• Tidak ada hasil yang ditemukan

KANDUNGAN SURAH AL- AṢR/ 103: 3 (TELAAH TAFSIR FĪ ẒILĀL AL-QUR ĀN) Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KANDUNGAN SURAH AL- AṢR/ 103: 3 (TELAAH TAFSIR FĪ ẒILĀL AL-QUR ĀN) Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN SURAH AL-‘AṢR/ 103: 3 (TELAAH TAFSIR FĪ ẒILĀL AL-QUR’ĀN)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Muhammad Futuh Syihab 11140340000098

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2021 M /1442 H

(2)
(3)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING KANDUNGAN SURAH AL-‘AṢR/ 103: 3 (TELAAH TAFSIR FĪ ẒILĀL AL-QUR’ĀN)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Muhammad Futuh Syihab NIM: 11140340000098

Pembimbing,

Dr. Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A.

NIP. 19770120 200312 1 003

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)
(5)
(6)
(7)

vii HH

(8)
(9)

ix ABSTRAK Muhammad Futuh Syihab, NIM 11140340000098

KANDUNGAN SURAH AL-‘AṢR/ 103: 3 (TELAAH TAFSIR FĪ ẒILĀL

AL-QUR’AN).

Waktu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kehidupan manusia. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa term yang menunjukan waktu, seperti waqt, dahr, ajal, sā’ah, ‘aṣr, ḥīnd dan yaum. Sangat banyak lafal yang memiliki arti waktu di dalam al-Qur’an. Karena itu tidak sedikit para mufassir yang memiliki perbedaan dalam menafsirkan. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan ayat ke-3

ۙە ِ قَحْلاِب ا

ْوَصا َوَت َو ِت ٰحِلّٰصلا اوُلِمَع َو ا ْوُنَمٰا َنْيِذَلا

َلِّا

(

) ِرْبَصلاِب ا ْوَصا َوَت َو

dalam surah al-‘Aṣr menurut Sayyid Quṭb.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian pustaka yang mengkaji penafsiran Sayyid Quṭb tentang surah al-‘Aṣr/ 103: 3. Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, serta mengeksplorasi secara mendalam terhadap penafsiran surah al-‘Aṣr. Sayyid Quṭb memahami kata al-‘aṣr sebagai sebuah manhaj (tata cara). Yaitu berupa kenikmatan besar yaitu berupa umur (waktu) yang Allah berikan kepada manusia, untuk terus beribadah kepada Allah ṣubḥāna wa ta’ālā agar dapat terhindar dari kerugian baik di dunia maupun di akhirat yang tergambar dalam ayat ke-3. Khusr, dalam Fī Ẓilāl al-Qur’an Sayyid Quṭb mengatakan, kerugian yang dimaksud adalah, kalahnya umat manusia di zaman sekarang dalam memerangi antara yang baik dan buruk, lupa akan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad, dan lebih mementingkan hawa nafsu. Iman yang dimaksudkan dalam surah ini menurut Sayyid Quṭb bukanlah pengertian iman menurut fiqih (pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dibuktikan dengan perbuatan), tetapi yang dimaksudkan iman dalam surah al-‘Aṣr yaitu, karakter dan nilai dalam kehidupan. Menurut Sayyid Quṭb amal saleh merupakan buah alami bagi iman, dan pengembangan yang didorong oleh adanya inti kepercayaan yang kuat di dalam hati. Sayyid Quṭb menggambarkan menasihati dalam kebenaran dalam tafsirnya sebagai bentuk keberadaan umat Islam dengan bentuk yang khas. Sayyid Quṭb mengatakan menasehati dalam kesabaran ini dapat meningkatkan kekuatan. Karena dapat membangkitkan kesadaran kesamaan tujuan, dan saling mendukung satu sama lain.

(10)
(11)

xi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah subḥāna wa ta’ālā yang telah memberikan kemampuan kepada penulis, sehingga berkat rahmat dan kasih sayang-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam hanya tercurah kepada baginda Nabi Muhammad saw yang telah mendobrak pintu kebatilan dan kezaliman menuju kemerdekaan.

Adapun judul skripsi ini “Kandungan surah al-‘Aṣr/ 103: 3 (Telaah Tafsir Fī Ẓilāl Al-Qur’an)”, penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Agama di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Atas dukungan dan kontribusi dari beberapa pihak, baik moril maupun materil. Penulis merasa berhutang budi dan tidak mampu membalasnya. Maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Amany Lubis, MA. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memimpin dan mengelola penyelenggaraan pendidikan sebagaimana mestinya.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta staf pembantu dekan, yang telah mengkoordinir penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat di fakultas.

3. Dr. Eva Nugraha, M,Ag. Ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir juga Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH. Sekretaris Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, yang selalu memfasilitasi, ikhlas, memberikan contoh yang baik dan tak pernah lelah memotivasi, semoga Allah subḥāna wa ta’ālā membalas kebaikan beliau dan memberikan keberkahan.

4. Dr. Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A. Dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar membimbing penulis, untuk beliau semoga Allah subḥāna wa ta’ālā memberikan keberkahan dan menambahkan ilmunya.

(12)

5. Hasanuddin, M.A. Dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran-saran ataupun arahan selama penulis duduk dibangku perkuliahan. 6. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat, khususnya program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang ikhlas, tulus dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berintelektual.

7. Keluarga besar kakek Akib, kakek Sonip, kakek Killin, kakek Asy’ari, paman, bibi, nenek, sepupu, dan saudara-saudari. Penulis ucapkan terimakasih atas bantuan serta dukungan, perhatian, dan do’a.

8. Kepada keluarga besar Pondok Pesantren Miftahul ‘Ulum Belendung dan Santriwan/i, terimakasih banyak atas dukungan dan do’a kalian. Semoga kita menjadi Santriwan/i yang dapat membagakan kedua orang tua, bangsa dan negara. Terkhusus kepada KH. Syarifuddin Abdul Ghani (alm), KH. ‘Alawi Zain (alm), KH. Syaharuddin Akib, dan lain-lain, terimakasih atas ilmu-ilmu yang sudah diberikan kepada penulis. Allah pasti menempatkan kedua KH penulis ke dalam syurga.

9. Kepada adik-adik ku, Mushfi’atushalihah dan Faiha Fahmiah, terimakasih yang sebesar-besarnya telah mendoakan abang mu ini, dan sudah sabar menunggu abang kalian ini menjadi Sarjana, semoga kita menjadi anak yang sholeh dan sholehah serta dapat membanggakan ayah dan umi kita dengan ilmu yang kita dapat.

10. Kepada Fatayatul Khusnia, SE, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya sudah membantu penulis selama penelitian. Semoga Allah memberikan balasan pahala yang setimpal. Amiin.

11. Kepada sahabat-sahabat penulis di rumah. Alka (Alkot), Baong (Bawi), Mukmin (e’ep), Irfan (Tompel), dan sahabat-sahabat yang tidak dapat penulis

(13)

sebutkan, terimakasih atas warna yang pernah kalian berikan. Semoga kita selalu menjadi keluarga.

12. Teman-teman seperjuang Tafsir-Hadits angkatan 2014, Fakultas Ushuluddin.

Dalam hal ini penulis ucapkan terimakasih, telah menerima sebagai teman dan membantu dalam segala hal, bahkan dalam penulisan skripsi ini. Semoga pertemanan kita ini tak lekang dimakan waktu.

13. Rekan KKN SALAM, FKMB, PMII, terutama sahabat/senior PMII Kholik Ramdhan Mahesa, S.Ag, sahabat/senior Khoirul Umam, S.Ag. Sahabat Irfan Maulana, Nanda Mirza Yazid, Aldi, Hadi Asrori, S.Ag, Muhammad rifqi, Toni Alfian, Layla Firdaus, Chusna serta sahabat dan senior yang lainnya penulis ucapkan terimakasih, sudah mau membantu, memotivasi dan menemani selama ini semoga apa yang diperjuangkan mendapat hasil yang diharapkan.

14. Terimakasih King of Bunin bang Aceng, yang selalu menawari kopi setiap saat dan Queen of Bunin mpok Dahlia, yang selalu membuatkan sarapan dikala penulis sedang melakukan penelitian. Juga terimakakasih kepada abang-abang di kossan, bang Ahya, S.Ag, Danang, SH, Baha, SE, dan yang lainnya, penulis ucapkan terimakasih untuk semuanya atas canda, tawa, makanan, yang kalian berikan. Semoga kita semua sehat dan apa yang menjadi cita-cita segera tercapai. Amiin.

