• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN YANG MEMPENGARUHI PERFORMANSI PAMONG BELAJAR, TENAGA LAPANGAN DIKMAS DAN PENILIK DIKMAS DALAM PENENTUAN IDENTIFIKASI KEBUTUHAN BELAJAR PADA PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL: Studi terhadap Identifikasi Kebutuhan Belajar dengan teknik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN YANG MEMPENGARUHI PERFORMANSI PAMONG BELAJAR, TENAGA LAPANGAN DIKMAS DAN PENILIK DIKMAS DALAM PENENTUAN IDENTIFIKASI KEBUTUHAN BELAJAR PADA PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL: Studi terhadap Identifikasi Kebutuhan Belajar dengan teknik"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN

YANG MEMPENGARUHI PERFORMANSIPAMONG

BELAJAR,TENAGA LAPANGAN DIKMAS DAN PENILIK DIKMAS DALAM PENENTUAN IDENTIFIKASI KEBUTUHAN BELAJAR

PADA PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL

(Studi terhadap Identifikasi Kebutuhan Belajar dengan teknik PRA pada Program KeaksaraanFungsionaldi Kabupaten Bandung dan Ciamis)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan dalam Program Pendidikan Luar Sekolah

Oleh:

Merry Mariam

NIM : 959687

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT KEGURUAN DAN DLMU PENDIDIKAN BANDUNG

(2)

LEMBAR PENGESAHAN TESIS OLEH PEMBflvtBING

Prof. DR. H. Djudju Sudjana, M.Ed.

(3)

"JAUHILAH OLEHMU KEDENGKIAN,

KARENA KEDENGKIAN ITU AKAN MEMAKAN SEMUA KEBAIKAN,

SEPERTI API MEMAKAN KAYU BAKAR'

(4)

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN YANG MEMPENGARUHI PERFORMANSI PAMONG BELAJAR, TENAGA LAPANGAN DIKMAS

DAN PENILIK DIKMAS DALAM PENENTUAN IDENTIFIKASI

KEBUTUHAN BELAJAR PADA PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL ( Studi terhadap identifikasi kebutuhan belajar dengan teknik PRA pada

Program Keaksaraan Fungsional di Kabupaten Bandung dan Ciamis)

Program Keaksaraan Fungsional merupakan suatu pendekatan dan atau cara untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam menguasai dan menggunakan ketrampilan membaca, menulis, berhitung, mengamati dan menganalisis, yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada di Iingkungan sekitarnya. Program Keaksaraan Fungsional, bila dibandingkan dengan program-program keaksaraan sebelumnya (PaketA, Kejar PBH, dan Paket A Obama), memiliki karakteristik yang relatif berbeda, yaitu bersifat fungsional, kontekstual dan

dinamis.

Khusus dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, pada program Keaksaraan Fungsional dilakukan dengan teknik khusus, yaitu Participatory Rural Appraisal. Teknik PRA merupakan suatu pendekatan dari kumpulan teknik untuk memberdayakan masyarakat dalam menganalisa, mengembangkan dan berbagi pengetahuan mengenai kehidupan setempat, keadaan sumber dayanya untuk berencana dan bertindak dengan lebih baik. Dalam realitasnya, mekanisme penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional, tentu saja tidak

lepas dari pengaruh berbagai faktor. Studi ini akan berusaha untuk mengungkap sejumlah variabel yang dapat mempengaruhi performansi penentuan identifikasi

kebutuhan belajar, baik yang dilakukan oleh Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas.

Untuk kepentingan penelitian, pada studi ini diajukan hipotesis utama, yaitu

"terdapat hubungan fungsional antara pengalaman kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi dengan performansi Pamong Belajar SKB,

Tenaga Lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi

kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional".

Berdasarkan hal-hal di atas, dalam studi ini diajukan hipotesis sebagai b^rikut:

(1) terdapat hubungan fungsional antara pengalaman kerja dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, (2) terdapat hubungan fungsional antara frekuensi

pelatihan dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik

Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, (3) terdapat hubungan fungsional antara rentang waktu pelatihan dengan performansi Pamong Belajar,

(5)

Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi

kebutuhan belajar, (4) terdapat hubungan fungsional antara motivasi berprestasi

dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar.

Metode penelitiannya adalah deskriptif dengan prosedur pengolahan datanya menggunakan pendekatan kuantitatif. Instrumen pengumpul data yang dipergunakan-nya berupa angket dan pedoman wawancara. Responden penelitiandipergunakan-nya terdiri atas Pamong Belajar SKB sebanyak 15 orang, Tenaga Lapangan Dikmas sebanyak 12 orang dan Penilik Dikmas sebanyak 8 orang yang pernah mengikuti Pelatihan Tutor Keaksaraan Fungsional di SKB Kabupaten Bandung dan Kabupaten Ciamis. Peserta pelatihan Program Keaksaraan Fungsional sebanyak 60 orang, namun dalam studi ini hanya dibatasi pada sejumlah sampel sebanyak 35 orang, melalui penarikan sampel

acak..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tak terdapat hubungan yang

fungsional antara pengalaman kerja dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga

Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan

belajar pada Program Keaksaraan Fungsional, (2) terdapat hubungan fungsional antara frekuensi pelatihan dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, (3) terdapat hubungan fungsional antara rentang waktu pelatihan dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, serta (4) terdapat hubungan fungsional antara motivasi berprestasi dengan performansi Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada program Keaksaraan Fungsional.

Bertitik tolak dari temuan tersebut di atas, direkomendasikan untuk: (1)

memperluas aksi-aksi pembelajaran PLS khususnya dalam Program Keaksaraan Fungsional, (2) menciptakan kondisi yang kondusif agar para calon warga belajar memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi dan (3) pada peneliti lain yang berminat, diharapkan untuk mau dan mampu meneliti efektifitas penggunaan model

(6)

DETERMINANT FACTORS THAT INFLUENCE PERFORMANCE OF PAMONG BELAJAR, TENAGA LAPANGAN DIKMAS AND PENILIK DIKMAS IN DETERMINATION OF LEARNING NEEDS IDENTIFICATION

ON FUNCTIONAL LITERACY PROGRAMME

Abstract

by: Merry Mariam

Functional LiteracyProgramme is an approach or a way to develop someone's

ability in mastering and using reading, writing, arithmatic, observing and analizing skill, which are daily life oriented and use potentions around. Functional Literacy

Programme if compare with last literacy programmes (Package A Learning groups

PBH or iliteracy irridication, and Package A OBAMA or Literacy Operation with Army ) has relatively different characteristics, namely functional, constectual and dynamic.

Especially, in detemination of learning needs identification on Functional Literacy Programme done special technique, namely PRA (Participatory Rural Appraisal).

PRA technique is an approach from technique collections for empowering local community in analizing, developing and sharing knowledge about local life, situation

of resources either human or natural resources to plan and act better.

In reality, mechanism of determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme, of course influenced by various factors.This Study

will try to open a number of factors which can influence the process of determination

of learning needs identification on Functional Literacy Programme, either done by

Pamong Belajar SKB (Functional Staff of Learning Centres), Tenaga Lapangan

Dikmas (Community Education Field Officer) and Penilik Dikmas (Community

Education Supervisor).

For importance of research, inthis study proposed main hypotesis, that is

"There's functional relationship among working experiences, training frequency, alocation time for training and motivation of need achievement with performance of

Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs

identification on Functional Literacy Programme.

Based on the cases mentioned above, in this study process hypothesis as

follow : (1) there's a functional relationship between working experiences with

performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of

learning needs identification on Functional Literacy Programme, (2) there's a

functional relationship between training frequency with performance of Pamong

Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs identification on

(7)

Functional Literacy Programme, (3) there's

a functional relationship between

alocatiob time for training with performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik

Dikmas in determination of learning needs identification on Functional Literacy

Programme, (4)there's a functional relationship between motivation of need achievement with performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in

determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme, (5) there's a functional relationship together among working experiences, training frequency, alocation time and motivation of need achievement with performance of

Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme.

The Research methode used is descriptive with the data processing procedur uses quantitative approach. Data collecting instruments used are questionaire and interview guide. The research renspondens consist of Pamong Belajar SKB 15 people,Tenaga Lapangan Dikmas 12 people and Penilik Dikmas 8 people who ever participated Functional Literacy Tutor Training in SKB Kabupaten Bandung and Ciamis. Training participants, 60 people, yet in this study, limited for 35 people as a sample only, through random sample.

The research result shows that: (1) there's no functional relationship between working experiences with performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme, and (2) there's a significant relationship among training frequency, alocation time of training , and motivation of need achievement with performance of Pamong Belajar, TLD and Penilik Dikmas in determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme.

Start from the research result mentioned above, recommended : 1) to widen learning actions of Functional Literacy Programme continuously, 2) to create condusive condition in order that candidates of learning participants that has high participation in action of determination of learning needs identification on Functional Literacy Programme, and 3) to another interested researchers,hoped to be willing and able to research effectivity of PRA technique use in determination of learning

needsidentification and it's influence for products of learning process of Functional

Literacy Programme empiricly.

