• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Angka Kapang Khamir (AKK) rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbandingan Angka Kapang Khamir (AKK) rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) - USD Repository"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Thomas Anggun Dian Prakoso NIM : 068114130

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Thomas Anggun Dian Prakoso NIM : 068114130

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Ibuku Veronica Sukarni Atas Kerja Keras dan Perhatian

Adikku yang Tangguh

Teman-teman yang Memberi Semangat

(6)
(7)

vi

rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbandingan Angka Kapang Khamir (AKK) Rimpang Segar Temulawak, Serbuk Rimpang Temulawak, dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)” untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Semua keberhasilan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini tak lepas dari dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. C.M. Ratna Rini Nastiti M. Pharm., Apt., selakuKetua Program Studi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

3. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan banyak waktu untuk mendampingi dan memberikan arahan dan usulan dalam penyusunan skripsi.

(8)

vii

Felisia Wulan A, Ignasius Eka W, Joice Sola G.S, Melia Sari D terima kasih atas kerja sama dalam suka duka.

7. Segenap laboran (mas Wagiran, mas Sigit, mas Sarwanto, mas Andri, mas Otok) dan pak Timbul atas bantuan dalam penyediaan alat, bahan dan penggunaan laboratorium.

8. Adikku (Didacus Kurniawan Wahyu Widodo dan Lusia Tri Wuri Kartika Sari) yang selalu memberikan dukungan.

9. Semua teman-teman FST 2006, teman band, dan semua yang telah membantu penulis dalam memberi semangat dan penyelesaian skripsi. Penulis telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyelesaikan skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan di dalamnya. Maka penulis mengharapkan kritik dan saran. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kefarmasian.

.

Penulis

(9)

viii

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Agustus 2010 Penulis,

(10)

ix

Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Rimpang dan serbuk sebagai bahan baku obat tradisional harus memenuhi persyaratan berdasarkan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) dan untuk ekstrak berdasarkan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004). Salah satu persyaratan keamanan tersebut adalah jumlah cemaran kapang khamir < 10 CFU/gram.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kapang khamir (AKK) dari rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak, selain itu mengetahui apakah nilai AKK masing-masing sampel memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004), dan mengetahui perbandingan nilai AKK pada sampel.

Penelitian ini termasuk ekperimental quasi dengan rancangan deskriptif– komparatif dengan analisis statistik uji T. Rimpang temulawak yang digunakan berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta diperoleh pada bulan November 2009 dengan kondisi rimpang masih segar untuk menghindari penyimpanan yang lama. Uji cemaran kapang khamir dilakukan pada rimpang segar temulawak hasil pencucian, serbuk rimpang temulawak kering hasil pengeringan, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak.

Hasil penelitian didapatkan nilai AKK rimpang segar temulawak 2,2 0,57 x 105 CFU/g, serbuk rimpang temulawak 5,0 5,0 x 104 CFU/g, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak <10 CFU/g. Uji T pada sampel menunjukkan nilai AKK rimpang segar temulawak lebih besar daripada serbuk rimpang temulawak dan nilai AKK serbuk rimpang temulawak lebih besar daripada nilai AKK ekstrak etanolik rimpang temulawak. Nilai AKK rimpang segar dan serbuk rimpang temulawak tidak memenuhi persyaratan, sedangkan pada ekstrak etanolik rimpang temulawak jumlah cemaran kapang khamir memenuhi persyaratan.

(11)

x

most popular material that is used in the production of traditional medicine, because it has included one of special plant that is published by Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Rhizome and powder as a starting material to produce traditional medicine, it must fulfill the requirement from Kepmenkes No. 661/ Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) and for extract must fulfill requirement from Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004). One of the safety requirement is the number of mold/yeast contamination < 10 CFU/gram.

This research were aimed to calculate number of yeast/mold contamination from fresh rhizome, powder, etanolic extract of C. xanthorrhiza, to know that the number of mold/yeast contamination from sample are fulfill the requirement or not, and to know the comparison of number mold/yeast contamination from samples.

This research was a quasi experimental research with descriptive – comparative design and statistical analysis by T test. C. xanthorrhiza rhizome that used in this research were come from Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta collected in November 2009 in the fresh condition to avoid from long term storage. The number of mold/yeast contamination were tested in the material of fresh rhizome after washing process, powder of drying crude drug, and etanolic extract of C. xanthorrhiza.

Based on the quantification the number of mold/yeast contamination from fresh C. xanthorrhiza rhizome was 2,2 0,57 x 105 CFU/g, from powder of dry symplicia was 5,0 5,0 x 104 CFU/g, and from etanolic extract was <10 CFU/g. Based of the result of t test, the number of mold/yeast contamination of fresh rhizome higher than the powder, and the number of mold/yeast contamination of powder higher than extract. Fresh rhizome and dry powder didn’t fulfill the requirement, but for extract fulfilled the requirement.

(12)

xi

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

INTISARI ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 3

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 4

a. Manfaat teoritis... 4

b. Manfaat praktis... 4

(13)

xii

C. Ekstrak ... 12

1. Definisi ekstrak ... 12

2. Metode ekstraksi ... 13

D. Pengujian Angka Kapang Khamir (AKK) ... 14

E. Landasan Teori ... 18

F. Hipotesis ... 19

BAB III METODE PENELITIAN... 20

A. Jenis Penelitian ... 20

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 20

C. Bahan Penelitian ... 22

D. Alat Penelitian ... 23

E. Tata Cara Penelitian ... 23

F. Analisis Hasil ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Pengumpulan Bahan ... 29

B. Identifikasi Rimpang Temulawak ... 30

C. Pembuatan Simplisia ... 32

D. Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak Secara Maserasi ... 36

E. Pengujian Angka Kapang/Khamir (AKK)... 37

(14)

xiii

(15)

xiv

Tabel II. Hasil Identifikasi Organoleptik Rimpang Kering Temulawak 30 Tabel III. Data Nilai AKK Rimpang Segar Temulawak Hari ke -5 ... 41 Tabel IV. Data Nilai AKK Serbuk Rimpang Temulawak Hari ke-5 ... 42 Tabel V. Data Nilai AKK Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak Hari

ke-5 ... 42 Tabel VI. Data Nilai AKK Rimpang Segar Temulawak, Serbuk Rimpang

Temulawak, dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak ……… ... 43 Tabel VII. Uji T Rimpang Segar dan Serbuk Rimpang Temulawak dengan

Statistical Product and Service Solution

(SPSS)………….……... ... ... ... ... . ... ... 44 TabelVIII. Uji T Serbuk Rimpang dan Ekstrak Etanolik Rimpang

Temulawak dengan Statistical Product and Service Solution

(16)

xv

Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta ... 31 Gambar 2. Penampang Melintang Rimpang Temulawak Berdasarkan

MMI (Anonim, 1979)... 31 Gambar 3. Pertumbuhan Kapang Khamir Pada Perlakuan, Kontrol

(17)

xvi

Temulawak dan Perhitungannya ... 52 Lampiran 2. Angka Kapang Khamir (AKK) Sampel Serbuk Rimpang

Temulawak dan Perhitungannya ... 56 Lampiran 3. Angka Kapang Khamir (AKK) Sampel Ekstrak Etanolik

Rimpang Temulawak dan Perhitungannya ... 60 Lampiran 4. Data Uji Angka Kapang Khamir (AKK) Rimpang Segar

Temulawak, Serbuk Rimpang Temulawak, dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak ... 64 Lampiran 5. Hasil Uji T antar Rimpang Segar Temulawak dan Serbuk

Rimpang Temulawak ... 64 Lampiran 6. Hasil Uji T antara Serbuk Rimpang Temulawak dan

Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak ... 65 Lampiran 7. Pertumbuhan Koloni Kapang Khamir Sampel Rimpang Segar

Temulawak pada Pengenceran 10-1-10-5……….……. 65 Lampiran 8. Pertumbuhan Koloni Kapang Khamir Sampel Serbuk Rimpang

Temulawak pada Pengenceran 10-1-10-5………..………. 67 Lampiran 7. Pertumbuhan Koloni Kapang Khamir Sampel Ekstrak Etanolik

Rimpang Temulawak pada Pengenceran 10-1-10-5

(18)

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Kebutuhan simplisia temulawak sebagai bahan baku obat tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2003 menduduki peringkat pertama dilihat dari jumlah serapan simplisia temulawak di industri obat tradisional. Temulawak merupakan satu dari sembilan tanaman unggulan yang dikembangkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Temulawak disebut tanaman unggulan karena temulawak tumbuh hampir di seluruh Indonesia dan telah digunakan secara luas oleh masyarakat. Kegunaan temulawak dalam masyarakat adalah mengobati penyakit saluran pencernaan, kandung empedu, pankreas, dan dapat dipergunakan sebagai tonikum (Anonim, 2008).

