FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN
YANG MEMPENGARUHI PERFORMANSIPAMONG
BELAJAR,TENAGA LAPANGAN DIKMAS DAN PENILIK DIKMAS DALAM PENENTUAN IDENTIFIKASI KEBUTUHAN BELAJAR
PADA PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL
(Studi terhadap Identifikasi Kebutuhan Belajar dengan teknik PRA pada Program KeaksaraanFungsionaldi Kabupaten Bandung dan Ciamis)
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan dalam Program Pendidikan Luar Sekolah
Oleh:
Merry Mariam
NIM : 959687
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT KEGURUAN DAN DLMU PENDIDIKAN BANDUNG
LEMBAR PENGESAHAN TESIS OLEH PEMBflvtBING
Prof. DR. H. Djudju Sudjana, M.Ed.
"JAUHILAH OLEHMU KEDENGKIAN,
KARENA KEDENGKIAN ITU AKAN MEMAKAN SEMUA KEBAIKAN,
SEPERTI API MEMAKAN KAYU BAKAR'
ABSTRAK
FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN YANG MEMPENGARUHI PERFORMANSI PAMONG BELAJAR, TENAGA LAPANGAN DIKMAS
DAN PENILIK DIKMAS DALAM PENENTUAN IDENTIFIKASI
KEBUTUHAN BELAJAR PADA PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL ( Studi terhadap identifikasi kebutuhan belajar dengan teknik PRA pada
Program Keaksaraan Fungsional di Kabupaten Bandung dan Ciamis)
Program Keaksaraan Fungsional merupakan suatu pendekatan dan atau cara untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam menguasai dan menggunakan ketrampilan membaca, menulis, berhitung, mengamati dan menganalisis, yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada di Iingkungan sekitarnya. Program Keaksaraan Fungsional, bila dibandingkan dengan program-program keaksaraan sebelumnya (PaketA, Kejar PBH, dan Paket A Obama), memiliki karakteristik yang relatif berbeda, yaitu bersifat fungsional, kontekstual dan
dinamis.
Khusus dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, pada program Keaksaraan Fungsional dilakukan dengan teknik khusus, yaitu Participatory Rural Appraisal. Teknik PRA merupakan suatu pendekatan dari kumpulan teknik untuk memberdayakan masyarakat dalam menganalisa, mengembangkan dan berbagi pengetahuan mengenai kehidupan setempat, keadaan sumber dayanya untuk berencana dan bertindak dengan lebih baik. Dalam realitasnya, mekanisme penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional, tentu saja tidak
lepas dari pengaruh berbagai faktor. Studi ini akan berusaha untuk mengungkap sejumlah variabel yang dapat mempengaruhi performansi penentuan identifikasi
kebutuhan belajar, baik yang dilakukan oleh Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas.
Untuk kepentingan penelitian, pada studi ini diajukan hipotesis utama, yaitu
"terdapat hubungan fungsional antara pengalaman kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi dengan performansi Pamong Belajar SKB,
Tenaga Lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi
kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional".
Berdasarkan hal-hal di atas, dalam studi ini diajukan hipotesis sebagai b^rikut:
(1) terdapat hubungan fungsional antara pengalaman kerja dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, (2) terdapat hubungan fungsional antara frekuensi
pelatihan dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik
Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, (3) terdapat hubungan fungsional antara rentang waktu pelatihan dengan performansi Pamong Belajar,
Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi
kebutuhan belajar, (4) terdapat hubungan fungsional antara motivasi berprestasi
dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar.
Metode penelitiannya adalah deskriptif dengan prosedur pengolahan datanya menggunakan pendekatan kuantitatif. Instrumen pengumpul data yang dipergunakan-nya berupa angket dan pedoman wawancara. Responden penelitiandipergunakan-nya terdiri atas Pamong Belajar SKB sebanyak 15 orang, Tenaga Lapangan Dikmas sebanyak 12 orang dan Penilik Dikmas sebanyak 8 orang yang pernah mengikuti Pelatihan Tutor Keaksaraan Fungsional di SKB Kabupaten Bandung dan Kabupaten Ciamis. Peserta pelatihan Program Keaksaraan Fungsional sebanyak 60 orang, namun dalam studi ini hanya dibatasi pada sejumlah sampel sebanyak 35 orang, melalui penarikan sampel
acak..
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tak terdapat hubungan yang
fungsional antara pengalaman kerja dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga
Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan
belajar pada Program Keaksaraan Fungsional, (2) terdapat hubungan fungsional antara frekuensi pelatihan dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, (3) terdapat hubungan fungsional antara rentang waktu pelatihan dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, serta (4) terdapat hubungan fungsional antara motivasi berprestasi dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada program Keaksaraan Fungsional.
Bertitik tolak dari temuan tersebut di atas, direkomendasikan untuk: (1)
memperluas aksi-aksi pembelajaran PLS khususnya dalam Program Keaksaraan Fungsional, (2) menciptakan kondisi yang kondusif agar para calon warga belajar memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi dan (3) pada peneliti lain yang berminat, diharapkan untuk mau dan mampu meneliti efektifitas penggunaan model
DETERMINANT FACTORS THAT INFLUENCE PERFORMANCE OF PAMONG BELAJAR, TENAGA LAPANGAN DIKMAS AND PENILIK DIKMAS IN DETERMINATION OF LEARNING NEEDS IDENTIFICATION
ON FUNCTIONAL LITERACY PROGRAMME
Abstract
by: Merry Mariam
Functional LiteracyProgramme is an approach or a way to develop someone's
ability in mastering and using reading, writing, arithmatic, observing and analizing skill, which are daily life oriented and use potentions around. Functional Literacy
Programme if compare with last literacy programmes (Package A Learning groups
PBH or iliteracy irridication, and Package A OBAMA or Literacy Operation with Army ) has relatively different characteristics, namely functional, constectual and dynamic.
Especially, in detemination of learning needs identification on Functional Literacy Programme done special technique, namely PRA (Participatory Rural Appraisal).
PRA technique is an approach from technique collections for empowering local community in analizing, developing and sharing knowledge about local life, situation
of resources either human or natural resources to plan and act better.
In reality, mechanism of determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme, of course influenced by various factors.This Study
will try to open a number of factors which can influence the process of determination
of learning needs identification on Functional Literacy Programme, either done by
Pamong Belajar SKB (Functional Staff of Learning Centres), Tenaga Lapangan
Dikmas (Community Education Field Officer) and Penilik Dikmas (Community
Education Supervisor).
For importance of research, inthis study proposed main hypotesis, that is
"There's functional relationship among working experiences, training frequency, alocation time for training and motivation of need achievement with performance of
Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs
identification on Functional Literacy Programme.
Based on the cases mentioned above, in this study process hypothesis as
follow : (1) there's a functional relationship between working experiences with
performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of
learning needs identification on Functional Literacy Programme, (2) there's a
functional relationship between training frequency with performance of Pamong
Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs identification on
Functional Literacy Programme, (3) there's
a functional relationship between
alocatiob time for training with performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik
Dikmas in determination of learning needs identification on Functional Literacy
Programme, (4)there's a functional relationship between motivation of need achievement with performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in
determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme, (5) there's a functional relationship together among working experiences, training frequency, alocation time and motivation of need achievement with performance of
Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme.
The Research methode used is descriptive with the data processing procedur uses quantitative approach. Data collecting instruments used are questionaire and interview guide. The research renspondens consist of Pamong Belajar SKB 15 people,Tenaga Lapangan Dikmas 12 people and Penilik Dikmas 8 people who ever participated Functional Literacy Tutor Training in SKB Kabupaten Bandung and Ciamis. Training participants, 60 people, yet in this study, limited for 35 people as a sample only, through random sample.
The research result shows that: (1) there's no functional relationship between working experiences with performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme, and (2) there's a significant relationship among training frequency, alocation time of training , and motivation of need achievement with performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme.