15. Terimakasih untuk teman, sahabat, keluarga, Imam (bocil), Khoirod Daroin, S.Ag, yang sudah mau membantu penyelesaian penelitian ini, dan sudah mau membagi Kasur dan bantal. Semoga apa yang dicita-citakan segera tercapai. Amiin.

Teruntuk kedua orangtua ayahanda Syahruddin bin Akib dan ibunda Hatifah binti Asy’ari (almh), yang tak henti-hentinya mengirimkan do’a kepada penulis hingga akhir hayatnya. Semoga ibunda ditempatkan dalam rauḍoh min

(14)

dan raganya yang selalu menyemangati dan mendukung baik moril maupun materil, yang tidak pernah menuntut apapun kepada penulis. Sehat dan panjang umur untuk ayahanda. Amiin.

Jakarta, 18 Juni 2021

Muhammad Futuh Syihab NIM 11140340000098

(15)

xv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543b/u/1987. Adapun rinciannya sebagai berikut:

A. Konsonan

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Arab Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

ب b be

ت t te

ث ṡ es (dengan titik di atas)

ج j Je

ح h} ha (dengan titik di bawah)

خ kh ka dan ha

د d de

ذ ż zet (dengan titik di atas)

ر r er

ز z zet

(16)

ش sy es dan ye

ص s} es (dengan titik di bawah)

ض ḍ de (dengan titik di bawah)

ط t} te (dengan titik dibawah)

ظ z} zet (dengan titik di bawah)

ع ‘ apostrop terbalik غ g ge ف f Efā ق q qi ك k ka ل l el م m em ن n en و w w ه h ha ء ’ Apostrop ي y ye

(17)

Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apapun, jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

A. Tanda Vokal

Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau disebut dengan diftong, untuk vokal tunggal sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

َ ا Fatḥah a a

ِا Kasrah i i

َ ا Ḍammah u u

Adapun vokal rangkap sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

Dalam Bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mad) dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اى a> a dengan garis di atas

يى i> i dengan garis di atas

(18)

B. Kata Sandang

Kata sandang dilambangkan dengan (al-) yang diikuti huruf: syamsiyah dan qamariyah.

Al-Qamariyah

ُرْيِنُملا

Al-Munīr

Al-Syamsiyah

ُلاَج ِ رلا

Al-Rijāl

C. Syaddah (Tasydid)

Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydid dilambangkan dengan ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah, akan tetapi, itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah terletak setel kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

Al-Qamariyah

ُةِ وُقْلا

Al-Quwwah

Al-Syamsyiyah

ُة َر ْو ُرَضلا

Al-Ḍarūrah

D. Ta Marbūtah

Transliterasi untuk ta marbutah ada dua, yaitu: ta martujah yung hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah, transliterasi adalah (t), sedangkan ta marbūtah yang mati atau mendapat haraka sukun, transliterasinya adalah (h), kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūtah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al-ser bacaan yang kedua kata itu terpisah, maka ta marbūtah ditransliterasikan dengan ha (h) contoh:

(19)

No Kata Arab Alih Aksara

1

ُةَقْي ِرَطلا

Ṭarīqah

2

ُةَي ِم َلَْس ِ ْلْا ُةَعِماَجْلا

Al-Jāmi’ah al-Islāmiah

3

ِد ْوُج ُوْلا ُةَدْح َو

Waḥdat al-Wujūd

E. Huruf Kapital

Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini juga mengikuti Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal Nama tempat, nama bulan nama din dan lain-lain, jika Nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.

Contoh: Abu Hamid, al-Gazali, al-Kindi.

Berkaitan dengan penulisan nama untuk nama-nama tokoh yang berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-palimbani, tidak “Abd al-Samad al-Palimbani. Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Din al-Raniri.

F. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia, Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas, Misalnya kata Al-Qur’ān (dari al-Qur’ān), Sunnah, khusus dan umum, namun bila mereka harus ditransliterasi secara utuh.

(20)
(21)

xxi DAFTAR ISI PERSETUJUAN BIMBINGAN……….……...iii LEMBAR PERNYATAAN...………..……..……….vii ABSTRAK………..………..ix KATA PENGANTAR ... xi PEDOMAN TRANSLITERASI ... xv DAFTARISI………...….xxi BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah... 1

B.Identifikasi Masalah ... 9

C.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metodologi Penelitian ... 13

G.Sistematika Penulisan ... 14

BAB II DIALEKTIKA TAFSIR WAKTU ... 15

A.Penafsiran Lafal Waktu ... 15

B.Bentuk-bentuk Waktu ... 19

C.Hakikat Waktu Menurut al-Qur’an ... 32

BAB III SAYYID QUṬB DAN TAFSIR FĪ ẒILAL AL-QURʾAN ... 35

A.Biografi Sayyid Quṭb ... 35

(22)

BAB IV KONSEPTUALISASI MAKNA AL-ʿAṢR DALAM TAFSIR FĪ ẒILAL AL-QURʾĀN ... 45 A.Kandungan Surah ... 45 B.Korelasi al-‘Aṣr dengan Surah Sebelum dan Sesudahnya ... 47 C.Asbab al-Nuzul ... 50 D.Analisis Penafsiran Sayyid Quṭb ... 51

BAB V PENUTUP... 65 A.Kesimpulan ... 65 B.Saran ... 67

(23)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Waktu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kehidupan manusia. Semua manusia tidak bisa lepas dari waktu dan tempat. Pengetahuan manusia tentang waktu diperoleh melalui perhitungan konsistensi bulan dan matahari.1 Waktu adalah titipan paling berharga yang diberikan oleh Allah

subḥāna wa ta’ālā secara cuma-cuma dan merata kepada semua orang. Orang kaya, miskin, atau orang saleh, semua mendapatkan waktu yang sama 24 jam sehari atau 1.440 menit atau 86.400 detik setiap hari. Bagaimana manusia

menggunakannya tergantung diri masing-masing.2 Maka tidak heran jika ada

yang mengatakan bahwa “waktu adalah uang” untuk pengusaha, bahkan pelajar sering mengatakan “waktu adalah pengetahuan”.

Apabila ditinjau dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata waktu memiliki empat arti: Pertama, seluruh rangkaian momen, baik itu masa lalu, masa kini, atau masa depan. Kedua, menyelesaikan sesuatu dalam waktu tertentu. Ketiga, kesempatan, tempo, atau peluang. Keempat, ketika terjadi

sesuatu.3 Maka ukuran waktu merupakan suatu interval antara dua hasil

keadaan atau kejadian, bisa meliputi lama berlangsungnya suatu kejadian. Waktu diukur melalui detik, menit, jam, hari, bulan, tahun dan sebagainya.

Sedemikian besar peranan waktu, sehingga Allah subḥāna wa ta’ālā berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti wa al-lail (demi malam), wa al-nahār (demi

1 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas pelbagai

persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2000), 548.

2 Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami (Jakarta:Gema Insani Press, 2002), 73-74.

3 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamu Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 1006.

(24)

siang), wa al-ṣubḥi, wa al-fajr, dan lain-lain, untuk menegaskan pentingnya waktu serta kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Quran surah Lail/ 92: 1-2, Ḍuhā/ 93: 1-2,

al-‘Aṣr/ 103: 1-3, dan lain sebagainya.4

Hidup akan lebih bermakna selama manusia mampu memberikan makna terhadap waktu. Bahkan telah Allah subḥāna wa ta’ālā jelaskan dalam surah al-‘Aṣr yang menegaskan dan memberikan perhatian khusus te rhadap nilai dan esensi waktu sebagai sebuah peringatan. Demi waktu, sesungguhnya manusia

itu pasti dalam keadaan merugi, kecuali mereka yang mampu memberikan makna terhadap waktu tersebut dengan menunjukan amal yang baik dan saling

bersawiat dalam kebenaran dan kesabaran.

Term yang menunjukan waktu dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata, seperti waqt, dahr, ajal, sā’ah, ‘aṣr, ḥīnd dan yaum. Term waqt digunakan dalam batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa. Firman Allah subḥāna wa ta’ālā. Qs. al-Nisā’/ 4: 103.