(19)

Faktor yang mempengaruhi jumlah cemaran kapang khamir adalah lingkungan tumbuh tanaman. Tanah tempat tumbuh yang lembab dapat memungkinkan tumbuhnya kapang dan khamir dengan baik (Tjitrosono, 1986). Banyak di antara jenis kapang dapat menembus sel akar dan masuk ke jaringan rimpang, sehingga saat dipanen dan dicuci kapang yang telah menembus akar akan tetap ada di dalam rimpang sampai proses pengeringan. Berdasarkan penelitian (Triyono, 2004) dan (Wulandari, 2004), perbedaan tempat tumbuh tanaman dlingo sangat mempengaruhi jumlah cemaran kapang khamir. Daerah tempat tumbuh yang lebih lembab mempunyai cemaran kapang khamir yang lebih banyak dibandingkan tanaman yang tumbuh di daerah yang kering. Berdasarkan hal tersebut, maka temulawak dengan tempat tumbuh di daerah Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta perlu diteliti jumlah cemaran kapang khamir.

Banyak jenis kapang yang dapat merugikan kesehatan karena dapat menghasilkan mikotoksin yang sangat merugikan kesehatan. Aflatoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus dapat mengakibatkan hepatitis dan kanker hati (Cole dan Cox, 1981). Angka kapang khamir (AKK) menunjukkan jumlah cemaran kapang khamir total yang ada dalam suatu sampel, jika nilai AKK besar, maka jumlah cemaran kapang khamir yang ada dalam sampel juga besar sehingga berbahaya untuk kesehatan masyarakat.

(20)

Simplisia kering yang telah melewati proses pengeringan diharapkan mempunyai jumlah cemaran kapang khamir yang sedikit, karena kadar air menurun sehingga pertumbuhan kapang khamir terhambat. Ekstrak yang dihasilkan dari proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol 70% juga diharapkan dapat mengeliminasi cemaran kapang khamir. Setelah mengalami tahap pengolahan tersebut diharapkan rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak mempunyai nilai angka kapang khamir yang memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/ Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004) yaitu < 10 CFU/g sehingga aman digunakan sebagai bahan obat tradisional. Persyaratan di atas bertujuan untuk menjaga agar obat tradisional yang dihasilkan dari bahan baku yang sudah memenuhi standar dapat terjamin keamanannya dan menghasilkan produk yang reprodusible.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan nilai angka kapang khamir rimpang segar hasil pencucian, serbuk dari rimpang kering hasil pengeringan, dan ekstrak hasil ekstraksi dengan pelarut etanol 70% dari rimpang temulawak yang berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. Rimpang temulawak dipilih dari daerah Samigaluh karena banyak pasar yang memasok temulawak dari daerah ini.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, timbul permasalahan sebagai berikut:

(21)

b. Apakah nilai AKK rimpang temulawak segar, serbuk, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tanaman Obat Indonesia (Anonim, 2004) yaitu < 10 CFU/ g?

c. Bagaimana perbandingan nila AKK antara rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak? 2. Keaslian penelitian

Sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang perbandingan nilai angka kapang khamir rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak dari rimpang yang berasal dari Samigaluh belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai temulawak pernah dilakukan oleh Monica (2010) dengan judul “Uji Angka Lempeng Total pada Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak Etanolik Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb)”.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang perbedaan angka kapang khamir (AKK) antara rimpang segar, serbuk, dan ekstrak etanolik dari rimpang temulawak yang berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. b. Manfaat praktis

(22)

akan aman digunakan untuk pembuatan obat lebih lanjut sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui angka kapang khamir (AKK) dari masing-masing sampel rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak.

2. Untuk mengetahui apakah nilai AKK rimpang temulawak segar, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tanaman Obat Indonesia (Anonim, 2004).

(23)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)

Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di daerah Jawa Barat temulawak disebut sebagai koneng gede sedangkan di Madura disebut sebagai temu lobak. Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak ini menyebar ke seluruh dunia. Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, Indocina, Barbados, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa (Arisandi dan Andriani, 2006).

Rimpang temulawak sudah sejak lama dikenal sebagai tanaman obat. Aroma dan warna khas dari rimpang temulawak berbau tajam, dan daging buahnya berwarna kekuningan. Daerah tumbuhnya selain di dataran rendah juga dapat tumbuh baik sampai pada ketinggian tanah 1.500 meter di atas permukaan laut (Arisandi dan Andriani, 2006).

(24)

menggabus, di bawahnya terdapat periderm yang kurang berkembang. Korteks dan silinder pusat parenkimatik, terdiri dari sel parenkim berdinding tipis, berisi butir pati, dalam parenkim tersebar banyak sel minyak berisi minyak berwarna kuning dan zat berwarna jingga. Butir pati berbentuk pipih, bulat panjang sampai bulat telur memanjang, lamela jelas, hilus di tepi (Anonim, 1979).

B. Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga, dan kecuali dinyatakan, lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Anonim, 1985). Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tanaman atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni. (Anonim, 1979).

(25)

1. Pengumpulan bahan baku

Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia dapat berbeda-beda antara lain tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen, dan lingkungan tempat tumbuh.

Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar. Senyawa aktif tersebut terdapat secara maksimal di dalam bagian tanaman atau tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimia dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari (Anonim, 1985).

2. Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainya harus dibuang (Anonim, 1985). 3. Pencucian

(26)

berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat pencucian perlu diperhatikan air cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor ulangi pencucian/pembilasan sekali atau dua kali lagi. Perlu diperhatikan bahwa pencucian harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam bahan (Sembiring, 2007). Pencucian bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain sebagai berikut:

a. Perendaman bertingkat

Perendaman biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak mengandung kotoran seperti daun, bunga, buah dan lain-lain. Proses perendaman dilakukan beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air cuciannya mengandung kotoran paling banyak. Saat perendaman kotoran-kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Metode ini akan menghemat penggunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang terkandung dalam bahan (Sembiring, 2007).

b. Penyemprotan

(27)

c. Penyikatan (manual maupun otomatis)

Pencucian dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis bahan yang keras/tidak lunak dan kotorannya melekat sangat kuat. Pencucian ini memakai alat bantu sikat yang digunakan bentuknya bisa bermacam-macam, dalam hal ini perlu diperhatikan kebersihan dari sikat yang digunakan. Penyikatan dilakukan terhadap bahan secara perlahan dan teratur agar tidak merusak bahan. Pembilasan dilakukan pada bahan yang sudah disikat. Metode pencucian ini dapat menghasilkan bahan yang lebih bersih dibandingkan dengan metode pencucian lainnya, namun meningkatkan resiko kerusakan bahan (Sembiring, 2007).

4. Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang tetapi dijemur dengan keadaan utuh selama 1 hari. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki (Sembiring, 2007). 5. Pengeringan

(28)

yang dikeringkan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40 - 600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%. Demikian pula dengan waktu pengeringan juga bervariasi, tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan seperti rimpang, daun, kayu ataupun bunga. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan adalah kebersihan (khususnya pengeringan menggunakan sinar matahari), kelembaban udara, aliran udara dan tebal bahan (tidak saling menumpuk). Pengeringan bahan dapat dilakukan secara tradisional dengan menggunakan sinar matahari ataupun secara modern dengan menggunakan alat pengering seperti oven (Sembiring, 2007).

Pengeringan hasil rajangan dari temu-temuan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari dan oven pada suhu 30 - 500C. Pengeringan pada suhu terlalu tinggi dapat merusak komponen aktif, sehingga mutunya dapat menurun. Di samping menggunakan sinar matahari langsung, penjemuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan blower pada suhu 40 - 500C. Kelebihan dari alat ini adalah waktu penjemuran lebih singkat yaitu sekitar 8 jam, dibandingkan dengan sinar matahari membutuhkan waktu lebih dari 1 minggu (Sembiring, 2007).

(29)

6. Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian- bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Sembiring, 2007).