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ii

ABSTAKSI iv

ABSTRACT vi

KATA PENGANTAR viii

UCAPAN TERIMA KASIH x

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN 150

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Pembatasan Masalah 12

C. Rumusan Masalah 14

D. Tujuan Penelitian 17

E. Hipotesis 18

F. Definisi Operasional 19

G. Kegunaan Penelitian 26

H. Sistematika Pembahasan 27

BAB II LANDASAN TEORITIS

A. Konsep PLS dan Pelatihan Keaksaraan Fungsional 29

B. Program Keaksaraan Fungsional 38

1. Latar Belakang Lahirnya Program Keaksaraan Fungsional 41 2. Karakteristik Program Keaksaraan Fungsional 46

(9)

3. Identifikasi Kebutuhan Belajar 56 4. Teknik PRA dalam Identifikasi Kebutuhan Belajar

Program;Keaksaraan Fungsional 62

5. Program Keaksaraan Fungsional sebagai Upaya

Pemberdayaan 73

C. Karakteristik Kinerja Petugas Program Keaksaraan Fungsional 83

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek Penelitian 91

B. Metode dan Teknik Pengumpulan Data 92

C. Desain Penelitian 97

D. Pengembangan Instrumen 98

E. Pelaksanaan Pengumpulan Data 106

F. Prosedur Analisis Data 106

BAB IV HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN BEBERAPA KETERBATASAN PENELITIAN

A. Deskripsi Data 114

B. Pengujian Hipotesis 124

C. Pembahasan Hasil Penelitian 129

D. Keterbatasan Penelitian 138

E. Temuan Hasil Penelitian 139

BAB V KESIMPULAN, BMPLEKASI HASIL PENELITIAN, DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan 141

B. Impl'kasi Hasil Penelitian 142

C. Rekomendasi 143

DAFTAR PUSTAKA 145

(10)

Gambar

Gambar 2 Gambar 3 Tabel 4.1. Tabcl 4.2. Tabel 4.3.

Tabel 4.4.

Tabel 4.5.

Tabel 4.6.

DAFTAR TABEL DAN G A M B A R

Hubungan Fungsional Antara Berbagai Komponen dalam

Program Keaksaraan Fungsional 80

Proses Motivasi 89

Pola Hubungan Antar Variabel Penelitian 97

Karakteristik Responden Dilihat dari Faktor Jenis Kelamin.. 116

Karakterisik Responden Dilihat dari Faktor Usia 117

Latar Belakang Responden Dilihat dari Latar Belakang

Pendidikan 118

Latar Belakang Responden Dilihat dari Lamanya

Pengalaman Kerja 119

Frekuensi Pelatihan PLS yang Dilakukan PB, TLD dan Penilik

Dikmas 120

Rentang Waktu Pelatihan 122

[image:10.595.50.490.104.596.2]
(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Studi Lapangan/Penelitian 150

2. Daftar Peserta Pelatihan Keaksaraan Fungsional 151

3. Kisi-kisi Alat Pengumpul Data 152

4. Kuesioner Penelitian 154

5. Hasil Analisa Data dengan Program SPSS 166

6. Riwayat Hidup 173

(12)

Jug

%\

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI Nomor

2 Tahun 1989), "pendidikan" adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta

didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di

masa yang akan datang. Sedangkan pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Lebih jauh UUSPN tersebut di atas, menjelaskan juga bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan

pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar yang tidak

harus berjenjang dan berkesinambungan.

Kemudian, GBHN 1993, menggariskan bahwa pendidikan luar sekolah,

termasuk pendidikan yang bersifat kemasyarakatan seperti kepramukaan, berbagai

kursus dan pelatihan keterampilan, perlu ditingkatkan kualitasnya dan diperluas

dalam rangka mengembangkan sikap mental, minat, bakat, keterampilan, dan

(14)

belajar agar mampu bekerja dan berwirausaha serta meningkatkan martabat dan

kualitas kehidupannya.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991

tentang Pendidikan Luar Sekolah, Pendidikan Luar Sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, baik dilembagakan ataupun tidak. Lebih jauh PP No 73 Tahun 1991 tersebut di atas menjelaskan bahwa tujuan pendidikan luar

sekolah adalah sebagai berikut:

1. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu

kehidupannya.

2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan

sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja

mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan atau jenjang pendidikan

yang lebih tinggi, dan

3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi

dalam jalur pendidikan sekolah.

Pelaksanaan pendidikan luar sekolah dilakukan melalui beberapa bentuk

satuan pendidikan, seperti kursus, kelompok belajar dan satuan pendidikan sejenis

lainnya. Kursus diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan bekal untuk

mempersiapkan diri, bekerja mencari nafkah dan atau melanjutkan ke tingkat dan

atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kelompok belajar adalah strategi

penyelenggaraan pendidikan luar sekolah yang mengandung arti "mengejar

ketinggalan" dan/atau "belajar sambil bekerja." Pelaksanaan pendidikan luar sekolah

dalam bentuk satuan pendidikan lain, misalnya di dalam kelompok bermain,

(15)

Kalau kita memperhatikan perkembangan jalur pendidikan nasional,

khususnya jalur pendidikan luar sekolah, jalur pendidikan luar sekolah ini sebenamya

telah ada sejak dulu, bahkan perkembangannya itu setua dengan perkembangan

peradaban manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Sutaryat

Trisnamansyah (1992:2) mengatakan bahwa :

pendidikan luar sekolah dalam bentuk yang paling asli (indigenious) telah ada sejak dulu, kehadirannya lebih dulu dari perkembangan pendidikan formal atau pendidikan persekolahan. Perkembangannya merentang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama dan budaya yang dianut pada masing-masing masyarakat dimana mereka hidup menetap.

Pendidikan luar sekolah berkembang dari pendidikan tradisional yang biasanya berakar dalam ajaran agama dan tradisi yang dianut oleh warga masyarakat. Kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat, telah sangat mewarnai perkembangan pendidikan luar sekolah. Berkaitan dengan perkembangan pendidikan luar sekolah yang dipengaruhi oleh agama, selanjutnya Djudju Sudjana (1991 : 55),

menyatakan sebagai berikut:

Belajar membaca kitab suci, kaidah-kaidah agama, tatacara sembahyang, yang

pada umumnya dilakukan di tempat-tempat peribadatan, merupakan kegiatan

belajar membelajarkan yang mendasari situasi pendidikan luar sekolah, selain

itu agama juga memberikan motivasi bahwa belajar itu merupakan kewajiban setiap pemeluk agama, dan kegiatan belajar dilakukan di dalam dan terhadap lingkungannya. Syarat utama yang perlu dimiliki oleh setiap individu untuk melakukan kegiatan belajar adalah kemampuan membaca. "Bacalah dengan

nama Tuhanmuyang telahmenjadikan" (Q.S. Al'Alaq, ayat 1).

Kewajiban umat untuk belajar, juga dipertegas lagi oleh Hadis Rosulullah SAW,

(16)

kulli muslimin wa muslimatin (menuntut ilmu adalah kewajiban bagi umat islam, baik pria maupun wanita", juga "uthlubul ilma minal mahdi ilallahdi (tuntutlah ilmu

sejak dalam buaian sampai masuk ke Hangkubur) "

Pada perkembangan awalnya, bentuk-bentuk kegiatan lain dari pendidikan luar

sekolah adalah seperti pelestarian dan pewarisan budaya secara turun-temurun.

Kegiatan-kegiatan pendidikan luar sekolah merentang dari bentuk yang sederhana

seperti dari seseorang kepada individu-individu lain sampai kepada bentuk yang

kompleks, seperti upacara tradisional atau upacara adat yang dilakukan oleh

kelompok yang cukup besar.

Memperhatikan beberapa penjelasan di atas, khususnya mengenai

perkembangan pendidikan luar sekolah, nampak jelas bahwa pendidikan luar sekolah

itu telah berkembang sejak dulu. Berkaitan dengan hal itu, Djudju Sudjana (1991:1)

mengatakan bahwa :

Pendidikan luar sekolah (PLS) telah tumbuh dan berkembang dalam alur kebudayaan

setiap masyarakat, dan sering bersumber pada agama dan tradisi yang dianut oleh masyarakat, sehingga kehadirannya memiliki akar yang kuat pada budaya yang dianut

masyarakat.

Bentuk kegiatan dalam pendidikan luar sekolah sudah pasti tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor dinamis yang senantiasa berkembang dalam masyarakat. Faktor-faktor dinamis dalam masyarakat itu akan turut serta menentukan aksi pendidikan luar sekolah yang akan dilaksanakan, mengingat masyarakat berperan

(17)

dengan hal tersebut di atas, Sutaryat Trisnamansyah (1993 : 11) mengatakan ada lima

faktor yang makin memantapkan bahwa pendidikan luar sekolah itu makin diperlukan

dalam masyarakat. Kelima faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kependudukan

2. Perubahan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 3. Kemajuan dan perkembangan informasi

4. Perubahan struktur masyarakat yang menuju ke arah/tahap masyarakat

industri,

5. Ketenagakerjaan.

Kegiatan-kegiatan pendidikan luar sekolah senantiasa harus dapat menjawab

berbagai tantangan pendidikan yang selalu berkembang dengan cepat di masyarakat.

