• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN PERDATA NOMOR 142/PDT/2009/PT.MKS MENGENAI PENGELOLAAN INSTALASI AIR PDAM (PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM) KOTA MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN PERDATA NOMOR 142/PDT/2009/PT.MKS MENGENAI PENGELOLAAN INSTALASI AIR PDAM (PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM) KOTA MAKASSAR"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

KOTA MAKASSAR

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mengikuti Seminar Proposal Penelitian dalam Rangka Penulisan Skripsi

Sarjana pada Fakultas Hukum

Oleh :

YUDICA SHELLEM. P 45 12 060 062

FAKULTAS HUKUM / ILMU-ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2016

(2)
(3)

ii

Usulan penelitian dan penulisan hukum Mahasiswa:

Nama : Yudica Shellem P

Nomor Stambuk : 45 12 060 062

Program Studi : Hukum

Minat : Hukum Perdata

Nomor Pendaftaran Judul : 106/PDT/UNIBOS/VII/2016 Tanggal Pendaftaran Judul : 21 Juli 2016

Judul Skripsi : Analisis Putusan Perdata Nomor 142/PDT/2009.PT.MKS Mengenai

Pengelolaan Instalasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota Makassar

Telah diperiksa dan diperbaiki untuk diajukan dalam ujian skripsi mahasiswa program strata satu (S-1)

Makassar, 6 September 2016

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H.A.Muh.Arfah Pattenreng, SH.MH Zulkifli Makkawaru, SH.MH

Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

DR. Ruslan Renggong, SH.MH

(4)

iii

Nama : Yudica Shellem P

Nomor Stambuk : 45 12 060 062

Program Studi : Hukum

Minat : Hukum Perdata

Nomor Pendaftaran Judul : 106/PDT/UNIBOS/VII/2016 Tanggal Pendaftaran Judul : 21 Juli 2016

Judul Skripsi : Analisis Putusan Perdata Nomor 142/PDT/2009.PT.MKS Mengenai

Pengelolaan Instalasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota Makassar

Telah disetujui skripsinya untuk diajukan dalam ujian Skripsi mahasiswa program strata satu (S1).

Makassar, 6 September 2016

Ketua Program Studi Ilmu – Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

DR. Ruslan Renggong, SH., MH

(5)

iv

Syalom, dengan memanjatkan segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar,

Penulis sebagaimana manusia biasa tentunya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan serta keterbatasan akan pengetahuan, sehingga penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini, baik materi, teknis maupun penyusunan kata- katanya belum sempurna sebagaimana diharapkan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ayahanda Sudirman Palaloi dan Ibunda Lina Pabassing beserta saudara-saudariku Merry Ana, Johanes Tomasoa, Christ Martanto, Nemiati Motundu dan Inggrid Patricia yang tak henti-hentinya memberi do’a, dukungan dan motivasi agar penyelesaian penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. H.M Saleh Palu,M.eng selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar beserta para Pembantu Rektor.

(6)

v Prodi.

4. Bapak Prof. Dr. H.A. Muh. Arfah Pattenreng, SH.,MH selaku Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya mengarahkan penulis untuk penyelesaian skripsi.

5. Bapak Zulkifli Makkawaru, SH.,MH selaku Pembimbing II, terima kasih atas segala masukan, bantuan, serta perhatian yang diberikan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

6. Bapak DR. Abd Haris Hamid, SH.,MH selaku penguji I, dan Ibu Hj.

Andi Tira, SH.,MH selaku penguji II.

7. Seluruh dosen serta para karyawan dan petugas akademik Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu.

8. Teman kampus yang telah banyak memberikan dukungan, terutama kepada Sangkuri, Paroki Ambi, Tri wiyono Susilo, Komang Juhartana dan Karlah Trivena Tanna

9. Kepada Vikasari Patampa sebagai yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga skripsi dapat saya selesaikan dengan baik.

10. Kepada Ambriadi Sukardi, Amrafel Rumesta, A. Reza Fahlepi, Gervin Jeesen sebagai teman yang selalu memberikan motivasi.

11. Dan seluruh civitas akademika yang turut serta membantu dalam penyelesaian skrips

(7)

vi

memberikan manfaat bagi dunia keilmuan dan kepada semua yang sempat membaca skripsi ini pada umumnya.

Salam Sejahtera bagi kita semua. Jesus Bless You

Makassar, November 2016

Penulis

(8)

vii

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vii

BAB 1 PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

1.4 Metode dan Penelitian... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Putusan Hakim Pengadilan ... 9

2.1.1 Pengertian Putusan ... 10

2.1.2 Macam-Macam Putusan Hakim Pengadilan... 10

2.1.3 Pertimbangan Hakim ... 13

2.1.4 Upaya Hukum Terhadap Putusan... 14

2.2 Konsepsi Perjanjian ... 17

2.2.1 Pengertian Perjanjian ... 17

2.2.2 Unsur-unsur Perjanjian... 18

2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian ... 20

2.2.4 Asas Hukum Perjanjian... 22

2.2.5 Prestasi, Wanprestasi, dan Somasi... 24

2.3 Konsepsi Instalasi Air... 33

2.3.1 Pengertian Instalasi Air... 33

2.3.2 Faktor Penting dalam Instalasi Air... 34

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 3.1 Analisis Putusan Pada Tingkat Pengadilan Negeri ... 38

3.1.1 Duduk Perkara ... 39

3.1.2 Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri... 40

3.1.3 Prinsip Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan... 46

3.1.4 Amar Putusan Hakim Pengadilan Negeri... 49

3.1.5 Komentar Peneliti... 50

3.2 Analisis Putusan Pada Tingkat Pengadilan Tinggi ... 51

3.2.1 Duduk Perkara ... 51

3.2.2 Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi... 53

3.2.3 Prinsip Kepastian, Keadilan dan Kemanfataan... 55

3.2.4 Amar Putusan Hakim Pengadilan Tinggi... 57

3.2.5 Komentar Peneliti... 58

(9)

viii

4.1.1 Subtansi ... 59

4.1.2 Akibat Hukum ... 59

4.2 Saran... 60

4.2.1 Pemutusan Perkara ... 60

4.2.2 Penjelasan Dalil dan Bukti ... 60

Daftar Pustaka... 61

Lampiran Hasil Wawancara... 63

Lampiran Putusan Hakim ... 72

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi menimbulkan banyak variasi bisnis yaitu dengan mengadakan kerjasama di antara para pelaku bisnis, karena tidak semua jenis bisnis dikuasai. Maka melalui perjanjian perbedaan dapat diakomodir dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum, sehingga mengikat para pihak yang bertujuan agar mekanisme hubungan perikatan dapat bekerja secara seimbang dan terarah, serta untuk mengurangi terjadinya wanprestasi didalam pelaksanaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Pada hakikatnya perjanjian berisi kehendak para pihak yang mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu yang diperjanjikan.