C. Ekstrak 1. Definisi ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995).

Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 gram simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak kental adalah ekstrak cair di mana sebagian besar pelarut diuapkan sehingga kandungan pelarutnya tinggal 10%. Ekstrak kering adalah ekstrak di mana semua pelarutnya diuapkan sampai semua pelarut menguap semua (Sumaryono, 2004).

(30)

dari 14,2 %. Ekstrak dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 70% (Anonim, 2004).

2. Metode ekstraksi

Penyarian (ekstraksi) adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Pemilihan cairan penyari dan cara penyarian didasarkan pada zat aktif yang terkandung pada bahan tersebut (Anonim, 1986).

Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia atau bahan dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar (Voigt, 1994).

Maserasi ganda yaitu jika simplisia dimaserasikan dua kali dengan bahan pelarut yang sama artinya bahan simplisia mula-mula hanya dengan setengah bagiannya kemudian dengan sisanya, diekstraksi dengan sedikit bagian bahan pelarut dan akhirnya dengan seluruh jumlah sisanya (Voigt, 1994).

(31)

sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajad perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam dengan di luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari seperti penyari malam dan lain-lain (Anonim, 1986).

D. Pengujian Kapang Khamir (AKK) 1. Kapang

Merupakan fungi yang mempunyai bentuk seperti benang, terdiri atas dua bagian yaitu bagian miselium (kumpulan dari beberapa hifa, setiap hifa berukuran lebar 5 sampai 10 µm) dan spora (sel yang resisten). Kapang adalah mikroba aerobik (Pelczar dan Chan, 1986).

Hifa dikelilingi oleh dinding sel yang terdiri dari polisakarida. Kandungan tertinggi dalam dinding sel pada kebanyakan kapang adalah selulosa, tetapi pada dinding sel beberapa kapang terutama terdiri dari khitin. Hifa mungkin membentuk kumpulan miselium yang padat dan keras dengan dinding sel tebal. Struktur ini disebut sklerotium (jamak: sklerotia) yang bersifat tahan terhadap pemanasan dan keadaan kering (Fardiaz, 1992).

(32)

termasuk dalam kelas Ascomycetes, Basidiomycetes, dan Deuteromycetes, sedangkan kapang nonseptat terutama termasuk dalam kelas Phycomycetes (Zygomycetes dan Oomycetes). Pada kapang nonseptat inti sel tersebar di sepanjang hifa (Fardiaz, 1992).

Hifa mungkin tumbuh di bawah permukaan yaitu terendam di dalam substrat/makanan, atau pertumbuhannya mungkin muncul di atas permukaan substrat/makanan. Hifa dapat dibedakan atas dua macam yaitu: (1) hifa vegetatif atau hifa tumbuh, dan (2) hifa fertil yang membentuk bagian reproduksi. Pada kebanyakan kapang, hifa fertil tumbuh di atas permukaan, tetapi pada beberapa kapang mungkin terendam. Penyerapan nutrien terjadi pada permukaan miselium (Fardiaz, 1992).

Kapang mempunyai kisaran pH pertumbuhan yang luas, yaitu 1,5-11 sehingga dapat bertahan dalam kondisi yang asam maupun basa dan dapat tumbuh dengan mudah. Kapang dapat menghasilkan spora yang cukup resisten terhadap pemanasan (Anonim, 2009). Rimpang temulawak mempunyai kadar air yang cukup tinggi sehingga memungkinkan tumbuhnya kapang dengan baik selain itu tanah tempat tumbuh rimpang yang mengandung nutrisi juga sangat menunjang pertumbuhan kapang pada permukaan rimpang (Tjitrosono, 1986).

2. Khamir

(33)

atau organ-organ penggerak. Khamir bersifat fakultatif yaitu dapat hidup dalam keadaan aerobik maupun anaerobik (Pelczar dan Chan, 1986).

Dinding sel khamir terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut Glukan khamir disebut juga selulosa khamir. Komponen ini terdiri dari polimer glukosa dengan ikatan beta-1,3 dan beta-1,6 (selulosa mempunyai ikatan beta-1,4 dan beta-1,6). Glukan merupakan komponen terbesar dari dinding sel khamir. Mannan, yaitu polisakarida yang terdiri dari unit D-mannosa dengan ikatan alfa-1,6; alfa-1,2; dan sedikit alfa-1,3 (Fardiaz, 1992).

Protein merupakan komponen dinding sel khamir yang jumlahnya relatif konstan, yaitu 6-8% dari berat kering dinding sel. Protein yang terdapat pada dinding sel termasuk juga enzim yang memecah substrat yang akan diserap, misalnya invertase dan hidrolase (Fardiaz, 1992).

Khitin yaitu suatu polimer linier dari N-asetilglukosamin dengan ikatan beta-1,4. Khitin yang terdapat pada dinding sel khamir menyerupai khitin yang terdapat pada skeleton luar serangga tetapi derajat polimerasinya lebih kecil sehingga lebih mudah larut. Lipid terdapat dalam jumlah 8,5-13,5 % mungkin lebih rendah pada beberapa spesies (Fardiaz, 1992).

3. Angka kapang khamir (AKK)

(34)

Kapang dapat menghasilkan toksin yang berbahaya bagi kesehatan, salah satunya adalah aflatoksin. Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus, yang diproduksi pada suhu antara 7,5-40oC, dengan suhu optimum 24-28oC Kapang khamir dapat tumbuh selama pemanenan, penyimpanan, dan dalam kondisi tanah lembab. Aflatoksin dapat menyebabkan toksigenik (menimbulkan keracunan), mutagenik (menimbulkan mutasi), dan karsinogenik (menimbulkan kanker) (Makfoeld,1993). Khamir dapat menyebabkan pembusukan pada bagian yang ditumbuhi karena sifatnya, yaitu mikroba fermentatif yang dapat menguraikan unsur organik menjadi alkohol dan CO2 seperti Saccharomyces cerevisiae (Anonim, 2010). Khamir dapat menyebabkan reaksi alergi dan infeksi terutama pada populasi yang kekebalannya kurang (manula, orang sedang menjalani pengobatan dengan antibiotika, dan orang terinfeksi HIV), selain itu khamir juga dapat menyebabkan pembusukan dan dekomposisi bahan pangan (Anonim, 2009).

(35)

koloni dalam cawan petri dapat digunakan colony counter yang biasa dilengkapi dengan electronic register (Jutono, 1980).

Persyaratan AKK bagi sediaan berbentuk rajangan dan serbuk berdasarkan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional (Anonim, 1994) adalah tidak lebih dari 10 koloni/g, sedangkan persyaratan jumlah AKK untuk sediaan ekstrak berdasarkan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004) adalah tidak lebih dari 10 koloni/g.

E. Landasan Teori

Rimpang temulawak adalah merupakan bahan baku yang banyak digunakan dalam pembuatan obat radisional. Simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi obat tradisional harus diupayakan memenuhi tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality (mutu), Safety (aman), dan Efficacy (manfaat) (Anonim, 2000). Simplisia yang digunakan pada pembuatan obat tradisional harus memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia termasuk juga nilai angka kapang khamir (AKK). Nilai angka kapang khamir bahan baku yang melebihi batas dapat mengurangi kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan.

(36)

penting yang menentukan hasil akhir termasuk jumlah cemaran kapang khamir sebagai salah satu parameter keamanan untuk persyaratan obat tradisional. Proses pencucian dapat menghilangkan tanah yang masih menempel pada rimpang sehingga cemaran kapang khamir yang menempel pada permukaan rimpang juga akan ikut tercuci. Adanya proses pengeringan menggunakan oven dapat meminimalisir pertumbuhan kapang khamir karena kandungan air pada sampel berkurang. Oven juga dapat menjaga suhu 50 oC sehingga proses pengeringan simplisia dapat berlangsung lebih cepat. Tahap ekstraksi menggunakan etanol 70% juga dapat mengurangi cemaran kapang khamir karena sifat etanol 70% sebagai disinfektan sehingga nilai angka kapang khamir pada ekstrak lebih sedikit dari serbuk dan rimpang segar.

Untuk menegaskan bahwa nilai AKK dari tiap sampel maka digunakan uji statistik, yaitu uji T yang berguna untuk melihat apakah mean yang secara empiris berbeda (lebih kecil atau lebih besar) mempunyai perbedaan yang signifikan/bermakna atau tidak, sehingga dengan uji T dapat ditegaskan apakah dua kelompok data mempunyai nilai lebih besar/kecil secara bermakna atau tidak.

