• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SISWI ANGGOTA PRAMUKA NASKAH PUBLIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SISWI ANGGOTA PRAMUKA NASKAH PUBLIKASI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SISWI ANGGOTA PRAMUKA

NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Derajat Sarjana S-1 Psikologi

Diajukan oleh:

JAYANTI PUSPITASARI F 100 110 165

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015

brought to you by CORE View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

provided by UMS Digital Library - Selamat datang di UMS Digital Library

(2)

ii

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SISWI ANGGOTA PRAMUKA

NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Derajat Sarjana S-1 Psikologi

Diajukan oleh:

JAYANTI PUSPITASARI F 100 110 165

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015

(3)
(4)
(5)

v ABSTRAKSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SISWI ANGGOTA PRAMUKA

Jayanti Puspitasari jaypuspitta@yahoo.com

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Lisnawati Ruhaena

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku altruistik pada siswa siswi anggota pramuka, untuk mengetahui tingkat perilaku altruistik, untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosi, dan untuk mengetahui sumbangan efektif kecerdasan emosi terhadap perilaku altruistik. Peneliti memilih metode kuantitatif untuk mencapai tujuan penelitian ini. Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas X SMA Negeri 1 Jatisrono yang terdiri dari empat kelas yaitu kelas XI MIA 2, X MIA 3, dan X MIA 5, dan X IIS 1 yang berjumlah 111 orang.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri/sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penelitian ini menggunakan skala perilaku altruistik dan skala kecerdasan emosi yang dianalisis dengan menggunakan korelasi product moment Pearson. Hasil nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,686 dengan p value = 0,000 < 0,01 yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku altruistik.

Berdasarkan hasil analisis diketahui variabel kecerdasan emosi mempunyai rerata empirik (RE) sebesar 99,67 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 77,5 yang berarti kecerdasan emosi subjek penelitian tergolong tinggi. Variabel perilaku altruistik mempunyai rerata empirik (RE) sebesar 55,37 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 42,5 yang berarti perilaku altruistik pada subjek penelitian tergolong sangat tinggi.

Sumbangan efektif kecerdasan emosi terhadap perilaku altruistik sebesar 47%.

Hal ini menunjukkan variable kecerdasan emosi mempengaruhi variabel perilaku altruistik.

Kata kunci : perilaku altruistik, kecerdasan emosi

(6)

1 PENDAHULUAN

Pramuka merupakan sebutan bagi anggota gerakan Pramuka yang merupakan singkatan dari Praja Muda Karana yang mempunyai arti orang-orang yang berjiwa muda dan suka berkarya. Kata “berjiwa muda”

disini merupakan ukuran semangat untuk maju dengan sasaran gerakan pramuka tertuju pada pembentukan watak, akhlak dan budi pekerti luhur seseorang. Pendidikan kepramukaan sebagai salah satu wadah pembinaan generasi pemuda yang berbasis satuan pendidikan sebagai salah satu lini terdepannya juga telah jelas dirumuskan dalam UU No.12 tahun 2010 pasal 1 ayat 4 bahwa

“Pendidikan kepramukaan adalah proses pembentukan kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia Pramuka melalui penghayatan dan

pengamalan nilai-nilai

kepramukaan”. Salah satu prinsip penting dasar kepramukaan yaitu bahwa seseorang harus peduli terhadap bangsa dan tanah air, sesama manusia, semasa hidupnya dan alam seisinya.

Salah satu prinsip dasar tentang kepedulian terhadap sesama

manusia, di dalam Pramuka diatur dalam Dasa Dharma Pramuka kelima yang berbunyi “rela menolong dan tabah” yang artinya bahwa seseorang dalam melakukan tindakan/perbuatan menolong itu harus rela, ikhlas lahir batin tanpa mengharap balas jasa dan tabah dalam menghadapi segala tantangan serta rintangan yang ada.

