• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KAJIAN MITIGASI RISIKO (BERDASARKAN SUMBER RISIKO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 KAJIAN MITIGASI RISIKO (BERDASARKAN SUMBER RISIKO)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

5 KAJIAN MITIGASI RISIKO (BERDASARKAN SUMBER RISIKO)

5.1 Desain Palka

Sebagaimana telah dipaparkan pada bab 4, muatan kapal terbesar pada KPIH adalah berupa muatan berbentuk liquid, yaitu air laut dan ikan yang berenang bebas di dalamnya. Muatan berbentuk liquid mudah berubah bentuk. Oleh karena itu Hind (1982) menyarankan agar pada tangki atau palka yang berisi muatan cair, dihindari adanya ruang bebas antara permukaan cairan dengan tutup atau dinding di atasnya. Kondisi ini dimaksudkan agar stabilitas kapal tidak terganggu oleh akibat adanya efek

free surface muatan cair yang berada di dalam tangki atau palka.

Penentuan desain palka yang sesuai merupakan salah satu langkah mitigasi risiko yang direkomendasikan. Tujuan dari penentuan desain palka yang sesuai adalah untuk memperkecil kemungkinan terbaliknya kapal yang disebabkan karena adanya efek free surface dari muatan liquid yang dibawanya pada saat kapal melakukan gerakan rolling. Semakin kecil efek free surface yang timbul saat kapal melakukan gerakan rolling, maka peluang kapal untuk terbalik menjadi lebih kecil. Selain itu, apabila pergerakan free surface pada muatan liquid tidak terlalu bebas saat kapal melakukan gerakan rolling, maka keberadaan benih ikan di dalam palkapun tidak terlalu terpengaruhi. Sehingga dugaan terjadinya benih ikan mengalami dampak stres akibat timbulnya gerakan massa air yang tidak beraturan saat terjadinya gerakan rolling kapal dapat dihindari.

Free surface adalah kondisi permukaan yang biasanya terdapat pada benda

berbentuk liquid. Keberadaan permukaan bebas mengakibatkan benda liquid tersebut mudah berubah bentuk sesuai dengan media yang ditempatinya. Efek free surface akan dirasakan terutama saat kapal melakukan gerakan rolling. Pada saat kapal melakukan gerakan rolling, maka terjadilah pergerakan air di bagian permukaan yang mengikuti arah kemiringan kapal akibat momen yang terjadi. Jika massa air yang bergerak ke sisi kapal yang sedang oleng berlebihan, maka titik berat kapal pun akan bergeser ke arah kemiringan kapal. Apabila periode oleng kapal sangat lambat, maka kemungkinan kapal akan terbalik menjadi lebih besar. Dalam kajian terhadap desain palka, kajian pertama adalah mengkaji bentuk palka yang dapat meredam efek free surface. Setelah

(2)

bentuk palka yang memiliki kemampuan untuk meredam efek free surface ditentukan, maka kajian dilanjutkan dengan memodifikasi bentuk palka terpilih tersebut hingga bentuk palka tersebut lebih mampu lagi meredam efek free surface muatan.

Penelitian tentang efek free surface pada kapal pengangkut ikan hidup telah dilakukan oleh Lee et.al (2005) secara simulasi dengan menggunakan model kapal skala laboratorium. Adapun Braathen and Faltinsen (2002), Naito and Sueyoshi (2002), Shiotani and Kodama (1998), dan Shibata et.al (2007) mencoba mengkaji tentang free

surface secara numerik. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ketinggian

muatan cair dalam tangki, sudut oleng dan periode rolling kapal sangat mempengaruhi besar kecilnya efek free surface yang akan terjadi.

Efek free surface dalam penelitian ini ditinjau berdasarkan bentuk profil permukaan air pada saat terjadi gerakan oleng, dalam hal ini adalah implementasi dari dampak gerakan rolling kapal (diistilahkan sebagai “profil kemiringan”), dan profil permukaan air saat tidak ada lagi gerakan rolling hingga permukaan air relatif tenang (diistilahkan sebagai “profil diam”). Selain itu kajian juga dilakukan terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air mulai dari saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air relatif tenang atau stabil yang untuk selanjutnya diistilahkan sebagai “waktu redam”.

5.1.1 Bentuk palka terhadap efek free surface

(1) Profil kemiringan permukaan air

Profil kemiringan diperoleh dengan menggerakkan jungkat-jungkit ke atas dan ke bawah hingga mencapai sudut kemiringan sekitar 10º. Diperkirakan panjang lintasan gerakan rolling dari kemiringan di sisi kiri ke kemiringan di sisi kanan kapal dan kembali ke kemiringan di sisi kiri kapal sekitar 40º atau 0,698 radian. Pengamatan terhadap kemiringan permukaan air dilakukan saat palka mencapai kemiringan maksimal yaitu 10º ke kiri dan ke kanan. Beberapa contoh profil kemiringan permukaan air yang terjadi disampaikan pada Gambar 32. Pada gambar tersebut terlihat adanya perbedaan ketinggian permukaan air. Kondisi ini terjadi karena perbedaan bentuk palka dengan volume air yang sama pada masing-masing palka tersebut menyebabkan ketinggian air yang dihasilkan berbeda. Model palka silinder (model

(3)

palka B) memiliki ketinggian permukaan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian permukaan air di model palka kotak (model palka A).

Pada gambar tersebut terlihat bahwa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak dan model palka silinder memiliki profil yang relatif sama. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengukuran sudut kemiringan permukaan air terhadap garis yang sejajar permukaan air saat sebelum terjadinya gerakan rolling (Tabel 13). Pada tabel tersebut terlihat tidak adanya perbedaan sudut kemiringan permukaan air baik pada model palka A dan palka B. Hal ini diperkuat dari hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa nilai F hit < F Tab, atau nilai P-Value > 0,05 maka tidak terjadi perbedaan kemiringan air pada palka berbentuk kotak dengan silinder. Atau dengan kata lain, bentuk palka tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kemiringan air pada palkah yang dicobakan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 1.

(4)

Kiri 1 Kanan 1 Kiri 2 Kanan 2 Kiri 3 Kanan 3 Kiri 3 Kanan 3 Keterangan:

Model B Model A Rata air model B Rata air model A

(5)

Tabel 13 Sudut kemiringan permukaan air saat rolling Posisi

kemiringan

Data ke-

Kemiringan air (º) Beda

kemiringan (º) model palka kotak model palka silinder Kiri 1 7 7 0 2 8 8 0 3 9 9 0 4 6 7 1 5 8 8 0 6 9 9 0 7 7 7 0 8 9 9 0 9 9 8 1 10 7 7 0 Rata-rata kiri 5,3 2,9 2,4 Kanan 1 5 5 0 2 8 9 1 3 6 7 1 4 8 9 1 5 8 9 1 6 7 6 1 7 5 5 0 8 8 7 1 9 7 6 1 10 6 6 0 Rata-rata kanan 5,3 2,9 2,4

Shibata et.al (2007) telah mengkaji hubungan gerakan kapal dengan “green

water” di atas dek kapal. “Green water” adalah istilah untuk keberadaan air di atas dek

kapal akibat hempasan gelombang pada gerak dinamik kapal di laut. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa bentuk permukaan bebas (free surface), tidak mempengaruhi efek yang akan ditimbulkannya. Informasi inilah yang menjelaskan mengapa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak dan model palka silinder saat terjadi rolling tidak menunjukkan perbedaan. Akan tetapi jika diperhatikan bentuk ujung permukaan air yang tertahan oleh dinding palka, terdapat perbedaan, dimana bentuk ujung permukaan air pada model palka kotak lebih landai dibandingkan pada model Palka silinder. Penelitian Bai (2005) terhadap aliran free surface pada ketinggian permukaan air yang berbeda, menjawab fenomena tersebut. Dari hasil

(6)

penelitian tersebut terungkap bahwa permukaan air yang lebih rendah akan memiliki bentuk aliran free surface yang landai pada saat bertubrukan dengan dinding pembatas. Adapun pada permukaan air yang lebih tinggi, bentuk aliran free surface-nya saat bertubrukan dengan dinding pembatas berbentuk kemiringan yang curam. Bentuk aliran free surface yang landai pada ujung yang bertubrukan dengan dinding pembatas akan menghasilkan gelombang balik yang lebih pendek dan landai dibandingkan dengan bentuk aliran free surface yang curam. Kondisi ini mengakibatkan permukaan air yang lebih rendah akan lebih cepat stabil atau tenang kembali setelah tidak ada gaya eksternal yang mengganggunya.

