• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN. Secara semantik, kata kriminologi (criminology) dalam Bahasa Inggris ;

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II STUDI KEPUSTAKAAN. Secara semantik, kata kriminologi (criminology) dalam Bahasa Inggris ;"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

10 1. Definisi Kejahatan dalam Kriminologi

Secara semantik, kata kriminologi (criminology) dalam Bahasa Inggris ; kriminologie dalam Bahasa Belanda berasal dari dua kata Latin “crimen” dan

“logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian secara harfiah kriminologi berarti ilmu pengetahuan tentang kejahatan (bukan ilmu kejahatan/ilmu menjadi penjahat). Kata kriminologi ini untuk pertama kali dipergunakan pada akhir abad ke 19 oleh seorang sarjana Antropologi berbangsa Perancis yaitu P. Topinard. (Mustofa, 2010 ; 3).

Kriminologi merupakan disiplin ilmu yang berbasiskan sosiologi.

Pengertian kejahatan menurut yuridis berbeda dengan pengertian kejahatan menurut kriminologi. Dengan pendefenisian yang khusus akan membawa implikasi ilmiah yang khusus pula, yakni syarat-syarat untuk mempelajari kejahatan dan penjahat harus sesuai dengan tradisi ilmiah sosiologi (Mustofa, 2010 ; 22).

Pengertian kejahatan yang sesuai dengan Kriminologi yang Sosiologis adalah :

a. Pola tingkah laku yang dilakukan oleh individu-individu, atau sekelompok individu (terstruktur maupun tidak), maupun suatu organisasi (formal maupun non formal) dalam masyarakat yang merugikan masyarakat (secara materi, fisik, maupun psikologis).

(2)

Beberapa tingkah laku yang merugikan tersebut, melalui suatu proses politik oleh lembaga legislatif dapat dirumuskan secara yuridis sebagai pelanggaran hukum (pidana) dan kepada pelakunya diberikan sanksi pidana.

b. Pola tingkah laku individu-individu, sekelompok individu, maupun suatu organisasi dalam masyarakat yang bertentangan dengan perasaan moral masyarakat, dan kepada pelakunya masyarakat memberikan reaksi non formal.

Pola tingkah laku individu akan sekelompok individu maupun organisasi di masyarakat yang bertetangga dan perasaan moral masyarakat sering disebut sebagai kejahatan dengan ciri utama terdapat korban (individu, kelompok, organisasi) yang menderita kerugian fisik, psikologis atau materi termasuk kerusakan lingkungan hidup dan tidak terpenuhinya hak–hak asasi manusia, sedangkan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelaku dimana para pelaku merasa bahwa yang sesungguhnya mereka lakukan tidak ada pihak manapun yang dirugikan terhadap tindakan tersebut. (Mustofa, 2010 ; 22).

Pola tingkah laku kejahatan atau pola tingkah laku penyimpangan yang bermakna Sosiologis menurut Manheim bahwa tingkah-tingkah laku yang dipertanyakan tersebut sering terjadi dimasyarakat dan melanggar sentimen kolektif. Artinya tindakan tersebut bertentangan dengan “ conduct norms”, yaitu tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma – norma yang ada dalam masyarakat walaupun tindakan itu belum dimasukkan dalam undang – undang (Darmawan, 2013 ; 2).

(3)

Rumusan tentang kenormalan kejahatan tersebut untuk meyakinkan kejahatan bukanlah kelainan sosial yang harus diberantas atau dimusnahkan.

Kenormalan kejahatan yang sesungguhnya ialah keberadaan atau tingkat kemunculannya tidak melampaui tingkat yang memungkinkan masyarakat mampu untuk mengendalikannya (Mustofa, 2010 ; 24).

Kejahatan sebagai gejala sosial tidak semata-mata merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum, bukan merupakan tindakan yang merupakan kelainan sosial, kelainan biologis maupun kelainan psikologis. Tindakan tersebut yang merugikan dan melanggar sentimen masyarakat, dan sering terjadi di masyarakat sehingga membentuk suatu pola atau keteraturan (Mustofa, 2010 ; 25).