Start from the research result mentioned above, recommended : 1) to widen learning actions of Functional Literacy Programme continuously, 2) to create condusive condition in order that candidates of learning participants that has high participation in action of determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme, and 3) to another interested researchers,hoped to be willing and able to research effectivity of PRA technique use in determination of learning
needsidentification and it's influence for products of learning process of Functional
Literacy Programme empiricly.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ii
ABSTAKSI iv
ABSTRACT vi
KATA PENGANTAR viii
UCAPAN TERIMA KASIH x
DAFTAR ISI xii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN 150
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Pembatasan Masalah 12
C. Rumusan Masalah 14
D. Tujuan Penelitian 17
E. Hipotesis 18
F. Definisi Operasional 19
G. Kegunaan Penelitian 26
H. Sistematika Pembahasan 27
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Konsep PLS dan Pelatihan Keaksaraan Fungsional 29
B. Program Keaksaraan Fungsional 38
1. Latar Belakang Lahirnya Program Keaksaraan Fungsional 41 2. Karakteristik Program Keaksaraan Fungsional 46
3. Identifikasi Kebutuhan Belajar 56 4. Teknik PRA dalam Identifikasi Kebutuhan Belajar
Program;Keaksaraan Fungsional 62
5. Program Keaksaraan Fungsional sebagai Upaya
Pemberdayaan 73
C. Karakteristik Kinerja Petugas Program Keaksaraan Fungsional 83
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek Penelitian 91
B. Metode dan Teknik Pengumpulan Data 92
C. Desain Penelitian 97
D. Pengembangan Instrumen 98
E. Pelaksanaan Pengumpulan Data 106
F. Prosedur Analisis Data 106
BAB IV HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN BEBERAPA KETERBATASAN PENELITIAN
A. Deskripsi Data 114
B. Pengujian Hipotesis 124
C. Pembahasan Hasil Penelitian 129
D. Keterbatasan Penelitian 138
E. Temuan Hasil Penelitian 139
BAB V KESIMPULAN, BMPLEKASI HASIL PENELITIAN, DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan 141
B. Impl'kasi Hasil Penelitian 142
C. Rekomendasi 143
DAFTAR PUSTAKA 145
Gambar
Gambar 2 Gambar 3 Tabel 4.1. Tabcl 4.2. Tabel 4.3.
Tabel 4.4.
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
DAFTAR TABEL DAN G A M B A R
Hubungan Fungsional Antara Berbagai Komponen dalam
Program Keaksaraan Fungsional 80
Proses Motivasi 89
Pola Hubungan Antar Variabel Penelitian 97
Karakteristik Responden Dilihat dari Faktor Jenis Kelamin.. 116
Karakterisik Responden Dilihat dari Faktor Usia 117
Latar Belakang Responden Dilihat dari Latar Belakang
Pendidikan 118
Latar Belakang Responden Dilihat dari Lamanya
Pengalaman Kerja 119
Frekuensi Pelatihan PLS yang Dilakukan PB, TLD dan Penilik
Dikmas 120
Rentang Waktu Pelatihan 122
[image:10.595.50.490.104.596.2]DAFTAR LAMPIRAN
1. Studi Lapangan/Penelitian 150
2. Daftar Peserta Pelatihan Keaksaraan Fungsional 151
3. Kisi-kisi Alat Pengumpul Data 152
4. Kuesioner Penelitian 154
5. Hasil Analisa Data dengan Program SPSS 166
6. Riwayat Hidup 173
Jug
%\
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI Nomor
2 Tahun 1989), "pendidikan" adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di
masa yang akan datang. Sedangkan pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Lebih jauh UUSPN tersebut di atas, menjelaskan juga bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan
pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar yang tidak
harus berjenjang dan berkesinambungan.
Kemudian, GBHN 1993, menggariskan bahwa pendidikan luar sekolah,
termasuk pendidikan yang bersifat kemasyarakatan seperti kepramukaan, berbagai
kursus dan pelatihan keterampilan, perlu ditingkatkan kualitasnya dan diperluas
dalam rangka mengembangkan sikap mental, minat, bakat, keterampilan, dan
belajar agar mampu bekerja dan berwirausaha serta meningkatkan martabat dan
kualitas kehidupannya.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991
tentang Pendidikan Luar Sekolah, Pendidikan Luar Sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, baik dilembagakan ataupun tidak. Lebih jauh PP No 73 Tahun 1991 tersebut di atas menjelaskan bahwa tujuan pendidikan luar
sekolah adalah sebagai berikut:
1. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu
kehidupannya.
2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan
sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja
mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan atau jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, dan
3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi
dalam jalur pendidikan sekolah.
Pelaksanaan pendidikan luar sekolah dilakukan melalui beberapa bentuk
satuan pendidikan, seperti kursus, kelompok belajar dan satuan pendidikan sejenis
lainnya. Kursus diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan bekal untuk
mempersiapkan diri, bekerja mencari nafkah dan atau melanjutkan ke tingkat dan
atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kelompok belajar adalah strategi
penyelenggaraan pendidikan luar sekolah yang mengandung arti "mengejar
ketinggalan" dan/atau "belajar sambil bekerja." Pelaksanaan pendidikan luar sekolah
dalam bentuk satuan pendidikan lain, misalnya di dalam kelompok bermain,
Kalau kita memperhatikan perkembangan jalur pendidikan nasional,
khususnya jalur pendidikan luar sekolah, jalur pendidikan luar sekolah ini sebenamya
telah ada sejak dulu, bahkan perkembangannya itu setua dengan perkembangan
peradaban manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Sutaryat
Trisnamansyah (1992:2) mengatakan bahwa :
pendidikan luar sekolah dalam bentuk yang paling asli (indigenious) telah ada sejak dulu, kehadirannya lebih dulu dari perkembangan pendidikan formal atau pendidikan persekolahan. Perkembangannya merentang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama dan budaya yang dianut pada masing-masing masyarakat dimana mereka hidup menetap.
Pendidikan luar sekolah berkembang dari pendidikan tradisional yang biasanya berakar dalam ajaran agama dan tradisi yang dianut oleh warga masyarakat. Kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat, telah sangat mewarnai perkembangan pendidikan luar sekolah. Berkaitan dengan perkembangan pendidikan luar sekolah yang dipengaruhi oleh agama, selanjutnya Djudju Sudjana (1991 : 55),
menyatakan sebagai berikut:
Belajar membaca kitab suci, kaidah-kaidah agama, tatacara sembahyang, yang
pada umumnya dilakukan di tempat-tempat peribadatan, merupakan kegiatan
belajar membelajarkan yang mendasari situasi pendidikan luar sekolah, selain
itu agama juga memberikan motivasi bahwa belajar itu merupakan kewajiban setiap pemeluk agama, dan kegiatan belajar dilakukan di dalam dan terhadap lingkungannya. Syarat utama yang perlu dimiliki oleh setiap individu untuk melakukan kegiatan belajar adalah kemampuan membaca. "Bacalah dengan
nama Tuhanmuyang telahmenjadikan" (Q.S. Al'Alaq, ayat 1).
Kewajiban umat untuk belajar, juga dipertegas lagi oleh Hadis Rosulullah SAW,
kulli muslimin wa muslimatin (menuntut ilmu adalah kewajiban bagi umat islam, baik pria maupun wanita", juga "uthlubul ilma minal mahdi ilallahdi (tuntutlah ilmu
sejak dalam buaian sampai masuk ke Hangkubur) "
Pada perkembangan awalnya, bentuk-bentuk kegiatan lain dari pendidikan luar
sekolah adalah seperti pelestarian dan pewarisan budaya secara turun-temurun.
Kegiatan-kegiatan pendidikan luar sekolah merentang dari bentuk yang sederhana
seperti dari seseorang kepada individu-individu lain sampai kepada bentuk yang
kompleks, seperti upacara tradisional atau upacara adat yang dilakukan oleh
kelompok yang cukup besar.
Memperhatikan beberapa penjelasan di atas, khususnya mengenai
perkembangan pendidikan luar sekolah, nampak jelas bahwa pendidikan luar sekolah
itu telah berkembang sejak dulu. Berkaitan dengan hal itu, Djudju Sudjana (1991:1)
mengatakan bahwa :
Pendidikan luar sekolah (PLS) telah tumbuh dan berkembang dalam alur kebudayaan
setiap masyarakat, dan sering bersumber pada agama dan tradisi yang dianut oleh masyarakat, sehingga kehadirannya memiliki akar yang kuat pada budaya yang dianut
masyarakat.
Bentuk kegiatan dalam pendidikan luar sekolah sudah pasti tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor dinamis yang senantiasa berkembang dalam masyarakat. Faktor-faktor dinamis dalam masyarakat itu akan turut serta menentukan aksi pendidikan luar sekolah yang akan dilaksanakan, mengingat masyarakat berperan
dengan hal tersebut di atas, Sutaryat Trisnamansyah (1993 : 11) mengatakan ada lima
faktor yang makin memantapkan bahwa pendidikan luar sekolah itu makin diperlukan
dalam masyarakat. Kelima faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kependudukan
2. Perubahan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 3. Kemajuan dan perkembangan informasi
4. Perubahan struktur masyarakat yang menuju ke arah/tahap masyarakat
industri,
5. Ketenagakerjaan.
Kegiatan-kegiatan pendidikan luar sekolah senantiasa harus dapat menjawab
berbagai tantangan pendidikan yang selalu berkembang dengan cepat di masyarakat.
