• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGARA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

V. GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA

PETANI PADI DI SULAWESI TENGARA

5.1. Karakteristik Petani Padi

Padi masih merupakan komoditas utama yang diusahakan oleh petani tanaman pangan di Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan. Secara geografis kedua daerah tersebut berbeda, Kabupaten Konawe sebagai sentra lahan sawah irigasi sedangkan Kabupaten Konawe Selatan merupakan sentra lahan sawah tadah hujan di Sulawesi Tenggara. Adanya peningkatan harga gabah dan harga beras selama dua tahun terakhir (tahun 2007) menyebabkan petani padi di kedua daerah tersebut masih mengandalkan usahatani padi sebagai mata pencaharian utama, yaitu sebagai sumber pendapatan utama dan penghasil bahan pangan keluarga.

Salah satu program pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani dilakukan melalui kegiatan Prima Tani yang berbasis komoditas andalan daerah. Kegiatan Prima Tani pada lahan sawah selama tiga tahun (2007 – 2009) di Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan di Kecamatan Wawotobi (lahan sawah irigasi) dan Kecamatan Palangga (lahan sawah tadah hujan). Perbedaan kedua wilayah tersebut selain karena perbedaan irigasi juga berbeda dalam hal kesuburan tanah, fasilitas umum (infrastruktur jalan desa dan saluran komunikasi), juga kebiasaan masyarakat. Dengan kondisi agroekosistem yang berbeda maka perilaku petani di kedua wilayah tersebut berbeda baik dalam berproduksi maupun konsumsi. Perbedaan kedua perilaku tersebut juga disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik responden, seperti usia, pendidikan, pengalaman berusahatani maupun aktivitas petani dalam usahatani.

(2)

Jika dilihat dari sisi usia maka rata-rata usia petani lahan sawah irigasi lebih muda dari petani lahan sawah tadah hujan. Usia petani peserta Prima Tani lahan sawah irigasi adalah 46.39 tahun dan petani lahan sawah tadah hujan 51.07 tahun, sedangkan petani bukan peserta Prima Tani pada masing-masing lahan rata-rata berusia 44.20 tahun dan 49.58 tahun. Persentase kisaran usia terbesar berada pada kisaran 41 – 60 tahun diikuti dengan kisaran umur 20 – 40 tahun (Tabel 10). Faktor usia merupakan salah satu indikator bagi keberhasilan suatu usaha, dengan usia yang lebih muda atau umur produktif akan memacu petani berusaha secara optimal untuk mendapatkan hasil dan keuntungan yang lebih tinggi dan lebih mau menerima perubahan.

Tabel 10. Jumlah Petani Padi Berdasarkan Usia, Pendidikan dan Pengalaman Usahatani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

Lahan Sawah irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Kisaran Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta

Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % 1. Umur (tahun) : a. 20 – 40 28 35.00 32 40.00 15 20.83 17 21.25 b. 41 – 60 42 52.50 47 58.75 43 59.72 52 65.00 c. > 61 10 12.50 1 1.25 14 19.44 11 13.75 Rata-rata umur 46.39 44.20 51.07 49.58 2. Pendidikan (tahun) : a. 0 – 6 47 58.75 21 26.25 46 63.89 41 51.25 b. 7 – 9 19 23.75 18 22.50 18 25.00 24 30.00 c. 10 – 12 14 17.50 37 46.25 4 5.56 13 16.25 d. > 12 0 0.00 4 5.00 4 5.56 2 2.50 Rata-rata pendidikan 47.13 49.80 56.82 4 7.40 3. Pengalaman usahatani tani (tahun) :

a 02 – 12 23 28.75 31 38.75 18 25.00 21 26.25 b. 13 – 23 47 58.75 42 52.50 26 36.11 41 51.25 c. 13> 23 10 12.50 37 48.75 28 38.89 18 36.00 Rata-rata pengalaman 16.29 15.38 19.42 18.20

Pendidikan petani diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan non formal melalui pelatihan, kursus ataupun mengikuti beberapa kegiatan penelitian, namun dalam penelitian ini yang dikaji hanyalah tingkat pendidikan

(3)

formal yang pernah diikuti oleh petani responden. Sebagian besar pendidikan petani (kepala keluarga) hanya setingkat sekolah dasar (SD), yaitu masing-masing pada kelompok petani sebesar 58.75 persen, 26.25 persen, 63.89 persen dan 51.25 persen. Persentase pendidikan terbesar adalah setingkat SD dan terdapat di lokasi binaan Prima Tani lahan sawah tadah hujan diikuti dengan petani peserta Prima Tani pada lahan sawah irigasi. Hal ini dikarenakan pada kedua wilayah tersebut merupakan wilayah transmigrasi penduduk dari Pulau Jawa dengan rata-rata usia petani terbesar berada pada kisaran 41 – 60 tahun yang bersekolah hingga SD karena pada saat itu hanya terdapat satu sekolah saja sedangkan Sekolah Lanjutan Pertama (SMP) relatif masih baru yaitu pada sekitar tahun 1990-an.

Petani yang berusia lebih muda mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu hingga Perguruan Tinggi (PT) baik D2 (Diploma Dua) maupun S1

(Strata Satu). Hal ini mengindikasikan bahwa dari usahatani padi petani bisa menyekolahkan anak sebagai generasi muda ke jenjang yang lebih tinggi. Diharapkan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi bagi petani yang berusia muda bisa memotivasi petani yang berusia lebih tua dengan memperbaiki cara berusahatani dengan menggunakan input seoptimal mungkin, namun yang terjadi dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi peluang untuk bekerja di usahatani semakin kecil dan petani lebih memilih bekerja di luar pertanian dan kegiatan usahatani lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga yang disewa.

Pengalaman usahatani merupakan guru terbaik untuk belajar, dengan bekal pengalaman yang cukup akan memudahkan petani untuk menerima dan memilih teknologi yang lebih sesuai dan tepat guna. Rata-rata pengalaman usahatani petani yang terlibat dalam kegiatan Prima Tani maupun yang tidak terlibat

(4)

memiliki pengalaman rata-rata 17.77 tahun dan 16.79 tahun dengan variasi antara 3 – 30 tahun. Pengalaman usahatani petani peserta Prima Tani lebih tinggi daripada petani bukan peserta yang disebabkan oleh karena petani peserta Prima Tani adalah pendatang pada saat program transmigrasi pada awal tahun 1980-an yang memulai hidup di daerah baru dengan membuka lahan persawahan, sedangkan petani bukan peserta sebagian besar atau 88.46 persen adalah pendatang berikutnya (transmigran dari Jawa dan Sulawesi Selatan) dan 11.54 persen adalah penduduk lokal dimana penduduk lokal memulai usahatani bersama-sama dengan petani pendatang. Pengalaman berusahatani yang relatif baru beberapa tahun atau kurang dari 10 tahun adalah mereka yang terlahir di daerah penelitian dan meneruskan pekerjaan orangtuanya walau diantara mereka ada yang lebih memilih bekerja di luar pertanian.

Seperti halnya kepala keluarga, pendidikan ibu rumahtangga juga setingkat SD, kecuali pada kelompok petani bukan peserta Prima Tani lahan sawah irigasi yang rata-rata tamat SMP bahkan ada yang tamat perguruan tinggi (3.75 persen), sedangkan pada kelompok yang lain pendidikan ibu rumahtangga hanya tamat SD hingga SMP tidak tamat. Tabel 11 memperlihatkan karakteristik ibu rumahtangga dan anggota keluarga petani responden.

Tabel 11. Karakteristik Anggota Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

Uraian Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Ibu rumahtangga :

a. Rata-rata umur (tahun) 38.43 38.24 43.44 43.63 b. Rata-rata pendidikan (tahun) 6.06 9.22 5.93 5.59 2. Anggota rumahtangga (orang) :

a. Rata-rata jumlah anggota keluarga 3.93 4.17 3.66 3.70 b. Rata-rata jumlah yang bekerja 1.43 1.36 1.72 1.50 c. Rata-rata jumlah anak sekolah 0.98 1.19 0.76 0.78

(5)

Dilihat dari jumlah anggota rumahtangga yang masih menjadi tanggung jawab kepala keluarga petani bervariasi antara 2 hingga 9 orang dengan rata-rata 4 orang per rumahtangga, sedangkan anggota rumahtangga yang bekerja dan sebagai tulang punggung keluarga rata-rata adalah 1 orang yaitu kepala keluarga, sedangkan ibu rumahtangga jika ikut membantu bekerja untuk mendapatkan upah adalah bekerja sebagai buruh tani pada saat tanam dan panen. Apabila dalam rumahtangga terdapat anak yang sudah dewasa dan belum berumahtangga maka anak juga ikut bekerja sebagai buruh tani maupun buruh di luar pertanian, sebagian pendapatan digunakan untuk keperluan keluarga dan sebagian lainnya digunakan untuk keperluan sendiri. Di sisi lain jumlah anggota keluarga yang bersekolah rata-rata satu orang per rumahtangga.