Bidang-bidang pendidikan yang tak tergarap oleh pendidikan sekolah, hendaknya

menjadi lahan yang subur bagi pendidikan luar sekolah. Upaya peningkatan kualitas

manusia melalui pencerdasan bangsa, tentu saja tak semuanya dapat dilakukan oleh

pendidikan sekolah, mengingat masih adanya beberapa keterbatasan dalam

pendidikan sekolah.

\/

Program-program aksi dalam pendidikan luar sekolah memang banyak dan

tersebar dalam berbagai satuannya. Salah satu program yang relatif baru dan akan terus ditumbuhkembangkan adalah program keaksaraan fungsional. Program

keaksaraan fungsional muncul sebagai alternatif baru setelah program-program

sebelumnya, seperti pemberantasan buta huruf (PBH) dan Kejar Paket A yang

menggunakan bahan belajar Buku Paket Al sampai Paket A100.

(18)

menuntut dunia pendidikan untuk terus menyelaraskan diri. Bila tida

pendidikan itu sendiri hanyalah berperan sebagai barang antik yang tak membumi

dengan kebutuhan masyarakat. Pada saat ini dunia pendidikan kita dituntut untuk

berpacu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun pada sisi

lain masih ada beberapa tantangan pendidikan yang masih sangat mendasar, yaitu

masih adanya masyarakat yang buta huruf. Hal ini ditunjukkan dengan data BPS

(Biro Pusat Statistik) bekerja sama dengan Depdikbud Tahun 1996, bahwa

penyandang buta huruf usia 10 sampai 44 tahun adalah 5,86 % atau 6.903.272 orang.

Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, telah

menyatakan bahwa upaya pemberantasan buta huruf merupakan suatu kepedulian

nasional, bahkan Mendikbud Juwono Sudarsono menargetkan bahwa pada tahun

2003 berbarengan dengan liberalisasi perdagangan bebas Asia (AFTA) di Indonesia

sudah bebas penyandang buta huruf usia 10-44 tahun. Hal tersebut juga makin diperkuat oleh Presiden Republik Indonesia pada peringatan Hari Aksara Internasional ke-33 tanggal 12 September 1998 di Istana Negara, bahwa persoalan buta huruf bukan semata-mata persoalan teknis dalam kehidupan manusia, tetapi juga menyentuh hakikat yang lebih dalam lagi, yakni perlambang dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Upaya untuk mengatasi persoalan ini, telah ada

sejak berabad-abad yang lalu, yaitu melalui pengenalan aksara untuk mendalami

ajaran-ajaran agama, falsafah, sejarah, kesusastraan dan lain-lainnya. Kebudayaan

Hindu, Budha dan Islam telah memperkenalkan tradisi baca-tulis dalam masyarakat,

(19)

berbagai daerah, juga telah mengembangkan aksara mereka sendiri-sendiri, seperti

aksara Jawa, aksara Bugis-Makasar, aksara Lampung, aksara Aceh dan aksara

suku-suku lainnya. Sedangkan, pengenalan terhadap huruf latin bagi masyarakat yang masih buta huruf latin, telah dimulai sejak setelah kemerdekaan. Pada saat itu

penduduk yang melek huruf hanya sekitar 6 % saja dari jumlah penduduk secara

keseluruhan. Setelah masa kemerdekaan, realisasi pemberantasan buta huruf

merupakan tanggung jawab Jawatan Pendidikan Masarakat yang ada dibawah

Kementerian Pendidikan , Pengajaran dan Kebudayaan yang selanjutnya berubah

menjadi Direktorat Pendidikan Masyarakat dibawah Direktorat Jenderal Pendidikan

Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga Depdikbud. Pelaksanaan pemberantasan buta

huruf setelah beberapa tahun telah menampakkan hasil yang menggembirakan,

menurut Arif (1994: 2) menyatakan sebagai berikut:

jumlah buta hurufyang dalam tahun 1945 masih sebesar 94% telah

menurun menjadi 60,8 % dalam tahun 1961, kemudian menurut Suivey Penduduk Antar Sensus 1985 (SUPAS, 1985) jumlah buta huruf telah menurun menjadi 15,7%. Sementara itu hasil Sensus Penduduk Tahun 1990

bahwa jumlah penduduk yang masih buta huruf usia 7-14 tahun masih

sebanyak 8,5 juta.

Upaya pemberantasan buta huruf yang sedang dan masih akan terus dilakukan

secara berkesinambungan, terutama bagi kelompok-kelompok marginal baik di

daerah perkotaan maupun pedesaan telah mendorong pemerintah untuk melakukan

aksi konkrit, yaitu Program Kejar Paket A. Menurut Depdikbud yang bekerja sama

(20)

program kerja dan belajar dengan menggunakan Paket A sebagai sarana

belajar untuk mengejar ketinggalan dengan memperhitungkan penggunaan dan

pemanfaatan tenaga, biaya , waktu dan melaksanakan kegiatan atau aktifitas melalui

wadah kelompok belajar.

Paket A itu sendiri merupakan seperangkat bahan belajar yang berisikan aspek-aspek

kehidupan yang diperlukan oleh mereka yang buta huruf atau mereka yang putus

sekolah dasar, agar mereka mampu menjadi warga negara yang produktif dan

bertanggung jawab. Paket A tersebut dibuat dalam 100 booklet, setiap booklet diberi

nomor mulai 1 sampai dengan 100.

Selain itu , booklet-booklet Paket A juga

diperkaya dengan bahan-bahan belajar tambahan, seperti poster, permainan, foto

novela, kaset dsb. yang berisikan sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan tuntunan

sikap mental ke arah penumbuhan inovasi pembangunan. Tujuan pemberantasan buta

hurufdi Indonesia menurut Depdikbud (1993 :3) adalah sebagai berikut:

1. Memberi kemampuan kepada mereka yang buta hurufagar dapat membaca,

menulis, berhitung, bahasa Indonesia dan pengetahuan fungsional.

2. Menjadikan program pemberantasan buta huruf sebagai alat untuk

kegiatan-kegiatan pembangunan lebih lanjut.

3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan fungsional peserta didik.

Kegiatan pembelajaran dalam pemberantasan buta huruf diorganisir dalam

bentuk kelompok-kelompok belajar.

Jumlah anggota dalam kelompok belajar

sebanyak-banyaknya terdiri atas 10 orang. Namun demikian dalam kenyataannya,

jumlah anggota dalam kelompok belajar tersebut kadangkala melebihi 10 orang.

(21)

dan fasilitator secara ideal harus mampu menampilkan dirinya sebagai mitra warga

belajar di dalam mengatasi berbagai kendala yang mungkin timbul dalam proses

pembelajaran.

Kebijaksanaan operasional Mendikbud tahun 1994 khusus yang berkaitan

dengan butahuruf adalah dengan dilaksananakannya Gerakan Nasional

Pemberantasan Buta Huruf. Program-program untuk penuntasan penyandang buta

huruf ini telah lama dan banyak dilakukan seperti Program Kejar Paket A Program

PBH dan/atau Obama (Operasi Bhakti ABRI Manunggal Aksara).

Dari berbagai laporan, nampak jelas bahwa program keaksaraan seperti

tersebut di atas telah menunjukan keberhasilannya, hal tersebut terbukti dengan makin menurunnya jumlah penduduk yang buta huruf. Namun pada sisi lain muncul persoalan baru, diantaranya adalah : (1) bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kemampuan kemelek-hurufan yang telah mereka raih, (2) perlunya pemberdayaan setelah penduduk menjadi melek huruf. Disamping dua alasan di atas,

dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat ini, penyandang buta huruf

diperkirakan akan bertambah lagi. Sebab, saat ini, penduduk miskin di Indonesia

meningkat tajam, yang dengan sendirinya penduduk buta huruf-pun diperkirakan akan bertambah pula. Penyebab utama penambah buta huruf ini, menurut Mendikbud Prof. DR. Juwono Sudarsono adalah; anak usia sekolah yang tidak sekolah dan anak

putus sekolah dasar terutama putus kelas 1, 2, dan 3. Kemiskinan sebagai akibat

krisis ekonomi yang berkepanjangan, juga menjadikan jumlah buta huruf makin

(22)

10

tua akan memaksa anaknya untuk membantu orang tua mencari nafkah. Hal tersebut

membawa implikasi terhadap keberadaan program keaksaraan itu sendiri, artinya

konsep keaksaraan tidak hanya berarti terdiri atas kemampuan membaca, menulis dan

berhitung, melainkan harus meliputi pula kemampuan lain yaitu kemampuan untuk

menerapkan keterampilan tersebut di atas dalam kehidupan sehari-hari serta

kemampuan untuk bertahan hidup.Perkembangan program keaksaraan seperti

digambarkan diatas itu, pada saat ini dikenal dengan predikat

Keaksaraan

Fungsional.

