IMPLEMENTASI SURAT KEMENAG NO. 675 TAHUN 2014 PERIHAL PENJELASAN MENGENAI PENGIKUT AGAMA BAHA’I TERHADAP PEMENUHAN HAK SIPIL DI BIDANG
ADMINISTRASIKEPENDUDUKAN DI SURABAYA
Dinar Fatira Cintya
16040254003 (Prodi S1-PPKn, FISH, UNESA) [email protected] Rr. Nanik Setyowati
0025086704 (Prodi S1-PPKn, FISH, UNESA) [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Implementasi Surat Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 Perihal Penjelasan Penganut Agama Baha’i dan Dampak dikeluarkanya Surat dari Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 yang dirasakan oleh agama Baha’i. Fokus dari penelitian ini yaitu pada Empat dokumen penting yaitu Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah dan Akte Kelahiran Anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif eksploratif. Informan dalam penelitian ini berjumlah Tujuh orang yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Data yang dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam dan dokumentasi. Lokasi penelitian ini berada di Tiga titik daerah yang ada di Surabaya yaitu Manukan, Tandes Kidul dan Pucang Anom. Teknik analisis data dimulai dengan reduksi data, penyajian data dan triangulasi sumber. Hasil penelitian ini menunjukan Implementasi Surat Nomor 675 tahun 2014 terhadap administrasi kependudukan bagi Agama Baha’i di Surabaya memiliki persamaan hak yang sama dengan masyarakat yang lain, akan tetapi perbedaanya berada pada kolom agama KTP yang masih kosong sehingga berpengaruh dalam pengurusan dokumen penting yang lain, dan Dampak dikeluarkanya Surat Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 yang dirasakan oleh agama Baha’i.
Kata Kunci: Administrasi kependudukan, agama Baha’i, Surat Nomor 675 Tahun 2014.
Abstract
This study aims to determine the Implementation of the Ministry of Religion Letter Number 675 of 2014 Regarding Explanation of Baha'i Religions and the Impact of the issuance of Letters from the Ministry of Religion Number 675 of 2014 felt by Baha'i religion. The focus of this research is on four important documents namely Family Card, Identity Card, Marriage Certificate and Child Birth Certificate. This study uses a qualitative approach with explorative descriptive methods. There were seven informants in this study who were selected by using purposive sampling technique. Data collected by means of in-depth interviews and documentation. The location of this study is in three points in Surabaya, namely Manukan, Tandes Kidul and Pucang Anom. Data analysis techniques began with data reduction, data presentation and source triangulation. The results of this study indicate that the Implementation of Letter Number 675 of 2014 on population administration for Baha'i Religion in Surabaya has the same rights as other communities, but the difference lies in the column of KTP religion which is still empty so that it influences the management of other important documents, and the impact the issuance of the Ministry of Religion Letter Number 675 of 2014 felt by Baha'i religion.
Keywords: Population administration, Baha'i religion, Letter Number 675 of 2014.
PENDAHULUAN
Membicarakan Hak Asasi Manusia berarti sama saja membicarakan dimensi totalitas kehidupan manusia, hak yang ada di dalam diri manusia diberikan secara otomatis oleh Tuhan Esa penguasa Bumi sebagai karunia-Nya (Ansori, 2016-160). Pada dasarnya setiap hak yang berhubungan dengan kehidupan manusia tidak dapat di pisahkan begitu saja, hal ini bersifat sangat mendasar dan fundamental, sebagai makhluk sosial dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari berbagai masalah Hak Asasi Manusia sering terjadi antara manusia satu dengan
manusia yang lain, kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 sebagai berikut. “Hak Asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Negara sebagai Landasan Hukum harus memiliki syarat pertama berupa Hak Asasi Manusia, kedua Pembagian Kekuasaan, ketiga Pemerintah berdasarkan Undang-Undang dan keempat Peradilan Administrasi (Tutik, 2013: 119-120). Akan tetapi dalam hal ini Indonesia telah memenuhi adanya kriteria sebagai negara hukum yang berdaulat dan adanya penegasan konstitusi yang menjadikan jaminan kepada warga negaranya.
Di dalam masa perdamaian dunia, dimana prinsip Hak Asasi Manusia yang telah diatur dalam Bill of Human Right (Yasin Tasrif, 1999 :89-91) yang terdiri dari Lima prinsip salah satunya yaitu: prinsip non diskriminasi, bahwa setiap individu harus diperlakukan dengan sama, tanpa harus membedakan ras, nama, politik, kekayaan maupun agama yang diyakini. Hal ini dimaksudkan bahwa Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan kehidupan sehari-sehari Negara tidak memaksakan seseorang untuk memeluk Agama yang diyakininya.
Rawls (2008:258) mengemukakan juga yang dimaksud keberadaan beragama dan beryakinan yaitu kebebasan yang setara, yang dimilki oleh individu atau kelompok sesuai dengan apa yang diyakini. Salah satu keberadaan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan, kebebasan yang diberikan Negara bukan tanpa batas akan tetapi tetap pada peraturan Negara yang harus dipatuhi oleh rakyatnya, karena hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28J Ayat 2 yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orng wajib tunduk kepada pembatasan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, agama, keagamaan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Implementasi Hak Asasi Manusia dalam kehidupan sehari-hari salah satunya yaitu tentang Keagamaan yang dijadikan candu bagi setiap manusia yang ada di seluruh dunia sebagai pondasi penguatan rohani sesuai kepercayaan agama yang diyakini. Indonesia menerapkan Hak Asasi Manusia bersumber pada Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara, secara konseptual Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam Pancasila mengkomodasi aspek manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial (Wilujeng, 2013:1). Sesuai dengan sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” jenis Hak Asasi Manusia yaitu melakukan ibadah menurut keyakinanya masing-masing. Dalam sikap perwujudanya Nilai Hak Asasi Manusia bahwasanya tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain (Ceswara, 2018:207).
Sebagai Negara hukum, Indonesia berperan tegas dalam melindungi hak asasi manusia yang menjamin
kebebasan beragama sesuai dengan yang diyakini seluruh rakyatnya, sebagaimana telah tercantum dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia di pasal 29 Ayat 2 dan pasal 22 Ayat 1. Isra (2014:3) dalam kajianya mengemukakan konstitusi negara telah memuat konsep perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia yang memadai sebagai syarat menjadi sebuah konstitusi negara hukum terlepas masih adanya pasal- pasal yang masih harus terus ditinjau ulang untu menyesuaikan perkembangan zaman dengan keadaan Indonesia pada saat ini, dan memastikan kembali ada jaminan terlindunginya hak asasi manusia.
Dari pasal-pasal di atas terlihat bahwa prinsip Hak Asasi Manusia terakait erat dengan perlindungan terhadap diskriminasi, terutama atas nama Agama dan Keagamaan yang ada di Negara Indonesia. Yang berarti negara berperan meindungi masyarakatnya yang memeluk Agama yang diyakini, dan negara menempatkan diri sebagai pelindung atas tindakan diskriminatif terhadap Agama, jika kelompok atau penduduk tersebut mengalami diskriminasi karena Agama yang dipeluknya.
Sesuai dengan adanya pasal tersebut seharusnya menjadi jaminan bagi semua warga negara untuk menyatakan agama yang dianutnya tanpa ada paksaan dari siapapun. Negara Indonesia secara formal hanya mengakui 6 agama di Indonesia yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu (Qoyim, 2004:28). Agama merupakan salah satu faktor yang mempunyai konstribusi nyata dalam menciptakan sebuah komunitas atau masyarakat bisa hidup teguh bersatu rukun dan damai (Jamrah, 2015:185).
Munculnya agama-agama baru di Indonesia telah menjadi tradisi yang bebas sehingga meresahkan Negara agar diakui sebagai Agama (Jamil:2008). Yang dimaksudkan disini Beragama merupakan sebuah prinsip seseorang dalam realitas nyata diaplikasikan dengan mempercayai suatu hal atau zat yang ghaib dan kepercayaan tersebut terbentuk dalam ruang pribadi.
Beragama bermakna mempercayai sesuatu suatu agama.
Sedangkan agama yang ada di dunia tidaklah sedikit melainkan banyak, realitas kehidupan sosial menjadi mungkin untuk mengkomodasi perbedaan dan keagamaan di antara manusia.