Dari sisi penguasaan lahan garapan sebagian besar lahan adalah milik sendiri dan digarap sendiri hanya sedikit petani yang berstatus sebagai penyakap atau penggarap. Luas kepemilikan lahan bervariasi antara 0.25 – 3.0 ha. Sempitnya kepemilikan lahan disebabkan telah terbaginya lahan yang dimiliki ke anggota keluarga lainnya yang telah berumahtangga. Petani peserta Prima Tani pada lahan sawah tadah hujan lebih banyak yang memiliki lahan sempit (0.25 ha – 0.5 ha) dengan rata-rata 0.63 ha dibandingkan dengan petani lainnya.

Status petani penggarap lebih banyak pada lahan sawah tadah hujan pada lokasi binaan Prima Tani. Petani yang berstatus sebagai penggarap disebabkan oleh : (1) tidak mempunyai lahan sendiri, (2) mengerjakan lahan milik orang lain yang telah berusia lanjut yang sudah tidak mampu bersawah, dan (3) mencari tambahan pendapatan lain dengan mengerjakan sawah orang lain. Bagi petani yang tidak memiliki lahan sendiri dan hanya mengerjakan lahan sawah orang lain

(6)

semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok keluarga. Gambaran kepemilikan lahan dan status petani disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Kepemilikan Lahan dan Status Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Kisaran Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta

Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % 1. Luas lahan (ha) :

a. 0.25 – 0.50 29 36.25 25 31.25 41 56.94 18 25.50 b. 0.60 – 1.00 38 47.50 42 52.50 22 30.56 39 48.75 c. 1.10 – 1.50 07 8.75 05 6.25 08 11.11 09 11.25 d. > 1.50 06 1.39 08 10.00 01 1.39 14 17.50 Rata-rata luas lahan 0.97 1.04 0.69 1.06 Status petani : a. Pemilik penggarap 74 92.50 79 98.81 60 83.33 71 88.75 b. Penggarap 06 7.50 01 1.19 12 16.67 09 11.25 Jumlah 80 100.00 80 100.00 72 100.00 80 100.00

5.2. Pola Tanam dan Diversifikasi Usahatani 5.2.1. Pola Tanam Lahan Sawah

Usahatani padi sawah merupakan mata pencaharian pokok bagi petani di daerah penelitian baik di lahan sawah irigasi maupun lahan sawah tadah hujan. Meskipun demikian aktivitas petani pada usahatani tidak hanya terfokus pada satu jenis komoditi saja, melainka n pada beberapa jenis komoditi baik yang diusahakan di lahan sawah maupun pada lahan kering. Hal ini dilakukan sebagai penunjang ekonomi keluarga apabila terjadi kemarau panjang atau adanya serangan hama dan penyakit karena usahatani padi rentan terhadap anomali iklim.

Optimalisasi pengelolaan lahan sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan air. Pada lahan sawah irigasi yang memiliki sumber air petani bisa mengelola lahan sawah hingga tiga kali tanam (IP300) dengan pola padi – padi – padi atau padi – padi - palawija, namun pada lahan sawah tadah hujan air merupakan faktor

(7)

pembatas bagi petani untuk memaksimalkan pengelolaan lahan secara optimal sehingga pola tanam petani lahan sawah tadah hujan adalah padi – padi –bera atau padi – palawija - bera.

Ketersediaan (supply) air pada lahan sawah tadah hujan di daerah penelitian berasal dari air hujan dan sungai yang berjarak 1.19 km. Pada saat MT I/2009 petani menggunakan air hujan untuk mengairi lahan sawah dan pada MT II/2009 menggunakan penampungan air yang relatif tidak mencukupi areal persawahan karena curah hujan yang relatif kecil. Oleh karena itu usahatani pada MT II sebagian petani menggunakan air sungai dengan sistem pompanisasi.

Pompanisasi air di daerah penelitian dikelola secara individu oleh petani yang mampu dan bagi petani yang menggunakan pompa dikenakan biaya sewa sebesar Rp10 000/jam. Biaya pompanisasi ini memberatkan bagi petani yang kurang mampu karena untuk mengairi lahan sawah seluas 0.5 ha diperlukan air dengan sewa pompa sebanyak 15 jam/minggu atau biaya yang diperlukan setiap minggu sebesar Rp 150 000. Berdasarkan hal ini maka petani yang menanam padi pada MT II/2009 hanya 51.39 persen, sedangkan petani yang memiliki lahan jauh dari sumber air mengambil alternatif komoditas lain, yaitu dengan menanam komoditas selain padi seperti kedele, jagung, kacang tanah dan sayuran yang relatif tidak banyak memerlukan air seperti kebutuhan air pada komoditas padi sawah.

Dengan adanya perbedaan ketersediaan air dan pilihan komoditi maka petani mempunyai pola tanam yang berbeda pada kedua jenis lahan sawah. Adapun pola tanam yang diterapkan oleh petani di daerah penelitian disajikan pada Tabel 13.

(8)

Tabel 13. Jumlah Petani Padi dan Penerapan Pola Tanam Lahan Sawah di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

(orang) Jenis Pola Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan

Tanam Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Padi – bera 16 (20.00) 8 (10.00) 17 (21.25) 9 (11.25) 2. Padi – padi 22 (27.50) 51 (63.75) 11 (15.28) 19 (23.75) 3. Padi – palawija 17 (21.25) 1 (01.29) 11 (15.28) 24 (30.00) 4. Padi – padi – palawija 19 (23.75) 10 (12.50) 26 (36.11) 9 (11.25) 5. Padi – palawija –

Palawija

06 (07.50) 10 (12.50) 7 (09.72) 19 (02.75) Jumlah 80 (100.00) 80 (100.00) 72 (100.00) 80 (100.00) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Sebagian besar petani peserta Prima Tani lahan tadah hujan menerapkan pola tanam tiga kali setahun dengan pola tanam padi – padi – palawija. Di sisi lain jika lahan sawah jauh dari sumber air maka petani menerapkan pola tanam hanya dua kali yaitu padi - padi atau padi – palawija atau pada saat MT II lahan diberakan karena supply air kurang dan petani tersebut mempunyai lahan kering yang produktif sehingga untuk kebutuhan rumahtangga dapat dipenuhi dari hasil lahan kering. Petani lahan sawah irigasi bukan peserta Prima Tani lebih banyak mengelola lahan sawah dengan dua kali tanam, yaitu padi – padi. Dengan pola tanam yang lebih dari satu kali berarti petani telah berusaha mengoptimalkan lahan sehingga produktivitas tanaman dapat dipertahankan. Pola tanam padi – padi - palawija/sayuran/bera terutama rotasi tanaman serealia dengan leguminosa dapat memotong siklus hidup hama penyakit dan mempertahankan produktivitas tanaman. Selain itu pola tanam tersebut juga memberikan kesempatan kondisi fisik-kimia tanah (recovery) untuk mencegah kondisi kelelahan tanah (soil

fatique) sehingga produktivitas lahan bisa terjaga (Sitorus, 2004).

5.2.2. Diversifikasi Usahatani

Menghadapi risiko gagal produksi maka petani tidak hanya terfokus pada satu jenis komoditas saja melainkan juga mengusahakan berbagai komoditas baik

(9)

pada lahan yang sama maupun pada lahan yang berbeda. Jenis lahan yang dimiliki oleh petani responden selain lahan sawah juga lahan kering. Beberapa komoditas yang diusahakan petani baik di lahan sawah maupun lahan kering adalah beberapa jenis sayuran, ubi kayu, ubi jalar dan beberapa tanaman tahunan seperti lada dan kakao. Diversifikasi usahatani dalam penelitian ini diartikan sebagai sikap atau tindakan petani menanam beberapa komoditas yang berbeda pada lahan yang sama atau lahan yang berbeda dalam waktu yang sama. Diversifikasi usahatani ini sangat dirasakan manfaatnya oleh petani sebagai penopang pendapatan rumahtangga.

Secara empiris pendapatan diversifikasi usahatani sangat bervariasi tergantung pada jenis, produktivitas dan pasar komoditas yang bersangkutan. Terkait dengan aplikasi teknologi dan kondisi sumberdaya yang tersedia rata-rata produktivitas dan pendapatan diversifikasi usahatani pada agroekosistem lahan sawah umumnya lebih tinggi daripada agroekosistem lahan kering (Sumaryanto, 2008). Usahatani sayuran pada lahan sawah dengan menggunakan sistem surjan, yaitu sistem pertanaman kombinasi padi sawah dengan tanaman sayuran dalam satu areal. Pada bagian lahan sawah dibuat gundukan-gundukan untuk menanam sayuran.