Menurut beberapa studi yang pernah dilakukan, Kejar Paket A masih

memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan yang paling menonjol dari Program Kejar

Paket A menurut Joan Dixon (1995) terletak pada output kelompok sasaran yang

menjadi "buta" kembali. Selain hal di atas, pelaksanaan program Kejar Paket A

diduga ada kesalahan dalam pendataan kemampuan awal kelompok sasaran. Secara

ideal, melalui program keaksaraan fungsional, diharapkan warga belajar dapat

memilih menu pembelajaran yang diinginkan serta membentuk jaringan kerjasama

dengan pihak-pihak lain yang memang dibutuhkannya. Selain itu,

Program

Keaksaraan Fungsional juga tidak memerlukan seperangkat bahan belajar yang

dipersiapkan dari Pemerintah karena segala bahan belajarnya senantiasa disesuaikan

dengan kebutuhan dan minat warga belajar, sehingga dapat langsung dirasakan

manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari warga belajar dan dapat meningkatkan mutu

kehidupannya.

Program

Keaksaraan

Fungsional

sangat

penting

untuk

(23)

11

kemampuan keaksaraan fungsional masyarakat itu jauh lebih rendah jika

dibandingkan dengan kemampuan keaksaraan secara umum. Sebagai suatu contoh,

hasil studi yang dilakukan di Filipina (1989) menunjukkan bahwa tingkat keaksaraan

dasar di Filipina sebesar 89,80 %, sedangkan tingkat keaksaraan fungsional sebesar 73,2 %. Hasil studi tersebut di atas berarti bahwa tingkat kebutahurufan di negara

tersebut sebesar 10,2%, sedangkan tingkat kebutahurufan fungsionalnya lebih besar

lagi, yaitu 26,8 %. Dari data tersebut di atas, nampak jelas bahwa pelaksanaan program keaksaraan perlu terus diberdayakan sesempurna mungkin, agar warga belajar dan masyarakat pada umumnya semakin mau dan mampu membelajarkan dirinya, tanpa merasa diintervensi pihak lain. Berbagai strategi dan terobosan baru perlu terus diupayakan dalam program keaksaraan, baik yang menyangkut rekruitmen

calon warga belajar, fasilitator, tutor, nara sumber, maupun metode dan strategi

pembelajaran.

Program-program keaksaraan, hendaknya memiliki nilai guna yang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu upaya untuk mencoba agar

program-program keaksaraan tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,

adalah perlunya melakukan identifikasi kebutuhan belajar. Melalui kegiatan

identifikasi kebutuhan belajar, diharapkan akan tergali jenis-jenis kebutuhan belajar

aktual dari masyarakat yang bersangkutan. Dengan adanya identifikasi kebutuhan

belajar aktual, juga jelas akan memperlihatkan bahwa Program Keaksaraan itu,

munculnya benar-benar merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat, bukan

(24)

12

saja relatif bervariasi, dengan demikian berarti bahwa kebutuhan belajar pada

Program Keaksaraanpun relatif bervariasi pula. Makin mejemuk suatu masyarakat,

tentu akan makin majemuk pula kebutuhan belajarnya, dan sebaliknya.

Penentuan kebutuhan belajar yang ideal, tentu saja harus disesuaikan dengan

kebutuhan belajar masyarakat itu sendiri. Bila penentuan kebutuhan belajar tidak

mengakomodasi kebutuhan masyarakatnya, tentu saja masyarakat yang menjadi

warga belajar akan merasa asing dengan lingkungannya. Oleh karena itu penentuan

kebutuhan belajar yang berkiblat kepada warga belajar (learner centered) di dalam

Program Keaksaraan sangatlah penting, bahkan sangat menentukan kelanjutan

program itu sendiri.

B. Pembatasan Masalah

Setelah memperhatikan uraian di atas, nampak jelas bahwa fokus studi ini adalah keaksaraan fungsional. Untuk kepentingan studi, penelitian diidentifikasi dengan satu pertanyaan pokok, yaitu faktor-faktor apakah yang mempengaruhi performansi Pamong Belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar yang digunakan pada program keaksaraan fungsional di Kabupaten

Bandung dan Kabupaten Ciamis.. Identifikasi kebutuhan belajar itu pada dasarnya

menyangkut kesenjangan kemampuan diantara kemampuan yang telah dimiliki

dengan kemampuan yang dituntut atau dipersyaratkan. Strategi identifikasi kebutuhan

belajar sangat penting untuk ditentukan secara tepat, sebab bila salah dalam

(25)

komponen-13

komponen lainnya. Penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program

Keaksaraan Fungsional, tentu saja tidak lepas dari berbagai pengaruh komponen

dinamik yang dimiliki para pelaksananya.

Pelaksanaan program keaksaraan fungsional pada dasarnya merupakan suatu

sistem, yang tentu saja didalamnya melibatkan banyak komponen dinamis yang

saling terkait satu sama lain. Salah satu komponen yang akan menjadi fokus studi

dalam tesis ini adalah pelaksanaan strategi identifikasi kebutuhan belajar dilihat dari

berbagai latar belakang para pelaksana identifikasi. Secara ideal, strategi penentuan

kebutuhan belajar tentu saja harus memperhitungkan berbagai faktor lain, oleh karena

itu penentuan strategi kebutuhan belajar harus dipertimbangkan secara efektif dan

efisien, sebab bila tidak, sudah pasti akan mempengaruhi terhadap kelancaran

komponen-komponen lainnya.

Mengingat program keaksaraan fungsional itu

merupakan suatu sistem, maka sudah pasti bila ada salah satu sistem yang lemah,

maka akan mempengaruhi terhadap target yang sebelumnya telah ditetapkan secara

matang.

Kelompok sasaran utama yang akan diidentifikasi dalam studi ini adalah

Pamong Belajar SKB, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas yang pernah

mengikuti pelatihan program Keaksaraan Fungsional , yang dilaksanakan di SKB

Kabupaten Bandung dari tanggal 16 sampai dengan 24 Juni 1997 dan SKB

Kabupaten Ciamis dari tanggal 10 sampai 18 Juli 1997. Dalam pelatihan tersebut,

didalamnya diberikan satu materi pelatihan penting, yaitu cara mengidentifikasi

(26)

14

lainnya, yaitu cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar dengan menggunakan

teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Teknik PRA digunakan dalam penentuan

identifiksi kebutuhan belajar, karena teknik ini diduga akan lebih memungkinkan

dapat menjaring kebutuhan belajar aktual dengan partisipasi penuh dari calon warga belajar tersebut. Adapun pihak-pihak yang dilatih adalah 15 orang Pamong Belajar SKB, 12 orang Tenaga Lapangan Dikmas (TLD) orang, dan 8 orang Penilik Dikmas.

Kepada pihak-pihak yang telah dilatih itu dipandang perlu untuk dievaluasi, khususnya mengenai penerapan berbagai materi pelatihan dalam membentuk dan menyelenggarakan kelompok belajar. Dalam studi ini, secara khusus akan dilihat

mengenai penerapan cara identifikasi kebutuhan belajar dengan menggunakan teknik

PRA oleh pihak-pihak yang telah dilatih.

C. Rumusan Masalah

Untuk kepentingan studi, masalah di atas dibatasi ke dalam pertanyaan pokok,

yaitu "faktor-faktor apakah yang mempengaruhi performansi Pamong Belajar,

Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas dalam melakukan identifikaksi

kebutuhan belajar calon warga belajar pada Program Keaksaraan Fungsional"?. Kebutuhan belajar bagi warga belajar perlu senantiasa diidentifikasi secara cermat,

agar program pembelajaran berlangsung secara efektif dan efisien. Kesalahan dalam

penentuan kebutuhan belajar bagi warga belajar dalam program keaksaraan

fungsional, tak mustahil akan mempengaruhi terhadap kelancaran realisasi program

(27)

15

subsistem pembelajaran PLS yang senantiasa harus mendapatkan prioritas utama. Apabila proses pembelajaran dalam PLS tidak sesuai dengan kebutuhan belajar, maka warga belajar tidak mau belajar. Dalam pembelajaran PLS, identifikasi kebutuhan belajar itu merupakan langkah pertama. Langkah pertama, dimaksudkan guna

menentukan kurikulum belajar, sedangkan langkah terakhir dimaksudkan guna

menentukan prioritas kebutuhan belajar berikutnya.

Untuk menentukan cara identifikasi kebutuhan belajar pada Program

Keaksaraan Fungsional yang ideal, diperlukan adanya ujicoba kepada calon khalayak

sasaran (warga belajar), dengan tetap memperhitungkan berbagai referensi latar

belakang khalayak sasaran tersebut.