Dengan demikian sejak perjanjian dibuat, para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Aspek hukum perjanjian ini sangat penting untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Selain itu perjanjian berfungsi untuk mencegah terjadinya perselisihan diantara masing-masing pihak jika salah satu pihak merasa dirugikan. Pada kenyataannya sering dijumpai adanya itikad tidak baik diantara salah satu pihak, yaitu pengingkaran kewajiban yang telah disepakati sebelumnya, yang secara normatif dapat dikategorikan sebagai tindakan wanprestasi. Terjadinya tindakan wanprestasi tersebut tidak selamanya dalam keadaan tidak memenuhi prestasi seperti apa yang telah diperjanjikan, melainkan dapat juga

(11)

telah terpenuhinya prestasi akan tetapi tidak dengan baik sebagaimana seperti yang dikehendaki oleh para pihak dalam perjanjian. Keadaan wanprestasi inilah yang mengakibatkan perjanjian ini menjadi masalah dan bahkan dapat menjadi batal.

Pengaturan perjanjian dalam KUH Perdata terdapat dalam buku III yang pada prinsipnya berisi ketentuan umum (Bab I – Bab IV) dan ketentuan khusus (Bab V-Bab XVII) yang mengatur tentang perjanjian- perjanjian khusus seperti jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam-pakai, pinjam-meminjam, bunga tetap atau abadi, perjanjian-perjanjian untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan dan perdamaian, yang dikenal sebagai perjanjian bernama.

Melalui asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III dalam membuat perjanjian, masyarakat diperkenankan membuat perjanjian- perjanjian. Meskipun tidak atau belum mendapatkan pengaturannya dalam undang-undang. Perjanjian seperti ini tunduk pada Ketentuan Umum Buku III KUH Perdata, yang dikenal sebagai perjanjian tak bernama. Sepintas perjanjian kerjasama jelas bukan perjanjian bernama, karena KUH Perdata tidak mengenal dan tidak mengatur.

Dengan demikian perjanjian tersebut akan tunduk pada ketentuan umum Buku III KUH Perdata.

Dari aspek ekonomi, terwujudnya kerjasama tersebut tidak dapat diragukan lagi telah memberikan dampak dalam memenuhi tuntutan

(12)

layanan di bidang lalu lintas pembayaran yang semakin tinggi. Jadi disamping menguntungkan kedua belah pihak juga sangat membantu kebutuhan akan lalu lintas pembayaran seiring semakin cepat laju perekonomian. Lebih lanjutberdasarkan aspek hukum, perjanjian kerjasama tersebut unik terutama terkait dengan aturan perjanjian yang harus diterapkan pada perikatan kerjasama tersebut.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) merupakan salah satu unit usaha milik daerah, yang bergerak dalam distribusi air bersih bagi masyarakat umum. PDAM terdapat di setiap provinsi, kabupaten, dan kotamadya di seluruh Indonesia. PDAM merupakan perusahaan daerah sebagai sarana penyedia air bersih yang diawasi dan dimonitor oleh aparat-aparat eksekutif maupun legislatif daerah. Suatu kasus terkait PDAM yang terjadi di Kota Makassar dalam hal pengelolaan instalasi air yang melibatkan antara Pemerintah Kota Makassar dengan PT.

Traya Tirta Makassar. Kasus ini bermula pada Januari 2005 saat Pemerintah Kota Makassar dengan PT. Traya Tirta Makassar berkehendak menjadi penyandang dana dalam Kerjasama Pengelolaan Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Panaikang Makassar. Seiring perkembangannya, kasus ini pun bergulir ke meja hijau hingga menghasilkan putusan majelis hakim nomor 142/PDT/2009/PT.MKS yang menyita banyak perhatian di khalayak umum. Hal inilah yang menjadi sorotan permasalahan dalam penelitian ini bahwa apakah putusan tersebut telah sesuai dengan perundang-undangan yang

(13)

berlaku sehingga dapat memperoleh keadilan untuk semua pihak yang terlibat dalam sengketa kasus tersebut.

Alasan pentingnya memunculkan pertanyaan ini terkait dengan hakikat perbuatan hukum.Pada dasarnya perbuatan hukum merupakanperbuatan yang relevan bagi hukum, perbuatan yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum atau perbuatan yang oleh hukum dihubungkan dengan timbulnya atau lenyapnya hak dan kewajiban. Sedangkan perbuatan konkrit (das sein) untuk menjadi perbuatan hukum memerlukan kaidah hukum berisi kenyataan normatif (das sollen). Jika dikatakan bahwa Sollen memerlukan Sein maka disini ada hubungannya antara sollen-sein.

Berdasarkan pernyataan tersebut tampak jelas jika kerjasama pengelolaan instalasi air PDAM Kota Makassar dengan PT. Traya Tirta Makassar tersebut dipandang sebagai perbuatan hukum, lalu termasuk perbuatan hukum yang mana mengingat didalam KUH Perdata dikenal Perjanjian Kerjasama. Sehubungan dengan hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut kedalam karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul“Analisis Putusan Perdata Nomor 142/PDT/2009/PT.MKS mengenai Pengelolaan Instalasi Air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota Makassar”.

(14)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan beberapa masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini yaitu:

1. Bagaimanakah subtansi pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutus perkara Nomor 142/PDT/2009/PT.MKSmengenai pengelolaan instalasi air di kota Makassar?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari putusan majelis hakim Nomor 142/PDT/2009/PT.MKS terhadap PDAM Kota Makassar dan PT.

Traya Tirta Makassar?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penulis yang hendak dicapai dari penelitian yang berjudul Analisis Putusan Perdata Nomor 142/PDT/2009/PT.MKS mengenai Pengelolaan Instalasi Air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota Makassaradalah:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dari majelis hakim dalam memutus perkara Nomor 142/PDT/2009/PT.MKSmengenai pengelolaan instalasi air kota Makassar.

2. Untuk mengetahui akibat hukum dari putusan majelis hakim Nomor 142/PDT/2009/PT.MKS terhadap PDAM Kota Makassar dan PT.

Traya Tirta Makassar.

Pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh penulis ini diharapkan berguna baik secara teoretis, maupun secara praktis sebagai berikut:

(15)

1. Secara Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangsi teoretis bagi implementasi hukum perjanjian dalam berbagai kasus perjanjian.

Hasil penulisan hukum diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum yang berhubungan dengan pelaksanaan.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi PDAM Kota Makassar, PT. Traya Tirta Makassar, dan masyarakat umum terkait praktik perjanjian kerjasama pengelolaan instalasi air PDAM Kota Makassar dengan PT. Traya Tirta Makassar agar memperoleh informasi yang akurat terkait permasalahan yang dihadapi serta solusi pemecahan masalah yang ditawarkan.

1.4 Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yuridis.

Penelitian yuridis berarti bahwa penelitian suatu masalah akan didekati dari aspek hukum yang berlaku. Penelitian normatif berarti bahwa penelitian yang dilakukan adalah untuk memperoleh data dari data sekunder (Kadir, 2004:101). Dalam hal ini dikaji suatu permasalahan hukum dengan melakukan analisis terhadap bahan hukum sekunder yang telah diperoleh dari studi dokumentasi.Alasan pemilihan pendekatan ini oleh penulis adalah agar penulis dapat memperoleh keterangan-keterangan yang detail dan mendalam mengenai tinjauan

(16)

hukum terhadap kesepakatan kerjasama pengelolaan instalasi air PDAM Kota Makassar dengan PT. Traya Tirta Makassar.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinisi Sulawesi Selatan, Kota Makassar yang tersebar di berbagai lokasi yaitu:

1. Kantor Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar.

Lokasi ini dipilih penulis sebagai tempatpenelitian karena PDAM sebagai tergugat serta pihak yang berkontrak.