Bidang-bidang pendidikan yang tak tergarap oleh pendidikan sekolah, hendaknya
menjadi lahan yang subur bagi pendidikan luar sekolah. Upaya peningkatan kualitas
manusia melalui pencerdasan bangsa, tentu saja tak semuanya dapat dilakukan oleh
pendidikan sekolah, mengingat masih adanya beberapa keterbatasan dalam
pendidikan sekolah.
\/
Program-program aksi dalam pendidikan luar sekolah memang banyak dan
tersebar dalam berbagai satuannya. Salah satu program yang relatif baru dan akan terus ditumbuhkembangkan adalah program keaksaraan fungsional. Program
keaksaraan fungsional muncul sebagai alternatif baru setelah program-program
sebelumnya, seperti pemberantasan buta huruf (PBH) dan Kejar Paket A yang
menggunakan bahan belajar Buku Paket Al sampai Paket A100.
menuntut dunia pendidikan untuk terus menyelaraskan diri. Bila tida
pendidikan itu sendiri hanyalah berperan sebagai barang antik yang tak membumi
dengan kebutuhan masyarakat. Pada saat ini dunia pendidikan kita dituntut untuk
berpacu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun pada sisi
lain masih ada beberapa tantangan pendidikan yang masih sangat mendasar, yaitu
masih adanya masyarakat yang buta huruf. Hal ini ditunjukkan dengan data BPS
(Biro Pusat Statistik) bekerja sama dengan Depdikbud Tahun 1996, bahwa
penyandang buta huruf usia 10 sampai 44 tahun adalah 5,86 % atau 6.903.272 orang.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, telah
menyatakan bahwa upaya pemberantasan buta huruf merupakan suatu kepedulian
nasional, bahkan Mendikbud Juwono Sudarsono menargetkan bahwa pada tahun
2003 berbarengan dengan liberalisasi perdagangan bebas Asia (AFTA) di Indonesia
sudah bebas penyandang buta huruf usia 10-44 tahun. Hal tersebut juga makin diperkuat oleh Presiden Republik Indonesia pada peringatan Hari Aksara Internasional ke-33 tanggal 12 September 1998 di Istana Negara, bahwa persoalan buta huruf bukan semata-mata persoalan teknis dalam kehidupan manusia, tetapi juga menyentuh hakikat yang lebih dalam lagi, yakni perlambang dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Upaya untuk mengatasi persoalan ini, telah ada
sejak berabad-abad yang lalu, yaitu melalui pengenalan aksara untuk mendalami
ajaran-ajaran agama, falsafah, sejarah, kesusastraan dan lain-lainnya. Kebudayaan
Hindu, Budha dan Islam telah memperkenalkan tradisi baca-tulis dalam masyarakat,
berbagai daerah, juga telah mengembangkan aksara mereka sendiri-sendiri, seperti
aksara Jawa, aksara Bugis-Makasar, aksara Lampung, aksara Aceh dan aksara
suku-suku lainnya. Sedangkan, pengenalan terhadap huruf latin bagi masyarakat yang masih buta huruf latin, telah dimulai sejak setelah kemerdekaan. Pada saat itu
penduduk yang melek huruf hanya sekitar 6 % saja dari jumlah penduduk secara
keseluruhan. Setelah masa kemerdekaan, realisasi pemberantasan buta huruf
merupakan tanggung jawab Jawatan Pendidikan Masarakat yang ada dibawah
Kementerian Pendidikan , Pengajaran dan Kebudayaan yang selanjutnya berubah
menjadi Direktorat Pendidikan Masyarakat dibawah Direktorat Jenderal Pendidikan
Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga Depdikbud. Pelaksanaan pemberantasan buta
huruf setelah beberapa tahun telah menampakkan hasil yang menggembirakan,
menurut Arif (1994: 2) menyatakan sebagai berikut:
jumlah buta hurufyang dalam tahun 1945 masih sebesar 94% telah
menurun menjadi 60,8 % dalam tahun 1961, kemudian menurut Suivey Penduduk Antar Sensus 1985 (SUPAS, 1985) jumlah buta huruf telah menurun menjadi 15,7%. Sementara itu hasil Sensus Penduduk Tahun 1990
bahwa jumlah penduduk yang masih buta huruf usia 7-14 tahun masih
sebanyak 8,5 juta.
Upaya pemberantasan buta huruf yang sedang dan masih akan terus dilakukan
secara berkesinambungan, terutama bagi kelompok-kelompok marginal baik di
daerah perkotaan maupun pedesaan telah mendorong pemerintah untuk melakukan
aksi konkrit, yaitu Program Kejar Paket A. Menurut Depdikbud yang bekerja sama
program kerja dan belajar dengan menggunakan Paket A sebagai sarana
belajar untuk mengejar ketinggalan dengan memperhitungkan penggunaan dan
pemanfaatan tenaga, biaya , waktu dan melaksanakan kegiatan atau aktifitas melalui
wadah kelompok belajar.
Paket A itu sendiri merupakan seperangkat bahan belajar yang berisikan aspek-aspek
kehidupan yang diperlukan oleh mereka yang buta huruf atau mereka yang putus
sekolah dasar, agar mereka mampu menjadi warga negara yang produktif dan
bertanggung jawab. Paket A tersebut dibuat dalam 100 booklet, setiap booklet diberi
nomor mulai 1 sampai dengan 100.
Selain itu , booklet-booklet Paket A juga
diperkaya dengan bahan-bahan belajar tambahan, seperti poster, permainan, foto
novela, kaset dsb. yang berisikan sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan tuntunan
sikap mental ke arah penumbuhan inovasi pembangunan. Tujuan pemberantasan buta
hurufdi Indonesia menurut Depdikbud (1993 :3) adalah sebagai berikut:
1. Memberi kemampuan kepada mereka yang buta hurufagar dapat membaca,
menulis, berhitung, bahasa Indonesia dan pengetahuan fungsional.
2. Menjadikan program pemberantasan buta huruf sebagai alat untuk
kegiatan-kegiatan pembangunan lebih lanjut.
3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan fungsional peserta didik.
Kegiatan pembelajaran dalam pemberantasan buta huruf diorganisir dalam
bentuk kelompok-kelompok belajar.
Jumlah anggota dalam kelompok belajar
sebanyak-banyaknya terdiri atas 10 orang. Namun demikian dalam kenyataannya,
jumlah anggota dalam kelompok belajar tersebut kadangkala melebihi 10 orang.
dan fasilitator secara ideal harus mampu menampilkan dirinya sebagai mitra warga
belajar di dalam mengatasi berbagai kendala yang mungkin timbul dalam proses
pembelajaran.
Kebijaksanaan operasional Mendikbud tahun 1994 khusus yang berkaitan
dengan butahuruf adalah dengan dilaksananakannya Gerakan Nasional
Pemberantasan Buta Huruf. Program-program untuk penuntasan penyandang buta
huruf ini telah lama dan banyak dilakukan seperti Program Kejar Paket A Program
PBH dan/atau Obama (Operasi Bhakti ABRI Manunggal Aksara).
Dari berbagai laporan, nampak jelas bahwa program keaksaraan seperti
tersebut di atas telah menunjukan keberhasilannya, hal tersebut terbukti dengan makin menurunnya jumlah penduduk yang buta huruf. Namun pada sisi lain muncul persoalan baru, diantaranya adalah : (1) bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kemampuan kemelek-hurufan yang telah mereka raih, (2) perlunya pemberdayaan setelah penduduk menjadi melek huruf. Disamping dua alasan di atas,
dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat ini, penyandang buta huruf
diperkirakan akan bertambah lagi. Sebab, saat ini, penduduk miskin di Indonesia
meningkat tajam, yang dengan sendirinya penduduk buta huruf-pun diperkirakan akan bertambah pula. Penyebab utama penambah buta huruf ini, menurut Mendikbud Prof. DR. Juwono Sudarsono adalah; anak usia sekolah yang tidak sekolah dan anak
putus sekolah dasar terutama putus kelas 1, 2, dan 3. Kemiskinan sebagai akibat
krisis ekonomi yang berkepanjangan, juga menjadikan jumlah buta huruf makin
10
tua akan memaksa anaknya untuk membantu orang tua mencari nafkah. Hal tersebut
membawa implikasi terhadap keberadaan program keaksaraan itu sendiri, artinya
konsep keaksaraan tidak hanya berarti terdiri atas kemampuan membaca, menulis dan
berhitung, melainkan harus meliputi pula kemampuan lain yaitu kemampuan untuk
menerapkan keterampilan tersebut di atas dalam kehidupan sehari-hari serta
kemampuan untuk bertahan hidup.Perkembangan program keaksaraan seperti
digambarkan diatas itu, pada saat ini dikenal dengan predikat
Keaksaraan
Fungsional.