ِب ْوُنُج ىٰلَع َو اًد ْوُعُق َو اًماَيِق َ ّٰاللّٰ او ُرُكْذاَف َةوٰلَصلا ُمُتْيَضَق اَذِاَف

ْمُك

اَذِاَف

َنْأَمْطا

َةوٰلَصلا اوُمْيِقَاَف ْمُتْن

ُمْلا ىَلَع ْتَناَك َةوٰلَصلا َنِا

اًت ْوُق ْوَم اًبٰتِك َنْيِنِم ْؤ

﴿

١٠٣

“Apabila kamu telah menyelesaikan shalat, berzikirlah kepada Allah (mengingat dan menyebut-Nya), baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring. Apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah shalat (dengan sempurna). Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.” (Qs. al-Nisā’/ 4: 103).

Allah subḥāna wa ta’ālā memberikan pesan pada ayat di atas bahwasanya żikir setelah ṣalat dapat dilakukan dengan cara apapun dan bagaimanapun keadaanya. Dalam keadaan normal dilakukan dengan duduk, dalam keadaan gawat dilakukan dengan keadaan yang memungkinkan, bahkan setiap saat diwaktu berdiri, waktu duduk dan waktu berbaring. Kemudian,

(25)

shalat apabila dalam keadaan normal harus dilakukan dengan khusyuk memenuhi syarat rukunnya serta memenuhi sunnah dan waktu-waktunya yang telah ditentukan. Kata waqt memberikan kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya

membiarkannya berlalu hampa.5

Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam

kehidupan dunia ini, yaitu diciptakan-Nya sampai punahnya alam semesta ini.6

Allah berfirman. Qs. al-Jāṡiyah/ 45: 24. :

َكِلٰذِب ْمُهَل اَم َو ُُۚرْهَدلا َلِّا ٓاَنُكِلْهُي اَم َو اَيْحَن َو ُت ْوُمَن اَيْنُّدلا اَنُتاَيَح َلِّا َيِه اَم ا ْوُلاَق َو

َن ْوُّنُظَي َلِّا ْمُه ْنِا ُۚ مْلِع ْنِم

﴿

٢٤

“Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Padahal mereka tidak mempunyai ilmu (sama sekali) tentang itu. Mereka hanyalah menduga-duga. (Qs. al- Jāṡiyah/ 45: 24). Allah subḥāna wa ta’ālā menerangkan tentang kedurhakaan orang kafir dalam ayat di atas yaitu, orang-orang yang menganggap kehidupan ini adalah kehidupan dunia saja, tidak ada kehidupan akhirat. Mereka menganggap hidup dan matinya hanyalah perjalanan waktu. Kematian adalah akhir perjalanan

wujud manusia dan tidak ada kebangkitan sesudahnya.7 Kata dahr memberi

kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya

menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr).8 Ajal menunjukan waktu berakhirnya

5 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 545-548. 6 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 545-548.

7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 13 (Jakarta: Lentera hati, 2000), 56-57.

(26)

sesuatu, berakhirnya usia seseorang, masyarakat atau negara.9 Allah subḥāna wa ta’ālā berfirman. Qs. Yūnus/ 10: 49 :

ُهُلَجَا َءۤاَج اَذِاُۚ ٌلَجَا ةَمُا ِ لُكِل ۗ ُ ّٰاللّٰ َءۤاَش اَم َلِّا اًعْفَن َلّ َو ا ًّرَض ْيِسْفَنِل ُكِلْمَا ٓ َلّ ْلُق

ْم

﴿ َن ْوُمِدْقَتْسَي َلّ َو ًةَعاَس َن ْو ُر ِخْأَتْسَي َلََف

٤٩

“Katakanlah (Muhammad),“Aku tidak kuasa menolak muḍarat maupun mendatangkan manfaat kepada diriku, kecuali apa yang Allah kehendaki.” Bagi setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (Qs. Yūnus/ 10: 49).

Allah subḥāna wa ta’ālā menjelaskan ancaman-Nya melalui ayat tersebut yang ditujukan ke masyarakat Makkah tentang kehancuran mereka, yakni disebabkan oleh syirik dan penyembah berhala yang sudah menjadi kebiasaan dalam hidup dan bermasyarakat waktu itu. Ketentuan itu berlaku untuk semua masyarakat manusia sejak dahulu hingga masa yang akan

datang.10 Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu

berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah subḥāna wa ta’ālā sendiri.11‘Aṣr bisa diartikan waktu menjelang terbenamnya

matahari tetapi juga dapat diartikan sebagai masa secara mutlak.12 Firman

Allah subḥāna wa ta’ālā. Qs. al-‘Aṣr/ 103: 1:

ِرْصَعْلا َو

﴿

١

“Demi masa.” (Qs. al-‘Aṣr/ 103: 1).

Allah memulai surat ini dengan lafal sumpah wa al-‘aṣr (demi masa) untuk membantah pandangan sebagian orang yang kerap mempermasalahkan waktu dalam kehidupan mereka. Karena pada hakikatnya Tidak ada sesuatu

9 Fahmi Idris, Nilai dan Makna Kerja Dalam Islam (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 153.

10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 6 (Jakarta: Lentera hati, 2000), 91-94.

11 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 547. 12 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 547.

(27)

yang dinamai masa sial atau masa mujur, karena yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan inilah yang berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu pekerjaan, karena masa selalu bersifat netral. Kata ‘aṣr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus

diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.13

Begitu banyak lafal yang memiliki arti waktu di dalam al-Qur’an, karena itulah tidak sedikit para ulama tafsir yang menafsirkan lafal-lafal bermakna waktu dalam tafsir mereka, dengan corak dan metode yang berbeda dan beragam, sesuai dengan pesan apa yang ingin di sampaikan oleh para mufasir berdasarkan dari pengaruh lingkungan, masa dan juga pengalaman perjalanan dari penafsir itu sendiri, yang menjadikan pesan yang disampaikan pasti berbeda. Apabila menukil dari buku-buku tafsir klasik maupun modern yang, menafsirkan lafal ‘aṣr (waktu) mengingatkan penulis kepada ungkapan Malik

bin Nabi sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam bukunya, saat ia

memulai uraiannya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi ṣallallāhu ‘alaih wa sallam:

.ٌدْيِهَش َكِلَمَع ىَلَع َو ٌدْيِدَج ٌقْلَخ اَنَا َمَدآ َنْبَااَي :ْيِداَنُي َو َلِّإ ُه ُرْجَف ُقُشْنَي م ْوَي ْنِم اَم

ةَماَيِقْلا ِم ْوَي ىَلِإ ُد ْوُعَأ َلّ ىِ نِإف ْيِ نِم ْمِنَتْغَف

“Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru, “Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.”

Kata ‘aṣara dalam berbagai bentuknya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak lima kali, dalam berbagai arti yang berbeda. Akan tetapi para Ulama sepakat mengartikan kata‘aṣr pada ayat pertama surat ini dengan “waktu”, hanya beberapa saja yang berbeda pendapat tentang waktu yang dimaksud. Ada yang berpendapat waktu adalah dimana langkah dan gerak terhimpun di dalamnya. Ada juga yang berpendapat bahwa waktu yang dimaksud adalah,

(28)

waktu shalat Ashar dapat dilakukan, dan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa waktu yang dimaksud adalah, waktu kehadiran Nabi Muhammad dalam

pentas kehidupan. Akan tetapi menurut Quraish Shihab pendapat yang paling

tepat adalah “waktu” secara umum.14

Mutawalli al-Sya’rawi dalam tafsirnya mengatakan, arti al-‘aṣr dalam ayat ini menurutnya yaitu waktu yang dikhususkan pada waktu tertentu, atau ibadah yang diwajibkan dalam waktu tertentu, bahkan menurutnya bukan hanya waktu tertentu saja, akan tetapi meliputi siang secara keseluruhan dan

waktu yang meliputi malam secara keseluruhan.15 Adapun menurut Sayyid

Quṭb mengatakan bahwa surah al-‘Aṣr yaitu sebuah manhaj, yang di dalamnya terdapat batasan-batasan bagi kehidupan manusia sesuai yang dikehendaki dalam islam. Dan manhaj itu meliputi iman, amal shalih, saling menasehati

dalam kebenaran dan saling saling menasehati dalam kesabaran.16

Menurut Sayyid Quṭb surah ini meletakkan dustur islami secara menyeluruh dalam kalimat-kalimat pendek. Dan juga mengidentifikasi umat Islam dengan hakikat dan aktivitasnya dalam sebuah ayat, yakni ayat ketiga dari surah al-‘Aṣr. Hal ini merupakan penjelasan singkat yang tidak mungkin

bisa dilakukan oleh siapapun kecuali Allah.17 Sayyid Quṭb (1906-1966) adalah

salah satu ulama dari sekian banyak ulama kontemporer yang melakukan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Sayyid Quṭb juga salah satu seorang ulama terkemuka di kalangan Ikhwan al-Muslimin. Hal ini dibuktikan dengan terciptanya kitab tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an yang menjadi master piece di antara karya-karyanya yang lain. Beliau adalah salah satu mufassir yang kontroversial,

14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 497.