Diversifikasi usahatani padi dengan usahatani tanaman sayuran lebih mendominasi usahatani yang dilakukan petani di daerah penelitian. Petani yang memilih komoditas sayuran lebih disebabkan dalam satu tahun bisa menanam dua hingga tiga kali, mudah dalam memasarkan produk dan bisa mengkonsumsinya. Pada umumnya petani melakukan diversifikasi usahatani dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja keluarga, permodalan, peranan usahatani dalam ekonomi

(10)

rumahtangga, dan ketersediaan air (Sumaryanto, 2006). Hasil kajian lapang tentang diversifikasi usahatani petani disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Jumlah Petani Padi dalam Diversifikasi Usahatani di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

(orang) Jenis Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Diversifikasi Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Padi – (+) sayur 15 (18.75) 8 (10.00) 17 (23.61) 9 (11.25) 2. Padi + tanaman tahunan 4 (05.00) 1 (01.25) 5 (06.94) 3 (03.75) 3. Padi – padi – (+) sayuran 19 (23.25) 50 (62.50) 11 (15.28) 19 (23.75) 4. Padi – palawija - (+) sayuran 17 (21.25) 1 (01.25) 11 (15.28) 24 (30.00) 5. Padi – padi – palawija +

sayuran 19 (23.75) 10 (12.50) 26 (36.11) 9 (11.25) 6. Padi – palawija – palawija – (+) sayuran 6 (07.50) 10 (12.50) 4 (02.78) 16 (20.00) Jumlah 80 (100.00) 80 (100.00) 72 (100.00) 80 (100.00) Keterangan : Tanda – menunjukkan pola tanam di lahan sawah

Keterangan : Tanda + menunjukkan usahatani di pekarangan atau lahan kering Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Hasil wawancara dengan petani, ketua Gapoktan, petugas Prima Tani dan petugas pertanian lainnya yang ada di wilayah penelitian mengatakan bahwa pilihan komoditas dalam diversifikasi didasarkan atas beberapa alasan yang telah disarikan sebagai berikut :

1. Mengurangi adanya risiko produksi yang dihadapi rumahtangga bila hanya menanam satu komoditas saja (usahatani padi), artinya untuk menghadapi kemungkinan gagal produksi dari usahatani padi rumahtangga masih tetap mendapatkan sumber pendapatan dari usahatani yang lain.

2. Beberapa komoditas pilihan tidak memerlukan biaya produksi yang tinggi dan relatif dapat dikerjakan dengan tenaga kerja dalam keluarga seperti beberapa jenis sayuran, cabai, tomat dan kacang tanah.

3. Beberapa komoditas tersebut relatif lebih mudah menanam dan memeliharanya serta tidak memerlukan banyak curahan waktu kerja.

(11)

4. Untuk tanaman tahunan memiliki keuntungan tinggi karena tanaman tetap menghasilkan walau tanpa masukan yang memadai. Hal ini ditunjang dengan harga produk yang cukup tinggi seperti harga lada bisa mencapai Rp 25 000 per kilogram pada tahun 2009.

5. Walau memiliki risiko mudah rusak, namun petani tetap menanam komoditas sayuran karena memiliki nilai guna yang lebih dibandingkan komoditas lainnya seperti palawija. Produksi sayuran selain dapat dijual untuk menambah pendapatan rumahtangga juga bisa untuk konsumsi keluarga sehingga produk sayuran bisa mengurangi pengeluaran rumahtangga.

Disamping pengembangan beberapa komoditas berbasis lahan tersebut petani juga mengembangkan komoditas ternak. Ternak bagi petani di daerah penelitian merupakan asset rumahtangga terutama dari jenis ternak ruminansia (sapi bali) atau sebagai tabungan keluarga yang akan digunakan pada saat rumahtangga membutuhkan dana besar untuk pembelian perabot rumahtangga seperti kendaraan roda dua, televisi, lahan atau sebagai biaya perbaikan rumah, sedangkan jenis ternak unggas (ayam dan itik) merupakan salah satu sumber pendapatan dengan menjual ternak serta untuk konsumsi rumahtangga.

Kepemilikan ternak ruminansia terutama sapi lebih banyak dimiliki oleh petani lahan sawah tadah hujan baik petani peserta maupun petani bukan peserta Prima Tani, sedangkan petani pada lahan sawah irigasi kepemilikan ternak lebih banyak dari jenis unggas (ayam) baik ayam kampung maupun ayam potong. Beberapa jenis kepemilikan ternak di tingkat rumahtangga petani ditunjukkan pada Tabel 15.

(12)

Tabel 15. Rata-Rata Jumlah dan Nilai Ternak di Tingkat Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

Jenis Ternak Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Jumlah (ekor) Nilai (Rp) Jumlah (ekor) Nilai (Rp) Peserta Primatani : 1. Ruminansia : a. Sapi 1.53 6 112 500 3.15 15 700 660 b. Kambing 0.32 175 000 0.21 115 280 2. Unggas : a. Ayam 12.45 353 850 5.34 182 290 b. Itik 5.15 152 880 3.32 95 015 Bukan Peserta : 1. Ruminansia : a. Sapi 0.51 1 745 760 3.61 17 400 000 b. Kambing 0.56 454 385 0.66 432 500 2. Unggas : a. Ayam 95.51 372 750 9.80 325 560 b. Itik 3.05 83 305 1.81 67 090 3. Lainnya 0 0 0.11 64 475

5.3. Keragaan Usahatani Padi 5.3.1. Input Produksi

Usahatani padi sudah lama dilakukan oleh petani responden yang dapat dilihat dari rata-rata pengalaman usahatani yaitu selama 15.87 tahun pada petani lahan sawah irigasi dan 18.72 tahun pada petani di lahan sawah tadah hujan. Dari sisi teknologi petani sudah lama mengenal teknologi produksi karena teknologi produksi sudah seringkali diintroduksi kepada petani baik melalui penyuluhan, demonstrasi lapangan maupun kegiatan-kegiatan penelitian dari berbagai instansi, namun teknologi sering berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan serta perbedaan spesifikasi daerah.

Walau teknologi sudah dikenal lama oleh petani, namun hal yang paling nyata dalam penerapan teknologi di tingkat petani adalah belum diimplementasikannya teknologi tersebut secara utuh karena kemampuan finansial rumahtangga petani yang berbeda. Gladwin (1979) mengemukakan bahwa

(13)

keragaman adopsi teknologi di tingkat petani masih cukup besar karena petani cenderung mengadopsi teknologi secara tidak utuh melainkan sebagian demi sebagian. Utama et al. (2007) juga menyatakan bahwa petani di daerah pedesaan merasakan ada risiko untuk mengadopsi teknologi baru yang dinamakan sebagai risiko teknologi sehingga petani lambat menerapkan teknologi tersebut.

Demikian pula dengan implementasi teknologi yang diperkenalkan lewat program Prima Tani, petani hanya menerapkan teknologi produksi non biaya. Implementasi teknologi produksi non biaya antara petani peserta Prima Tani dan petani bukan peserta yang ditampilkan pada Tabel 16.

Tabel 16. Jumlah Petani Padi dalam Menerapkan Teknologi Produksi Non Biaya Usahatani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

(orang) No Uraian Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan

Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Penggunaan benih

bersertifikasi

41 (51.25) 3 (3.57) 34 (51.25) 30 (37.50) 2. Penggunaan bibit berumur

muda (18-21 HST)

47 (58.75) 38 (45.24) 50 (69.44) 12 (15.00) 3. Cara tanam legowo 71 (88.75) 33 (39.29) 63 (87.50) 10 (12.50) 4. Pembenaman jerami 75 (93.75) 17 (20.24) 68 (94.44) 47 (58.75) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Penggunaan benih bersertifikasi atau benih bermutu dapat menghemat penggunaan benih di tingkat petani dimana petani biasa menggunakan benih yang berlebih dikarenakan mutu benih yang tidak terkontrol daya tumbuhnya. Umur bibit yang dianjurkan untuk ditanam dalam program Prima Tani adalah 18 - 21 HST dan sudah lebih dari 50 persen petani peserta Prima Tani melakukannya, sedangkan pada petani bukan peserta Prima Tani lebih banyak menanam bibit pada umur 25 – 30 HST. Penanaman bibit yang berumur lebih muda akan tumbuh dan berkembang lebih sempurna, sistem perakaran lebih baik, anakan lebih banyak dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan.