Menurut beberapa studi yang pernah dilakukan, Kejar Paket A masih
memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan yang paling menonjol dari Program Kejar
Paket A menurut Joan Dixon (1995) terletak pada output kelompok sasaran yang
menjadi "buta" kembali. Selain hal di atas, pelaksanaan program Kejar Paket A
diduga ada kesalahan dalam pendataan kemampuan awal kelompok sasaran. Secara
ideal, melalui program keaksaraan fungsional, diharapkan warga belajar dapat
memilih menu pembelajaran yang diinginkan serta membentuk jaringan kerjasama
dengan pihak-pihak lain yang memang dibutuhkannya. Selain itu,
Program
Keaksaraan Fungsional juga tidak memerlukan seperangkat bahan belajar yang
dipersiapkan dari Pemerintah karena segala bahan belajarnya senantiasa disesuaikan
dengan kebutuhan dan minat warga belajar, sehingga dapat langsung dirasakan
manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari warga belajar dan dapat meningkatkan mutu
kehidupannya.
Program
Keaksaraan
Fungsional
sangat
penting
untuk
11
kemampuan keaksaraan fungsional masyarakat itu jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan kemampuan keaksaraan secara umum. Sebagai suatu contoh,
hasil studi yang dilakukan di Filipina (1989) menunjukkan bahwa tingkat keaksaraan
dasar di Filipina sebesar 89,80 %, sedangkan tingkat keaksaraan fungsional sebesar 73,2 %. Hasil studi tersebut di atas berarti bahwa tingkat kebutahurufan di negara
tersebut sebesar 10,2%, sedangkan tingkat kebutahurufan fungsionalnya lebih besar
lagi, yaitu 26,8 %. Dari data tersebut di atas, nampak jelas bahwa pelaksanaan program keaksaraan perlu terus diberdayakan sesempurna mungkin, agar warga belajar dan masyarakat pada umumnya semakin mau dan mampu membelajarkan dirinya, tanpa merasa diintervensi pihak lain. Berbagai strategi dan terobosan baru perlu terus diupayakan dalam program keaksaraan, baik yang menyangkut rekruitmen
calon warga belajar, fasilitator, tutor, nara sumber, maupun metode dan strategi
pembelajaran.
Program-program keaksaraan, hendaknya memiliki nilai guna yang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu upaya untuk mencoba agar
program-program keaksaraan tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,
adalah perlunya melakukan identifikasi kebutuhan belajar. Melalui kegiatan
identifikasi kebutuhan belajar, diharapkan akan tergali jenis-jenis kebutuhan belajar
aktual dari masyarakat yang bersangkutan. Dengan adanya identifikasi kebutuhan
belajar aktual, juga jelas akan memperlihatkan bahwa Program Keaksaraan itu,
munculnya benar-benar merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat, bukan
12
saja relatif bervariasi, dengan demikian berarti bahwa kebutuhan belajar pada
Program Keaksaraanpun relatif bervariasi pula. Makin mejemuk suatu masyarakat,
tentu akan makin majemuk pula kebutuhan belajarnya, dan sebaliknya.
Penentuan kebutuhan belajar yang ideal, tentu saja harus disesuaikan dengan
kebutuhan belajar masyarakat itu sendiri. Bila penentuan kebutuhan belajar tidak
mengakomodasi kebutuhan masyarakatnya, tentu saja masyarakat yang menjadi
warga belajar akan merasa asing dengan lingkungannya. Oleh karena itu penentuan
kebutuhan belajar yang berkiblat kepada warga belajar (learner centered) di dalam
Program Keaksaraan sangatlah penting, bahkan sangat menentukan kelanjutan
program itu sendiri.
B. Pembatasan Masalah
Setelah memperhatikan uraian di atas, nampak jelas bahwa fokus studi ini adalah keaksaraan fungsional. Untuk kepentingan studi, penelitian diidentifikasi dengan satu pertanyaan pokok, yaitu faktor-faktor apakah yang mempengaruhi performansi Pamong Belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar yang digunakan pada program keaksaraan fungsional di Kabupaten
Bandung dan Kabupaten Ciamis.. Identifikasi kebutuhan belajar itu pada dasarnya
menyangkut kesenjangan kemampuan diantara kemampuan yang telah dimiliki
dengan kemampuan yang dituntut atau dipersyaratkan. Strategi identifikasi kebutuhan
belajar sangat penting untuk ditentukan secara tepat, sebab bila salah dalam
komponen-13
komponen lainnya. Penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program
Keaksaraan Fungsional, tentu saja tidak lepas dari berbagai pengaruh komponen
dinamik yang dimiliki para pelaksananya.
Pelaksanaan program keaksaraan fungsional pada dasarnya merupakan suatu
sistem, yang tentu saja didalamnya melibatkan banyak komponen dinamis yang
saling terkait satu sama lain. Salah satu komponen yang akan menjadi fokus studi
dalam tesis ini adalah pelaksanaan strategi identifikasi kebutuhan belajar dilihat dari
berbagai latar belakang para pelaksana identifikasi. Secara ideal, strategi penentuan
kebutuhan belajar tentu saja harus memperhitungkan berbagai faktor lain, oleh karena
itu penentuan strategi kebutuhan belajar harus dipertimbangkan secara efektif dan
efisien, sebab bila tidak, sudah pasti akan mempengaruhi terhadap kelancaran
komponen-komponen lainnya.
Mengingat program keaksaraan fungsional itu
merupakan suatu sistem, maka sudah pasti bila ada salah satu sistem yang lemah,
maka akan mempengaruhi terhadap target yang sebelumnya telah ditetapkan secara
matang.
Kelompok sasaran utama yang akan diidentifikasi dalam studi ini adalah
Pamong Belajar SKB, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas yang pernah
mengikuti pelatihan program Keaksaraan Fungsional , yang dilaksanakan di SKB
Kabupaten Bandung dari tanggal 16 sampai dengan 24 Juni 1997 dan SKB
Kabupaten Ciamis dari tanggal 10 sampai 18 Juli 1997. Dalam pelatihan tersebut,
didalamnya diberikan satu materi pelatihan penting, yaitu cara mengidentifikasi
14
lainnya, yaitu cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar dengan menggunakan
teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Teknik PRA digunakan dalam penentuan
identifiksi kebutuhan belajar, karena teknik ini diduga akan lebih memungkinkan
dapat menjaring kebutuhan belajar aktual dengan partisipasi penuh dari calon warga belajar tersebut. Adapun pihak-pihak yang dilatih adalah 15 orang Pamong Belajar SKB, 12 orang Tenaga Lapangan Dikmas (TLD) orang, dan 8 orang Penilik Dikmas.
Kepada pihak-pihak yang telah dilatih itu dipandang perlu untuk dievaluasi, khususnya mengenai penerapan berbagai materi pelatihan dalam membentuk dan menyelenggarakan kelompok belajar. Dalam studi ini, secara khusus akan dilihat
mengenai penerapan cara identifikasi kebutuhan belajar dengan menggunakan teknik
PRA oleh pihak-pihak yang telah dilatih.
C. Rumusan Masalah
Untuk kepentingan studi, masalah di atas dibatasi ke dalam pertanyaan pokok,
yaitu "faktor-faktor apakah yang mempengaruhi performansi Pamong Belajar,
Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam melakukan identifikaksi
kebutuhan belajar calon warga belajar pada Program Keaksaraan Fungsional"?. Kebutuhan belajar bagi warga belajar perlu senantiasa diidentifikasi secara cermat,
agar program pembelajaran berlangsung secara efektif dan efisien. Kesalahan dalam
penentuan kebutuhan belajar bagi warga belajar dalam program keaksaraan
fungsional, tak mustahil akan mempengaruhi terhadap kelancaran realisasi program
15
subsistem pembelajaran PLS yang senantiasa harus mendapatkan prioritas utama. Apabila proses pembelajaran dalam PLS tidak sesuai dengan kebutuhan belajar, maka warga belajar tidak mau belajar. Dalam pembelajaran PLS, identifikasi kebutuhan belajar itu merupakan langkah pertama. Langkah pertama, dimaksudkan guna
menentukan kurikulum belajar, sedangkan langkah terakhir dimaksudkan guna
menentukan prioritas kebutuhan belajar berikutnya.