15 Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir Juz ‘Amma (Yordania: Dar al-Rayah, 2008), 520.

16 Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’an: Dibawah Naungan Al-Qur’an, jilid 12, terj. Drs. As‘ad Yasin (Depok: Gema Insani Press, 2000), 334.

(29)

fenomenal dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga banyak kritikan terhadap

tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an dari ulama-ulama yang sejaman dengannya.18

Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an yang ditulis dalam tempat konsentrasi yang memang terisolasi merupakan salah satu misi Sayyid Quṭb untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang fundamental pada dunia luar. Dalam tafsirnya beliau menyampaikan tindakan pribadi dan spontannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Kitab tersebut juga merupakan salah satu kitab tafsir yang berpengaruh kuat di era modern saat ini, yang sangat menonjolkan

akan sebuah pergerakan Islam.19 Berbeda dengan tafsir-tafsir tradisional yang

selalu merujuk kepada otoritas lain yang sudah sempurna. Tafsir ini justru merujuk kepada tokoh-tokoh abad 20 seperti, Abdul Maududi, Abu

al-Hasan, Ali al-Nadwi, Abbas al-Aqqad serta Abdul Qadir ‘Awdah.20 Dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Sayyid Quṭb mengambil inspirasi serta berprinsip untuk tidak mengambil ketetapan-ketetapan yang sudah ada, baik berupa akal ataupun rasa yang tidak diambil secara langsung dari al-Qur’an. Karena itulah di dalam tafsirnya tidak ada ketetapan terdahulu yang dijadikan

pembanding terhadap al-Qur’an.21

Fī Ẓilāl al-Qur’an merupakan tafsir kontemporer yang paling aktual dalam memberikan solusi berbagai persoalan serta memberikan jawaban atas

tuntutan abad modern saat ini berlandaskan petunjuk al-Qur’an. Baikpersoalan

tentang pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, maupun hukum, budaya,

peradaban, politik, spiritualisme, psikologi, dakwah, serta pergerakan dalam

suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Di dalam tafsir ini juga termuat tentang gagasan-gagasan Sayyid Quṭb yang sangat autentik 18 Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’an, juz 2, 590, 898 dan 1057/ juz 6, 896/ juz 4 (Beirut: Dār al-Syuruq, 1992), 1945

19 Charles Tripp, Sayyid Quṭb: Visi Politik, dalam Ali Ranema. Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1996), 149.

20 Charles Tripp, Sayyid Quṭb: Visi Politik, 158.

21 Sayyid Quṭb, Karakteristik Konsepsi Islam, terj. Nick G. Dharma Putera (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), 35.

(30)

berdasarkan nash-nash al-Qur’an tanpa adanya pemikiran-pemikiran asing. Menurutnya Islam itu way of life yang komprehensif. Islam juga merupakan ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan jalan keluar atas

masalah-masalah sosial-kemasyarakatan.22

Berlandaskan penjelasan di atas bahwa tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an dapat dikategorikan sebagai tafsir corak baru yang unik dan khas serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Tafsir ini juga dapat dikatakan sebagai aliran khusus dalam tafsir, yang dapat dikategorikan sebagai “aliran tafsir pergerakan.” Karena (al-Manhaj al-Haraki) metode pergerakan atau bisa dikatakan metode

realistis yang kuat terdapat pada tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an. Sumber-sumbernya

pun berbeda dari sumber tafsir yang lain dikarenakan perbedaan karakter serta tujuannya. Tafsir ini tidaklah memakai sumber yang sifatnya pokok atau mendasar (primer), tetapi bersifat sekunder atau mendalam, itu semua disebabkan karena Sayyid Quṭb dalam menafsirkan al-Qur’an tidak hanya menyebutkan saja, tetapi ia juga memberikan contoh atau bukti dari apa yang ia katakan. Hal demikian dapat dikatakan sebagai bagian dari beberapa keistimewaan Fī Ẓilāl al-Qur’an. Menukil dari pendapat Mahmud Ayyub, bahwasanya tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an ini merupakan tafsir yang cocok untuk

pemuda dan pemudi Islam masa kini baik yang Sya’I ataupun yang Sunni.23

Alasan penulis menggunakan Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an dan tokoh Sayyid Quṭb sebagai pedoman utama dalam penelitian ini. Karena kitab tersebut banyak diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya dengan pemikiran sosial-kemasyarakatan yang mengkaji masalah-masalah sosial yang sangat dibutuhkan oleh generasi muslim sekarang, dan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Sayyid Quṭb mengambil dari pengalaman hidupnya itulah yang

22 Ana Belen Soage, Hasan al-Banna and Sayyid Quṭb: Continuity or Rupture? (The Muslim Word, 2009), 295.

23 Mahmud Ayyub, Al-Qur’an dan Para Penafsirnya, terj. Nick G. Dharma Putera (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), 35.

(31)

membuat tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an lebih spesial dari kitab-kitab tafsir lainnya yang pernah penulis kaji, baik dari segi bahasa, penafsiran, pengalaman hidup, dan lain-lain. Maka dari pemaparan diatas penulis merasa tafsir ini sangat layak dibahas lebih dalam untuk mengkaji lebih jauh tentang isi kandungan surah al-‘Aṣr dalam al-Qur’an perspektif Sayyid Quṭb dengan karya besarnya yaitu Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam skripsi ini. Maka penulis tertarik untuk membahas KANDUNGAN SURAH AL-‘AṢR/ 103: 3 (Telaah Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an)

B. Identifikasi Masalah

Penelitian ini memiliki identifikasi masalah berdasarkan latar belakang yang sudah penulis kemukakan diatas, sebagaimana berikut:

1. Allah subḥāna wa ta’ālā memulai surat al-‘Aṣr dengan bersumpah wa al-‘Aṣr (demi masa), untuk membantah pandangan sebagian orang yang kerap mempermasalahkan waktu.

2. Sangat banyak lafal yang memiliki arti waktu di dalam al-Qur’an. Karena itu tidak sedikit para mufassir yang memiliki perbedaan dalam menafsirkan.

3. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa term yang menunjukan waktu, seperti waqt, dahr, ajal, sā’ah, ‘aṣr, ḥīnd dan yaum.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penelitian ini agar dapat dilakukan secara fokus, sempurna serta mendalam, penulis merasa dalam membuat sebuah karya ilmiah harus ada batasan pembahasan. Penulis membatasi permasalahan penelitian ini hanya kepada penafsiran ayat ke-3 dalam surat al-‘Aṣr. Objek penelitian yang penulis gunakan adalah Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an karya Sayyid Quṭb.

Dari pemaparan latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka terdapat masalah yaitu. Bagaimana penafsiran Sayyid Quṭb dalam menafsirkan ayat ketiga surah al-‘Aṣr ?

(32)

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Pertama, untuk menganalisis penafsiran para ulama dalam menafsirkan surat al-‘Aṣr. Kedua, untuk mendeskripsikan ayat tiga dalam surat al-‘Aṣr menurut Sayyid Quṭb. Ketiga, untuk memenuhi tugas akhir akademi yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar setara satu (S1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan adanya penelitian ini, penulis berharap adanya manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Diantaranya adalah:

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dalam studi al-Qur’an serta literature dalam Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan

Al-Qur’an yang tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan akademik saja, akan

tetapi juga oleh kalangan umum. E. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pada penelitian ini, baik berupa skripsi, tesis, jurnal dan penelitian yang lainnya. Penulis mencoba menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan dan memiliki kesamaan atau kemiripan. Kemudian dari hasil penelusuran tersebut menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat persoalan yang sama, sehingga diharapkan kajian ini benar-benar bukan hasil dari plagiat kajian yang ada. Rujukan pertama dalam penelitian ini yaitu al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai sumber segala hukum.