(14)

Pada sistem tanam sudah lebih dari 80 persen petani peserta Prima Tani menggunakan sistem tanam legowo dan sisanya masih menggunakan sistem tanam pindah tetapi tidak legowo, sedangkan pada petani bukan peserta lebih banyak menggunakan sistem tandur jajar. Sistem tanam legowo adalah dengan mengatur jarak tanam antar rumpun dan barisan secara teratur sehingga terjadi penambahan jumlah rumpun dalam barisan dengan pelebaran jarak antar barisan karena terdapat baris yang dikosongkan. Sistem tanam legowo yang diterapkan petani di daerah penelitian bervariasi antara 4:1, 6:1 dan 8:1. Keuntungan dari sistem ini adalah : (1) memudahkan petani di dalam mengendalikan gulma, hama dan penyakit tanaman, (2) pemberian pupuk lebih efisien dan berdaya guna, (3) menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air, dan (4) intensitas cahaya matahari lebih merata ke seluruh tanaman.

Pembenaman jerami telah dilakukan oleh hampir semua responden peserta Prima Tani dengan memotong tanaman padi hanya sekitar tujuh sentimeter dari tangkai bulir karena perontokan gabah dilakukan dengan power thresser

selanjutnya jerami dibenamkan kembali pada saat pengolahan tanah untuk musim tanam berikutnya. Pembakaran jerami hanya dilakukan oleh petani yang merontok gabah secara manual.

Input produksi pada usahatani padi meliputi pupuk, pestisida dan alokasi waktu tenaga kerja. Dalam menggunakan pupuk terjadi tumpang tindih antara pupuk Urea, SP-36 dan KCl dengan pupuk Phonska. Hal ini disebabkan oleh karena : (1) petani belum mengetahui secara pasti kandungan hara dan fungsi dari pupuk Phonska, (2) harga pupuk Phonska relatif lebih murah jika dibandingkan

(15)

dengan harga pupuk KCl, dan (3) petani lebih mudah memperoleh pupuk Phonska dibandingkan pupuk KCl.

Tabel 17 memperlihatkan jumlah petani di dalam menggunakan pupuk dalam usahatani padi. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa hampir semua petani menggunakan pupuk Urea karena harga pupuk Urea yang terjangkau dan adanya anggapan petani bahwa apabila tanaman padi tidak menampakkan warna hijau maka produksi tidak bisa bagus.

Tabel 17. Jumlah Petani Padi yang Menggunakan Pupuk Usahatani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

(orang) No. Jenis Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan

Pupuk Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Urea 79 (98.75) 78 (90.00) 70 (97.22) 79 (98.75) 2. SP-36 34 (42.50) 43 (51.19) 40 (55.56) 43 (53.75) 3. KCl 19 (23.75) 19 (22.62) 32 (44.44) 33 (41.25) 4. Ponska 42 (52.50) 48 (57.14) 25 (34.72) 25 (31.25)

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Selain pupuk, petani di daerah penelitian juga menggunakan input produksi yang lain, yaitu benih dan tenaga kerja. Adapun dosis penggunaan pupuk dan curahan waktu tenaga kerja disajikan pada Tabel 18. Berdasarkan hasil uji-t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam menggunakan input produksi antara petani peserta dan bukan peserta Prima Tani pada kedua jenis lahan sawah. Meskipun pada petani peserta Prima Tani sudah didampingi dan diberikan inovasi namun untuk menerapkan inovasi tersebut petani belum melakukannya. Hal ini terkait dengan kemampuan finansial rumahtangga petani dan fenomena ini hampir terjadi pada semua rumahtangga petani tanaman pangan. Utama et al. (2007) juga melaporkan bahwa petani di Bengkulu juga tidak sepenuhnya menerapkan paket teknologi karena kemampuan ekonomi namun jika

(16)

paket teknologi tersebut tidak memerlukan tambahan biaya dan memberikan nilai tambah akan cepat diadopsi oleh petani.

Tabel 18. Rata-rata Penggunaan Input Produksi per Hektar Usahatani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

Jenis Input Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Peserta Non Peserta Peserta Non Peserta 1. Benih (kg) 42.54 a 39.95 a 48.69 a 61.52 b 2. Pupuk Urea (kg) 176.42 a 153.84 a 136.11 a 147.64 a 3. Pupuk SP-36 (kg) 37.44 a 49.74 a 55.90 a 49.94 a 4. Pupuk KCl (kg) 18.13 a 18.28 a 36.06 a 27.51 a 5. Pupuk Ponska (kg) 77.53 a 84.01 a 49.44 a 43.04 a 6. TK laki-laki (JOK) 230.77 a 238.11 a 245.19 a 278.33 a 7. TK wanita (JOK) 163.57 a 162.42 a 160.14 a 183.64 a Keterangan : JOK = jam orang kerja

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap jenis lahan menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf α = 5 persen (uji-t)

Penggunaan benih tertinggi diperoleh pada petani bukan bukan peserta Prima Tani pada lahan sawah tadah hujan, sedangkan pada kelompok petani lainnya menggunakan benih dengan jumlah yang relatif lebih rendah, yaitu bervariasi antara 30 - 50 kg. Lebih tingginya jumlah benih yang digunakan petani bukan peserta lahan tadah hujan karena petani masih menggunakan benih lokal yang belum diketahui daya tumbuhnya. Dari penggunaan pupuk anorganik, dosis yang digunakan petani masih beragam. Penyebab dari beragamnya dosis pemupukan, diantaranya adalah tingkat kesuburan tanah yang berbeda atau karena kendala keuangan rumahtangga sehingga tidak bisa mengalokasikan biaya untuk melakukan pemupukan berimbang. Dari keempat kelompok petani pada umumnya petani telah menggunakan pupuk Urea dengan kisaran mendekati anjuran, yaitu 150 – 200 kg/ha, sedangkan pupuk SP-36 dan KCl digunakan petani dengan dosis di bawah anjuran yaitu 100 kg/ha pupuk SP-36 dan 50 kg/ha pupuk KCl.

Petani membeli pupuk dan pestisida di koperasi unit desa (KUD) dan di kelompok tani (Gapoktan). Diantara KUD dan Gapoktan tidak terdapat perbedaan

(17)

harga, perbedaan harga hanya terjadi apabila petani membayar pupuk setelah panen. Perbedaan harga yang terjadi sebesar Rp 10 000 per sak pupuk, sedangkan pestisida pada umumnya petani membayar tunai. Apabila pupuk tidak tersedia di KUD petani akan membeli di toko pertanian di kecamatan dengan biaya transport sebesar Rp 20 000.

Tenaga kerja yang digunakan pada usahatani padi mencakup tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga baik pria maupun wanita. Curahan waktu kerja selama proses produksi diawali dari persiapan persemaian hingga panen dan merontok gabah. Pada tahap pekerjaan tertentu, tenaga kerja wanita lebih dominan daripada tenaga kerja pria, terutama pada saat tanam dan panen, sedangkan tenaga kerja pria lebih dominan pada kegiatan pengolahan tanah, mencabut bibit, memupuk, menyemprot dan merontok gabah. Pada kegiatan panen dan merontok gabah dikerjakan dengan menggunakan tenaga kerja luar keluarga secara borongan. Hal ini berarti terjadi substitusi antara tenaga kerja dalam keluarga dengan tenaga kerja luar keluarga. Tabel 19 memperlihatkan rata-rata curahan waktu tenaga kerja yang diukur dalam Jam Orang Kerja (JOK) pada usahatani padi di daerah penelitian.

Curahan waktu tenaga kerja pada usahatani peserta Prima Tani lahan irigasi lebih sedikit jika dibandingkan dengan curahan waktu tenaga kerja pada lahan sawah bukan peserta Prima Tani dan petani lahan tadah hujan. Secara keseluruhan persentase penggunaan tenaga kerja pria lebih tinggi jika dibandingkan dengan tenaga kerja wanita, yaitu antara 50 – 60 persen. Tenaga kerja wanita luar keluarga pada umumnya dominan pada saat tanam dan panen daripada tenaga kerja pria dan dilakukan secara borongan dengan bentuk upah

(18)

natura (system bawon) yaitu 7 : 1 artinya dari tujuh unit hasil milik petani dikeluarkan satu unit sebagai upah tenaga kerja yang melakukan pekerjaan panen dan rontok gabah.

