• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN EFISIENSI MODA TRANSPORTASI TERNAK DAN DAGING SAPI DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN EFISIENSI MODA TRANSPORTASI TERNAK DAN DAGING SAPI DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Proposal OPERASIONAL TA 2013

KAJIAN EFISIENSI MODA TRANSPORTASI TERNAK DAN DAGING SAPI DALAM MENDUKUNG PROGRAM

SWASEMBADA DAGING SAPI

Oleh:

Nyak Ilham Edi Basuno Bambang Winarso Amar Kadar Zakaria

Tjejep Nurasa Tonny Sulistiyo Wahyudi

(2)

SUMMARY

The difference in location of production centers and consumption centers of beef requires an efficient mode of transportation to produce competitive products. In addition to the production aspect, allegedly in major consumption centers, such as Jakarta and West Java inefficient distribution system and limitations of transportation of cattle, contributing to the high prices of local products compared to imported beef. If these conditions are not well addressed, then it is expected to be difficult to achieve self-sufficiency in beef in Indonesia. Therefore, research on efficiency of transportation of cattle and beef needs to be done to support self- sufficiency program on beef. The purpose of this study are: (1) to identify patterns of beef and cattle transportation from producers to consumer centers, (2) to analyze cost structure of cattle and beef distribution, (3) to analyze efficiency of cattle and beef transportation and (4) to analyze factors that affect the efficiency of cattle’s transportation. Scopes of this study will include various modes of transportation systems in distribution activities of cattle and beef from production to consumption centers. Research will be conducted in the following provinces: NTT, NTB, Bali, East Java, East Kalimantan, West Java and Jakarta. Data and information are collected from: (i) various merchants of beef and beef cattle, (ii) transport entrepreneurs of beef and beef cattle, and related agencies such as Ministry of Animal Husbandry and Animal Health, Ministry of Transportation, Agricultural Quarantine, Animal Markets authority, ports and others. Data and information will be analyzed with descriptive approach both qualitative and quantitative data (tables, graphs/diagram.

RINGKASAN

Perbedaan lokasi sentra produksi dan sentra konsumsi daging sapi membutuhkan moda transportasi yang efisien untuk menghasilkan produk yang berdaya saing. Selain aspek produksi, diduga sistem distribusi yang tidak efisien dan keterbatasan moda transportasi ternak sapi, berkontribusi terhadap mahalnya harga daging sapi produk lokal dibandingkan produk impor pada sentra konsumsi utama seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jika kondisi ini tidak dibenahi maka diduga akan sulit untuk mencapai swasembada daging sapi di Indonesia. Oleh karena itu penelitian efisiensi moda transportasi ternak dan daging sapi dalam mendukung program swasembada daging sapi perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi pola-pola moda transportasi ternak dan daging sapi dari sentra produsen ke sentra konsumen; (2) menganalisis struktur ongkos distribusi ternak dan daging sapi; (3) menganalisis efisiensi moda transportasi ternak dan daging sapi; dan (4) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi moda transportasi ternak sapi. Cakupan penelitian ini meliputi berbagai sistem moda

(3)

transportasi dalam kegiatan distribusi ternak dan daging sapi dari sentra produksi ke sentra konsumsi. Penelitian ini akan dilakukan di provinsi NTT, NTB, Bali, Jawa Timur, Kaltim, Jabar dan DKI. Data dan informasi dikumpulkan dari bebagai pedagang ternak dan daging sapi, pengusaha angkutan ternak dan daging sapi, dan instansi terkait seperti Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Perhubungan, Balai Karantina Pertanian, Pengelola Pasar Hewan, Pengelola Pelabuhan, dll. Data dan informasi dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan tejnik tabulasi dan grafik/skema.

(4)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia keberadaan sapi potong tersebar pada seluruh provinsi, namun konsentrasinya berbeda menurut wilayah. Data Sensus tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 14,8 juta ekor sapi yang ada di Indonesia, 74 persen berada di daerah berikut dengan rincian: Jawa Timur 31,75 persen, Jawa Tengah 12,84 persen, Sulsel 6,65 persen, NTT 5,26 persen, Lampung 5,01 persen, NTB 4,63 persen, Bali 4,31 persen, dan Sumut 3,60 persen (Kementan dan BPS, 2011). Selebihnya tersebar di provinsi lain. Jika dipilah menurut pulau maka 50,68 persen sapi berada di Pulau Jawa; 18,38 persen di Pulau Sumatera; 14,18 persen di Pulau Bali dan Nusatenggara; 12,08 persen di Pulau Sulawesi; 2,95 persen di Pulau Kalimantan dan hanya 1,74 persen di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua.

Jika dikaitkan dengan Program Swasembada daging Sapi, dimana diproyeksikan populasi sapi di Indonesia pada tahun 2011 sejumlah 13,2 juta ekor (most likely) (Ditjen Peternakan, 2010) maka berdasarkan hasil sensus diatas Indonesia sudah mencapai swasembada daging sapi. Banyak pihak menanyakan tentang angka hasil sensus tersebut dan berkeinginan untuk tetap melakukan impor.

Di sisi lain Pemerintah yang telah tiga periode melakukan program swasembada daging sapi tahun 2005, 2010 dan 2014 beranggapan bahwa perbedaan proyeksi populasi dengan hasil sensus merupakan dampak dari kegiatan swasembada sebelumnya, terutama Program P2SDS (Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi) tahun 2010. Hal itu tidak bisa dijawab dengan pasti, karena sebelum program swasembada, Indonesia tidak memiliki data dasar yang merupakan hasil sensus.

Namun yang jelas populasi sapi sudah mencapai target Program PSDSK 2014.

Permasalahannya adalah 50,68 persen sapi di Jawa dan 14,18 persen sapi di Bali dan Nusatenggara kenapa tidak mampu memasok permintaan di DKI Jakarta dan Jawa Barat yang selama ini sebagian besar dipasok dari produk impor.