Kemudian rujukan selanjutnya adalah kitab-kitab tafsir baik kontemporer dan klasik, di antaranya: Tafsir al-Misbah karya Dr. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Marāgī karya Ahmad bin Musthafa al-Marāgī, Tafsir al-Munīr karya Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an karya Sayyid Quṭb,

(33)

Tafsir al-Ṭabari karya Imam Ṭabari, Tafsir Fatḥu al-Qadir karya Imam Al-Syaukani, dan kitab-kitab tafsir lainnya yang relevan dengan pembahasan ini.

Dalam buku yang berjudul “Waktu Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains” karya Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, menjelaskan tentang hubungan Al-Qur’an dan Ilmu pengetahuan dalam pembahasan waktu dengan tafsir Ilmi. Tafsir ilmi adalah sebuah upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an

yang mengandung isyarat ilmiah dari perspektif ilmu pengetahuan modern.24

Kemudian dikembangkan dengan teori Relativitas waktu seperti Skripsi yang ditulis oleh Moh Saifullah “Relativitas Waktu dalam al-Qur’an (Studi Penafsiran Harun Yahya Terhadap ayat-ayat tentang Waktu)” Skripsi ini membahas tentang terhadap ayat-ayat yang membahas tentang waktu yang

diselaraskan dengan teori relativitas Albert Einstein.25 Sedangkan Satria Hadi

Lubis mengatakan dalam bukunya “Breaking The Time (Kiat Memaksimalkan Keterbatasan Waktu Agar Hidup Lebih Dahsyat)”, tentang pentingnya manajemen waktu agar berhasil mencapai cita-cita atau tujuan hidup positif yang dikehendaki. Apabila tujuan hidup telah tercapai maka kesuksesan telah didapatkan.26

Jurnal yang ditulis oleh Ahmad Sabri “Pengelolaan Waktu Dalam Pelaksanaan Pendidikan Islam” jurnal tersebut menjelaskan tentang cara mengalokasikan waktu sebagai pengokoh keimanan seseorang yang bisa melahirkan amal yang benar dan menjadi mata air kebaikan dalam

kehidupan.27 Disini penulis mencoba untuk mencari tahu akan sebuah

rambu-rambu yang terdapat dalam waktu tersebut melalui tafsir Sayyid Quṭb. 24 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, “WAKTU Dalam Perspektif Al-Qur’an

dan Sains” (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2003).

25 Moch Saifullah, Relativitas Waktu dalam al-Qur’an (Studi Penafsiran Harun Yahya Terhadap ayat-ayat tentang Waktu)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005).

26 Satria Hadi Lubis, Breaking The Time (Kiat Memaksimalkan Keterbatasan

Waktu Agar Hidup Lebih Dahsyat), cet II (Yogyakarta: Pro You, 2010).

27 Ahmad Sabri, Pengelolaan Waktu Dalam Pelaksanaan Pendidikan Islam: Jurnal

(34)

Selanjutnya Skripsi yang ditulis oleh Rina Sari “Manajemen Waktu Menurut al-Qur‟an (Kajian Tafsir Tahlili Qs. al-Hasyr/ 59: 18”. Skripsi ini membahas tentang hakikat pentingnya memanfaatkan waktu dan mengisinya dengan

aktifitas yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.28 Selanjutnya skripsi

yang ditulis oleh Agus Ainul Amin “Makna al-‘Aṣr dalam al-Qur’an” (Telaah penafsiran Ibnu Katsir dan Sayyid Quṭb) terhadap surat al-‘Aṣr, yang menjelaskan tentang makna al-‘Aṣr melalui komparasi di dalam masing-masing kitab tafsir.29

Selanjutnya Skripsi yang ditulis oleh Rina Sari dijurnalkan dengan judul “Manajemen Waktu dan Perencanaan Dalam Perspektif Manajemen Pendidikan Islam (Tinjauan al-Qur’an Surat Al-Ashr: 1-3 dan Al-Hashr: 18)” ditulis oleh Achmad Mubarok menjelaskan bahwa manajemen waktu yang terdapat dalam surat al-‘Aṣr: 1-3 terkandung 3 dimensi, yaitu potensi, aksi dan

prestasi.30 Sedangkan penulis hanya membahas surah al-‘Aṣr saja. Skripsi yang

ditulis oleh Barokatus Sholihah “Waktu dalam al-Qur’an (Studi analisis Penafsiran Quraish Shihab Terhadap Term Waktu dalam Tafsir Al-Misbah)”, menjelaskan tentang penafsiran Quraish Shihab tentang ayat-ayat waktu berdasarkan term, ajal, waqt, sa’āh yang hanya berfokus pada makna yang

terkandung didalamnya.31 Masih dengan pembahasan yang sama mengenai

waktu dalam al-Qur’an, yang berbeda adalah Skripsi yang ditulis oleh Anggraini “Urgensi Waktu Dalam Surat al-‘Aṣr Menurut Tafsir Al-Misbah

28 Rina Sari, Manajemen Waktu Menurut Qur’an (Kajian Tafsir Tahlili Q.S. al-Hasyr [59]: 18)” (Skripsi SI., UIN Alauddin Makassar, Makassar, 2015).

29 Agus Ainul Amin, Makna al-‘Aṣr dalam al-Qur’an (Telaah penafsiran Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016).

30 Achmat Mubarok, Manajemen Waktu dan Perencanaan Dalam Perspektif Manajemen Pendidikan Islam (Tinjauan Al-Qur’an Surat Al-Ashr: 1-3 dan Al-Hashr: 18)

MAFHUM: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, vol. 2, no. 2 (November 2017): 165-178.

31 Barokatus Sholikhah, “Waktu dalam Al-Quran ( Studi analisis Penafsiran Quraish Shihab Terhadap Term Waktu dalam Tafsir Al-Misbah)” (Skrispi S1., UIN Walisongo Semarang: 2018)

(35)

Karya Quraish Shihab”. Skripsi ini berisikan tentang waktu menjadi suatu yang

urgen, karena waktu adalah modal utama bagi kehidupan manusia.32

Sedangkan dalam penelitian penulis, akan membahas surah al-‘Aṣr dalam perspektif Sayyid Quṭb guna melihat manhaj dan pelajaran hidup dalam kandungan surah al-‘Aṣr untuk mencapai tujuan hidup yang baik.

Dari beberapa literatur terkait, penulis menemukan banyak penelitian yang sudah membahas tentang surah al-‘Aṣr akan tetapi mereka hanya membahas tentang waktu secara umum saja, maka dari itulah penulis menemukan celah bahwasanya belum ada yang membahas secara fokus tentang surah al-‘Aṣr ayat ketiga.

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian di dalam skripsi ini merupakan penelitian pustaka (Library Research) yaitu dengan mengumpulkan data-data kepustakaan baik berupa buku, media massa, dan karya tulis ilmiyah yang dinilai relevan untuk membantu penelitian tentang kandungan surah al-‘Aṣr khususnya dalam kitab Fī Ẓilāl al-Qur’an. Oleh karena itu penelitian termasuk dalam kategori kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis.

2. Sumber Data

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:

a. Data primer, dalam penulisan ini sumber yang digunakan sebagai penelitian, yaitu kitab Fī Ẓilāl al-Qur’an karya Sayyid Quṭb Ibrahim Husain Syadzili.

b. Data sekunder, adalah bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian yaitu surah al-‘Aṣr.

32 Anggraini, Urgensi Waktu Dalam Surat al-‘Asr Menurut Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab (Skripsi S1., Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2020).

(36)

3. Teknik Penulisan

Adapun dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan Pedoman yang mengacu kepada: SK REKTOR No. 507 Tahun 2017. Kecuali transliterasi, memakai pedoman transliterasi SKB 2 Menteri. Adapun tulisan ayat Qur’an dan terjemahan mengacu pada terjemahan al-Qur’an kemenag tahun 2002.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini diklasifikasikan menjadi lima bab dan setiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab yang saling berkaitan. Yaitu. Bab I. Sebagai pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Selanjutnya dalam Bab II berisikan dialektika para mufassir dalam mendefinisikan lafal-lafal waktu dalam al-Qur’an. Kemudian dalam Bab III penulis menguraikan tentang Biografi Sayyid Quṭb, pemikirannya, perjalanan hidupnya, dan tafsir Fī Ẓilāl al-Qurʾan. Lebih lanjut, dalam Bab IV penulis mencoba menganalisa tentang Konseptualisasi Makna al-‘Aṣr dalam tafsir Fī Ẓilāl al-Qurʾan. Sebagai penutup dan kesimpulan maka akan disampaikan dalam Bab V.