F. Hipotesis

1. Nilai AKK rimpang segar temulawak lebih besar daripada nilai AKK serbuk rimpang temulawak.

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental quasi karena tidak ada kontrol perlakuan. Rancangan penelitian adalah deskriptif komparatif yang menunjukkan jumlah angka kapang khamir tiap sampel dan dibandingkan dengan persyaratan yang telah ditentukan, yaitu Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004). Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis sampel, yaitu hasil tiap tahap pencucian, pengeringan, dan ekstraksi (rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak). b. Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah jumlah angka kapang khamir (AKK) dari rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak.

(38)

Suhu inkubasi (200 – 250C), lama inkubasi (5 hari), media yang digunakan (SDA), suhu pengeringan (500C), cairan penyari etanol 70%, dan asal rimpang dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta

3. Variabel pengacau tak terkendali

Variabel pengacau tak terkendali pada penelitian ini adalah kondisi tempat tumbuh rimpang temulawak dan waktu pengeringan rimpang temulawak. 4. Definisi operasional

a. Rimpang segar temulawak adalah rimpang temulawak yang dibeli di pasar Beringharjo pada bulan November 2009, dengan memilih temulawak yang berasal dari daerah Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. Rimpang dipilih yang tidak busuk, stok baru (belum mengalami penyimpanan lebih dari lima hari), tidak bertunas, dan permukaannya dalam keadaan kering.

b. Serbuk rimpang kering temulawak adalah serbuk yang didapatkan dari hasil penyerbukan rimpang segar temulawak yang dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 500C, menggunakan mesin penyerbuk dan diayak dengan ayakan 8/14.

c. Ekstrak etanolik rimpang temulawak adalah sari rimpang temulawak yang didapatkan melalui proses maserasi selama 24 jam dengan menggunakan etanol 70%, disaring menggunakan kain kassa, kemudian diuapkan menggunakan waterbath selama ± 2 jam.

(39)

e. Koloni kapang yang dihitung adalah koloni tunggal yang berserabut, berpenampilan seperti kapas (Pelczar dan Chan, 2008) tanpa membedakan warna dari koloni.

f. Koloni khamir yang dihitung adalah koloni tunggal yang berukuran lebih kecil dibandingkan koloni kapang dan tidak berserabut, berbentuk bulat atau bundar, dan tanpa membedakan warna dan bentuk dari koloni.

g. Angka kapang/khamir adalah jumlah koloni kapang dan khamir pada sampel rimpang segar temulawak, serbuk rimpang temulawak, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak yang dihitung dengan rumus Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) (Anonim, 2006) tanpa membedakan morfologi koloni.

C. Bahan Penelitian

1. Bahan utama yaitu rimpang temulawak yang didapat dari pasar Beringharjo Yogyakarta yang berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta.

2. Media yang digunakan untuk menumbuhkan koloni kapang khamir adalah Sabouraud Dextrose Agar (SDA).

3. Larutan pengencer menggunakan air suling agar (ASA) 0,05%.

4. Antibiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri menggunakan Kloramfenikol 100 mg/L (Brataco).

5. Bahan-bahan lain yang digunakan yaitu :

(40)

D. Alat Penelitian

Microbiological Safety Cabinet, Vacuum rotary evaporator (Janke &

Kunkel Ika Labortechnik), Autoklaf, Inkubator, Vortex, Oven (Memmert), hot plate (Heidolph MR 2002), cawan petri (Pyrex), pipet volume, maserator, ayakan,

pipet tetes, ball pipet, tabung reaksi, labu Erlenmeyer, beker glass, gelas ukur, neraca analitik, lampu spiritus, waterbath, stirer magnetik, kapas, kertas pembungkus, dan alat-alat gelas.

E. Tata Cara Penelitian 1. Pengumpulan bahan

Penelitian ini menggunakan rimpang temulawak yang diperoleh dari pasar Beringharjo pada bulan November 2009, dipilih yang berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakata dalam kondisi yang tidak busuk dan belum mengalami proses penyimpanan yang lama. Rimpang temulawak dibeli dari pedagang sebanyak 5 kg.

2. Identifikasi rimpang temulawak

(41)

3. Pembuatan sampel rimpang segar temulawak

Rimpang temulawak yang diperoleh dari pedagang simplisia di pasar Beringharjo disortir dari bagian lain selain rimpang dan dari pengotor. Rimpang temulawak kemudian dicuci menggunakan air mengalir, disikat untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat di permukaan rimpang, dan jika ada bagian yang membusuk dipotong. Pencucian dan penyikatan dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kerusakan pada rimpang. Setelah dicuci dan disikat, rimpang diangin-anginkan hingga kering. Kemudian rimpang dihancurkan menggunakan blender steril dan dilakukan pengujian AKK.

4. Pembuatan sampel serbuk rimpang kering temulawak

Rimpang segar kemudian diiris tipis-tipis + 0,5 cm. Irisan kemudian dikeringkan dengan pengeringan menggunakan oven berkipas pada suhu 500C sampai kering hingga dapat dipatahkan dengan mudah. Potongan rimpang temulawak yang sudah kering kemudian diserbuk dengan menggunakan mesin penyerbuk dan diayak dengan ayakan 8/14. Serbuk kemudian diuji AKK.

5. Pembuatan sampel ekstrak temulawak secara maserasi

Satu bagian serbuk rimpang temulawak dimasukkan ke dalam maserator ditambah 10 bagian etanol 70%. Ekstraksi dilakukan sampai semua kandungan kimia simplisia terekstraksi. Setelah 24 jam, maserat kemudian dipisahkan dan proses maserasi diulang dua kali, dengan prosedur yang sama. Ekstrak dikentalkan di waterbath sampai pelarut + 10%.

6. Pembuatan media dan pengencer

(42)

Sebanyak 39 g serbuk SDA disuspensikan dalam 1000 mL aquadest, kemudian dilarutkan dengan pemanasan dan diaduk hingga merata, dimasukkan dalam wadah yang sesuai. Sterilisasi dengan autoklaf selama 15 menit dengan suhu 1210C. Setelah suhu media SDA steril mencapai 400C ditambahkan 100 mg/L kloramfenikol.

b. Air Suling Agar (ASA)

Sebanyak 0,5 g serbuk agar ditimbang seksama dan dilarutkan dalam 1000 mL aquadest steril, dikocok hingga merata dan dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer. Sterilisasi dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C.

7. Homogenisasi sampel

a. Rimpang segar temulawak

Dengan cara aseptis ditimbang sebanyak 10 g rimpang segar temulawak kemudian diblender agar hancur dan homogen, kemudian diambil sebanyak 1 g ditambah 9 mL pelarut ASA dan divorteks.

b. Serbuk rimpang temulawak

Dengan cara aseptis ditimbang sebanyak 1 g serbuk temulawak dimasukkan dalam tabung reaksi ditambah 9 mL pelarut ASA dan divorteks.

c. Ekstrak temulawak

Dengan cara aseptis diambil 1 g ekstrak temulawak kemudian ditambahkan 9 mL pelarut ASA dan divorteks.

(43)

Disiapkan 5 buah tabung reaksi yang masing-masing telah diisi dengan 9 mL pengencer ASA. Dipipet 1 mL pengenceran 10-1 dari hasil homogenisasi pada penyiapan dan dimasukkan ke dalam tabung pertama yang telah berisi larutan pengencer ASA hingga diperoleh pengenceran 10-2 dan dihomogenkan dengan vortex. Kemudian dibuat pengenceran selanjutnya hingga pengenceran 10-5 atau sesuai dengan yang diperlukan. Dipipet 1 mL dari masing-masing pengenceran dan dituangkan pada cawan petri dan dibuat duplo. Ke dalam tiap cawan petri dituangkan 15 mL media SDA (+ 45oC) kemudian segera cawan petri digoyang sambil diputar agar suspensi tersebar merata dengan teknik pour plate. Untuk mengetahui sterilitas media SDA dan pengencer ASA dilakukan kontrol (uji blangko), dengan menuangkan 1 mL pengencer ASA dan media SDA dalam suatu cawan petri dan dibiarkan memadat. Kemudian menuangkan pula media ke cawan petri lain dan dibiarkan memadat pula. Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 250 - 300C selama 3 - 5 hari dengan posisi terbalik. Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung menggunakan colony counter. Pada masing-masing sampel dilakukan replikasi sebanyak 4 kali.