Penentuan cara identifikasi kebutuhan belajar dari calon warga belajar pada

Program Keaksaraan Fungsional pada dasarnya merupakan suatu produk performansi

dari Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik Dikmas. Sedangkan di

sisi lain, penentuan cara identifikasi itu juga merupakan suatu keputusan, yang tak

terlepas dari berbagai komponen dan latar belakang dinamik, seperti pengalaman

kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi. Jadi,

dalam studi ini keempat komponen di atas, dijadikan sebagai variabel bebas, yang

diduga akan mempengaruhi performansi Pamong Belajar, tenaga Lapangan Dikmas

maupun Penilik Dikmas dalam menentukan identifikasi kebutuhan belajar. Dasar

pertimbangan memasukkan keempat komponen di atas sebagai variabel bebas dalam

(28)

16

1. Ada kecenderungan harapan bahwa semakin tinggi pengalaman kerja seseorang, diharapkan akan mampu meningkatkan kinerjanya.

2. Semakin tinggi frekuensi pelatihan program-program PLS, khususnya dalam

Program Keaksaraan Fungsional, diharapkan akan makin memperkaya wawasan

pengetahuan dan keterampilan peserta pelatihan dalam mengidentifikasi

kebutuhan belajar.

3. Semakin dekat rentang waktu pelatihan dengan pembentukkan kelompok belajar

diharapkan akan makin baik dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar,

mengingat pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh dalam pelatihan

relatif masih segar.

4. Motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan, baik yang berasal dari dalam

maupun luar yang akan memberikan kekuatan di dalam melaksanakan suatu

kegiatan agar mencapai prestasi yang maksimal.

Dengan demikian berarti

diharapkan semakin tinggi motivasi berprestasi seseorang, maka kinerjanyapun

akan semakin baik pula.

Untuk kepentingan penelitian ini, pertanyaan di atas diturunkan lagi kedalam

beberapa pertanyaan penelitian operasional, yaitu sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan fungsional

antara pengalaman kerja dengan

performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan

(29)

17

2. Apakah terdapat hubungan fungsional antara frekuensi pelatihan dengan

performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan

Fungsional ?

3. Apakah terdapat hubungan fungsional antara rentang waktu pelatihan dengan performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan

Fungsional ?

4. Apakah terdapat hubungan fungsional antara motivasi dengan performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional ?

5. Apakah faktor pengalaman kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu pelatihan,

dan motivasi berprestasi memiliki hubungan fungsional dengan performansi

penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional ?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada uraian di atas, studi ini pada dasarnya bertujuan untuk

mengungkap hal-hal berikut, yaitu :

1. Mengkaji hubungan fungsional antara pengalaman kerja dengan performansi

penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional.

2. Mengkaji hubungan fungsional antara frekwensi pelatihan dengan performansi

penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional.

3. Mengkaji hubungan fiingsional antara rentang waktu pelatihan dengan

performansi penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan

(30)

18

4. Mengkaji hubungan fungsional antara motivasi berprestasi dengan performansi

penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional.

5. Mengkaji hubungan fungsional antara pengalaman kerja, frekuensi pelatihan,

rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi dengan performansi penentuan

identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional

E. Hipotesis

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, pada bagian ini akan dikemukakan

hipotesis. Hipotesis yang dimaksudkan di atas adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan fungsional antara pengalaman kerja dengan performansi

Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas (TLD) dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional. 2. Terdapat hubungan fungsional antara frekuensi pelatihan PLS dengan

performansi Pamong Belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan

identifikasi kebutuhan belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional.

3. Terdapat hubungan fungsional antara rentang waktu pelatihan dengan performansi Pamong Belajar TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan

identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional

4. Terdapat hubungan fungsional antara motivasi berprestasi dengan performansi

Pamong belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi

(31)

19

5. Terdapat hubungan fungsional secara bersama-sama antara pengalaman kerja,

frekuensi pelatihan, rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi terhadap

performansi Pamong Belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan

identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional.

F. Definisi Operasional

Setelah memperhatikan hipotesis di atas, baik pada latar belakang, perumusan

masalah, maupun jenis data yang diharapkan akan terkumpul, nampak jelas bahwa

dalam studi ini terdapat empat subtopik utama, yaitu :

1. Identifikasi kebutuhan belajar

2. Program Keaksaraan Fungsional

3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi performansi Pamong Belajar, TLD dan

Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar, dan

4. Performansi

Keempat subtopik tersebut, perlu diberikan pengertian dan parameter yang jelas dalam bentuk definisi operasional, dengan harapan supaya tidak menimbulkan salah

penafsiran dan kesesatan dalam pelaksanaan penelitian.

(32)

20

:168), kebutuhan belajar diartikan sebagai suatu jarak antara tingkat pengetahuan,

keterampilan dan/atau sikap yang dimiliki dengan tingkat pengetahuan, keterampilan

dan atau sikap yang ingin diperoleh seseorang, kelompok, lembaga dan atau masyarakat yang dapat dicapai melalui kegiatan belajar.

Kebutuhan belajar pada dasarnya dapat dibagi atas dua kategori utama, yaitu :

1. Kebutuhan terasa, yakni kebutuhan yang segera dapat dirasakan dan diketahui

langsung oleh masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, misalnya

bagaimana caranya meningkatkan pendapatan, bagaimana mempromosikan

barang produksi dan bagaimana pula caranya mendidik anak yang efektif

2. Kebutuhan terduga, yaitu kebutuhan yang tidak dirasakan dan diketahui langsung

oleh sasaran tetapi diduga dan dikehendaki oleh orang lain, misalnya oleh tokoh

masyarakat, kebijaksanaan pemerintah, baik secara lokal, regional maupun

internasional, misalnya seperti pemberantasan buta huruf, gerakan keluarga

berencana, penggunaan bahasa nasional dan meningkatkan penggunaan

produk-produk nasional.

Sedangkan Bradshaw dalam Djudju Sudjana (1991 : 137) menyatakan bahwa

kebutuhan belajar itu dapat diklasifikasikan kedalam empat tipe, yaitu kebutuhan

normatif (normative need), kebutuhan terasa (felt need), kebutuhan yang dinyatakan

(expressed need) dan kebutuhan bandingan (comparative need).

Kebutuhan belajar masyarakat perlu senantiasa diinventarisasi. Hal tersebut

dimaksudkan agar program-program yang ditawarkan kepada masyarakat benar-benar

(33)

21

yang digulirkan Mendikbud RI pada akhir-akhir ini merupakan suatu terobosan agar

program-program pendidikan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Terjadinya

kesalahan dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, tentu saja akan menyesatkan

warga belajar. Oleh karena itu, bila dunia pendidikan kita ingin tetap eksis di

tengah-tengah lingkungan masyarakatnya, maka identifikasi kebutuhan belajar merupakan

suatu tuntutan mutlak.

Konsep kedua dari studi ini adalah keaksaraan fungsional. Jauh sebelum dikenal istilah keaksaraan fungsional, sebelumnya telah diperkenalkan konsep

keaksaraan. Keaksaraan (literacy) menurut UNESCO seperti halnya dikutip Arif (1994 : 17) adalah kemampuan yang dicapai seseorang dalam hal menulis, berhitung dan membaca sederhana dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan keaksaraan

fungsional (functional literacy) adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan

kecakapan keaksaraannya secara efektif dan fungsional dalam kehidupannya

sehari-hari dalam kelompoknya serta memungkinkan dia menggunakan kecakapan membaca, menulis dan berhitung itu untuk pembangunan masyarakatnya. Sedangkan

menurut UNESCO dan UNDP seperti halnya dikutip Arif (1994 : 18) disebutkan

bahwa keaksaraan fungsional itu :

merupakan suatu kemampuan pengetahuan umum yang bersifat dasar dan

kemampuan dalam bekerja, meningkatkan produktifitas, meningkatkan partisipasi

dalam

kehidupan

bernegara serta

pemahaman

yang

lebih

baik

terhadap

(34)

22

Masih berkaitan dengan konsep keaksaraan fungsional, lebih jauh Hartley (1989) seperti halnya dikutip Arif (1994 : 19) mengatakan bahwa :

keaksaraan fungsional merupakan integrasi dari aspek-aspek kemampuan mendengar, berbicara, membaca, menulis, berfikir kritis dan berhitung. Hal tersebut meliputi pula pengetahuan budaya yang memungkinkan pembicara, penulis atau pembaca mengakui dan menggunakan bahasa yang memadai

untuk situasi yang berbeda

Bagi masyarakat yang sudah maju keaksaraan fungsional tersebut akan

memungkinkan seseorang individu menggunakan bahasa untuk meningkatkan

kapasitasnya untuk berpikir kritis, mengemukakan pertanyaan dan pendapat, serta

memberikan nilai tambah pengetahuan agar mereka eksis di tengah-tengah

masyarakatnya.