Dengan demikian meskipun mungkin terjadi suatu tindakan yang merugikan masyarakat, namun apabila tindakan tersebut jarang terjadi atau tidak membentuk suatu pola atau keteraturan maka tindakan tersebut tidak relevan sebagai obyek penelitian Kriminologi, karena nilai kegunaan ilmiah Sosiologisnya rendah sehingga akan sulit dibangun penjelasan teoritis yang konsisten (Mustofa, 2010 ; 25).

Kejahatan adalah sisi negatif yang harus dinetralkan kembali, dan para pelaku kejahatan perlu mendapatkan sanksi hukuman agar mereka dapat dinetralkan kembali prilakunya. Artinya, kejahatan itu akan hadir pada setiap manusia. Saat manusia menghadirkan “potensi kejahatan” menjadi “prilaku jahat”

(merugikan orang lain) maka saat itu pula kejahatan itu harus mendapat sanksi tanpa harus memandang status sosial ekonomi pelaku kejahatan tersebut.

(4)

Kejahatan sebagai perbuatan negatif maka tentunya mendapat reaksi dari masyarakat dimana kejahatan itu terjadi (Darmawan, 2013 ; 3).

Jadi perbuatan yang terjadi di masyarakat yang tidak disukai oleh masyarakat merupakan suatu kejahatan. Pola tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik secara fisik maupun materi, baik yang dirumuskan dalam hukum maupun tidak. Jadi suatu perbuatan yang terjadi di masyarakat yang merugikan dalam Ilmu Kriminologi dikatakan sebagai kejahatan (Darmawan, 2013 ; 3).

Dari sudut pandang Sosiologi yang melihat kejahatan sebagai perilaku yang menyimpang, kejahatan dimaknai sebagai salah satu perbuatan anti sosial dan amoral serta tidak dikehendaki oleh masyarakat, merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan dan secara sadar harus ditentang (Darmawan, 2000

; 24).

2. Defenisi Pungutan Liar.

Sebenarnya, istilah PUNGLI hanyalah merupakan istilah politik yang kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh dunia jurnalis. Di dalam dunia hukum (pidana), istilah ini tidak dijumpai.Belum pernah kita mendengar adanya tindak pidana PUNGLI atau delik PUNGLI. Sesungguhnya, PUNGLI adalah sebutan semua bentuk pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan sebagai pungutan liar (PUNGLI). Dalam bekerjanya, pelaku PUNGLI selalu diikuti dengan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pihak yang berada dalam posisi lemah karena ada kepentingannya. (www.hukumonline.com)

(5)

Dalam rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU Nomor 3 Tahun 1971, dan Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU Nomor 20 Tahun 2001 (memahami untuk membasmi). Pengertian pungutan liar adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut pemahaman Penulis, pemungutan liar adalah suatu perbuatan yang menyalahgunakan suatu kewenangan tertentu dengan mengharap sebuah keuntungan dengan menyalahi aturan hukum sehingga menimbulkan akibat moril dan materil bagi orang lain.

a. Unsur-unsur pungutan liar.

Pungutan liar terdiri atas unsur-unsur obyektif dan unsur-unsur subjektif antara lain, yaitu:

1. Unsur-unsur obyektif.

Pada pungutan liar yang menjadi unsur-unsur obyektif dalam hal ini diatur dalam rumusan korupsi pada pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari pasal 423 KHUP adalah :

- Pegawai negri atau penyelengara negara.

- Menyalahgunakan kekuasaan.

- Memaksa seseorang untuk :

(6)

a. Memberikan.

b. Membayar.

c. Menerima pembayaran dengan potongan.

d. Mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

2. Unsur-unsur Subyektif

Pada pungutan liar yang menjadi unsur-unsur subjektif dalam hal ini diatur dalam rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423 KUHP adalah :

a. Atau dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

b. Menguntungkan secara melawan hukum.

3. Konsep Pungutan Tidak Resmi

Sebenarnya, pungutan tidak resmi memiliki persamaan dengan pungutan liar, yang dimana pungutan yang dilakukan sama sama bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Dimana yang melakukan pungutan tidak resmi ini lebih mengarah kepada tindakan premanisme dan tindakan kriminal.