F. AnalisisHasil

(44)

sebagai angka kapang/khamir dalam tiap gram contoh. Untuk beberapa kemungkinan lain yang berbeda dari pernyataan di atas, maka diikuti petunjuk sebagai berikut.

a. Bila hanya salah satu di antara ke dua cawan petri dari pengenceran yang sama menunjukkan jumlah antara 10 - 150 koloni, dihitung jumlah koloni dari kedua cawan dan dikalikan dengan faktor pengenceran.

b. Bila pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi didapat jumlah koloni lebih besar dari dua kali jumlah koloni pada pengenceran di bawahnya, maka dipilih tingkat pengenceran terendah (misal pada pengenceran 10-3 diperoleh 20 koloni dan pada pengenceran 10-2 diperoleh 60 koloni, maka dipilih jumlah koloni pada tingkat pengenceran 10-2 yaitu 60 koloni). Bila pada pengenceran yang lebih tinggi didapat jumlah koloni kurang dari dua kali jumlah koloni pengenceran di bawahnya, maka diambil angka rata-rata dari jumlah koloni dari kedua pengenceran tersebut. Hasil dinyatakan sebagai angka kapang khamir dalam tiap gram sampel, misal pada pengenceran 10-2 diperoleh 60 koloni dan pengenceran 10-3 diperoleh 10 koloni, maka angka kapang khamir adalah :

(45)

d. Bila tidak ada pertumbuhan pada semua cawan dan bukan disebabkan karena faktor inhibitor, maka angka kapang/khamir dilaporkan sebagai kurang dari satu dikalikan faktor pengenceran terendah.

Setelah diperoleh jumlah koloni yang sesuai dengan persyaratan di atas, dilakukan perhitungan angka kapang khamir (AKK) dengan rumus :

Angka kapang khamir = jumlah koloni total x faktor pengenceran

Hasil dibandingkan dengan persyaratan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004) sebagai berikut.

a. Rajangan/potongan simplisia dan serbuk tidak lebih dari 10 koloni/g simplisia (Anonim, 1994).

b. Ekstrak temulawak tidak lebih dari 10 koloni/g (Anonim, 2004).

Dalam melaporkan jumlah koloni hanya dua angka penting yang digunakan, yaitu angka yang pertama dan ke dua (dimulai dari kiri), sedangkan angka yang ketiga diganti dengan nol (0) apabila kurang dari lima (5) dan apabila lima (5) atau lebih dijadikan satu (1) yang ditambahkan pada angka kedua. Contoh : 523.000 dilaporkan 5,2 x 105 dan 83.600 dilaporkan 8,4 x 104 (Anonim, 2006)

Untuk menegaskan adanya perbedaan nilai angka kapang khamir dilakukan uji T pada hasil AKK yang didapat, yaitu dengan memasukkan data angka kapang khamir yang diperoleh pada program Statistical Product and Service Solution (SPSS) dan dianalisis dengan uji T dengan taraf kepercayaan

(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Bahan

Temulawak merupakan satu dari sembilan tanaman unggulan yang dikembangkan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Temulawak disebut tanaman unggulan karena temulawak tumbuh hampir di seluruh Indonesia dan telah digunakan secara luas oleh masyarakat. Pemerintah juga telah mencanangkan Gerakan Nasional Minum Temulawak. Penelitian ini menggunakan rimpang temulawak (Curcuma xanthorhiza rhizoma) yang dibeli sebanyak 5 kg berasal dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. Penggunaan rimpang yang berasal dari Samigaluh karena pasar tradisional banyak memasok rimpang yang berasal dari daerah ini.

(47)

B. Identifikasi Rimpang Temulawak

Sebelum rimpang diolah lebih lanjut, perlu dilakukan identifikasi makroskopik, mikroskopik, dan organoleptik kering rimpang temulawak untuk mengetahui kebenaran jenis simplisia. Hasil identifikasi makroskopik, mikroskopik, dan organoleptik rimpang temulawak kering ditunjukkan pada tabel I, tabel II, dan gambar 2

Tabel I. Hasil Identifikasi Makroskopik Rimpang Kering Temulawak Pengamatan Bentuk Kepingan bundar,

lonjong, ringan, keras tapi rapuh, pinggir

berkerut

Diameter: 6-8 cm, tebal: 1-3 mm

Keping tipis, berbentuk bundar, ringan, keras, rapuh, permukaan luar berkerut, diameter: sampai 6

cm, tebal:2-5 mm

Warna Kuning kecoklatan sampai coklat, Bidang irisan berwarna

lebih buram

Coklat kuning sampai coklat Bidang irisan berwarna coklat

buram

Tabel II. Hasil Identifikasi Organoleptik Rimpang Kering Temulawak Pengamatan

Bau Khas aromatik Khas aromatik

Rasa Agak pahit Mirip rempah-rempah dan

pahit

Warna Kuning-jingga Kuning jingga-coklat kuning jingga

(48)

Gambar 1. Penampang Melintang Rimpang Segar Temulawak dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta

Keterangan gambar: 1=parenkim silinder pusat, 2=endodermis, 3=parenkim korteks, 4=parenkim silinder pusat, 5=berkas pembuluh kolateral, 6=butir pati, 7=hipodermis, 8= epidermis

Gambar 2. Penampang Melintang Rimpang Temulawak Berdasarkan MMI (Anonim, 1979)

Keterangan gambar: 1=rambut penutup, 2=epidermis, 3=hipodermis, 4=periderm, 5=berkas pembuluh kolateral, 6=skelenkim, 7=parenkim korteks, 8= sel minyak, 9=butir pati, 10=endodermis, 11=parenkim silinder pusat

(49)

Berdasarkan hasil identifikasi organoleptik, makroskopik, dan mikroskopik diperoleh hasil bahwa sampel rimpang dari Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta merupakan rimpang temulawak karena mempunyai kesesuaian dengan MMI (Anonim, 1979).

C. Pembuatan Simplisia 1. Sortasi dan pencucian

Proses pembuatan simplisia meliputi penyortiran, pencucian, pengirisan, dan pengeringan. Rimpang temulawak yang dibeli dari pedagang simplisia di pasar Beringharjo disortir dari bahan asing selain rimpang seperti kerikil, pasir, dan bagian tanaman selain rimpang. Penyortiran ini berfungsi untuk memisahkan rimpang yang busuk dengan rimpang yang masih bagus, atau bahan asing lainnya yang tidak digunakan dalam pembuatan simplisia (Anonim, 2004). Dengan adanya proses penyortiran, maka rimpang yang akan digunakan untuk proses selanjutnya akan lebih bersih dari bahan asing yang tidak dikehendaki, seperti kerikil, pasir, akar, ataupun ranting.

(50)

yang menempel mengandung banyak mikroba yang berasal dari lingkungan karena tanah merupakan tempat hidup berbagai macam mikroba termasuk juga kapang khamir yang dapat hidup di tanah dan dapat masuk dalam pori rimpang.

Dengan adanya pencucian dengan air yang mengalir, maka mikroba dan kotoran yang menempel dapat ikut terbuang bersama dengan air. Penyikatan juga dilakukan untuk memudahkan pembersihan pada daerah yang sulit, yaitu pada lekukan-lekukan ruas rimpang. Dengan menggunakan ke dua cara tersebut, maka tanah dan kotoran dapat dihilangkan pada permukaan rimpang temulawak. Tahap pencucian merupakan tahap yang penting dalam pengolahan rimpang, jika tahap ini tidak dilakukan maka jumlah cemaran kapang khamir yang ada di permukaan tetap tinggal dan akan menyebabkan simplisia tidak berkualitas karena jumlah cemaran kapang khamir yang melebihi batas yang ditentukan dan juga akan menyebabkan kerugian bagi pengguna simplisia. Hal ini disebabkan karena jumlah cemaran kapang khamir yang melebihi batas dapat membahayakan kesehatan karena kapang dapat menghasilkan toksin yang berbahaya, seperti Aspergilus flavus yang menghasilkan aflatoksin yang bersifat karsinogenik

(Makfoeld, 1993). Khamir juga dapat menyebabkan kebusukan pada simplisia sehingga dengan banyaknya cemaran khamir, maka kualitas simplisia menjadi rendah karena lebih cepat membusuk.

2. Pembuatan serbuk simplisia

(51)

tahap pemotongan, ukuran ketebalan rajangan berpengaruh pada kualitas simplisia yang dihasilkan. Bila irisan terlalu tipis, maka simplisia dapat terlalu kering sehingga kandungan kimia di dalamnya dapat hilang dan simplisia akan mudah hancur. Bila irisan terlalu tebal, simplisia rimpang temulawak akan sulit kering sehingga kandungan air di dalamnya masih banyak. Hal ini dapat menyebabkan pembusukan dan pertumbuhan kapang dan khamir dalam simplisia tersebut.