Lee et.al (2005) dalam penelitiannya yang mengkaji keragaan gerakan rolling kapal ikan yang dilengkapi dengan palka ikan hidup, mengemukakan bahwa keberadaan

free surface akan meningkatkan damping moment coefficient kapal. Damping moment coefficient adalah merupakan momen koefisien yang menunjukkan kemampuan kapal

untuk meredam gaya dari luar (external force) yang mengenai kapal (Bhattacharyya, 1978). Semakin tinggi keberadaan free surface tersebut, akan meningkatkan damping

moment coefficient kapal. Jika damping moment meningkat maka kemampuan kapal

untuk meredam gaya eksternal yang mengenai kapal (gelombang), akan semakin berkurang. Berdasarkan kajian sebelumnya diperkirakan bahwa efek free surface akan lebih besar dirasakan oleh kapal yang menggunakan palka berbentuk silinder. Jika dihubungkan dengan damping moment coefficient kapal, maka diperkirakan damping

moment coefficient pada kapal dengan palka silinder akan lebih besar bila dibandingkan

dengan kapal yang memakai palka kotak. Dengan demikian maka kemampuan kapal dengan palka silinder untuk meredam gaya eksternal akan lebih kecil dibandingkan dengan kapal yang memakai palka kotak. Mengecilnya kemampuan redam kapal akan mengakibatkan stabilitas kapal menurun karena dinamika kapal lebih banyak dipengaruhi oleh gaya eksternal.

Akan lain permasalahannya jika pada kedua palka diisi penuh oleh air laut. Apabila terjadi gerakan rolling, maka tidak akan terjadi pergerakan fluida dipermukaannya. Sehingga tidak akan terjadi perubahan posisi titik berat di palka yang pada akhirnya tidak akan mempengaruhi stabilitas kapal. Akan tetapi pengkondisian ini mengakibatkan volume air laut di dalam model palka kotak lebih besar bila dibandingkan dengan model palka silinder.

(7)

(2) Profil permukaan air setelah terjadi rolling

Setelah model palka kotak dan silinder diolengkan ke kanan dan ke kiri selama kurang lebih 20 detik, selanjutnya model palka kotak dan silinder diposisikan tegak kembali. Pengamatan mulai dilakukan terhadap profil permukaan air mulai saat posisi model palka tegak hingga 1 detik kemudian. Profil permukaan sesaat setelah posisi model palka ditegakkan dapat dilihat pada Gambar 33.

Keterangan:

Model B Model A Rata air Model B Rata air Model A Gambar 33 Profil permukaan air saat palka kembali tegak setelah rolling (0 detik).

Sebagaimana hasil penelitian Bai (2003), pada gambar tersebut di atas, permukaan air pada model palka B (silinder) yang lebih tinggi daripada model palka A (kotak) nampak sangat dinamis dibandingkan dengan permukaan air pada model palka kotak yang nampak seakan-akan langsung stabil. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap bentuk permukaan air serta ketinggian permukaan air pada profil permukaan air setiap 0,1 detik selama 1 detik (Gambar 34). Pada Gambar 34 terlihat bahwa pada ordinat pengukuran tertentu, menjelang 1 detik pengamatan, pada model palka kotak permukaan airnya semakin banyak yang telah menyamai garis rata air pada saat tidak ada gerakan. Berdasarkan ketinggian permukaan air pada ordinat pengukuran, terlihat bahwa ketinggian permukaan air pada ordinat-ordinat pengukuran pada model palka kotak cenderung lebih rendah dibandingkan pada model palka silinder. Permukaan air yang lebih tinggi pada model palka silinder menunjukkan bahwa permukaan air pada model palka silinder lebih dinamis dibandingkan pada model palka kotak. Apabila permukaan muatan cair di dalam palka sangat dinamis, maka kondisi kapal untuk

(8)

kembali tegak setelah gaya yang mengakibatkan gerakan rolling kapal hilang akan lebih sulit. Perlu diketahui bahwa walaupun palka sudah tidak diolengkan, akan tetapi gerakan fluida cair masih terus terjadi terlebih jika fluida cair tersebut terus bertubrukan dengan dinding pembatas.

(9)

Keterangan:

Palka B Palka A Rata air Palka B Rata air Palka A

(10)

Pada Gambar 35 disajikan profil permukaan air pada kedua model palka setelah 1 detik. Terlihat bahwa pada model palka kotak permukaan airnya relatif telah lebih banyak bagian yang telah sejajar dengan garis rata air dibandingkan dengan pada model palka silinder.

Keterangan:

Palka B Palka A Rata air Palka B Rata air Palka A Gambar 35 Profil permukaan air setelah 1 detik model palka kembali tegak.

(3) Waktu Redam

Waktu redam adalah lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air di dalam model palka, mulai dari saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air tersebut relatif tenang kembali atau stabil. Dari 10 kali pengukuran, terlihat bahwa waktu redam permukaan air pada model palka kotak adalah antara 9 - 13 detik. Adapun di model palka silinder waktu redam permukaan air adalah antara 27 - 37 detik. Dengan demikian waktu redam permukaan air di model palka kotak lebih kecil dibandingkan di model palka silinder. Bahkan dari data waktu redam, permukaan air pada model palka kotak rata-rata tiga kali lebih cepat stabil dibandingkan dengan permukaan air pada model palka silinder.

Waktu redam permukaan air yang lebih singkat pada model palka kotak dimungkinkan terjadi, mengingat profil ujung aliran permukaan air berada pada dinding palka yang landai sehingga tekanan balik pada ujung aliran saat bertubrukan dengan dinding palka tidak terlalu besar sehingga momen tubrukan antara aliran air di permukaan dengan dinding pembatas tidak terlalu besar. Kondisi inilah yang mengakibatkan waktu redam permukaan air pada model palka kotak lebih singkat

(11)

173

dibandingkan dengan di model palka silinder yang memiliki profil ujung aliran permukaan air pada dinding palka yang curam. Hal ini dibuktikan pula oleh ketinggian permukaan air terhadap garis rata air di model palka kotak yang cenderung lebih rendah daripada di model palka silinder selama 1 detik pengamatan. Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui bahwa waktu redam permukaan air pada model palka berbentuk kotak dengan pada model palka berbentuk silinder berbeda nyata. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 1.

Bentuk palka silinder yang lebih hidrodinamis dibandingkan dengan palka kotak, memungkinkan gerakan permukaan air di dalam palka silinder lebih dinamis. Hal ini disebabkan tidak ada bagian di dalam palka silinder yang dapat menghambat gerakan atau aliran muatan cair atau fluida cair tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka model palka berbentuk silinder memiliki efek free surface lebih besar dibandingkan pada palka berbentuk kotak.

5.1.2 Pengaruh sirip peredam terhadap efek free surface

Beberapa upaya telah dilakukan oleh manusia untuk mengurangi efek free

surface yang berlebihan saat membawa atau mengangkut muatan cair. Cara yang lebih

umum dilakukan adalah dengan memenuhi wadah dengan muatan cair hingga penuh sehingga tidak ada ruang kosong di antara permukaan muatan cair dengan tutup atau dinding atas wadah atau media.

Para pedagang ikan hias, sebelum menggunakan jirigen atau kantong plastik yang diisi air dan oksigen, telah menggunakan keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang dilapisi dengan cat kedap air. Keranjang tersebut memiliki dinding yang miring ke arah dalam sebagaimana terlihat pada ilustrasi yang disajikan pada Gambar 36. Saat keranjang tersebut dipikul dan dibawa berjalan oleh si pedagang, maka permukaan air di dalam keranjang tersebut akan bergerak bebas sesuai dengan arah ayunan keranjang. Semakin kuat gerakan keranjang ikan saat dipikul, maka akan semakin besar pula pergerakan free surface-nya. Akan tetapi dengan bentuk konstruksi keranjang yang demikian, maka pergerakan permukaan air menuju ke dalam keranjang. Kondisi ini memperkecil peluang tumpahnya air keluar dari keranjang.

(12)

(a) Tampak atas (b) Tampak samping

Gambar 36 Keranjang pengangkut ikan hias.

Pada prinsipnya, bentuk keranjang tersebut memungkinkan untuk membatasi gerakan aliran air. Demikian pula prinsip penggunaan bilge keel atau sirip kseimbangan yang dipasang di sisi luar badan kapal dan breakwater di pelabuhan. Pemasangan bilge

keel ini dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas kapal dengan cara menahan laju

gerakan rolling kapal. Adapun breakwater yang dipasang di depan jalur masuk ke kolam pelabuhan, berfungsi untuk menahan gelombang yang akan masuk ke kolam pelabuhan. Tertahannya gelombang oleh breakwater menjadikan gelombang yang masuk ke kolam pelabuhan telah memiliki energi yang jauh kecil dibandingkan dengan gelombang yang sebelum mengenai breakwater.

