• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOSIOLOGI HUKUM ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SOSIOLOGI HUKUM ABSTRAK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIOLOGI HUKUM Laode Fa Iki*

(Dosen Program Studi Hukum Ekonomi Syariah STAI Ibnu Sina Batam)

ABSTRAK

Dalam pergaulan antar manusia pada setiap masyarakat, di mana pun dan kapan pun, selalu ada peraturan. Ada naluri dalam setiap kalbu anggota masyarakat untuk menata hubungan antara sesama agar tidak terjadi kekacauan, ada perlindungan terhadap kepentinganya, ada jaminan masa depan terhadap harapan untuk hidup. Pemikiran-pemikiran dan harapan-harapan tentang itu semua diikrarkan menjadi pedoman perilaku bersama. Karena itu setiap peraturan betapapun bentuknya merupakan manifestasi dari suara hati masyarakat, suara hati kolektif. Dalam bahasa Prancis disebut conscience collective itu adalah; melindungi, mengatur, dan mengupayakan keseimbangan antara bermacam-macam kepentingan yang berbeda dari masyarakat ke masyarakat lainya menurut waktu, tempat dan keadaan.Di kalangan masyarakat hukum continental, yaitu di eropha barat daratan seperti di perancis, peraturan hidup bermasyarakat cenderung terkodifikasi . Sebaliknya, dikalangan masyarakat hukum Common Law, yaitu Amerika, yang utama adalah hukum tida k tertulis. Bagi masyarakat Amerika, yang primer adalah keputusan hakim, karangan para ahli hukum terkenal, dan peraturan yang timbul dalam kelompok-kelompok masyarakat. Bagi mereka , statutory law adalah sekunder. (Nico Ngani; 1) Kata Kunci : Sosiologi Hukum

A. PENDAHULUAN

1. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum.

Hukum yang bertahta di atas baju toga yang kurang “bersahabat” dipandang mata itu masi anda percaya sebagai simpul keadilan, kuasa kebenarana dan penjaga nilai-nilai,gagasan-gagasan dan norma-norma yang rumit untuk dijelaskan satu persatu, kecuali kita hendak bersabar untuk mengurai bersama-sama dalam setiap inci relasinya dengan

berbagai kekuasaan lain. Hukum tidak perna bisa “pisa ranjang” dengan kekuasaan, tidak bisa bercerai dengan moral dan selalu mesra dengan instrument yang ada di luarnya. Cerminan hukum adalah merupakan cerminan Negara komunitas atau sebuah peradaban. Lalu apakah kita, saya, anda dan mereka atau siapa pun masih memikirkan hukum itu otoritatif sebagai sumber nilai , norma dan keputusan tertinggi untuk memastikan keadilan bisa ditegakkan. (Sarifuddin Sudding;

(2)

2. Tujuan Hukum, Fungsi Hukum,Alat-Alat Hukum

a. Tujuan Hukum.

Apakah tujuan hukum? Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan yang termasuk dalam bidang filosofi hukum, karena untuk menjawab pertanyaan ini orang tidak cukup hanya memeriksa norma-norma hukum saja, melainkna perlu memikirkan secara lebih mendalam. Apa perlunya orang mencari tujuan hukum? Jika orang menentukan tujuan hukum tertentu berarti pembuatan norma-norma – hukum dan pelaksanaan norma-norma hukum selayaknya dengan mempertimbangkan apa yang menjadi tujuan hukum. Ada beberapa teori yang telah dikemukakan mengenai tujuan huku, yaitu:

1. Tori keadilan.

Menurut teori ini hukum adalah keadilan. Teori ini merupakan teori tertua mengenai tujuan hukum. Perhatian terhadap keadian tela ada sejak zaman dahulu kala. Bangsa yunani Kuno misalnya,telah memiliki Dewa khusus untuk menangani keadilan, yaitu Dewi Themis, Themis digambarkan sebagai wanita yang memegang timbangan di tangan satu dan satu untaian barang di tangan yang lain.