(37)

BAB II

DIALEKTIKA TAFSIR WAKTU A. Penafsiran Lafal Waktu

Jika mengacu pada pengertian waktu secara keseluruhan dalam kehidupan sehari-hari biasa, ada 1 hari adalah 24 jam, 1 jam adalah 60 menit, dan 1 menit adalah 60 detik. Namun, jika mensurvei lebih banyak arti waktu (eksplisit), akan ada banyak arti waktu. Dalam sudut pandang para ahli ruang, waktu dapat dianggap sebagai ide yang diidentikkan dengan peristiwa suatu peristiwa. Dengan demikian ada suksesi positif di mana dua kesempatan non-sinkron terjadi.1

Sementara itu, dari perspektif kosmologi filosofis (studi tentang evolusi dan pembentukan alam semesta), masih belum ada penjelasan yang memuaskan tentang definisi waktu. Bahkan St. Agustinus ketika Ditanya tentang waktu, ia menjawab, “Saya tahu waktu itu apa. Tapi jika saya diminta untuk menjelaskan, saya tidak tahu.2 Dari sini dapat diketahui bahwa sejak zaman Yunani dan Upanishad di india, sampai sekarang belum ada jawaban mengenai arti waktu yang pasti.

Berikut ini adalah pandangan Barat yang dikemukakan oleh Anton Patron, yang mengelompokkan pemikiran tentang waktu menjadi empat kelompok: Kelompok pertama mengatakan bahwa dapat dikatakan waktu adalah bentuk subjektif individu yang bersumber dari kenyataan (realitas) yang tidak nyata dan merupakan bentuk dari pikiran (subjektif-individual). Kelompok kedua adalah Realisme Ekstrim, di mana waktu adalah realitas absolut yang universal dan otonom, yang tidak memiliki kesatuan intrinsik

1 Mohammad Ilyas, Astronomy of Islamic Times for The Twenty-first Century (Kuala Lumpur: AS Noordeen, 1999), 10.

(38)

tetapi menunjukkan keteraturan yang murni. Pernyataan ini lahir di antara para

filosof India kuno sekitar 500 SM.3

Kelompok ketiga yaitu Realis Limak, yang berpendapat bahwa waktu merupakan aspek perubahan riil, akan tetapi dihasilkan oleh subjek dan terabstraksi dari kreativitas pengkosmos. Kelompok terakhir adalah kelompok Subjektivisme Lunak, dalam hal ini Henri Bergson mengatakan bahwa waktu itu memang riil, tetapi selalu berciri kualitatif, tidak bereksistensi dan tidak

terukur, karena kesadaran manusia memang tidak bereksistensi.4 Sementara itu,

menurut salah satu tokoh filsuf Islam dari Timur yaitu Fakhruddin al-Razi (856 M-925 M) berpendapat, waktu merupakan semacam gerak. Waktu itu universal tidak dapat diukur dan tidak terbatas (al-dahr), yang merupakan ukuran keberlangsungan antara dunia akali dan dunia indrawi, yang disebut oleh plato

sebagai “bayang-bayang keabadian yang bergerak-gerak”.5

Kemudian M. Quraish Shihab dalam tafsirnya memberikan penjelasan tentang waktu, menurutnya waktu itu bersifat netral, dalam artian tidak ada yang namanya waktu mujur atau waktu sial, yang menjadikan waktu itu

berguna atau tidak adalah pekerjaan manusia itu sendiri.6 Sedangkan menurut

Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam kitab al-Jawāb al-Kāfi mengatakan, bahwa waktu itu adalah umur manusia yang sebenarnya, artinya waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, penuh dengan kenikmatan dan

terbebas dari kesempitan serta azab yang pedih.7

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat empat arti

dari kata “waktu”: Pertama, seluruh rangkaian saat, baikyang lalu, sekarang,

3 Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, 84.

4 Anton Bakker, Kosmologi dan Ekolog (Jakarta: Kanisius, 1995), 110.

5 Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), 159.

6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 496-506.

7 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Al-Jawāb al-Kāfi: Solusi Mengatasi Hati, terj. Salaffudin Abu Sayyid (Solo: Al-Qowam, 2013), 109.

(39)

ataupun yang akan datang. Kedua, yaitu saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu. Ketiga, kesempatan, tempo, atau peluang. Keempat, yaitu ketika atau saat terjadinya sesuatu. Kelima, ketika atau saat. Keenam, hari (keadaan hari)

dan Ketujuh, saat yang ditentukan berdasarkan pembagian bola dunia.8 Imam

al-Ghazali mengatakan bahwa waktu itu adalah umur dan ia merupakan ibarat modal untuk berdagang. Bila modal habis maka habislah kesempatan berdagang dan mencari keuntungan. Maka manfaatkan waktu itu untuk

melakukan perbuatan baik.9

Al-Qura’an sendiri banyak kata yang digunakan untuk menentukan waktu, bahkan Allah subḥāna wa ta’ālā sering kali bersumpah dengan memakai kata yang menunjukan arti waktu seperti wa al-lail (demi malam) Qs. Lail/ 92: 1-2, wa ḍuha (demi waktu dhuha) Qs. Ḍuhā/ 93: 1-2, wa al-fajr (demi waktu fajar) Qs. al-Fajr/ 89: 1-2, wa al-‘aṣr (demi masa) Qs. al-‘Aṣr/ 103: 1, dan lain sebagainya.10 Kata

تقو

merupakan bentuk mufrad, terdiri

dari tiga huruf yaitu: wau, qaf, dan ta, yang berarti menentukan atau menetapkan waktu.11 Seperti pada perkataan

"اَذَك ُهَل َتَق َو"

(ia memberikan

waktu padanya segini), maksudnya ia memberikan batasan padanya.12

Sebagaimana firman Allah subḥāna wa ta’ālā. Qs. al-Nisā’/ 4: 103.

﴾١٠٣ ﴿ اًت ْوُق ْوَم اًبٰتِك َنْيِنِم ْؤُمْلا ىَلَع ْتَناَك َةوٰلَصلا َنِا………

8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1613.

9 Imam al-Gazali, Terjemahan Ihya’ ‘Ulumuddīn, jilid VI (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994), 119.

10 Yusuf al-Qardawi, al-Waqt fī Ḥayati al-Muslim, terj. Ali Imron (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2005), 1.

11 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1573.

12 Abū al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, Maqāyis al-Lugah, juz VI (Beirut: Ittihad al-Kitāb al-‘Arabi, 2003), 100.

(40)

…….”Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Nisā’/ 4: 103).

Waktu adalah ukuran dari suatu masa dan saat yang ditentukannya segala sesuatu. Syibawaihi menggunakan lafal tersebut untuk “tempat” karena menurutnya sesungguhnya ia juga mempunyai ukuran, sama halnya dengan waktu. Seperti ukuran jarak mil, kilometre, atau ukuran. Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa pada ayat diatas, bermakna diwajibkan atas kalian pada waktu-waktu yang telah ditentukan, pendapat yang lain mengatakan

diwajibkan ketika sudah masuk waktunya.13

Dalam Mu‘jam al-Mufahras Li al-Faẓ al-Qur’an kata waqt disebut sebanyak 13 kali. Terbagi dalam dua bentuk, Pertama, dalam bentuk isim (kata benda) menjadi 12 bentuk. Kedua dalam bentuk Fi‘il Mādi (kata kerja masa lampau atau sudah terjadi). Dalam bentuk Isim seperti dalam surah al-Hijr/ 15: 38, Ṣād/ 38: 81, al-A‘rāf/ 7: 142 dan 187, asy-Syu‘arā‘/ 26: 38, al-Wāqi‘ah/ 56: 50, al-Nabā’/ 78: 17, al-A‘rāf/ 7: 143 dan 155, al-Baqarah/ 2: 189, al-Nisā/ 4: 103, Ḍukhān/ 44: 40, dalam bentuk Fi’il Mādi seperti dalam surah al-Mursalat/ 77: 11.14

Adapun bentuk jamak

تقو

adalah

تاقوا

, bermakna

تاقيملا

yang

ditentukan waktunya. Maka kata

تاقيملا

berarti waktu yang telah ditentukan perbuatan dan tempatnya. Seperti pada perkataan:

مْأَشلا ِلْهَأ ٌتاَقْيِم اَذَه

, yaitu

tempat miqatnya penduduk syam.15 Menurut al-Manāwiy, waktu adalah kadar

tertentu dari sebuah waktu, atau batasan yang pasti antara dua perkara yang

salah satunya telah diketahui dan satunya akan diketahui.16 Waktu adalah milik

13 Muhammad bin Mukarram bin Manẓūr al-Ifrīqī, Lisān al-‘Arab, Juz II (Beirut: Dār al-Sadr, 1990), 107.

14 Muhammad Fu’ad ‘Abd Baqi, Mu’jam Mufahras li Fāẓ Qur’an

al-Karīm (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), 757.