Upaya pemerintah melestarikan keragaman sebagai saksi dan bukti bahwa pemerintah menjadi pihak yang terbukti mampu menyikapi ujian Tuhan atas keragaman suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Akan tetapi, bila keagamaan dipaksakan untuk sama pada dasarnya menyalahi kodrat. Arogansi penguasa, pengayoman pada yang jelata atau keramahan atau kebijakan penguasa terhadap umat mayoritas atau minoritas keduanya (arogan atau mengayomi) sama-sama selalu dikenang publik
sepanjang sejarah manusia. Penguasa yang mengayomi berperan sebagai negarawan, yakni sosok yang memiliki dimensi etik-ideologis sebagai ahli/pakar tata kelola negara yaitu (Eksekutifm legislative, yudikatif) yang memiliki kepastian patriotic dan watak pembela Tanah Air. Sekaligus pemimpin yang mampu sebagai penyelenggara negara, yakni menjalankan fungsi sebagai pelaksana ketatanegaraan.
Bangsa Indonesia mempunyai kepedulian yang tinggi pada tradisi agama dan bertekad menjadikan negaranya modern dan demokratis, sehingga tradisi dan aspirasi agama diberikan tempat khusus dalam struktur pemerintahan, yakni dengan adanya kementerian agama dan dukungan anggaran negara. Hal ini merupakan keunikan khas negara Indonesia, satu hal yang menarik untuk dipahami bahwa Indonesia tersohor sebagai negara yang toleran dan dipuja-puja bila ada pejabat mancanegara yang berkunjung, Indonesia juga memiliki toleransi tinggi hal ini dibuktikan dengan adanya agama-agama yang tersebar diseluruh daerah di Indonesia.q
Diantara masalah besar kehidupan manusia adalah yang berkaitan dengan Agama. Sebab Agama merupakan tema paling penting yang membangkitkan perhatian paling serius disbanding masalah yang lain. Sementara masalah keagamaan akan mempengaruhi proses perkembangan kehidupan manusia, terutama dalam masalah humanistic, moral, etika dan estetik. Secara makro, masalah keagamaan akan mempengaruhi pembentukan pandangan dunia (word views), khususnya yang berkaitan dengan dimensi ontologis (Syaefulloh, 2007:22).
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa agama merupakan kebutuhan paling dasar dan fundamental, maka hidup beragama merupakan fitrah bagi manusia.
Dorongan dasar ini dibawa sejak lahir. Tuntutan ini tidak dapat disangkal, sebaliknya keberadaanya semakin kuat manakala ditolaknya. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa ingin tahu manusia tentang segala sesuatu, baik yang ada dalam dirinya maupun diluar dirinya, baik yang terlihat maupun tersembunyi .
Dalam beragama, manusia terikat kepada sesuatu di luar dirinya, yang bersifat ghaib dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang maha ghaib ini diyakini melebihi kekuatan manusia, dan bahkan tidak ada bandinganya. Agama difahami sebagai pandangan dan prinsip hidup yang didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan ghaib yang berpengaruh dalam kehidupan manusia (Hasanuddin, 2007:61)
“Tujuan dasar yang menjiwai Keyakinan dan Agama Tuhan ialah untuk melindungi kepentingan-kepentingan umat manusia dan memajukan kesatuan umat manusia, serta untuk memupuk semangat cintah kasih dan persahabatan di antara manusia” (Baha’u’llah)”. Menurut Badan Pusat Statistik Surabaya (BPS,2019) jumlah
penduduk berdasarkan data sensus mencapai 3.095 juta jiwa. Sehingga Surabaya merupakan berpenduduk terpadat di provinsi Jawa Timur (BPS,2019). Dengan kepadatan penduduk, Surabaya juga memiliki keanekaragaman budaya, suku, Bahasa, adat istiadat dan Agama. Ada fakta baru yang menyebutkan adanya Agama baru di Surabaya, salah satunya yaitu Agama Baha’i. Organisasi Baha’i (Bukan agama Baha’i) dalam perjalananya di Indonesia dilarang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 tentang Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine life, Society, Vrijimetselaraen-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, dan organisasi Baha’i.
Dalam kepemimpinan Presiden Gus Dur atas Kepres Nomor 264 dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip demokrasi, meskipun dalam kenyataanya Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 sudah tidak efektif lagi. Perjuangan mencapai kepastian hukum perlu secara tegas mencabut Kepres Nomor 264 Tahun 1962 pada kepemimpinan Gus Dur tak berjalan secara optimal hal ini disebabkan oleh Pertama, pemahaman penyelenggara pemerintah dari level atas (pemerintah pusat) hingga pemda (terbawah) terhadap perundangan yang tidak optimal. Sebagaimana pemahaman penpers Nomor 1/PNPS/1965 Pasal 1 ayat (1) bahwa negara tak membatasi jumlah agama, semua agama berhak hidup di Indoneisa. Asalkan tidak bertentangan dengan perundang-Undang. Kedua, di dalam poin pertama tidak dipelajari muatan perundanganya, hanya berdasarkan mewarisi pemahaman secara turun-temurun atas dasar medengar.
Agama Baha’i masuk ke Indonesia bermula dari jalur perdagangan sekitar 1878 oleh dua orang pedagang yang berasal dari Persia dan Turki yaitu Effendi dan Mustafa Rumi. Perkembangan agama Baha’i dimulai sejak tahun 1844 oleh sang Báb selaku pembawa pesan akan kedatangan Bahá’u‟lláh. Garis penerus-Nya, yang dikenal sebagai Perjanjian Bahá‟u‟lláh terdiri dari Putra- Nya Abdu‟lBahá, lalu diteruskan kepada cucu „Abdul- Bahá yaitu Shoghi Effendi dan terakhir adalah Balai Keadilan Sedunia sesuai dengan perintah dari Bahá‟u‟lláh (bahai.org,2014).
Agama Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal, bukan sekte dari agama lain. Agama ini memiliki tujuan, mewujudkan transformasi rohani dalam kehidupan manusia dan memperbarui lembaga- lembaga masyarakat berdasarkan prinsip keesaan Tuhan, kesatuan agama-agama, dan kesatuan umat manusia (Hamidah,2017:67) Agama Baha’i merupakan agama non-otokratis. Agama ini tidak memiliki kepemimpinan individual hirarkis yang menjadi otoritas keagamaan (Nuhrison,2015-134).
Ajaran-ajaran agama Baha’i antara lain adalah keyakinan pada keesaan Tuhan, menyelidiki kebenaran secara mandiri, penghapusan prasangka, menjalani kehidupan yang murni dan suci, persatuan umat manusia, kesatuan dalam keragaman kesetaraan antara laki-laki da perempuan, pendidikan wajib bagi semua orang, kesetiaan pada pemerintah, tidak terlibat dalam politik partisan, musyawarah sebagai sarana untuk membuat keputusan, dan pemecahan masalah ekonomi secara rohani. Ajaran-ajaran tersebut ditujukan untuk kesatuan umat manusia demi terciptanya perdamaian dunia.
Melihat dari kondisi sosial masyarakat yang begitu beragam, Sebagai agama yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, awalnya agama Baha’i mendapat kecurigaan sosial dikarenakan mereka tergolong minoritas berbeda dengan agama yang lain. Dalam bidang administrasi kependudukanya agama Baha’i ini mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam pelayanan pemenuhan hak sipil di bidang administrasi kependudukan yang diberikan pemerintah. Seperti mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat Nikah dan Akte kelahiran anak (Panjaitan, 2018-16).
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin dengan menginventarisasi agama lokal selain agama yang tertera secara eksplisit dalam perundangan. Hal itu untuk dikaji kemungkinanya dikembangkan menjadi direktorat jenderal tersendiri. Harapanya pelayanan pada pemeluk agama minoritas dan agama lokal bisa dilakukan (Kompas, 17 September 2014). Pada masa (era Presiden SBY Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengirimkan surat pada Menteri Agama yang mempertanyakan perihal Baha’i kaitanya dengan pelayanan kependudukan. Pemerintah Indonesia menambah daftar agama baru yang secara resmi diakui.
Setelah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, pemerintah menyatakan bahwa Baha’i merupakan agama yang keberadaanya diakui konstitusi.
Alasan dijadikan dasar pengakuan sebagai agama yang dipeluk Indonesia yaitu sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan Menteri Dalam Negeri bersurat ke Kementerian Agama sebagai dasar pelayanan administrasi kependudukan yaitu (KK, KTP, Surat Nikah dan Akte kelahiran). Lukman Hakim Syaifudin juga menegaskan bahwa agama Baha’i merupakan agama dari sekian agama yang berkembang di 20 Negara, Baha’i adalah suatu Agama bukan aliran dalam agama yang dilindungi konstitusi sesuai pasal 28 E dan 29 UUD 1945.