Penyebab utamanya adalah perbedaan harga. Harga ternak dan daging sapi domestik lebih tinggi dari impor pada dua sentra konsumsi tersebut. Perbedaan harga tersebut diantaranya disebabkan efisiensi pada sistem produksi dan distribusi.

Sistem distribusi yang diduga masih tidak efisien dan keterbatasan moda

(5)

transportasi ternak sapi berkontribusi terhadap mahalnya harga daging sapi produk lokal dibandingkan produk impor, terutama pada sentra konsumsi utama seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Masalah tersebut perlu diperbaiki untuk melancarkan sistem distribusi. Sistem distribusi yang efisien merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung program swasembada daging sapi di Indonesia. Penelitian ini dikhususkan untuk mendalami sisi sistem distribus,i utamanya terkait sistem moda transportasi ternak dan daging sapi.

Peternakan skala kecil hanya mampu menjual 1-2 ekor dengan lokasi yang terpencar, mengharuskan pedagang harus berkeliling desa untuk membeli sejumlah sapi dengan unit moda transportasi. Tidak jarang alat angkut yang digunakan dalam posisi di bawah kapasitas, akibatnya biaya per ekor menjadi tinggi. Pedagang pemotong sapi di kota Bengkulu lebih memilih membeli sapi dari feedlotter (90%) asal Lampung dengan alasan diantaranya: lokasi sapi di Bengkulu terpencar sehingga membeli dari feedlot biaya transportasinya lebih efisien. Keefisienan tersebut disebabkan: (1) harga karkas lebih murah (di Lampung Rp. 20.500,-/kg, di Bengkulu Utara Rp. 21.500,-/kg; (2) berat sapi hidup lebih tinggi (rata-rata 450 kg/ekor dibanding 250 kg/ekor); (3) tidak banyak pungutan selama transportasi dari Lampung ke Kota Bengkulu dibandingkan dari Kabupaten Bengkulu Utara ke Kota bengkulu; (4) waktu yang digunakan untuk mendapatkan sapi lebih efisien karena sapi sudah terkumpul di feedlot, sedangkan di Bengkulu Utara harus dicari pada beberapa lokasi (Ilham, et al. 2009).

Mayroni et al. (2003) dengan tujuan meningkatkan pendapatan asli daerah muncul retribusi yang tumpang tindih dalam kegiatan perdagangan komoditas sapi potong, akibatnya biaya perdagangan meningkat dan efisiensi perdagangan dan daya saing produk di sentra konsumen menurun. Kondisi ini tentu makin meningkatkan peluang masuknya produk impor. Ilham dan Yusdja (2004) biaya pemasaran sapi potong berkisar 2,30-9,08 persen, dan komponen biaya transportasi merupakan biaya utama. Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh jarak tempuh yang jauh dan adanya pungutan resmi dan tidak resmi selama perjalanan.

(6)

1.2. Dasar Pertimbangan

Secara geografis daerah sentra produksi dan/atau daerah surplus ternak dan daging sapi tersebar di beberapa daerah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, NTB dan NTT. Pada sisi lain daerah sentra konsumsi atau defisit berada di Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan. Kondisi surplus dan defisit suatu daerah tidak hanya disebakan oleh populasi sapi potong, tetapi juga pola konsumsi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan. Ini berarti bisa saja suatu daerah dengan populasi sapi tidak terlalu tinggi, tetapi karena pola konsumsi dan pendapatan masyarakat relatif rendah, maka daerah itu menjadi daerah surplus ternak dan daging sapi dan memperdagangkan sapinya ke daerah sentra konsumsi.

Jarak kawasan sentra produksi dan sentra konsumsi relatif jauh, sehingga beberapa diantaranya tidak cukup hanya menggunakan moda transportasi darat, tetapi juga menggunakan multimoda transportasi yang terdiri dari moda transportasi darat dan laut. Distribusi ternak menggunakan multimoda transportasi terjadi dari daerah NTT dan NTB ke Jawa Barat, DKI Jakarta dan Kalimantan; dari Jawa Timur ke Kalimantan. Sementara distribusi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah ke Jawa Barat dan DKI Jakarta cukup menggunakan moda transportasi darat. Kalaupun sampai ke Sumatera cukup menggunakan multimoda transportasi dengan bantuan kapal ferry, namun tidak terjadi kegiatan bongkar muat.

Angkutan ternak yang selama ini dilakukan menggunakan multimoda transportasi di Indonesia diduga membutuhkankan biaya tinggi. Di sisi lain saat melakukan pengumpulan ternak sapi dari peternak dengan pemilikan dan penjualan yang terbatas per peternak ke pedagang pengumpul hingga ke pedagang antar pulau menggunakan moda transportasi darat yang diduga juga membutuhkan waktu dan biaya tinggi. Kondisi yang demikian mempengaruhi biaya pemasaran sehingga mempengaruhi daya saing produk ternak dan daging sapi domestik dengan produk impor yang relatif efisien sejak usaha budidaya, pemasaran dan transportasi dari peternak ke pelabuhan impor di Indonesia.

Tingginya biaya transportasi yang mempengaruhi daya saing ternak dan daging sapi domestik di pasar konsumsi domestik menyebabkan pedagang daging sapi lebih memilih untuk memperdagangkan ternak dan daging sapi impor. Jika demikian,akibatnya ternak sapi domestik yang tadinya memasok sebagian besar

(7)

pasar konsumsi utama makin menurun dan bergeser ke daerah pasar yang baru muncul seperti Kalimantan. Jika kondsi ini berlanjut, permintaan daging sapi lokal akan menurun dan tidak memberi insentif bagi peternak untuk terus berproduksi.