15 Manẓūr al-Ifrīqī, Lisān al-‘Arab, 107.

16 Muhammad ‘Abd al-Ra’uf al-Manawī, al-Taufiq ‘ala Muhimmat al-Ta’arif, Cet. I (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1410 H), 731.

(41)

Tuhan, di dalamnya Tuhan melaksanakan segala perbuatan-Nya, seperti mencipta, memberi rezeki, memuliakan dari menghinakan. Waktu tidak perlu dikutuk, tidak ada yang namnya waktu sial atau mujur. Janganlah mencaci

waktu, karena Allah subḥāna wa ta’ālā adalah (pemilik) waktu.17

B. Bentuk-bentuk Waktu

Al-Qur’an menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan bentuk-bentuk waktu, seperti:

1.

رهد

Kata dahr (kurun waktu) terdiri dari dal, ha, ra (menimpa), di al-Qur’an diulang sebanyak 2 kali dalam surah al-Jāṡiyah: 24, dan al-Insān: 1. Kata dahr biasanya digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini, yaitu sejak diciptakan sampai punahnya alam semesta

ini.18 Allah subḥāna wa ta’ālā berfirman:

﴾١ ﴿ ا ًر ْوُكْذَم أًـْيَش ْنُكَي ْمَل ِرْهَدلا َن ِم ٌنْي ِح ِناَسْنِ ْلّا ىَلَع ىٰتَا ْلَه

“Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut.” (Qs. al-Insān/ 76: 1). Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian al-dahr. Pendapat

pertama mengatakan bahwa al-dahr adalah masa sejak sebelum penciptaan.

Pendapat kedua, seperti yang dikatakan oleh Imam al-Aṣfaḥany, al-dahr pada asalnya berarti “masa yang dilalui oleh alam, mulai masa penciptaan hingga kehancuran”. Pendapat ketiga, seperti yang disebutkan oleh al-Ṭabarsi menyatakan bahwa kata ini berarti waktu berlangsungnya malam dan siang.

Bentuk jamaknya adhur

)رهدا(

atau duhūr

)روهد(.

19

17 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, 497.

18 Fāris bin Zakariyā, Maqāyis al-Lugāh, 100.

19 M.Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: kajian kosa kata, juz I, cet I (Jakarta: Lentera hati, 2007). 157.

(42)

Perbedaan pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh siapa yang sebenarnya yang di maksud al-insān pada ayat diatas. Sebagian mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud itu adalah Nabi Adam a.s. oleh sebab itu, untuk mereka kata al-dahr adalah masa sejak sebelum penciptaan, ketika belum ada makhluk, karena ayat diatas menyebutkan, “ketika belum ada yang disebut”.Pendapat ini datang dari golongan al-Juba’I, tokoh Mu’tazilah, Qatadah, dan Sufyān. Dengan pengertian ini, mereka ingin menegaskan bahwa ada suatu masa ketika

Allah ada dengan sendirinya dan Allah menciptakan dari ketiadaan.20

Sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan kata al-insān adalah setiap manusia, anak cucu Adam as. Mereka beranggapan ayat tersebut di tafsirkan dengan ayat berikutnya yang berbunyi:

﴾٢ ﴿ ا ًرْي ِصَب ۢاًعْيِمَس ُهٰنْلَعَجَف ِهْيِلَتْبَن ٍۖ جاَشْمَا ةَفْطُّن ْنِم َناَسْنِ ْلّا اَنْقَلَخ اَنِا

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Qs. al-Insān/ 76: 2).

Dalam ayat ini jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan al-insān bukan

Adam a.s, karena Nabi Adam tidak diciptakan dari setetes mani.21 Kemudian

pendapat yang ketiga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-dahr itu masa pergantian siang dan malam, merujuk dari firman Allah subḥāna wa ta’ālā. Qs. al-Jāṡiyah/ 45: 24:

ُلاَق َو

َكِلٰذِب ْمُهَل اَم َو ُُۚرْهَدلا َلِّا ٓاَنُكِلْهُي اَم َو اَيْحَن َو ُت ْوُمَن اَيْنُّدلا اَنُتاَيَح َلِّا َيِه اَم ا ْو

﴿ َن ْوُّنُظَي َلِّا ْمُه ْنِا ُۚ مْلِع ْنِم

٢٤

“Dan mereka berkata, kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.” (Qs. al-Jāṡiyah/ 45: 24).

20 Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: kajian kosa kata, 157. 21 Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: kajian kosa kata. 157.

(43)

Ibnu Kaṣir dalam menafsirkan al-dahr dalam ayat di atas, mengungkapkan hadis Nabi saw. Diceritakan bahwa masyarakat Jahiliah beranggapan kalau sesungguhnya yang membinasakan mereka adalah malam dan siang kerena malam dan sianglah yang menghidupkan dan mematikan mereka.Dengan demikian, mereka lantas mencaci masa sebab membinasakan mereka. Sedangkan di dalam bahasa Arab sendiri memang dikenal penggunaan-penggunaan kata itu dengan pengertian yang lain, kalua kata itu disandingkan dengan manusia, sepeti dahru fulān maka al-dahr berarti “masa hayatnya”.22

2.

تقو

Kata waqt dalam al-Qur’an diulang sebanyak 13 kali.23 Waqt digunakan

dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu

peristiwa.24 Karena al-Qur’an sering menggunakannya dalam konteks kadar

tertentu dari satu masa. Waktu adalah ukuran dari suatu masa dan saat ditentukannya segala sesuatu. Kata ini sering digunakan untuk masa lalu dan

masa yang akan datang.25

3.

لجا

Kata al-ajal disebut dalam al-Qur’an sebanyak 56 kali.26 Kata

لجا

terdiri dari huruf hamzah, jim, dan lam menunjukan pada lima makna yang berbeda dan tidak mungkin saling berkaitan satu sama lain, yaitu. Pertama, akhir dari sebuah waktu. Kedua, potongan badan dari sapi liar. Ketiga, sakit di leher.

22 Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an, 158. 23 Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras, 757.

24M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai

Persoalan Umat, cet, II (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), 720.

25 Manẓūr al-Ifrīqī, Lisan al-‘Arab, juz XI, 107.

26 Fahmi Idris, Nilai dan Makna Kerja dalam Islam (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 149.

(44)

Keempat, pengganti atau penahanan. Kelima, karena/alasan.27 Adapun bentuk jamaknya adalah

ل اجآ

.28

Apabila diperhatikan dari 56 kali penyebutan, terdapat 55 kata yang menunjukan arti waktu berakhirnya sesuatu, hanya satu yang tidak menunjukan arti waktu, yakni Qs. al-Maidah/ 5: 32.

َنَا َلْي ِءۤا َرْسِا ْٓيِنَب ىٰلَع اَنْبَتَك ۛ َكِلٰذ ِلْجَا ْنِم

ىِف داَسَف ْوَا سْفَن ِرْيَغِب ۢاًسْفَن َلَتَق ْنَم ه

اًعْيِمَج َساَنلا اَيْحَا ٓاَمَنَاَكَف اَهاَيْحَا ْنَم َو ۗاًعْيِمَج َساَنلا َلَتَق اَمَنَاَكَف ِض ْرَ ْلّا

ْدَقَل َو

َكِلٰذ َدْعَب ْمُهْنِ م ا ًرْيِثَك َنِا َمُث ِتٰنِ يَبْلاِب اَنُلُس ُر ْمُهْتَءۤاَج

َن ْوُف ِرْسُمَل ِض ْرَ ْلّا ىِف

﴿

٢

٣

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.” (Qs. al-Maidah/ 5: 32).

Sedangkan 55 yang lain menunjukan arti waktu berakhirnya sesuatu, akhir dari kehidupan seseorang, seperti pada Qs. al-A’rāf/ 7: 34.