Adapun isi Surat yang berkaitan dengan permasalahan pelayanan administrasi kependudukan bagi agama Baha’i berikut adalah isi Surat Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 : “ Dalam hal layanan administrasi
kependudukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, umat Baha’i berhak mendapatkan layanan kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana warga negara Indonesia yang lain, dengan pembatasan tertentu sebagaimana yang berlaku bagi umat beragama di luar 6 agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”
Sejak tahun 2006 pemerintah menerbitkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang administrasi kependudukan yang diamantkan oleh pemerintah daerah untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat salah satunya adalah Peningkatan pelayanan publik (Jamaluddin, 2016:134).
Bagi Agama Baha’i yang memiliki perbedaan dari 6 Agama yang diakui Indonesia pasal 8 ayat 4 menyebutkan “kewajiban sebagaimana untuk persyaratan dan tata cara Pencatatan Peristiwa Penting bagi Penduduk yang Agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.” Sejalan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan perihal penjelasan mengenai penganut Baha’i ini menjadikan pedoman atau pegangan khususnya bagi penganut Agama Baha’i di manapun berada.
Hak sipil menurut Kasim (2001) menjelaskan bahwa hak sipil merupakan hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin akan diberikan penghormatan oleh Negaara dan menikmati setiap hak yang dimilikinya supaya bebas dalam bidang hak sipil ataupun politik. Hak sipil yang dimaksudkan disini adalah hak sipil dalam bentuk administrasi kependudukan yang berfokus pada Empat dokumen penting yang dimilki oleh setiap manusia, begitupun juga Agama Baha’i.
Untuk mendukung pendataan penduduk tersebut telah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan telah direvisi terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 yang dikelompokan menjadi 3 komponen secara garis besar, di antaranya yaitu: 1). Data pribadi 2). Database 3). Data Kependudukan. Peneliti akan mengkaji tentang Data Pribadi atau data perseorangan menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 Pasal 58 ayat 2 meliputi: Kartu keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah dan Akte Kelahiran.
Dari hal yang diuraikan dapat dijelaskan masih banyak terjadi permasalahan memberikan pelayanan kepada masyarakat non-minoritas, yang menjamin kebutuhan hak dan kewajiban hak warga negara.
Pelayanan KTP dan Akte Kelahiran sangat vital dalam kehidupan warga karena keduanya menjamin keberadaan, identitas warga dan hak-hak sipil yang lain, pelayanan seperti itu sangat penting dan menjadi bagian dari pelayanan publik, pemerintah terhadap masyarakat (Dwiyanto, 2010:20)
Menurut penjelasan Badan Litbag Republik Indonesia tahun 2014, umat Baha`i di Surabaya berjumlah 98 orang yang diyakini sampai saat ini masih eksis melakukan kegiatan keagamaannya. Namun pada saat ini umat Baha’i di Surabaya yang terdaftar secara administratif berjumlah 35 orang. Meskipun jumlahnya tidak banyak, namun kegiatan yang dilakukan oleh umat Baha`i sangat beragam mulai dari kajian keagamaan, sosial dan kemanusiaan, karena pada dasarnya pijakan utama dari agama Baha’i adalah cinta dan kasih kepada semesta
Pemerintah juga telah mengeluarkan Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i kepada Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan bahwa agama Baha’i adalah suatu agama, oleh karena itu umat Baha’i berhak atas pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil berdasarkan Undang-udang Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana warga Negara Indonesia yang lain.
Namun persamaan hak yang sudah ditegaskan oleh Menteri Agama dalam surat penjelasan tersebut seperti harapan yang semu, jika dilihat pada kenyataan saat ini tentang pengosongan kolom agama dalam kartu tanda penduduk. Persamaan kedudukan setiap warga negara yang memang termaktub dalam konstitusi yaitu Pasal 27 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Penolakan pelayanan administrasi yang dirasakan oleh umat Baha’i di Surabaya, diceritakan langsung oleh kelurga Bapak Makruf. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2019 bersama Bapak Makruf, Ibu Muanah dan Bapak Hamdi. Penulis mendapatkan penjelasan langsung mengenai permasalahan pelayanan administrasi kependudukan yang kerap sekali mereka rasakan. Bapak Makruf, menceritakan,
“Dulu saya tinggal di Banyuwangi kemudian pindah di Surabaya, awalnya KTP saya beragama islam akan tetapi dalam proses mengganti agama di Dinas Kependudukan dan Pencatata sipil pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan pelayanan yang semestinya” (Wawancara 2 Oktober 2019).
Kejadian di atas juga dirasakan oleh istri Bapak Makruf yaitu Ibu Muanah yang mengeluhkan bahwa pelayanan adminitrasi kependudukan juga tidak baik sehingga KTP yang dimilki sampai sekarang masih kosong dan tidak ada Agama nya. Hal ini disampaikan langsung oleh Ibu Muanah:
“Saya sudah menemui pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bersama suami saya, kata pihak pelayanan sana, tetap saja tidak bisa karena Agama yang saya yakini ini tidak ada pencetakan, kemudian saya disuruh menulis di kertas kosong, ketika saya sudah menunggu beberapa menit dan dipanggil, tiba-tiba KTP yang sama terima juga sama”
Berdasarkan fakta tersebut, peneliti ingin lebih mengetahui Implementasi Surat dari Kementerian Agama Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i terhadap pelaksanaan pelayanan administrasi kependudukan bagi penganut Agama Baha’i di Surabaya yang berkaitan dengan Implementasi Surat dari Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 berfokus pada Empat dokumen penting yaitu Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah dan Akte Kelahiran Anak dan dampak dikeluarkanya surat Nomor 675 Tahun 2014 yang dirasakan oleh agama Baha’i.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Hukum Positif dari pandangan Positivisme Hukum yang dikaji oleh Austinmemaknai hakikat hukum sebagai norma-norma positif dalam peraturan perundang- undangan, terdapat tiga landasan pandangan positivism hukum landasan pertama bahwa hukum adalah perintah manusia yang memisahkan hukum dengan moral. Kedua, Hukum dipisahkan dengan unsur-unsur di luar Hukum seperti sejarah, sosiologis dan politik. Ketiga, sistem hukum adalah sistem logis tertutup di mana keputusan yang benar dapat diketahui dari aturan Hukum yang telah di tentukan dengan maksud yang logis.
Menurut mereka hukum adalah perintah yang merupakan buatan manusia namun dengan cara pandang yang berbeda, Austin menolak adanya Hukum Kodrat atau Hukum Alam yang mutlak dari diri manusia, sehingga di dalam Positivisme hukum ada dua jenis yaitu peraturan primer yang berisi mengenai hak dan kewajiban di mana hanya dapat diterapkan pada masyarakat yang sederhana, kemudian peraturan sekunder yang berhubungan dengan penafsiran, penerapan, peraturan, dan perubahan.
Dalam pandangan teori ini menerapkan bahwa Agama merupakan Hak Asasi Manusia yang dimilki masing- masing individu, akan tetapi pemerintah juga berperan menjalankan aturan. Jadi berkaitan dengan pemerintah dan juga Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal penjelasan penganut agama Baha’i ini pemerintah
sudah memberikan suatu peaturan bagi Agama Baha’i yang memberikan pelayanan dalam administrasi kependudukanya, dan menjalankan hak dan kewajibanya masing-masing selama tidak melanggar Norma dan juga peraturan pemerintahan.
METODE
Berdasarkan tujuan pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui Surat dari Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 Perihal Penjelasan Penganut Agama Baha’i berfokus pada Empat dokumen penting yaitu Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah dan Akte Kelahiran Anak dan Dampak dikeluarkanya Surat dari Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 yang dirasakan oleh agama Baha’i maka pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Adapaun jenis pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif. Arief Subyantoro (2007:74) menjelaskan penelitian eksploratif yakni penelitian ilmiah yang bertujuan memperdalam pengetahuan tentang topik dalam rangka merumuskan masalah secara terperinci.
Tujuan dan alasan penelitian ini memilih jenis metode deskriptif eksploratif, agar peneliti mendapatkan informasi seluas-luasnya dan mendalam pada informan tentang pengetahuan, serta bagaimana pelaksanaan pelayanan administrasi kependudukan bagi penganut Agama Baha’i di Surabaya.
Lokasi dalam penelitian ini berada di Tiga titik Daerah yaitu Manukan, Tandes Kidul dan Pucang Anom Surabaya. Waktu selama proses penyususnan proposal hingga penelitian berlangsung yakni mulai tahap pesiapan hingga tahap penyusunan prposal sesuai dengan sasaran penelitian. Fokus dalam penelitian ini adalah Implementasi Surat dari Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 Perihal Penjelasan Penganut Agama Baha’i berfokus pada Empat dokumen penting yaitu Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah dan Akte Kelahiran Anak yang dimaksudkan disini adalah peran pemerintah Negara dalam pemenuhan hak-hak sipil di Bidang Administrasi Kependudukanya bagi Agama Baha’i. . Informan dalam penelitian ini yaitu Prastowo, Vincentus, Makruf, Hamdi, Muhaimin, Siti Muanah dan Ochi.
Data diperoleh dengan wawancara mendalam dan dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini berpedoman pada Miley and Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari empat tahap yaitu 1) data colletion (pengumpulan data) analisis data dalam penelitian ini dimulai pada pengumpulan data. Proses Pengumpuan data di penelitian
ini dilakukan dengan cara wawancara dan dokumentasi.
Data yang telah terkumpul dari sumber tersebut ditelaah dan dipelajari. Setelah data terkumpulkan, tahap selanjutnya yaitu reduction (reduksi data) mereduksi data diartikan sebagai proses pemilahan data dan penyederhanaan data kasar yang didaptakan di lapangan.
Reduksi data dapat memberikan gambaran lebih jelas dan memudahkan dalam proses penyajian data. Data yang diperoleh disederhanakan sesuai yang dibutuhkan, data yang tidak cocok dengan indikator akan disisihkan.
Selanjtnya tahap ke tiga yaitu data display (penyajian data) penyajian data yang terkumpul dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk uraian yaitu dengan teks naratif dan dapat didukung dengan bagan atau grafik yang di dapat dari hasil pengambilan data di lapangan. Tahap ke empat yaitu concluting drawing ( penarikan kesimpulan) penarikan kesimpulan merupakan tahap terakhir pada pengolahan data. Sebelum dilakukan penarikan kesimpulan terlebih dahulu dilakukan reduksi data dan penyajian data serta kesimpulan dan melakukan verifikasi secara terus menerus selama penelitian berjalan. Setelah verifikasi dilakukan dapat melakukan penarikan kesimpulan sesuai hasil peneltian dengan di sajikan berupa bentuk naratif.
Uji keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi teknik untuk menguji kebenaran data yang didapatkan dan disusun menjadi sebuah penelitian. Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui berbagai sumber. Seperti penelitian ini melakukan pencarian data kepada pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya. Dari situlah dapat dilihat bagaimana Kebijakan perihal Surat Nomor 675 Tahun 2014 terhadap pemenuhan hak sipil di Bidang Administrasi Kependudukanya bagi Agama Baha’i. Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data diperoleh dengan wawancara dengan informan namun untuk membuktikan bahwa data yang telah diberikan merupakan data yang benar maka kemudian peneliti memastikan dengan menggunakan dokumentasi berupa foto-foto sebagai bukti pendukung telah terlaksananya atau tidaknya pemenuhan hak di Bidang Administrasi Kependudukan Bagi Agama Baha’i di Surabaya
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian
Implementasi Surat KEMENAG Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i terhadap pemenuhan hak
sipil di bidang administrasi kependudukan di Surabaya.
Dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk mengetahui mengenai Implementasi Surat Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 Perihal Penjelasan Penganut Agama Baha’i yang berfokus pada Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP) , Surat Nikah dan Akte dalam implementasi tersebut apakah pihak pelayanan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sudah melaksanakan dengan baik ataupun sebaliknya dan Mengkaji tentang Dampak dikeluarkanya Surat dari Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 yang dirasakan oleh agama Baha’i.
Negara Menjamin tanggung jawab dalam memenuhi hak sipil warga negaranya sesuai dengan apa yang masyarakat butuhkan, adanya agama Baha’i yang dianggap minoritas dan jumlah pengikutnya cukup banyak, Penyelenggaraan pemerintahan negara sudah di atur dalam konstitusi, termasuk bagaimana pemerintah menjamin hak-hak asasi warga negara. Salah satu dari sekian banyak hak yang dijamin negara adalah hak untuk memeluk suatu agama yang diyakini.
Dalam menjamin dan melindungi hak beragama, pada pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menjajikan bahwasanya persamaan kedudukan setiap warga negara untuk bebas memeluk kepercayaan dan agama masing- masing, oleh karena itu pemerintah memberikan Surat
dengan Nomor dengan Nomor
SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i yang dinyatakan Oleh Lukman Hakim Saifudin selaku Menteri Agama Indonesia yang mengatakan bahwa Baha’i termasuk agama yang dilindungi sesuai dengan ketentuan pasal 29, Pasal 28 E, serta pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945.
Bedasarkan dokumen tertulis berisikan Surat KEMENAG Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i, surat ini ditujukan kepada Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri yang menanggapi Surat Nomor 472.2/5435/DUKCAPIL pada tanggal 11 Juli 2013 dalam layanan administrasi kependudukan, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Jo UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagaimana warga Negara Indonesia yang lain, dengan pembatasan tertentu sebagaimana yang berlaku bagi umat beragama di luar 6 Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sesuai dengan data lapangan yang diperoleh, hal ini sejalan dengan pelayanan pemenuhan Hak Sipil di Bidang Administrasi Kependudukan yang berfokus pada (Kartu Keluarga, KTP, Surat Nikah dan Akte Kelahiran)
yang tercantum dalam Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan mengenai Penganut Baha’i terhadap pemenuhan hak sipil di bidang Administrasi Kependudukan. Pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yaitu Bapak Prastowo dalam mendengar ceritanya pada tanggal 28 Februari 2020 bahwa pelaksanaan pemenuhan hak sipil di Bidang Administrasi Kependudukan bagi Agama Baha’i ini sama halnya dengan masyarakat yang lain, tetapi tetap ada perbedaan dikarenakan agama Baha’i ini tidak termasuk dari 6 Agama yang diakui oleh Indonesia.
Dalam mendengar cerita dari Bapak Muhaimin pada tanggal 16 Februari 2020 beliau adalah salah satu pengikut Agama Baha’i yang tinggal di Surabaya sejak kecil, yang memiliki pengalaman yang susah dilupakan selama masa hidupnya yang berkaitan dengan Pengurusan Administasi Kependudukan nya, Bapak Muhaimin juga mengatakan bahwa beliau pernah mengurus KTP dengan membawa bukti Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Surabaya akan tetapi tidak membuahkan hasil sama sekali.
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan diharapkan dapat menghentikan perbedaan dalam hal data kependudukan namun kenyataanya tidak sesuai dengan kenyataanya, dalam hal ini Agama Baha’i sempat menjadi perhatian khusus oleh menteri Agama Lukman Hakim Sifuddin dalam tweetnya di media sosial yang menyatakan bahwa Agama Baha’i merpakan suatu Agama bukan aliran sesat.
Dalam pengurusan pembuatan kartu keluarga, setiap agama Baha’i di seluruh Indonesia tetap saja tidak bisa, bahkan untuk setiap keluarga Kartu Keluarga terpisah- terpisah, setiap orang yang berkeluarga akan mendapatkan Kartu Keluarga sendiri, seperti yang dituturkan oleh Bapak Muhaimin:
“Untuk Kartu Keluarga, saya punya sendiri, Istri juga Punya Sendiri, Bahkan anak saya yang berumur sudah mau menduduki sekolah menengan atas itu juga punya Kartu Keluarga sendiri, jadi pelayanan untuk Kartu Keluarga juga saya rasa aneh”
Disamping itu proses pelayanan pemenuhan hak sipil di bidang administrasi kependudukan yang disampaikan oleh Bapak Muhaimin pada tangga 16 Februari berkaitan dengan Kartu Tanda Penduduk yaitu KTP yang sampai saat ini masih jelas ada pengosongan kolom Agama
“Dalam bentuk pelaksanaan pemenuhan dalam KTP, pihak dispenduk juga telah memberikan
pelayanan sesuai yang pemerintah perintahkan, akan tetapi tidak dengan bagian kolom agama nya, di dalam bagian agama, KTP saya tetap kosong, padahal dalam sistem pelayanan saya tahu kalau ada agama Baha’i tapi ditulis sebuah kepercayaan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
akan tetapi saya pribadi juga tidak mau jika agama saya di bilang sebagai kepercayaan padahal Menteri Agama Lukman syaifuddin juga telah mengatakan bahwa agama Baha’i adalah agama yang harus diakui karena penyebaranya yang luas di Negara Indonesia”
Bapak Mak’ruf adalah pengikut Agama Baha’i yang tinggal di Surabaya sejak Tahun 1974, beliau juga Orang Tua dari Bapak Muhaimin Lahir di Banyuwangi kemudian pindah ke Surabaya, biasanya jika berpindah daerah akhirnya Bapak Makruf ini memutuskan untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), Agama yang diyakini Bapak Mak’ruf dulunya adalah Agama Islam, kemudian beliau mendapat pencerahan dan menyakini Agama Baha’i sebagai Agama yang beliau yakini hingga sekarang. Dalam pelaksanaan pembuatan Kartu tanda penduduk (KTP) atau pengurusan surat-surat yang lain ternyata untuk memiliki hal tersebut tidak lengkap juga sangat dirasakan oleh Bapak Mak’ruf mengatakan sebagai berikut:
“Sebagai pengikut Agama Baha’i yang bisa dibilang cukup lama, sebelum atau sesudah diberlakukan surat dari Menteri Agama tersebut, saya sebagai pengikut Agama Baha’i sampai sekarang untuk pemenuhan Hak Sipil di bidang administrasi kependudukanya belum terpenuhi, sampai sekarang KTP saya alamat nya di Banyuwangi karena untuk membuat KTP di Surabaya memang tidak bisa” (wawancara tanggal 16 Februari 2020).
Sebagai Masyarakat tentu saja menganggap bahwa Kartu Tanda Penduduk (KTP) begitu sangat penting karena akan memicu kendala untuk pembuatan Surat- Surat yang lain, dalam hal ini dalam pelaksanaanya, Ibu Siti Muanah juga menegaskan bahwa,
“Saya sudah bilang pada pihak petugas yang melayani KTP, akan tetapi Agamanya tetap saja Islam.Akhirnya saya meminta mengurus kembali KTP saya, pihak petugasnya bilang lagi bahwa kolom Agamanya memang harus kosong karena tidak ada cetakan yang membuat Agama Tersebut.
(Wawancara tanggal 2 Oktober 2019)
Berbeda dengan pengikut Agama Baha’i yang ada di Pucang Anom sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Hamdi dalam pengurusan KTP:
“Dalam pengurusan KTP itu memang tetap kosong, akan tetapi dalam membuat surat Nikah itu bisa, Oleh karena itu tidak semua pihak itu
menuruti apa maunya kita sebagai pemgikut Agama minoritas, meskipun dari pihak sana juga mengetahui adanya surat yang diberikan oleh Menteri Agama, tentulah sebagai orang Baha’i pastinya kepengen ngurus surat nikah dengan jelas, akte kelahiran, dan mencamtumkan Agama di KTP nya masing-masing, tapi mau bagaimana lagi yang penting kita sudah berusaha secara maksimal, saya pun nggak bisa mengkritik, takutnya nanti malah di benci sama mereka, dan tetap menganggap bahwa kita ini aneh” (Wawancara tanggal 12 Maret 2020)
Dari pembuatan KTP memang pihak Agama Baha’i tidak menyalahkan mereka, begitu juga dengan dampak yang diperoleh bagi Agama Baha’i, akan tetapi hal seperti ini sangat berdampak bagi pengikut Agama Baha’i.
Bukan hanya dalam pembuatan KTP saja yang dirasa sangat sulit akan tetapi juga dalam pembuatan Surat Administrasi Kependudukan yang lain, seperti yang dikatakan oleh Bapak Muhaimin (yang mengeluhkan bahwa dalam pembuatan Surat Nikah juga dipersulit:
“Jadi di dalam Agama Baha’i tata cara pernikahan itu hanya dilakukan di Majelis Kerohanian Nasional dan kemudian di resmikan di Majelis Kerohanian setempat seperti yang ada di Surabaya ini, bahkan untuk bukti surat nikah itu benar-benar ada yang ditandangani oleh Bapak dan Ibu kandung dari ke dua memplai, ketika saya mengurus Surat Nikah di Dispenduk untuk meminta Hak sebagai warga negara agar pernikahanya itu bisa diakui, ternyata dalam mengurus surat nikah saya itu kayak di “endeng- endeng”(di suruh kesana kesini buat ngurus surat nikah agar tercatat di pencatatan sipil).
Pengalamanya agar bisa mendapatkan surat nikah itu di suruh ikut siding di pengadilan agama, tapi sampai sekarang memang belum mendapatkan hasil sesuai apa yang impikan, hal seperti ini tidak hanya dirasakan bagi saya akan tetapi juga seluruh pengikut agama Baha’i yang yang lain”
(Wawancara 16 Maret 2020).
Karena surat nikah merupakan dokumen penting bagi sepasang suami istri sebagai pengakuan bahwa telah terlaksananya sebuah pernikahan yang sakral. Dalam pengurusan surat nikah yang tercatat di catatan sipil pengikut Agama Baha’i diberikan dua pilihan yaitu dengan ikut siding di pengadilan tinggi Agama sebagai bentuk permohonan agar dapat memiliki Surat Nikah tersebut akan tetapi tidak membuahkan hasil.
Sebagai Orang Tua dan memiliki anak, pasti tidak lepas dari tanggung jawab mereka sebagai orang tua, tidak hanya dalam pengurusan Surat Nikah dalam mengurus Akte kelahiran saja dipersulit, pengikut agama Baha’i masih memperjuangkan hak dasar mereka dalam bentuk dokumen kependudukan, untuk mengurus akte kelahiran tentu saja membutuhkan surat nikah yang tercatat di pencatatan sipil. Anak perempuan Bapak
Muhaimin yang sampai sekarang tidak memiliki akte kelahiran sehingga berpengaruh untuk masa depan sang anak. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Muhaimin:
“Dalam pemenuhan akte kelahiran itu diterapkan seperti seorang anak tidak memiliki sosok seorang ayah, dalam pencatatanya hanya ditercantum nama ibu nya saja, jadi menurut saya pribadi anak yang terlahir itu seperti hasil perkawinan yang tidak sah, bahkan hal ini juga sangat berdampak bagi anak saya, ketika ingin mendaftarkan ke sekolah anak saya tidak memiliki akte sesuai prosedur pemerintah, jadi sampai sekarang ya anak saya ya nggak punya akte kelahiran, sampai kelas 3 smp, belom lagi kalau besok ada pendaftaran SMA ini pasti juga tidak bisa mendaftar sesuai syrat yang diberlakukan dari sekolah. (wawancara 16 maret 2020).
Bapak Muhaimin Menjelaskan jika pengurusan Akte Kelahiran ingin lebih dimudahkan oleh Pihak Dispenduk Capil maka sebagai orang Baha’i itu biasanya haru menikah dulu dengan yang berbeda Agama, sehingga mereka akan menikah dengan du acara, yakni cara Baha’i dan cara islam. Buku nikah yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama (KUA) kemudian digunakan untuk mengurus akta kelahiran anak, Kartu Keluarga (KK) dan kartu Tanda Penduduk, akan tetapi di dalam kartu tandap penduduk sampai saat ini di kolom agam tetap saja kosong.
Bahkan di dalam proses pembelajaran anak dalam dunia pendidikan, anak-anak yang terlahir agama baha’i tidak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan agama mereka, anak-anak agama baha’i memilih agama yang akan dipelajari, misalnya agama islam, mau tidak mau anak-anak agama baha’i harus mempelajari agama tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Muhaimin:
“Anak perempuan saya sejak SD sampai SMP ini tidak pernah mendapatkan Pelajaran agama yang sesuai dengan Agama yang dianut, jadi mau tidak mau ya harus mengikuti pelajaran agama sesuai yang dipilih, kebetulan anak saya itu memilih agama islam sebagai pelajaran agamanya, soalnya kan untuk mengikuti pembelajaran tersebut agar mendapatkan nilai aja”
Jadi penyebab belum terjadinya sumber belajar sesuai yang di harapkan, dari pihak gurunya mengatakan belum ada instruksi dari pemerintah untuk terlaksakanya proses pembelajaran agama Baha’i, sekolah juga beranggapan bahwa anak-anak yang beragama baha’i masih sedikit di tingkat SMP hanya 1 saja. Hal seperti ini juga dikatakan oleh Bapak Mak’ruf bahwasanya:
“Biasanya anak-anak yang sejak lahir telah menjadi agama baha’i meskipun di sekolahnya tidak mendapatkan hak mereka yang sesuai, akan tetapi dari perkumpulan-perkumpulan agama Baha’i sendiri memberikan hak yang sesuai untuk
mereka yaitu memberikan kajian-kajian kerohanian agar karakter anak juga terbentuk sesuai agama yang mereka yakini”
Senada dengan pengalaman yang dirasakan oleh Ochi yang dulunya ochi tidak mendapatkan pembelajaran pendidikan agam yang sesuai dengan yang diyakini yaitu agama Baha’i.
Jadi Implementasi dari surat tersebut belum terlaksana dengan baik terhadap pemenuhan hak administrasi kependudukan bagi pengikut Agama Baha’i belum sesuai yang diharapkan oleh agama baha’i. Yang dibuktikan dengan adanya pelayanan pelaksanaan yang diberikan oleh Pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Surabaya yang menekankan bahwa Agama Baha’i memang kesulitan dengan pengurusan administrasi nya karena Baha’i tidak termasuk agama yang diakui oleh Indonesia, meskipun menteri agama telah mengeluarkan surat tersebut. kegunaan dari Surat Nomor 675 Tahun 2014 itu bertujuan untuk merealisasikan agar terciptanya pemenuhan hak sipil di Bidang Administrasi Kependudukan yang sesuai yang diinginkan oleh Agama Baha’i.
Sesuai dengan hasil pelaksanaan dalam pemenuhan Hak Sipil di Bidang Administrasi Kependudukan yang berfokus pada Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah dan Akte Kelahiran. Terdapat suatu implementasi adanya surat tersebut seperti dituturkan Oleh pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yaitu Bapak Prastowo pada tanggal 28 Februari 2020 :
“Setahu saya pernah, kalau tidak salah itu adalah surat dari sekjen kemenag yang memberikan penjelasan adanya agama baha’i yang memberikan balasan ke Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil mengenai pelayanan di bidang Administrasi Kependudukan Agama Baha’i, akan tetapi dari pihak atasan belum mengkonfirmasikan kembali ke kami”
(Wawancara 28 Februari 2020).
Dari pembicaraan bersama Bapak Prastowo Pada tanggal 28 Februari 2020 dengan adanya Surat KEMENAG Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i terhadap pemenuhan hak sipil di bidang Administrasi Kependudukan bahwa beliau sudah mengetahui adanya surat tersebut dan pemerintah juga telah mengakui adanya Agama Baha’i yang tersebar di Surabaya. Tetapi berbeda dengan penuturan yang disampaikan oleh Drs.Vincentus Andoko pada tanggal 28 februari 2020:
“Saya juga pernah membaca adanya surat tersebut, akan tetapi sebagai staf pelayanan pencatatan sipil, saya juga mentaati peraturan perundang-undangan, jika saya memerikan pelayanan sesuai dengan Agama mereka, bukan hanya Agama Baha’i saja
yang nantinya ingin dicantumkan Agama nya, akan tetapi jelas akan ada Agama-agama yang lain yang ingin juga dipenuhi hak sipilnya”
(Wawancara 28 Februari 2020).
Jadi Surat Kementerian Agama Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i terhadap pemenuhan hak sipil di bidang Administrasi Kependudukan masih dianggap hanya surat tentang pengakuan keberadaan agama Baha’i saja, Penyebaran Agama Baha’i di Surabaya ini dirasakan oleh Bapak Ir. Prastowo dalam wawancara mengenai masyarakat yang beragama Baha’i sebagai berikut.
“Pernah ada mbak, dulu itu ada beberapa orang kesini mengurus KTP dan Surat Nikah mereka mengatakan bahwa beragama Baha’i, awalnya saya bingung agama Baha’i itu sangat aneh di telinga saya, kemudian saya suruh aja ke staf bagian pelayanan agar mereka di layani sesuai permintaan mereka, akan tetapi staf ktp dan staf pengurusan surat nikah juga bingung, agama Baha’i ini apakah agama atau kepercayaan, sedangkan staf pelayanan hanya mengetahui 6 Agama resmi yang diakui Negara, akan tetapi mereka yang menganut Agama Baha’i berpendapat bahwa mereka bukan penganut kepercayaan melainkan suatu Agama dan bukan Aliran sesat”. (Wawancara 28 Februari 2020).
Jadi pada wawancara yang dilakukan dengan Bapak Prastowo Pada Tanggal 28 Februari 2020 digambarkan bahwa masyarakat penganut agama Baha’i menyatakan bahwa dirinya adalah Agama bukan suatu kepercayaan dan aliran. Agama Baha’i mengurus hak sipil di bidang Administrasi Kependudukan di Dispenduk Capil Surabaya. Hal seperti ini juga di sampaikan oleh Drs.
Vicentus Andoko:
“Iya, memang ada agama Baha’i yang mengurus KTP dan Surat Nikah disini, akan tetapi saya bilang ke mereka, kalau dari pihak dispenduk tidak bisa memberikan pelayanan yang seperti mereka minta, saya bilang disini hanya menyediakan percetakan Kolom KTP hanya 6 Agama yang diakui pemerintah” (Wawancara 28 Februari 2020)
Perjuangan para penganut Agama Baha’i di Surabaya untuk mendapatkan hak sipil di bidang administrasi kependudukan ini memang di perjuangkan sekali oleh Agama Baha’i yang ada di Surabaya sebagaimana pihak dari penganut Agama Baha’i di Surabaya telah mengetahui adanya Surat tersebut, sesuai dengan penuturan Bapak Prastowo :
“Bahwa dalam implementasi surat tersebut yang berkaitan dengan pemenuhan hak administrasi kependudukanya bagi agama Baha’i dari pihak dispenduk capil Surabaya tidak bisa memberikan keputusan yang pasti, karena kami mengikuti peraturan perundang-undangan yang sesuai
dengan pemerintah, jika pemerintah memberikan keputusan meng-iyakan pasti kami juga meng- iyakan, setahu saya juga Agama yang di akui Negara ini hanya 6 Agama, semisal baru saja kemarin adanya penghayat kepercayaan Saptha Dharma yang ada di Surabaya,Pemerintah Kota Surabaya memberikan Informasi kepada dispenduk capil Surabaya untuk pemenuhan hak sipil mereka, akan tetapi kalau agama Baha’i ini belum ada musyawarah yang pasti”. (wawancara 28 Februari 2020).
Jadi wawancara yang dilakukan dengan Bapak Prastowo menggambarkan bahwa untuk pemenuhan di dalam bidang administrasi kependudukanya ini boleh mengkosongkan Agama yang ada di KTP dengan memberikan tulisan Agama yaitu kepercayaan yang sesuai dengan Pemerintah dan Undang-Undang yang telah di atur dalam UU Aminduk yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang terdapat di Pasal 64 yang memberikan opsi bahwa Agama Baha’i ini di samakan dengan Penghayat Kepercayaan. Hal ini juga sama dengan apa yang dituturkan oleh Drs. Vicentus Andoko:
“Untuk memberikan pelayanan pemenuhan terhadap mereka, pihak dispenduk tetap memberikan pelayanan dalam bentuk KTP dan lain-yang lain, akan tetapi tetap dengan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan aturan mereka serta pemerintah, jika pemerintah memberikan keputusan lebih lanjut mengenai surat itu pasti pihak dispenduk juga memberikan pemenuhan yang sesuai, bahwasanya bisa dikatakan agama Baha’i tingkat eksistensinya belum dikenal oleh masyarakat luas, jika dalam pemenuhan di bidang administrasi kependudukanya di sesuaikan dengan agama yang mereka ikuti, bagaimana dengan agama yang lain yang juga ingin di tulis di kolom agamanya..” (28 Februari 2020)
Jadi berkaitan dengan Implementasi Surat Kementerian Agama Nomor 675 Tahun 2014 terhadap pemenuhan Hak Sipil di Bidang Adminsitrasi Kependudukan ini Pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Surabaya tetap memberikan pelayanan terhadap agama Baha’i disamakan dengan masyarakat yang lain, akan tetapi untuk pemberian kolom KTP tetap kosong (-) tanda strip karena dengan alasan bahwa agama Baha’i tidak termasuk dari 6 Agama yang diakui, sebab pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Surabaya lebih mentaati peraturan pemerintah dan perundang-undangan dari Negara daripada memberikan kebijakan secara khusus yang dibuatnya sendiri.
Dampak dikeluarkanya isi Surat Nomor 675 Tahun 2014 yang dirasakan oleh Agama Baha’i.
Agama Baha’i merupakan agama yang dikenal dengan kesatuan dan sifat universal. Penganut agama Baha’i di Surabaya dengan jumlah 35 Orang yang terdiri dari keluarga dan mahasiswa. Mereka saling mengenal satu sama lain meskipun berasal dari daerah yang berbeda, sesuai dengan peresmian dari Surat SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i terhadap Agama Baha’i adapun dampak Negatif maupun dampak positif yang dirasakan oleh agama Baha’i.
Seperti yang dituturkan oleh Bapak Muhaimin penganut Agama Baha’i . pada tanggal 16 Februari 2020 beliau mengatakan banyak hal apa saja dampak yang dirasakan oleh agama Baha’i di Surabaya yang berkaitan dengan surat tersebut :
“Dengan adanya surat tersebut bagi pengikut Agama Baha’i, saya pribadi sangat bersyukur karena telah di akuinya Baha’i agama bahkan bapak menteri agama sendiri yang mengeluarkan surat itu , sebelum adanya dikeluarkanya surat itu, agama Baha’i cenderung tertutup dengan masyarakat, bahkan saya juga tidak ingin diketahui oleh orang banyak mengenai agama saya” (16 Februari 2020).
Dari wawancara yang dilakukan bersama Bapak Muhaimin ini jelas bahwa beliau adalah pengikut Agama Baha’i yang ada di Surabaya dan bertempat tinggal di Tandes Kidul Surabaya. Hal ini juga di rasakan penuh oleh Kak Ochi sebagai pengikut Agama Baha’i yang ada di Surabaya mengenai kejelasan dari Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i.
“Semenjak adanya surat tersebut, sebagai orang pengikut Baha’i tentu saja tidak bisa dipungkiri sangat senang, kita bisa lebih terbuka, sebelum adanya surat tersebut dikeluarkan sebagai agama Baha’i mau menejelaskan agama apa yang diyakini itu sangat susah sekali terbukanya, jadi dulunya itu sangat amat tertutup, kita takut bahwa nanti ada orang yang nggak suka atau orang yang menganggap kita ini agama yang aneh, dan syukur semenjak adanya surat tersebut agama Baha’i sudah mulai terbuka dan bahkan sudah sedikit banyak orang yang mengenal agama Baha’i, mulai dari masyarakat seperti tetangga dan juga mahasiswa, inti dari surat tersebut adalah sebagai pengakuan adanya agama Baha’i yang ada di Indonesia agar kita di akui oleh pemerintah dan juga tidak di anggap asing oleh masyarakat”
(wawancara 16 Maret 2020)
Hal ini sejalan dengan gerakan pemuda-pemudi yang diciptakan oleh pemuda-pemudi agama Baha’i yang bisa dikatakan ada sebuah perkumpulan Keluarga dan
mahasiswa Agama Baha’i di Surabaya. Mereka menjalin hubungan multirelijius khususnya di masyarakat Surabaya, keluarga penganut Agama Baha’i menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar, sebagaimana dari hasil wawancara dengan Bapak Makruf pada tanggal 15 Februari 2020 selaku sesepuh Pengikut Agama Baha’i di Surabaya :
“Dalam menjalin hubungan dengan masyarakat kita tetap baik dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada dikampung, meskipun terkadang masyarakat yang belum tahu tentang agama kita menganggap bahwa kita aliran sesat, akan tetapi alhamdulilah saya disini dan keluarga diterima dengan baik, meskipun ada juga yang menganggap bahwa saya dan keluarga merupakan aliran sesat, tetapi saya tidak memperdulikan hal itu, karena saya dan keluarga juga tidak merugikan masyarakat sekitar”(wawancara 15 Februari 2020) Dalam hasil wawancara tersebut membuktikan bahwa di masyarakat menerima mereka sebagai penganut Agama Baha’i, Bahkan dengan adanya perbedaan tersebut pihak RT Tandes Kidul gang makam juga memberikan toleransi yang begitu mengagumkan, bahwasanya jika dilihat dari permasalahan sebelumnya bahwa penganut agama Baha’i tidak boleh memakamkan dirinya ketika sudah meninggal di Makam Islam yang ada di Tandes Kidul tersebut, akan tetapi setelah dikeluarkanya Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i berdampak baik dan mengubah pemikiran Ketua RT Tandes Kidul sebagaimana yang dituturkan oleh Bapak Makruf :
“Dulu itu sebelum adanya surat, masyarakat dan pihak RT tidak setuju jika pemakaman agama Baha’i dimakamkan campur dengan agama Islam, dengan waktu yang perlahan-perlahan akhirnya ketua RT Memahami keadaan kami pengikut Baha’i, awalnya mereka curiga apakah nantinya dalam proses pemakaman akan berbeda, setelah adanya surat ini alhamduliah masyarakat dan ketua RT memperbolehkan kita untuk memakamkan diri dan keluarga ke pemakaman agama Islam, Karena bagi kita pemakaman itu kan rumah istirahat terakhir, jadi mau ke tanah kosong juga tidak masalah sebenarnya” (Wawancara 15 Februari 2020).
Dari segi interaksi antara masyarakat dengan pengikut Agama Baha’i yang ada di Tandes Kidul berjalan dengan baik, guyup rukun antar sesama, sehingga dalam lingkup kegiatan ibu-ibu yang ada di Tandes Kidul gang makam, juga dirasakan penuh oleh ibu muanah selaku istri dari Bapak Makruf :
“Jika ada tetangga yang memiliki kegiatan seperti hajatan pernikahan, kita itu di undang dengan baik istilahnya kayak (warah), saya juga datang ke acara hajatan pernikahan mereka, membantu masak, membantu sampai selesai, dan bahkan juga ada kegiatan arisan ibu-ibu, disini baik semua, tidak hanya itu di sela-sela perkumpulan itu juga
saya menjelaskan tentang toleransi itu bagaimana, menghargai dengan sesama, syukur sekali bahwa tetangga-tetangga saya pada baik semua, mau menerima dengan baik saya dan kelaurga”(wawancara 15 Februari 2020).
Untuk mendukung pertumbuhan karakter yang bermoral pada anak- anak dan mempertahankan kelembutan hati mereka, masyarakat agama Baha’i di Surabaya mendukung diadakanya kelas rohani untuk membantu para remaja melewati masa yang paling kritis dalam kehidupan mereka, pembelajaran dilakukan secara berkelompok belajar dari berbagai latar belakang. Dengan demikian memungkinkan orang-orang dari latar belakang yang berbeda itu bersama-sama maju dalam memperlajari dan menyelidiki bagaimana penerapan nilai0nilai moral yang bersifat universal dalam kehidupan mereka.
Dalam hasil apa yang telah dipaparkan di atas oleh Ibu Muanah selaku istri dari Bapak Makruf, hal itu juga dirasakan oleh Ochi Pemuda-pemudi pengikut agama Baha’i di Surabaya bahwa untuk kegiatan kelompok remaja dan kelas anak-anak itu sekarang mendapatkan kebebasan interaksi sehingga anak di luar agama Baha’i juga boleh mengikuti kelas Anak:
“dalam agama Baha’i dari pihak kita memberikan suatu program yaitu kelompok remaja dan kelas Anak. Hal ini tidak mewajibkan bahwasanya hanya pengikut agama Baha’i saja yang boleh ikut, akan tetapi diluar agama Baha’i juga boleh ikutserta dalam kelas Anak, disana nanti kita belajar tentang Doa-Doa yang berbeda tetapi tetap satu, belajar sambal bermain dan lain sebagainya”
(Wawancara 16 Maret 2020).
Ochi Menjelaskan sebelum adanya surat tersebut ruang gerak Agama Baha’i memang tidak sebebas sekarang selalu ada batasan-batasa sehingga memungkinkan masyarakat tidak berani mendekat dengan kita, tetapi setelah adanya surat tersebut dampak positif yang dirasakan oleh kita sebagai pengikut agama Baha’i sangat sekali dirasakan oleh Agama Baha’i, jadi kita selalu memberikan energi positif kepada yang berbeda Agama dan saling menghargai satu sama lain.
Menurut penjelasan di atas dijelaskan bahwa dengan dikeluarkanya Surat dari Kementerian Agama membawa dampak-dampak positif bagi agama Baha’i. agama Baha’i memiliki ruang kebebasan yang cukup untuk bergerak, berbagi menebarkan panji-panji kebajikan dengan agama- agama yang lain, serta menjunjung nilai Pancasila dan tetap taat terhadap norma dan peraturan pemerintahan akan tetapi di dalam implementasi surat nomor 675 Tahun 2014 Terhadap pemenuhan hak sipil di bidang administrasi kependudukan yang berfokus pada empat dokumen penting yaitu KK, KTP, Surat Nikah, dan Akte Kelahiran agama Baha’i tidak mendapatkan respon yang baik dari pemerintah, hal ini menjadikan agama Baha’i
masih tetap harus berjuang demi mendapatkan hak sebagai warga negara yang semestinya.
Hal ini pernah disinggung oleh Bapak Makruf dan Bapak Muhaimin pada tanggal 16 maret 2020 yang menjelaskan bahwa dampak negatif yang dirasakan agama Baha’i setelah keluarnya surat tersebut adalah hanya di Bagian administrasi Kependudukanya, ketika ingin mengurus KTP, KK, Surat Nikah dan Akte kelahiran selalu dipersulit oleh pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kota Surabaya.
Seharusnya, dalam permasalahan pelayanan administrasi kependudukan yang menyangkut Hak Asasi Manusia warga negara ini, pemerintah memberikan jaminan kepada agama Baha’i bukan hanya sekedar surat dikeluarkan kemudian tidak sama dengan apa yang agama Baha’i inginkan.
Jadi dampak negatif yang mereka rasakan di bidang Administrasi Kependudukanya seperti contoh dalam Kartu Tanda Penduduk di kolom agama terdapat tanda (-), begitupun juga dengan Kartu keluarga dalam satu keluarga terdapat masing-masing Kartu Keluarga tidak tergabung menjadi satu melainkan terpisah, Surat Nikah yang dimiliki agama Baha’i hanya tercatat dalam bentuk Surat Nikah resmi dari Majelis Rohani Jakarta yang sampai sekarang jika Agama Baha’i mengurus harus menunggu sampai 2 Bulan di pengadilan agama agar surat nikah yang agama Baha’i miliki diakui oleh pencatatan perkawinan, bahkan ada yang berhasil atau sebaliknya dan Akte kelahiran Anakpun sampai saat ini hanya tercantum nama ibu saja. Oleh karena itu dengan adanya dampak negatif tersebut posisi Agama Baha’i masih memperjuangkan hak mereka sebagai warga Negara di dalam Hak Sipil di bidang Administrasi Kependudukanya.
Pembahasan
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa Implementasi Surat Nomor 675 Tahun 2014 perihal penjelasan mengenai pengikut Baha’i terhadap pemenuhan hak sipil di bidang administrasi kependudukan bagi Agama Baha’i belum terpenuhi secara baik, masih terdapat bentuk diskriminasi yang menunjukan bukti pada kolom Agama Baha’i (-) kosong yang tidak tercantum di dalam Kartu Tanda Penduduk dan Dokumen penting lain. Hal ini karena sering terjadinya kesalahpahaman antara apa yang telah pemerintah keluarkan dalam pembuatan aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya, akan tetapi bertolak belakang dengan kebijakan yang merealisasikan bahwasanya pemenuhan hak administrasi bagi agama Baha’i harus dijamin lebih baik lagi.
Hasil penelitian menunjukan dari rumusan masalah bahwa ada keterkaitan teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori Hukum Positif dari pandangan Positivisme Hukum yang dikaji oleh Austin (1790-1859) memaknai hakikat hukum sebagai norma-norma positif dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pandangan teori ini menerapkan bahwa Agama merupakan Hak Asasi Manusia yang dimilki masing-masing individu, akan tetapi pemerintah menjalankan aturan. Jadi berkaitan dengan pemerintah dan juga Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal penjelasan penganut agama Baha’i ini pemerintah sudah memberikan suatu peaturan bagi Agama Baha’i yang memberikan pelayanan dalam administrasi kependudukanya, dan menjalankan hak dan kewajibanya masing-masing selama tidak melanggar Norma dan juga peraturan pemerintahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Administrasi kependudukan merupakan rangkaian pendataan masyarakat dan penertiban dokumen kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil dan pelayanan publik terhadap masyarakat yang diamanatkan dan disahkan sejak tahun 2006 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang administrasi kependudukan. Administrasi kependudukan dikelompokan menjadi tiga komponen secara garis besar, di antaranya yaitu: 1). Data Pribadi 2). Database 3).
Diharapkan dapat menghentikan diskriminasi dalam hak administrasi kependudukan bagi agama Baha’i yang dianggap belum diakui oleh pemerintah yang berbeda dengan enam agama yang diakui oleh pemerintah.
Penelitian ini secara utuh mendukung dari teori hak asasi manusia yakni teori hukum alam dan teori keadilan yang keduanya saling berhubungan dengan apa yang ada dilapangan.
Dalam mendapatkan hak konstitusional sebagai warga negara, agama Baha’i pada awalnya mendapatkan kecurigaan sosial dengan masyarakat yang menganggap Agama Baha’i aliran sesat, akan tetapi setelah Kementerian Agama memberika surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i secara resmi agama Baha’i diakui oleh pemerintah.
Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i pengakuan yang resmi bagi Agama Baha’i. Agama Baha’i juga mendapat perhatian khusus oleh Menteri Agama, sehingga Agama Baha’i menjadi agama resmi yang diakui Indonesia, pernyataan Menteri Agama tersebut dinyatakan untuk menjawab pertanyaan dari menteri Dalam Negeri terkait dengan hak administrasi masyarakat bagi pengikut Agama Baha’i terhadap urusan administrasi kependudukanya.
Isi surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i. diaminkan dalam
beberapa poin penting yang menunjukan adanya pelaksanaan serta bentuk pemenuhan yang sesuai dengan hak sebagai warga negara khususnya di dalam pengurusan administrasi kependudukan, yang berbunyi:
“Dalam hal layanan administrasi kependudukan, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, umat Baha’i berhak mendapatkan layanan kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana warga negara indonesia yang lain, dengan pembatasan tertentu sebagaimana yang berlaku bagi umat beragama di luar enam agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 di dalam pelaksanaan dan implementasianya ini saling berkaitan dengan Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i yang mengatur tentang pengurusan administrasi kependudukan bagi pengikut Agama Baha’i di Surabaya maupun seluruh Indonesia.
Trauma yang dirasakan pengikut agama Baha’i adalah ketika sebelum adanya surat pengakuan dari pemerintah tersebut, agama Baha’i mendapatkan kendala dalam bentuk diskriminasi yang berdampak pada pengurusan surat-surat pendataan catatan sipil seperti KK, KTP, Surat Nikah dan juga Akte Kelahiran Anak.
Usaha yang dilakukan oleh pengikut Agama Baha’i untuk mendapatkan hak administrasi kependudukan tidak membuahkan hasil sama sekali, padahal jika dilihat usia surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i sudah berusia enam tahun, Bagi pengikut Agama Baha’i surat tersebut merupakan hal yang sangat penting sebagai bukti jika sedang melakukan proses pelayanan publik di daerahnya masing-masing.
Pada kenyataanya, jika membicarakan mengenai pemerintahan atau pelayanan publik, berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara yang dilakukan bersama Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur menemukan bahwa adanya kendala sehingga surat itu tidak bisa dijalankan dengan baik, karena tetap teguh pada aturan Negara dan sesuai dengan Undang-Undang. (1) Pelaksanaan atau Implementasi Surat Nomor SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 perihal Penjelasan Mengenai Penganut Baha’i dianggap tingkat terendah karena pada dasarnya kedudukan tertinggi pedomanya akan tetap pada acuan peraturan Undang-Undang sebagaimana sebagai pijakan hukum sesuai dengan aturan Negara Indonesia.
Dalam wawancara dengan Kepala Bidang Pencatatan Sipil Kota Surabaya menjelaskan bahwa dari pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surbaya tidak