Namun terdapat perbedaan antara pungutan liar dangan pungutan tidak resmi, dimana pungutan liar dilakukan oleh instansi pemerintahan dan lembaga permasyarakatan sedangkan pungutan tidak resmi dilakukan oleh organisasi masyarakat. Dimana pungutan liar yang dilakukan oleh instansi pemerintahan/lembaga permasyarakatan lebih mengarah kepada tindakan korupsi sedangkan pungutan tidak resmi yang di lakuakan oleh oknum organisasi masyarakat lebih mengarah terhadap tindakan kekerasa, premanisme dan kriminalitas.

(7)

Dampak dari tindakan pungutan tidak resmi ini akan merugikan pihak lain baik material maupun non material, merugikan masyarakat secara keseluruhan, merugikan negara, menggangu stabilitas keamanan masyarakat, mengakibatkan trauma kepada para korban. Dengan kata lain dampak dari fenomena tindakan kekerasan dan premanisme tersebut mengakibatkan keresahan dalam masyarakat sekitar yang berada ltidak jauh dari lokasi terjadinya tindakan tersebut.

Dalam KUHP sebenarnya sudah mengatur beberapa pidana yang pantas diberikan bagi pelaku premanisme diantaranya KUHP pasal 368 ayat (1) tentang pemerasan dan pengancaman yang berbunyi barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapus piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lamasembilan tahun.

4. Defenisi Organisasi Masyarakat

Didalam pasal 1 UU No 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

(8)

Organisasi adalah alat untuk mencapai ideologi dengan politik atau cara tertentu. Untuk mencapai tujuan (ideologi) dan melalui cara (politik) tertentu tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri tanpa kepemimpinan, anggota atau tanpa dukungan massa rakyat yang luas. Maka sebuah organisasi diperlukan sebagai alat yang menyatukan kekuatan setiap anggotannya, massa rakyat dan kepemimpinan dalam satu komando yang sama. Hal itu sesuai dengan teori permasyarakatan sebagaimana dikemukakan oleh Oran Young yang dikutip oleh Arbi Sanit bahwa,

“Teori kemasyarakatan yang disusun oleh kaum prulalisme menggambarkan bahwa masyarakat bukanlah tersusun dari individu, akan tetapi dibentuk oleh kelompok dianggap sebagai unit dasar dari masyarakat” (Arbi Sanit, 2010 ; 30).

Konsep masyarakat yang dikemukakan oleh Arbi Sanit itu searah dengan pemikiran dari pada Von Savigny sebagaimana dikutip oleh Antonius Cahyadi dan E.Fernando M. Manullang (2007 ; 133) bahwa :

1. Rakyat sebagai sebuah kesatuaan individu yang beranekaragam (kepentingan, kebutuhan, cita-cita, dan lain-lainnya) hidup dalam keteraturan.

2. Konsep rakyat (volk atau people) menjadi konsep central bagi seluruh pemikiran Savigny (terutama tentang hukum). Romantismenya bersumber dari rakyat dinamika kerakyatan yang terwujud dalam kebudayaan dan keseniannya. Istilah rakyat mengacu pada entitas kebangsaan. Dalam hal ini konsep rakyat dilihat sebagai kesatuaan semangat, terdapat bukan sekedar kumpulan individu-individu karena individu-individu secara satu-

(9)

persatu ojtidak memiliki makna sama sekali dihadapkan pada istilah rakyat.

Dukungan massa berarti sekelompok orang yaitu bagian dari rakyat yang sudah sadar politik, sadar akan ketertindasannya serta keharusan untuk melawan.

Berdasarkan pemahaman dukungan kelompok tersebut maka Arbi Sanit juga mengutip pendapat Arthur F. Banthley tentang suatu kelompok yaitu :

“... diartikan sebagai suatu perikatan manusia dari suatu masyarakat dapat dikenali, namun bukan sebagai suatu kumpulan massa yang secara fisik terbedakan dengan kumpulan-kumpulan massa lainya, akan tetapi merupakan suatu aktifitas dari sekumpulan orang banyak yang tidak menafikan orang-orang yang berpartisipasi didalam aktifitas tersebut untuk mengambil bagian didalam berbagai kekuatan kelompok lain” (Ibid ; 175).