Terilhami dari bentuk media pengangkut ikan hias, sirip keseimbangan, dan

breakwater, maka peneliti mencoba memasang sirip yang akan dipasang di bagian

dalam dinding palka. Sirip tersebut diharapkan dapat menahan gerakan atau aliran air yang akan melewatinya, sehingga gerakan free surface dapat tertahan dan pada akhirnya akan teredam.

Prinsip kerja sirip peredam dapat dikatakan hampir sama dengan break water di pelabuhan, bilge keel pada kapal atau bentuk lengkung media pengangkut muatan cair pada keranjang pengangkut ikan hias. Break water yang di pasang di depan jalur kolam pelabuhan, berfungsi untuk mengurangi energi gelombang yang akan masuk ke kolam pelabuhan. Apabila energi gelombang (Ew) yang masuk ke dalam kolam pelabuhan

38 cm 43 cm 38 cm

(13)

175

dapat dikurangi bahkan jika mungkin Ew = 0, maka diharapkan tidak terdapat

gelombang di dalam kolam pelabuhan. Demikian pula bentuk lengkung di bagian atas pada keranjang pengangkut ikan hias, dimaksudkan untuk mengurangi energi yang timbul saat permukaan benda cair bergerak seiring dengan bergeraknya media yang ditempatinya. Adapun bilge keel pada kapal berfungsi untuk meredam pergerakan oleng kapal dengan menahan sejumlah luasan massa air yang tertahan oleh luasan permukaan bilge keel.

Sirip peredam dipasang di sisi bagian dalam di sekeliling dinding model palka (Gambar 14). Luas sirip peredam yang dipasang di dua sisi dinding bagian dalam model palka adalah sebesar lebar sirip peredam (ls) dikalikan dengan panjang seluruh

sirip peredam yang dipasang di sisi bagian dalam model palka. Panjang sirip peredam yang dipasang di sisi dinding dalam model palka terdiri dari dua ukuran, yaitu:

1) Ukuran panjang sirip peredam pertama (ps1) adalah = panjang palka (pp)

2) Ukuran panjang sirip peredam kedua (ps2) adalah = lebar palka (lp) dikurangi dua

kali lebar sirip peredam (ls), sehingga ps2 = lp – 2ls.

Dikarenakan dinding palka berbentuk kotak terdiri dari empat sisi, maka penentuan panjang sirip sebagaimana dijelaskan di atas mengakibatkan tiap ukuran panjang sirip peredam masing-masing terdiri dari dua unit. Oleh karena itu, maka luas sirip peredam adalah:

... (31) atau

... (32) dimana Asp adalah luas sirip peredam. Dengan demikian total luas sirip peredam yang

dipasang di sekeliling model palka dengan ukuran panjang palka (pp) × lebar palka (lp)

= 25 cm × 25 cm adalah sebesar {(50 cm × 2) + (42 cm × 2)} = 184 cm2. Adapun luas permukaan muatan liquid (Afs) di dalam model palka tersebut adalah sebesar 625 cm2.

Pada saat terjadi gerakan oleng, dapat dikatakan bahwa permukaan cair yang bergerak adalah seluas permukaan palka yaitu 625 cm2. Akan tetapi karena adanya sirip peredam yang dipasang di sekeliling dinding model palka yaitu tepat di bagian atas permukaan cair, maka permukaan liquid seluas sirip peredam yaitu 184 cm2 akan tertahan oleh sirip

(14)

peredam. Jika luas sirip peredam dibandingkan dengan luas permukaan cair yang terdapat di dalam model palka, maka akan diperoleh rasio sebagai berikut:

... (33)

Sehingga dapat dikatakan bahwa luas sirip peredam yang menghambat pergerakan free

surface adalah sebesar 29 % dari luas free surface.

Berdasarkan paparan di atas, maka kajian terhadap desain palka ini memiliki tujuan khusus yaitu: untuk mengetahui apakah penggunaan sirip peredam yang dipasang di sepanjang dinding dalam model palka mampu meredam efek free surface saat terjadi rolling ataukah tidak.

Selanjutnya efek free surface dalam penelitian ini akan ditinjau berdasarkan bentuk profil permukaan air pada saat terjadi gerakan oleng, dalam hal ini adalah implementasi dari dampak gerakan rolling kapal (diistilahkan sebagai ‘profil kemiringan’), dan profil permukaan air saat tidak ada lagi gerakan rolling hingga permukaan air relatif tenang (diistilahkan sebagai ‘profil diam’). Selain itu kajian juga dilakukan terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air mulai dari saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air relatif tenang atau stabil yang untuk selanjutnya diistilahkan sebagai ‘waktu redam’.

(1) Profil kemiringan permukaan air

Sebagaimana telah disampaikan dalam metode penelitian, profil kemiringan diper-oleh dengan menggerakkan jungkat-jungkit ke atas dan ke bawah hingga mencapai sudut sekitar 10º dengan periode oleng rata-rata selama 2 detik. Diperkirakan panjang lintasan gerakan rolling dari kemiringan di sisi kiri ke kemiringan di sisi kanan kapal dan kembali ke kemiringan di sisi kiri kapal sekitar 40º atau 0,698 radian. Pengamatan terhadap kemiringan permukaan air dilakukan saat palka mencapai kemiringan maksimal yaitu 10º ke kiri dan ke kanan. Beberapa contoh profil kemiringan permukaan air yang terjadi disampaikan pada Gambar 37. Pada gambar tersebut terlihat bahwa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak tanpa sirip peredam dan model palka kotak dengan sirip peredam memiliki profil yang berbeda. Profil permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam tidak terlalu miring jika dibandingkan dengan profil permukaan air pada palka tanpa sirip

(15)

177

peredam. Berdasarkan besarnya sudut yang terbentuk antara kemiringan permukaan air dengan garis rata air saat tidak terjadi rolling, terlihat bahwa sudut kemiringan permukaan air pada palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam lebih besar jika dibandingkan dengan sudut kemiringan permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Besarnya sudut kemiringan permukaan air pada kedua palka tersebut disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Sudut kemiringan permukaan air saat rolling Posisi

kemiringan

Data ke-

Kemiringan air (º) Beda

kemiringan (º) tanpa sirdam dengan sirdam

Kiri 1 5 3 2 2 5 2 3 3 5 3 2 4 6 3 3 5 5 2 3 6 6 4 2 7 5 3 2 8 5 3 2 9 6 3 3 10 5 3 2 Rata-rata kiri 5,3 2,9 2,4 Kanan 1 4 2 2 2 6 3 3 3 5 3 2 4 6 3 3 5 6 4 2 6 6 3 3 7 4 2 2 8 6 3 3 9 5 3 2 10 5 3 2 Rata-rata kanan 5,3 2,9 2,4

(16)

Kiri 1 Kanan 1 Kiri 2 Kanan 2 Kiri 3 Kanan 3 Kiri 3 Kanan 3 Keterangan:

dengan sirdam tanpa sirdam Rata air

Gambar 37 Profil permukaan air saat rolling.

Besar sudut kemiringan permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam berkisar antara 4 - 6º dengan sudut rata-rata sebesar 5,3º. Adapun besarnya sudut kemiringan permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam berkisar antara 2 - 3º dengan sudut rata-rata sebesar 2,9º. Perbedaan

(17)

179

kemiringan permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam dengan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam adalah berkisar antara 2 - 3º dengan perbedaan sudut rata-rata sebesar 2,4º. Berdasarkan hasil uji statistik, menunjukkan bahwa nilai Fhit > FTab, atau nilai P-Value < 0,05. Kondisi ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemiringan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam dan tanpa sirip peredam. Artinya penggunaan sirip peredam berpengaruh nyata terhadap perbedaan kemiringan air pada palkah. Analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 2.