Perilaku menolong atau sering disebut dengan perilaku altruisme/altruistik adalah sifat seseorang yang memiliki kecenderungan untuk menolong demi kesejahteraan orang yang ditolong, tanpa membawa pamrih pribadi (unselfish; selfess). Orang yang memiliki sifat demikian disebut altruis, sedangkan perilakunya disebut altruisme (Widyarini, 2009). Altruisme merupakan bentuk dari tingkah laku prososial. Tingkah laku prososial merupakan suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut.

Istilah altruisme (altruism) kadang- kadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial. Tetapi

(7)

2 altruisme yang sejati adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain (Baron dan Byrne, 2005).

Altruisme merupakan bagian terpenting dari diri manusia, hal ini dapat dianggap sebagai fenomena universal karena selalu ada dalam setiap budaya dan lapisan masyarakat. Altruisme biasanya mengacu pada pengambilan keputusan yang membutuhkan pertimbangan. Menurut Comte dalam pandangannya, individu dalam menolong memiliki dua motif yang berbeda yaitu egoisme dan altruisme sejati (dalam Yeung, 2006).

Post (Nadhim, 2013) mengatakan bahwa pada masa sekarang sangat mudah bagi seorang individu untuk melupakan perilaku altruisme. Budaya luar seperti individualisme serta materialisme saat ini sedikit banyak telah memberikan pengaruh pada bagaimana cara orang berperilaku.

Menurut Blau sendiri manusia sekarang lebih cenderung berpikir tentang apa yang didapatkan atas interaksinya dengan orang lain.

Nilai-nilai budaya Indonesia idealnya sangat konsisten dengan keberagaman perilaku altruisme, sangat ironis jika kemudian realitas yang terjadi meperlihatkan hal yang sebaliknya, perilaku individu jauh dari nilai-nilai reflektif budaya.

Nilai-nilai dasar kemasyarakatan seperti sifat dan perilaku sopan santun, kebersamaan, gotong royong, dan tolong menolong seiring berkembangnya jaman mulai luntur dan bahkan telah diabaikan oleh sebagian masyarakat terutama kalangan remaja (Nadhim, 2013)

Banyaknya pergeseran pada keadaan sosial, ekonomi, politik dan seiring kemajuan jaman, perilaku altruistik mulai jarang ditemui dan bahkan mungkin sesekali untuk dilupakan, dan seperti bukan menjadi rahasia pribadi atau hanya kalangan tertentu saja, karna ini adalah rahasia publik yang masyarakat sudah tahu bahwa remaja sekarang banyak melakukan pelanggaran dan penyimpangan norma serta nilai-nilai adat masyarakatnya. Pelanggaran dan penyimpangan remaja tersebut mulai dari kenakalan remaja, perilaku antisosial, sampai menurunnya

(8)

3 kualitas karakter yng ada di dalam diri mereka. Perilaku antisosial saat ini yang sering ditemui di kalangan remaja yaitu semakin menurunnya jiwa sosial mereka atau perilaku altruistik, bahkan hanya untuk sekedar bersikap empati terhadap sesama dirasa sudah mengalami penurunan, seperti lebih mementingkan diri sendiri, bersikap acuh, tidak memiliki rasa belas kasihan. Seperti pada potret situasi remaja masa kini ini membuktikan bahwa mayoritas generasi muda Indonesia telah mengalami krisis karakter. Indonesia seolah-olah kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berideologi dan berkebudayaan dengan tata karma, sopan santun, toleransi, gotong royong, dan nasionalisme (Tribun Pekanbaru, 2015).

Remaja kehilangan karakter baiknya karena tidak mampu bersikap dengan benar di tengah masyarakat. Sikap yang paling mencolok terlihat oleh masyarakat yaitu ketika remaja tersebut mengenakan seragam sekolahnya yang ada logonya atau seragam Pramuka, hal itu akan sangat

menjatuhkan citra instansi terkait seperti sekolah tempat remaja menimba ilmu atau instansi gerakan Pramuka. Menurut kepala BKKBN yaitu Siti fathonah remaja saat ini telah kehilangan karakter baiknya karena tidak mampu bersikap yang baik di lingkungan masyarakat.