Jika kondisi ini tidak dibenahi maka diduga lama kelamaan keberadaan sapi domestik akan terus menurun dan akan mempengaruhi tercapainya program swasembada daging. Berbagai upaya dapat dilakukan baik pembenahan sisi usaha pengadaan dan distribusi input, usaha budidaya dan sistem distribusi output termasuk moda transportasi. Oleh karena itu penelitian efisiensi moda transportasi ternak dan daging sapi dalam mendukung program swasembada daging sapi perlu dilakukan.

1.3. Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kinerja moda transportasi ternak dan daging sapi nasional. Secara khusus penelitian ini bertujuan:

(1) mengidentifikasi pola-pola moda transportasi ternak dan daging sapi dari sentra produsen ke sentra konsumen; (2) menganalisis struktur ongkos distribusi ternak dan daging sapi; (3) menganalisis efisiensi moda transportasi ternak dan daging sapi; dan (4) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi moda transportasi ternak sapi.

1.4. Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) informasi tentang pola-pola moda transportasi ternak dan daging sapi dari sentra produsen ke sentra konsumen; (2) informasi struktur ongkos distribusi ternak dan daging sapi; (3) informasi tingkat efisiensi moda transportasi ternak dan daging sapi; (4) informasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi moda transportasi ternak sapi; dan (5) rekomendasi penguatan dan pembangunan moda transportasi ternak dan daging sapi di Indonesia.

1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Manfaat penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui potensi moda transportasi ternak dan daging sapi di Indonesia sebagai bahan penguatan dan

(8)

pembangunan sistem moda transportasi ternak dan daging sapi sebagai bagian dari sistem logistik nasional. Dampak penelitian ini meningkatkan daya saing ternak dan daging sapi domestik di pasar domestik untuk mendukung program swasembada daging sapi di Indonesia.

(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

Pada dasarnya, menurut teori lokasi (Puecell, 1979) harga barang di daerah defisit menjadi hampir sama dengan harga barang yang sama di daerah Surplus ditambah biaya transportasi. Masalahnya adalah bagaimana jika daera surplus terdapat di beberapa daerah seperti pada perdagangan sapi potong di Indonesia, ada yang berasal dari produk lokal dan impor. Pada kondisi demikian selain faktor harga di daerah asal, faktor jarak daerah surplus ke daerah defisit, ketersediaan dan permintaan barang, dan biaya transportasi akan menentukan apakah akan terjadi perdagangan dari suatu daerah surplus ke daerah defisit.

Biaya transportasi dipengaruhi oleh ketersediaan dan efisiensi moda transportasi yang digunakan. Menurut Abubakar (2011), moda transportasi merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan alat angkut yang digunakan untuk berpindah tempat dari satu tempat ketempat lain. Ragam moda transportasi dapat dikelompokkan atas moda yang ber jalan didarat, berlayar di perairan laut dan pedalaman serta moda yang terbang di udara. Moda yang didarat juga masih bisa dikelompokkan atas moda jalan, moda kereta api dan moda pipa.

Indonesia yang merupakan negara kepulauan, angkutan ternak dari sentra produksi ke sentra konsumsi menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Pola yang demikian merupakan pola multi moda. Angkutan multimoda didalam Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda didefinisikan sebagai:

Angkutan Multimoda adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak sebagai dokumen angkutan multimoda dari satu tempat diterimanya barang oleh badan usaha angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang kepada penerima barang angkutan multimoda.

Efisiensi moda transportasi tidak hanya menyangkut aspek biaya secara langsung tetapi juga kerugian secara tidak langsung. Transportasi yang buruk dapat memiliki efek serius pada kesejahteraan ternak dan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan dari kualitas dan produksi (FAO,,,,,,). Untuk kasus Indonesia, konsumen belum banyak melihat aspek, namun penurunan produksi berupa

(10)

penyusutan berat badan berdampak pada biaya dan mempengaruhi harga.

Penurunan berat badan dan kualitas daging pada ternak sapi selama transportasi dapat disebabkan oleh: (i) ternak ketakutan dan kesakitan yang menyebabkan stres, (ii) kembung lambung akibat sapi berada pada posisi terikat sehingga tidak leluasa bergerak, (iii) dehidrasi pada perjalanan jarak jauh tanpa penyiraman yang tepat akan menurunkan berat badan dan bisa mati, dan (iv) kelelahan.

2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait 2.2.1. Transportasi Sapi

Ilham dan Yusdja (2004) menyatakan bahwa sarana transportasi ternak menggunakan transportasi darat yaitu truk dan kereta api serta transportasi laut.

Selama transportasi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah menuju Jawa Barat dan DKI Jakarta ternak sapi yang diangkut mengalami susut berat badan sekitar 5 persen dan untuk tenak sapi yang diangkut dari luar Jawa (NTT dan NTB) dengan tujuan yang sama mengalami susut sekitar 10,5 persen. Angkutan ternak dari NTT dan NTB ke sentra konsumsi Jawa Barat dan DKI menggunakan multi moda transportasi. Dari peternak ke pasar hewan hingga masuk karantina di pelabuhan menggunakan angkutan truk. Kemudian dari pelabuhan Tenau di Kupang-NTT dan pelabuhan Lembar-NTB menuju pelabuhan Kalimas Surabaya menggunakan angkutan laut.

Kemudian dilanjutkan lagi dengan menggunakan truk menuju Jawa Barat dan DKI Jakarta. Untuk daerah tertentu seperti Sumatera – Jawa dan Sulawesi Selatan – Kalimantan Timur angkutan truk didukung oleh angkutan penyeberangan berupa kapal ferri tanpa melalui proses bongkar muat.

Di masa lalu untuk angkutan ternak asal NTT, NTB yang transit di pelabuhan Kalimas Surabaya dan ternak sapi asal Jawa Timur seperti Tuban, Lamongan dan sekitarnya ada alternatif menggunakan angkutan darat berupa kereta api. Beberapa kelebihan menggunakan jasa tansportasi kereta api adalah: (1) risiko kecelakaan yang terjadi menjadi tanggungan perusahaan angkutan kereta api, (2) selama perjalanan tidak ada pungutan baik resmi maupun tidak resmi, (3) ongkos relatif murah jika dibandingkan dengan menggunakan truk (Ilham dan Yusdja, 2004).