2. Lokasi kedua adalah PT. Traya Tirta. Lokasi ini dipilih penulis sebagai tempat penelitiankarena PT. Traya Tirta sebagai pengugat serta pihak yang berkontrak.

3. Lokasi ketiga adalah Kantor Pengadilan Negeri Kota Makassar dan Pengadilan Tinggi Kota Makassar. Lokasi ini sebagai lokasi penelitian dikarena putusan yang diteliti berasal dari Pengadilan NegeriKota Makassar dan Pengadilan Tinggi Kota Makassar.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil wawancara dengan pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar dan PT. Traya Tirta, selain itu data primer juga diperoleh melalui hasil pengamatan di lokasi penelitian. Jenis data selanjutnya ialah data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari studi kepustakaan.

Kepustakaan yang dimaksud adalah data yang dihimpun dari dokumen

(17)

berupa putusan yang diperoleh dari sumber data yaitu Pengadilan Tinggi Makassar.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara, dan studi dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar dan PT.

Traya Tirta untuk memperoleh keterangan langsung dari pihak yang terkait dalam perjanjian. Teknik dokumentasi yang dimaksud adalah menjaring data sekunder yang berupa dokumen hasil putusan Nomor 142/PDT/2009/PT.MKS Teknik dokumentasi digunakan untuk menggali data yang berkaitan dengan Kontrak Kerjasama Pengelolaan Instalasi

Air PDAM Kota Makassar dari putusan Nomor

142/PDT/2009/PT.MKS.Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh pembuktian yang kuat untuk penarikan kesimpulan.

5. Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini ialah teknik analisis data dengan kualitatif. Teknik analisis ini digunakan untuk melakukan analisis terhadap putusan yang dikaji hingga memperoleh kesimpulan terkait analisis Putusan Perdata Nomor 142/PDT/2009/PT.MKS mengenai Pengelolaan Instalasi Air PDAM Kota Makassar.

(18)

BAB 2

TINJAUN PUSTAKA 2.1 Putusan Hakim Pegadilan

2.1.1 Pengertian Putusan

Menurut Manan (2006:292) bahwa putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak- pihak yang berperkara dan diucapkan dalam suatu sidang terbuka untuk umum. Oleh karena itu, putusan adalah salahsatu produk yang dikeluarkan oleh hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan.

Mertokusumo (2006:108) menjelaskan: arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bentuk penyelesaian perkara di pengadilan dibedakan atas duayakni:

a. Putusan atau Vonnis.

Putusan disebut vonnis (Belanda), yaituproduk peradilan karena adanya dua pihak yangberlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat”

dan ”tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan“produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictiocententiosa (Roihan A. Rasyid, 2010:203).

(19)

b. Penetapan atau Beschikking.

Penetapan disebut beschiking (Belanda),yaitu produk peradilan dalam arti bukan peradilanyang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdictio voluntaria.Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena disanahanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentangsesuatu, sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan (Roihan A.Rasyid, 2010: 214).

Dari uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa suatu putusan diambil untuk memutus suatu perselisihan atau sengketa (perkara), sedangkan suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan, misalnya pengangkatan wali. Suatu putusan yangdiambil dalam persidangan haruslah dapat membela rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa.

2.1.2 Macam-Macam Putusan Hakim Pengadilan

Putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

a. Putusan sela (tussen vonnis)

Makarao (2009:129), menjelaskan bahwa putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya tergugat mengajukan suatu tangkisan (eksepsi) yang bertujuan agar hakim menyatakan dirinya tidakberkompetensi memeriksa perkara tersebut karena perkara

(20)

tersebut adalah wewenang peradilan lain. Dalam hukum acara dikenal beberapa macam putusan sela, yaitu:

1) Putusan Preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir. Sebagai contoh, putusan untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.

2) Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Sebagai contoh, putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan setempat. Karenaputusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan interlocutoir akan mempengaruhi putusan akhir.

3) Putusan Incidentiel, adalah putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Contoh, putusan yang membolehkan pihak ketiga untuk ikut serta dalam suatu perkara.

4) Putusan Provisional, yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

b. Putusan akhir (eind vonnis)

Makarao (2009:130), menjelaskan bahwa: “Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi,

(21)

dan Mahkamah Agung”. Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

1) Putusan Condemnatoir, yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhiprestasi. Sebagai contoh, mengadili: menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada penggugat; menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah yang menjadi sengketa kepada penggugat; menghukum tergugat untuk mengosongkan tanah yang menjadi sengketa;

menghukum tergugat untuk tidak menempati tanah yang menjadi sengketa, dan lain sebagainya.

2) Putusan Deklaratoir, yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum.

Sebagai contoh: menyatakan penggugat sebagai pemilik atas tanah sengketa; menyatakan penggugat sebagai ahli waris dari almarhum.

3) Putusan Konstitutif, yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.

Dari ketiga macam sifat putusan akhir diatas, maka putusan yang memerlukan pelaksanaan (eksekusi) hanyalah yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan yang bersifat konstitutif dan deklaratoir tidak memerlukan pelaksanaan atau tidak memerlukan perbuatan dari salah satu pihak dan upayapaksa, karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan pihak yang kalah untuk melaksanakannya.

(22)

2.1.3 Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung (Arto, 204:140).Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan.

Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar- benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak (Arto, 204:141).

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut:

a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.

(23)

b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, dimana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.

2.1.4 Upaya Hukum Terhadap Putusan

Tugas hakim setelah proses pemeriksaan pengadilan selesai adalahmenjatuhkan putusan. Putusan yang dijatuhkan hakim mempunyai kemungkinan tidak memuaskan salah satu pihak, baik penggugat maupun tergugat. Jika salah satu pihak tidak puas terhadap putusan tersebut maka dapat diajukan upaya hukum yaitu:

a. Upaya Hukum Biasa 1) Perlawanan (verset)

Menurut Makarao (2009:161) bahwa: “Perlawanan adalah upaya terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama (putusan verstek)”. Kepada

(24)

pihak yang dikalahkan serta diterangkan kepadanya bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan tak hadir itukepada pengadilan itu. (Pasal 125 (3) HIR/149 (3) R.Bg dan pasal 153 (1) HIR/129 (1) R.Bg).

2) Banding

Menurut Rasyid (2010:231) bahwa:Banding yang disebut juga appel ialah permohonanpemeriksaan kembali terhadap putusan atau penetapanpengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) karenamerasa tidak puas atas putusan atau penetapan tersebut, kepengadilan tingkat banding yang mewilayahi pengadilan tingkat pertama yangbersangkutan, melalui pengadilan tingkat pertama yangmemutus tersebut, dalam tenggang waktu tertentu dandengan syarat-syarat tertentu.Tujuan utama pemeriksaan tingkat banding adalah untukmengoreksi dan mengeluarkan segala kesalahan dan kekeliruan dalam penetapan hukum, tata cara mengadili, meluruskan penilaian fakta, dan pembuktian.