Berdasarkan perbedaan sudut kemiringan permukaan air tersebut, maka diperkirakan bahwa keberadaan sirip peredam mampu menahan pergerakan free surface antara 40 - 60 %. Fenomena ini terjadi dikarenakan pada saat gerakan rolling terjadi,

free surface pada model palka tanpa sirip peredam mengalir dengan bebas ke arah

kemiringan palka hingga kondisi free surface kembali rata. Lain halnya dengan yang terjadi pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, saat terjadi gerakan rolling, free surface juga mengalir ke arah kemiringan palka. Akan tetapi sebelum kondisi free surface kembali rata, sirip peredam yang dipasang di dinding dalam palka menghambet.aliran free surface tersebut. Pada saet.aliran free surface tersebut mengenai sirip peredam, maka akan ada sebagian aliran

free surface tersebut yang tertahan oleh sirip peredam. Bukan saja tertahan, akan tetapi

juga terjadi refleksi dari aliran free surface yang mengenai sirip peredam. Refleksi aliran free surface yang terjadi biasanya memiliki gaya atau tekanan yang sama besarnya dengan gaya atau tekanan aliran free surface saat mengenai sirip peredam. Hanya saja arahnya berlawanan. Triatmodjo (1999) mengemukakan bahwa apabila gelombang mengenai dinding pembatas, maka akan terjadi refleksi gelombang. Dinding pembatas yang vertikal terhadap kedatangan gelombang dan tidak permeabel, akan memantulkan sebagian besar energi gelombang. Oleh karena itu tinggi gelombang yang dipantulkan sama dengan tinggi gelombang datang. Demikian pula lah yang terjadi pada aliran free surface di dalam palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Adanya refleksi aliran free surface yang tekanannya sama besar dengan tekanan aliran

free surface yang mengenai sirip peredam akan tetapi berlawanan arah, mengakibatkan

tertahannya aliran free surface yang berada dibelakangnya. Sehingga timbulah turbulensi yang pada akhirnya menghambat gerakan aliran free surface. Apabila luas penampang sirip peredam sebanding dengan luas aliran free surface yang mengenainya,

(18)

maka aliran free surface tidak melewati sirip peredam. Lain halnya jika luas sirip peredam lebih kecil dibandingkan dengan luas aliran free surface yang mengenainya, walaupun terjadi refleksi aliran free surface, sebagian aliran free surface yang tidak mengenai sirip peredam akan melewati sirip peredam tersebut. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa volume aliran free surface yang melewati sirip peredam tersebut jauh lebih sedikit dan dengan tekanan yang telah berkurang. Fenomena inilah yang diduga menjadi penyebab lebih kecilnya sudut kemiringan permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam dibandingkan pada palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam saat terjadi gerakan rolling.

Berdasarkan kajian terhadap profil permukaan air saat terjadi gerakan rolling, penggunaan sirip peredam dapat mengurangi besarnya sudut yang dibentuk oleh profil permukaan air saat oleng dengan pernukaan air saat tidak oleng. Jika dihubungkan dengan damping moment coefficient kapal, maka diperkirakan damping moment

coefficient pada kapal yang menggunakan palka yang tidak dilengkapi dengan sirip

peredam akan lebih besar dibandingkan dengan kapal yang menggunakan palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam. Sehingga kemampuan kapal dengan palka kotak tanpa sirip peredam untuk meredam gaya eksternal akan lebih kecil dibandingkan kapal dengan palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam. Mengecilnya kemampuan redam kapal akan mengakibatkan stabilitas kapal menurun dikarenakan dinamika kapal lebih dipengaruhi oleh gaya eksternal.

(2) Profil permukaan air sesaat setelah terjadi rolling

Kedua model palka tersebut diolengkan ke kanan dan ke kiri dengan cara menaik-turunkan jungkat-jungkit pada salah satu sisinya, dengan periode oleng selama 2 detik. Kemudian untuk selanjutnya kedua model palka tersebut diposisikan tegak kembali. Pengamatan mulai dilakukan terhadap profil permukaan air mulai saat posisi model palka tegak hingga 1 detik kemudian. Profil permukaan sesaat setelah posisi model palka ditegakkan (s= 0 detik ) dapat dilihat pada Gambar 38.

(19)

181

Gambar 38 Profil permukaan air saat model palka kembali tegak setelah rolling (0 detik).

Pada Gambar 38 terlihat bahwa profil permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam, sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, membentuk gelombang di salah satu ujung aliran free surface. Lain halnya dengan yang terjadi pada profil permukaan air di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Profil permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, banyak membentuk riak di sepanjang free surface. Bentuk free surface sesaat setelah kedua model palka kembali ditegakkan, dapat dilihat pada Gambar 39.

(a) (b)

Keterangan: (a) gelombang di permukaan model palka tanpa sirdam (b) riak di permukaan model palka dengan sirdam

Gambar 39 Profil permukaan air dilihat dari atas pada kedua model sesaat setelah gerakan rolling.

Riak di permukaan Gelombang

di

(20)

Pada Gambar 39 terlihat bahwa gerakan free surface pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam masih dapat bergerak bebas sehingga terbentuklah gelombang. Lain halnya pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, gerakan free surface tertahan oleh keberadaan sirip peredam tersebut. Sehingga refleksi aliran free surface mengakibatkan terjadinya tubrukan dengan aliran free surface yang berada di belakangnya, dan pada akhirnya mengakibatkan timbulnya riak pada permukaan. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap bentuk permukaan air serta ketinggian permukaan air pada profil permukaan air setiap 0,1 detik selama 1 detik (Gambar 40).

Pada Gambar 40 terlihat bahwa pada ordinat pengukuran tertentu, menjelang 1 detik pengamatan, pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, permukaan airnya semakin banyak yang telah menyamai garis rata air pada saat tidak ada gerakan. Berdasarkan ketinggian permukaan air pada ordinat pengukuran, terlihat bahwa ketinggian permukaan air pada ordinat-ordinat pengukuran pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam cenderung lebih rendah dibandingkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam. Jika dilihat dari bentuk profil permukaan yang terjadi, pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, permukaan airnya membentuk riak-riak kecil. Riak-riak kecil tersebut terbentuk karena seringnya aliran free surface bertubrukan dengan sirip peredam yang di pasang di sekeliling dinding palka. Saet.aliran free surface menabrak sirip peredam, maka aliran free surface akan terpecah sebagaimana yang terjadi pada gelombang yang menabrak breakwater.

Kondisi tersebut di atas, menunjukkan bahwa permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam tersebut lebih dinamis dibandingkan pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Apabila permukaan muatan cair di dalam palka sangat dinamis, maka kondisi kapal untuk kembali tegak setelah gaya yang mengakibatkan gerakan rolling kapal hilang akan lebih sulit. Perlu diketahui bahwa walaupun palka sudah tidak diolengkan, akan tetapi gerakan fluida cair masih terus terjadi terlebih jika fluida cair tersebut terus bertubrukan dengan dinding pembatas. Berdasarkan uji statistik, diperoleh nilai Fhit > FTab, atau nilai P-Value < 0,05. Artinya

bahwa terdapat perbedaan ketinggian riak air maksimum pada palka yang dilengkapi dengan sirdam dan tanpa sirdam. Dengan kata lain, bahwa penggunaan sirdam berpengaruh nyata terhadap perbedaan ketinggian riak air yang terjadi di dalam kedua

(21)

183

model palka. Data tinggi permukaan air tertinggi yang dihasilkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peradam dan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam disajikan pada Tabel 15. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 2. Tabel 15 Ketinggian riak air maksimum pada model palka yang tidak dilengkapi

dengan sirip peredam (non sirdam) dan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam (sirdam)

Waktu pengamatan

Ketinggian riak tertinggi dari rata garis air (mm)

detik ke- tanpa sirdam dengan sirdam

0,0 2,0 1,2 0,1 2,0 1,9 0,2 1,8 0,8 0,3 1,0 1,0 0,4 3,0 1,6 0,5 1,0 1,0 0,6 2,0 2,0 0,7 2,0 0,5 0,8 1,8 1,0 0,9 2,0 1,1 1,0 2,0 0,5

Pada Gambar 41 disajikan profil permukaan air pada kedua model palka setelah 1 detik. Terlihat bahwa permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam relatif telah banyak yang sejajar dengan garis rata air dibandingkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.

(22)

Keterangan: tanpa sirip peredam dengan sirip peredam Rata air

Gambar 40 Profil permukaan air setelah 0,1 – 0,9 detik model palka kembali tegak.

(23)

Gambar 41 Profil permukaan air setelah 1 detik palka kembali tegak.

(3) Waktu redam

Waktu redam adalah lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air di dalam model palka, mulai saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air tersebut kembali relatif tenang atau stabil. Pada Tabel 16 disajikan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air mulai dari saat gerakan rolling ditiadakan hingga relatif tenang atau stabil atau yang diistilahkan sebagai waktu redam. Dari tiga kali pengukuran terlihat bahwa waktu redam permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam adalah antara 14 – 18 detik. Adapun waktu redam di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam adalah antara 5 –7 detik. Dengan demikian waktu redam permukaan air di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam 2 – 3 kali lebih cepat dibandingkan di model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.

(24)

Tabel 16 Waktu redam permukaan air di dalam model palka Data ke- Tanpa sirip peredam (detik) Dengan sirip peredam (detik) 1 18 6 2 14 5 3 14 6 4 14 7 5 14 5 6 18 7 7 18 6 8 14 5 9 14 7 10 18 6 Rata-rata: 15,6 5,95

Pada kondisi yang normal, bentuk profil permukaan air sesaat setelah gerakan

rolling ditiadakan, seperti yang terjadi pada model palka yang tidak dilengkapi dengan

sirip peredam. Permukaan air terus bergerak bebas cenderung ke atas dinding pembatas searah gerakan rolling yang telah ditiadakan. Akan tetapi, pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, setiap gerakan air tertahan oleh permukaan sirip peredam. Tertahannya gerakan air inilah yang memungkinkan waktu redam pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam lebih cepat jika dibandingkan dengan model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.