Beliau mencontohkan, saat ini banyak remaja mengenakan seragam Pramuka. Sayangnya, perilaku remaja tersebut tidak mencerminkan dirinya seorang Pramuka. Sebagai seorang Pramuka, mereka yang mengenakan seragam Pramuka harus tunduk pada ketentuan moral sebagaimana termaktub dalam Dasa Darma Pramuka (Duaanak.com, 2014).

Perilaku remaja yang akhir- akhir ini menjadi sorotan dan pembicaraan di media sosial (Merdeka.com, 2015) yaitu perilaku yang di duga anak SD tengah berciuman di tengah banjir, foto yang di unggah oleh seseorang tersebut menuai banyak komentar dari pengguna jejaring facebook tersebut, banyak yang mencemooh kelakuan dua remaja yang tidak pantas dilakukan seumuran mereka, terlebih

(9)

4 salah satu remaja tersebut masih mengenakan seragam yaitu seragam

Pramuka. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa kurangnya kegiatan kepramukaan yang berjalan disetiap sekolah, padahal kegiatan Pramuka jika dijalankan sesuai dengan Dasa Dharma akan menjadikan seorang individu atau siswa menjadi berkarakter.

Dari gambaran diatas, sekiranya memberi sedikit gambaran tentang kondisi masyarakat kita khususnya kehidupan para remaja akhir. Remaja sebagai generasi muda diharapkan menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki akhlak mulia dan berbudi luhur terhadap sesama, yang bisa menunjukkan nilai-nilai kemanuasiaan yang beradab, serta diharapkan dapat mengembangkan sifat-sifat sosial sebagaimana kita dilahirkan untuk saling membantu.

Untuk mencari penyebab dari keadaan ini, yaitu keadaan dimana seorang individu kehilangan sentuhan kemanusiaan atau seorang individu bahkan rela berkorban demi kesejahteraan orang lain yang bahkan belum dia kenal, kita harus mencari berbagai faktor pendorong yang

diasumsikan memberi pengaruh besar terhadap munculnya perilaku altruistik. Menurut Myres (Sarwono

& Meinarno, 2012) mengungkapkan faktor dari dalam diri yang mempengaruhi perilaku altruistik yaitu suasana hati, sifat, jenis kelamin, dan tempat tinggal. Selain itu Desmita (2009) juga mengungkapkan bahwa altruisme dipengaruhi oleh banyak faktor dari dalam diri manusia misalnya, kepribadian, kemampuan moral, kognitif, dan empati. Kedua, faktor dari yang ada di luar diri manusia misalnya kehadiran orang lain, norma-norma, dan situasi tempat kejadian.

Menurut Baron, dkk., (Sarwono & Meinarno, 2012) suasana hati seseorang berkaitan dengan emosi dapat mempengaruhi kecenderungan untuk menolong.

Abraham & Stanley (1997) perilaku sosial (perilaku menolong) dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya suasana hati, karena seseorang yang memiliki suasana hati yang baik akan cenderung membantu dan mengatasi situasi yang darurat dengan tepat.

(10)

5 Seseorang yang memiliki susasana hati yang baik menurut Goleman (Sabiq & Djalali, 2012) merupakan suatu kemampuan mengenali emosi diri sendiri, kemampuuan mengenali emosi orang lain (empati) dan mengelola emosi yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi.

Baron dan Byrne (2005) juga mengungkapkan salah satu faktor disposisional yang menyusun kepribadian altruistik adalah empati.