Tabel 19. Rata-rata Curahan Waktu Tenaga Kerja Usahatani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

(JOK) Jenis Tenaga Kerja Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan

Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Tenaga kerja dalam keluarga :

a. TK pria 71.85 93.14 89.59 89.18

b. TK wanita 14.02 20.75 27.42 22.62

2. Tenaga kerja luar keluarga :

a. TK pria 108.79 119.65 155.60 189.15

b. TK wanita 117.01 127.84 132.72 161.02

3. Jumlah :

a. TK pria 180.64 212.83 245.19 278.33

b. TK wanita 131.03 148.59 160.14 183.64

Keterangan : JOK = jam orang kerja

5.3.2. Produktivitas Padi

Usahatani padi peserta Prima Tani memiliki tingkat produksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi padi petani bukan peserta Prima Tani. Rata-rata produktivisitas Gabah Kering Panen (GKP) petani peserta Prima Tani lahan sawah irigasi adalah 4.43 ton/ha dan lahan sawah tadah hujan 4.06 ton/ha, sedangkan produktivitas petani bukan peserta Prima Tani lahan sawah irigasi rata-rata sebesar 4.39 ton/ha dan lahan sawah tadah hujan 3.92 ton/ha. Hasil ini meningkat jika dibandingkan pada tahun 2008 yang hanya mencapai 2.50 ton/ha karena serangan hama tikus. Fenomena ini dapat menggambarkan bahwa dengan pendampingan dan inovasi teknologi spesifik lokasi, produksi padi dapat ditingkatkan kembali.

Hasil wawancara dengan petani responden yang terlibat dalam program Prima Tani menyatakan bahwa beberapa permasalahan yang dihadapi petani baik

(19)

ketika berusahatani padi maupun non padi sering mendapatkan pemecahan atau jalan keluar dari masalah yang dihadapi petani. Manfaat program Prima Tani bagi petani adalah : (1) program Prima Tani membantu memecahkan dan mencarikan alternatif permasalahan yang dihadapi petani baik dari proses produksi, pemasaran hingga permodalan, (2) mengusahakan sarana produksi pada waktu yang diperlukan, (3) petani mendapatkan bantuan kredit dengan suku bunga rendah dari Gapoktan, dan (4) mengaktifkan kembali KUD dengan bekerjasama dengan petani untuk menampung hasil panen.

Berdasarkan informasi kualitatif di lapang sesungguhnya tingkat serangan hama tikus merupakan permasalahan yang umum dihadapi oleh petani padi sawah selain hama penggerek batang dan keong mas, namun tingkat serangan hama tikus merupakan faktor utama penyebab rendahnya produktivitas tanaman padi. Selain itu masalah kelangkaan pupuk dan sulitnya mendapatkan benih berlabel atau bermutu juga menjadi permasalahan di tingkat petani untuk mengadopsi teknologi. Pada lahan sawah irigasi selain permasalahan tersebut masalah tidak optimalnya produksi juga disebabkan oleh saluran pembuangan dan jadwal air yang sering terlambat. Oleh karena itu untuk memecahkan permasalahan tersebut petani mengharapkan adanya perbaikan infrastruktur, dukungan sumber air pada lahan sawah irigasi maupun lahan sawah tadah hujan, adanya kemudahan mendapatkan sarana produksi serta jaminan harga gabah dan harga beras efektif sampai di tingkat petani.

(20)

5.3.3. Analisis Usahatani Padi

Produksi padi merupakan hasil proses produksi dengan menggunakan berbagai input yang dipengaruhi oleh kondisi fisik dan agroekosistem wilayah. Analisis usahatani padi disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Analisis Usahatani Padi per Hektar di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 No Uraian Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan

Peserta Non Peserta Peserta Non Peserta 1. Produksi (kg/ha) 4 428.01 4 392.22 4 057.01 3 922.02 2. Biaya (Rp/ha) : a. Benih 166 143.51 (3.85) 152 864.94 (3.65) 170 236.11 (3.19) 234 326.98 (5.08) b. Pupuk : Urea 235 843.75 (5.46) 188 277.71 (4.50) 187 175.00 (3.50) 200 466.96 (4.35) SP-6 66 530.36 (1.54) 86 048.16 (2.06) 103 495.37 (1.94) 92 122.52 (2.00) KCl 38 312.50 (0.89) 41 328.13 (0.99) 84 312.04 (1.58) 63 993.55 (1.39) Ponska 153 051.49 (3.54) 173 575.15 (4.15) 107 916.67 (2.02) 92 395.83 (2.00) c. Pestisida 172 663.51 (4.00) 181 893.00 (4.35) 138 347.22 (2.59) 114 187.00 (2.48) d. Tenaga kerja : Pria 1 968 440.73 (45.57) 1 945 002.21 (46.49) 2 763 990.88 (51.74) 2 186 812.67 (47.43) Wanita 995 902.85 (23.06) 896 125.01 (21.42) 1 356 273.72 (25.39) 1 102 429.02 (23.91) e. Sewa traktor 492 327.50 (11.40) 470 553.37 (11.25) 364 592.59 (6.82) 474 655.56 (10.30) f. Biaya lain 30 130.00 (0.70) 48 004.56 (1.15) 65 794.91 (1.23) 48 801.36 (1.06) Total biaya 4 319 346.20 4 183 672.24 5 342 134.51 4 610 191.45 3. Penerimaan (Rp/ha) 9 649 211.68 9 941 938.35 8 842 943.56 8 726 026.25 4. Keuntungan (Rp/ha) 5 329 865.48 5 758 266.11 3 500 809.05 4 115 834.80 5. R/C 2.23 2.38 1.66 1.89

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap biaya total

Komponen biaya terbesar pada usahatani padi adalah biaya tenaga kerja terutama tenaga kerja pria yang mencapai 43.64 – 49.03 persen dari total biaya. Hal ini disebabkan usahatani padi lebih banyak menggunakan tenaga kerja pria terutama untuk kegiatan pengolahan lahan (operator traktor), cabut bibit dan perontokan gabah diikuti dengan upah tenaga kerja wanita yang mencapai 21.92 –

(21)

25.82 persen dari biaya usahatani. Komponen upah tenaga kerja terbesar juga ditemukan pada penelitian Andriati dan Sudana (2007) dimana biaya tenaga kerja di Kabupaten Karawang mencapai lebih dari 75 persen, Sahara et al. (2007) juga mendapatkan proporsi upah tenaga kerja mencapai 76.49 persen dari total biaya usahatani padi sawah, sedangkan komponen upah pada usahatani padi lahan kering sebesar 52.36 persen (Krismawati, 2007). Dengan tingginya komposisi upah maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan usahatani padi sawah memerlukan tenaga kerja relatif banyak (intensive labor) dimulai dari persiapan lahan hingga merontok gabah.

Komponen upah tenaga kerja pria terbesar diperoleh pada upah panen dan merontok gabah yang dibayar dengan sistem bawon yang dikonversi ke harga gabah kering panen. System bawon yang berlaku di daerah penelitian adalah 7 : 1, artinya setiap tujuh bagian produksi dikeluarkan satu bagian sebagai upah tenaga kerja. Hasil konversi upah bawon (gabah kering panen) ke nilai rupiah menunjukkan bahwa upah sistem bawon lebih besar dari upah yang berlaku di pasar, dengan demikian berimplikasi terhadap struktur biaya tenaga kerja dengan proporsi lebih besar. Penggunaan input terbesar kedua adalah pupuk dengan kontribusi biaya sekitar 9.40 – 11.70 persen, sedangkan komponen biaya benih, pestisida dan biaya lainnya relatif lebih kecil, yaitu kurang dari 10 persen.

Dilihat dari produktivitas maka produktivitas petani peserta Prima Tani lebih tinggi dari produktivitas petani bukan peserta Prima Tani baik di lahan irigasi maupun di lahan tadah hujan, namun jika dilihat dari nilai R/C maka nilai R/C petani peserta Prima Tani lebih rendah dari nilai R/C petani bukan peserta baik di lahan irigasi maupun lahan tadah hujan. Hal ini disebabkan oleh biaya

(22)

produksi yang lebih tinggi karena petani peserta Prima Tani lebih banyak menggunakan pupuk Urea. Dengan melihat ratio antara penerimaan dan biaya maka R/C petani peserta Prima Tani lahan sawah irigasi menjadi lebih kecil.

Salah satu faktor pendukung tercapainya produktivitas yang lebih tinggi adalah adanya bimbingan dan perbaikan teknologi dalam Prima Tani. Bila metode ini dapat dilaksanakan maka permasalahan rendahnya produktivitas padi dapat diatasi dengan pendampingan dan adopsi teknologi spesifik lokasi. Sirappa

et al. (2007) mengemukakan bahwa peran inovasi teknologi sangat nyata dalam

usaha meningkatkan produktivitas padi. Dengan pendampingan dan penerapan teknologi dapat memberikan kontribusi yang dominan terhadap peningkatan produktivitas padi (Las, 2003). Implikasi penting dari hasil ini adalah masih diperlukannya penelitian dan pengembangan teknologi spesifik lokasi dengan pendampingan teknologi dengan mengintensifkan peran penyuluh pertanian di pedesaan.