Berdasarkan hasil kajian terhadap profil kemiringan permukaan air dan waktu redam, maka dapat dikatakan bahwa luas permukaan sirip peredam yang hanya sebesar 29 % dari luas free surface telah mampu meredam atau mereduksi efek free surface yang akan muncul saat terjadinya gerakan oleng pada kapal. Jika luas sirip peredam yang digunakan lebih dari 29 %, maka akan lebih banyak lagi free surface yang dapat ditahan oleh sirip peredam. Terlebih jika rasio luas sirip peredam dengan luas free

surface mencapai nilai 1, maka dikatakan tidak terdapat free surface. Kondisi ini sama

dengan kondisi dimana muatan liquid dimasukkan ke dalam palka hingga terisi penuh sehingga muatan liquid mengisi palka hingga ke dinding bagian atas palka. Selain itu pula, berdasarkan hasil kajian terhadap profil permukaan air di dalam model palka baik pada saat diolengkan maupun sesaat setelah dioleng, maka dapat diperkirakan bahwa

(25)

159

pemasangan sirip peredam pada sisi bagian dalam model palka mampu meredam efek

free surface hingga 40 – 60 %. Akan tetapi berdasarkan waktu redam, keberadaan sirip

peredam mampu meredam efek free surface antara 33,3 – 50 %.

5.2 Sistem Pemeliharaan Kualitas Air

Pada KPIH ‘Opened hull’, sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka dilakukan dengan menggunakan sistem sirkulasi. Sistem sirkulasi mengakibatkan terjadinya pertukaran air laut di dalam palka dengan air laut yang berasal dari luar badan kapal. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya pada kajian risiko KPIH ‘Opened

hull’, kualitas air laut di dalam palka sangat ditentukan oleh kualitas air laut yang

masuk. Berdasarkan saran langkah mitigasi risiko, sistem sirkulasi diganti dengan sistem resirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka. Pada kenyataannya, sistem resirkulasi adalah merupakan sistem pemeliharaan kualitas air yang biasa digunakan di bak-bak atau aquarium penampungan ikan. Penggunaan sistem tersebut dapat menjaga kestabilan kualitas air di dalam bak hingga waktu yang lama (lebih dari 1 minggu). Bahkan di toko-toko yang menjual ikan hias, terkadang di dalam akuarium hanya dimasukkan aerator yang berfungsi untuk menambah konsentrasi oksigen terlarut di dalam akuarium. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taufik et.al (2008), menyimpulkan bahwa sistem resirkulasi merupakan sistem pergantian air yang paling baik dalam pemeliharaan benih ikan betutu (Oxyeleotris

marmorata Blkr). Diduga, sistem resirkulasi inipun sesuai pula sebagai sistem

pergantian air dalam pemeliharaan benih ikan kerapu bebek.

Berdasarkan paparan di atas, maka dalam kajian sistem pemeliharaan kualitas air, akan dikaji kinerja dari sistem pemeliharaan kualitas air yang hanya dilengkapi dengan aerator (sistem aerasi), sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi. Oleh karena itu, kajian ini memiliki tujuan khusus yaitu untuk mendapatkan kinerja dari masing-masing sistem pemeliharaan kualitas air dalam menjaga kondisi fisik (konsentrasi oksigen terlarut/DO dan suhu air) dan kimia (nilai pH dan NH3 tak

terionisasi/un-ionized) air laut di dalam model palka.

Pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, terjadi pertukaran air di dalam model palka. Pertukaran air terjadi antara model palka dengan bak filter. Lain halnya dengan model palka yang

(26)

dilengkapi dengan sistem aerasi, tidak terjadi pertukaran air di dalam model palka tersebut.

5.2.1 Suhu air laut

Pengamatan terhadap suhu air laut di dalam model palka pada setiap sistem pemeliharaan kualitas air dilakukan pada suhu ruangan yang berkisar antara 24 - 25ºC. Hasil pengukuran suhu air laut pada setiap perlakuan, disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 42. Adapun nilai hasil pengukuran suhu air laut di dalam model palka pada ketiga sistem pemeliharaan kualitas air disajikan pada Tabel 17.

Gambar 42 Fluktuasi suhu air laut (selama 24 jam pengamatan)

Tabel 17 Rata-rata suhu air laut pada setiap sistem pemeliharaan kualitas air laut (ºC)

Jam Sistem pemeliharaan kualitas air

Resirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi

7:30 25,6 26,0 24,9 10:30 25,7 26,3 25,1 13:30 25,8 26,3 25,3 16:30 25,9 26,5 25,4 19:30 25,9 26,9 25,5 22:30 25,8 26,7 25,4 01:30 25,6 26,6 25,2 04:30 25,5 26,4 24,9 Rata-rata: 25,70 26,44 25,23

(27)

161

Pada grafik tersebut terlihat adanya perbedaan antara suhu air laut yang berada pada sistem aerasi, resirkulasi dan kombinasi resirkulasi-aerasi. Hal ini diperkuat dari hasil uji statistik yang menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 3. Pada grafik juga terlihat bahwa suhu air laut pada sistem aerasi lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu air laut pada sistem resirkulasi dan kombinasi aerasi-resirkulasi. Lebih rendahnya suhu air laut pada sistem aerasi dimungkinkan dapat terjadi. Kondisi isi disebabkan karena pada dua sistem lainnya terdapat pompa air yang pemasangannya berada di dalam bak filter. Selama mesin pompa air tersebut bekerja, mesin pompa tersebut menghasilkan panas yang selanjutnya mempengaruhi suhu air laut yang berada di sekitarnya. Air laut yang berada di dalam filter tersebut untuk selanjutnya dialirkan ke dalam model-model palka.

Jika dibandingkan antara sistem resirkulasi dan sistem kombinasi aerasi-resirkulasi, walaupun keduanya dilengkapi dengan pompa air yang dipasang di dalam bak filter, akan tetapi suhu air laut yang terdapat di dalam model palka berbeda. Suhu air laut pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi lebih besar jika dibandingkan dengan suhu air laut pada sistem kombinasi aerasi-resirkulasi. Kondisi ini diduga terjadi karena keberadaan aerasi yang melengkapi sistem kombinasi aerasi-resirkulasi turut membantu menurunkan suhu air laut di dalam model palka. Proses aerasi memungkinkan terjadinya pencampuran air yang lebih merata di dalam model palka. Pada model palka yang hanya dilengkapi dengan sistem resirkulasi, pencampuran massa air di dalam model palka tersebut hanya tergantung kepada aliran air yang masuk ke dalam model palka melalui saluran inlet dan keluar dari dalam model palka melalui saluran outlet.

Selanjutnya jika pada grafik tersebut ditarik garis ‘trend’, terlihat bahwa pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi cenderung untuk terus mengalami peningkatan suhu. Lain halnya dengan model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi dan kombinasi aerasi-resirkulasi, berdasarkan garis ‘trend’ terlihat bahwa model palka yang dilengkapi dengan kedua sistem tersebut tidak menunjukkan peningkatan suhu yang signifikan. Pada sistem aerasi dan kombinasi resirkulasi-aerasi, terlihat bahwa walaupun terjadi peningkatan suhu air laut, yaitu mulai siang atau sore hari, akan tetapi menjelang pagi hari, suhu air laut mulai mengalami penurunan. Pada sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, kisaran suhu air laut yang terjadi selama 24 jam

(28)

berkisar antara 25,5 – 25,9 ºC. Adapun kisaran suhu air laut pada sistem aerasi dan resirkulasi masing-masing berkisar antara 24,9 – 25,5 ºC dan 26,0 – 26,9 ºC. Berdasarkan perubahan suhu air laut yang terjadi di dalam model palka selama 24 jam, terlihat bahwa suhu air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi menunjukkan kestabilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem aerasi dan sistem resirkulasi.

Sun et.al (2007), dalam penelitiannya terhadap benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara), menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning pada kondisi air laut dengan kisaran suhu air antara 25,7 – 29,1ºC terlihat dalam kondisi normal. Normal yang dimaksud di sini adalah kondisi ikan terlihat sehat, aktivitas dan warna badan normal (FishVet.Inc., 2000). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketiga sistem pemeliharaan kualitas air tersebut dapat mempertahankan suhu air pada kisaran yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu.

5.2.2 Konsentrasi oksigen terlarut (Dissolved oxygen concentration)

Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya interaksi antara permukaan air dengan udara di atasnya, serta seberapa besar interaksi tersebut terjadi sehingga mengakibatkan masuknya oksigen dari udara ke dalam massa air. Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tumbuhan laut yang dapat memproduksi oksigen, seperti ganggang laut, phytoplankton dan sebagainya. Adapun pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air bergantung pada banyak atau sedikitnya organisme hidup yang menggunakan oksigen untuk mempertahankan hidupnya. Organisme hidup tersebut mulai dari yang berukuran kecil seperti plankton, hingga berukuran besar seperti ikan. Pada Gambar 43 disajikan hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka pada setiap perlakuan, dan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang terukur disajikan pada Tabel 18.

