• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802009041 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802009041 Full text"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA SMA YANG TINGGAL DI TEMPAT KOST

OLEH

MATHILDA ELIZABETH LATUHERU 80 2009 041

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA SMA YANG TINGGAL DI TEMPAT KOST

Mathilda Elizabeth Latuheru Berta E.A. Prasetya Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri pada siswa SMA yang tinggal di tempat kost. Siswa sebanyak 50 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel insidental. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data yaitu skala kecerdasan emosi yang dilakukan dengan skala Emotional Intelligence oleh Schutte et al (1998), berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi yang diungkapkan oleh Goleman (2002), untuk mengukur kecerdasan emosi siswa dan skala penyesuaian diri yang disusun oleh Baker & Siryk (1999), berdasarkan aspek-aspeknya yang kemudian penulis gunakan sebagai alat ukur untuk mengukur penyesuaian diri siswa. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) -0,065dengan P < 0,05yang berarti tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di tempat kost. Hal ini bermakna bahwa kecerdasan emosi tidak berhubungan dengan penyesuaian diri siswa.

(9)

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out the relationship between emotional intelligence and self – adjustment of Senior High School students who live in a boarding house. There are 50 students used as the samples in this research by applying the incidental sampling technique. The research method employed in the data collection is the scale of emotional intelligence which is done by using the scale of Emotional Intelligence by Schutte et al. (1998), based on the aspects of emotional intelligence proposed by Goleman (2002) to measure the students’ emotional intelligence. In addition, the writer applies the scale of self – adjustment suggested by Baker and Siryk

(1999). Based on its aspects, she exploits it as the measurement of students’ self –

adjustment. The technique of data analysis used in this research is the correlation technique of product moment. The result of the data analysis shows that there is a correlation coefficient (r) 0,065 with p < 0.05 which means that there is no positive and significant relationship between emotional intelligence and self – adjustment of Senior

High School students. It means that emotional intelligence is not related to students’ self

– adjustment.

(10)

PENDAHULUAN

Remaja berasal dari kata adolescene yang berarti “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa (Steinberg, 2002). Pada periode ini remaja berubah secara kognitif dan mulai mampu berfikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa.

Menurut Hall (dalam Gunarsa, 2009), masa remaja sering dianggap sebagai masa storm & stress yaitu masa yang penuh frustasi dan konflik. Masa dimana individu harus

melakukan penyesuaian diri. Selain itu pada tahap ini, remaja mengalami masa percintaan dan roman serta adanya pemisahan diri dari masyarakat dan kebudayaan orang dewasa. Perilaku remaja dipengaruhi oleh munculnya rasa kecewa, meningkatnya konflik, krisis penyesuaian, angan-angan yang tidak tercapai, hal-hal percintaan, keterasingan dari kehidupan orang dewasa dan norma kehidupan (Gunarsa, 2009).

Pada usia remaja keinginan untuk bisa lepas dari keluarga dan tidak tergantung pada orang tua sangat besar. Saat remaja menghadapi konflik antara ingin bebas dan mandiri serta perasaan takut kehilangan rasa nyaman yang telah diperolehnya pada masa kanak-kanak, remaja memerlukan orang yang dapat memberikan rasa aman sebagai pengganti yang hilang dan dorongan kepada rasa bebas yang dirindukannya (Ali & Asrori, 2012 ).

(11)

dengan teman-teman di kost dan sekolah, sering merindukan orang tua dan saudara, sulit mengatur keuangan dan waktu untuk belajar dan bermain. Dan pada tanggal 06 Januari 2014, peneliti juga melakukan wawancara dengan siswa yang lain, yang juga tinggal di tempat kost. Siswa tersebut mengungkapkan bahwa siswa tersebut juga merasa kesulitan dalam menyesuikan diri dengan lingkungan tempat kost, dan hanya memiliki beberapa teman dekat di sekolah.

Tempat kost adalah salah satu tempat tinggal yang padaumumnya di wilayah dekat perguruan tinggi atau tempat-tempat pendidikan seperti sekolah atau kampus memiliki rumah tinggal yang disewakan untuk didiami oleh orang-orang yang rumahnya jauh dari sekolah atau kampus. Rumah tinggal ini sering disebut dengan tempat kost (Cokro, 2001). Jadi siswa SMA yang kost adalah pelajar yang tinggal jauh dari keluarga dan menyewa suatu tempat untuk tinggal sementara dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu pelajar yang kost memerlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri yang baik,mengingat mereka jauh dari orang tua.