Untuk menentukan cara identifikasi kebutuhan belajar pada Program
Keaksaraan Fungsional yang ideal, diperlukan adanya ujicoba kepada calon khalayak
sasaran (warga belajar), dengan tetap memperhitungkan berbagai referensi latar
belakang khalayak sasaran tersebut.
Penentuan cara identifikasi kebutuhan belajar dari calon warga belajar pada
Program Keaksaraan Fungsional pada dasarnya merupakan suatu produk performansi
dari Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas. Sedangkan di
sisi lain, penentuan cara identifikasi itu juga merupakan suatu keputusan, yang tak
terlepas dari berbagai komponen dan latar belakang dinamik, seperti pengalaman
kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi. Jadi,
dalam studi ini keempat komponen di atas, dijadikan sebagai variabel bebas, yang
diduga akan mempengaruhi performansi Pamong Belajar, tenaga Lapangan Dikmas
maupun Penilik Dikmas dalam menentukan identifikasi kebutuhan belajar. Dasar
pertimbangan memasukkan keempat komponen di atas sebagai variabel bebas dalam
16
1. Ada kecenderungan harapan bahwa semakin tinggi pengalaman kerja seseorang, diharapkan akan mampu meningkatkan kinerjanya.
2. Semakin tinggi frekuensi pelatihan program-program PLS, khususnya dalam
Program Keaksaraan Fungsional, diharapkan akan makin memperkaya wawasan
pengetahuan dan keterampilan peserta pelatihan dalam mengidentifikasi
kebutuhan belajar.
3. Semakin dekat rentang waktu pelatihan dengan pembentukkan kelompok belajar
diharapkan akan makin baik dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar,
mengingat pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh dalam pelatihan
relatif masih segar.
4. Motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan, baik yang berasal dari dalam
maupun luar yang akan memberikan kekuatan di dalam melaksanakan suatu
kegiatan agar mencapai prestasi yang maksimal.
Dengan demikian berarti
diharapkan semakin tinggi motivasi berprestasi seseorang, maka kinerjanyapun
akan semakin baik pula.
Untuk kepentingan penelitian ini, pertanyaan di atas diturunkan lagi kedalam
beberapa pertanyaan penelitian operasional, yaitu sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan fungsional
antara pengalaman kerja dengan
performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan
17
2. Apakah terdapat hubungan fungsional antara frekuensi pelatihan dengan
performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan
Fungsional ?
3. Apakah terdapat hubungan fungsional antara rentang waktu pelatihan dengan performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan
Fungsional ?
4. Apakah terdapat hubungan fungsional antara motivasi dengan performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional ?
5. Apakah faktor pengalaman kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu pelatihan,
dan motivasi berprestasi memiliki hubungan fungsional dengan performansi
penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional ?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada uraian di atas, studi ini pada dasarnya bertujuan untuk
mengungkap hal-hal berikut, yaitu :
1. Mengkaji hubungan fungsional antara pengalaman kerja dengan performansi
penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional.
2. Mengkaji hubungan fungsional antara frekwensi pelatihan dengan performansi
penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional.
3. Mengkaji hubungan fiingsional antara rentang waktu pelatihan dengan
performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan
18
4. Mengkaji hubungan fungsional antara motivasi berprestasi dengan performansi
penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional.
5. Mengkaji hubungan fungsional antara pengalaman kerja, frekuensi pelatihan,
rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi dengan performansi penentuan
identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional
E. Hipotesis
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, pada bagian ini akan dikemukakan
hipotesis. Hipotesis yang dimaksudkan di atas adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan fungsional antara pengalaman kerja dengan performansi
Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas (TLD) dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional. 2. Terdapat hubungan fungsional antara frekuensi pelatihan PLS dengan
performansi Pamong Belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan
identifikasi kebutuhan belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional.
3. Terdapat hubungan fungsional antara rentang waktu pelatihan dengan performansi Pamong Belajar TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan
identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional
4. Terdapat hubungan fungsional antara motivasi berprestasi dengan performansi
Pamong belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi
19
5. Terdapat hubungan fungsional secara bersama-sama antara pengalaman kerja,
frekuensi pelatihan, rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi terhadap
performansi Pamong Belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan
identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional.
F. Definisi Operasional
Setelah memperhatikan hipotesis di atas, baik pada latar belakang, perumusan
masalah, maupun jenis data yang diharapkan akan terkumpul, nampak jelas bahwa
dalam studi ini terdapat empat subtopik utama, yaitu :
1. Identifikasi kebutuhan belajar
2. Program Keaksaraan Fungsional
3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi performansi Pamong Belajar, TLD dan
Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, dan
4. Performansi
Keempat subtopik tersebut, perlu diberikan pengertian dan parameter yang jelas dalam bentuk definisi operasional, dengan harapan supaya tidak menimbulkan salah
penafsiran dan kesesatan dalam pelaksanaan penelitian.
20
:168), kebutuhan belajar diartikan sebagai suatu jarak antara tingkat pengetahuan,
keterampilan dan/atau sikap yang dimiliki dengan tingkat pengetahuan, keterampilan
dan atau sikap yang ingin diperoleh seseorang, kelompok, lembaga dan atau masyarakat yang dapat dicapai melalui kegiatan belajar.
Kebutuhan belajar pada dasarnya dapat dibagi atas dua kategori utama, yaitu :
1. Kebutuhan terasa, yakni kebutuhan yang segera dapat dirasakan dan diketahui
langsung oleh masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, misalnya
bagaimana caranya meningkatkan pendapatan, bagaimana mempromosikan
barang produksi dan bagaimana pula caranya mendidik anak yang efektif
2. Kebutuhan terduga, yaitu kebutuhan yang tidak dirasakan dan diketahui langsung
oleh sasaran tetapi diduga dan dikehendaki oleh orang lain, misalnya oleh tokoh
masyarakat, kebijaksanaan pemerintah, baik secara lokal, regional maupun
internasional, misalnya seperti pemberantasan buta huruf, gerakan keluarga
berencana, penggunaan bahasa nasional dan meningkatkan penggunaan
produk-produk nasional.
Sedangkan Bradshaw dalam Djudju Sudjana (1991 : 137) menyatakan bahwa
kebutuhan belajar itu dapat diklasifikasikan kedalam empat tipe, yaitu kebutuhan
normatif (normative need), kebutuhan terasa (felt need), kebutuhan yang dinyatakan
(expressed need) dan kebutuhan bandingan (comparative need).
Kebutuhan belajar masyarakat perlu senantiasa diinventarisasi. Hal tersebut
dimaksudkan agar program-program yang ditawarkan kepada masyarakat benar-benar
21
yang digulirkan Mendikbud RI pada akhir-akhir ini merupakan suatu terobosan agar
program-program pendidikan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Terjadinya
kesalahan dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, tentu saja akan menyesatkan
warga belajar. Oleh karena itu, bila dunia pendidikan kita ingin tetap eksis di
tengah-tengah lingkungan masyarakatnya, maka identifikasi kebutuhan belajar merupakan
suatu tuntutan mutlak.
Konsep kedua dari studi ini adalah keaksaraan fungsional. Jauh sebelum dikenal istilah keaksaraan fungsional, sebelumnya telah diperkenalkan konsep
keaksaraan. Keaksaraan (literacy) menurut UNESCO seperti halnya dikutip Arif (1994 : 17) adalah kemampuan yang dicapai seseorang dalam hal menulis, berhitung dan membaca sederhana dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan keaksaraan
fungsional (functional literacy) adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan
kecakapan keaksaraannya secara efektif dan fungsional dalam kehidupannya
sehari-hari dalam kelompoknya serta memungkinkan dia menggunakan kecakapan membaca, menulis dan berhitung itu untuk pembangunan masyarakatnya. Sedangkan
menurut UNESCO dan UNDP seperti halnya dikutip Arif (1994 : 18) disebutkan
bahwa keaksaraan fungsional itu :
merupakan suatu kemampuan pengetahuan umum yang bersifat dasar dan
kemampuan dalam bekerja, meningkatkan produktifitas, meningkatkan partisipasi
dalam
kehidupan
bernegara serta
pemahaman
yang
lebih
baik
terhadap
22
Masih berkaitan dengan konsep keaksaraan fungsional, lebih jauh Hartley (1989) seperti halnya dikutip Arif (1994 : 19) mengatakan bahwa :
keaksaraan fungsional merupakan integrasi dari aspek-aspek kemampuan mendengar, berbicara, membaca, menulis, berfikir kritis dan berhitung. Hal tersebut meliputi pula pengetahuan budaya yang memungkinkan pembicara, penulis atau pembaca mengakui dan menggunakan bahasa yang memadai
untuk situasi yang berbeda
Bagi masyarakat yang sudah maju keaksaraan fungsional tersebut akan
memungkinkan seseorang individu menggunakan bahasa untuk meningkatkan
kapasitasnya untuk berpikir kritis, mengemukakan pertanyaan dan pendapat, serta
memberikan nilai tambah pengetahuan agar mereka eksis di tengah-tengah
masyarakatnya.