Namun saat ini angkutan kereta api tidak lagi digunakan untuk mengangkut ternak sapi. Menurut PT. KAI saat itu, usaha angkutan ternak sapi sudah tidak layak secara

(11)

ekonomi karena gerbong yang digunakan dari Jawa Timur Ke Jawa Barat untuk nagkut sapi, kembali ke Jawa Timur dalam keadaan kosong. Di waktu sebelumnya muatan dari Barat ke Timur berisi besi baja dari Cilegon yang menyebabkan gerbong cepat rusak.

2.2.2. Efisiensi Moda Transportasi

Efisiensi transportasi adalah suatu ukuran besarnya biaya (dalam rupiah, waktu, energi atau tambahan lainnya) untuk menggerakkan sesuatu dalam hal ini ternak dan daging sapi satu tempat ke tempat lain (Wikipedia, 2011). Efisiensi transportasi dipengaruhi oleh karakteristik mode angkutan yang digunakan, sebagai contoh suatu kapal akan semakin efisien kalau ukuran kapalnya semakin besar untuk perjalanan jarak jauh dan permintaannya besar.

Pada permintaan yang kecil lebih optimal menggunakan angkutan dengan kapasitas yang kecil, dan untuk permintaan yang besar digunakan kapasitas angkutan yang besar. Namun demikian dengan semakin besarnya alat angkut yang digunakan perlu dilakukan penyesuaian prasarana pendukung di pelabuhan. Kasus di Pelabuhan Tanjung Bumi Bangkalan Madura, karena belum tersedia dermaga yang memadai saat itu, sapi yang akan diangkut melalui moda transportasi laut harus menggunakan alat angkut tamabahan berupa tongkang menuju kapal yang sedang lego jangkar di laut yang lebih dalam (Puslitbang Peternakan, 2011). Akibatnya akan mempengaruhi efisiensi transportasi.

Dalam kegiatan distribusi produk yang menggunakan berbagai moda transportasi dibutuhkan infrastruktur seperti pelabuhan, jembatan, dan jalan. Oleh sebab itu Pemerintah berperan menciptakan moda transportasi yang efisien dan dapat digunakan secara aman, cepat dan lancar. Jika hal tersebut waktu tempuh menjadi panjang dan biaya semakin tinggi. Pada distribusi ternak sapi dengan multimoda yang butuh waktu panjang dapat menurunkan berat badan.

Menurut Ilham (2009), banyaknya pelaku pasar dalam kegiatan perdagangan ternak dan daging sapi sejak dari peternak sebagai produsen hingga ke konsumen menyebabkan pangsa margin keuntungan para pedagang semakin besar, tingginya biaya pemasaran dan penurunan berat badan sapi sehingga harga yang dibayar konsumen menjadi lebih mahal. Salah satu upaya untuk menurunkan biaya

(12)

pemasaran itu dapat dilakukan dengan cara mengubah perdagangan ternak sapi menjadi perdagangan daging sapi. Untuk itu diperlukan berbagai upaya diantaranya meningkatkan kualitas RPH (rumah potong hewan) di sentra produksi dan menyiapkan sarana tarnsportasi daging sapi yang mampu menurunkan biaya pemasaran dan menjamin kualitas daging selama transportasi.

Permasalahan angkutan barang di Indonesia saat ini antara lain adalah: (1) banyaknya perjalanan truk yang kosong, (2) kecepatan truk dalam mixed-traffic yang sangat lambat, (3) antrian di pelabuhan, (4) loading-unloading angkutan barang di tengah perjalanan yang sering menghambat arus lalu lintas, dan over loading (Giz, tanpa tahun). Kemudian dikatakan bahwa tingkat efisiensi pengiriman barang yang tinggi dapat dicapai dalam distribusi transportasi barangnya, yaitu faktor kapasitas pengiriman yang tinggi dan frekuensi distribusi yang padat.

2.2.3. Legislasi Angkutan Ternak

Selama ini di Indonesia tidak ada alat angkut ternak secara khusus. Hal ini jelas terlihat pada moda transportasi laut, sehingga banyak sapi dan kerbau yang diangkut dari dermaga di pelabuhan menggunakan crane ke geladak kapal yang banyak dikritik karena tidak memperhatikan kesejahteraan hewan. Kalaupun ada angkutan kapal khusus digunakan untuk angkutan sapi, namun merupakan usaha pelayaran rakyat yang terbuat dari kayu (Puslitbangnak, 2011).Di masa lalu di Jawa dan Sumatera (Sumut dan Aceh) tersedia gerbong kereta khusus untuk mengangkut sapi, namun saat ini sudah tidak disediakan lagi.

Ada UU yang terkait dengan transportasi ternak sapi yaitu UU 23/2007 tentang Perkeretaapian, UU 17/2008 tentang Pelayaran dan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dari UU tersebut ada juga beberapa PP, diantaranya PP 18/2011 tentang Multimoda.

Pada UU 23/2007 pasal 1 dan pasal 3, sama sekali tidak disebutkan angkutan ternak, jasa pelayanan Kereta Api hanya mengangkut penumpang dan/atau barang (Menkumham, 2007). Pada pasal 139 (2) angkutan barang tidak termasuk ternak tetapi terdiri dari: angkutan barang umum, angkutan barang khusus, angkutan bahan berbahaya dan beracun, dan angkutan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Tidak dijelaskan apa saja yang masuk kelompok barang khusus. Dengan demikian,

(13)

hingga saat ini memang belum ada amanah jasa kereta api untuk mengangkut ternak, khususnya ternak sapi.

Berbeda dengan UU 23/2007 tentang Perkeretaapian, pada UU 17/2008 tentang pelayaran diamanahkan tentang angkutan ternak yang termasuk dalam kategori barang khusus. Jelasnya pada pasal 44 disebutkan: “Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pada pasal 45: “Barang khusus yang dimaksud pasal 44 adalah: kayu gelondongan, barang curah, rel dan ternak”.