Hal ini disebabkan karena adanya transisi dalam kehidupan yang menghadapkan individu pada perubahan-perubahan dan tuntutan-tuntutan sehingga diperlukan adanya penyeusaian diri (Wijaya, 2007). Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai reaksi terhadap tuntutan-tuntutan terhadap diri individu (Vembriarto, 1993). Tuntutan-tuntutan tersebut dapat digolongkan menjadi tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Tuntutan internal merupakan tuntutan yang berupa dorongan atau kebutuhan yang timbul dari dalam yang bersifat fisik dan sosial. Tuntutan eksternal adalah tuntutan yang berasal dari luar diri individu baik bersifat fisik maupun sosial.

(12)

khususnya. Remaja dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan setiap perbedaan, masalah yang mungkin belum pernah dijumpai sebelumnya, dan bisa beradaptasi dengan lingkungan, teman, dan kegiatan belajar mengajar yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Kegagalan remaja dalam melakukan penyesuaian diri akan menimbulkan bahaya seperti tidak bertanggung jawab dan mengabaikan pelajaran, sikap sangat agresif dan sangat yakin pada diri sendiri, perasaan tidak aman, merasa ingin pulang jika berada jauh dari lingkungan yang tidak dikenal, dan perasaan menyerah. Sebaliknya apabila remaja mampu mengadakan penyesuaian diri dengan baik maka dapat diharapkan adanya perkembangan kearah kedewasaan yang optimal dan dapat diterima oleh lingkungannya (Hurlock, 1999).

Salah satu faktor penting dalam penyesuaian diri adalah kecerdasan emosi. Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Aziz (dalam Prasetiyo & Andriani, 2011), kecerdasan emosi terkait dengan penyesuian diri, di mana semakin tinggi kecerdasan emosi seorang remaja maka semakin baik pula kemampuan remaja maka semakin baik pula kemampuan remaja menyesuiankan dirinya dengan lingkungan. Oleh sebab itu, kecerdasan emosi begitu penting dalam proses penyesuian diri remaja di lingkungan yang baru.

(13)

suasana hati dan mampu mengelola kecemasan agar tidak mengganggu kemampuan berfikir, d) mampu berempati. Kecerdasan emosi merupakan hal yang penting dalam menghadapi perubahan dan penyesuaian diri pada lingkungan baru. Aziz (dalam Djuwarijah, 2002) menjumpai bahwa kecerdasan emosi terkait dengan penyesuaian diri dimana semakin tinggi kecerdasan emosi seorang remaja maka semakin baik pula kemampuan remaja menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Oleh sebab itu, bagi remaja yang baru masuk ke lingkungan baru, baik di bangku perkuliahan maupun sekolah dengan jauh dari orang tua, kecerdasan emosi dirasa begitu penting dalam proses penyesuaian diri mereka di lingkungan yang baru.

Memiliki kecerdasan emosi yang baik berarti memiliki kecakapan sosial dan pengendalian diri yang tinggi. Dengan begitu remaja dapat mengatasi berbagai masalah yang di alami saat memasuki dunia atau lingkungan yang baru dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya dan orang-orang di sekitarnya (Cooper & Sawaf, 2001). Masalah-masalah tersebut beragam mulai dari memulai hubungan pertemanan, melakukan tindakan agar bisa diterima di kelompok, mengendalikan emosi, hingga bertahan dari kegagalan. Kecerdasan emosional dapat dilihat dari bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapt terjalin lancar dan efektif (Zainun, 2007).

(14)

serupa di dapatkan juga dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ichsan (2013), dimana didapatkan hasil adanya hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian penyesuaian diri peserta didikdi SMP Negeri 20 padang.

Sementara dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Amar (2009), didapatkan hasil yang berbeda, dimana kecerdasan emosi pada siswa baru tidak terdapat hubungan positif dengan penyesuaian diri.

Dari paparan di atas, maka penulis ingin mengetahui Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Penyesuaian Diri pada Siswa SMA yang Tinggal di Tempat Kost.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri pada siswa SMA yang Tinggal di Tempat kost?