Prinsip garis massa adalah prinsip yang mengatur agar organisasi tidak terjatuh pada komandoisme atau kecenderungan untuk bergerak jauh meningalkan kesadaran politik obyektif massa dan situasi politik. Sehinga organisasi hanya bergerak berdasarkan pikiran-pikiran subjektifnya saja yang jauh diatas keberanian massa rakyat. Massa rakyat adak tulang pungung dalam perjuangan demokrasi, massa rakyatlah yang akan bergerak untuk merebut kekuasaan dan massa depannya untuk kepentingan massa rakyat juga. Garis massa hanyak akan dimiliki oleh organisasi progresif yang selalu berada dalam perjuangan bersama massa rakyat. Garis massapun mempertegas arti bahwa perjuangan ini semua adalah untuk kepentingan massa rakyat. Dalam pelaksanaannya setiap angota harus hidup ditengah massa rakyat, mendengar pandangan-pandangan rakyat dan

(10)

kemudian menyimpulkan serta melaporkan pada organisasi diatasnya. Organisasi yang lebih atas kemudian mempelajari dan memutuskan langakah dan gerak yang harus diambil oleh anggota pada massa rakyat dimana dia tinggal dan berjuang bersama.

Dalam perkembangan masyarakat kearah demokatisasi, gejala kegiatan berorganisasi juga tumbuh rasional mengikuti tuntutan alamia setiap orng dalam bermasyrakat. Jika tuntutan bermasyarakat adalah kecenderungan alamiah setiap individu manusia sebagai mahluk sosial, maka kencenderungan untuk berkelompok dan berorganisasi juga merupakan kecenderungan alamiah yang terdapat dalam setiap masyarakat manusi tersebut. Terlihat jelas bahwa individu terlibat didalam aktifitas kelompok/organisasi dalam rangka memenuhi keperluannya karena dalam kenyataannya individu itu tidak dapat secara sendiri memenuhi kebutuhannya searah dengan pertumbuhan diri serta perkembangan linkungannya.

Dalam sebuah organisasi terdapat pula visi dan misi dalam suatu organisasi. Visi adalah cara pandang jauh ke depan kemana organisasi harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif dan inovatif. Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang diinginkan oleh organisasi.

Berdasarkan hal tersebut, maka penetapan visi, sebagai bagian dari perencanaan strategis, merupakan suatu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi.

Visi tidak hanya penting pada waktu mulai berkarya, tetapi juga pada kehidupan organisasi itu selanjutnya. Kehidupan organisasi sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan internal dan eksternal. Oleh karenanya, visi organisasi

(11)

juga harus menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Pada hakekatnya tidak ada visi organisasi, yang ada adalah visi-misi pribadi dari anggota organisasi. Namun kita harus mampu merumuskan gambaran bersama mengenai masa depan, berupa komitmen murni tanpa adanya rasa terpaksa. Visi adalah mental model masa depan, dengan demikian visi harus menjadi milik bersama dan diyakini oleh seluruh anggota organisasi.

Misi merupakan pernyataan yang menetapkan tujuan organisasi dan sasaran yang ingin dicapai. Pernyataan misi membawa organisasi kepada suatu fokus. Misi menjelaskan mengapa organisasi itu ada, apa yang dilakukannya, dan bagaimana melakukannya. Misi adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh organisasi agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.

Dengan pernyataan misi tersebut, diharapkan seluruh pegawai dan pihak yang berkepentingan dapat mengenal organisasi dan mengetahui peran dan program- programnya serta hasil yang akan diperoleh dimasa mendatang. Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka Pusat Data dan Informasi Pertanian telah membuat pernyataan misi, yang merupakan cita-cita dan landasan kerja yang harus diikuti dan didukung oleh keseluruhan anggota organisasi dan secara eksplisit menyatakan apa yang harus dicapai dan kegiatan spesifik apa yang harus dilaksanakan.

5. Konsep korupsi

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak dapat hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif.

(12)

Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestic maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status atau kewenangannya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak pidana korupsi.

Korupsi tergolong kejahatan kelas atas atau yang dikenal dengan istilah white collar crime (WCC). Yaitu pelaku kejahatan yang tergolong mempunyai

status sosial yang tinggi dan terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya mereka melakukan kejahatan dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya. Praktek mereka dalam melakukan kejahatan ialah dengan penyalahgunaan jabatan atau wewenang, penyalahgunaan kedudukan, dan profesi, penyalahgunaan keahlian dan sebagainya (Dermawan, 2003 ; 35).