َن ْوُمِدْقَتْسَي َلّ َو ًةَعاَس َن ْو ُر ِخْأَتْسَي َلّ ْمُهُلَجَا َءۤاَج اَذِاَف ٌُۚلَجَا ةَمُا ِ لُكِل َو

﴾٣٤ ﴿

“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba,

mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.”

(Qs. al-A‘rāf/ 7: 34).

27 Fāris bin Zakariyā, Maqāyīs al-Lugāh, juz I, 84. 28 Manẓūr al-Ifrīqī, Lisān al-‘Arab, juz XI, 11.

(45)

Ibn Manzur memberikan pendapat bahwa al-ajal adalah akhir dari waktu

kematian, jatuh tempo dalam masalah hutang piutang dan masa sesuatu.29

Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata ajal diartikan sebagai batas waktu hidup atau batas janji, atau diartikan mati.30

4.

دبا

Kata al-Abad terdiri dari huruf hamzah, ba, dan dal memiliki arti waktu yang panjang. Di dalam al-Qur’an kata ini disebut sebanyak 28 kali. Umumnya kata al-abad digunakan sebagai taukid (penguat) terhadap lafal khulud, khususnya yang berhubungan dengan penghuni surga dan neraka dengan karakteristik masing-masing. Al-abad yang berhubungan dengan manusia dapat ditemui dalam kisah-kisah, seperti dalam Qs. al-Maidah/ 5: 24, kisah umat Nabi Musa a.s yang menginginkan untuk memasuki daerah Kota Syam setelah selamat dari Fir’aun Allah berfirman:

ٰه اَنِا ٓ َلَِتاَقَف َكُّب َر َو َتْنَا ْبَهْذاَفٍۖ اَهْيِف ا ْوُماَد اَم اًدَبَا ٓاَهَلُخْدَن ْنَل اَنِا ىٰٓس ْوُمٰي ا ْوُلاَق

اَنُه

َن ْوُدِعٰق

﴿

٢٤

“Mereka berkata, “Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.” (Qs. al-Maidah/ 5: 24).

Apabila ditelusuri penggunaan kata al-abad dalam al-Qur’an, maka dapat disimpulkan bahwa kata b tersebut digunakan dalam dua arti, Pertama, kekekalan yang permanen. Jika kata al-abad disandingkan dengan surga neraka. Kedua, kekekalan yang terbatas. Jika dihubungkan dengan selain surga dan neraka.31

29 Manẓūr al-Ifrīqī, Lisān al-‘Arab, Juz XI, 11.

30 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 24. 31 Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fāẓ al-Qur’an al-Karīm, 1.

(46)

5.

دما

Dalam Mu’jam Maqāyīs al-Lugah kata amad diartikan sebagai al-goyah

(puncak akhir). Al-amad terdiri dari huruf hamzah, mim, dal.32 Secara

etimologi kata al-amad dapat diartikan masa, jarak, jangka waktu dan akhir dari sesuatu. Al-Qur’an menyebut kata al-amad sebanyak 4 kali dalam 4 surah, yaitu (Qs. al-Kahfi/ 18: 12), (Qs al-Jinn/ 72: 25), (Qs. ali-‘Imran/ 3: 30), dan

(Qs. al-Hadid/ 57: 16).33 Keempat kata al-amad tersebut, pada dasarnya

digunakan untuk waktu yang memiliki batas. Akan tetapi tidak diketahui

batasnya apabila tidak disandingkan dengan kata lain. Kata

دما

biasanya

disandingkan dengan kata

دعب

untuk menunjuk waktu yang terbatas meskipun

waktu itu sangat panjang. Firman Allah subḥāna wa ta’ālā Qs Ali-‘Imran/ 3: 30.

ء ْۤوُس ْنِم ْتَلِمَع اَم َوۛ ا ًرَضْحُّم رْيَخ ْنِم ْتَلِمَع اَم سْفَن ُّلُك ُد ِجَت َم ْوَي

َنَا ْوَل ُّد َوَت ۛ

﴾٣٠ ﴿ ِداَبِعْلاِب ٌۢف ْوُء َر ُ ّٰاللّٰ َو هَسْفَن ُ ّٰاللّٰ ُمُك ُرِ ذَحُي َو اًدْيِعَب ۢاًدَمَا هَنْيَب َو اَهَنْيَب

“(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya. Allah Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali-‘Imran/ 3: 30).

Muhammad ‘Abduh ketika menafsirkan ayat tersebut berpendapat bahwa kata al-amad dan al-abad sangat dekat maknanya, hanya saja al-abad adalah waktu yang tidak terbatas dan tidak terikat, sedangkan al-amad

32 Manẓūr al-Ifrīqī, Lisān al-‘Arab, juz III, 74. 33 Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras , 75.

(47)

digunakan untuk waktu yang terbatas tetapi tidak akan diketahui jika tidak dikaitkan dengan lafal lain.34

6.

رصع

Kata

رصع

terdiri dari tiga huruf, ain, shad, dan ra mempunyai tiga arti.

Pertama, zaman atau masa dan waktu atau saat. Kedua, memeras sesuatu sampai keluar air atau sarinya. Dan Ketiga, bergantung kepada sesuatu dan

bertahan dengannya.35 Adapun yang pertama bermakna zaman atau masa

terdapat pada firman Allah subḥāna wa ta’ālā Qs. al-‘Aṣr/ 103: 1-2.

﴾٢ ﴿ ۙ رْسُخ ْيِفَل َناَسْنِ ْلّا َنِا ﴾١ ﴿ ِرْصَعْلا َو

“Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian. (Qs. Al-‘Aṣr/ 103: 1-2).

Ibnu Abbas menyatakan bahwa kata

رصع

pada ayat ini berarti siang

hari menjelang maghrib, dan dengan kata inilah dinamakan shalat ashar karena

shalat ini berada di akhir siang

)رَصْعُت(

Kemudian pagi dan malam hari

disebut

)نيرصعل ا(

. Qatadah berkata bahwa waktu dari beberapa waktu di

siang hari. Amru al-Qays berkata, waktu uzur seseorang di saat kita tidak bisa lagi melakukan apa-apa. Sedangkan al-Khalil berkata bahwa jika seorang

perempuan telah haid, maka itu juga dinamakan

)ر ِصعُملا(

yakni telah

menginjak usia dewasa.36

Selanjutnya yang kedua, bermakna air perasaan atau sari buah, yakni apa yang bertetesan atau bercucuran dari sesuatu yang diperas. Orang-orang Arab biasanya menganalogikan hal ini dengan pemberian dan kebaikan. Sesuatu yang baik yang diperas akan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Dinamakan 34 Muhammad Rasyid bin ‘Ali Rida, Tafsir Manār, juz III (Beirut: Haiat al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitāb, 1990), 232.

35 Fāris bin Zakariyā, Maqāyis al-Lugah, juz IV, 274. 36 Manẓūr al-Ifrīqī, Lisān al-‘Arab, juz IV, 575.

Referensi

Dokumen terkait

PERDAMAIAN DALAM PERSEPEKTIF AL QUR’AN KAJIAN ATAS PENAFSIRAN MUFASIR NUSANTARA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S Ag ) Oleh Agus

Penelitian disertasi Fad’aq (1416) menjelaskan bahwa metode yang digunakan Sayyid Quṭb dalam tafsīr Fi Ẓilāl Al-Qur’an selain menggunakan metode penafsiran al-Qur’an

Bab I berisi pendahuluan. Bab ini mencakup latar belakang masalah, identifikasi, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

Hal ini bertujuan agar penulis mengetahui bagaimana cara al-Suyuti dalam menyelesaikan penjelasan ayat-ayat musykil sehingga kita bisa mengetahui bagaimana asbāb al-Nuzūl

Penelitian [7] , peningkatan akurasi dalam memprediksi jenis kelamin (Gender) dengan seleksi fitur menggunakan Relief-F dengan hasil yang diperoleh menggunakan

Dalam Tafsir al-Misbah dikemukakan bahwa hal ini sebuah tantangan untuk mereka, untuk mereka mampu menemukan menyusun satu surah yang semisal al-Qur‟an

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian di akhir pendidikan S-1 pada Program Studi

Adapun kegiatan yang dipilih adalah “Melakukan Sensus Penduduk” Gampong Baro. Populasi penduduk semakin lama semakin meningkat, pertambahan penduduk sangat menarik untuk