Penyesuaian Diri

Menurut Haber & Runyon (1984), penyesuaian diri merupakan suatu proses agar individu dapat menerima dan mengatasi perubahan dalam setiap keadaan yang tidak dapat diduga. Sedangkan menurut Willis (dalam Nurdin, 2009), penyesuaian diri sebagai kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.

Lahner dan Kube (1964), menyatakan bahwa usaha penyesuaian diri adalah usaha untuk mempertemukan tuntutan diri sendiri dan lingkungan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Lazarus (1976), bahwa penyesuaian diri merupakan usaha untuk menjadi atau bertahan dalam lingkungan fisik dan sosialnya.

(15)

dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara diri sendiri dengan lingkungannya. Hal yang sama juga diungkapkan Sawrey & Telford (1968), penyesuaian diri sebagai interaksi terus-menerus antara individu dengan lingkungannya yang melibatkan sistem behavioral, kognisi, dan emosional. Dalam interaksi tersebut baik individu maupun lingkungan menjadi agen perubahan.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan penyesuaian diri adalah suatu usaha untuk mempertemukan tuntuan diri sendiri dan interaksi terus-menerus antara individu dengan lingkungannya yang melibatkan sistem behavioral, kognisi, dan emosional. Sehingga individu dapat mengatasi konflik dan frustasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya.

Aspek-aspek Penyesuaian Diri

Menurut Baker & Siryk (dalam Splichal & Shaw, 2009) ada empat aspek kemampuan penyesuaian diri, yaitu :

a. Penyesuaian Akademik

Penyesuaian akademik mengacu pada tercapainya tujuan pendidikan dan tuntutan bawaan untuk pengalaman sekolah. Penyesuaian akademik siswa yang memadai menunjukkan adalah menerapkan dirinya untuk karya akademis dan memenuhi persyaratan institusional (Baker & Siryk, 1999). Yang meliputi : motivasi, adaptasi, prestasi, dan lingkungan akademik.

b. Penyesuaian Sosial

(16)

rendah penyesuaian sosial terkait dengan rasa kesepian pada siswa. Ini mungkin hasil dari partisipasi siswa kurang dalam kegiatan sekolah, serta interaksi sosial dan dukungan sosial yang terbatas di sekolah. Yang meliputi : umum, Orang lain, kerinduan, dan lingkungan sosial.

c. Penyesuaian Personal/Emosional

Penyesuaian pribadi-emosional berkaitan dengan tingkat tekanan fisik dan psikologis pengalaman siswa setelah masuk ke institusi pendidikan sekolah menengah atas (Baker & Siryk, 1999). Penyesuaian pribadi-emosional yang positif secara fisik dan psikologis. Siswa yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik memiliki kemungkinan mengalami peningkatan kecemasan dan depresi. Yang meliputi : Psikologi, dan fisik.

d. Goal commitment / Institutional attachment

Perasaan seorang siswa tentang lembaga pendidikan sekolah menengah atas dan kualitas hubungan yang terkait dengan komitmen tujuan bersekolah (Baker & Siryk, 1999). Kepuasan yang tinggi dengan sekolah saat ini terkait dengan lampiran kelembagaan yang lebih baik, sedangkan kepuasan yang rendah menunjukkan lampiran yang lebih negatif dan kemungkinan peningkatan gesekan siswa. Yang meliputi : Lingkungan sekolah, dan umum.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

(17)

Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah:

a. Keadaan fisik

Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.

b. Perkembangan dan kematangan

Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.

c. Keadaan psikologis

Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri. d. Keadaan lingkungan

(18)

anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. Sekolah bukan hanya memberikan pendidikan bagi individu dalam segi intelektual, tetapi juga dalam aspek sosial dan moral yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah juga berpengaruh dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang menjadi dasar penyesuaian diri yang baik (Schneiders, 1964). Keadaan keluarga memegang peranan penting pada individu dalam melakukan penyesuaian diri. Sikap dan harapan orang tua yang realistik dapat membantu remaja mencapai kedewasaannya sehingga remaja dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan tanggung jawab. Sikap orang tua yang overprotektif atau kurang peduli akan menghasilkan remaja yang kurang mampu menyesuaikan diri.

e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan

(19)

Kecerdasan Emosi

Goleman (2001), mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Solvey & Mayer (dalam Goleman, 2001), kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.