3) Kasasi

Soepomo (Makarao, 2009:189) mengemukakan bahwa: “Kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkat tertinggi”. Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa tugas pengadilan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus

(25)

yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut. Jika pemeriksaan tingkat kasasi telah selesai dilaksanakan, maka putusan kasasi dapat berupa sebagai berikut:

a) Permohonan kasasi tidak dapat diterima.

b) Permohonan kasasi diterima.

c) Permohonan kasasi dikabulkan.

b. Upaya Hukum Luar Biasa

1) Peninjauan Kembali (request civil)

Manan (2006:359), menjelaskan bahwa: Upaya hukum peninjauan kembali adalah upaya hukumluar biasa (request civil) yang merupakan upaya untukmemeriksa atau memerintahkan kembali suatu putusan pengadilan (baik tingkat pertama, banding, dan kasasi)yang telah berkekuatan hukum tetap, gunamembatalkannya.

2) Perlawanan Pihak Ketiga (derden verset)

Makarao (2009:210) mengemukakan bahwa: Bantahan atau perlawanan pihak ketiga yaitu upayahukum yang dilakukan orang yang semula bukan pihakdalam suatu perkara, tetapi oleh karena ia merasaberkepentingan atas barang atau benda yangdipersengketakan dimana barang atau benda tersebutakan/sedang disita atau akan/sedang dijual lelang, maka iaberusaha untuk mempertahankan benda atau barangtersebut

(26)

dengan alasan bahwa benda atau barang tersebutadalah miliknya bukan milik tergugat.

2.2 Konsepsi Perjanjian 2.2.1 Pengertian Perjanjian

Pada hakikatnya perjanjian berisi kehendak para pihak yang mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu yang diperjanjikan.

Dengan demikian sejak perjanjian dibuat, para pihak mempunyai hak dan kewajiban (Jehani, 2008:9). Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, Pembuat undang-undang merumuskan perjanjian sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih“. Suatu rumusan perjanjian umumnya dimaksudkan untuk memberikan batasan atau pedoman mengenai peristiwa apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup perjanjian dan mengesampingkan peristiwa-peristiwa yang tidak termasuk perjanjian. Memang memahami suatu pengertian yang lengkap dan sempurna itu sulit khususnya pengertian dari perjanjian, maka untuk mempermudah dalam memahaminya akan dikemukakan beberapa pendapat sarjana.

Menurut Subekti (1987:1) bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Perjanjian adalah persetujuan yang dirumuskan secara tertulis yang melahirkan bukti tentang adanya hak dan kewajiban (Budiono, 1998:8). Selanjutnya Kadir (1990:78) Perjanjian adalah perbuatan yang

(27)

dilakukan dua orang atau lebih yang isi perjanjian tersebut didasarkan atas kesepakatan atau persetujuan bersama. Fungsi perjanjian dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis.

Fungsi yuridis adalah fungsi yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan dari nilai yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi (Salim, 2003:25).

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dapat dibuat secara lisan atau tertulis antara dua orang atau lebih kepada satu orang lain atau lebih yang masing-masing pihak berjanji atau menaati apa yang tersebut dalam persetujuan. Perjanjian ini didasarkan kata sepakat yang dapat menimbulkan perbuatan dan akibat hukum dalam melaksanakan hak dan kewajiban. Satu pihak adalah yang wajib berprestasi dan pihak lainnya adalah yang berhak atas prestasi tersebut, ada hubungan timbal-balik dari dua pihak.

2.2.2 Unsur-Unsur Perjanjian

Unsur-unsur di dalam perjanjian sebaiknya terdapat dalam perjanjian yang dilakukan oleh para pihak, sehingga perjanjian dengan mudah berjalan dengan baik. Jika perjanjian telah disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga telah terpenuhinya salah satu syarat sahnya perjanjian. Menurut Satrio (2001:67) bahwa dalam suatu perjanjian dapat dikelompokan menjadi beberapa unsur-unsur yang ada di dalamnya yaitu sebagai berikut:

(28)

a. Unsur Essensialia

Unsur essensialia adalah unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada. Jadi dapat dikatakan unsur esensialia adalah sesuatu yang harus ada, yang merupakan hal pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu perjanjian. Tanpa hal pokok tersebut perjanjian tidak sah dan tidak mengikat para pihak yang membuat. Contoh bagian dari unsur essensialia yaitu kata sepakat di antara para pihak dan suatu hal tertentu, sehingga tanpa keduanya tidak akan terdapat suatu perjanjian.

b. Unsur Naturalia

Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang- undang diatur, tetapi yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Disini unsur tersebut oleh Undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur dan menambah (aanvullend recht). Contoh bagian dari unsur naturalia dapat ditemukan di dalam Pasal 1476 KUH Perdata yang menentukan bahwa “biaya penyerahan dipikul oleh si penjual. Sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli, jika tidak telah diperjanjikan” jadi dapat dikatakan dengan adanya unsur naturalia maka para pihak tetap mengeluarkan biaya atas perjanjian yang telah disepakati.

c. Unsur Accidentalia

Unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, undang-undang sendiri tidak

(29)

mengatur hal tersebut. Asas kebebasan berkontrak memang memberikan kebebasan kepada para pihak, namun kebebasan tersebut tidaklah bersifat mutlak. Adanya asas kebebasan berkontrak bagi para pihak untuk menambahkan ketentuan-ketentan tambahan, dimana Undang-undang tidak mengatur (unsur accidentalia) bukanlah bersifat mutlak, dalam artian ketentuan- ketentuan tambahan yang dibuat oleh para pihak dibatasi dan tidak boleh bertentangan denganUndang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam pasal 1320 KUH Perdata pembuat Undang-undang menjelaskan patokan umum tentang bagaimana suatu perjanjian itu lahir, di pasal tersebut ditentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang harus dilakukan oleh orang, agar para pihak bisa secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi mereka atau pihak ketiga. Pada pasal 1320 KUH Perdata menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu dan disepakati oleh kedua belah pihak.

(30)

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

d. Suatu sebab yang halal

Sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, adanya suatu sebab yang halal merupakan isi perjanjian itu sendiri yang mengambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak, isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan maupun dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subjek surat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subjektif. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat

(31)

yang harus dipenuhi oleh objek perjanjian oleh karena itu disebut syarat objektif.

2.2.4 Asas Hukum Perjanjian

Menurut Jawat (2014:3) bahwa kebebasan dalam membuat perjanjian atau biasa disebut kebebasan berkontrak diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata, antara lain:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 (1) KUHPerdata. Asas ini memberi kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak mengadakan perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian,pelaksanaannya dan persyaratannya dan menentukan bentuk perjanjian yaitu secara tertulis atau secara lisan.

b. Asas Konsesualisme

Asas konsesualisme atau dapat disebut sebagai Kesepakatan. Momentum lahirnya suatu perjanjian muncul apabila telah terjadi kata sepakat oleh para pihak sehingga sepakat merupakan salah satu syarat sah dalam membuat perjanjian yang sudah semestinya ada. Hal ini diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.

c. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum atau dikenal dengan asas Pacta SuntServanda. Asas ini diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata.