(29)

163

Gambar 43 Fluktuasi konsentrasi oksigen terlarut (selama 24 jam pengamatan)

Tabel 18 Rata-rata nilai konsentrasi oksigen terlarut pada setiap perlakuan (mg O2/liter)

Jam Sistem pemeliharaan kualitas air

Rersirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi

7:30 6,8 6,6 6,5 10:30 6,8 6,5 6,6 13:30 6,7 6,5 6,6 16:30 6,7 6,5 6,6 19:30 6,6 6,4 6,5 22:30 6,6 6,4 6,5 1:30 6,5 6,5 6,5 4:30 6,6 6,5 6,5 Kisaran: 6,5 – 6,8 6,4 – 6,6 6,5 – 6,6 Rata-rata: 6,66 6,49 6,54

Pada Gambar 43 terlihat bahwa berdasarkan kisaran nilai konsentrasi oksigen terlarut pada setiap perlakuan, menunjukkan adanya perbedaan. Berdasarkan uji statistik pun menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang dihasilkan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 3.

Berdasarkan hasil uji Tukey (Beda Nyata Jujur), sistem kombinasi resirkulasi-aerasi memberikan dampak yang berbeda bila dibandingkan dengan sistem resirkulasi dan aerasi. Mengacu pada nilai rata-rata yang terdapat pada Tabel 18, terlihat bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi menghasilkan konsentrasi oksigen terbesar

(30)

dibandingkan dengan dua sistem lainnya. Adapun hasil uji Tukey (Beda Nyata Jujur) terhadap sistem resirkulasi dan aerasi, keduanya tidak memberikan dampak yang berbeda nyata terhadap konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka. Hal ini terlihat pula dari nilai rata-rata dan nilai kisaran konsentrasi oksigen terlarut dari kedua sistem tersebut.

Mengacu pada perubahan nilai konsentrasi oksigen terlarut dengan pengukuran selama 24 jam, terlihat bahwa pada setiap perlakuan ada kecenderungan yang sama, yaitu nilai konsentrasi oksigen terlarutnya cenderung bertambah besar mulai saat siang hari dan kembali turun menjelang sore hari. Hasil pengukuran suhu air laut sebelumnya juga menunjukkan bahwa pada siang hari terjadi peningkatan suhu air laut dan menjelang sore hari suhu air mulai mengalami penurunan. Apabila dikaitkan antara suhu air dan konsentrasi oksigen terlarut, maka dapat dikatakan bahwa peningkatan suhu air akan berakibat pada meningkatnya konsentrasi oksigen terlarut, demikian pula sebaliknya, penurunan suhu air akan berakibat pada menurunnya konsentrasi oksigen terlarut.

Beberapa penelitian yang terkait dengan kebutuhan ikan akan jumlah konsentrasi oksigen terlarut di lingkungan hidupnya, diantaranya adalah Langkosono (2006), Pescod dan Okun (1973), Huet (1971) dan Sun et.al (2007). Langkosono (2006) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang baik bagi ikan kerapu adalah 3,95-4,28 ml/liter, sedangkan Sun et.al (2007) menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara) masih tetap dalam kondisi normal pada kondisi air laut dengan konsentrasi oksigen terlarut di atas 6 mg O2/liter. Normal yang dimaksud di

sini adalah kondisi ikan terlihat sehat, aktivitas dan warna badan normal serta kondisi berkelompok (FishVet.Inc., 2000). Adapun Pescod dan Okun (1973) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang baik bagi kehidupan ikan harus lebih dari 2 ppm. Terkait dengan jumlah konsentrasi oksigen yang dibutuhkan selama pengangkutan, Huet (1971) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut minimal yang masih dapat ditoleransi oleh ikan selama pengangkutan berkisar antara 2 – 3 mg/liter. Mengacu pada beberapa hasil penelitian di atas, berdasarkan kisaran nilai konsentrasi oksigen terlarut yang dihasilkan oleh ketiga sistem pemeliharaan kualitas air sebagaimana disajikan pada Gambar 37, maka dapat dikatakan bahwa ketiga sistem

(31)

165

tersebut mampu mempertahankan konsentrasi oksigen terlarut dengan kisaran nilai yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu.

5.2.3 Amoniak tak terionisasi (NH3 un-ionized)

NH3 un-ionized merupakan zat yang bersifat racun bagi ikan. NH3 un-ionized

tersebut akan lebih bersifat racun lagi apabila terdapat pada perairan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah (Boyd, 1982). Gowen and Bradbury (1987) dalam Leung et al (1999), menyatakan bahwa lebih dari 50 % nitrogen yang masuk ke dalam sistem budidaya perikanan laut adalah merupakan hasil pembuangan. Boyd (1992) menyatakan bahwa amoniak adalah produk sisa metabolisme yang utama dari ikan, dikeluarkan melalui insang dan urine. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa organisme hidup yang tinggal di dalam perairan tidak saja organisme yang berukuran besar, akan tetapi juga organisme yang berukuran kecil yang mungkin saja tidak terlihat secara kasat mata, seperti misalnya phytoplankton dan zooplankton.

Pada Gambar 44 dan Tabel 19 menunjukkan hasil pengukuran amoniak

un-ionized di awal, tengah dan di akhir pengamatan pada setiap sistem pemeliharaan

kualitas air.

(32)

Tabel 19 Rata-rata hasil pengukuran NH3 un-ionized (mg/liter)

Contoh air saat di

Sistem pemeliharaan kualitas air

Resirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi

Awal 0,013 0,013 0,013

Tengah 0,009 0,008 0,015

Akhir 0,015 0,011 0,025

Gambar 44 menunjukkan nilai NH3 un-ionized dari setiap contoh air yang

diambil di awal, tengah dan akhir pengamatan. Pada grafik terlihat bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dan sistem resirkulasi yang sama-sama dilengkapi dengan sistem filter, menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada kedua sistem tersebut, konsentrasi NH3 un-ionized di tengah pengamatan cenderung menurun, dan kembali

meningkat pada akhir pengamata. Penurunan jumlah konsentrasi NH3 un-ionized

terbesar (saat di tengah pengamatan) terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi yaitu sebesar 0,005 mg/liter. Adapun penurunan jumlah konsentrasi NH3

un-ionized terkecil terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem kombinasi

resirkulasi-aerasi yaitu sebesar 0,004 mg/liter. Akan tetapi peningkatan konsentrasi NH3 un-ionized di akhir pengamatan, peningkatan terbesar terjadi pada air laut yang

dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, yaitu sebesar 0,006 mg/liter. Adapun peningkatan konsentrasi NH3 un-ionized di dalam air laut yang dilengkapi

dengan sistem resirkulasi sebesar 0,003 mg/liter. Lain halnya dengan konsentrasi NH3

un-ionized pada air laut yang dilengkapi dengan sistem aerasi terus mengalami

peningkatan mulai dari awal hingga akhir pengamatan.

Berdasarkan kondisi perubahan jumlah konsentrasi NH3 un-ionized di awal,

tengah dan akhir pengamatan di setiap sistem pemeliharaan kualitas air, terlihat bahwa keberadaan filter dan air stone diduga memiliki peranan dalam setiap fenomena perubahan jumlah konsentrasi NH3 un-ionized di ketiga sistem pemeliharaan kualitas air

tersebut. Peranan filter dalam sistem pemeliharaan kualitas air dipastikan dapat mereduksi jumlah konsentrasi NH3 un-ionized di dalam air. Akan tetapi timbulnya

gelembung udara yang disebabkan oleh keberadaan air stone di dalam model palka, diduga sebagai pemicu terjadinya peningkatan aktivitas mikro organisme yang telah ada di dalam air. Meningkatnya aktivitas suatu organisme, umumnya disertasi dengan meningkatnya ekskresi dari organisme itu sendiri.

(33)

167

Apabila konsetrasi amoniak pada lingkungan meningkat, maka ekskresi amoniak pada ikan akan menurun sehingga kadar amoniak dalam darah dan jaringan akan meningkat. Ikan yang terus menerus terekspos amoniak pada kosentrasi lebih dari 0,02 mg/liter, dapat menurunkan ketahanan hidup ikan terhadap penyakit (Boyd, 1992). Mengacu pada kadar amoniak sebagaimana dijelaskan oleh Boyd (1992), sistem aerasi dikhawatirkan tidak dapat menahan peningkatan kadar amoniak di dalam air. Terlebih pada saat pengukuran amoniak di akhir pengamatan, kadar amoniak dalam air laut di dalam model palka yang masih belum diisi ikan, telah mencapai nilai 0,025 mg/liter.