Sedangkan menurut Atkinson (1987), kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak menggangu kemampuan berpikir, untuk berempati terhadap orang lain dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, maupun mengendalikan emosi dan mampu berhubungan dengan orang lain sehingga seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungannya. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Goleman (2002) mengemukakan lima wilayah utama dalam kecerdasan emosional, yaitu :

a. Kesadaran diri

(20)

waktu ke waktu dan mencermati perasaan-perasaan yang muncul. Ketidakmampuan mencermati perasaan yang sesungguhnya menandahkan bahwa orang berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.

b. Kemampuan mengelolah emosi

Kemampuan untuk mengelolah emosi, berarti mampu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila : mampu untuk menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu . Orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat.

c. Motivasi diri

Kemampuan menata emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk memotivasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam apapun yang mereka kerjakan. d. Empati

Kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang lain.

e. Kemampuan membina hubungan dengan orang lain

(21)

Sedangkan orang yang memiliki kemampuan ini akan sukses dalam membina hubungan dengan orang lain.

Dari penjelasan di atas, maka aspek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah aspek kecerdasan emosi dari Goleman (2002).

Efek Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosional merupakan kecakapan utama, kemampuan yang secara mendalam mempengaruhi semua kemampuan lainnya, baik memperlancar maupun menghambat memampuan-kemampuan itu (Goleman, 2001).

Seseorang yang memiliki yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang tepat saat situasi kritis dan mendesak. Selain itu kecerdasan emosional juga berguna dalam penyesuaian diri dan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Mereka yang memiliki kecerdasan emosional mengetahui perasaan dirinya dan orang lain, dapat menahan diri, dan bersikap empatik sehingga membuat orang lain merasa nyaman, tenang, dan senang bergaul dengannya. Individu yang memiliki kecerdasan emosinal yang rendah lebih terlihat menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial seperti lebih suka menyendiri dan kurang bersemangat, sering cemas dan depresi dan agresi Ernawati (dalam Mukarromah, 2008).

(22)

Berkaitan dengan proses penyesuaian diri, aspek kesadaran diri sangat berperan karena adanya kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi, ketidakmampuan mencermati perasaan yang sesungguhnya menandahkan bahwa orang berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah (Goleman, 2002).

Pada aspek pengendalian diri kemampuan untuk menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini berpengaruh pada terbentuknya penyesuaian diri yang baik pada remaja karena jika emosi berhasil dikelola maka remaja akan mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan tidak mudah menjadi putus asa bila terbentur suatu hambatan (Goleman, 2002).

Aspek motivasi akan mendorong dan menggerakkan remaja untuk mencapai suatu tujuan serta membantu dalam mengambil inisiatif dan tindakan yang efektif. Hal ini memantu remaja untuk dapat bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi yang mungkin saja terjadi pada saat proses penyesuaian diri (Goleman, 2002).

(23)

Pengaruh aspek kemampuan membina hubungan dengan orang lain mempunyai porsi yang besar pada proses penyesuaian diri remaja. Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain serta cermat dalam membaca situasi dan memudahkan remaja berinteraksi (Goleman, 2002). Dengan memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik maka akan memudahkan remaja dalam menyelesaikan suatu perselisihan atau konflik yang dihadapi serta memudahkan remaja untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purbosari (2011), bahwa dengan mempunyai kecerdasan emosi yang baik, berarti mempuyai kecakapan sosial yang baik mendatangkan perasaan puas dan gembira terhadap kehidupan sosialnya. Dan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mukarromah (2008) menyatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosi yang rendah cenderung lebih tertutup terhadap orang lain, mudah takut atau gelisah. Mereka tidak berkeinginan untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, merasa tidak nyaman dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dunia pergaulan lingkungannya.

(24)

ketidakpuasan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari, mundur ke tingkat perilaku yang sebelumnya agar disenangi dan diperhatikan (Hurlock, 1997).

Berdasarkan uraian teori Goleman (2001) di atas, menunjukkan bahwa kelima komponen kecerdasan emosi yaitu kesadaran diri, kemampuan pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain, sangat berpengaruh pada proses penyesuaian diri yang dilakukan remaja untuk dapat bereaksi secara positif terhadap perubahan dan tuntutan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aziz (dalam Djuwarijah, 2002) semakin tinggi kecerdasan emosi seorang remaja maka semakin tinggi maka semakin baik pula kemampuan remaja menyesuaiakan dirinya dengan lingkungan.