Goleman (Sabiq & Djalali, 2012) mengatakan bahwa faktor empati merupakan kemampuan untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain, yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi. Selain faktor- faktor yang sudah disebutkan diatas, kecerdasan emosi juga merupakan salah satu faktor yang memediasi terjadinya perilaku altruisme (Zeidner, dkk., dalam Nadhim, 2013). Dalam penelitian Modassir (2008) menunjukkan bahwa kecerdasan emosi adalah elemen umum yang mempengaruhi cara dimana orang mengembangkan dalam kehidupan, pekerjaan, dan ketrampilan sosial mereka:

menangani frustasi, mengendalikan emosi mereka dan bergaul dengan orang lain.

Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional biasanya optimal pada nilai-nilai belas kasihan (empati), yang dengannya seseorang bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. John Donne (dalam Goleman, 1999) menjelaskan inti hubungan antara empati dan kepedulian: kepedihan orang lain merupakan kepedihan diri sendiri.

Dengan merasakan kepedihan orang lain akan mendorong diri seseorang untuk menolong dengan sukarela atau biasa disebut perilaku altruistik.

Goleman (Salarzehi, dkk., 2011) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan kita untuk memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi kita ketika berinteraksi dengan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Dia menyarankan bahwa emotional intelligence memiliki multidimensi yang terdiri atas lima komponen: kesadaran diri, regulasi diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Dipilihnya

(11)

6 kecerdasan emosional sebagai variabel bebasnya karena peneliti mengacu bahwa aspek-aspek yang ada dimungkinkan dapat melihat berbagai potensi-potensi yang ada pada diri remaja sesuai dengan yang diinginkan. Kecerdasan emosi sendiri juga merupakan serangkaian kemampuan, kompetensi dan kecakapan non kognitif yang mempengaruhi seseorang untuk dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan, yang hal ini biasa terjadi pada masa remaja (Baron, dalam Arbadiati, 2007).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku altruistik, untuk mengetahui tingat perilaku altruistik, untuk mengetahui tingakat kecerdasan emosi, serta untuk mengetahuin sumbangan efektif kecerdasan emosi terhadap perilaku altruistik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunkan dua variabel, yaitu perilaku altruistik sebagai variabel tergantung dan kecerdasan emosi sebagai variabel bebas. Subjek penelitian yang

digunakan adalah siswa-siswi kelas X SMA Negeri 1 Jatisrono Kabupaten Wonogiri yang berjumlah 111 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam pengambilan sampel ini adalah Quota Sampling yaitu pengambilan anggota sampel berdasarkan jumlah yang diinginkan oleh peneliti. Pengabilan sampel atau subjek penelitian yaitu dengan cara mengambil setengah dari populasi yang ada, dari 230 siswa diantaranya terdapat 154 siswa perempuan dan 76 siswa laki-laki, maka diambil setengahnya yaitu 111 dengan jumlah subjek perempuan sebanyak 76 siswa dan subjek laki-laki sebanyak 37 siswa, jadi sampel yang terambil yaitu dari kelas X MIA 2, kelas X MIA 3, kelas X MIA 5, dan kelas X IIS 1.

Skala perilaku altruistik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala altruisme yang disusun peneliti berdasarkan aspek- aspek, yaitu keinginan untuk membantu orang lain dan sukarela.

Terdapat 17 aitem valid dan 7 aitem gugur. Aitem valid mempunyai corrected item-total correlation bergerak dari 0,322 sampai 0,596

(12)

7 dan koefisien reliabilitas alpha (α) = 0,797.

Skala kecerdasan emosi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala keceradasan emosi yang disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek dari Goleman (2009) mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.Terdapat 23 aitem valid dan 15 aitem gugur. Namun dikarenakan terdapat indikator yang pernyataan aitemnya gugur semua jadi ada 8 pernyataan aitem yang dirubah kalimatnya, sehingga terdapat 31 aitem pernyataan yang digunakan sebagai penelitian. Aitem valid mempunyai corrected item-total correlation bergerak dari 0,308 – 0,487 dan koefisien reliabilitas alpha (α) = 0,793.