Pandangan-pandangan yang termasuk ke dalam teori keadian antara lain:

a. Francois Geny; mengajarkan bahwa tujuan hukum adalah semata-mata keadilan

b. Saint Augustine; mengatakan bahwa “unjust law is not law at all” (Hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali) Kata-kata ini menunjukan bahwa jika suatu peraturan tidak adil (unjust) maka peraturan itu bukanlah hukum

Apa yang dimaksud dengan keadilan? Bangsa Romawi , dengan berpedoman pada Aristoteles, merumuskan bahwa Keadilan adalah kehendak yang tetap dan tidak ada akhirnya untuk memberi kepada tiap orang apa yang menjadi hyaknya.Aristotees telah membedakan adanya 2 dua unsure keadilan. Yaitu Keadilan distributif dan keadilan Komunitatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang bersifat menyalurkan yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang menurut jasa. Keadilan ini bersifat proporsional, dimana proporsional berarti persamaan dalam rasio. Sedangkan keadilan Komunitatif adalah keadilan memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan . Keadilan ini berlaku untuk

(3)

hubungan antar individu, di mana hubungan itu ada yang bersifat sukarela seperti dalam jual-beli dan sewa menyewa dan ada yang bersifat tidak sukarela seperti pembunuhan dan pencurian. Keadilan ini juga memegang peran dalam tukar-menukar barang dan jasa.

2. Teori Utiitas (kemanfaatan)

Pelopor teori utilitas (utilitarianism) adalah Jeremy Bentham.Bahwa semua hal harus bermanfaat untuk memenuhi kecenderungan manusia menghasilkan kesenangan dan mencegah kesusahan . Oleh karena pula Jeremy Bentham berpendapat bahwa kebahagiaan sebesar-besarnya untuk jumlah manusia sebanyak-banyaknya merupakan dasar dari moral dan peraturan per undang-undangan. Disini terlihat bahwa tujuan hukum menurut Jeremy Betham adalah untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya dari jumlah manusia sebanyak-banyaknya.

3. Teori gabungan keadilan dan manfaat.

Menurut L.J. Van Apeldoorn mengemukakan bahwa “kedua wujud hukum yang terpenting adalah keadilan dan manfaat.

4. Teori Ketertiban Dan Ketentraman Masyarakat

Masyarakat pada umumnya cenderung berpandangan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjaga ketertiban dan ketentraman. Ahli hukum yang teorinya selaras dengan ini antara lain Apeldoorn, yang mengatakan bahwa tujuan hukum adalah “mengatur pergaulan hidup secara damai”

b. Fungsi Hukum

Beberapa pendapat mengenai fungsi hukum adalah:

1. Fungsi hukum adaah memberikan pengesahan (Legitimasi) terhadap apa yang berlaku dalam masyarakat (Friedrich Carl Van Savigny) 2. Hukum sebagai alat rekayasa

masyarakat (Roscoe Pound) 3. Fungsi hukum sebagai sarana

pembentukan masyarakat,

khususnya sarana

pembangunan. Pandangan ini dekemukakan oleh Muchtar Kusumaatmaja. Muchtar Kusumaatmaja memberikan tekanan pada Undang-Undang sebagai sarana pembentukan Masyarakat khususnya sarana pembangunan. Contohnya, Dengan adanya ketentuan daam UU N0.1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai batas minimum usia kawin, maka masyarakat terbentuk menuju kebiasaan kawin pada umur yang lebih tinggi dari pada sebelumnya.

(4)

4. Hukum sebagai senjata dalam konflik sosial. Menurut Austin T.Turk, Hukum adalah kekuasaan (law is power ) ini karena barang siapa menguasai hukum berarti mengendalikan sumber daya hukum yang mengandung sejumlah kekuasaan, antara lain pengendalian atas alat-alat kekerasan fisik langsung yaitu kekuasaan perang dan polisi. Menurut Turk, pada saat pembuatan Undang-Undang , semua pihak berupayah untuk menarik hukum berpihak kepadanya agar dapat dijadikan sebagai senjata dalam hal terjadinya konflik sosial. Dalam pandangan teori ini , hukum merupakan alat untuk memperoleh kemenangan dalam konflik yang terjadi dalam masyarakat. .