Konsep ketiga dari topik di atas adalah faktor-faktor yang mempengaruhi performansi Pamong Belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar Seperti telah dikatakan sebelumnya, bahwa cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar pada dasarnya merupakan produk dari serangkaian proses yang melibatkan berbagai komponen dan atau faktor. Faktor-faktor yang diduga akan mempengaruhi performansi Pamong belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar itu, diantaranya adalah sebagai berikut : Pengalaman kerja, Frekuensi Pelatihan, Rentang waktu pelatihan dan
Motivasi berprestasi.
Untuk kepentingan penelitian, keempat faktor yang diduga akan
23
jelas dan terukur (measurable). Pengalaman kerja adalah rentangan waktu dan atau
riwayat pekerjaan bagi Pamong Belajar SKB, TLD dan Penilik Dikmas
berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, baik di lingkungan pendidikan
luar sekolah maupun pendidikan sekolah. Pengalaman kerja ini, parameter yang
digunakannya adalah tahun dan lamanya bekerja.
Pelatihan menurut Flippo sebagaimana dikutip Hufad (1996 : 9) adalah pelatihan pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kecakapan agar karyawan dapat mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Sedangkan lebihjauh menurut Inpres No. 15 tahun 1974, sebagaimana dikutip Hufad (1996 : 10) mengatakan bahwa pelatihan adalah sebagai berikut :
pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan biasa dalam waktu yang berlangsung singkat dengan metode yang mengutamakan praktek dari pada teori. Pelatihan pegawai adalah sebagian dari pendidikan yang dilakukan pegawai untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan
persyaratan pekerjaan tersebut.
Sedangkan rentang waktu pelatihan adalah jarak atau rentangan antara pelatihan dengan pembentukkan kelompok belajar.
Motivasi menurut Sutaryat (1984 : 156) dikemukakannya sebagai berikut : motivasi
sering pula disebut sebagai dinamika perilaku. Motivasi sebagai dinamika perilaku
tidak banyak berurusan dengan apa yang diperbuat, juga tidak dengan bagaimana apa yang diperbuat itu diselesaikan, akan tetapi dengan mengapa seseorang individu
24
dasarnya merupakan hasil dari organisasi fisiologik dan kegiatan kerja sistem syaraf
sentral individu.
Sedangkan menurut Staton sebagaimana dikutip Farihah (1992 : 40) mengatakan bahwa motivasi merupakan unsur yang paling penting dalam belajar yang efisien, karena seseorang akan berhasil jika ia memiliki motivasi untuk belajar. Lebih jauh Richard M. Steers, sebagaimana dikutip Farihah (1992 : 40) juga mengatakan bahwa "the term motivation was originally drived from the Latin word movere, wich means to move". Menurut studi yang dilakukan Richard M Steers di atas, bila kita akan membicarakan motivasi ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu (1) what energizes human behaviour, (2) what directs or channels such behaviour and, (3) how this behaviour is maintained or sustained.
Adanya kecenderungan untuk melakukan sesuatu tindakan pada dasarnya tak
akan lepas dari motivasi. Berkaitan dengan hal tersebut, McClelland mengemukakan
ada tiga hal yang mempengaruhi motivasi seseorang, yaitu : (1) Kebutuhan untuk
memperoleh kekuasaan (need for power), (2) Kebutuhan untuk berprestasi (need for
achievement), dan (3) Kebutuhan untuk bergabung (need for affiliation). Konsep
David McClelland yang diistilahkannya dengan "N-Ach" (need for achievement)
tersebut merupakan naluri yang mengakibatkan seseorang ingin berprestasi dengan
jalan kerja keras. Lebih lanjut McClelland sebagaimana dikutip Farihah (1992 : 42)
menyatakan bahwa individu yang memiliki motif berprestasi tinggi memiliki
25
1. Menyukai pekerjaan yang menuntut kemampuan dan usaha dari dalam diri
sendiri
2. Memiliki antisipasi yang baik terhadap aktifitas yang akan dilakukan, dalam arti apakah ia memiliki kemampuan atau tidak untuk melakukan
sesuatu aktifitas.
3. Selalu ingin mengetahui hasil dari usaha yang telah dilakukannya.
Imbalan material adalah suatu penghargaan dalam bentuk materi yang diberikan
kepada seseorang dan atau sekelompok setelah melakukan suatu pekerjaan/aktivitas
tertentu. Besar kecilnya imbalan material, tentu saja akan memberikan dampak bagi individu, baik secara psikologis maupun non psikologis. Dalam studi ini, imbalan
material yang dimaksudkan di atas berupa besar kecilnya uang lelah/honorarium
yang diterima, baik oleh Pamong Belajar, TLD maupun Penilik Dikmas setelah
melakukan suatu kegiatan profesinya. Imbalan material dalam studi ini, dimasukkan
kedalam ranah motivasi
Konsep terakhir yang perlu mendapat penjelasan lebih jauh adalah
performansi. Menurut Kamus Umum bahasa Indonesia yang ditulis Poerwadarminta,
Performansi berasal dari kata perform, diartikan melakukan dan atau
menyelenggarakan. Sedangkan performansi, lebih jauh diartikan sebagai pelaksanaan
dan atau penyelenggaraan tugas dan kewajiban dari seseorang dan atau kelompok
26
diidentikkan dengan prestasi kerja. Lebih jauh mengenai hal itu, masih menurut
Bedjo Siswanto (1989 : 195), dikemukakannya sebagai berikut:
Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang tenaga kerja dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan yang dibebankannya kepadanya. Pada
umumnya prestasi kerja seseorang dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan,
pengalaman dan kesungguhan dari tenaga kerja yang bersangkutan.
Sedangkan yang dimaksud dengan tenaga kerja (man power) adalah sekelompok penduduk yang berusia kerja. Di Indonesia kelompok usia kerja
itu adalah penduduk berusia 10 tahun keatas.
Mengacu kepada definisi operasional di atas, nampak jelas bahwa studi ini pada dasarnya akan mencoba mengkaji cara-cara dan atau teknik mengindentifikasi kebutuhan belajar dengan teknik PRA pada Program Keaksaraan Fungsional. khususnya pada kasus Program Keaksaraan Fungsional yang diselenggarakan di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Ciamis.
G. Kegunaan Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang, perumusan masalah, definisi operasional dan
tujuan penelitian di atas, akhir dari studi ini diharapkan akan memiliki nilai guna,
baik bagi pengembangan keilmuan Pendidikan Luar Sekolah maupun bagi
kepentingan praktis di lapangan.
Kegunaan hasil penelitian ini bagi pengembangan keilmuan adalah memberikan masukan dalam pengembangan konsep belajar membelajarkan, terutama
dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar aktual melalui pendekatan PRA
27
sebagai salah satu pedoman dalam pengelolaan program-program PLS, baik bagi para
perencana maupun juga bagi para praktisi di lapangan.
H. Sistematika Pembahasan
Tesis ini pada dasarnya akan dibagi ke dalam 5 bagian. Kelima bagian yang
dimaksudkan di atas adalah sebagai berikut:
Bagian kesatu, berisi Bab I, didalamnya dibahas mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi operasional
serta sistematika pelaporan.
Bagian kedua, berisi Bab II, didalamnya dibahas mengenai tinjauan konseptual dan teori-teori pendidikan luar sekolah serta keaksaraan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Selain itu, pada Bab II juga akan dicoba diungkap beberapa hasil studi yang pernah dilakukan, terutama yang berkaitan
dengan pelaksanaan program keaksaraan.
Bagian ketiga, berisi Bab III, didalamnya dibahas mengenai metodologi
penelitian yang akan digunakan, desain penelitian, pengembangan instrumen, maupun
penentuan subyek penelitian yang akan diminta datanya.