Jadi remaja yang memiliki kecerdasan emosi yang baik maka remaja tersebut akan memiliki kemampuan memahami dan menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta dapat menanggapinya dengan tepat, maka remaja dapat menerapkannya secara efektif dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatasi berbagai hambatan dan mencari jalan keluar dari konflik yang dihadapi dan berdampak pada penerimaan sosial, karena dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi remaja akan lebih mudah diterima keberadaannya di dalam lingkungan sosialnya, terutama dalam kelompok teman sebaya. Hipotesis

1. Hipotesis Empirik

(25)

2. Hipotesis Statistik

H0 : Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri pada siswa SMA yang Tinggal di Tempat kost. H1 : Ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dan

penyesuaian diri pada siswa SMA yang Tinggal di Tempat kost.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Sugiyono (2011) menjelaskan bahwa penelitian dengan metode kuantitatif merupakan metode yang ilmiah karena memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit atau empiris, obyektif, terukur, rasioal, dan sistematis. Dengan variabel bebas yaitu, Kecerdasan emosional dan variabel terikat Penyesuaian diri.

Populasi dan Sampel

Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa SMA PGRI Ambon, kelas X1, X2, dan X3 yang berjumlah 90 siswa. Pemilihan kelas dilakukan berdasarkan kriteria yang ditentukan yaitu, siswa SMA tahun pertama, dan berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang guru di SMA PGRI 1 Ambon, berkaitan dengan siswa yang bertempat tinggal di kost, sehingga jumlahnya adalah 50 siswa. Kemudian, penulis mengambil sampel insidental yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemuin itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2012). Dengan berdasarkan pada beberapa kriteria, yaitu :

(26)

d. Belum pernah tinggal di kost sebelumnya

Alat Ukur Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode angket atau skala pengukuran psikologi. Angket atau skala merupakan kumpulan dari pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang diajukan secara tertulis kepada responden untuk menjawabnya (Sugiyono, 2012).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua alat ukur berupa skala kecerdasan emosi yang juga telah dimofikasi oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang diungkapkan oleh Schutte et al (1998) sesuai dengan teori kecerdasan emosi yang dikemukan oleh Goleman (2002). Dan skala penyesuaian diri yang telah dimofikasi oleh peneliti, dengan mengubah kalimat yang terlalu panjang atau sulit dipamami menjadi kalimat yang lebih singkat dan jelas berdasarkan aspek-aspek yang diungkapkan oleh Baker & Siryk (1999). Jumlah item yang diuji dalam skala kecerdasan emosi sebanyak 33 item dan yang sudah diuji coba menjadi 26 item dengan daya diskriminasi bergerak antara 0,261-0,708, dengan alpha cronbach’s sebesar 0,888.

(27)

Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan jumlah skala psikologi yang disebar sebanyak 50 buah. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober dan pada tanggal 20 Oktober 2014 dengan cara, penulis datang langsung ke sekolah SMA PGRI 1 Ambon untuk bertemu dengan subjek penelitian sebanyak 50 subjek siswa, yang terdiri dari kelas X1, X2, dan X3 yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, siswa bertempat tinggal di kost berjumlah 50 siswa. Sebelumnya, terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri dan memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan peneliti melakukan penelitian kepada para siswa dan meminta partisipasi siswa untuk berperan serta dalam penelitian ini dengan mengisi skala yang disebarkan kepada mereka.Selama pengisian skala, siswa diperkenankan bertanya jika ada materi yang terdapat di dalam skala dianggap sulit dipahami atau tidak jelas. Selama pengisian skala, peneliti berada di dalam kelas untuk memberikan penjelasan jika terdapat persoalan yang tidak dimengerti siswa. Setelah pengisian skala selesai, skala langsung diberikan kepada peneliti dan peneliti langsung mengecek skala yang telah diisi oleh siswa. Selama pelaksanaan penelitian, responden dapat bekerjasama dengan baik dan cenderung menjawab setiap pernyataan dengan baik dan jumlah skala yang diterima kembali oleh peneliti berjumlah 50 skala. Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah menggunakan bantuan program komputer SPSS 16.0 for windows.