Pada UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya pasal 160 menjelaskan tentang angkutan barang umum dan angkutan barang khusus.

Pada pasal tersebut tidak ada secara eksplisit menyebutkan angkutan ternak. Ini bukan berarti UU tersebut tidak mengatur tentang angkutan ternak, tetapi akan diatur dengan peraturan yang secara hirarki lebih di bawah yaitu tingkat Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.

(14)

III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Perdagangan suatu produk seperti ternak sapi dari suatu lokasi ke lokasi lain disebabkan adanya perbedaan harga. Komponen perbedaan harga tersebut setidaknya terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pedagang. Atas dasar tersebut secara historis ternak sapi diperdagangan dari berbagai daerah di kawasan timur menuju kawasan sentra produksi utama di DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Dinamika kebijakan yang terjadi memberi kesempatan pada importir ternak dan daging sapi memasukkan sapi bakalan untuk digemukkan pada daerah-daerah di sekitar sentra konsumsi dan untuk daging sapi langsung ke sentra konsumsi.

Harga produk impor yang relatif murah di pusat sentra konsumsi, menghambat ternak lokal dari sentra konsumsi dan beralih ke sentra konsumsi regional seperti Kaltim, Kalsel dan Kalbar.

Setidaknya ada tiga penyebab mahalnya harga sapi domestik yaitu biaya produksi, biaya pemasaran dan tingkat keuntungan yang diambil para pedagang.

Kajian ini difokuskan pada biaya pemasaran, khususnya yang mencakup pada sistem moda transportasi ternak dan daging sapi.

Skala usaha peternak yang kecil, lokasi usaha yang terpencar, jarak dan waktu tempuh dari produsen dan konsumen yang panjang, kondisi kuantitas dan kualitas moda transportasi yang tersedia, dan sistem transaksi yaitu carter atau sekali jalan merupakan faktor yang menentukan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam penggunaan moda transportasi ternak. Peubah-peubah tersebut lebih disebabkan oleh sosial ekonomi peternak, kondisi geografis, dan pengusaha moda transportasi.

Peubah-peubah lain dimana peran pemerintah bisa lebih dominan adalah kondisi infrstruktur pelabuhan dan jalan raya, biaya resmi dan tidak resmi yang dikeluarkan oleh pengelola moda transportasi, perhatian pemerintah dalam menyediaan moda transportasi murah pada distribusi ternak juga menentukan biaya moda transportasi. Penyediaan fasilitas moda transportasi dapat berupa kredit program industri pelayaran rakyat maupun penyediaan modanya langsung yaitu kereta api dan kapal khusus untuk angkut sapi.

(15)

Banyaknya item yang dikeluarkan meningkatkan biaya sehingga mempengaruhui keefisienan moda transportasi ternak. Akibatnya daya saing ternak dan daging sapi di pasar domestik menurun. Dengan demikian upaya mencapai swasembada daging sapi bisa mengalami hambatan. Secara skematis dapat diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur Pikir Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Moda Transportasi dan Dampaknya pada Swasembada Daging Sapi

3.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang kegiatan dalam kajian ini adalah keragaan kinerja moda transportasi ternak dan daging sapi. Namun masalah utama moda transportasi adalah pada ternak hidup, sehingga kajian akan ditekankan pada moda transportasi ternak sapi dengan tidak mengabaikan moda transportasi daging sapi. Seandainya tidak tersedia kondisi eksisting perdagangan daging sapi dari sentra konsumsi ke sentra produksi

EFISIENSI   MODA   TRANSPORTASI  Faktor Eksternal: 

‐Sosek Peternak 

‐Geografis 

‐Jarak dan Waktu Tempuh 

‐Kualitas & Kuantitas Moda 

‐Sistem transaksi jasa moda 

Faktor Internal:

-Infrastruktur

-Biaya resmi & tak resmi -Kredit Program

-Penyediaan Moda

Daya  Saing

Swasembada  Daging Sapi Pemerintah

(16)

akan dilakukan data-data asumsi untuk membandingkan seandainya akan dilakukan perdagangan antar pulau untuk daging sapi dari sentra produksi ke sentra konsumsi.

Demikian juga dengan aspek moda transportasi, jika data dan responden tersedia, cakupan penelitian ini tidak hanya mengkaji kondisi eksisting tetapi juga potensi yang ada. Seperti kasus moda transportasi kereta api, dimasa lalu merupakan moda yang efisien namun kini sudah tidak digunakan.

Kinerja dan keragaan moda transportasi tidak hanya ditentukan oleh pengelola moda transportasi tetapi juga didukung oleh infrastruktur dan kelembagaan terkait maka lingkup kajian ini juga mencakup simpul-simpul terkait dengan moda transportasi ternak dan daging sapi. Untuk mengetahui hal itu diperlukan juga pengetahuan pola umum sistem distribusi ternak dan daging sapi sebagai dasar untuk mengidentifikasi ragam, pola, dan efisiensi moda transportasi ternak dan daging sapi. Berdasarkan uraian di atas, cakupan penelitian ini dapat digambarkan pada matriks berikut.

Tabel 1. Cakupan Penelitian ditinjau dari Jenis Moda dan Produk yang akan Dikaji

Jenis Moda Produk

Ternak Sapi Daging Sapi Potong Bibit/Bakalan

Manusia v v v

Becak/Delman/Motor, dll - - v

Kendaaran Truk/Pick-up v v v

Kapal Laut v v -

Kereta Api v - -

Pesawat Terbang - - V

3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Perimbangan

Lokasi penelitian akan dilakukan pada daerah yang melakukan pengiriman ternak ke daerah-daerah konsumen yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta dan Kaltim. Di lokasi tersebut terdapat pedagang antar pulau sapi potong dan jaringannya hingga dari produsen sampai konsumen. Di lokasi itu juga akan ditemui pengusaha kapal, pengusaha jasa ekspedisi, dan instansi terkait lain.