Bagian keempat, berisi Bab IV, didalamnya dikemukakan mengenai data hasil
28
Bagian kelima, berisi Bab V, didalamnya dikemukakan mengenai intisari dan
^DIKAA/.
fug
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Obyek Penelitian
Populasi dari penelitian ini terdiri atas seluruh peserta pelatihan Keaksaraan
Fungsional, yang tersebar di dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung dan
Kabupaten Ciamis. Jumlah peserta yang telah dilatih sebanyak 60 orang, yang terdiri
atas 30 orang dari Kabupaten Bandung dan 30 orang dari Kabupaten Ciamis. Para
peserta pelatihan terdiri atas Pamong Belajar SKB, Tenaga lapangan Dikmas dan
Penilik Dikmas. Dari jumlah populasi tersebut di atas, untuk kepentingan penelitian
diambil sampel sebanyak 35 orang dengan teknik acak. Dari sampel penelitian
sebanyak 35 orang, tersebar atas 15 orang Pamong Belajar, 12 orang TLD dan 8
orang Penilik Dikmas.
Seperti halnya telah disinggung pada bagian awal dari Bab III ini, lokasi
penelitiannyapun dilakukan di dua daerah, yaitu di Kabupaten Bandung dan
Kabupaten Ciamis. Penelitian di Kabupaten Bandung dilakukan selama 41 hari, yaitu
mulai tanggal 10 juli sampai dengan 20 Agustus 1998. Sedangkan di Kabupaten
Ciamis, dilakukan selama sembilan hari, yaitu mulai tanggal 23 sampai dengan
tanggal 31 Agustus 1998. Dalam proses pengumpulan datanya, penulis dibantu oleh
beberapa staflapangan dari SKB Kabupaten Bandung dan Kabupaten Ciamis.
92
Para peserta pelatihan Program Keaksaraan Fungsional dibagi berdasarkan
jabatan, dan asal utusan. Berdasarkan jabatannya, terdiri atas tiga kelompok, yaitu
Pamong Belajar SKB, Penilik Dikmas dan Tenaga lapangan Dikmas.
Data selengkapnya mengenai peserta pelatihan yang dijadikan sampel dalam studi ini,
dapat disimak pada tabel yang dicantumkan sebagai lampiran tesis ini
B. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data.
/. Metode Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang masalah dan tujuan serta manfaat penelitian
yang diharapkan, metode penelitian yang cocok digunakan pada studi ini adalah metode deskriptif. Alasan penggunaan metode penelitian deskriptif adalah bahwa
penulis ingin mengetahui hal-hal yang terjadi secara aktual di lapangan. Dalam
metode penelitian deskriptif ir.i digunakan pula pendekatan kuantitatif. Berkaitan dengan penggunaan metode deskriptif lebih jauh Rusidi (1985 : 23) menyatakan
bahwa:
penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan membuat fakta-fakta dan sifat-sifat suatu populasi dalam daerah tertentu secara sistematis, faktual dan teliti,
variabel-variabel yang diteliti ditentukan secara terbatas berdasarkan populasi dan
sampel yang telah ditentukan sebelumnya
93
3) menyodorkan perbandingan-perbandingan, dan 4) menganalisa masalah-masalah
tersebut.
Alasan yang mendasari penggunaan pendekatan kuantitatif dalam studi adalah
(1) studi ini akan mencoba membuktikan (penolakan dan atau penerimaan) hipotesis
penelitian/hipotesis kerja/hipotesis altematif sebagaimana telah diajukan sebelumnya
pada bagian terdahulu, dan (2) hasil penelitiannya diharapkan dapat digeneralisir
untuk kasus lain yang serupa dalam lingkup yang lebih besar. Selain itu, melalui
penggunaan metode penelitian di atas, diharapkan agar dapat menggambarkan
gejala-gejala yang ada pada saat sekarang dan meramalkan perilaku yang akan diterapkan
pada masa yang akan datang.
Seperti halnya dikemukakan Abdulrahman Ritonga (1990 : 121), yang
mengatakan bahwa metode penelitian deskriptif pada hakekatnya berdasarkan
lekanan analisanya dapat dibedakan atas dua macam, yaitu : (1) deskriptif
korelasional dan (2) deskriptif komparatif. Dalam studi ini, digunakan metoda
penelitian
deskriptif korelasional. Metode penelitian deskriptif korelasional
dilakukan untuk menelaah sejauh mana faktor-faktor yang berkaitan dengan proses
identifikasi kebutuhan belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional dapat
mempengaruhi performansi Pamong Belajar SKB, TLD dan Penilik Dikmas. Hal ini
berarti bahwa metode deskriptif korelasional, dilakukan guna melihat ada tidaknya
hubungan fungsional antara pengalaman kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu
pelatihan dan motivasi berprestasi dengan performansi
penentuan identifikasi
94
Selain dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, pada studi ini juga akan
menggunakan pendekatan kualitatif Pendekatan kualitatif ditujukan guna
melengkapi data yang telah diperoleh melalui pendekatan kuantitatif. Pendekatan
kualitatif juga dimaksudkan guna mengecek data mengenai identifikasi kebutuhan
belajar yang telah diperoleh melalui pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif
ditujukan kepada pihak-pihak lain di luar Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas
dan Penilik Dikmas. Pihak-pihak lain yang dimaksudkan di atas, diantararanya adalah
Warga Belajar, Tutor, dan beberapa tokoh masyarakat di Kabupaten Bandung dan di
Kabupaten Ciamis, baik formal maupun informal.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam studi ini pada dasarnya
terdiri atas penyebaran angket, observasi dan studi dokumentasi. Teknik angket
digunakan guna memperoleh informasi mengenai proses penentuan identifikasi
kebutuhan belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional yang telah dilakukan oleh
Pamong Belajar, Tenaga lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas. Materi angket
pada dasarnya terdiri atas dua bagian utama, yaitu latar belakang/karaktenstik
responden dan seluk beluk proses identifikasi kebutuhan belajar dari calon warga
belajar.
Observasi dilakukan guna melengkapi data yang telah berhasil diraih dan
tehnik wawancara. Teknik wawancara yang dilakukan berupa wawancara informal.
dengan yang diteliti diasumsikan berada pada level yang sama. Selai
wawancara informal, dilihat dari sifatnya, wawancara ini juga berbentuk "ln^,
interview". Indepth interview dimaksudkan guna memperoleh data dan atau informasi
secara mendalam (grounded). Topik angket adalah berupa pelaksanaan identifikasi
penentuan kebutuhan belajar bagi calon warga belajar dalam Program Keaksaraan
Fungsional. Pihak-pihak yang diharapkan dapat mengisi angket yang telah disiapkan
adalah mereka yang telah mengikuti Pelatihan Keaksaraan Fungsional, seperti
Pamong Belajar Sanggar Kegiatan Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik
Dikmas.
Berkaitan dengan penggunaan tehnik pengumpulan data melalui angket dan
wawancara, Sutaryat (1984 : 317) mengemukakan sebagai berikut:
Kuesioner dan wawancara dapat dipergunakan oleh setiap peneliti untuk
memperoleh data secara langsung dari responden, yaitu dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepadanya. Data dan atau informasi yang diperoleh
bisa berupa apa yang diketahui oleh responden, apa yang disukai atau tidak
disukainya, apa yang dirasakan atau dipikirkannya, apa yang diingini atau
dibutuhkannya.
Selain teknik angket dan observasi, dalam studi ini juga digunakan teknik
dokumentasi. Studi dokumentasi dilakukan terhadap berbagai hasil studi yang
berkaitan dengan Program Keaksaraan dan berbagai hasil laporan, terutama dari
sumber-sumber yang relevan d mgan topik pembahasan. Dilihat dari sifat sumbernya,
studi dokumentasi ini berasal dari sumber formal maupun informal. Contoh sumber
formal adalah dari berbagai instansi/lembaga terkait, seperti Direktorat Dikmas Ditjen
Diklusepora di Jakarta, dan Bidang Dikmas, Seksi Dikmas, Balai Pengembangan
96
Kegiatan Belajar serta Sanggar Kegiatan Belajar, yang berada di Iingkungan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Berkaitan dengan
studi dokumentasi, Guba dan Lincoln (1981 : 232) mengemukakan beberapa alasan
pentingnya studi dokumentasi dalam suatu riset, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sumbernya relatif stabil,
2. Bisa menjadi bukti suatu pengujian, 3. Sifatnya alamiah,
4. Murah dan mudah diperoleh, dan
5. Memberi kesempatan untuk lebih memperluas tubuh pengetahuan dan
permasalahan yang sedang diamati.