Konsep ketiga dari topik di atas adalah faktor-faktor yang mempengaruhi performansi Pamong Belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar Seperti telah dikatakan sebelumnya, bahwa cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar pada dasarnya merupakan produk dari serangkaian proses yang melibatkan berbagai komponen dan atau faktor. Faktor-faktor yang diduga akan mempengaruhi performansi Pamong belajar, TLD dan Penilik Dikmas dalam penentuan identifikasi kebutuhan belajar itu, diantaranya adalah sebagai berikut : Pengalaman kerja, Frekuensi Pelatihan, Rentang waktu pelatihan dan

Motivasi berprestasi.

Untuk kepentingan penelitian, keempat faktor yang diduga akan

(35)

23

jelas dan terukur (measurable). Pengalaman kerja adalah rentangan waktu dan atau

riwayat pekerjaan bagi Pamong Belajar SKB, TLD dan Penilik Dikmas

berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, baik di lingkungan pendidikan

luar sekolah maupun pendidikan sekolah. Pengalaman kerja ini, parameter yang

digunakannya adalah tahun dan lamanya bekerja.

Pelatihan menurut Flippo sebagaimana dikutip Hufad (1996 : 9) adalah pelatihan pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kecakapan agar karyawan dapat mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Sedangkan lebihjauh menurut Inpres No. 15 tahun 1974, sebagaimana dikutip Hufad (1996 : 10) mengatakan bahwa pelatihan adalah sebagai berikut :

pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan biasa dalam waktu yang berlangsung singkat dengan metode yang mengutamakan praktek dari pada teori. Pelatihan pegawai adalah sebagian dari pendidikan yang dilakukan pegawai untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan

persyaratan pekerjaan tersebut.

Sedangkan rentang waktu pelatihan adalah jarak atau rentangan antara pelatihan dengan pembentukkan kelompok belajar.

Motivasi menurut Sutaryat (1984 : 156) dikemukakannya sebagai berikut : motivasi

sering pula disebut sebagai dinamika perilaku. Motivasi sebagai dinamika perilaku

tidak banyak berurusan dengan apa yang diperbuat, juga tidak dengan bagaimana apa yang diperbuat itu diselesaikan, akan tetapi dengan mengapa seseorang individu

(36)

24

dasarnya merupakan hasil dari organisasi fisiologik dan kegiatan kerja sistem syaraf

sentral individu.

Sedangkan menurut Staton sebagaimana dikutip Farihah (1992 : 40) mengatakan bahwa motivasi merupakan unsur yang paling penting dalam belajar yang efisien, karena seseorang akan berhasil jika ia memiliki motivasi untuk belajar. Lebih jauh Richard M. Steers, sebagaimana dikutip Farihah (1992 : 40) juga mengatakan bahwa "the term motivation was originally drived from the Latin word movere, wich means to move". Menurut studi yang dilakukan Richard M Steers di atas, bila kita akan membicarakan motivasi ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu (1) what energizes human behaviour, (2) what directs or channels such behaviour and, (3) how this behaviour is maintained or sustained.

Adanya kecenderungan untuk melakukan sesuatu tindakan pada dasarnya tak

akan lepas dari motivasi. Berkaitan dengan hal tersebut, McClelland mengemukakan

ada tiga hal yang mempengaruhi motivasi seseorang, yaitu : (1) Kebutuhan untuk

memperoleh kekuasaan (need for power), (2) Kebutuhan untuk berprestasi (need for

achievement), dan (3) Kebutuhan untuk bergabung (need for affiliation). Konsep

David McClelland yang diistilahkannya dengan "N-Ach" (need for achievement)

tersebut merupakan naluri yang mengakibatkan seseorang ingin berprestasi dengan

jalan kerja keras. Lebih lanjut McClelland sebagaimana dikutip Farihah (1992 : 42)

menyatakan bahwa individu yang memiliki motif berprestasi tinggi memiliki

(37)

25

1. Menyukai pekerjaan yang menuntut kemampuan dan usaha dari dalam diri

sendiri

2. Memiliki antisipasi yang baik terhadap aktifitas yang akan dilakukan, dalam arti apakah ia memiliki kemampuan atau tidak untuk melakukan

sesuatu aktifitas.

3. Selalu ingin mengetahui hasil dari usaha yang telah dilakukannya.

Imbalan material adalah suatu penghargaan dalam bentuk materi yang diberikan

kepada seseorang dan atau sekelompok setelah melakukan suatu pekerjaan/aktivitas

tertentu. Besar kecilnya imbalan material, tentu saja akan memberikan dampak bagi individu, baik secara psikologis maupun non psikologis. Dalam studi ini, imbalan

material yang dimaksudkan di atas berupa besar kecilnya uang lelah/honorarium

yang diterima, baik oleh Pamong Belajar, TLD maupun Penilik Dikmas setelah

melakukan suatu kegiatan profesinya. Imbalan material dalam studi ini, dimasukkan

kedalam ranah motivasi

Konsep terakhir yang perlu mendapat penjelasan lebih jauh adalah

performansi. Menurut Kamus Umum bahasa Indonesia yang ditulis Poerwadarminta,

Performansi berasal dari kata perform, diartikan melakukan dan atau

menyelenggarakan. Sedangkan performansi, lebih jauh diartikan sebagai pelaksanaan

dan atau penyelenggaraan tugas dan kewajiban dari seseorang dan atau kelompok

(38)

26

diidentikkan dengan prestasi kerja. Lebih jauh mengenai hal itu, masih menurut

Bedjo Siswanto (1989 : 195), dikemukakannya sebagai berikut:

Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang tenaga kerja dalam

melaksanakan tugas dan pekerjaan yang dibebankannya kepadanya. Pada

umumnya prestasi kerja seseorang dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan,

pengalaman dan kesungguhan dari tenaga kerja yang bersangkutan.

Sedangkan yang dimaksud dengan tenaga kerja (man power) adalah sekelompok penduduk yang berusia kerja. Di Indonesia kelompok usia kerja

itu adalah penduduk berusia 10 tahun keatas.

Mengacu kepada definisi operasional di atas, nampak jelas bahwa studi ini pada dasarnya akan mencoba mengkaji cara-cara dan atau teknik mengindentifikasi kebutuhan belajar dengan teknik PRA pada Program Keaksaraan Fungsional. khususnya pada kasus Program Keaksaraan Fungsional yang diselenggarakan di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Ciamis.

G. Kegunaan Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang, perumusan masalah, definisi operasional dan

tujuan penelitian di atas, akhir dari studi ini diharapkan akan memiliki nilai guna,

baik bagi pengembangan keilmuan Pendidikan Luar Sekolah maupun bagi

kepentingan praktis di lapangan.

Kegunaan hasil penelitian ini bagi pengembangan keilmuan adalah memberikan masukan dalam pengembangan konsep belajar membelajarkan, terutama

dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar aktual melalui pendekatan PRA

(39)

27

sebagai salah satu pedoman dalam pengelolaan program-program PLS, baik bagi para

perencana maupun juga bagi para praktisi di lapangan.

H. Sistematika Pembahasan

Tesis ini pada dasarnya akan dibagi ke dalam 5 bagian. Kelima bagian yang

dimaksudkan di atas adalah sebagai berikut:

Bagian kesatu, berisi Bab I, didalamnya dibahas mengenai latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi operasional

serta sistematika pelaporan.

Bagian kedua, berisi Bab II, didalamnya dibahas mengenai tinjauan konseptual dan teori-teori pendidikan luar sekolah serta keaksaraan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Selain itu, pada Bab II juga akan dicoba diungkap beberapa hasil studi yang pernah dilakukan, terutama yang berkaitan

dengan pelaksanaan program keaksaraan.

Bagian ketiga, berisi Bab III, didalamnya dibahas mengenai metodologi

penelitian yang akan digunakan, desain penelitian, pengembangan instrumen, maupun

penentuan subyek penelitian yang akan diminta datanya.

Bagian keempat, berisi Bab IV, didalamnya dikemukakan mengenai data hasil

(40)

28

Bagian kelima, berisi Bab V, didalamnya dikemukakan mengenai intisari dan

(41)

^DIKAA/.

fug

(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Obyek Penelitian

Populasi dari penelitian ini terdiri atas seluruh peserta pelatihan Keaksaraan

Fungsional, yang tersebar di dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung dan

Kabupaten Ciamis. Jumlah peserta yang telah dilatih sebanyak 60 orang, yang terdiri

atas 30 orang dari Kabupaten Bandung dan 30 orang dari Kabupaten Ciamis. Para

peserta pelatihan terdiri atas Pamong Belajar SKB, Tenaga lapangan Dikmas dan

Penilik Dikmas. Dari jumlah populasi tersebut di atas, untuk kepentingan penelitian

diambil sampel sebanyak 35 orang dengan teknik acak. Dari sampel penelitian

sebanyak 35 orang, tersebar atas 15 orang Pamong Belajar, 12 orang TLD dan 8

orang Penilik Dikmas.