(32)

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

d. Asas Itikad Baik (geode trouw).

Asas ini terdapat dalam pasal 1338 (3) KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan dan keyakinan serta kemauan yang baik dari semua pihak.

e. Asas Kepribadian

Asas Kepribadian (personalitas). Asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan 1340 KUHPerdata.

Apabila hubungan hukum tersebut dapat dinyatakan sah sebagaimana KUH Perdata pasal 1320 diatas maka pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaimana undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Jawat, 2014:4). Dari penjelasan ini berarti bahwa dimensi hukum dalam kontrak adalah dimensi hukum perdata, bukan hukum pidana dan dalam konteks ini, kontrak kerja tunduk pada Pasal 1320 KUH Perdata, sehingga kedudukan hukum bagi pihak-pihak yang terdapat dalam kontrak adalah kedudukan sebagai pihak-pihak dalam hukum privat. Bilamana terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme penyelesaiannya dapat

(33)

ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

2.2.5 Prestasi, Wanprestasi,dan Somasi

Perjanjian didasarkan pada kata sepakat yang dapat menimbulkan perbuatan dan akibat hukum dalam melaksanakan hak dan kewajiban. Dalam hal hukum perjanjian, terdapat beberapa hal yang perlu dipahami oleh antar pihak agar pelaksanaan perjanjian tersebut dirumuskan dengan jelas. Hal tersebut ialah: prestasi, wanprestasi, dan somasi. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut.

a. Prestasi

Menurut Cahyono & Sjarif (2008:140) prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur yang merupakan hak dari kreditur. Hal serupa dikemukakan oleh Yasir (2011:79) bahwa prestasi itu adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalu disertai dengan tanggung jawab baik dengan jaminan harta ataupun jawaban di muka hukum.

Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada

(34)

saat penyerahan. Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian “memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya. Istilah

“memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:

(1)Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian, dan (2)Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.

Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan

“tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian. Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:

1) Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.

(35)

2) Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan untuk pemesan.

3) Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan, perjanjian tidak akan menggunakan merk dagang tertentu.

Dalam hukum perjanjian memiliki beberapa syarat-syarat.

Prestasi dalam suatu perjanjian tersebut harus memenuhi syarat- syarat:

1) Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debitur telah memenuhi prestasi atau belum.

2) Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan.

3) Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

4) Prestasi harus mungkin dilaksanakan.

Berdasarkan kajian prestasi yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi (performance) dalam hukum perjanjian kerjasama dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Dengan demikian prestasi bersifat wajib

(36)

bagi pihak yang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerjasama.

b. Wanprestasi

Menurut Subekti (2001:54) bahwa wanprestasi merupakan keadaan apabila debitur tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi.

Debitur lalai, cidera janji atau juga melanggar perjanjian dan berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Menurut Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga dinamakan wanprestasi. Menjadi persoalan adalah sejak kapan debitur dapat dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.

Dalam hal wujud prestasinya “memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang

(37)

waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.

Surat peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.

Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Menurut Subketi (1988:45) perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Adapun debitur masih dapat diharapkan masih memenuhi prestasinya, masih digolongkan ke dalam terlambat memenuhi prestasi. Jika tidak memenuhi prestasi secara baik, maka debitur dianggap terlambat memenuhi prestasi secara tidak baik.Tapi debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Menurut Subekti (1988:45) Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa 4 (empat) macam:

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

(38)

2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Berdasarkan beberapa hal yang dikemukakan terkait dengan wanprastasi, maka dapat disimpulkan bahwa wanprestasi merupakan diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya. Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.

c. Somasi

Somasi adalah peringatan atau teguran dari kreditur kepada debitur agar segera memenuhi prestasi yang telah dijanjikan sebelumnya (Sulaiman, 2015:26). Somasi dapat dilakukan dengan bebas, misalnya dengan lisan, tulis, atau bisa melalui telepon.

Sehingga somasi tidak terikat dalam bentuk tertentu. Somasi harus

(39)

berisi: (a)Jangka waktu mempresterd (somasi harus berisi jangka waktu yang cukup pantas dengan melihat berat ringannya prestasi yang harus dilaksanakan itu, (b)Apa yang harus dilaksanakan, (c)Tuntutan prestasi itu didasarkan atas hal apa.

Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:

a. Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat- lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”

b. Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris. Akta yang telah memilki kekuatan hukum yang tetap sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku sebagai akta yang menunjukkan terjadi wanprestasi.

(40)

c. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.Semua wanprestasi tidak memerlukan suatu somasi. Somasi tidak diperlukan dalam hal:

a. Jika di dalam perjanjian telah disyaratkan bahwa debitur tanpa somasi sudah dianggap dalam keadaan wanprestasi.

b. Jika prestasi hanya dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau jika dengan lampaunya jangka waktu tertentu prestasi tidak berlaku lagi.

c. Jika sifat perjanjian dengan sendirinya telah mengatakan adanya wanprestasi apabila batas waktunya telah lampau.

d. Jika debitur melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban atau isi perikatan.

(41)

e. Jika debitur secara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak mau mempresterd.

f. Jika debitur mempresterd akan tetapi tidak sempurna (kurang nilainya).

Berdasarkan beberapa hal yang dikemukakan terkait dengan somasi, maka dapat disimpulkan bahwa somasi adalah sebuah teguran terhadap pihak calon tergugat pada proses hukum. Tujuan dari pemberian somasi ini adalah pemberian kesempatan kepada pihak calon tergugat untuk berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini efektif untuk menyelesaikan sengketa sebelum perkara diajukan ke pengadilan. Somasi bisa dilakukan individual atau kolektif baik oleh kuasa hukum maupun pihak yang dirugikan (calon penggugat).

Dasar hukum somasi terdapat dalam Pasal 1238 KUHPerdata.

Somasi memiliki tujuan agar debitur tetap berprestasi. Somasi dalam sumber lain adalah sejenis teguran yang didasarkan atas pikiran bahwa debitur memang masih mau paling tidak melalui somasi dapat diharapkan mau untuk berprestasi. Disamping hal semacam itu pernyataan lalai pada umumnya diperlukan kalau orang hendak menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian. Jadi somasi di berikan pada saat prestasi berubah menjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak yang sedang melakukan kontrak dengan pihak lain.