(17)

Selain itu juga perlu diketahui moda transportasi baik ternak dan daging sapi di daerah konsumen. Untuk itu akan diambil sentra konsumsi utama di Jawa dan sentra konsumsi regional di Kaltim. Selain itu perlu juga dikaji moda transportasi darat khsusnya dari sentra produksi dan sentra konsumsi dalam kawasan satu pulau.

Untuk mengetahui informasi dari pemilik kapal diperlukan juga lokasi yang terdapat pengusaha kapal untuk transportasi ternak melalui laut dan darat.

3.3.2. Lokasi dan Responden

Berdasarkan pertimbangan sebelumnya maka penelitian ini direncanakan akan dilakukan di Provinsi NTT, NTB, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Masih ada kemungkinan lokasi penelitian di luar lokasi yang telah ditetapkan, terutama untuk mendapatkan pengusaha moda transportasi laut yang kemungkinan berada di Sulawesi Selatan. Responden yang direncanakan akan diwawancarai terdiri dari instansi terkait seperti: Dinas Peternakan, Pasar Hewan, Balai Karantina, Dinas Perhubungan, PJKA, Syahbandar, dan Otoritas Pelabuhan.

Responden yang terkait dengan pengusaha transportasi adalah ekspedisi angkutan darat, ekspedisi angkutan laut, pemilik dan kapten kapal, pemilik dan supir truk.

Responden yang terkait dengan pengguna moda transportasi adalah pedagang ternak dan daging sapi dari berbagai level yang mendominasi penggunaan moda transportasi ternak dan daging sapi nasional. Sebagai pembanding akan diwawancarai importir ternak dan daging sapi.

3.4. Data dan Metode Analisis

3.4.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder dari berbagai sumber. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pedagang ternak dan daging sapi, pengusaha jasa angkutan, pengendara angkutan, pengusaha jasa ekspedisi, pejabat dan petugas pada berbagai instansi terkait. Data sekunder akan dikumpulkan dari Dinas Peternakan, Pengelola Pasar Hewan, Balai Karantina Hewan, Pengelola Pelabuhan Laut, instansi terkait lain dan studi dokumen dan literatur.

Peubah yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

(18)

Tabel 2. Peubah yang Dikumpulkan dan Sumbernya serta Cara Pengukurannya menurut Tujuan Penelitian

No Tujuan Penelitian Data/Peubah yang diperlukan Sumber

1 Mengidentifikasi

pola-pola moda transportasi ternak dan daging sapi dari sentra produsen ke sentra konsumen

1. Gambar pola saluran pemasaran ternak dan daging sapi lokal dan antar pulau 2. Inventarisasi alat angkutan yang

digunakan antar simpul ratai pemasaran

1. Pedagang

2. Pedagang, pengusaha angkutan dan

pengemudi alat angkutan 2 Menganalisis struktur

ongkos distribusi ternak dan daging sapi (pada jalur utama)

1. Harga beli dan harga jual 2. Biaya: transport, perizinan,

tenaga kerja, pakan, operasional

pedagang, pungutan, dll berdasarkan sistem transaksi (carter, milik sendiri, ekspedisi, ballen)

Pedagang & pengemudi alat angkutan

3 Menganalisis efisiensi moda transportasi ternak dan daging sapi

1. Menggunakan informasi & data dari tujuan 1 dan tujuan 2.

2. Data berat komponen sapi

3. Data berat kirim dan berat tiba di tujuan (jika tersedia)

4. Ongkos ekspedisi melalui darat dan laut 5. Ongkos angkut sapi melalui darat, laut

menurut sistem transaksi dan wilayah

1. Studi literatur

2. Pedagang pengirim dan pemotong

3. Perusahaan ekspedisi darat dan laut

4. Pengusaha angkutan darat dan laut

5. PJKA 6. Kemenhub 7. Dishub 4 Menganalisis faktor-

faktor yang mempengaruhi efisiensi moda transportasi ternak sapi

1. Data populasi, pemotongan, pengeluaran/kuota antar pulau sapi dan daging sapi prov dan kabupaten lokasi 5 tahun terakhir

2. Data sapi yang masuk pasar hewan dan yang laku terjual

3. Data sapi yang masuk karantina dan terangkut kapal

4. Frekuensi kapal angkut ternak menurut kapasitas angkut

5. Jumlah kapal angkut ternak menurut kapasitas

6. Data permintaan sapi potong dan sapi bibit

7. Lembaga yang terlibat dan masing- masing fungsi yang dilakukan, perannya terhadap sistem distribusi, kendala yang dihadapi dan saran perbaikan diperlukan 8. Biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam

proses pada masing-masing lembaga yang terlibat

9. Peraturan yang terkait dengan sistem distribusi dan moda transportasi

1. Dinas PKH Prov &

Kabupaten

2. Dinas Pasar Hewan 3. Balai Karantina 4. Syahbandar/Otoritas

pelabuhan 5. Petugas cek poin

6. Pengusaha angkutan (kapal dan truk)

7. Pedagang

8. Instansi terkait lainnya

(19)

3.4.2. Motode Analisis

Untuk menjawab tujuan 1, yaitu: “Mengidentifikasi pola-pola moda transportasi ternak dan daging sapi dari sentra produsen ke sentra konsumen”.

Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan informasi berbagai pola umum rantai pasok ternak dan daging sapi sejak dari produsen atau pedagang desa hingga ke konsumen atau pedagang pengecer. Setelah mengetahui hal tersebut kemudian diidentifikasi pola moda transportasi pada masing-masing antar simpul. Pada masing-masing pola ditentukan persentase volume produk yang dipasarkan pada tiap jalur dan tujuan pemasaran. Untuk analisis selanjutnya digunakan jalur-jalur dengan volume pemasaran terbesar. Metode analisis yang digunakan deskriptif kualitatif dengan teknik diagram.