Pengeringan bertujuan supaya diperoleh simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Pengeringan menurunkan kadar air, sehingga reaksi enzimatik juga menurun karena air merupakan media berlangsungnya sebuah reaksi enzimatik. Dengan kadar air kurang dari 10% reaksi enzimatis dan pertumbuhan kapang khamir dapat diminimalisir sehingga mutu simplisia dapat terjaga dalam waktu yang cukup lama. Suhu pengeringan bergantung pada simplisia dan cara pengeringan. Suhu pengeringan berkisar antara 30-90°C (Widanengsih, 2008). Pada penelitian ini pengeringan dilakukan pada suhu 50°C sampai irisan rimpang dapat dipatahkan dengan mudah. Pengeringan dengan oven mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan pengeringan menggunakan sinar matahari langsung di antaranya adalah sebagai berikut; tidak tergantung cuaca, tidak memerlukan tempat yang luas, kondisi pengeringan dapat dikontrol, kemungkinan ditumbuhi jamur lebih rendah (Risfaheri dan Tatang, 1996)

(52)

ditutup sehingga udara dari luar sedikit yang bisa masuk. Pengeringan menggunakan oven juga dapat mempercepat waktu pengeringan karena tidak tergantung cuaca dan juga adanya panas yang konstan. Simplisia temulawak yang telah kering diserbuk menggunakan mesin penyerbuk agar didapatkan ukuran yang seragam dan proses penyerbukan lebih dapat berlangsung cepat karena daya tampung yang cukup banyak dibandingkan dengan blender. Serbuk yang dihasilkan diayak dengan ayakan 8/14 sehingga mendapat serbuk yang homogen. Dengan ukuran serbuk yang homogen maka jika dilakukan proses ekstraksi serbuk akan tercampur merata dalam cairan penyari. Apabila serbuk tidak sama ukurannya maka saat proses ekstraksi serbuk yang berukuran kecil akan mudah terbasahi oleh pelarut sedangkan serbuk yang ukurannya besar belum terbasahi sempurna sehingga zat aktif tidak terekstrak sempurna.

Keuntungan bentuk serbuk dibandingkan dengan simplisia kering adalah saat dilakukan proses ekstraksi, bentuk serbuk bisa mendapatkan zat aktif yang lebih banyak karena bentuknya yang lebih berukuran kecil sehingga mempunyai total area kontak yang lebih luas dengan cairan penyari dibandingkan dengan simplisia kering yang bentuknya lebih berukuran besar. Dengan adanya luas kontak yang semakin besar maka kandungan zat aktif yang terekstrak akan semakin banyak juga. Selain itu, dengan bentuk serbuk lebih memudahkan untuk penyimpanan karena bentuknya yang lebih ringkas sehingga dapat dimasukkan dalam wadah yang lebih kecil.

(53)

pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu, serta cara pengawetannya. Penyebab kerusakan pada simplisia yang utama adalah air dan kelembaban. Air/lembab dapat menjadi media tumbuh kapang khamir yang dapat menyebabkan simplisia menjadi rusak dan bisa membusuk, selain itu dengan adanya kandungan air yang cukup tinggi, maka reaksi enzimatis juga dapat terjadi. Pengemas yang dapat mencegah masuknya air/lembab sangat penting untuk keawetan simplisia.

D. Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak Secara Maserasi Pembuatan ekstrak temulawak dilakukan sesuai dengan cara pada Monografi Ekstak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004). Ekstraksi dilakukan sampai semua kandungan kimia simplisia terekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan cairan penyari etanol 70% dan tiap 24 jam cairan penyari diganti. Pengulangan ini berfungsi agar zat aktif dapat terambil secara maksimal. Ekstrak kemudian dikentalkan sampai pelarut + 10%, agar tidak banyak pelarut yang tersisa pada ekstrak dan kandungan zat aktif akan lebih pekat.

Zat aktif yang terkandung dalam temulawak adalah kurkumin (C2H20O6). Kurkumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan aseton (Joe et al., 2004). Penggunaan etanol sebagai cairan penyari lebih baik daripada air

(54)

yang ada pada serbuk juga akan mati, sehingga ekstrak yang dihasilkan menjadi lebih aman karena mikrobia yang ada sudah mati termasuk juga cemaran kapang khamir.

E. Pengujian Angka Kapang Khamir (AKK)

Uji kapang khamir merupakan salah satu syarat yang harus dilakukan pada produk obat tradisional. Angka kapang khamir yang memenuhi persyaratan akan memberikan jaminan bahwa produk obat yang ditawarkan aman untuk dikonsumsi karena jumlah cemaran kapang khamir yang masih memenuhi batas yang dipersyaratkan. Jumlah yang dipersyaratkan untuk cemaran kapang khamir pada produk obat adalah <10 CFU/g.

Prinsip uji kapang khamir adalah menumbuhkan kapang khamir dari sampel temulawak pada media yang sesuai di laboratorium. Media yang digunakan harus mempunyai nutrisi yang dibutuhkan kapang khamir untuk dapat tumbuh. Kapang adalah mikroba yang bersifat aerobik yaitu membutuhkan oksigen untuk hidup sedangkan khamir bersifat fakultatif yaitu dapat hidup, tanpa oksigen (anaerobik) maupun aerobik (Fardiaz, 1992). Oleh karena itu dalam inkubasi untuk uji kapang khamir tidak membutuhkan kondisi khusus.

(55)

pertumbuhan karena metabolisme dengan cara fermentatif ataupun oksidatif (Fardiaz, 1992).

Media yang digunakan adalah SDA (Sabouraud Dextrose Agar) yang mengandung glukosa, pepton, dan agar. Kandungan SDA dapat memberikan nutrisi untuk pertumbuhan kapang dan khamir karena kandungan glukosa dan peptone (terdiri atas asam amino dan molekul organik) yang dapat digunakan untuk metabolisme kapang khamir.

Penggunaan antibiotik kloramfenikol 100 mg/L bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri sehingga yang tumbuh pada media hanya kapang dan khamir. Digunakan antibiotik kloramfenikol karena kloramfenikol mempunyai daya hambat spektrum luas pada bakteri sehingga banyak jenis bakteri dapat dihambat pertumbuhannya. Cara kerja kloramfenikol sebagai antibiotik adalah dengan mengikat sub unit ribosom 50S dan menghambat pembentukan ikatan peptida pada bakteri dan sel prokariotik lainnya (Fardiaz, 1992). Ikatan peptida yang tidak terbentuk, maka akan mengakibatkan dinding sel menjadi tidak terbentuk sehingga sel akan lisis. Kloramfenikol tidak menghambat pertumbuhan kapang khamir karena kapang khamir adalah sel eukariotik sehingga kapang khamir tidak terhambat pertumbuhannya oleh kloramfenikol.

(56)

Pembuatan seri pengenceran berfungsi agar saat sampel ditanam jumlah koloni yang terbentuk merupakan koloni yang terpisah dan jumlahnya di antara 10-150 koloni sehingga dapat memudahkan dalam melakukan perhitungan jumlah angka kapang khamir. Jika pengenceran tidak dilakukan koloni yang terbentuk akan terlalu banyak dan koloni saling bertumpuk sehingga tidak dapat dilihat sebagai koloni yang terpisah. Jika tidak dapat terbentuk koloni terpisah maka tidak dapat dilakukan perhitungan koloni. Pengenceran hanya dilakukan sampai 10-5 karena berdasarkan orientasi dengan tingkat pengenceran kelima sudah bisa didapatkan koloni yang terpisah.

Pada saat penanaman cawan petri harus segera digoyang agar suspensi tersebar merata (pour plate). Digunakan cara pour plate agar sampel yang ditanam dapat tersebar merata pada cawan petri sehingga dapat dihasilkan sebaran koloni yang terpisah sehingga memudahkan dalam perhitungan.

(57)

Gambar 3. Pertumbuhan Kapang Khamir Pada Perlakuan, Kontrol Media, dan Kontrol Pelarut

Keterangan gambar: A=Sampel rimpang segar temulawak 10-3 duplo I, B=sampel rimpang segar temulawak duplo II, C=Kontrol pelarut, D= Kontrol media

Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 250 C selama 5 hari dengan posisi terbalik. Perhitungan jumlah koloni dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-5. Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung menggunakan colony counter. Koloni kapang yang dihitung adalah berbentuk serabut seperti kapas dan untuk khamir berbentuk bulat dan keduanya merupakan koloni yang tunggal/terpisah.