(42)

2.3 Konsepsi Instalasi Air 2.3.1 Pengertian Instalasi Air

Air merupakan salah satu unsur lingkungan yang sangat dibutuhkan oleh manusia, hewan dan tumbuhan. Tanpa adanya air maka kita sulit mempertahankan kehidupan di muka bumi ini. Dewasa ini, kebutuhan akan air minum semakin meningkat. Kenyataan ini tidak dapat disangkal, mengingat pentingnya air minum bagi kehidupan manusia. Peningkatan kebutuhan air ini sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan taraf kehidupan masyarakat. Prihatono (2011:1) mengemukakan bahwa instalasi saluran air bersih merupakan perencanaan pembangunan alur air bersih dari sumber air melalui komponen penyalur dan penyambungnya ke bak-bak penampungan air maupun kran-kran yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air dalam kehidupan sehari-hari.

Instalasi air bersih harus direncanakan dengan benar agar distribusi air dalam rumah berjalan lancar dan efisien. Jika tidak direncanakan dengan baik (berkelok kelok dan bercabang banyak), distribusi air bersih akan terganggu. Pemipaan atau dalam bahasa Inggris disebut plumbing, merupakan sistem yang salah satu fungsinya untuk menyediakan kebutuhan air bersih. Namun kadang-kadang, sistem ini tidak berjalan semestinya sehingga penyediaan air yang dibutuhkan untuk kegiatan rumah tangga menjadi terganggu. Oleh karenanya, sistem instalasi air bersih harus direncanakan sejak awal dan dituangkan dalam bentuk gambar perencanaan instalasi.

(43)

2.3.2 Faktor Penting Instalasi Air

Menurut Prihatono (2011:1) pada instalasi saluran air bersih ada beberapa faktor-faktor penting yang harus dipertimbangkan antara lain sebagai berikut:

a. SumberAir

Rangkaian instalasi air bersih di dalam rumah, atau biasa disebut instalasi pipa sekunder, umumnya menggunakan pipa ukuran 0,5 inci. Namun ukuran instalasi pipa primer (dari sumber air ke instalasi dalam rumah) berbeda-beda bergantung pada sumber airnya.(1)Air PAM langsung dihubungkan ke instalasi pipa di rumah, maka pipa primernya menggunakan pipa berukuran sama dengan instalasi pipa sekunder,yaitu ukuran 0,5 inchi. (2)Air PAM didistribusikan ke instalasi pipa di rumah melalui bak penampung (tower air), maka pipa dari meteran PAM ke tower air menggunakan pipa ukuran 0,5 inci. Sedangkan dari tower air ke instalasi di rumah menggunakan pipa ukuran ¾ ,1 inci. (3)Air tanah, dengan bantuan jet pump, dialirkan langsung ke instalasi pemipaan di rumah.

Instalasi pipa dari pompa ke instalasi di rumah menggunakan pipa yang berukuran sama dengan besar penampang pipa keluaran (outtake) di pompa. (4)Air tanah didistribusikan ke sistem pemipaan di rumah melalui tower air, maka pipa dari pompa ke tower air menggunakan ukuran yang sama dengan pipa keluar (outtake) dari pompa. Sedangkan dari tower air ke instalasi pipa di rumah menggunakan pipa ¾ inci,1 inci.

(44)

b. Biaya

Sebagai sebuah sistem bangunan, instalasi pemipaan air bersih juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Besar kecilnya biaya dipengaruhi oleh model instalasi (tertutup atau terbuka), letak instalasi pipa (ditanam dalam tanah atau di atas tanah), jenis pipa, dan ukuran pipa.

c. Model instalasi

(1)Sistemtertutup. Pemipaan tertutup maksudnya ujung pipa yang terakhir (hilir) menyambung kembali ke ujung awal pipa (hulu).

Sistem seperti ini bisa juga disebut jaringan pemipaan memutar (loop). Sistem tertutup memungkinkan tekanan di semua outtake (pipa keluaran air) rata. Pemipaan sistem tertutup membutuhkan jumlah pipa lebih besar dibanding pemipaan sistem terbuka.

Konsekuensinya, pemipaan sistem tertutup membutuhkan biaya lebih besar dibanding sistem terbuka. (2)Sistem terbuka. Pemipaan terbuka adalah sistem pemipaan yang kedua ujung pipa (hilir dan hulu) tidak menyambung. Pemipaan sistem terbuka membutuhkan jumlah pipa lebih sedikit dibanding pemipaan sistem tertutup.

Keuntungan pemipaan sistem terbuka ini adalah membutuhkan biaya lebih sedikit dibanding sistem terbuka. Namun pada sistem terbuka memiliki tekanan yang rendah.

d. LetakInstalasi pipa

(1)Instalasi di atas tanah. Instalasi di atas tanah (biasanya dalam plafon rumah) mudah pemasangannya. Deteksi kebocoran pipa

(45)

pun lebih cepat diketahui sehingga perbaikannya tidak sesulit instalasi pipa di dalam tanah. Pada bangunan dua lantai, instalasi air bersih kebanyakan diletakkan di atas plafon. (2)Instalasi di dalam tanah.Instalasi di dalam tanah sulit mendeteksinya bila ada kerusakan. Bila sumber kerusakan sudah diketahui maka harus menggali tanah bahkan membongkar lantai. Sehingga menggunakan instalasi ini sulit dalam pengontrolannya.Tapi ada kebaikan dari sistem instalasi dalam tanah ini yaitu dari sisi kerapiannya.

e. Jenis pipa

(1)Logam. Sebelum munculnya PVC, pipa logam banyak dipakai oleh masyarakat. Pipa logam sangat kuat,tebal dan tahan terhadap panas. Namun jenis pipa ini mempunyai kelemahan yaitu dapat berkarat sehingga air menjadi kotor dan bau. (2)PVC (Poli Vinil Chloride).Bahan PVC merupakan terobosan inovatif yang hebat dan sangat menghematkan konsumen. Selain itu, PVC merupakan material yang tak karat dan lebih mudah perawatan maupun perbaikannya jika terjadi kerusakan. Satu satunya kelemahan pipa PVC adalah rawan bocor apabila sistem pengelemannya kurang rapi. Meski demikian, PVC merupakan bahan yang paling banyak dipakai masyarakat saat ini.

f. Ukuranpipa

Di Indonesia standard ukuran yang dipakai untuk system perairan rumah tangga atau lainnya adalah standart JIS (Japanese Industrial

(46)

Standard), sedangkan untuk PDAM biasanya memakai Standard Nasional SNI. Berikut ini adalah macam-macam ukuran pipa PVC dengan standard JIS (satuan inch) yang dimulai dari AW 1/2″

sampai AW 10″ (atau lebih), D 1 1/4″ sampai D 10″ (atau lebih) dan C 5/8″ sampai C 5″.

(47)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 3.1 Analisis Putusan Pada Tingkat Pengadilan Negeri

Penelitian ini mengkaji putusan atas perkara perdata antara PT.

Traya sebagai Penggugat 1 dan PT Traya Tirta Makassar sebagai Penggugat 2, serta Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar sebagai Tergugat 1 dan Walikota Makassar sebagai Tergugat 2 dengan pokok perkara dugaan wanprestasi yang dilakukan oleh pihak tergugat atas perjanjian atau kesepakatan antara pihak penggugat dan tergugat yang telah dijalin terkait instalasi air bersih di Kota Makassar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkara tersebut di sidangkan sebanyak dua kali yaitu sidang pertama pada Tahun 2008 untuk tingkat pengadilan negeri dan sidang kedua pada Tahun 2009 untuk tingkat pengadilan tinggi. Berlangsungnya sidang sebanyak dua kali berdampak pada diperolehnya dua putusan untuk perkara tersebut. Hasil analisis terhadap putusan-putusan tersebut diuraikan sebagai berikut.