(Donald Arbert Rumokoy Dan

Frans Maramis.36-37)

Lebih lanjut dijelaskan bahwa hukum berfungsi sebagai: 1. Sebagai sarana sosial control

(Pengendalian Sosial)

Hukum sebagai sosial control; kapasitas hukum UU yang dilakukan benar benar terlaksana oleh penguasa , penegak hukum. Fungsinya masalah pengintegrasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan-perubahan pada faktor tersebut di atas, hukum

harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik-konflik serta kepincangan-kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktifitas masyarakat. Pengendalian sosial adalah

upaya untuk

mengendalikan kondisi seimbang di dalam masyarakat yang bertujuan menciptakan suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan . Pengendalian sosia mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptaka serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana memaksa yang melindungi warga masyarakat dari perubahan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.

2. Hukum berfungsi sebagai sarana social engineering. Hukum dapat bersifat

social engineering;

merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif , fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami

(5)

pergolakan dan pembangunan. Hukum

sebagai sarana

pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional kedalam pola

pemikiran yang

rasional/modern.

(Yadiman;149-150)

c. Alat-alat untuk mencapai tujuan hukum

Hukum tidak dapat bergerak sendiri untuk mencapai tujuannya . Untuk itu diperlukan bantuan alat-alat Negara yang menegakan hukum guna mencapai tujuan hukum.Alat – alat itu adalah berupa : Polisi, Jaksa, Hakim. (Donald Arbert Rumokoy Dan

Frans Maramis.38)

1. Alasan Keberadaan Hukum

Mengapa hukum perlu ada? Semua bahasan tentang hukum dimulai dengan adanya masyarakat. Ungkapan yang terkenal yaitu di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Karenanya, sering dikatakan bahwa jika tidak ada masyarakat maka hukum juga tidak diperukan. Contoh yang paling banyak ditemukan adalah kehidupan Robinson Crusoe dalam buku Robinson Crusoe (1719) karangan Daniel Defoe.

Dengan bertitik tolak dari adanya masyarakat, maka jawaban

atas pertanyaan tentang alasan keberadaan hukum berkaitan erat dengan keberadaan masyarakat. Selain itu, alasan keberadaan hukum juga terkait erat dengan apa yang menjadi tujuan hukum.

Menurut Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. Dengan demikian, alasan keberadaan hukum, jika dilihat dari sudut pandang Apeldoorn, yaitu adanya ketertiban dan ketentraman masyarakat.

Menurut J. van Kan dan J.H. Beekhuis alasan keberadaan hukum karena norma-norma yang lain, yaitu norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma agama, tidak mencukupi dalam memberikan perlindungan kepentingan orang dalam masyarakat. Ketiga norma yang lain itu tidak mencukupi karena dua sebab, yaitu:

1. Terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak diatur oleh norma kesopanan, kesusilaan dan agama, tetapi memerlukan perlindungan juga. Tidak ada norma kesopanan, kesusilaan dan agama yang menuntut bahwa orang harus berlalu di sebelah kiri atau di sebelah kanan apabila berjalan di jalan.

2. Kepentingan-kepentingan yang telah diatur oleh ketiga norma yang lain itu, belum cukup

(6)

terlindungi. Peraturan hukum bersifat memaksa dengan sanksi.

(Donald Albert Murokoy & Frans Maramis: 41-48)

Peran Hukum Sebagai Tool Of Social Engineering.

Stratifikasi sosial adalah institusi yang menyentuh begitu banyak kehidupan seperti; kekayaan, politik, karier, keluarga, klub, komunitas,gaya hidup, dengan demikian hal-hak yang kompleks seperti di atas membutuhkan hukum sebagai alat pengendali sosial, yang menurut

Ronny Hantijo Soemitro, control

sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisih dari tingkah laku yang menyimpag serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi. Walaupun kita ketahui bahwa hukum bukan satu-satunya alat pengendali sosial, namun fungsi hukum dapat dikatakan untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggab penyimpangan terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut.

Rescoe Pound

mengemukakan bahwa masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok dimana di dalamnya sering terjadi konflik antara kepentingan satu

dengan kepentingan lainya. Dan disinilah fungsi hukum sebagai rekonsiliasi dan sekaligus diharapkan dapat menciptakan keharmonisan terhadap berbagai tuntutan dan kebutuhan yang saling bertentangan diantara sesama warga masyarakat.