Seperti halnya telah disinggung pada bagian awal dari Bab III ini, lokasi

penelitiannyapun dilakukan di dua daerah, yaitu di Kabupaten Bandung dan

Kabupaten Ciamis. Penelitian di Kabupaten Bandung dilakukan selama 41 hari, yaitu

mulai tanggal 10 juli sampai dengan 20 Agustus 1998. Sedangkan di Kabupaten

Ciamis, dilakukan selama sembilan hari, yaitu mulai tanggal 23 sampai dengan

tanggal 31 Agustus 1998. Dalam proses pengumpulan datanya, penulis dibantu oleh

beberapa staflapangan dari SKB Kabupaten Bandung dan Kabupaten Ciamis.

(43)

92

Para peserta pelatihan Program Keaksaraan Fungsional dibagi berdasarkan

jabatan, dan asal utusan. Berdasarkan jabatannya, terdiri atas tiga kelompok, yaitu

Pamong Belajar SKB, Penilik Dikmas dan Tenaga lapangan Dikmas.

Data selengkapnya mengenai peserta pelatihan yang dijadikan sampel dalam studi ini,

dapat disimak pada tabel yang dicantumkan sebagai lampiran tesis ini

B. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data.

/. Metode Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang masalah dan tujuan serta manfaat penelitian

yang diharapkan, metode penelitian yang cocok digunakan pada studi ini adalah metode deskriptif. Alasan penggunaan metode penelitian deskriptif adalah bahwa

penulis ingin mengetahui hal-hal yang terjadi secara aktual di lapangan. Dalam

metode penelitian deskriptif ir.i digunakan pula pendekatan kuantitatif. Berkaitan dengan penggunaan metode deskriptif lebih jauh Rusidi (1985 : 23) menyatakan

bahwa:

penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan membuat fakta-fakta dan sifat-sifat suatu populasi dalam daerah tertentu secara sistematis, faktual dan teliti,

variabel-variabel yang diteliti ditentukan secara terbatas berdasarkan populasi dan

sampel yang telah ditentukan sebelumnya

(44)

93

3) menyodorkan perbandingan-perbandingan, dan 4) menganalisa masalah-masalah

tersebut.

Alasan yang mendasari penggunaan pendekatan kuantitatif dalam studi adalah

(1) studi ini akan mencoba membuktikan (penolakan dan atau penerimaan) hipotesis

penelitian/hipotesis kerja/hipotesis altematif sebagaimana telah diajukan sebelumnya

pada bagian terdahulu, dan (2) hasil penelitiannya diharapkan dapat digeneralisir

untuk kasus lain yang serupa dalam lingkup yang lebih besar. Selain itu, melalui

penggunaan metode penelitian di atas, diharapkan agar dapat menggambarkan

gejala-gejala yang ada pada saat sekarang dan meramalkan perilaku yang akan diterapkan

pada masa yang akan datang.

Seperti halnya dikemukakan Abdulrahman Ritonga (1990 : 121), yang

mengatakan bahwa metode penelitian deskriptif pada hakekatnya berdasarkan

lekanan analisanya dapat dibedakan atas dua macam, yaitu : (1) deskriptif

korelasional dan (2) deskriptif komparatif. Dalam studi ini, digunakan metoda

penelitian

deskriptif korelasional. Metode penelitian deskriptif korelasional

dilakukan untuk menelaah sejauh mana faktor-faktor yang berkaitan dengan proses

identifikasi kebutuhan belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional dapat

mempengaruhi performansi Pamong Belajar SKB, TLD dan Penilik Dikmas. Hal ini

berarti bahwa metode deskriptif korelasional, dilakukan guna melihat ada tidaknya

hubungan fungsional antara pengalaman kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu

pelatihan dan motivasi berprestasi dengan performansi

penentuan identifikasi

(45)

94

Selain dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, pada studi ini juga akan

menggunakan pendekatan kualitatif Pendekatan kualitatif ditujukan guna

melengkapi data yang telah diperoleh melalui pendekatan kuantitatif. Pendekatan

kualitatif juga dimaksudkan guna mengecek data mengenai identifikasi kebutuhan

belajar yang telah diperoleh melalui pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif

ditujukan kepada pihak-pihak lain di luar Pamong Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas

dan Penilik Dikmas. Pihak-pihak lain yang dimaksudkan di atas, diantararanya adalah

Warga Belajar, Tutor, dan beberapa tokoh masyarakat di Kabupaten Bandung dan di

Kabupaten Ciamis, baik formal maupun informal.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam studi ini pada dasarnya

terdiri atas penyebaran angket, observasi dan studi dokumentasi. Teknik angket

digunakan guna memperoleh informasi mengenai proses penentuan identifikasi

kebutuhan belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional yang telah dilakukan oleh

Pamong Belajar, Tenaga lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas. Materi angket

pada dasarnya terdiri atas dua bagian utama, yaitu latar belakang/karaktenstik

responden dan seluk beluk proses identifikasi kebutuhan belajar dari calon warga

belajar.

Observasi dilakukan guna melengkapi data yang telah berhasil diraih dan

tehnik wawancara. Teknik wawancara yang dilakukan berupa wawancara informal.

(46)

dengan yang diteliti diasumsikan berada pada level yang sama. Selai

wawancara informal, dilihat dari sifatnya, wawancara ini juga berbentuk "ln^,

interview". Indepth interview dimaksudkan guna memperoleh data dan atau informasi

secara mendalam (grounded). Topik angket adalah berupa pelaksanaan identifikasi

penentuan kebutuhan belajar bagi calon warga belajar dalam Program Keaksaraan

Fungsional. Pihak-pihak yang diharapkan dapat mengisi angket yang telah disiapkan

adalah mereka yang telah mengikuti Pelatihan Keaksaraan Fungsional, seperti

Pamong Belajar Sanggar Kegiatan Belajar, Tenaga Lapangan Dikmas dan Penilik

Dikmas.

Berkaitan dengan penggunaan tehnik pengumpulan data melalui angket dan

wawancara, Sutaryat (1984 : 317) mengemukakan sebagai berikut:

Kuesioner dan wawancara dapat dipergunakan oleh setiap peneliti untuk

memperoleh data secara langsung dari responden, yaitu dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan kepadanya. Data dan atau informasi yang diperoleh

bisa berupa apa yang diketahui oleh responden, apa yang disukai atau tidak

disukainya, apa yang dirasakan atau dipikirkannya, apa yang diingini atau

dibutuhkannya.

Selain teknik angket dan observasi, dalam studi ini juga digunakan teknik

dokumentasi. Studi dokumentasi dilakukan terhadap berbagai hasil studi yang

berkaitan dengan Program Keaksaraan dan berbagai hasil laporan, terutama dari

sumber-sumber yang relevan d mgan topik pembahasan. Dilihat dari sifat sumbernya,

studi dokumentasi ini berasal dari sumber formal maupun informal. Contoh sumber

formal adalah dari berbagai instansi/lembaga terkait, seperti Direktorat Dikmas Ditjen

Diklusepora di Jakarta, dan Bidang Dikmas, Seksi Dikmas, Balai Pengembangan

(47)

96

Kegiatan Belajar serta Sanggar Kegiatan Belajar, yang berada di Iingkungan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Berkaitan dengan

studi dokumentasi, Guba dan Lincoln (1981 : 232) mengemukakan beberapa alasan

pentingnya studi dokumentasi dalam suatu riset, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Sumbernya relatif stabil,

2. Bisa menjadi bukti suatu pengujian, 3. Sifatnya alamiah,

4. Murah dan mudah diperoleh, dan

5. Memberi kesempatan untuk lebih memperluas tubuh pengetahuan dan

permasalahan yang sedang diamati.

Data yang diharapkan dapat terkumpul dari teknik dokumentasi ini adalah

mengenai sejarah dan perkembangan pentingnya Program Keaksaraaan Fungsional.