Sidang pertama untuk perkara dugaan wanprestasi yang dilakukan oleh pihak tergugat atas perjanjian atau kesepakatan antara antara PT. Traya sebagai Penggugat 1 dan PT Traya Tirta Makassar sebagai Penggugat 2, serta Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar sebagai Tergugat 1 dan Walikota Makassar sebagai Tergugat 2 yang telah dijalin terkait instalasi air bersih di Kota Makassar dilaksanakan pada tanggal 3 September 2008. Sidang tersebut

(48)

dipimpin oleh Ohan Burhanuddin. P, S.H., M.H sebagai Hakim Ketua Majelis, Tiwery Christer Rolof, S.H dan Kemal Tampubolon, S.H., M.H, masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan dibacakan pada tanggal 10 September 2008 dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua Majelis tersebut didampingi oleh Hakim-Hakim Anggota serta Hj. St. Naisjiah, S.H sebagai Panitera Pengganti. Selain itu, sidang pembacaan putusan tersebut dihadiri oleh Kuasa Hukum Penggugat 1 dan Kuasa Hukum Penggugat 2, tanpa hadirnya Kuasa Hukum Tergugat 1 dan Kuasa Hukum Tergugat 2. Hasil analisis untuk sidang di Pengadilan Negeri tersebut diuraikan berdasarkan tiga poin yaitu: duduk perkara, pertimbangan hakim dan amar putusan. Ketiga poin tersebut dikemukakan sebagai berikut.

3.1.1 Duduk Perkara

Pada dasarnya duduk perkara yang disidangkan pada Pengadilan Negeri Makassar tanggal 9 September 2008 adalah dugaan wanprestasi Perusahaan Daerah Air Minum Kota Makassar dan Walikota Makassar terhadap PT. Traya dan PT Traya Tirta Makassar menurut Perjanjian Kerjasama No.003/B.3d/V/2007 – No.015/II- mi/V/2007 tanggal 4 Mei 2007. Wanprestasi yang dimaksud tersebut ialah Perusahaan Daerah Air Minum Kota Makassar dan Walikota Makassar selaku tergugat tidak membayarkan uang tagihan penggugat atas produksi air minum bersih dari instalasi Air Minum Panaikang Kota Makassar dari Bulan Mei 2007 sampai dengan Bulan April 2008.

(49)

Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu hakim yang menangani kasus tersebut yang menjelaskan bahwa:

Dalam kasus ini, PT. Traya dan PT Traya Tirta Makassar selaku penggugat menuntut Perusahaan Daerah Air Minum Kota Makassar dan Walikota Makassar untuk membayar tagihan sebesar Rp. 30.201.349.730 (tiga puluh milyar dua ratus satu juta tiga ratus empat puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh rupiah).

(Sumber: Hasil wawancara 15 Agustus 2016)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut maka dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya pihak penggugat menuntut adanya pembayaran hak berupa tagihan atas hasil pengelolaan air PDAM Kota Makassar.

Hasil dokumentasi putusan hakim diperoleh informasi bahwa tuntutan tagihan tergugat tersebut terinci Rp. 38.868.246.714 (tiga puluh delapan milyar delapan ratus enam puluh delapan juta dua ratus empat puluh enam ribu tujug ratus empatbelas rupiah) dikurangi uang panjar sebelumnya sebesar Rp. 7.000.000.000 (tujuh milyar rupiah) serta bunga berbunga atas keterlambatan pembayaran tagihan sebesar Rp.

1.333.103.016 (satu milyar tiga ratus tiga puluh tiga juta enam belas rupiah). Hal tersebut merupakan tuntutan penggugat yang dibahas sebagai pokok perkara di Persidangan Pengadilan Negeri Makassar pada tanggal 9 September 2008.

3.1.2 Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri

Secara konseptual sebelum hakim membacakan putusan atas perkara sidang, hakim harus memiliki pertimbangan. Dalam teori pertimbangan hakim setidaknya hakim harus didasarkan atas

(50)

pertimbangan terkait duduk perkara dan pertimbangan terkait aspek hukum. Hasil penelitian ini diuraikan pertimbangan-pertimbangan tersebut sebagai berikut.

a. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Makassar Berdasarkan Duduk Perkara

Hasil penelitian ditinjau dari pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri berdasarkan duduk perkara dapat dijelaskan ditanjau dari dalil penggugat dan dalil tergugat. Hasil analisis tersebut dikemukakan sebagai berikut.

1) Dalil Penggugat

Berdasarkan dalil penggugat bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terjalin kerjasama yang dituangkan dalam perjanjian kerjasama tentang Rehabilitasi, Operasi dan Transfer Instalasi Pengolahan Air Minum Panaikang Kota Makassar.

Kerjasama tersebut terjadi ketika Tergugat 1 mengalami kesulitan dan hambatan dalam mengoperasikan Instalasi Air Minum Bersih Panaikang Kota Makassar yang sudah tua.

Sebelum kerjasama tersebut, pada Tanggal 19 Oktober 2005 telah ditandantangani Memorandum Kesepahaman tentang kerjasama rehabilitasi, kelola dan transfer instalasi pengolahan air dengan mendapat persetujuan dari Walikota Makassar sebagai dasar dan awal dari dibuatnya perjanjian kerjasama tersebut. Selain Walikota Makassar, pihak DPRD Kota Makassar juga menyetujui hal tersebut berdasarkan bukti Surat Persetujuan Kerjasama ROT

(51)

Instalasi Pengolahan Air Panaikang No. 373/172/DPRD/2006 tanggal 15 Nopember 2006. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 Perjanjian yang berjudul Pengalihan Hak dan Kewajiban, khususnya Pasal 29 ayat (2), hak dan kewajiban Penggugat 1 di dalam perjanjian telah dialihkan kepada Penggugat 2 di mana telah disetujui oleh tergugat 1 dan tercantum didalam Lampiran VIII perjanjian tersebut.

Lebih lanjut pertimbangan hakim bahwa sejak Mei 2007 pihak Penggugat II telah memulai menoperasikan Instalasi Pengolahan Air Minum Panaikang dan telah memproduksi air minum bersih bagi warga Kota Makassar. Biaya yang telah dikeluarkan oleh Pengguat 2 dalam Proyek Instalasi Pengolahan Air Minum Panaikang ini sebesar Rp. 33.624.396.484 (tiga puluh tiga milyar enam ratus dua puluh empat juta tiga ratus sembilan puluh enam ribu empat ratus delapan puluh empat rupiah) untuk biaya pra-operasional, biaya investasi, dan biaya operasional.

Pada saat tergugat terindikasi melakukan wanprestasi tersebut, penggugat seringkali melayangkan surat teguran kepada tergugat agar tergugat dapat menyelesaikan tanggungjawabnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut.