Penelitian ini menggunakan analisis statistik teknik korelasi product moment untuk menguji hipotesis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson maka diperoleh hasil nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,686 dengan p value = 0,000 < 0,01 yang berarti ada hubungan positif sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku altruistik. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Zeidner, dkk., (Nadhim, 2013) bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang dapat memediasi terjadinya perilaku altruisme. Menurut Abraham (dalam Chin, dkk., 2011) kecerdasan emosi dapat meningkatkan perilaku altruistik individu.

Pendapat senada

disampaikan Arbadiati (2007) bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi memiliki kemampuan dalam merasakan

emosi, mengelola dan

memanfaatkan emosi secara tepat sehingga memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial (dalam Sabiq &

Djalali, 2012). Kecerdasan emosi

(13)

8 menentukan potensi kita untuk mempelajari ketrampilan- keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001). Menurut Batson, dkk., (Sabiq& Djalali, 2012) berdasarkan beberapa penelitian mengenai perilaku prososial, menemukan adanya hubungan erat antara perilaku menolong dengan kecerdasan emosional khususnya empati. Artinya, orang yang empatinya lebih tinggi cenderung mudah menolong orang lain.

Sebaliknya, orang yang empatinya lebih rendah, lebih sedikit kemungkinannya menolong orang lain.

Goleman (2006)

mengungkapkan bahwa empati yang merupakan kemampuan untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain merupakan aspek dari kecerdasan emosi (dalam Sabiq &

Djalali). Abraham & Stanley (1997) juga mengungkapkan bahwa suasana hati merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku sosial

(menolong), karena seseorang yang memiliki suasana hati yang baik akan cenderung membantu dan mengatasi situasi darurat yang tepat. Pendapat lain yang dapat mendukung pernyataan tersebut diungkapkan oleh Baron (dalam Sarwono &

Meinarno, 2009) menyatakan bahwa

emosi seseorang dapat

mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong.

Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungan untuk memberikan pertolongan. Emosi positif secara umum meningkatkan perilaku menolong. Namun, jika situasinya tidak jelas (ambigu), maka orang yang sedang bahagia cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada keadaan darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang sednag sedih mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil. Namun, jika dengan menolong dapat membuat suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikan pertolongan (Baron, dalam Sarwono

& Meinarno, 2012).

Berdasarkan kategorisasi skala kecerdasan emosi diketahui

(14)

9 bahwa kecerdasan emosi memiliki rerata empirik (RE) sebesar 99,67 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 77,5 dengan rincian, subjek yang berada di kategori sangat rendah sebesar 0%, siswa yang termasuk kategori rendah sebesar 0%, siswa dalam kategori sedang sebesar 2,7%

(3 orang), sedangkan untuk kategori tinggi sebesar 52,2% (58 siswa), dan siswa yang kecerdasan emosinya berada di kategori sangat tinggi sebesar 45% (50 siswa). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosi siswa sebagian besar termasuk dalam kategori tinggi. Tingkat kecerdasan emosi yang tergolong tinggi dalam kondisi ini dapat diinterpretasikan bahwa subjek dalam bertingkah laku atau dalam melakukan suatu tindakan akan dipikirkan baik buruknya akan dipikirkan sisi positif dan negatif yang didapat dari tindakan yang akan dilakukannya. Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan diri dan lingkungannya, emosinya lebih stabil, tegas, dan bertanggung jawab, memiliki keterampilan dalam menyeleseikan masalah, mudah

berkonsentrasi, serta mampu bekerjasama dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang beragam.

Hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa penerapan kegiatan ekstrakurikuler pramuka yang di wajibkan di SMA Negeri 1 Jatisrono memberikan kontribusi yang baik bagi perkembangan siswa siswinya. Orang yang bergabung dalam sebuah organisasi dengan kecerdasan emosi yang tinggi akan mendahulukan kepentingan bersana, dapat menyeleseikan permasalahan bersama melalui empati yang dimiliki masing-masing individu dan simpati serta dapat mendorong perubahan yang positif dalam setiap diri individu (So-Jung & Kyeong- Seok, 2014). Mahoney (2005) menyatakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler keterlibatan prososial lebih bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan, mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual untuk menciptakan lingkungan yang efektif, harmonis terhadap diri sendiri dan terhadap semua pihak. Kegiatan ini dimaksudkan

(15)

10 agar siswa terbiasa berinteraksi dan saling kerjasama dengan orang lain. Selain itu kegiatan terebut dapat menumbuhkan kecerdasan emosi siswa karena dengan kegiatan tersebut anak akan menghargai orang lain, belajar mengendalikan emosi, berempati dengan orang lain, saling tolong menolong dan bekerjasama dalam mengerjakan tugas (dalam Dazeva

& Tarmidi, 2012). Hasil penelitian Deniz (2008) yang dilakukan pada siswa di Turki menunjukkan hasil bahwa siswa yang mengikuti kepanduan/Pramuka memiliki kompetensi kecerdasan emosional yang baik pada kesadaran diri, kemampuan mengatasi masalah, dan belajar berperilaku empatik (Dazeva

& Tarmidi, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningtyas (2010) bahwa siswa yang ikut serta dalam kegiatan ekstrakurikuler memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak ikut serta dalam kegiatan ekstrakurikuler (Dazeva &

Tarmidi, 2012). Proses tersebutlah yang mendukung terbentuknya suatu empati dari tiap siswa,

sehingga empati terhadap apa yang dirasakan orang lain meningkat.

Kepekaan terhadap emosi orang lain ini yang mendorong seseorang untuk mengasihi sepenuh hati dan berusaha menolongnya.

Berdasarkan kategorisasi skala perilaku altruistik diketahui bahwa variabel perilaku altruistik mempunyai rerata empirik (RE) sebesar 55,37 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 42,5 dengan rincian, subjek yang berada dikategori sangat rendah tidak ada (0%), siswa yang termasuk kategori rendah sebesar 0%, siswa dalam kategori sedang sebesar 0,9% (1 orang), sedangkan untuk kategori tinggi sebesar 47,7%

(53 siswa), dan siswa yang perilaku altruistiknyanya berada di kategori sangat tinggi sebesar 51,3% (57 siswa). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku altruistik siswa sebagian besar termasuk dalam kategori sangat tinggi. Tingkat perilaku altruistik yang tergolong sangat tinggi dalam kondisi ini dapat diinterpretasikan bahwa subjek memiliki kemampuan untuk merasakan, memahami dan peduli terhadap perasaan atau

(16)

11 penderitaan yang dialami oleh orang lain.

Faktor lingkungan akan berpengaruh pada perilaku seseorang dalam bertindak (Sarwono &

Meinarno, 2012) seperti adanya keikutsertaan seseorang dalam kegiatan ekstrakurikuler dapat membuat seseorang menjadi lebih berempati kepada orang lain dan adanya rasa saling tolong menolong (dalam Daeva & Tarmidi, 2012).

Berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 47% yang di tunjukkan oleh R Square sebesar 0,470 terhadap variabel perilaku altruistik. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi mempengaruhi perilaku altruistik sebesar 47% sehingga terdapat 53%

faktor lain yang mempengaruhi perilaku altruistik selain variabel kecerdasan emosi. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku altruistik selain kecerdasan emosi yang diantaranya yaitu faktor dalam diri seperti kepribadian/sifat, empati, mood dan jenis kelamin. Sedangkan faktor dari luar seperti adanya

norma-norma, dan situasi atau keadaan sekitar.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi memberikan kontribusi terhadap perilaku altruistik sehingga dapat dijadikan tolak ukur dalam perilaku altruistik, meskipun masih ada faktor lain yang mempengaruhi perilaku altruistik selain variabel kecerdasan emosional, tetapi tidak bisa dipungkiri dalam hal ini peneliti tidak terlepas dari kesulitan dan kendala dalam melakukan penelitian.