Selain kedua teknik penelitian di atas, dalam studi ini juga akan dilakukan

eksperimentasi terhadap identifikasi penentuan kebutuhan belajar bagi calon warga

belajar pada Program Keaksaraan Fungsional. Studi eksperimentasi ini dimaksudkan

guna memperoleh gambaran nyata dan data empirik dari pelaksanaan identifikasi

kebutuhan belajar. Melalui studi eksperimentasi diharapkan akan diperoleh temuan

aktual mengenai faktor-faktor pendukung dan sekaligus penghambat pelaksanaan

identifikasi kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional. Faktor-faktor

pendukung dan penghambat tersebut sangat penting untuk dideteksi dan digunakan

pada kegiatan serupa di mai,a yxng akan datang mengingat data yang terjaring telah

(48)

97

C. Desain Penelitian

Seperti telah dibahas pada Bab I, studi ini pada dasarnya menggunakan

metode deskriptif korelatif. Metode deskriptif korelatif, dimaksudkan guna melihat

kecenderungan hubungan antara pengalaman kerja, frekwensi pelatihan, rentang

waktu pembentukan kelompok belajar dengan pelatihan terhadap penentuan

identifikasi kebutuhan belajar pada program Keaksaraan Fungsional dengan

menggunakan teknik PRA. Jadi, selain untuk melihat kecenderungan keragaman dari

para petugas Program Keaksaraan Fungsional dalam mengidentifikasi kebutuhan

belajar, melalui studi ini juga diharapkan akan teriihat kecenderungan dan pola

hubungan fungsional antara pengalaman kerja, frekuensi pelatihan, rentang waktu

pelatihan dengan performansi identifikasi kebutuhan belajar. Secara ringkas, untuk

kepentingan penelitian, semua pola hubungan dalam studi ini dapat digambarkan

[image:48.595.50.490.249.763.2]

sebagai berikut:

Gambar 3 : Pola Hubungan Antar Variabel Penelitian

(49)

98

Keterangan :

X| = Pengalaman kerja

X2 = Frekuensi pelatihan

Xi = Rentang waktu pelatihan

X4 = Motivasi berprestasi

Y = Penentuan identifikasi kebutuhan belajar pada program Keaksaraan

Fungsional dengan teknik PRA

D. Pengembangan Instrumen

/. Iariabel Penelitian

Instrumen pengumpul data dilakukan dengan maksud untuk mengungkap kejelasan dari variabel-variabel penelitian. Instrumen yang digunakan dalam studi ini adalah berupa angket. Berkaitan dengan penggunaan instrumen penelitian di atas, Sutaryat Trisnamansyah (1984 : 319) lebih jauh menjelaskan bahwa : kuesioner dan wawancara dapat digunakan oleh setiap peneliti untuk memperoleh data secara langsung dari responden, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan

kepadanya. Data atau informasi yang diperoleh dapat berupa apa yang disukai, apa yang diketahui dan atau data yang tidak disukainya.

Selain itu, kuesioner dan wawancara dapat pula dilakukan oleh para peneliti dengan maksud untuk mengungkap data mengenai perilaku dan berbagai pengalaman

yang telah dialami responden. Hal tersebut berarti bahwa kuesioner dapat

mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan nilai, pengetahuan, sikap, keyakinan dan

(50)

99

dalam penyusunan alat pengumpul data yang menggunakan kuesioner dan wawancara hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) pertanyaan fakta konkrit mengenai diri pribadi responden, 2) pertanyaan yang dimaksudkan untuk memperoleh

keyakinan tentang fakta tersebut, 3) pertanyaan mengenai sikap/pendapat dan

perasaan responden terhadap suatu peristiwa, 4) pertanyaan untuk mengungkap

perilaku sekarang dan masa lalu, 5) pertanyaan yang mencoba mengetahui persepsi

dari responden mengenai diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.

Sesuai dengan variabel penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I,

instrumen pengumpul data pada studi ini berdasarkan sifat datanya terbagi atas dua

macam, yaitu data primer dan skunder. Data primer, merupakan data yang langsung

diperoleh dari responden itu sendiri melalui penyebaran angket dan wawancara.

Pengembangan instrumen pengumpul data yang berupa angket, terutama

dimaksudkan guna mengungkap data mengenai variabel-variabel penelitian yang

telah diajukan sebelumnya Seperti halnya telah dibahas pada bab sebelumnya, studi

ini pada dasarnya terdiri atas lima variabel utama, yaitu performansi identifikasi

kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional, pengalaman kerja, frekuensi

pelatihan, rentang waktu pelatihan dan motivasi berprestasi.

a. Identifikasi Kebutuhan BelajarpadaProgram Keaksaraan Fungsional

Identifikasi kebutuhan belajar pada dasarnya merupakan suatu upaya

(51)

100

calon warga belajar sebelum memulai aksi pembelajaran. Penentuan identifikasi sangat penting untuk dilakukan, sebab bila salah dalam menentukan, tak teilutup kemungkinan akan mempengaruhi komponen-komponen lain, bahkan kegagalan dalam program itu sendiri. Khusus dalam Program Keaksaraan Fungsional, model

identifikasi kebutuhan belajar menggunakan teknik PRA. Teknik PRA adalah suatu

pendekatan dari kumpulan teknik untuk memberdayakan masyarakat dalam

menganalisis, mengembangkan dan berbagi pengetahuan mengenai kehidupan

setempat, keadaan sumberdaya untuk berencana dan bertindak dengan lebih baik.

Khusus dalam Program Keaksaraan Fungsional, identifikasi kebutuhan belajar dengan menggunakan model PRA digunakan tiga jenis teknik, yaitu teknik tabel, peta

dan garis waktu. Karakteristik dan indikator dari performansi penentuan identifikasi

kebutuhan belajar pada Program Keaksaraan Fungsional dengan model PRA itu

adalah sebagai berikut :

Ciri pertama : Memiliki sifat hubungan kemanusiaan yang persuasif

Indikator :

1. Memiliki perasaan senang berkomunikasi dengan anggota masyarakat lain

2. Mudah mengenai dan bergaul dengan orang lain serta terbuka

Ciri Kedua : Memiliki sifat yang sabar, rendah hati dan mau mengakomodasikan

(52)

101

Indikator:

1. Menempatkan calon warga belajar sebagai subyek utama pembelajaran

2. Memiliki keinginan untuk mengungkap dan menggali potensi diri dan

lingkungannya

Ciri Ketiga : Memiliki sifat yang mengutamakan prospek

Indikator:

1. Memiliki keinginan untuk mengaplikasikan ilmunya di masa datang

2. Menempatkan Iingkungan tempat tinggal calon warga belajar sebagai sumber dan obyek yang harus dikembangkan

Variabel penentuan identifikasi kebutuhan belajar dengan teknik PRA ini dituangkan

dalam 22 item.

b. Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja merupakan gambaran ringkas dari pengalaman para Pamong Belajar, Tenaga lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas di Iingkungan profesinya. Pengalaman kerja dihipotesiskan akan memiliki hubungan dengan

berbagai kecenderungan perilaku, termasuk didalamnya dengan performansi

penentuan identifikasi kebutuhan belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional.

Karakteristik dan indikator dari pengalaman kerja dapat dilihat dari lamanya bekerja

(53)

102

c. Frekuensi Pelatihan

Frekuensi pelatihan merupakan suatu variabel lain yang juga dicoba diungkap

melalui studi ini. Frekuensi pelatihan yang dimaksudkan dalam studi ini adalah

banyaknya jenis pelatihan Pendidikan Luar Sekolah yang pernah diikuti oleh Pamong

Belajar, Tenaga lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas dalam kurun waktu tiga

tahun terakhir. Karakteristik dan indikator dari frekuensi pelatihan dapat diperhatikan

dari banyaknya pelatihan yang pernah diikutinya serta jenis pelatihan selama 3 tahun

terakhir. Indikator dari frekuensi pelatihan ini pada dasarnya terdiri atas dua jenis,

yaitu sering dan jarang. Seorang responden bisa dikategorikan sering apabila telah

mengikuti pelatihan selama tiga tahun terakhir antara minimal lima kali, dan

sebaliknya bila kurang dari lima kali dikategorikan kurang. Variabel frekuensi

pelatihan dituangkan dalam 3 item.

d. Rentang Waktu Pelatihan

Sedangkan yang dimaksud dengan rentang waktu pelatihan adalah jarak

waktu pelatihan dengan pembentukkan kelompok belajar Keaksaraan Fungsional.

Secara ideal, diharapkan para Pamong Belajar Sanggar Kegiatan Belajar, Tenaga

lapangan Dikmas maupun Penilik Dikmas, setelah mengikuti pelatihan Keaksaraan

Fungsional itu harus segera memb

Gambar

GambarHubungan Fungsional Antara Berbagai Komponen dalamProgram Keaksaraan Fungsional
Gambar 3 : Pola Hubungan Antar Variabel Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

pembeli dari semua kalangan.. Berikut alat atau media periklanan yang digunakan oleh Ahad mart dalam. memasarkan produk-produknya, antara

pertanyaan juga berada pada kategori nilai kualitatif yang sama dengan nilai rata-rata total “BAIK”.  Nilai rata-rata masing-masing pertanyaan berada pada rentang

[r]

Desain / Tahapan Penelitian TEORI stimuli respons logika HIPOTESIS DATA EMPIRIS GENERALISASI EMPIRIS PROBLEM DESAIN TEORI HIPOTESIS DATA EMPIRIS GENERALISASI EMPIRIS PROBLEM

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor fundamental (PER, ROA, DER, & EPS) yang mempengaruhi harga saham pada perusahaan properti yang terdaftar di BEI

Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 38/Kep/MK.WASPAN/8/1999 tanggal 24 Agustus 1999 dipandang perlu unutk mengangkat/mengangkat kembali

Air payau bisa menimbulkan iritasi dan bakteri yang berasal dari air tersebut akan menggangu kesehatan kulit pada masyarakat pesisir pantai di Desa Rugemuk, sebagai contoh

Pada tahun 1979, berdiri kelompok Muslim radikal lainnya, yaitu Jamâ ʻ at al-Jihâd , sebuah kelompok yang tidak segan-segan mengafirkan pemerintahan Mesir karena dianggap