5.3.4. Usahatani Sayur

Berbeda dengan usahatani padi maka usahatani sayur lebih banyak menggunakan tenaga kerja keluarga baik laki-laki maupun wanita. Tenaga kerja wanita lebih banyak digunakan sedangkan tenaga kerja pria hanya digunakan untuk persiapan lahan dengan membuat bedengan dan menyemprot. Beberapa jenis sayuran yang diusahakan petani adalah kacang panjang, bayam, kubis, cabai dan tomat. Alasan petani mengusahakan sayur : (1) memanfaatkan lahan kering dan sebagian lahan sawah, (2) relatif mudah dikerjakan dengan tenaga kerja keluarga, (3) memanfaatkan waktu luang setelah tanam padi, (4) mudah menjual hasil panen, dan (5) dapat digunakan untuk konsumsi rumahtangga.

(23)

Usahatani sayur pada petani dilakukan pada luasan lahan relatif kecil, yaitu antara 0.16 – 0.27 ha. Perbedaan penggunaan input produksi antar petani peserta Prima Tani dan bukan peserta berdasarkan uji-t terlihat pada penggunaan pupuk SP-36, tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita pada lahan irigasi, sedangkan pada lahan sawah tadah hujan perbedaan input pada pupuk SP-36, pupuk KCl dan tenaga kerja wanita. Keragaan input produksi pada usahatani sayur disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Rata-Rata Penggunaan Input Produksi per Hektar Usahatani Sayur di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

No Uraian Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Urea (kg) 70.00 a 127.14 a 122.67 a 103.07 a 2. SP-36 (kg) 34.00 a 131.67 b 0.00 a 50.00 b 3. KCl (kg) 66.50 a 070.95 a 5.60 a 0.00 a 4. Pupuk kandang (kg) 50 a 171.43 a 776.00 a 992.00 a 5. TK pria (JOK) 229.80 a 164.76 b 122.67 a 103.07 a 6. TK wanita (JOK) 46.20 a 168.10 b 153.33 a 293.60 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap jenis lahan menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf α = 5 persen (uji-t).

Dilihat dari penggunaan input produksi, maka input yang digunakan oleh petani masih cukup beragam baik dari jenis maupun dosisnya. Penggunaan pupuk lebih tinggi di daerah penelitian dibandingkan dengan pupuk yang digunakan oleh Zuraida dan Hamdan (2008), yaitu pupuk SP-36 sebanyak 15 – 50 kg/ha. Penggunaan pupuk kandang cukup beragam namun tidak berbeda secara statistik. Tenaga kerja yang digunakan relatif kecil rata-rata 178.05 JOK atau 22.26 HOK (hari orang kerja) setara dengan 39.84 HOK/ha dibandingkan dengan tenaga kerja pada penelitian Zuraida dan Hamdan (2008) yaitu sebanyak 120 HOK/ha dan penelitian Kartika (2007) dimana rata-rata tenaga kerja yang digunakan berjumlah 95 HOK/ha.

(24)

Agregat produktivitas usahatani sayur antar kelompok petani bervariasi antara 2.40 ton – 3,88 ton atau setara dengan produktivitas antara 3.73 ton/ha – 6.26 ton/ha. Dilihat dari nilai R/C maka petani peserta Primatani memiliki nilai R/C yang lebih besar dari petani bukan peserta (Tabel 22). Hal ini mengindikasikan bahwa dengan mengikuti perbaikan teknologi petani dapat meningkatkan produksi padi dan produksi sayur sehingga dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga petani.

Tabel 22. Analisis Usahatani Sayur per Hektar di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

No Uraian Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Peserta Non Peserta Peserta Non Peserta 1. Produksi (kg/ha) 6 209.80 3 726.19 5 255.33 4 417.33 2. Biaya (Rp/ha) : a. Benih 91 500.00 (1.88) 82 888.89 (1.22) 183 600.00 (2.44) 230 666.67 (3.44) b. Pupuk : Urea 96 600.00 (1.98) 207 666.67 (3.07) 171 733.33 (2.28) 154 373.33 (2.30) SP-36 62 200.00 (1.28) 305 000.00 (4.50) 0.00 (0.00) 90 000.00 (1.34) KCl 151 600.00 (1.31) 165 555.56 (2.44) 60 760.00 (0.81) 0.00 (0.00) Kandang 190 000.00 (3.90) 200 000.00 (2.95) 582 000.00 (7.72) 744 000.00 (11.09) Lainnya 60 000.00 (1.23) 0.00 (0.00) 119 200.00 (1.58) 28 800.00 (0.43) c. Pestisida 159 000.00 (3.27) 235 833.33 (3.48) 505 333.33 (6.70) 864 666.67 (12.89) d. Tenaga kerja : Pria 2 734 250.00 (56.16) 3 255 166.67 (48.06) 3 906 666.67 (51.82) 3 293 333.33 (49.11) Wanita 1 323 300.00 (27.18) 2 320 555.56 (34.26) 2 010 000.00 (26.66) 1 300 000.00 (19.39) Total biaya 4 868 450.00 6 772 666.68 7 539 293.33 6 705 840.00 3. Penerimaan (Rp/ha) 26 394 755.00 16 801 666.67 21 813 823.76 18 944 533.33 4. Keuntungan (Rp/ha) 21 526 305.00 10 028 999.99 14 274 530.43 12 238 693.33 5. R/C 5.42 2.48 2.89 2.83

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap biaya total

Sebagaimana usahatani padi maka pada usahatani sayuran komponen biaya tertinggi pada upah tenaga kerja yang mencapai lebih dari 60 persen dari

(25)

biaya usahatani. Dalam luasan usaha yang kecil, tenaga kerja untuk usahatani sayur menggunakan tenaga kerja keluarga, namun jika luasan usaha diperluas maka yang harus diperhitungkan dalam pengembangan usahatani sayur adalah ketersediaan tenaga kerja.

Meskipun rata-rata produktivitas sayuran tergolong rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sayur pada penelitian Kartika (1997); Zuraida dan Hamdan (2008) dapat mencapai 20 ton/ha, namun petani masih tetap mengusahakannya karena dapat menambah pendapatan dan dapat digunakan untuk konsumsi keluarga. Beberapa hambatan dalam mengembangkan usahatani sayur yang dihadapi petani adalah :

1. Belum semua petani mengetahui teknologi usahatani sayuran.

2. Kemampuan permodalan petani, bagi petani yang mempunyai modal lebih besar akan memilih jenis sayur yang bernilai ekonomi tinggi seperti cabai, tomat, semangka dan melon, tetapi bagi petani dengan modal terbatas lebih memilih jenis sayur subsisten seperti kacang panjang, bayam, sawi dan terong. 3. Terbatasnya akses ke pasar output. Ketika panen sebagian produksi sayur

dikonsumsi dan sebagian lainnya dijual. Kebiasaan petani lahan irigasi menjual produksi padi di KUD dan atau di Gapoktan sedangkan produksi sayur dijual di Gapoktan. Berbeda dengan petani lahan irigasi, petani lahan tadah hujan menjual padi di KUD dan atau di RMU, namun untuk produksi sayur petani menjual langsung ke pasar desa atau ke pedagang keliling yang datang ke lokasi.

4. Rata-rata penguasaan lahan untuk sayur relatif kecil, yaitu antara 0.16 – 0.25 ha. Petani yang memiliki lahan lebih luas akan menanam cabai, tomat atau

(26)

melon namun bagi petani yang berlahan sempit maka pilihan komoditas tertuju pada komoditas sayur konsumsi sehari-hari, yaitu bayam, kacang panjang dan kangkung.