Penelitian ini terdapat beberapa kelemahan seperti penelitian terbatas pada populasi sehingga peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan tema yang sama perlu melakukan pada ruang lingkup yang lebih luas dengan karakteristik yang berbeda dengan menggunakan atau menambah variabel-variabel lain yang belum disertakan. Peneliti tidak mengetahui kondisi subjek yang sesungguhnya sehingga dalam pengisian skala dimungkinkan terjadi pengisian yang tidak jujur dengan kondisi subjek yang sesungguhnya sehingga cenderung menutup-nutupi informasi.

(17)

12 KESIMPULAN

1. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku altruistik.

Semakin tinggi kecerdasan emosi semakin tinggi perilaku altruistik pada siswa siswi anggota pramuka, begitu juga sebaliknya.

2. Tingkat perilaku altruistik pada siswa siswi anggota pramuka termasuk dalam kategori sangat tinggi

3. Tingkat kecerdasan emosi pada siswa siswi anggota pramuka temasuk dalam kategori tinggi.

4. Sumbangan efektif kecerdasan emosional terhadap perilaku altruistik adalah 51,7, yang berarti masih ada 48,3% faktor lain yang mempengaruhi perilaku altruistik selain faktor kecerdasan emosional yang diantaranya faktor

dalam diri seperti

kepribadian/sifat, empati, mood dan jenis kelamin. Sedangkan faktor dari luar seperti adanya norma-norma, dan situasi atau keadaan sekitar.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

1. Bagi siswa yang kecerdasan emosinya dalam kategori sedang atau tinggi diharapkan dapat mempertahankan kecerdasan emosinya dengan terus ikut aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler dan selanjutnya dapat mengaplikasikan apa yang di dapat ke dalam masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

2. Bagi guru diharapkan dapat terus mengawasi dan mendorong anak untuk terasah kemampuan kecerdasan emosinya melalui kegiatan-kegiatan baik di dalam sekolah maupun kegiatan di luar sekolah.

3. Bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan tema yang sama diharapkan mampu memperbaiki kelemahan yang terdapat dalam penelitian ini yaitu dengan memperluas sampel penelitian serta dapat mengaitkan dengan faktor lain

(18)

13 selain kecerdasan emosi, seperti adanya efek bystander, tempat tinggal, jenis kelamin, adanya model, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, C. & Shanley, E. (1997).

Psikologi Sosial untuk Perawat (Penerjemah: Leoni Sally Maitimu). Jakarta:

EGC.

Afolabi, O.A. (2012). Roles of Personality Types, Emotional Intellegence and Gender Differences on Prosocial Behavior. Psychological Thought, Vol. 6 (1), 34-234.

Arbadiati, C.W. & Kurniati, Taganing. (2007). Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Kecenderungan Problem Focused Coping pada Sales. Pesat, 2(2), 24- 27.

Baron & Byrne. (2005). Psikologi Sosial. Alih Bahasa: Ratna Djuwita. Jakarta: Erlangga.

Chin, Susan T.E, Anantharaman R.N

& Tong, David Y.K. (2011).

Analysis of the Level of Emotional Intelligence among Executives in Small and Medium Sized Enterprises.

Journal of Human Resources Management Research 2, 2011(2011), 2-7.

Dazeva, Vety & Tarmidi. (2012).

Perbedaan Kecerdasan

Emosional Siswa ditinjau dari Jenis Kegiatan Ekstrakurikuler.

Psikologia-online, 7(2), 81-92.

Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Goleman, D. (1999). Working with Emotional Intelligence. New York, NY: Bantam Books.