Hasil dari perhitungan dibandingkan dengan persyaratan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004). Angka kapang/khamir yang diperbolehkan dalam persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Rajangan/potongan simplisia dan serbuk : tidak lebih dari 10 koloni/gram simplisia (Anonim, 1994).

b. Ekstrak temulawak tidak lebih dari 10 koloni/gram (Anonim, 2004).

Berdasarkan perhitungan pada tiap tahap pengolahan apakah masuk dalam batas maksimal cemaran seperti yang disebutkan di atas. Untuk menguji hipotesis maka

(58)

dilakukan uji statistik yaitu uji T untuk membuktikan apakah nilai AKK tiap sampel berbeda bermakna atau tidak.

Setelah 3 dan 5 hari pengamatan dan perhitungan jumlah koloni didapatkan data yang berbeda. Pada hari kelima (5) jumlah koloni bakteri meningkat dibandingkan pada perhitungan hari ketiga (3) hal ini dikarenakan pertumbuhan kapang khamir yang lambat maka pada hari ketiga masih ada koloni yang pertumbuhannya belum maksimal sehingga koloni belum cukup besar untuk dilihat dengan colony counter. Oleh sebab itu dipakai perhitungan jumlah koloni pada hari kelima untuk menetapkan jumlah cemaran kapang khamir pada tiap tahap, hasilnya adalah sebagai berikut :

Tabel III. Data nilai AKK Rimpang Segar Temulawak Hari ke -5 Pengenceran Rep I

Σ (CFU/g) AKK

Pengenceran Rep III

(59)

Tabel IV. Data nilai AKK Serbuk Rimpang Temulawak Hari ke -5 Pengenceran Rep I

Σ (CFU/g) AKK

Pengenceran Rep III

Σ (CFU/g) AKK

Tabel V. Data Nilai AKK Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak Hari ke -5 Pengenceran Rep I

(60)

Pengenceran Rep III

Tabel VI. Data Nilai Angka Kapang/Khamir Rimpang Segar Temulawak, Serbuk Rimpang Temulawak, dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak

Replikasi

Jumlah AKK Sampel (CFU/gram) Rimpang Segar

(61)

Proses pengeringan dapat dilihat pengaruhnya dengan cara membandingkan nilai angka kapang khamir pada rimpang segar dan pada serbuk dengan uji statistik yaitu uji T dengan taraf kepercayaan 95%. Uji T berguna untuk melihat mean dari dua kelompok data apakah mempunyai perbedaan yang bermakna atau tidak. Berdasarkan hasil uji statistik proses pengeringan dapat menurunkan jumlah cemaran kapang khamir terbukti dari nilai t hitung lebih besar daripada t tabel. Nilai t tabel dengan df (degree of freedom) enam adalah 1,943 (Hartley, 1970). Berdasarkan uji T nilai t hitung yang didapat sebesar 4,473 mempunyai nilai yang lebih besar dari t tabel maka dapat dikatakan bahwa nilai angka kapang khamir rimpang segar dan serbuk berbeda bermakna. Secara

empiris dua AKK rimpang segar temulawak lebih besar daripada AKK serbuk

rimpang temulawak. Setelah dilakukan uji T dapat ditegaskan AKK rimpang segar temulawak lebih besar daripada AKK serbuk rimpang temulawak.

Tabel VII. Uji T Rimpang Segar dan Serbuk Rimpang Temulawak dengan Statistical Product and Service Solution(SPSS)

(62)

khamir. Setelah simplisia diserbuk langsung diuji agar kapang khamir tidak berkembang terlalu banyak pada saat penyimpanan. Proses pengeringan dapat menurunkan nilai cemaran kapang khamir tetapi jumlah cemaran yang masih ada di serbuk masih melampaui batas yang dipersyaratkan. Hal ini disebabkan karena jumlah cemaran yang ada pada rimpang sudah sangat banyak sehingga proses pengeringan tidak mampu menekan jumlah cemaran kapang khamir sampai angka yang dipersyaratkan. Proses pengeringan tidak mampu menghilangkan semua cemaran kapang khamir karena proses pengeringan tidak mampu menghilangkan cemaran kapang khamir yang sudah menempel pada bagian dalam rimpang.

Tabel VIII. Uji T Serbuk Rimpang Temulawak dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak dengan Statistical Product and Service Solution(SPSS)

(63)
(64)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Nilai AKK rimpang segar temulawak sebesar 2,2 0,57 x 105 CFU/gram, serbuk rimpang temulawak sebesar 5,0 5,0 x 104 CFU/gram, dan ekstrak etanolik rimpang temulawak sebesar <10 CFU/gram

2. Nilai AKK rimpang segar temulawak dan serbuk rimpang temulawak tidak memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994 (Anonim, 1994) sedangkan nilai AKK ekstrak etanolik rimpang temulawak memenuhi persyaratan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004). 3. Nilai AKK rimpang segar temulawak lebih besar dibandingkan serbuk

rimpang temulawak dan nilai AKK serbuk rimpang temulawak juga lebih besar dibandingkan nilai AKK ekstrak etanolik rimpang temulawak.

B. Saran

(65)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia III, 28, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 1979b, Materia Medika Indonesia III, 63-68Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, 10 – 20, Dirwas Obat Tradisional Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 2-40, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 1994, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Persyaratan Obat Tradisional, 3-4, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia IV, 7, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, 4, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2004, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Volume 1, 51 – 54, 151, Badan POM RI, Jakarta

Anonim, 2006, Metode Analisis Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, 106, 108-110, Badan POM, Jakarta

Anonim, 2008, Budidaya Tanaman Temulawak

diakses tanggal 13 November 2009

Anonim, 2009, Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan, SNI 7388:2009, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta

Anonim, 2009, Morfologi Kapang dan Khamir,

Anonim, 2010, Gandum,

Agustus 2010

(66)

Cole, R.J., and Cox, R.H . 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites, 1850, Academic press, New York

Fardiaz, S., 1992, Mikrobiologi Pangan, 180-195, PT.Gramedia, Jakarta

Hadioetomo, R.S., 1985, Mikrobiologi Dasar dan Praktek-teknik dan Prosedur Dasar dalam Laboratorium, 42-46, Gramedia, Jakarta

Harley, H.O., 1970, Biometrika Tables for Statisticians, vol 1, 575, Biometrika Trustees at the University Press, London

Jawetz, E.J.I., Melnick and Adelberg, E.A., 1996, Mikrobiologi Kedokteran, 234-240, 286-290, Diterjemahkan oleh Nugroho, E., dan Maulany, edisi XX, EGC, Jakarta

Joe, B.; M. Vijaykumar and B.R. Lokesh, 2004, Biological properties of curcumin-cellular and molecular mechanisms of action, Critical Review in Food Science and Nutrition, 2004;44(2):97-111

Makfoeld,D., 1993, Mikotoksin Pangan, 116-137, Penerbit Kanisius, Yogykarta Pelczar, M, J., dan Chan, E. C. S., 1986, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 190-198,

Universitas Indonesia Press, Jakarta

Risfaheri dan Tatang, 1996, Pengeringan Simplisia di Pedesaan, Prosiding SimposiumPenelitian Bahan Obat Alami VIII, 79-83, Balai Penelitian Tanaman Rempah, Bogor

Sembiring,B, 2007, Teknologi Penyiapan Simplisia Terstandar Tanaman Obat,

Sumaryono, W., 2004, Strategi Pengembangan Teknologi Formulasi dan Manufaktur Obat Alami, Prosiding Seminar Nasional XXV Tumbuhan Obat Indonesia, Surakarta

Tjitrosono, S.S., 1986, Botani Umum 4, 199, penerbit Angkasa, Bandung

Triyono A, 2004, Perbandingan Antara Pengeringan Oven dan Sinar Matahari Terhadap Cemaran Kapang dan Khamir serta Identifikasi Aspergillus pada Tanaman Dlingo (Acorus calamus L.) yang ditanam di Tempat Kering, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

(67)

Widanengsih, 2008, Teknik Pembuatan Simplisia,

(68)
(69)

Lampiran 1. Angka Kapang Khamir (AKK) Sampel Rimpang Segar

Dipilih cawan petri dengan pengenceran 10-3 dan 10-4 karena menunjukkan jumlah koloni antara 10 – 150 (Aturan umum).