5.4. Ekonomi Rumahtangga Petani Padi

5.4.1. Curahan Waktu Anggota Rumahtangga Petani Padi

Jumlah anggota rumahtangga petani bervariasi antara dua hingga delapan orang dengan rata-rata empat orang per rumahtangga. Kegiatan anggota rumahtangga tidak hanya pada usahatani (on farm) melainkan juga kegiatan off farm seperti buruh tani dan kegiatan di luar pertanian (non farm) seperti berdagang, tukang kayu dan jasa lainnya. Kegiatan usahatani padi lebih banyak dilakukan oleh kepala keluarga sedangkan ibu rumahtangga sedikit mencurahkan waktu untuk kegiatan usahatani, sedangkan anak yang sudah dewasa lebih banyak mencurahkan waktu pada kegiatan di luar pertanian. Jenis kegiatan kerja yang dilakukan oleh petani dan anggota rumahtangga disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Jumlah Petani Padi Berdasarkan Jenis Kegiatan di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

(orang) Jenis Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Kegiatan Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Anggota keluarga pria :

a. On farm 80 (100.00) 80 (100.00) 72 (100.00) 80 (100.00) b. Off farm 47 (58.75) 20 (25.00) 45 (62.50) 26 (32.50) c. Non farm 36 (45.00) 29 (36.25) 48 (66.67) 46 (57.50) 2. Anggota keluarga wanita :

a. On farm 80 (100.00) 77 (96.25) 71(98.61) 80 (100.00) b. Off farm 14 (17.50) 8 (10.00) 33 (45.83) 29 (36.25) c. Non farm 01 (01.25) 00 (00.00) 9 (12.50) 11 (13.75) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase.

Kegiatan on farm yang dilakukan rumahtangga petani meliputi usahatani padi dan usahatani lainnya, yaitu usahatani sayur, palawija dan tanaman tahunan.

(27)

Tabel 24 memperlihatkan aktivitas anggota rumahtangga berdasarkan jenis kelamin yang dikelompokkan ke dalam tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita. Semua tenaga kerja pria dan hampir semua tenaga kerja wanita dalam rumahtangga terlibat dalam usahatani padi (on farm), namun untuk kegiatan off farm dan non farm lebih bervariasi yang pada umumnya persentase tenaga kerja wanita lebih rendah daripada tenaga kerja pria. Begitu pula jika dilihat dari curahan waktu tenaga kerja yang dihitung dengan menggunakan jam orang kerja (JOK) dimana curahan waktu kerja tenaga kerja wanita lebih rendah dari tenaga kerja pria.

Tabel 24. Rata-Rata Curahan Waktu Aktivitas Tenaga Kerja Keluarga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

Jenis Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Kegiatan Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Curahan waktu anggota keluarga pria (JOK) :

a. On farm 227.83 257.01 257.56 292.48 b. Off farm 216.35 99.70 504.11 309.79 c. Non farm 289.70 218.73 452.04 362.86

Jumlah 733.88 575.44 1 213.72 965.13

2. Curahan waktu anggota keluarga wanita (JOK) :

a. On farm 107.41 113.71 111.71 136.15

b. Off farm 74.40 38.80 271.22 223.90

c. Non farm 4.13 0.00 256.25 135.91

Jumlah 185.94 152.51 639.18 495.96

Curahan waktu tenaga kerja wanita untuk kegiatan di luar rumahtangga hanya sebesar 20 – 30 persen dari curahan waktu tenaga kerja pria. Hal ini masih menggambarkan status gender dimana wanita masih lebih dominan melaksanakan fungsi reproduktif, artinya tenaga kerja wanita lebih banyak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan mengasuh dan membesarkan anak, mengurus kesehatan dan kesejahteraan rumahtangga. Oleh karena itu jika dilihat dari alokasi waktu tenaga kerja, dari waktu yang tersedia selama satu tahun (2 920 jam dengan

(28)

asumsi waktu bekerja delapan jam sehari) maka hanya sekitar 30 – 40 persen waktu untuk bekerja yang mendapatkan penghasilan, sedangkan sisanya merupakan waktu luang atau 60 - 70 persen waktu untuk aktivitas rumahtangga atau aktivitas yang tidak mendapatkan pendapatan. Alokasi waktu atau ketersediaan waktu bagi tenaga kerja keluarga untuk melakukan aktivitas berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Alokasi Waktu Tenaga Kerja Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

Jenis Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Kegiatan Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Alokasi waktu anggota keluarga pria (JOK) :

a. On farm 888.16 726.96 703.81 795.40 b. Off dan non farm 708.71 771.06 812.80 663.08 c. Leisure 1 323.13 1 421.98 1 362.84 1 461.52 Jumlah 2 920.00 2 920.00 2 879.44 2 920.00 2. Alokasi waktu anggota keluarga wanita (JOK) :

a. On farm 380.21 386.29 510.32 447.13 b. Off dan non farm 497.31 687.42 625.23 609.85 c. Leisure 2 024.48 1 846.29 1 784.44 1 863.02 Jumlah 2 920.00 2 920.00 2 920.00 2 920.00

Waktu luang bagi tenaga kerja wanita lebih banyak untuk aktivitas rumahtangga. Demikian pula waktu luang bagi tenaga kerja pria, hanya tenaga kerja yang berumur relatif lebih muda mengalokasikan sebagian waktu luang untuk berolah raga, namun secara spesifik tidak ada rumahtangga yang mengalokasikan waktu untuk berolah raga dan rekreasi.

5.4.2. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Padi

Pendapatan rumahtangga merupakan sumberdaya ekonomi yang sangat penting, yang memungkinkan setiap anggota rumahtangga mempunyai akses ekonomi untuk memperoleh segala kebutuhan rumahtangga termasuk kebutuhan pangan. Pendapatan ini berasal dari kegiatan usahatani (on farm), kegiatan di luar

(29)

usahatani (off farm) seperti buruh tani, dan kegiatan di luar pertanian (non farm) seperti berdagang, karyawan, buruh bangunan dan jasa yang lain, serta pendapatan lainnya seperti transfer dari anak dan bantuan langsung tunai (BLT). Adapun sumber pendapatan rumahtangga petani disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

(Rp/tahun) Sumber Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Pendapatan Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. On farm : a. Usahatani padi 4 658 377.06 (22.59) 6 216 666.99 (32.36) 2 242 011.75 (11.23) 4 820 394.64 (23.59) b. Usahatani sayuran 4 013 966.30 (19.47) 1 765 709.09 (9.19) 1 534 137.00 (7.68) 600 594.88 (2.94) c. Usahatani palawija 1 971 197.50 (9.56) 427 180.00 (2.22) 2 678 036.11 (13.41) 2 795 536.25 (13.67) d. Usahatani tanaman tahunan 3 756 633.75 (18.22) 3 929 866.88 (20.45) 621 187.50 (3.11) 1 502 697.50 (7.35) Jumlah on farm 14 400 174.61 (69.84) 12 339 422.96 (64.22) 7 075 372.36 (35.44) 9 719 223.27 (47.52) 2. Off farm 1 547 696.25 (7.51) 718 931.81 (3.74) 3 099 701.39 (15.52) 1 935 461.25 (9.46) 3. Non farm 3 654 650.00 (17.72) 6 014 672.62 (31.30) 8 023 682.64 (40.19) 7 801 701.88 (38.14) 4. Lainnya 1 017 062.50 (4.93) 140 587.50 (0.73) 1 767 430.56 (8.85) 997 562.50 (4.88) Total 20 619 583.36 (100.00) 19 213 614.89 (100.00) 19 966 186.95 (100.00) 20 453 948.90 (100.00) Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap pendapatan total rumahtangga

Sumber pendapatan terbesar dari usahatani padi diperoleh pada rumahtangga petani lahan sawah irigasi bukan peserta Primatani sebesar 32.36 persen karena lahan yang lebih luas (1.05 ha dibandingkan 0.92 ha), sedangkan pada lahan sawah tadah hujan pendapatan usahatani padi tertinggi sebesar 23.59 persen diperoleh pada petani bukan peserta juga disebabkan oleh luas lahan yang lebih besar yaitu 1.07 ha dibanding 0.63 ha. Secara keseluruhan kontribusi pendapatan usahatani terbesar (69.84 persen) diperoleh pada petani peserta Prima Tani lahan sawah irigasi. Persentase pendapatan usahatani padi sawah tertinggi

(30)

juga ditemukan oleh Sugiarto (2008) dengan kontribusi 74 persen dari total pendapatan rumahtangga petani di lahan irigasi.

Pendapatan dengan sumbangan terbesar pada petani lahan sawah tadah hujan (40.19 persen) berasal dari kegiatan di luar pertanian (non farm). Hal ini disebabkan oleh luasan lahan yang lebih sempit dan tingkat kesuburan lahan relatif lebih rendah serta keterbatasan sumber air. Untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga maka petani mengalokasikan tenaga kerja keluarga di luar sektor pertanian.

5.4.3. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Petani Padi

Pengeluaran rumahtangga adalah sejumlah pengeluaran berbentuk uang yang dilakukan oleh rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga dalam kurun waktu tertentu. Petani mengalokasikan pendapatan untuk dua kategori, yaitu untuk konsumsi dan usahatani. Konsumsi pangan rumahtangga terbagi atas konsumsi pangan dan non pangan. Dengan tingkat pendapatan yang dimiliki maka konsumsi pangan mendapat prioritas pertama, sedangkan konsumsi non pangan dan biaya usahatani merupakan prioritas selanjutnya.