_______. (2001). Kecerdasan Emosional untuk Mencapai

Puncak Prestasi

(Penerjemah: Widodo dan Alex Tri Kantjono). Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Umum.

_______. (2009). Kecerdasan Emosional : Mengapa EI lebih penting daripada IQ (Penerjemah: Hermaya, T).

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Garliah, L. & Wulandari, B. (2003).

Hubungan Antara Religiusitas dengan Altruisme pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang Beragama Islam. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 1(2) 115-127.

http://duaanak.com/berita-utama/di- hadapan-remaja-fathonah- sentil-pramuka-dan-

pesantren/ , diakses 20 Juni 2015.

Kim, So-Jong & Kim, Kyoung-Seok.

(2014). A Critical Review of the Advanced Research on Emotional Intellegence in Management. The Standard International Journals (The SIJ), 2(4), 233-239.

(19)

14 Kitonanma, Alee & Ridho, M.

(2015). Putera Sampoerna Foundation dan Alfamart Gelar Seminar Pendidikan.

http://pekanbaru.tribunnews.co m/2015/03/12/putera-

sampoerna-foundation-dan- alfamart-gelar-seminar-

pendidikan, diunduh pada tanggal 13 Mei 2105.

Lestari, Mustiana. (2015). Foto Anak SD Ciuman di Tengah Banjir

di Hujat Netizen.

http://www.merdeka.com/peris tiwa/foto-anak-sd-ciuman-di- tengah-banjir-dihujat-

netizen.html, diakses 21 Juni 2015.

Modassir, Atika & Singh, Tripti.

(2008). Relationship of Emotional Inteelegence with Transformational Leadership add Organizational Citizenship Behavior. International Journal of Leadership Studies (IJLS), Vol. 4(1), 3-21.

Sabiq, Z & Djalali, M. A. (2012).

Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual & Perilaku Prososial Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Pamekasan. Jurnal Psikologi Indonesia, 1(2), 1.

Salarzehi, Habibollah, S., Yaghoubi, Nou, M., Naroei, M., Sin, Liem, G. (2011). A Survey of Relationship Between Emotional Intelligence and Orgazational Citizenship Behaviour in Iran. International Business & Management, 3(1), 130-135.

Sarwono, Sarlito W., & Meinarno, Eko A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

_______. (2012). Psikologi Sosial.

Jakarta: Salemba Humanika.

Sears, David O., Freedman, Jonathan L. & Peplau, L. Anne. (1994).

Psikologi Sosial. Edisi Kelima. Jilid 2. Jakarta:

Erlangga.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010, pasal 1 (4) tentang Gerakan Pramuka.(2012). Jakarta:

Kementrian Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia.

Widyarini, N. (2009). Seri Psikologi Populer: Relasi Orangtua Anak: Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Yeung, Anne, B. (2006). In Search of a Good Society: Introduction to Altruism Theories and Their Links with Civil Society. Civil Society Working Paper No. 25

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur quenching terhadap nilai kekerasan dan ketangguhan pada hasil pengelasan baja karbon sedang

Kecamatan Taktakan Kota Serang dengan judul “ PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE BAMBOO DANCING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP SUMBER DAYA

Dalam penelitian mengenai pengaruh terapi musik terhadap tingkat depresi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, tahun 2013, telah dilakukan sebuah

Uji Kesukaan atau Hedonik pada Yoghurt dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji Bangkok ( Psidium guajava L.. KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan penelitian ini adalah komponen kondisi fisik yang dibutuhkan untuk melakukan smes gulung adalah kelincahan, power tungkai, kelentukan pergelangan kaki,

Saran pada pemerintah Kota Surakarta diantaranya memperbaiki manajemen pengelolaan parkir, menjalin komunikasi yang baik dengan ormas dan jukir, dan memberikan sanksi

• Register your students for the Canadian Senior and Intermediate Mathematics Contests which will be written in November. • Look at our free online courseware for senior high