Untuk menjawab tujuan 2: “menganalisis struktur ongkos distribusi ternak dan daging sapi”. Untuk mencapai tujuan ini dilakukan pengumpulan data harga beli dan harga jual dan harga beli sapi menurut umur, berat badan dan harga beli dan harga jual daging sapi. Selanjutnya dari selisih harga jual dan beli tersebut diuraikan komponen masing-masing serinci mungkin. Analisis data dilakukan dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan teknik tabulasi.

Untuk menjawab tujuan 3: “Menganalisis efisiensi moda transportasi ternak dan daging sapi” diperlukan analisis finansial dan komparasi antar pola dan moda transportasi yang ada. Untuk pengusaha angkutan akan dilakukan dilakukan analisis finansial dengan teknik B/C rasio, IRR, NPV dan PBP. Disamping itu akan dilakukan juga analisis efisiensi pemasaran berdasarkan: (i) analisis marjin pemasaran pada beberapa pola pemasran, (ii) analisis komparasi antara pemasaran ternak dan daging sapi, (iii) analisis komparasi antara angkutan darat, laut, pesawat udara, dan kerataapi, (iv) analisis komparasi antara beberapa sistem transaksi: carter, ekspedisi, balen, dan milik sendiri.

Untuk menjawab tujuan 4: “Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi moda transportasi ternak sapi” diperlukan informasi pada berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem distribusi ternak dan daging sapi. Kegiatan yang akan dilakukan untuk menjawab tujuan ini adalah: (i) Inventarisasi masing-masing fungsi dan kendala yang dihadapi lembaga yang terkait dengan sistem distribusi ternak dan daging sapi termasuk yang terkait dengan moda transportasi yang digunakan, (ii)

(20)

Menginventarisasi dan mengkaji dokumen legislasi yang terkait dengan sistem distribusi ternak dan daging sapi termasuk yang terkait dengan sistem moda transportasi, (iii) Analisis volume distribusi dan ketersediaan transportasi ternak untuk perdagangan antar pulau sejak dari populasi, jumlah yang diperjualbelikan, jumlah yang dipotong untuk kebutuhan lokal, jumlah yang diperdagangkan antar pulau/provinsi, jumlah yang masuk karantina, jumlah yang diangkut kapal dengan memperhatikan kapsitas dan frekuensi kapal. Metode analisis yang digunakan deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif dengan teknik tabulasi dan grafik/gambar

(21)

IV. ANALISIS RISIKO

Suatu kajian sosial ekonomi melibatkan berbagai pihak sebagai responden.

Responden yang digunakan dalam penelitian ini ada yang bekerja pada tempat tertentu yaitu pejabat dan petugas instansi terkait. Namun ada juga yang sifatnya bergerak dari satu tempat ke tempat lain, seperti pedagang ternak dan daging sapi serta pengusaha moda transportasi dan jasa ekspedisi. Responden yang bekerjanya bergerak ke berbagai daerah relatif sulit dijumpai. Demikian juga dengan pengusaha kapal dan kapten kapal serta pemilik dan supir truk.

Tabel 4.1 dan tabel 4.2 berikut menyajikan kemungkinan risiko yang dihadapi dan penanganan risiko yang akan dilakukan dalam penelitian ini.

Tabel 4.1. Daftar Risko yang Mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan Penelitian

No Risiko Penyebab Dampak

1

2

Sulit mendapatkan data dan informasi tentang struktur ongkos serta kendala usaha moda transportasi.

Beberapa responden kemungkinan tidak

memberikan infomrasi yang lengkap terkait pungli dalam sistem distribusi yang juga mempengaruhi efisiensi moda transportasi

Responden bersifat bergerak sesuai dengan mata

pencahariannya sebagai

pedagang dan pengusaha moda transportasi.

Responden takut mengungkap hal tersebut atau beranggapan hal tersebut sudah merupakan hal yang wajar

Data dan

informasi kurang keragamannya

Ada informasi yang tidak dapat

Tabel 4.2. Daftar Penangan Risiko yang Mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan Penelitian

No Risiko Penyebab Penanganan Risiko

1

2

Sulit mendapatkan data dan informasi tentang struktur ongkos serta kendala usaha moda transportasi.

Beberapa responden kemungkinan tidak

memberikan infomrasi yang lengkap terkait pungli dalam sistem distribusi yang juga mempengaruhi efisiensi moda transportasi

Responden bersifat bergerak sesuai dengan mata

pencahariannya sebagai

pedagang dan pengusaha moda transportasi.

Responden takut mengungkap hal tersebut atau beranggapan hal tersebut sudah merupakan hal yang wajar

Mencadangkan waktu dan dana untuk dua kali berkunjung ke lokasi penelitian.

Jika mungkin peneliti ikut dalam perjalan moda transportasi

(22)

V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANA

4.1. Susunan Tim Pelaksana

Tim Peneliti yang melaksanakan penelitian ini terdiri dari enam orang dari PSE-KP Bogor. Direncanakan Tim Peneliti akan dibantu oleh tenaga dari UPT di daerah. Direncanakan akan melibatkan peneliti dari Loka Penelitian Sapi Potong Grati Jawa Timur. Rincian tenaga peneliti yang melaksanakan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Susunan Tim Penelitian

No Nama Golongan Jabatan Fungsional/Bidang

Keahlian Kedudukan dalam Tim 1 Dr. Nyak Ilham IV/b Peneliti Madya/Ekonomi

Pertanian Ketua

2 Dr. Edi Basuno IV/d Peniliti Utama/Sosiologi Anggota 3 Drs. Bambang Winarso IV/b Peneliti Madya/Ekonomi Sekretaris 4 Ir. Amar K. Zakaria IV/b Peneliti Madya/Ekonomi

Pertanian Anggota

5 Ir. Tjejep Nurasa IV/a Peneliti Madya/Ekonomi

Pertanian Anggota

6 Tonny S. Wahyudi, SE III/b Staf Program Anggota

7 PM Anggota

4.2. Jadwal Pelaksanaan

Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan selama satu tahun kalender dari Januari sampai dengan Desember 2013. Rincian kegiatan tiap bulan disajikan pada diagram berikut.