Konsumsi pangan rumahtangga petani berasal dari produksi sendiri dan pangan yang dibeli di pasar. Jenis pangan yang dibeli meliputi pangan sumber karbohidrat yang lain (terigu, sagu), lauk, buah, bumbu, makanan jadi dan perlengkapan bahan minuman. Pangan yang berasal dari produksi sendiri bagi petani responden adalah beras dan sayur. Khusus untuk buah rumahtangga petani mengkonsumsinya secara musiman, artinya hanya sedikit rumahtangga yang mengalokasikan pendapatan untuk konsumsi buah. Adapun struktur pengeluaran rumahtangga petani disajikan pada Tabel 27.

(31)

Tabel 27. Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

(Rp/tahun) Jenis Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Pengeluaran Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Pangan Produksi RT 3 214 906.10 a (18.02) a 5 695 992.49 a (20.33)a 5 728 296.57 a (27.09) a 6 797 902.92 a (27.20) a 2. Pangan dibeli 4 346 095.00 a (24.36) a 7 326 085.00 b (26.15)a 5 746 975.00 a (27.18) c 6 644 267.50 a (26.59) c 3. Non pangan 6 054 055.25 a (33.93) a 7 620 438.75 a (27.20) a 6 233 744.44 a (29.49) c 6 858 898.13 a (27.45) c 4. Usahatani 4 228 477.57a (23.70) a 7 378 349.41 b (26.33) a 3 435 643.85 a (16.25) c 4 688 553.55ba (18.76) c Jumlah 17 843 533.92a 28 020 865.65 a 21 144 659.86 c 24 989 622.10 c Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap jenis lahan menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf α = 10 persen (uji-t).

Tabel 27 memperlihatkan bahwa secara statistik konsumsi pangan yang dibeli berbeda pada kelompok petani lahan irigasi. Proporsi pengeluaran antar jenis pangan hampir sama pada petani lahan tadah hujan dan tidak berbeda nyata pada tingkat uji-t 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan rumahtangga petani masih berimbang antara konsumsi pangan pokok yang diproduksi sendiri dengan pangan yang dibeli, sedangkan konsumsi pangan rumahtangga petani lahan irigasi lebih banyak dari pangan yang dibeli.

Proporsi pengeluaran rumahtangga petani untuk konsumsi pangan lebih besar dari pengeluaran untuk konsumsi non pangan, bahkan pada rumahtangga petani lahan tadah hujan proporsi pengelauran pangan lebih besar dari 50 persen. Proporsi pengeluaran pangan dapat dijadikan indikator tingkat kesejahteraan rumahtangga, semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan berarti semakin kurang sejahtera rumahtangga tersebut atau ketahanan pangan rumahtangga semakin rendah (Ariani dan Purwantini, 2009). Dilihat dari sosial ekonomi dan geografis wilayah, maka petani lahan tadah hujan memiliki kondisi yang lebih tertinggal dibandingkan petani lahan irigasi salah satunya adalah akses ke jalan raya,

(32)

infrastruktur dan komunikasi. Dengan kondisi tersebut maka pengeluaran rumahtangga lebih dialokasikan untuk pangan dibandingkan kebutuhan non pangan.

Mengikuti pola pangan empat sehat lima sempurna, yaitu nasi, lauk, sayur, buah dan susu maka hanya sebagian kecil (20.00 persen) konsumsi rumahtangga mengikuti pola tersebut. Dari lima kelompok pangan tersebut maka kelompok lauk, susu dan bahan minuman lainnya murni dibeli oleh petani karena rumahtangga tidak memproduksinya. Pengeluaran rumahtangga untuk pangan dengan mengikuti pola empat sehat lima sempurna disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28. Rata-rata Pengeluaran Pangan Berdasarkan Pola Empat Sehat Lima Sempurna Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

(Rp/tahun)

Jenis Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Pengeluaran Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Pangan pokok (beras) 2 674 197.50 a (44.19) c 2 967 185.00 a (33.76) c 2 944 536.11 a (43.15) c 2 771 665.00 a (37.79) c 2. Lauk 1 620 775.00 a (26.79) c 3 599 960.00 b (40.96) c 2 211 083.33 a (32.40) c 2 705 625.00 b (36.89) c 3. Sayur 836 432.61a (13.82) c 891 239.98a (10.14) c 307 756.95 a (4.51) c 316 876.25 a (4.32) c 4. Buah 78 325.00 a (1.29) c 174 850.00 a (44.19) c 285 277.78 a (4.18) c 395 525.00 a (5.39) c

5. Susu dan bahan minuman 841 262.50 a (13.91) c 1 156 675.00 b (13.16) c 1 075 605.56 a (15.76) c 1 144 195.00 a (15.60)c Total 6 050 992.61 c (100.00) c 8 789 909.98 c (100.00)a 6 824 259.72 c (100.00)a 7 333 886.25 c (100.00)a Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap pengeluara total RT

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap jenis lahan menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf α = 5 persen (uji-t).

Konsumsi beras petani berasal dari produksi sendiri dan sebagian rumahtangga membeli beras apabila gabah hasil produksi sendiri tidak mencukupi untuk konsumsi selama satu tahun, tambahan beras diperoleh dari raskin dan atau membeli di pasar. Disamping beras, pangan pokok yang dibeli oleh petani adalah sagu dimana sagu bagi responden yang penduduk asli masih mengkonsumsinya

(33)

walaupun dalam jumlah yang kecil dan pada saat musim paceklik. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi pangan penduduk asli telah bergeser ke beras dengan meninggalkan jenis pangan lokal (sagu). Juga dikatakan oleh Purwantini dan Ariani (2008) bahwa jenis pangan sumber karbohirat yang lain perannya telah tergantikan oleh beras sehingga partisipasi konsumsi pangan selain beras semakin menurun.

Konsumsi lauk terdiri dari ikan segar, ikan asin, tempe, tahu dan telur, dengan dominasi pada tempe dan tahu, konsumsi daging sapi dan daging ayam hanya sekali-sekali dalam waktu satu tahun apabila ada hajatan atau pada waktu hari raya. Walaupun petani menanam beberapa jenis sayuran, namun untuk konsumsi sayur, rumahtangga masih membeli dari luar pada saat belum panen. Selanjutnya dari konsumsi buah-buahan rumahtangga lebih sering mengkonsumsi pada saat musim buah dengan jenis buah lokal seperti rambutan, langsat dan pisang, sedangkan pengeluaran konsumsi bahan minuman lebih banyak didominasi gula, teh dan kopi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa di lokasi penelitian akses ke pasar desa hanya terjadi satu kali dalam satu minggu, namun petani dapat mengakses pasar ke desa tetangga pada hari yang lain sehingga dapat dikatakan bahwa akses ke pasar desa bagi petani agak terkendala karena tidak setiap hari ada pasar.

Gambar

Tabel  10.  Jumlah Petani Padi  Berdasarkan Usia, Pendidikan dan Pengalaman  Usahatani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009
Tabel 11. Karakteristik Anggota Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara,  Tahun 2009
Tabel 12. Kepemilikan Lahan dan Status Petani Padi di Sulawesi Tenggara,   Tahun 2009
Tabel 13. Jumlah Petani Padi  dan Penerapan Pola Tanam Lahan Sawah di  Sulawesi Tenggara, Tahun 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dimana dialog tersebut mengartikan adanya tindakan dari Keuskupan Agung Gereja Katolik dalam membungkam setiap orang terutama jurnalis yang akan mempublikasikan segala hal

dalam suatu upaya perubahan dapat diperhatikan kategorisasi tingkat penerimaan anggota suatu sistem sosial terhadap

Kelapa gading yang digunakan dalam pembuatan es krim adalah kelapa muda, karena kelapa muda memiliki kadar gula lebih tinggi dibandingkan kelapa tua, sehingga dapat

“I really didn’t want to tell you,” Carly Beth moaned.. “I wasn’t making that story up about

Class Diagram Sistem Informasi Media Penyampaian Aspirasi Masyarakat Kepada Anggota Dewan Kabupaten Kudus .... Sequence Diagram Verifikasi Login

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan organization

Rata – rata sinyal yang diperoleh wajan bolic tanpa tutup dan antena kaleng dalam penelitian ini sama, namun sinyal yang dihasilkan wajan bolic lebih stabil,

Dengan adanya pendidikan pancasila saya menyadari bahwa ini sangat penting untuk menunjang kehidupan saya untuk lebih memperhatikan norma-norma yang berlaku pada