5.2.4 Kadar pH

Kadar pH dalam air berperan penting dalam menjaga kelangsungan metabolisme dan fisiologi biota yang hidup di dalam air (Parra and Baldisserotto. 2007). Kadar pH yang ekstrim memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan (Zweigh et.al, 1999), dan terkadang dapat mengakibatkan kematian massal dalam suatu budidaya ikan. Perubahan kadar pH yang ekstrim bagi suatu organisme air dapat menyebabkan kemerosotan fungsi jaringan pada insang dan meningkatkan produksi lendir, yang pada akhirnya akan membunuh ikan karena ikan mengalami sesak napas (asphyxia ) (Boyd, 1990 dalam Filho et.al, 2009). Tingkat sensitifitas ikan terhadap kadar pH yang ekstrim sangat bervariasi, tergantung kepada jenis ikan dan usia ikan (larva, juvenil atau dewasa) (Lloyd and Jordan, 1964 dalam Filho et.al, 2009). Filho

et.al (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh kadar pH dalam air terhadap

ketahanan hidup larva Prochilodus lineatus, menunjukkan bahwa larva tersebut dapat bertahan hidup pada kisaran pH antara 4,8 – 9,2. Pada Tabel 20 disajikan hasil pengukuran pH pada setiap kombinasi perlakuan. Untuk mempermudah penilaian, maka nilai pH hasil pengukuran disajikan dalam bentuk grafik sebagaimana tertera pada Gambar 45.

(34)

Gambar 45 Fluktuasi nilai pH (hasil pengukuran selama 24 jam pengamatan)

Tabel 20 Nilai pHhasil pengukuran selama 24 jam pengamatan

Jam Sistem pemeliharaan kualitas air

Resirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi

7:30 8,02 8,09 8,15 10:30 8,03 8,08 8,18 13:30 8,04 8,07 8,19 16:30 8,07 8,01 8,20 19:30 8,04 7,98 8,16 22:30 8,08 7,99 8,18 1:30 8,08 7,98 8,16 4:30 8,08 7,99 8,17 Kisaran: 8,02-8,08 7,98-8,09 8,15-8,20 Rata-rata: 8,06 8,02 8,17

Berdasarkan grafik yang disajikan pada Gambar 45, nampak terlihat bahwa nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dengan sistem resirkulasi tidak berbeda siknifikan. Lain halnya dengan nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi, menunjukkan adanya perbedaan yang cukup siknifikan dengan nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dan sistem resirkulasi. Hal ini dipertegas dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Tukey (Beda Nyata Jujur) yang disajikan pada Lampiran 3.

Berdasarkan rata-rata nilai pH sebagaimana disajikan pada Tabel 20, terlihat bahwa nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi

(35)

169

memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai pH air laut di kedua sistem lainnya. Adapun nilai pH pada air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi, berdasarkan rata-rata nilai pH, memiliki kisaran yang paling rendah dibandingkan dengan dua sistem pemeliharaan kualitas air lainnya. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi lebih bersifat basa di bandingkan dengan kondisi air laut di kedua sistem lainnya.

Walaupun memiliki perbedaan kisaran nilai pH, akan tetapi semua kisaran nilai pH tersebut masih berada pada kisaran yang normal bagi benih ikan kerapu. Sun et.al (2007), dalam penelitiannya terhadap benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara), menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning pada kondisi air laut dengan kadar pH antara 7,56 – 8,90 terlihat dalam kondisi hidup yang normal. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa ketiga sistem pemeliharaan dapat mempertahankan kadar pH pada kisaran yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu.

Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat dikatakan bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, sistem resirkulasi dan sistem aerasi dapat menjaga kestabilan nilai konsentrasi oksigen terlarut, suhu air dan nilai pH air laut di dalam model palka. Berdasarkan perubahan nilai konsentrasi NH3 un-ionized, sistem resirkulasi memiliki

kinerja yang lebih baik dalam mempertahankan kestabilan nilai konsentrasi NH3

un-ionized.

5.3 Densitas Benih Ikan Kerapu Bebek Berdasarkan Kebutuhan Konsumsi Oksigen

Dalam FAO Document Repasitory tentang Transport of Fish Seed and Brood Fish, turunnya kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen) dalam air karena respirasi ikan, dan hiperaktivitas dan stress karena penanganan dan ruang terbatas merupakan dua dari beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kematian ikan selama transportasi. Oleh karena itu, densitas benih ikan yang optimal dalam suatu volume air sangat mempengaruhi tingkat ketahanan hidup ikan selama transportasi. Santoso (2007) mengemukakan bahwa laju pemakaian oksigen oleh ikan hidup tidak saja dipengaruhi oleh bobot ikan dan suhu air, akan tetapi juga ditentukan oleh tingkat kepadatan ikan dalam suatu volume air tertentu.

(36)

Beberapa penelitian telah dilakukan sehubungan dengan densitas ikan dan benih ikan dalam sistem transportasi ikan hidup, diantaranya Harianto (2003), Slamet et.al (2002), Suriansyah et.al (2006) dan Purwaamidjaja (2006). Akan tetapi penelitian yang telah dilakukan adalah penentuan densitas ikan atau benih ikan dalam transportasi tertutup. Kondisi saat ini, penentuan densitas benih ikan dalam transportasi yang menggunakan KPIH, hanyalah berdasarkan kebiasaan semata. BPPT (2008) dalam kajian desain KPIH, memperhitungkan densitas ikan dalam palka berdasarkan kapasitas produksi dari tiap unit karamba jaring apung (KJA).

Densitas benih ikan yang terlalu padat atau besar, akan mengakibatkan ketersediaan oksigen terlarut di dalam palka akan berkurang karena banyak yang terkonsumsi oleh benih ikan yang ada. Apabila benih ikan mengalami kekurangan oksigen, maka dapat dipastikan benih ikan akan mulai memasuki fase stres. Apabila benih ikan mengalami stres, maka produksi amoniak sebagai hasil sekresi benih ikan akan berlebih sehingga akan mempengaruhi kualitas air laut di sekitar benih ikan. Peningkatan amoniak di air, akan terakumulasi seiring dengan semakin tinggi tingkatan stres benih ikan yang pada akhirnya tidak saja mengakibatkan peningkatan konsentrasi amoniak, akan tetapi juga akan meningkatkan suhu dan menurunkan pH air di sekitar benih ikan itu berada. Semakin buruk kualitas air di sekitar benih ikan, maka akan semakin berkurang ketahanan hidup benih ikan. Sehingga tingkat risiko kematian benih ikan akan semakin besar.

Konsentrasi oksigen dalam air merupakan salah satu faktor lingkungan yang harus tersedia di lingkungan dimana ikan (termasuk benih ikan) tersebut berada. Ketersediaan oksigen terlarut di lingkungan merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang dapat menyebabkan ikan (termasuk benih ikan) stres. Ikan yang stres akan mengalami penurunan kualitas hidup ikan. Kajian yang dilakukan pada sub bab 5.3 ini adalah merupakan kajian mitigasi tingkat risiko yang bersumber dari densitas benih ikan yang diduga akan berdampak pada kesediaan dan kestabilan konsentrasi oksigen terlarut dalam air di dalam palka. Oleh karena itu, kajian ini memiliki tujuan khusus yaitu: untuk menghitung tingkat konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL) dan menentukan densitas benih ikan kerapu bebek dalam satu liter air.

(37)

171

5.3.1 Konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis)

Pembahasan tentang konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek, dilengkapi dengan pembahasan tentang perubahan suhu air laut, konsentrasi NH3 un-ionized dan

tingkah laku ikan kerapu bebek selama di dalam tabung respirometer. Tujuannya adalah untuk mendukung hasil pengukuran konsumsi oksigen benih ikan yang diperoleh.

(1) Suhu air laut selama pengukuran

Pada Gambar 46 disajikan grafik hasil pengukuran suhu air rata-rata pada kondisi Kk, Ii dan Ik dalam tabung respirometer selama 2 jam pengamatan. Nilai yang

ditunjukkan pada masing-masing grafik tersebut adalah merupakan nilai pengukuran dari hasil tiga kali pengukuran.

Gambar 46 Perubahan suhu air laut rata-rata selama 120 menit (2 jam) pada kondisi Ii, Ik dan kosong.

Pada Gambar 46 terlihat bahwa suhu ruang selama pengamatan tidak mengalami perubahan. Dapat dipastikan bahwa perubahan suhu air laut tidak dipengaruhi oleh faktor luar. Terlihat pula bahwa hasil pengukuran suhu air laut selama 2 jam pengamatan, baik pada kondisi Kk, Ii dan Ik, mengalami peningkatan.