Dengan demikian peran hukum dalam kaitanya dengn adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat menjadi hal yang sangat penting , karena dengan adanya hukum perbedaan-perbedaan kelas yang ada di masyarakat yang kemudian rentan akan timbunya konflik dan berbagai macam pelanggaran norma, maka hukum tampil sebagai alat penindak , sehingga dengan demikian harmonisasi antara semua lapisan sosial yang ada di masyarakat dapat terjaga

UPAYA PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum sebagai usaha semua kekuatan Bangsa termasuk Indonesia, menjadi kewajiban kolektif semua komponen Bangsa. Penegakan hukum merupakan salah satu persoalan yang serius bagi Bangsa Indonesia. Berhubung Indonesia sebagai Negara yang menganut

paham Konstitusional

(constituonalism) atau varianya Negara hukum, (rechtsstaat) sebagaimana dituangkan dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia

(7)

tahun 1945, tentu segalanya harus berdasarkan hukum. Hukum merupakan sesuatu yang paling tinggi (supreme). Dari konsepsi demikian maka timbulah kesadaran manusia menuju keadilan, dengan lahirlah istilah sepremasi hukum, di mana hukum ditempatkan pada posisi yang tinggi diantara dimensi-dimensi kehidupan yang lain, terutama dimensi politik.

Supremasi hukum adalah cita-cita umat manusia di seluruh dunia yang mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kesejahteraan dibawa kewibawaan hukum yang dapat dilihat melalui:

1. Ketaatan setiap warga Dunia, termasuk warga/rakyat Indonesia terhadap peraturan per Undang-Undangan yang didesain sebagai payung hukum bagi semua warganya.

2. Kedisiplinan bagi para pemimpin Negara serta para penyelenggara Negara pada semua tingkatan (eselon) dalam melaksanakan kebijakan yang dilandasi ketaatan pada hukum yang melekat pada dirinya, sehingga penyalagunaan wewenang, penyelewengan kewajiban, atau pembelokan tujuan bisa ditekan seminimal mungkin. Artinya, kesalahan-kesalahan yang timbul dalam tugas penyelenggaraan Negara

bukan karena niat atau kesengajaan yang penuh rekayasa, akan tetapi karena faktor kelalaian atau ketidak mampuan yang bisa diperbaiki kembali.

3. Hukum yang diciptakan benar-benar hukum yang bersendikan keadilan, ketertiban serta manfaat bagi semua warganya, sehingga memancarkan

kewibawaan dan

perlindungan setiap manusia dan lain-lain.

Hukum dibuat untuk dilaksanakian, sebab hukum tidak dapat dikatakan sebagai hukum apabila hukum tidak perna dilaksanakan. Sehingga hukum dapat disebut konsisten dengan pengertia hukum bila mana terwujud sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Wajar jika

Artidjo Alkostar (Ketua

kamar pidana Mahkama Agung Republik Indonesia) mengatakan “Apabila penegak hukum di suatu Negara tidak bisa diciptakan maka kewibawaan Negara tersebut pun runtuh”

Pelaksanaan hukumt tersebut diwujudkanya dalam bentuk tindakan – tindakan yang harus dilaksanakan, tindakan-tindakan tersebut sebagai penegakan hukum (law

(8)

penegakan hukum inilah peranan para penegak hukum dibutuhkan, yang tidak lain adalah manusia-manusia

Jika mengutpi pendapat

Lawrence M, Friedman, di

dalam hukum dan sistim hukum terdapat tiga komponen , diantaranya sebagai berikut:

1. Subtabnsi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan peradian.

2. Struktur, iaitu keseluruhan institusi-institusi hukum, yang ada beserta aparatnya, mancakup antara lain; Kepolisian, dengan para polisinya, Kejaksaan dengan para jaksanya, Pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain. 3. Kultur/budaya hukum,

yaitu opini-opini,

kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan

berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum

Hans Kelsen. Salah satu

eksponen posivitisme

mengemnukaka bahwa “law is a coercive order of human behavior, it is the primary norm which stipulates the sanction” artinya, Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia, hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi. Akan tetapi hukum itu akan sia-sia bila mana masyarakat tidak menaatinya, dengan demikian perlu adanya penegak hukum agar hukum tersebut dapat terlaksana. (Viswandro Dkk; 1-3)