Teknik Analisa Data

(28)

HASIL PENELITIAN Analisis deskriptif

Kecerdasan Emosi

Table 1.1 Kategorisasi pengukuran Skala Kecerdasan Emosi

No Interval Kategori Mean N Persentase

1. 88,4 ≤ x ≤ 104 Sangat

Tinggi

19 38%

2. 72,8 ≤ x < 88,4 Tinggi 84,98 25 50%

3. 57,2 ≤ x < 72,8 Sedang 6 12%

4. 41,6 ≤ x < 57,2 Rendah 0 0%

5. 26 ≤ x < 41,6 Sangat

Rendah

0 0%

Jumlah 50 100%

SD = 9,652 Min = 70 Max = 104 Keterangan: x = Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi memiliki nilai minimum sebesar 70 dan nilai maksimum 104 dengan standard deviasi 9,652. Dan berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat diketahui bahwa siswa yang memiliki kategori sangat tinggi (38%), tinggi (50%), sedang (12%), dan pada kategori rendah dan sangat rendah memiliki (0%).

[image:28.595.88.512.173.740.2]

Penyesuaian Diri

Table 1.2 Kategorisasi pengukuran Skala Penyesuaian Diri

No Interval Kategori Mean N Persentase

1. 85 ≤ x ≤ 100 Sangat

Tinggi

2 4%

2. 70 ≤ x < 85 Tinggi 15 30%

3. 55 ≤ x < 70 Sedang 65,64 25 50%

4. 40 ≤ x < 55 Rendah 7 14%

5. 25 ≤ x < 40 Sangat

Rendah

1 2%

Jumlah 50 100%

(29)

Penyesuaian diri memiliki nilai minimum sebesar 34 dan nilai maksimum 89 dengan standard deviasi 11,515. Dan berdasarkan Tabel 1.2 di atas, dapat diketahui bahwa siswa yang memiliki kategori sangat tinggi (4%), tinggi (30%), sedang (50%), rendah (14%) dan sangat rendah (2%).

Uji Normalitas

Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, didapatkan nilai koefisien Kolmogorov-Smirnov untuk variabel kecerdasan emosi adalah sebesar 0,137 dengan

signifikansi sebesar 0,020 (p> 0,05), sedangkan nilai Kolmogorov-Smirnov untuk variabel penyesuaian diri siswa adalah sebesar 0,086 dengan nilai signifikansi sebesar 0,200 (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran data variabel kecerdasan emosi dan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di tempat kost merupakan sebaran data berdistribusi normal.

Uji Linearitas

Dari hasil uji linieritas, maka diperoleh nilai Fbeda sebesar 1,369 (p > 0,05) dengan

sig 0,224 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara pola kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri adalah linier.

[image:29.595.85.511.291.731.2]

Analisis Korelasi

Tabel 1.3 Hasil Uji Korelasi antara Kecerdasan emosi dan Penyesuaian Diri

Correlations

KecerdasanEmosi PenyesuianDiri

KecerdasanEmosi Pearson Correlation 1 -.065

Sig. (1-tailed) .326

N 50 50

PenyesuaianDiri Pearson Correlation -.065 1

Sig. (1-tailed) .326

(30)

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri sebesar -0,065 dengan sig. = 0,326 (p < 0.05) yang berarti bahwa tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri pada siswa SMA yang tinggal di tempat kost.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan kecerdasan emosi dan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di kost, didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di kost. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi, keduanya memiliki besar korelasi -0,065 dengan taraf signifikansi sebesar 0,326 sehingga dikatakan p>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa, tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal di tempat kost. Artinya bahwa variabel kecerdasan emosi tidak memiliki hubungan (tidak berkorelasi) dengan penyesuaian diri siswa.

(31)

yang artinya siswa tersebut telah memiliki kecerdasan emosi yang baik, tetapi kecerdasan emosi tersebut tidak selamanya berkorelasi dengan penyesuaian diri pada siswa SMA yang tinggal di tempat kost.

