), dan modul yang menangani interaksi transaksi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: a) motivasi belajar siswa di SMK Negeri 1 Limboto Kabupaten Gorontalo berada pada klasifikasi sedang, b) keterampilan guru

Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja diantaranya yakni penelitian yang dilakukan oleh (Masydzulhak et al.,

Dari realisasi belanja barang dan Jasa ini, selengkapnya dengan rincian pada lampiran 23 NO PERKIRAAN ANGGARAN 2015 REALISASI 2015 % 2014 3. Dibandingkan dengan realisasi

[r]