Seiring dengan kemajuan yang dialami masyarakat dalam berbagai bidang, bertambah juga peraturan-peraturan hukum. Penambahan peraturan hukum itu tidak dapat dicegah karena masyarakat berharap dengan bertambahnya peraturan tersebut, kehidupan dan keamanan bertambah baik walaupun mungkin jumlah pelanggaran terhadap-peraturan-peraturan itu bertambah. Namun, di Indonesia perubahan dan kemajuan yang dialami selama orde baru (1966 – 1998) menimbulkan benberapa aspek negatif, antara lain penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan , kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, serta terjadinya praktik-praktik negatif dalam

(9)

proses peradilan. Keadaan yang demikian mendorong Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) menetapkan dalam ketetapan MPR N0 X/MPR/1998, antara lain pada bab IV huruf C butir 2 hruf c, sebagai berikut;

“Menegakan supremasi hukum

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”

Hal tersubut dimaksudkan untuk merealisasikan negara hukum sebagaimana dimuat pada penjelasan resmi Undang-Undang Dasar 1945 sehingga hukum berperan sebagai pengatur kehidupan Nasional. Upaya mewujudkan hal tersebut tentunya tidaklah muda karena tidak hanya sistim hukum nasional yang harus dibangun, namun juga aparat negara terutama aparat penegak hukumnya sehingga diperoleh aparat yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jika hal di atas dapat terwujud, akan tercapai sikap dan perilaku seluruh aparat dan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum. (Leden Marpaung;

1,2)

Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum sebagai suatru proses pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat

keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh norma hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.

Agar suatu penegakan hukum dapat terlaksana dengan baik , beberapa factor sebagai berikut harus difungsikan dengan baik;

1. Pemberian teladan keputusan hukum oleh para penegak hukum

2. Sikap yang lugas dari para penegak hukum

3. Penyesuaian aturan yang

berlaku dengan

perkembangan teknologi mutakhir

4. Penerangan dan penyuluhan mengenai aturan yang berlaku di masyarakat. 5. Memberi waktu yang cukup

kepada masyarakat untuk memahami peraturan yang baru dibuat.

Penegakan hukum bukan suatu proses logis semata, melainkan syarat dengan keterlibatan manusia di dalamnya. Masuknya faktor manusia menjadikan penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan semua faktor yang menyertainya. Penegakan hukum lalu bukan lagi merupakan hasil deduksi logis , melainkan lebih merupakan hasil dari pilihan-pilihan.Dengan demikian, autput dari penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada

(10)

ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang tidak menurut logika. Oliver Wendell Holmes menyebutkan sebagai; the life of the law has not been logic, it has been experience.

Komponen sistim penegakan hukum meliputi (tiga) 3 komponen utama, iaitu komponen hukum yang akan ditegakan, Institusi yang akan menegakanya dan person dari intitusi penyelenggara ini merupakan lembaga-lembaga administratif dan lembaga – lembaga yudisial yang diberi wewenang untuk itu, misalnya Polisi, jaksa, hakim dan berbagai institusi yang berfungsi menegakan hukum secara administratif pada jajaran eksekutif. Penegakan hukum pada

hakekatnya adalah

penyelenggaraan pengaturan hubungan hukum setiap kesatuan hukum dalam suatu masyarakat hukum. Pengaturan ini meliputi aspek pencegahan pelanggaran hukum ,penanggulangan-penanggulangan hukum. Komponen ini merupakan kunci terakhir dari proses perwujudan penegakan hukum yang efektifitasnya dapat diketahui melalui komponen akhir dari melalui evaluasi hukum.