Pada kondisi Ii, perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan berkisar

antara 0,7 – 0,9 ºC. Adapun pada kondisi Ik, perubahan suhu air laut selama 2 jam

(38)

dibandingkan dengan kondisi Ik, maka terlihat bahwa pada kondisi Ik mengalami

perubahan suhu air laut yang lebih besar dibandingkan pada kondisi Ii. Kondisi ini

dapat dipahami karena pada kondisi Ik, perubahan suhu air laut merupakan penjumlahan

dari aktivitas yang dilakukan oleh tiga ekor benih ikan di dalam tabung respirometer. Sedangkan pada kondisi Ii, perubahan suhu air laut hanya disebabkan oleh aktivitas satu

ekor benih ikan. Selanjutnya jika hasil pengukuran pada kondisi Ii dan Ik dirata-ratakan,

maka terlihat bahwa suhu air pada saat pengukuran Ik mencapai 2 hingga 3 kali suhu air

pada pengukuran Ii.

Pada Gambar 46 terlihat pula bahwa pada kondisi Kk, suhu air laut selama 2 jam

pengamatan tetap mengalami perubahan. Berdasarkan hasil pengukuran, diketahui bahwa perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan pada kondisi Kk berkisar

antara 0,6 – 0,7 ºC. Perubahan suhu air laut tersebut walaupun di dalam tabung respirometer tidak terdapat benih ikan, kuat dugaan hal ini disebabkan adanya mesin pompa yang di tempatkan di salah satu tabung respirometer. Selama bekerja, mesin pompa menghasilkan panas yang selanjutnya mempengaruhi suhu air di sekitarnya. Dugaan ini diperkuat dari hasil pengukuran suhu air laut di dalam tabung respirometer yang tidak dilengkapi dengan mesin pompa. Pengukuran suhu air laut di dalam tabung respirometer juga dilakukan selama 2 jam. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa suhu air di dalam tabung respirometer tersebut di awal pengukuran tetap sama dengan saat setelah 2 jam pengamatan, yaitu sebesar 27,2 ºC pada suhu ruang 27,0 ºC. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa perubahan suhu air pada kondisi Ii dan Ik adalah tidak

sepenuhnya diakibatkan oleh adanya aktivitas benih ikan di dalamnya, akan tetapi juga karena adanya mesin pompa yang saat bekerja menghasilkan panas.

Apabila suhu air laut pada kondisi Ii dan Ik dikurangi dengan suhu air laut pada

kondisi Kk, maka hasil pengurangan tersebut adalah merupakan suhu air laut yang

disebabkan oleh aktivitas benih ikan. Dengan demikian, perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan yang disebabkan oleh aktivitas benih ikan pada kondisi Is

berkisar antara 0,1 – 0,3 ºC. Adapun perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan yang disebabkan oleh aktivitas benih ikan pada kondisi Ik adalah berkisar antara 0,2 –

0,4 ºC. Secara sederhana, dapat dihitung besarnya kontribusi tiap benih ikan terhadap perubahan suhu air pada kondisi pengukuran Ik, yaitu sebesar 0,07 - 0,13 ºC per benih

(39)

173

suhu air yang disebabkan oleh individu benih ikan yang berada tidak sendiri di dalam tabung respirometer (Ik) lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi perubahan suhu air

yang disebabkan oleh individu benih ikan yang berada sendiri di dalam tabung respirometer (Ii). Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan nilai Fhit > Ftab. Hasil ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kontribusi suhu yang dihasilkan oleh individu benih ikan pada kondisi Ii dengan individu benih ikan pada kondisi Ik. Hasil uji statistik

disajikan pada Lampiran 4.

Inoue et.al (2008) dan Chandroo et.al (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas ikan pada saat ikan mengalami stres. Stres dapat mengakibatkan meningkatnya produksi amoniak dan peningkatan suhu tubuh pada ikan. Grøttum and Sigholt (1998) menyebutkan bahwa metabolisme individu ikan dalam tabung respirometer lebih tinggi dibandingkan dengan di kolam budidaya. Tingkat stres yang tinggi dalam tabung respirometer diduga sebagai penyebab meningkatnya metabolisme dalam tubuh benih ikan. Kondisi ini disebabkan keterbatasan ruang gerak benih ikan di dalam tabung respirometer yang berbeda dengan kondisi normal keberadaan benih ikan baik di bak penampungan atau keramba apung atau alamnya. Budidaya pembenihan ikan kerapu bebek biasanya dilakukan dalam keramba jaring apung atau bak penampungan. Benih-benih ikan tersebut ditempatkan tidak sendirian akan tetapi bersama ratusan hingga ribuan benih ikan kerapu lainnya dalam satu unit penampungan. Kondisi benih ikan yang dimasukkan ke dalam tabung respirometer yang memiliki volume terbatas diduga menjadi penyebab meningkatnya metabolisme benih ikan akibat stres sehingga pada akhirnya menyebabkankan peningkatan suhu air selama pengukuran. Walaupun demikian ketidaksendirian benih ikan di dalam tabung respirometer, diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat stres benih ikan yang terjadi. Lebih rendahnya tingkat stres yang muncul, mengakibatkan peningkatan metabolisme dan suhu tubuh benih ikan tidak terlalu besar.

(2) Konsentrasi oksigen terlarut

Walaupun individu benih ikan yang dimasukkan ke dalam tabung respirometer pada setiap pengukuran dan kondisi pengukuran tidaklah sama, akan tetapi kesemua benih ikan tersebut memiliki ukuran TL antara 5 – 7 cm. Penggunaan benih ikan yang berbeda pada setiap pengukuran dan kondisi pengukuran dimaksudkan untuk

(40)

menghindari pengaruh faktor keterbiasaan ikan di dalam tabung respirometer yang mungkin dapat terjadi. Ukuran panjang dan berat tiap benih ikan kerapu bebek yang digunakan disajikan pada Tabel 21. Pada tabel tersebut terlihat bahwa benih ikan kerapu bebek yang berukuran TL antara 5 - 7 cm, memiliki kisaran berat tubuh antara 3,35-3,86 gram per benih ikan. Adapun tinggi badan ikan yang diukur dari bagian perut paling bawah hingga bagian punggung paling atas adalah berkisar antara 2,5-2,8 cm. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ukuran benih ikan kerapu yang digunakan relatif sama besar.

Pada Gambar 47, disajikan grafik hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut (DO) rata-rata dari masing-masing kondisi Kk, Ii dan Ik.

Tabel 21 Panjang dan berat ikan kerapu bebek yang dijadikan contoh uji

Kondisi Pengukuran Ukuran Benih Ikan Kerapu Bebek

Panjang (cm) Berat (gram)

Ii ke-1 6,5 3,47 ke-2 6,6 3,55 ke-3 6,8 3,58 Ik ke-1 6,8 3,40 6,9 3,62 6,1 3,35 ke-2 6,8 3,55 6,9 3,86 6,7 3,43 ke-3 6,7 3,63 6,8 3,70 6,7 3,51

Gambar

Gambar 32  Profil permukaan air saat rolling.
Gambar 34   Profil permukaan air 0,1 - 0,9 detik setelah model palka kembali tegak.
Gambar 35   Profil permukaan air setelah 1 detik model palka kembali tegak.
Gambar 36   Keranjang pengangkut ikan hias.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel diatas, menunjukkan bahwa dari 17 perawat shift siang, ada 12 orang perawat sebelum shift pagi memiliki tekanan darah sistolik normal, serta 12 perawat

Hasil analisis daya cerna protein menunjukkan produk PSB (dodol) sukun dan kue satu memiliki nilai daya cerna protein yang cukup tinggi.. Sedangkan hasil analisis

Kompetisi merupakan cara yang paling efektif untuk memperoleh pengadaan yang efisien dan efektif (best value for money). Pelelangan dapat diartikan sebagai proses pengadaan

Dalam bukunya yang berjudul Pengembangan Kurikulum: Teori &amp; Praktik (2011), Idi memaparkan mengenai beberapa model pengembangan kurikulum, diantaranya: 1) model Ralp Tyler;

SK SK Addendum Tanggal Nama IUPHHK-HT Pola Luas Kelas Aktifitas Sulawesi Tengah SK.. RESUME IUPHHBK-HT MENURUT

Pola perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi petani SPPQT tidak dilakukan dengan mengubah struktur yang ada, melainkan mempergunakan struktur yang ada dan

PT Nyonya Meneer menilai seorang wanita itu adalah sosok yang spesial, oleh karena itu seorang wanita dari remaja harus bisa merawat diri, sehingga hasilnya dapat dinikmati baik

Asrama atau mess merupakan bangunan berpetak-petak untuk tempat tinggal bagi kelompok orang untuk sementara waktu, terdiri atas sejumlah kamar, dan dipimpin oleh seorang