Data yang diharapkan dapat terkumpul dari teknik dokumentasi ini adalah
mengenai sejarah dan perkembangan pentingnya Program Keaksaraaan Fungsional.
Selain kedua teknik penelitian di atas, dalam studi ini juga akan dilakukan
eksperimentasi terhadap identifikasi penentuan kebutuhan belajar bagi calon warga
belajar pada Program Keaksaraan Fungsional. Studi eksperimentasi ini dimaksudkan
guna memperoleh gambaran nyata dan data empirik dari pelaksanaan identifikasi
kebutuhan belajar. Melalui studi eksperimentasi diharapkan akan diperoleh temuan
aktual mengenai faktor-faktor pendukung dan sekaligus penghambat pelaksanaan
identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional. Faktor-faktor
pendukung dan penghambat tersebut sangat penting untuk dideteksi dan digunakan
pada kegiatan serupa di mai,a yxng akan datang mengingat data yang terjaring telah
97
C. Desain Penelitian
Seperti telah dibahas pada Bab I, studi ini pada dasarnya menggunakan
metode deskriptif korelatif. Metode deskriptif korelatif, dimaksudkan guna melihat
kecenderungan hubungan antara pengalaman kerja, frekwensi pelatihan, rentang
waktu pembentukan kelompok belajar dengan pelatihan terhadap penentuan
identifikasi kebutuhan belajar pada program Keaksaraan Fungsional dengan
menggunakan teknik PRA. Jadi, selain untuk melihat kecenderungan keragaman dari
para petugas Program Keaksaraan Fungsional dalam mengidentifikasi kebutuhan
belajar, melalui studi ini juga diharapkan akan teriihat kecenderungan dan pola
hubungan fungsional antara pengalaman kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu
pelatihan dengan performansi identifikasi kebutuhan belajar. Secara ringkas, untuk
kepentingan penelitian, semua pola hubungan dalam studi ini dapat digambarkan
[image:48.595.50.490.249.763.2]sebagai berikut:
Gambar 3 : Pola Hubungan Antar Variabel Penelitian
98
Keterangan :
X| = Pengalaman kerja
X2 = Frekuensi pelatihan
Xi = Rentang waktu pelatihan
X4 = Motivasi berprestasi
Y = Penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada program Keaksaraan
Fungsional dengan teknik PRA
D. Pengembangan Instrumen
/. Iariabel Penelitian
Instrumen pengumpul data dilakukan dengan maksud untuk mengungkap kejelasan dari variabel-variabel penelitian. Instrumen yang digunakan dalam studi ini adalah berupa angket. Berkaitan dengan penggunaan instrumen penelitian di atas, Sutaryat Trisnamansyah (1984 : 319) lebih jauh menjelaskan bahwa : kuesioner dan wawancara dapat digunakan oleh setiap peneliti untuk memperoleh data secara langsung dari responden, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepadanya. Data atau informasi yang diperoleh dapat berupa apa yang disukai, apa yang diketahui dan atau data yang tidak disukainya.
Selain itu, kuesioner dan wawancara dapat pula dilakukan oleh para peneliti dengan maksud untuk mengungkap data mengenai perilaku dan berbagai pengalaman
yang telah dialami responden. Hal tersebut berarti bahwa kuesioner dapat
mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan nilai, pengetahuan, sikap, keyakinan dan
99
dalam penyusunan alat pengumpul data yang menggunakan kuesioner dan wawancara hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) pertanyaan fakta konkrit mengenai diri pribadi responden, 2) pertanyaan yang dimaksudkan untuk memperoleh
keyakinan tentang fakta tersebut, 3) pertanyaan mengenai sikap/pendapat dan
perasaan responden terhadap suatu peristiwa, 4) pertanyaan untuk mengungkap
perilaku sekarang dan masa lalu, 5) pertanyaan yang mencoba mengetahui persepsi
dari responden mengenai diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.
Sesuai dengan variabel penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I,
instrumen pengumpul data pada studi ini berdasarkan sifat datanya terbagi atas dua
macam, yaitu data primer dan skunder. Data primer, merupakan data yang langsung
diperoleh dari responden itu sendiri melalui penyebaran angket dan wawancara.
Pengembangan instrumen pengumpul data yang berupa angket, terutama
dimaksudkan guna mengungkap data mengenai variabel-variabel penelitian yang
telah diajukan sebelumnya Seperti halnya telah dibahas pada bab sebelumnya, studi
ini pada dasarnya terdiri atas lima variabel utama, yaitu performansi identifikasi
kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional, pengalaman kerja, frekuensi
pelatihan, rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi.
a. Identifikasi Kebutuhan BelajarpadaProgram Keaksaraan Fungsional
Identifikasi kebutuhan belajar pada dasarnya merupakan suatu upaya
100
calon warga belajar sebelum memulai aksi pembelajaran. Penentuan identifikasi sangat penting untuk dilakukan, sebab bila salah dalam menentukan, tak teilutup kemungkinan akan mempengaruhi komponen-komponen lain, bahkan kegagalan dalam program itu sendiri. Khusus dalam Program Keaksaraan Fungsional, model
identifikasi kebutuhan belajar menggunakan teknik PRA. Teknik PRA adalah suatu
pendekatan dari kumpulan teknik untuk memberdayakan masyarakat dalam
menganalisis, mengembangkan dan berbagi pengetahuan mengenai kehidupan
setempat, keadaan sumberdaya untuk berencana dan bertindak dengan lebih baik.
Khusus dalam Program Keaksaraan Fungsional, identifikasi kebutuhan belajar dengan menggunakan model PRA digunakan tiga jenis teknik, yaitu teknik tabel, peta
dan garis waktu. Karakteristik dan indikator dari performansi penentuan identifikasi
kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional dengan model PRA itu
adalah sebagai berikut :
Ciri pertama : Memiliki sifat hubungan kemanusiaan yang persuasif
Indikator :
1. Memiliki perasaan senang berkomunikasi dengan anggota masyarakat lain
2. Mudah mengenai dan bergaul dengan orang lain serta terbuka
Ciri Kedua : Memiliki sifat yang sabar, rendah hati dan mau mengakomodasikan
101
Indikator:
1. Menempatkan calon warga belajar sebagai subyek utama pembelajaran
2. Memiliki keinginan untuk mengungkap dan menggali potensi diri dan
lingkungannya
Ciri Ketiga : Memiliki sifat yang mengutamakan prospek
Indikator:
1. Memiliki keinginan untuk mengaplikasikan ilmunya di masa datang
2. Menempatkan Iingkungan tempat tinggal calon warga belajar sebagai sumber dan obyek yang harus dikembangkan
Variabel penentuan identifikasi kebutuhan belajar dengan teknik PRA ini dituangkan
dalam 22 item.
b. Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja merupakan gambaran ringkas dari pengalaman para Pamong Belajar, Tenaga lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas di Iingkungan profesinya. Pengalaman kerja dihipotesiskan akan memiliki hubungan dengan
berbagai kecenderungan perilaku, termasuk didalamnya dengan performansi
penentuan identifikasi kebutuhan belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional.
Karakteristik dan indikator dari pengalaman kerja dapat dilihat dari lamanya bekerja
102
c. Frekuensi Pelatihan
Frekuensi pelatihan merupakan suatu variabel lain yang juga dicoba diungkap
melalui studi ini. Frekuensi pelatihan yang dimaksudkan dalam studi ini adalah
banyaknya jenis pelatihan Pendidikan Luar Sekolah yang pernah diikuti oleh Pamong
Belajar, Tenaga lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas dalam kurun waktu tiga
tahun terakhir. Karakteristik dan indikator dari frekuensi pelatihan dapat diperhatikan
dari banyaknya pelatihan yang pernah diikutinya serta jenis pelatihan selama 3 tahun
terakhir. Indikator dari frekuensi pelatihan ini pada dasarnya terdiri atas dua jenis,
yaitu sering dan jarang. Seorang responden bisa dikategorikan sering apabila telah
mengikuti pelatihan selama tiga tahun terakhir antara minimal lima kali, dan
sebaliknya bila kurang dari lima kali dikategorikan kurang. Variabel frekuensi
pelatihan dituangkan dalam 3 item.
d. Rentang Waktu Pelatihan
Sedangkan yang dimaksud dengan rentang waktu pelatihan adalah jarak
waktu pelatihan dengan pembentukkan kelompok belajar Keaksaraan Fungsional.
Secara ideal, diharapkan para Pamong Belajar Sanggar Kegiatan Belajar, Tenaga
lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas, setelah mengikuti pelatihan Keaksaraan
Fungsional itu harus segera memb