Motivasi tindak pidana korupsi menurut A. Hehamahua (KPK.2005) adalah :

a) Korupsi karena kebutuhan.

b) Korupsi karena ada peluang.

c) Korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri.

d) Korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah.

e) Korupsi karena ingin menguasai Negara.

Menurut Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk kepentingan pibadi, merugikan kepentingan umum.

Pada suatu organisasi yang kompleks, bentuk korupsi lebih beraneka ragam. Bentuk korupsi tersebut dapat dilihat dari cara bagaimana korupsi tersebut terjadi. Korupsi dapat terjadi sebagai inisiatif dari seseorang individu karena

(13)

posisinya misalnya menggunakan istilah dari Perrow adalah feathering the nest yaitu upaya untuk menggunakan fasilitas kantor atau untuk memfasilitasi kepentingan atau mempromosikan diri sendiri (biasamya dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kewenangan), atau menaikkan harga harga barang (mark-up) sehingga yang mempunyai wewenang mendapatkan keuntungan secara

illegal dari penaikan harga tersebut.

Di lain pihak korupsi dapat juga terjadi sebagai akibat dari deal yang dilakukan oleh pemimpin dengan pihak luar organisasi. Dengan adanya deal tersebut pimpinan akan mendapat keuntungan untuk kepentingan diri sendiri.

Korupsi cenderung lebih konkrit merupakan inisiatif atasan (Stiglitz ; 2002

; Teten Masduki ; 2006) dari pada inisiatif bawahan. Atasan lebih tepatnya mengambil keputusan dapat berinisiatif untuk melakukan korupsi karena faktor atributif yang melekat pada dirinya. Atribut yang paling menonjol ialah kekuasaan atau kewenangan yang dimilikinya. Dengan atribut ini seorang pengambil kekuasaan dapat mengambil keputusan yang secara implisit memberikan keuntungan kepada dirinya, sehingga dapat memperkuat kewenangannya dalam organisasi tersebut. Kecenderungan seperti ini tidak saja terjadi pada organisasi pemerintahan tetapi juga organisasi politik, atau bahkan organisasi sosial.

6. Konsep Oknum

Dalam kriminologi dikenal istilah Organized Crime (kejahatan terorganisasi), yaitu tindak kejahatan yang dilakukan secara sistematis oleh suatu jaringan penjahat. Simpul-simpul jaringan tersebut terdiri dari oknum polisi,

(14)

okmum tentara, oknum pejabat, oknum pengacara, oknum politisi, oknum tokoh masyarakat, oknum pengusaha, dan segala macam oknum.

Kata oknum, dalam logika para pejabat negara Indonesia, menunjuk pada individu atau pribadi yang melakukan perbuatan atau tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Anggota Tentara Nasional Indonesia yang menyelundupkan ekstasi atau membekingi warung remang-remang disebut oknum. Polisi yang menerima setoran dari bandar narkotika atau melindungi rumah bordir atau mengutip dijalan raya disebut oknum. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang ditangkap dan dipenjarakan karena menerima suap disebut oknum. Pemilihan kata “oknum”, juga dimaksudkan untuk mengambarkan bahwa para pelaku penyimpangan tersebut jumlahnya hanya sedikit.

Sebagaimana pendapat Edwin, bahwa kejahatan merupakan hasil belajar dari linkungannya. Dengan sudut pandang ini, berarti oknum TNI, oknum Polisi, oknum Wakil Rakyat, oknum Pegawai Negri, oknum Pengusaha, dan bermacam oknum lain, adalah murid dari lingkungan tempat dia bekerja.

Menurut Adam Smith dalam The Wealth of Nation (1776 ; 92), menjelaskan bahwa “orang bertindak untuk mengejar kepentingan pribadi mereka, melalui mekanime “the invisible hand” menghasilkan keuntungan kolektif yang memberi manfaat pada seluruh masyarakat”.

Lebih lanjut menurut Coleman, tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh setiap aktor pada dasarnya ditujukan untuk memperbesar manfaat atau keuntungan yang diterimanya.