Sejak hukum itu mengandung perintah dan paksaan, maka sejak itu membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut. Hukum menjadi tidak ada artinya

bila perintahnya tidak dapat dilaksanakan. Donal Black

mengatakan bahwa dimensi keterlibatan manusia di dalam hukum dinamakan mobilisasi umum. Dalam mobilisasi hukum ini manusia turut campur sehingga hukum tidak hanya mengancam dan berjanji di atas kertas. Unsur-unsur penerapan hukum dari dimensi sosial ada 2 (dua) yaitu manusia dan lingkungan sosial.

1. Faktor Manusia.

Membicarakan penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakan itu , merupakan pembicaraan yang steril. Artinya, apabila pembicaraan penegakan hukum hanya berpegang pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum , maka hanya akan memperoleh gambaran stereotipis yang kososng. Pembicaraan itu baru akan berisi manakala dikaitkan dengan pelaksanaan yang konkrit, yaitu manusia. Sebab dengan melalui manusia itulah penegakan hukum dapat dijalankan.

2. Faktor Lingkungan Sosial.

Masalah lingkungan dapat dikaitkan kepada manusianya secara pribadi serta kepada penegak hukum sebagai suatu lembaga. Lingkungan pribadi penegak hukum, dikatakan oleh

(11)

Van Doorn dalam kedudukanya

sebagai pemegang fungsi dalam rangka suatu organisasi, seorang penegak hukum cenderung untuk menjalankan fungsinya menuruti tafsiran sendiri yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut;

1. Faktor hukumnya sendiri (Termasuk faktor Undang-Undang)

2. Faktor penegak hukum (dimasukkan disisni baik para pembentuk maupun penerap hukum)

3. Faktor sarana atau fasilitas

yang mendukung

penegakan hukum

4. Faktor Masyarakat, yakni masyarakat dimana hukum hukum tersebut di tetapkan. 5. Faktor budaya, yakni

sebagai hasil karya dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Ke lima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum.serta juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas penegakan hukum. Dengan demikian ke lima faktor tersebut akan dibahas di bawah ini dengan cara mengetengahkan

contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat. (Abintoro

Prakoso; 227-229)

Penjelasan dari kelima faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Faktor Hukumnya,

adalah berupa Undang-Undang dalam arti materiel adalah (Purba Caraka dan Soerjono Soekanto, 1979) peraturas tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun Daerah yang sah. Dengan demikian, maka Undang-Undang dalam materiel (selanjutnya disebut Undang-Undang) mencakup;

a. Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga Negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum disebagian wilayah Negara.

b. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja. Mengenai berlakunya Undang-Undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuanya adalah agar Undang-Undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, supaya Undang-Undang tersebut mencapai tujuanya sehingga efektif. Asas-Asas tersebut antara ain (Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 1979):

(12)

1. Undang-Undang tidak berlaku surut. Artinya, Undang-Undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa disebut di dalam Undang-Undang tersebut, serta terjadi setelah Undang-Undang itu dinyatakan berlaku. 2. Undang-Undang yang

dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. 3. Undang-Undang yang

bersifat khusus mengesampingkan

Undang-Undang yang bersifat umum, apabila pembuatanya sama. Artinya, terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan

Undang-Undang yang

menyebutkan peristiwa itu ,walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan Undang-Undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum yang juga

dapat mencakup

peristiwa khusus tersebut. 4. Undang-Undang yang

berlaku belakangan, membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu. Artinya, Undang Undang lain yang berlaku lebi dahulu

dimana diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada Undang-Undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tertentu tersebut.

5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat. 6. Undang-Undang

merupakan suatu sarana

untuk mencapai

kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun peribadi melalui pelestarian ataupun pembaharuan (Inovasi). Artinya, supaya pembuat Undang-Undang tidak sewenang-wenang atau supaya Undang-Undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu, yakni antara lain; a. Keterbukaan dalam proses pembuatan Undang-Undang b. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-usul tertentu. 2. Penegak Hukum

Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung

(13)

berkecimpun di dalam penegakan hukum. Dalam tulisan ini Yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement akan tetapi juga peace maintenance.Kiranya suda dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas dibidang Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, Kepengacaraan dan Pemasyarakatan.

Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah.

Seseorang yang

mempunyai kedudukan tertentu lazimnya disebut pemegang peranan (role occupant). Masalah peranan dianggap penting oleh karenan pembahasan mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Diskresi merupakan pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat pada oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum diskresi sangat penting, oleh karena; 1. Tidak ada

perundang-undangnya yang sedemikian

lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.