Tabel 5.2. Diagram Palang Jadwal Kegiatan Penelitian, 2013

No Kegiatan Jan Peb Mrt Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des 1 Pembuatan Proposal

2 Seminar Proposal 3 Perbaikan Proposal 4 Studi Literatur

5 Pembuatan Kuesioner

6 Pengumpulan data 7 Pngolhan & analisis data

8 Penulisan lap. kemajuan 9 Penulisan draft lap. akhir

10 Seminar Hasil

11 Perbaikan laporan

12 Penggandaan laporan

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, I. 2011. Moda Transportasi.

http://id.wikibooks.org/wiki/moda_Transportasi/ : Diunduh 7 juli 2012-07-07 Ditjen Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014.

Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Chambers, P.G and Grandin, T. 2001. Guidline for Human Handling, Transport and Slaughter Livestock. FAO of UN, Regional Office for Asia and The Pacific RAP.

http://www.fao.org/docrep/003/X6909E/x6909e08.htm#TopOfPage. Diunduh tanggal 7 Penbruari 2012

Giz. Tanpa tahun. Komponen Transportasi Perkotaan: Angkutan Barang.

http://sutip.mine.nu/GD/Indonesia_Version/6.Angkutan_Barang. Diunduh tanggal 19 Juli 2012

Ilham, N. dan Y. Yusdja. 2004. Sistem Transportasi Perdagangan Ternak Sapi dan Implikasi Kebijakan di Indoneisa. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 2 (1).

Ilham, N. 2009. Kebijakan Pengendalian Harga Daging Sapi Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 7 (3).

Ilham, N., Y. Yusdja, A. R. Nurmanaf, B. Winarso, dan Supadi. 2010. Perumusan Model Pengembangan Skala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

Ilham, N., E. Basuno, W.K. Sejati, Ashari, S. Nuryanti, F.B.M. Dabukke, dan R.

Elizabeth. 2011. Keragaan, Permasalahan dan Upaya Mendukung Akselerasi Program Swasembada Daging Sapi. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Kementeria Pertanian dan BPS. 2011. Rilis Hasil Akhir PSPK 2011. Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Mayrowani, H. Supriyati, B. Rahmanto, dan Erwidodo. 2003. Kajian Perdagangan Komoditas antar Wilayah dalam Era Otonomi Daerah. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Menkumham. 2007. UU No 23 tahun 2007, tentang Perkeretaapian.

http://www.bappedajateng.info/dokumen/uu/UU. Diunduh 19 Juli 2012.

(24)

Menkumham. 2008. UU No 17 tahun 2008, tentang Pelayaran.

http://www.scribd.com/doc/3176027/UU-17-tahun-2008-PELAYARAN.

Diunduh 19 Juli 2012.

Menkumham. 2009. UU No 22 tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

http://www.google.co.id/search=uu+22 2009+tentang+jalan+raya. Diunduh 19 Juli 2012.

Menkumham. 2011. Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda. http://www.philipjusuf.com/2011/11/peraturan-pemerintah- nomor-8-tahun-2011-tentang-angkutan-multimoda/. Diunduh 19 Juli 2012

Puslitbang Peternakan. 2011. Kinerja Budidaya dan Pemasaran Sapi dan Kerbau dalam Upaya Pencapaian PSDSK-2014. Kegiatan Kemitraan antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Wikipedia.2011. Efisiensi Transportasi.

http://id.wikipedia.org/wiki/Efisiensi_transportasi: Diunduh 7 juli 2012-07-07

Gambar

Gambar 1. Alur Pikir Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Moda Transportasi  dan Dampaknya pada Swasembada Daging Sapi
Tabel 1. Cakupan Penelitian ditinjau dari Jenis Moda dan Produk yang akan Dikaji
Tabel 2. Peubah yang Dikumpulkan dan Sumbernya serta Cara Pengukurannya  menurut Tujuan Penelitian
Tabel 4.1 dan tabel 4.2 berikut menyajikan kemungkinan risiko yang dihadapi  dan penanganan risiko yang akan dilakukan dalam penelitian ini
+2

Referensi

Dokumen terkait

Karina Mia Berutu : Dampak Lama Transportasi Terhadap Penyusutan Bobot Badan, pH Daging Pasca Potong Dan Analisis Biaya Transportasi Sapi Potong Peranakan Ongole (PO)

Hasil analisis kesenjangan menunjukkan tingginya kesenjangan antara jumlah konsumsi dan jumlah produksi daging sapi yang kemudian akan dipenuhi oleh daging sapi impor, sehingga

1) Pengembangan sentra-sentra pro- duksi sapi potong dan penggalian sumber daya dukung pakan murah, khususnya pada usaha pembibitan (padang penggembalaan). Berdasar- kan aspek

Di samping memberikan kontribusi pupuk kandang dalam sistem usaha tani konservasi, ternak domba atau sapi dapat memberikan sumbangan pendapatan yang cukup tinggi, yaitu 47% dari

Kerbau merupakan salah satu ternak potong alternatif di Propinsi Kalse untuk mendukung program swasembada daging yang masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui

Berdasarkan uraian di atas maka telah dilaksanakan kajian pembibitan dan penyediaan sapi bakalan dalam upaya mendukung swasembada daging sapi di Pulau Timor khususnya di Desa

Dalam upaya meningkatkan populasi ternak sapi potong, kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, melalui Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur telah

Sasaran kesehatan hewan untuk tahun 2007-2010 yang telah ditetapkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan dalam mendukung kecukupan daging sapi 2010, adalah: menekan angka kematian