(15)

Senada dengan hal tersebut, menurut Becker (1968 ; 52), menerapkan teori ini untuk memahami pelaku tindak kejahatan. Pelaku kejahatan, merupakan pembuat keputusan dimana individu memilih antara aktifitas kriminal dan aktifitas nonkriminal (legal) dengan dasar ekspektasi manfaat (utility) atau setiap aktifitas itu. Diantara segala faktor yang mempengaruhi keputusan individu untuk terlibat dalam aktifitas kriminal adalah sebagai berikut. Pertama, ekspektasi (harapan) keuntungan dari kejahatan. Kedua, kemungkinan (resiko) tertangkap dan dituntut. Ketiga, panjangnya hukuman. Keempat, kesempatan dalam aktivitas ilegal.

B. Konsep Teori

Keputusan berbuat untuk melakukan kejahatan menurut Rational Choice Theory/Teori pilihan Rasional dari Gary Becker (1968 ; 52) adalah terletak dari

pelaku kejahatan sendiri. Pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang dibuat relative oleh para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya. Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan prilaku atau non-kriminal, dengan kesadaran ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya di protes dalam peradilan pidana. Pelaku merupakan pembuat keputusan dimana individu memilih antara aktifitas kriminal dan aktivitas nonkriminal (legal) dengan dasar ekspektasi manfaat (utility) atas setiap aktivitas-aktivitas tersebut.

Dapat diasumsikan bahwa keterlibatan dalam aktivitas kriminal adalah hasil dari prilaku optomalisasi individu terhadap insentif-insentif. Di antara segala

(16)

faktor yang mempengaruhi keputusan individu untuk terlibat dalam aktivitas kriminal adalah :

a. Keuntungan Dari Dilakukannya Suatu Kejahatan

Dalam teori pilihan rasional, kegunaan untuk melakukan tinak kejahatan berdasarkan keseimbangan individu dan biaya untuk melakukan kejahatan dengan alternative dalam artian pelaku yang telah melakukan akan mendapatkan hadiah sebagai imbalannya dan ini menjadi faktor yang dominan, kuat dan sulit untuk dilakukan dengan cepat walaupun diberikan hukuman yang berat bagi yang melanggarnya.

b. Kemungkinan Resiko Tertangkap dan Tuntut

Dalam melakukan kejahatan teori pilihan rasional memandang seseorang pelaku kejahatan mempertimbangkan banyak manfaat yang akan didapat dari kejahatan dan pada kerugian yang akan ditentukan maka pelaku akan mengindari penangkapan.

c. Pemberian Hukuman

Bagi pelaku ancaman bukanlah menjadi pertimbangan mereka dalam melakukan kejahatan, namun dengan beberapa pertimbangan dalam kasus kejahatan, ancaman hukuman tidak lagi menjadi penghalang bagi pelaku untuk melakukan kejahtan, para pelaku berfikir bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan dari kejahatan dan mereka yakin mereka tidak akan mendapatkan hukuman yang lama jika tertangkap.

(17)

d. Sarana Dalam Aktifitas Ilegal

Individu didorong oleh keinginan atau tujuan dalam melakukan kejahatan mereka bertindak dengan spesifik, mengingat kondisi dan hambatan atas dasar informasi yang mereka miliki tentang kondisi dimana mereka bertindak karena tidak mungkin bagi individu untuk mencapai semua dari berbagai hal yang mereka inginkan, mereka jugak harus membut pilihan dalam kaitannya dengan tujuan mereka dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan itu.

Dengan menetapkan sebuah persamaan untuk meraih insntif dalam keputusan untuk melakukan kejahatan adalah suatu langkah awal yang natural dalam analisis atas kejahatan sebagai suatu model yang paling penting dari ini semua adalah ganjaran (reward) yang relative dari aktifitas kriminal dan aktifitas legal. Sebagai contoh, pelaku kejahatan melakukan aksi kriminal jika ekspektasi keuntungan dari aktifitas kriminal melebihi keuntungan dari aktifitas legal, pada umumnya bekerja.

Teori Pilihan Rasional memusatkan pada actor/pelaku kejahatan, dimana actor dipandang sebgagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud, artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori Pilihan Rasioanal tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.

(18)

C. Kerangka Pikir

Dari beberapa teori yang telah diambil, maka selanjutnya disini akan disajikan kerangka pikir dari penulis mengenai Pungutan Tidak Resmi Oleh Oknum Organisasi Masyarakat (Studi Kasus Kecamatan Tualang Kabupaten Siak).

Kerangka pikir tentang Pungutan Tidak Resmi Oleh Oknum Organisasi Masyarakat (Studi Kasus Kecamatan Tualang Kabupaten Siak).