Namun hal itu tidak diindahkan oleh tergugat dan tetap tidak mau membayar tagihan yang menjadi tanggungjawabnya tersebut.

Selain dalil penggugat yang telah diuraikan sebelumnya, pada bagian ini diuraikan pula dalil tergugat dalam persidangan yang menjadi pertimbangan hakim sebelum mengeluarkan putusan di

(52)

Pengadilan Negeri Makassar. Dalil tergugat secara umum menjelaskan bahwa kerjasama antara penggugat dan tergugat yang dituduhkan tidak benar. Kerjasama ini lahir bukan karena tegugat mengalami kesulitan dalam instalasi air tetapi karena adanya bujukan dari pihak penggugat untuk membentuk sebuah kerjasama terkait instalasi pengolahan air bersih.

Selain itu, tergugat juga menyangkal biaya operasional yang telah dikeluarkan oleh pihak tergugat sebesar Rp. 33.624.396.484 (tiga puluh tiga milyar enam ratus dua puluh empat juta tiga ratus sembilan puluh enam ribu empat ratus denlapan puluh empat rupiah) sebelumnya tidak benar dan tidak logis. Menurut tergugat jumlah sebesar itu tidak logis dan tidak sesuai dengan kenyataannya atau apa yang dialami selama ini.

Lebih lanjut gugatan penggugat yang menyatakan tergugat selama ini tidak pernah membayar tagihan bulanan sama sekali tidak benar. Hal tersebut dijelaskan bahwa selama ini tergugat telah membayar biaya tarif bulanan sebesar Rp. 7.000.000.000 (tujuh milyar kepada penggugat) sehingga hal tersebut bukan berarti tidak sama sekali. Selanjutnya, penggugat menyatakan telah beberapa kali melayangkan surat teguran kepada tergugat, akan tetapi hal itu tidak dapat menjadi dasar menetapkan tergugat sebagai wanprestasi karena keadaan hukum tersebut dihapus dengan adanya berita acara kesepakatan tanggal 30 Januari 2008 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 yang menegaskan pembayaran

(53)

baru dilakukan setelah disesuaikan dengan Adendum. Pada sisi lain, sampai sekarang penyesuaian tersebut belum dilaksanakan sehingga tergugat belum wanprestasi dan belum memiliki tanggung jawab untuk membayar tagihan tersebut.

Dalil pembelaan selanjutnya dari tergugat terkait dengan adanya bunga yang dibebankan kepada mereka untuk dipenuhi sebesar Rp. 1.333.103.016 (satu milyar tiga ratus tiga puluh tiga juta seratu tiga ribu enam belas rupiah). Menurut tergugat, beban bunga tersebut tidak jelas, karena penggugat tidak menjelaskan berapa persen bunga yang dibebankan melainkan cenderung mengada-ada saja. Selain itu, bunga berbunga tersebut belum bisa diberlakukan dan dihitung secara pasti sebab adendum belum pernah disesuaikan sebelumnya.

Pada dasarnya tergugat memberi pandangan bahwa selama ini mereka tetap beritikad baik terhadap kerjasama yang terjalin dengan penggugat, hanya saja berita acara kesepakatan tanggal 30 Januari 2008 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 yang menegaskan pembayaran baru dilakukan setelah disesuaikan dengan Adendum. Hal inilah yang belum disepakati sampai sekarang sehingga masalah tagihan belum bisa dipermasalahkan.

Secara umum pertimbangan hakim berdasarkan duduk perkara tampaknya mengarah untuk mengabulkan tuntutan penggugat. Informasi tersebut diperoleh berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan hakim yang memberi keterangan bahwa:

(54)

Sebelum memutuskan perkara, tentunya kami harus memiliki pertimbangan yang jelas demi keadilan antara penggugat dan tergugat. Pertimbangan tersebut kami tinjau berdasarkan dalil- dalil penggugat dan tergugat serta bukti-bukti yang menguatkan dalil-dalil tersebut. Pada persidangan waktu itu dalil-dalil dan bukti-bukti menunjukkan bahwa pihak tergugat (Perusahaan Daerah Air Minum dan Walikota Makassar) terbukti melakukan wanprestasi dan mereka harus bertanggungjawab atas perbuatan tersebut. untuk lebih jelasnya anda dapat melihat pertimbangan tersebut pada lampiran putusan Pengadilan Negeri Makassar.

(Sumber: Hasil wawancara 15 Agustus 2016)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa dalil-dalil dan bukti-bukti menunjukkan bahwa pihak tergugat (Perusahaan Daerah Air Minum dan Walikota Makassar) terbukti melakukan wanprestasi dan mereka harus bertanggungjawab atas perbuatan tersebut.

b. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Makassar Berdasarkan Tinjauan Hukum.

Selain pertimbangan hakim berdasarkan duduk perkara, dalam penelitian ini diuraikan pula pertimbangan hakim berdasarkan tinjauan hukum. Setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar meneliti surat-surat bukti yang diajukan di persidangan baik oleh kuasa penggugat maupun kuasa tergugat, maka diperoleh fakta-fakta persidangan. Fakta pertama ialah antara Penggugat 1 dan Tergugat 1 atas persetujuan Tergugat 2 telah melakukan perjanjian kerjasama pada tanggal 4 Mei 2007 tentang Rehabilitasi, Operasi dan Pemeriksaan Instalasi Pengolahan Air Minum Panaikang.

Fakta selanjutnya ialah Penggugat 2 telah mengeluarkan biaya operasional dan investasi untuk proyek sejumlah Rp. 33.624.396.484

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak temugiring pada nisbah 1:8 dan 1:10 dengan konsentrasi etanol 70% dan etanol 96% menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna

Pada penulisan ilmiah ini, penulis membahas pembuatan website Terapi Air Oxy dengan menggunakan Adobe Dreamweaver CS3 dan XAMPP sebagai mesin server lokal. Pembahasan dimulai

Nilai perusahaan menjadi meningkat hal ini berarti kepercayaan investor terhadap perusahaan semakin meningkat, informasi akuntansi lebih banyak diperhatikan oleh

- Adanya perbedaan kebijkan bisnis dalam pengelolaan keuangan dari kelima perusahaan telekomunikasi, yang mempengaruhi nilai indikator pengukuran kinerja berbasis

Paian Siagian (Berkas terpisah) pada hari dan tanggal yang tidak diingat lagi sekitar bulan Maret sampai dengan bulan Mei tahun 2005, bertempat di kantor

Menunjuk Dosen pembimbing Akademik Mahasiswa Semester Ganjil Tahun Akademik 2015/2016' dengan susunan nama Doseridan nama Mahasiswa sepertitercantum pada lampiran

Panitia Tingkat Kejaksaan Agung setelah melakukan penyaringan nama-nama dari karyawan Kejaksaan Agung sendiri dan hasilnya dikumupulkan dengan usulan nama karyawan

Pengujian pertama, kedalaman makan 15mm dari 10 kali pengujian, pengujian 1 sampai dengan 4 belum ada perubahan keausan, hal ini disebabkan karena struktur logam mata pahat