Dari pengenceran 10-3 : 133 x 1000 = 133.000 CFU / g rimpang Dari pengenceran 10-4 : 28 x 10000 = 280.000 CFU / g rimpang

Rata-rata : 206.500 CFU/ g rimpang

= 206,5x 103 CFU / g rimpang = 2,1 x 105 CFU/ g rimpang Syarat : tidak lebih dari 10 CFU / g rimpang

(70)

Replikasi II

Dipilih cawan petri dengan pengenceran 10-3 dan 10-4 karena menunjukkan jumlah koloni antara 10 – 150 (Aturan umum).

Dari pengenceran 10-3 : 75 x 1000 = 75.000 CFU / g rimpang Dari pengenceran 10-4 : 53 x 10000= 530.000 CFU / g rimpang

Rata-rata : 302.500 CFU / g rimpang

= 302,5 x 103 CFU / g rimpang = 3,0 x 105 CFU/ g rimpang Syarat : tidak lebih dari 10 CFU / g rimpang

(71)

Replikasi III

Dipilih cawan petri dengan pengenceran 10-3 dan 10-4 karena menunjukkan jumlah koloni antara 10 – 150 (Aturan umum).

Dari pengenceran 10-3 : 85 x 1000 = 85.000 CFU / g rimpang Dari pengenceran 10-4 : 29 x 10000 = 290.000 CFU / g rimpang

Rata-rata : 187.500 CFU / g rimpang

= 187,5 x 103 CFU / g rimpang = 1,9 x 105 CFU/ g rimpang Syarat : tidak lebih dari 10 CFU / g rimpang

(72)

Replikasi IV

Dipilih cawan petri dengan pengenceran 10-3 dan 10-4 karena menunjukkan jumlah koloni antara 10 – 150 (Aturan umum).

Dari pengenceran 10-3 : 77 x 1000 = 77.000 CFU / g rimpang

(73)

Lampiran 2. Angka Kapang Khamir (AKK) Sampel Serbuk Rimpang

Dipilih cawan petri dengan pengenceran 10-3 dan 10-4 karena menunjukkan jumlah koloni antara 10 – 150 (Aturan umum).

Dari pengenceran 10-3 : 60 x 1000 = 60.000 CFU / g serbuk

(74)

Replikasi II

Dipilih cawan petri dengan pengenceran 10-3 dan 10-4 karena menunjukkan jumlah koloni antara 10 – 150 (Aturan umum).

Dari pengenceran 10-3 : 24 x 1000 = 24.000 CFU / g serbuk

(75)

Replikasi III

Dipilih cawan petri dengan pengenceran 10-2 dan 10-3 karena menunjukkan jumlah koloni antara 10 – 150 (Aturan umum).

Dari pengenceran 10-2 : 52 x 100 = 5.200 CFU / g serbuk

(76)

Replikasi IV

Dipilih cawan petri dengan pengenceran 10-2 karena menunjukkan jumlah koloni antara 10 – 150 (Aturan umum).

Dari pengenceran 10-2 : 52 x 100 = 5.200 CFU / g rimpang = 5,2 x 103 CFU / g rimpang Syarat : tidak lebih dari 10 CFU / g rimpang

(77)

Lampiran 3. Angka Kapang Khamir (AKK) Sampel Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak dan Perhitungannya

Replikasi I

Tidak ada cawan petri yang menunjukkan pertumbuhan koloni dari 10 – 150, dicatat angka sebenarnya dari tingkat pengenceran terendah dan dihitung sebagai angka kapang/khamir perkiraan (Aturan point c).

Dari pengenceran 10-1 : 0 x 10 = 0 (< 10) CFU / g ekstrak Syarat : tidak lebih dari 10 CFU / g ekstrak

(78)

Replikasi II

Tidak ada cawan petri yang menunjukkan pertumbuhan koloni dari 10 – 150, dicatat angka sebenarnya dari tingkat pengenceran terendah dan dihitung sebagai angka kapang/khamir perkiraan (Aturan point c).

Dari pengenceran 10-1 : 0 x 10 = 0 (< 10) CFU / g ekstrak Syarat : tidak lebih dari 10 CFU / g ekstrak

(79)

Replikasi III

Tidak ada cawan petri yang menunjukkan pertumbuhan koloni dari 10 – 150, dicatat angka sebenarnya dari tingkat pengenceran terendah dan dihitung sebagai angka kapang/khamir perkiraan (Aturan point c).

Dari pengenceran 10-1 : 0 x 10 = 0 (< 10) CFU / g ekstrak Syarat : tidak lebih dari 10 CFU / g ekstrak

(80)

Replikasi IV

Tidak ada cawan petri yang menunjukkan pertumbuhan koloni dari 10 – 150, dicatat angka sebenarnya dari tingkat pengenceran terendah dan dihitung sebagai angka kapang/khamir perkiraan (Aturan point c).

Dari pengenceran 10-1 : 0 x 10 = 0 (< 10) CFU / g ekstrak Syarat : tidak lebih dari 10 CFU / g ekstrak

(81)

Lampiran 4. Data Nilai Angka Kapang Khamir (AKK) Rimpang Segar Temulawak, Serbuk Rimpang Temulawak, dan Ekstrak Etanolik Rimpang

Temulawak

Replikasi

Jumlah AKK Sampel (CFU/gram) Rimpang Segar

Lampiran 5. Hasil Uji T antara Rimpang Segar Temulawak dan Serbuk Temulawak

Nilai T tabel untuk df 6 adalah 1,943 Nilai T hitung diatas adalah 4,473.

(82)

Lampiran 6. Hasil Uji T antara Serbuk Temulawak dan Ekstrak Temulawak

Nilai T tabel untuk df 6 adalah 1,943 Nilai T hitung diatas adalah 2,030

Kesimpulan kedua sampel diatas menunjukkan nilai AKK yang berbeda bermakna

Lampiran 7. Pertumbuhan Koloni Kapang Khamir Sampel Rimpang Segar Temulawak pada Pengenceran 10-1-10-5

(83)

Pertumbuhan Kapang Khamir Pengenceran 10-2

Pertumbuhan Kapang Khamir Pengenceran 10-3

Pertumbuhan Kapang Khamir Pengenceran 10-4

(84)

Pertumbuhan Kapang Khamir Pengenceran 10-5

Lampiran 8. Pertumbuhan Koloni Kapang Khamir Sampel Serbuk Rimpang Temulawak pada Pengenceran 10-1-10-5

(85)

Pertumbuhan kapang khamir 10-2

Pertumbuhan kapang khamir 10-3

(86)

Pertumbuhan kapang khamir 10-5

Lampiran 9. Pertumbuhan Koloni Kapang Khamir Sampel Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak pada Pengenceran 10-1-10-5

Gambar

Tabel I. Hasil Identifikasi Makroskopik Rimpang Kering Temulawak
Gambar 1. Penampang Melintang Rimpang  Segar  Temulawak dari
Gambar  3. Pertumbuhan Kapang Khamir Pada Perlakuan, Kontrol
Tabel III. Data nilai AKK Rimpang Segar Temulawak Hari ke -5
+5

Referensi

Dokumen terkait

Praktik tersebut dilakukan secara tertulis dan objek dalam sewa menyewa emas tidak digunakan secara langsung, akan tetapi objek yang disewa diinvestasikan untuk membayar

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan feoforbid a dan turunannya dalam berikatan dengan reseptor HSA dan PBR

Pemanfaatan Tulang Ikan Nila ( Oreochromis niloticus ) sebagai Pengganti Gelatin dan Karakteristik Sifat Fisika Kimianya.. Di bawah bimbingan WIRANTI SRI RAHAYU dan

Isolated of Endophytic bacteria from red betel root, produced a supernatant to test the inhibitory effect on 4 test bacteria that are pathogenic, Two (2)

Salah satu teknik atau pendidikan Islam adalah pendidikan dengan pemberian penghargaan dan sanksi (Targhib dan Tarhib). Penghargaan atau hadiah dalam pendidikan anak akan

Tujuan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya akuntansi bagi dan membekali keterampilan dalam pengelolaan keuangan atau

Menentukan selang konvergensi deret pangkatnya dalam mana identitas (a) berlaku... Dengan kata lain deret sin x konvergen untuk semua nilai x... Teknik-teknik untuk

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sistem informasi pemasaran kopi arabika Subak Abian Ulian Murni berbasis web dan menentukan faktor kunci dalam