Hal ini juga bisa disebabkan oleh tuntutan-tuntuntan hidup yang harus dipenuhi. Tuntutan-tuntan hidup yang begitu banyak dan harus dipenuhi sendiri oleh seorang remaja (siswa SMA) yang baru pertama kali tinggal di tempat kost dan jauh dari orang tua membuat kecerdasan emosi yang tinggi yang dimiliki tidak dapat menjadi faktor pendukung dalam menyesuaikan diri. Tuntutan-tuntutan hidup yang tadinya dipenuhi oleh orang tua, sekarang tanggung jawab dan memenuhi setiap tuntutan hidup dilakukan sendiri oleh siswa. Sehingga apabila siswa tidak dapat memenuhi setiap tuntutan yang ada tersebut dengan baik, maka akan mengalami kegagalan dalam menyesuiakan diri walaupun, siswa tersebut memiliki kecerdasan emosi yang tergolong tinggi.

(32)

menyebabkan siswa tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungan sekitar.

Hasil penelitian yang sama juga ditemukan oleh Amar (2009), yang menemukan bahwa kecerdasan emosi siswa tidak memiliki hubungan (tidak berkorelasi) dengan penyesuaian diri siswa baru MAN. Hal ini membuktikan bahwa tidak selamanya kecerdasan emosi berkorelasi dengan penyesuaian diri seseorang. Tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ichsan (2013), yang menemukan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri peserta didik. Seseorang yang memiliki kecakapan emosi yang tinggi dapat mengenal dirinya dengan baik, mengelola emosi diri dan mampu memanajemennya, serta mengenal emosi orang lain dan terampil membangun hubungan baik dengan orang lain.

Berdasarkan kategorisasi data empirik variabel kecerdasan emosi, dengan rata-rata 84,98 dan standar deviasi sebesar 9.652 diketahui bahwa terdapat 25 siswa (50%) memiliki kecerdasan emosi yang berada pada kategori tinggi, 6 siswa (12%) memiliki kecerdasan emosi yang berada pada sedang. Sedangkan berdasarkan kategorisasi data empirik, variabel penyesuaian diri dengan rata-rata 65,64 dan standar deviasi sebesar 11,515, diketahui bahwa terdapat 25 siswa (50%) memiliki penyesuaian diri pada kategori sedang, dan 1 siswa (2%) memiliki penyesuaian diri yang berada pada kategori sangat rendah.

(33)

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri pada siswa SMA yang tinggal di tempat kost.

2. Dalam penelitian ini ada 25 siswa SMA PGRI 1 Ambon memiliki tingkat kategori kecerdasan emosi yang tinggi dengan persentase 50%, dan 25 siswa memiliki tingkat kategori penyesuaian diri yang sedang dengan presentase 50%. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang ada, maka peneliti mengajukan saran kepada beberapa pihak, sebagai berikut:

1. Bagi siswa

Untuk para siswa yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggal, hendaknya tetap melatih kemampuan penyesuaian diri dengan membiasakan diri untuk mengurus segala keperluan sehari-hari sendiri dan berlatih untuk mengambil keputusan tanpa tergantung pada orang tua atau orang lain. Karena seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi tidak selamanya dapat menyesuaikan dirinya dengan baik.

2. Bagi peneliti selanjutnya

(34)

terhadap penyesuaian diri seperti, keadaan fisik, tingkat religiusitas dan kebudayaan, keadaan psikologi, dan keadaan lingkungan.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. & Asrori, M. (2012). Psikologi Remaja : Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Bumi Aksara

Amar, H. R.L, (2009). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Penyesuaian Diri Siswa Baru MAN Tempursari Ngawi. Malang.

Atkinson, R. L. dkk. (1987). Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga. Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cokro, (2001). Dinamika Pembentukan Kelompok di Tempat Kost.

http://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/27032008210023_23_struktur_da n_proses_sosial.doc

Cozby, P. C. (2009). Methods in behavioral research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Davidoff, L. L. (1991). Psikologi Suatu Pengantar: Jilid 2. Ahli bahasa: Mari Juniati.

Jakarta: Erlangga.

Departemen Pendidikan Nasional, (2008). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Edisi ke Empat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah DKI Jakarta. (2012), Rumah kost, Diakses pada tanggal 27 Januari 2014 dari http://rumah-gedungjakarta.org/program-dpgp/perumahan/layanan-penghunian/rumah-kost.html

Djuwarijah, (2002). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Agresivitas Remaja. Psikologika (Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi). Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia No.13 Tahun VII Yogyakarta

Goleman, D. (2001). Working with Emotional Intelligence : Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D. (2002). Emotional Intellegence. Mengapa EI Lebih Penting Dari IQ. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gunarsa, S.D. (2009). Psikologi Perkembangan: Anak dan Remaja. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

Haber, A & Runyon. (1984). Psychologi of Ajusment. New York : Colomby Press Hadi, S. (2004). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Ofset

(36)

peserta didik di SMP Negeri 20 Padang. Jurnal program studi bimbingan dan konseling. Sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan (STKIP) PGRI sumatera barat: Padang.