2. Adanya

kelambatan-kelambatan untuk

menyesuaikan per

undang-undangan dengan

perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak pastian. 3. Kurangnya biaya untuk

menerapkan per undang-undangan secara khusus.

4. Adanya kasusu-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus

Diskresi diperlukan sebagai (Atmosudirdjo, 1983) “ Pelengkap dari pada asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan , bahwa setiap tindak atau perbuatan Adminitrasi Negara harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang. “pada diskresi bebas “ undang-undang hanya menetapkan batas-batas , dan adminitrasi Negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampau/melanggar batas-batas tersebut. Pada “diskresi terikat” undang-undang menerapkan beberapa alternatif, dan Adminitrasi Negara bebas memilih salah satu alternatif. (Soerjono Soekanto: 11-22)

(14)

3. Faktor Sarana Dan Prasarana Sarana atau fasilitas hukum. Sarana atau fasilitas hukum antara lain mencakup sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, perkantoran dan peralatan pendukungnya yang lengkap

dan sesuai dengan

kebutuhan/perkembangan, dana dan tingkat kesejahteraan aparatnya yang cukup. Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai, tidak mungkin penegakkan hukum dapat berlangsung dengan lancar.

4. Faktor Masyarakat.

Masyarakat. Penegakkan hukum juga berasal dari masyarakat bahwa untuk mengartikan hukum dan bahkan

mengidentifikasi hukum adalah petugas atau pejabat penegak hukum secara pribadi/personal. Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum sennatiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut yang menurut pendapat masyarakat merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur hukum maupun proses hukum.

5. Faktor Budaya.

Budaya. Budaya hukum pada dasarnya mencakup nilai-niai yang mendasari berlakunya hukum, nilai-nilai mana merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik(sehingga dipatuhi) dan nilai yang dianggap buruk (sehingga dihindari atau ditentang)

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Abintoro Prakoso. Sosiologi Hukum. LaksBang. Palang karaya.2017

Leden Marpuang. Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2005

Niko Ngani. Hukum Adat Indonesia. Pustaka Yustisia.Jakarta 2012

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Raja Grafindo Persada. Jakarta 2014

Sarifuddinn Sudding. Perselingkuhan Hukum Dan Politik Dalam Negara Demokrasi. Rangkang Education. Yogyakarta 2014

Viswandro Dan Kawan-Kawan. Pustaka Yustisia. Jakarta 2015

Referensi

Dokumen terkait

Hasil persamaan regresi yang disajikan pada Gambar 1 memperlihatkan bahwa peningkatan perlakuan dosis iradiasi gamma pada eksplan tunas pisang pada saat mutasi induksi secara

Inspektorat BMKG menetapkan IKU Persentase Realisasi Pelaksanaan Tindak Lanjut Temuan Hasil Audit Dari Satker/ Unit Kerja Di Lingkungan BMKG sebagai amanat dari

Komersial, ukuran umum 60cm; tertangkap dengan alat tangkap Gill Nets, Seines, Perangkap dan Trawls; habitat: di Pantai, termasuk Perairan Payau(Ref. 12743); makanan: ikan-ikan

1. Tingkat persepsi konsumen dalam keputusan pembelian buah pepaya california di pasar swalayan yang dilakukan di Toserba Yogya Ciamis tergolong ke dalam kategori

Hasil penelitian menggunakan perhitungan manual, program Autodesk Ecotect Analysis 2011, dan Armstrong Reverberation Time menunjukkan bahwa penggunaan material seperti

Ali (2014) bahwa peran pemerintah terkait pengembangan usaha peternakan di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru sudah cukup baik,

Pesan gizi seimbang yang mengacu pada PUGS merupakan salah satu pengembangan strategi dalam mencapai perubahan pola kon- sumsi makanan yang ada di masyarakat dengan tujuan

Karena itu, secara umum sebuah sistem basis data merupakan sistem yang terdiri atas kumpulan file (table) yang saling berhubungan (dalam sebuah sistem.. basis data di