Tabel II.1 Kerangka Pemikiran Pungutan Tidak Resmi Oleh Oknum Organisasi Masyarakat (Studi Kasus Kecamatan Tualang Kabupaten Siak).

Sumber : Data Olahan Peneliti, 2017

Pungutan Tidak Resmi Oleh Oknum Organisasi

Masyarakat

Keuntugan

Faktor-faktor penyebab oknum organisasi masyarakat melakukan pungutan tidak resmi berdasarkan

pilihan (Rasional Choice)

1. Keuntungan pribadi

Kontrol Hukuman Kesempatan

1. Lemahnya pengawan 2. Kemungkina

n tertangkap rendah

1. Hukumanya yang ringan

1. Banyaknya peluang 2. Adanya

kekuasaan

(19)

D. Konsep Operasional

Suatu konsep yang merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi, dan hal-hal yang sejenisnya ini berarti konsep adalah sejumlah karakteristik yang menjelaskan suatu objek, kejadian, gejala, kondisi atau situasi yang dinyatakan dalam suatu kata atau symbol (Silalahi, 2006: 104). Umtuk menjelaskan dan menghindari penafsiran yang berbeda maka penulis mencoba untuk menjelaskan konsep teoritis yang berhubungan dengan penelitian ini yakni sebagai berikut :

1. Kejahatan adalah pola tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik secara fisik maupun materi.

2. Pelaku kejahatan adalah orang yang melakukan tindakan kejahatan secara ontologis tidak dapat dilepaskan dari konsep kejahatan secara sosial kriminologis. Dalam Kriminologi seseorang disebut penjahat apabila pola tingkah lakunya adalah tingkah laku kejahatan yang bersifat menetap.

3. Reaksi sosial adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang yang untuk menanggapi atau membalas atas suatu rangsangan atau provokasi yang berasal dari luar orang yang melakukan tindakan tersebut. Istilah white collar crime adalah suatu perbuatan (atau tidak berbuat) dalam sekelompok kejahatan yang spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana yang dilakukan oleh pihak professional, baik oleh individu, organisasi, sindikat kejahatan, ataupun dilakukan oleh badan hukum.

(20)

4. Secara umum Kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan, tujuannya adalah memahami gejala- gejala kejahatan ditenggah pergaulan hidup dilingkungan masyarakat atau manusia, menggantikan apa dan sebab musababnya dan mencari atau menyusun konsep-konsep penanggulangan kejahatan yang timbul.

5. Penegertian pungutan liar terdapat pada penjelasan beberapa pasal didalam KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar.

Tindak pidana yang diatur dalam pasal 368 KUHP “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana paling lama sembilan tahun”.

Dan Pasal 423 KUHP “Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalah gunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya enam tahun”.

6. Komisi pemberantasan korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang di bentuk tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia.

Gambar

Tabel II.1  Kerangka Pemikiran Pungutan Tidak Resmi Oleh Oknum  Organisasi Masyarakat (Studi Kasus Kecamatan Tualang  Kabupaten Siak)

Referensi

Dokumen terkait

Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai tujuan tertentu (Heidjrachman dan Husnan,

Makna denotatif adalah makna dari sebuah kata atau frase yang tidak mengandung arti atau perasaan-perasaan tambahan.. Makna denotatif disebut juga makna kognitif karena makna

Dari berbagai pengertian di atas, disimpulkan bahwa kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan

“Gaya kepemimpinan seseorang dalam suatu jabatan akan mempengaruhi pola tingkah laku yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku aktivitas- aktivitas individu bawahan atau kelompok

Prwirosentono (dalam Pasolong 2011;176) mengatakan kinerja adalah merupakan hasil kerja yang dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu organisasi,

Perbuatan yang terjadi di masyarakat yang tidak disukai oleh masyarakat merupakan suatu kejahatan.Pola tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik secara fisik

Menurut Malau (2017:217), perilaku konsumen merupakan tingkah laku tentang individu, kelompok, ataupun organisasi memilih, membeli, menggunakan, dan membuang produk, jasa,

a) Kriminologi merupakan bidang ilmu yang cukup penting dipelajari, karena dengan adanya kriminologi, dapat dipergunakan sebagai control sosial terhadap kebijakan dan