Janda, L. H. (1998). Psychological testing: theory and applications. Icludes Sonware. Massachusetts: A Viacom Company

Lazarus, R, S. (1976). Personality and Adjustment. Prentice Hall-inc, Egglewood Cliffc, New Jersey.

Lehner, G.F.J & Kube, E. (1964). The Dynamics of Personal Adjustment. New Jersey : Library of congress.

Monks F. J., Knoers A. M. P., & Haditono S. R. (2002). Psikologi perkembangan: pengantar berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Mukarromah, E. (2008). Hubungan antara Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) dengan Perilaku Agresif pada polisi Samapta di Polda Metro Jaya. Jurnal Psikologi Vol. 6 No.1. Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul, Jakarta.

Nurdin. (2009). Hubungan Kecerdasan Emosional terhadap Penyesuaian Sosial Siswa Di Sekolah. Jurnal AdministrasiPendidikan Vol. IX No. 1 April 2009.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development 9th edition. New York: McGraw Hill Inc.

Prasetiyo, A., & Andriani, I. (2011). Hubungan kecerdasan Emosional dengan Subject Well Being pada Mahasiswa Tingkat Pertama. Jurnal Proceeding PESAT (Psikologi, Sastra, Arsistektur & Sipil ). Vol. 4. Universitas Gunadarma : Depok

Purbosari, R.W. (2011). Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian

Sosial pada Remaja Balai Rehabilitas Sosial “Wira Adhi Karya”. Universitas

Katolik Soegijapranata : Jakarta.

Santrock, J. W. (2002). Life–span development: perkembangan masa hidup. Penerjemah: Juda Damanik. Edisi 5. Jakarta: Erlangga

Sawrey, J,M & Telford, C.W. (1968). Educational Psychology 3rd Edition. Bostom : Allyn and Bacon. Inc.

Schneiders, A.A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York : Holt, Reinhart & Winston Inc.

(37)

Solvey & Mayer (1990), Emotional Intelligence : Imagination, cognition, and Personality. 9. New York : McGraw Hill.

Splichal, T.C (2009). The effects of first-generation status and race/ethnicity on

Students' adjustment to college. Submitted to the Faculty of the University of Miami. UMI 3392608 by ProQuest LLC.

Steinberg & Laurence. (2002). Adolescent. Boston : McGraw-Hill College

Sugiyono. (2012). Metodologi penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suyanti, S, & Mangunhardjana (2002). Pengaruh pelatihan Emotional Literacy terhadap kecerdasan emosional remaja. Jurnal Anima, Indonesian Psychological Journal. Vol. 17, No. 3.

Gambar

Table 1.2 Kategorisasi pengukuran
Tabel 1.3 Hasil Uji Korelasi antara

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Antara Kepercayaan Diri dengan Motivasi Berprestasi pada siswa di SMA Negeri 1 Salatiga. Untuk dapat mengerjakan sesuatu menjadi lebih

Menurut Goleman, (1995), kecerdasan emosional merupakan suatu bentuk kemampuan yang memahami, memantau, mengendalikan perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECENDERUNGAN DEPRESI PADA PERAWAT LAKI-LAKI DI RUMAH SAKIT.. Dengan hak bebas royalty non eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan,

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN KEHARMONISAN KELUARGA PADA PARA CALON TENAGA..

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KESIAPAN BELAJAR MANDIRI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara dukungan sosial teman sebaya dengan harga diri remaja yang tinggal di panti asuhan... METODE PENELITIAN

Hubungan Pola Asuh Otoriter Orang Tua dan Kecemasan Sosial Remaja dengan Konsep Diri Remaja Akhir di SMA Negeri 10 Surabaya. Jurnal Bimbingan Konseling Volume

Hasil penelitian ini diperoleh nilai korelasi product moment rxy = 0,466 ; p = 0,000 (p &lt; 0,05) yang berarti terdapat hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan