82
Effect of Purple Sweet Potato (Ipomoea Batatas L.) on Reducing Renal Tissue Damage of House Mice (Mus Musculus L.)
After Excessive Physical Exercise
Rika Nailuvar Sinaga1), Herla Rusmarilin2), T.Helvi Mardiani3), Ayu Elvana 4)
1)Faculty of Sport Science, Medan University, Indonesia
2)Faculty of Agriculture, University of North Sumatera, Indonesia
3)Faculty of Medicine, University of North Sumatera, Indonesia
4)Health Polytechnic Medan, Indonesia
ABSTRAK
Background: Heavy physical exercise can reduce blood flow and metabolism in kidney that eventually release free radicals. The free radicals can form oxydative stress and damage renal tissue.
Exogenous antioxydant administration is usually recommended to minimize the renal tissue damage. This study aimed to examined the effect of purple sweet potato (Ipomoiea batatas L.) extract on renal tissue damage in mice (mus musculus L.) after heavy physical exercise.
Subjects and Method: This was a randomized controlled trial with post test only control design.
The study subjects included twenty four male white mice with DD Webster strain. These mice were divided into six groups. After undergoing excessive swimming exercises that lasted forteen days, purple sweet potato extract was given to the experimental group. There were three experimental groups receiving three different doses of purple sweet potato. The mice kidney was taken as sample for microscopic examination to determine the extent of tissue damage. Difference in renal tissue damage was tested by Kruskal-Wallis.
Results: Microscopic examination showed statistically significant difference in tissue damage both in right (p=0.001) and left (p=0.036) kidneys, between study groups. The experimental groups showed less damaged than control group.
Conclusion: Purple sweet potato (Ipomoiea batatas L) can lessen renal damage in male white mice (Mus musculus L) undergoing excessive physical exercise.
Keywords: purple sweet potato (Ipomoiea batatas L), renal tissue damage mice.
LATAR BELAKANG
Latihan fisik dapat meningkatkan konsumsi oksigen karena terjadi peningkatan meta- bolisme di dalam tubuh seperti pada otot, jantung dan otak. Di sisi lain, aliran darah dan metabolisme menurun secara signifikan pada hati dan ginjal selama latihan (Radak et al., 2013).
Penurunan aliran darah pada ginjal tersebut menyebabkan terjadinya iskemia- reperfusi yang akan mengaktifkan sistem
xantin oksidase. Proses iskemia-reperfusi dan aktivasi leukosit melalui sistem NADPH oksidase dapat menyebabkan stres oksidatif selama dan setelah latihan pada ginjal.
Kedua mekanisme ini sangat bertanggung jawab untuk terjadinya stres oksidatif di dalam organ dan jaringan ekstramuskular setelah latihan fisik (Kocer et al., 2008).
Stres oksidatif merupakan ketidak- seimbangan antara senyawa oksigen reaktif dan antioksidan (Urso dan Clarkson, 2003).
Corespondance:
Rika Nailuvar Sinaga
Faculty of Sport Science, Medan University [email protected]
83 Senyawa oksigen reaktif dihasilkan dari
molekul oksigen sebagai akibat dari meta- bolisme sel normal. Tiga senyawa oksigen reaktif utama yang memiliki pengaruh fisio- logis adalah anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH•), dan hidrogen peroksida (H2O2) (Birben et al., 2012). Umumnya 2- 5% dari oksigen yang digunakan mitokon- dria akan membentuk radikal bebas (Urso dan Clarkson, 2003).
Saat kebutuhan metabolisme mening- kat seperti pada latihan fisik, sel mungkin mengalami keadaan hipoksia relatif walau- pun aliran darah normal pada beberapa organ termasuk ginjal. Hipoksia pada sel tubulus ginjal dapat menyebabkan terjadi- nya apopotosis pada sel (Nangaku, 2006).
Okolow et al (2006) menemukan bahwa latihan fisik yang intensif dapat menginduk- si apoptosis pada sel tubulus distal tikus yang mendapat latihan fisik yaitu treadmill sampai tikus kelelahan selama sembilan puluh menit. Setelah latihan fisik selesai darah dengan cepat akan kembali ke ginjal dan bersamaan dengan itu akan terbebas- kan oksidan dalam jumlah yang besar (Daniel et al., 2010). Stres oksidatif dan hipoksia relatif tersebut dapat menyebab- kan kerusakan pada sel ginjal.
Lebih dari 40% orang yang melakukan latihan fisik mengonsumsi suplemen anti- oksidan untuk menjaga kesehatan (Bucioli et al., 2011). Nangaku (2006) mengemuka- kan bahwa antioksidan merupakan salah satu pengobatan yang targetnya adalah hipoksia pada ginjal dengan memperbaiki proses respirasi seluler.
Salah satu tumbuhan di Indonesia yang mengandung antioksidan dalam jum- lah cukup besar adalah ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L). Warna ungu pada umbi merupakan akibat dari keberadaan senyawa yang dikenal dengan antosianin dan berperan sebagai antioksidan. Umbi
pada ubi jalar ungu mengandung antosianin yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 519 mg/100 g berat basah (Richana, 2013).
Antosianin mampu bertindak sebagai anti- oksidan secara langsung dengan mendonor- kan elektron atau mentransfer atom hidro- gen dari gugus hidroksil kepada radikal bebas (Prior, 2003) dan dapat berikatan dengan spesies oksigen reaktif (ROS) se- perti superoksida (O2-), singlet oksigen (1O2), peroksida (ROO-), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (OH•) (Pojer et al., 2013).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksi- datif dan hipoksia relatif pada ginjal yang akhirnya merusak sel ginjal. Oleh karena ubi jalar ungu merupakan salah satu sum- ber antioksidan yang baik, maka akan dila- kukan penelitian tentang pengaruh ekstrak umbi ubi jalar ungu terhadap histopatologi ginjal mencit setelah latihan fisik maksimal.
SUBJEK DAN METODE
Sampel dalam penelitian ini adalah mencit putih jantan (Mus musculus L.), Strain DD Webster, berumur 8-9 minggu dengan berat badan 25-35 g yang diperoleh dari FMIPA- USU Medan. Mencit diaklimatisasi selama satu minggu dikandang hewan coba dan diberikan makan dan minum sepuasnya.
Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang (06.00-18.00) dan 12 jam gelap (18.00-06.00), sedangkan suhu dan kelembapan ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Untuk penggunaan dan penanganan hewan coba telah mendapat
“Ethical Clearance” dari komite etik FMIPA-USU Medan. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 30 ekor mencit.
Desain Penelitian
Penelitian ini adalah eksperimental murni dengan rancangan penelitian post test only
84
control group design. Sampel dibagi menjadi 6 kelompok masing-masing ke- lompok terdiri dari 5 ekor mencit. Ke- lompok pertama sebagai kontrol yang tidak diberi perlakuan apapun hanya makan dan minum secara ad libitum. Kelompok kedua mendapat latihan fisik maksimal renang selama 60 menit dan 0.5 ml/ekor/hari aquabidest secara oral. Kelompok ketiga mendapat 0.5 ml/ekor/hari ekstrak umbi ubi jalar ungu secara oral. Kelompok keempat mendapat latihan fisik maksimal renang selama 60 menit dan 0.5 ml/
ekor/hari ekstrak umbi ubi jalar ungu secara oral. Kelompok kelima mendapat latihan fisik maksimal renang selama 60 menit dan 1 ml/ekor/hari ekstrak umbi ubi jalar ungu secara oral. Kelompok keenam mendapat latihan fisik maksimal renang selama 60 menit dan 1.5 ml/ekor/hari ekstrak umbi ubi jalar ungu secara oral.
Pencekokan aquabidest dan ekstrak umbi ubi jalar ungu dilakukan 3 jam setelah berenang. Semua perlakuan dilakukan selama 14 hari. Sampai di hari ke-14 satu ekor mencit dari setiap kelompok mati (6 ekor mencit mati) sehingga hanya 24 ekor yang didekapitasi dan diambil organ ginjalnya.
Latihan fisik maksimal
Latihan dimana mencit melakukan aktivitas berenang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam atau tampak tanda-tanda kelelahan berupa tenggelamnya hampir semua badan kecuali hidung dan melemah- nya gerakan anggota gerak. Berenang dilakukan selama 60 menit dimana waktu berenang ini didapatkan dari hasil pre- eliminari sebelum melakukan penelitian.
Pembuatan ekstrak
Umbi ubi jalar ungu dicuci dengan air bersih kemudian dikupas kulitnya lalu dipotong-potong melintang dengan ketebalan 2-2,5 cm. Potongan umbi ubi jalar
dikukus selama ± 15 menit hingga lunak dan dijaga jangan sampai pecah atau terbelah. Setelah itu umbi ubi jalar didinginkan kemudian ditempatkan dalam suatu tempat untuk dilakukan fermentasi dengan menambahkan ragi tape yang dibeli dipasar. Fermentasi dilakukan selama 36 jam dan hasilnya (tape) dicampur dengan air minum yang bersih dengan per- bandingan 1 kg tape ditambah air 1 liter lalu diblender dan disaring dengan tiga lapis kain kasa. Hasil saringan ini yang diberikan kepada mencit. Kadar antosianin diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada gelombang 520 nm dan 720 nm. Dari pengukuran didapatkan kadar antosianin pada umbi ubi jalar ungu segar adalah 9,984 mg/100 g dan pada umbi ubi yang difermentasi adalah 89,666 mg/100 g.
Histopatologi ginjal
Ginjal difiksasi menggunakan larutan formalin buffer 10% dan dilakukan parafini- sasi. Blok parafin yang telah dipotong berikutnya diwarnai dengan pewarnaan Haematoxyline-Eosin (H-E), pengamatan dilakukan dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x dan 400x. Penga- matan dilakukan dengan membagi preparat dalam lima bagian, pada setiap bagian dilihat luasnya kerusakan tubulus ginjal berupa degenerasi hidrofik dan nekrosis.
Degenerasi hidrofik ditandai dengan adanya pembengkakan sel karena penimbunan cair- an didalam sitoplasma. Nekrosis ditandai dengan adanya degenerasi inti berupa Karyopiknosis (inti kecil dan padat), Karyolisis (inti pucat dan terlarut) dan Karyoreksis (inti pecah menjadi beberapa gumpalan). Persentase luas kerusakan tubulus ginjal dari ke-5 bagian tersebut kemudian dijumlahkan dan dibagi lima.
Kemudian tingkat kerusakan tubulus ginjal dinilai dengan kriteria Santoso dan Nurliani dalam Manurung (2011) yang dimodifikasi
85 sebagai berikut : 0 = Normal: bila tidak
ditemukan degenerasi hidrofik dan nekrosis, 1= Ringan: bila ditemukan degenerasi hidrofik, 2 = Sedang: bila ditemukan luas nekrosis tubulus ginjal <
25%, 3 = Berat: bila ditemukan luas nekrosis tubulus ginjal 26% - 50%, 4 = Sangat Berat: bila ditemukan luas nekrosis tubulus ginjal >50%.
Data yang diperoleh dari penelitian terlebih dahulu ditentukan distribusinya dengan uji Normalitas dan dilakukan juga uji Homogenitas. Apabila data berdistribusi normal dan homogen dilanjutkan dengan uji ANOVA. Bila data tidak berdistribusi normal maka akan dilakukan uji Kruskal- Wallis. Semua analisa data dilakukan
dengan menggunakan software SPSS 19.
Dalam penelitian ini untuk keputusan uji statistik diambil taraf nyata 5% (p = 0,05) yang dianggap bermakna atau signifikan.
HASIL
Dari hasil pemeriksaan dengan mengguna- kan mikroskop didapatkan bahwa tubulus ginjal pada kelompok kontrol tidak menga- lami kerusakan atau normal, sedangkan pada kelompok yang mendapat perlakuan tubulus ginjal mengalami kerusakan berupa nekrosis dengan adanya kariolisis yaitu inti menjadi pucat dan terlarut. Nekrosis pada tubulus ginjal memiliki luas yang berbeda- beda. Kerusakan pada tubulus ginjal secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 1.
86
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tubulus ginjal kanan pada kelompok P1 tidak mengalami kerusakan atau normal.
Kelompok P2 mengalami kerusakan dalam kategori sangat berat. Kelompok P3 dan P4 mengalami kerusakan dalam kategori
sedang dan berat. Kelompok P5 mengalami kerusakan dalam kategori berat dan kelompok P6 mengalami kerusakan dalam kategori berat dan sangat berat, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Derajat kerusakan tubulus ginjal kanan secara mikroskopis
Kelompok
Derajat kerusakan tubulus ginjal kanan
Total p Normal Sedang Berat Sangat
berat
n % n % n % n % n %
P1 4 100 0 0 0 0 0 0 4 100
0.001
P2 0 0 0 0 0 0 4 100 4 100
P3 0 0 3 75 1 25 0 0 4 100
P4 0 0 2 50 2 50 0 0 4 100
P5 0 0 0 0 4 100 0 0 4 100
P6 0 0 0 0 2 50 2 50 4 100
Uji Kruskal-Wallis
Keterangan: (P1) Kontrol; (P2) Latihan fisik maksimal; (P3) Ekstrak 0,5 ml; (P4) Latihan fisik maksimal + ekstrak 0,5 ml; (P5) Latihan fisik maksimal + ekstrak 1 ml; (P6) Latihan fisik maksimal + ekstrak 1,5 ml.
Dikarenakan data tidak berdistribusi normal dan varians data tidak sama maka dilakukan uji Kruskal-Wallis. Pada uji Kruskal-Wallis yang tertera pada tabel 1 diperoleh nilai p = 0.001 yang artinya terdapat perbedaan bermakna pada histo-
patologi tubulus ginjal kanan mencit pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok yang mendapat perlakuan.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tubulus ginjal kiri pada kelompok P1 tidak mengalami kerusakan atau normal.
F E
G T T
G
Gambar 1. Gambaran mikroskopis ginjal. Ginjal dalam batas normal terdapat pada kelompok P1(1A). Kerusakan tubulus ginjal (T) berupa nekrosis (kariolisis)
terdapat pada kelompok P2 (1B), P3 (1C), P4 (1D), P5 (1E) dan P6 (1F).
Glomerulus (G) dalam batas normal. (HE 400X).
87 Kelompok P2 mengalami kerusakan dalam
kategori berat dan sangat berat. Kelompok P3, P4 dan P5 mengalami kerusakan dalam kategori sedang , berat dan sangat berat.
Kelompok P6 mengalami kerusakan dalam kategori berat dan sangat berat, seperti yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Derajat kerusakan tubulus ginjal kiri secara mikroskopis
Kelompok
Derajat kerusakan tubulus ginjal kiri
Total p Normal Sedang Berat Sangat
berat
n % n % n % n % n %
P1 4 100 0 0 0 0 0 0 4 100
0.036
P2 0 0 0 0 3 75 1 25 4 100
P3 0 0 1 25 2 50 1 25 4 100
P4 0 0 1 25 2 50 1 25 4 100
P5 0 0 1 25 2 50 1 25 4 100
P6 0 0 0 0 2 50 2 50 4 100
Uji Kruskal-Wallis
Keterangan: (P1) Kontrol; (P2) Latihan fisik maksimal; (P3) Ekstrak 0,5 ml; (P4) Latihan fisik maksimal + ekstrak 0,5 ml; (P5) Latihan fisik maksimal + ekstrak 1 ml; (P6) Latihan fisik maksimal + ekstrak 1,5 ml.
Dikarenakan data tidak berdistribusi normal dan varians data tidak sama maka dilakukan uji Kruskal-Wallis. Pada uji Kruskal-Wallis yang tertera pada tabel 2 diperoleh nilai p = 0.036 yang artinya terdapat perbedaan bermakna pada histopatologi tubulus ginjal kiri mencit pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok yang mendapat perlakuan.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tubulus ginjal kanan dan kiri pada kelom- pok kontrol tidak mengalami kerusakan atau normal. Kerusakan tubulus ginjal ka- nan dan kiri terjadi pada semua kelompok perlakuan. Kerusakan ditandai dengan ada- nya nekrosis yang luasnya berbeda-beda.
Kerusakan pada sel dapat terjadi secara reversibel dan irreversibel. Kerusakan yang bersifat reversibel ditandai dengan adanya pembengkakan (swelling) dan perubahan
pada lemak sel. Swelling terjadi karena membran plasma gagal dalam memompa- kan ion sehingga homeostasis ion dan cair- an terganggu. Perubahan lemak sel terjadi karena adanya hipoksia yang ditandai dengan adanya vakuola lemak yang kecil atau besar dalam sitoplasma (Kumar et al., 2007).
Kerusakan yang bersifat ireversibel ditandai dengan adanya nekrosis. Nekrosis terjadi karena adanya degradasi enzim pada sel. Sel-sel nekrotik tidak mampu untuk mempertahankan kesatuan membran, sehingga isi dari sel sering keluar. Dengan mikroskop elektron sel-sel nekrotik ditandai dengan adanya: kerusakan membran plas- ma dan membran organel; pelebaran mito- kondria dengan munculnya densitas besar yang berbentuk amorf; terganggunya liso- som dan perubahan inti sel yang berakhir dengan rusaknya (dissolution) inti sel.
Kerusakan tubulus ini disebabkan kare- na terjadinya stres oksidatif selama latihan
88
fisik maksimal. Stres oksidatif akibat latihan dapat menyebabkan kerusakan otot dan juga mempengaruhi beberapa jaringan termasuk jantung, ginjal, hati, otak dan eritrosit. Sumber stres oksidatif yang bekerja pada ginjal mungkin didasarkan pada dua sistem enzim yaitu aktivasi leukosit (sistem enzim NADPH oksidase) dan proses iskemia-reperfusi (sistem enzim xantin oksidase) yang merupakan sumber ROS yang dihasilkan oleh jaringan ekstra- muskular selama latihan (Kocer et al., 2008). ROS diidentifikasi sebagai penyebab kemungkinan cedera sel dalam banyak penyakit.
Selain dua sistem enzim tersebut keru- sakan tubulus juga disebabkan karena terjadinya hipoksia relatif pada ginjal. Saat kebutuhan metabolisme meningkat seperti pada latihan fisik, sel mungkin mengalami keadaan hipoksia relatif walaupun aliran darah normal pada beberapa organ terma- suk ginjal. Hipoksia, atau kekurangan oksi- gen, dapat mengganggu respirasi oksidatif aerobik dan merupakan penyebab yang sangat penting dan umum dari cedera dan kematian sel (Kumar et al., 2007).
Pada penelitian ini pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu yang mengandung antosianin tidak dapat membuat sel kembali menjadi normal. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Sreedevi dan Pavani (2012) yang menemukan bahwa pemberian antosianin dapat memperbaiki nekrosis di tubulus ginjal tikus albino jantan yang diberi injeksi cisplatin.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) tidak dapat membuat sel kembali menjadi normal pada ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan yang diberi latihan fisik maksimal. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mempertimbangkan kadar
alkohol yang terbentuk selama pembuatan ekstrak dengan cara fermentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Birben E, Sahiner UM, Sackesen C, Erzurum S, Kalayci O (2012). Oxidative Stress and Antioxidant Defense. WAO Journal: 9-19.
Bucioli SA, Abreu LC, Valenti VE, Leone C, Vannucchi H (2011). Effects of vitamin E supplementation on renal non- enzymatic antioxidants in young rats submitted to exhaustive exercise stress.
BMC Complementary and Alternative Medicine, 11:133.
Daniel RM, Dragomir C, Stelian S (2010).
The effect of acute physical exercise on liver and kidney in the Wistar rat.
Romanian Biotechnological Letters, 15(3):51-55.
Kocer G, Senturk UK, Kuru O, Gunduz F (2008). Potential sources of oxidative stress that induce postexercise proteinuria in rats. J Appl Physiol, 104:
1063-1068.
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell (2007).
Robbins Basic Pathology (8th ed.).
Philadelphia : Elsevier.
Manurung RD (2011). Tesis : Manfaat Pemberian Madu terhadap Perubahan Ureum dan Kreatinin serta Makroskopik Ginjal dan Histopatologi Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus L) Jantan yang diberi Rhodamin B. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Nangaku M (2006). Chronic Hypoxia and Tubulointerstitial Injury: A Final Common Pathway to End-Stage Renal Failure. American Society of Nephro- logy,17:17-25.
Okolow MP, Dziegiel P, Gomulkiewicz A, Kisiela D, Krajewska BD, Jethon Z, Carraro U (2006). Exercise-induced
89 apoptosis in rat kidney is mediated by
both angiotensin II AT1 and AT2 recept- ors. Histology and Histopathology, 21:459-466.
Pojer E, Mattivi F, Johnson, Stockley CS (2013). The Case for Anthocyanin Con- sumption to Promote Human Health: A Review. Institute of food technologists, 12:483-508.
Prior RL (2003). Fruits and vegetables in the prevention of cellular oxidative damage. Am J Clin Nutr, 78:570S-8S.
Radak Z, Zhao Z, Koltai E, Ohno H, Atalay M (2013). Oxygen Consumption and Usage During Physical Exercise: The
Balance Between Oxidative Stress and ROS-Dependent Adaptive Signaling.
Antioxidants & Redox Signaling, 18(10):
1208-1246.
Richana N (2013). Menggali potensi ubi kayu dan ubi jalar. Edisi kedua.
Bandung: Nuansa Cendikia.
Sreedevi A, Pavani B (2012). Effect of anthocyanin fraction on cisplatin- induced nephrotoxicity. IJRAP, 3(4):587-590.
Urso ML, Clarkson PM (2003). Oxidative stress, exercise, and antioxidant supple- mentation.Toxicology;189(12):41-54.