• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Bahan Organik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Bahan Organik"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Organik

Bahan organik merupakan bahan penting dalam membentuk kesuburan tanah. Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar, batang, ranting, daun, bunga, dan buah. Jaringan tanaman ini akan mengalami dekomposisi dan akan terangkut ke lapisan bawah serta diinkorporasikan dengan tanah. Sumber sekunder bahan organik adalah binatang. Perbedaan sumber bahan organik mengakibatkan perbedaan susunan dalam bahan organik. Pada umumnya jaringan binatang lebih cepat hancur daripada jaringan tumbuhan (Hakim et al., 1986).

Bahan organik tanah biasanya menyusun sekitar 5 % bobot total tanah.

Meskipun hanya sedikit, akan tetapi bahan organik memegang peranan penting dalam menentukan kesuburan tanah. Sebagai media tumbuh, bahan organik juga berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman serta mikrobia tanah, yaitu sebagai sumber energi, hormon, vitamin, dan senyawa perangsang tumbuh lainnya (Hanafiah, 2005).

Tanah yang kaya akan bahan organik bersifat lebih terbuka (sarang) sehingga aerasi tanah menjadi lebih baik, tidak mudah mengalami pemadatan, dan mempunyai warna yang lebih kelam daripada tanah yang mengandung bahan organik rendah. Tanah yang berwarna lebih kelam akan menyerap sinar lebih banyak sehingga perakaran tanaman akan lebih banyak menyerap hara, air, dan oksigen. Hara yang digunakan oleh mikrooragnisme tanah bermanfaat dalam mempercepat aktivitas dekomposisi bahan organik dan pelepasan hara. Bahan organik tidak hanya penting secara langsung sebagai sumber hara, tetapi juga sebagai agen untuk meningkatkan nilai hara yang diberikan kepada tanaman (Sutanto, 2002).

Bahan organik mempunyai peranan penting terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisik tanah di antaranya adalah : (1) mempengaruhi warna tanah menjadi coklat sampai hitam; (2) merangsang granulasi agregat dan memantapkannya; (3) menurunkan plastisitas dan kohesi tanah; (4) memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah; dan (5)

(2)

meningkatkan kapasitas memegang air sehingga drainase tidak berlebihan, kelembaban dan temperatur tanah menjadi stabil (Soepardi, 1983; Hakim et al., 1986; Hanafiah, 2005). Adapun pengaruh bahan organik terhadap sifat kimia tanah di antaranya adalah : (1) bagian yang mudah terurai dari proses mineralisasi bahan organik akan menyumbangkan sejumlah ion – ion hara tersedia bagi tanaman; (2) selama proses dekomposisi, sejumlah hara tersedia akan diakumulasikan ke dalam sel – sel mikrobia yang apabila mikrobia ini mati maka hara tersebut akan mudah dimineralisasikan kembali sehingga menghindari pelindian ion hara oleh aliran air; dan (3) dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah 30 kali lebih besar daripada koloidal anorganik. Bahan organik juga berpengaruh terhadap sifat biologi tanah, yaitu : (1) sebagai sumber energi dan hara bagi jasad biologis tanah, terutama heterotrofik; (2) meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah; dan (3) meningkatkan kegiatan jasad mikro dalam membantu dekomposisi bahan organik (Hakim et al., 1986;

Hanafiah, 2005).

Media Tanam

Media tanam adalah media tumbuh bagi tanaman yang dapat memasok sebagian unsur - unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Media tanam dalam wadah harus memenuhi empat persyaratan, antara lain : (1) harus memberikan tunjangan mekanik bagi tanaman; (2) mampu menahan air tersedia; (3) dapat ditembus oleh udara untuk mempermudah pertukaran gas (aerasi yang baik); dan (4) menyimpan hara bagi pertumbuhan tanaman (Flegmann dan George, 1975).

Baudendistel (1982) menambahkan bahwa syarat media tanam yang baik adalah : (1) memiliki sifat fisik remah karena media yang remah akan bersifat tidak padat sehingga akar tanaman mudah berkembang dan menembus tanah serta dapat memudahkan aerasi dan drainase; (2) tidak mengandung bahan-bahan toksik yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman; (3) tingkat kemasaman baik; (4) tidak mengandung hama dan penyakit; dan (5) memiliki kapasitas memegang air yang cukup.

Fungsi pertama media tanam adalah sebagai tempat akar berpenetrasi (sifat fisik). Selama cadangan hara masih tersedia di dalam benih, hanya air yang

(3)

diserap oleh akar – akar muda. Semakin berkembangnya perakaran, cadangan makanan ini semakin menipis, sehingga untuk melengkapi kebutuhannya maka akar – akar ini mulai menyerap hara. Indikator kecukupan air dan hara yang dapat disediakan oleh media tanam dicerminkan oleh kualitas pertumbuhan dan produksi tanaman yang tumbuh di atasnya (Hanafiah, 2005).

Dole dan Wilkins (2005) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dalam wadah kurang memiliki ketersediaan air dan hara serta drainase yang terbatas. Air dan hara harus selalu dipasok agar dapat tersedia untuk tanaman. Media tanam yang berbeda dibutuhkan pada tingkat produksi tanaman yang berbeda. Media tanam yang termasuk dalam kategori bahan organik umumnya berasal dari komponen organisme hidup, misalnya bagian dari tanaman seperti daun, batang, bunga, buah, atau kulit kayu.

Media tanam dapat berupa media tunggal dan media campuran. Media tanam tunggal merupakan penggunaan satu jenis bahan baku media tanam tanpa dicampur dengan media tanam lain, misalnya tanah, arang sekam, pupuk kandang, limbah pertanian. Media campuran merupakan gabungan dari beberapa media tanam tunggal.

Tanah

Tanah mineral yang dapat berfungsi sebagai media tumbuh ideal secara material tersusun oleh tiga komponen, yaitu bahan padatan (mineral dan bahan organik), air, dan udara (oksigen). Berdasarkan volumenya, maka tanah rata - rata terdiri dari : (1) 50 % padatan, berupa 45 % bahan mineral dan 5 % bahan organik, dan (2) 50 % ruang pori, berisi 25 % air dan 25 % udara. Masing-masing komponen tanah tersebut berperan penting dalam menunjang fungsi tanah sebagai media tumbuh, sehingga variabilitas ketiga komponen tanah ini akan berdampak terhadap variabilitas fungsi tanah sebagai media tumbuh tanaman (Hanafiah, 2005).

Dole dan Wilkins (2005) menambahkan bahwa umumnya tanah mineral mengandung sedikit bahan organik (1.5 %) dan dapat bervariasi tergantung kandungan mineral, rasio lempung : lumpur : pasir, dan kandungan pestisida serta herbisida.

(4)

Pada bidang pertanian, tanah merupakan media tumbuh tanaman. media yang baik bagi pertumbuhan tanaman harus mampu menyediakan kebutuhan tanaman seperti air, udara, unsur hara, dan terbebas dari bahan – bahan toksik dengan konsentrasi yang berlebihan (Suganda, et al., 2006).

Jenis tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah latosol. Salah satu sifat tanah latosol yang menonjol yaitu berbentuk granular. Keadaan tersebut merangsang drainase yang sangat baik. Akan tetapi kapasitas tukar kation tanah latosol rendah. Hal ini sebagian disebabkan oleh kadar bahan organik yang kurang dan sebagian lagi oleh sifat liat hidro-oksida. Namun demikian, tanah latosol tergolong subur jika dibandingkan dengan tanah lain di Indonesia. Tanah ini menempati area seluas 9 % dari daratan Indonesia (Soepardi, 1983).

Media Tanam Jamur

Media tanam jamur tiram (Pleurotus ostreatus) menggunakan bahan- bahan dasar berupa jerami padi dengan bahan tambahan bekatul, kapur, gips (CaSO4), kalsium karbonat (CaCO3), dan urea (Yuliastuti dan Susilo, 2003). Akan tetapi, media tanam jamur tiram yang biasa digunakan berupa serbuk kayu gergaji yang dicampur dengan dedak atau bekatul. Serbuk kayu gergaji termasuk bahan yang dapat dijadikan media tanam organik. Menurut Harjadi (1989) serbuk gergaji biasa digunakan untuk menggantikan gambut dalam campuran tanah karena harganya murah. Serbuk gergaji harus dilapukan dulu untuk mencuci bahan toksik. Nitrogen harus ditambahkan untuk mengkompensasi pengikatan nitrogen oleh mikroorganisme selama dekomposisi. Dole dan Wilkins (2005) juga menambahkan bahwa serbuk gergaji paling baik digunakan setelah dikomposkan.

Serbuk gergaji mengandung banyak serat (selulosa 40 %, hemiselulosa 23

%, dan lignin ± 34 %). Adanya kandungan lignin akan menghambat proses dekomposisi (Hartutik et al, 2008). Hasil penelitian Hartutik et al (2008) menunjukkan bahwa rasio C/N dari kompos + EM 4 + serbuk gergaji menghasilkan nilai 43.85, lebih tinggi jika dibandingkan dengan kompos kontrol (16.18) dan kompos + EM 4 (11.61).

Media tanam utama jamur merang biasanya menggunakan limbah industri pertanian, seperti merang (jerami), daun pisang, kulit buah kopi. Media tanam

(5)

jamur merang dapat juga menggunakan serbuk gergaji kayu, namun hasilnya kurang baik (Mayun, 2007). Selain limbah industri pertanian, media tanam jamur merang dapat juga menggunakan limbah kardus sebagai komponen media utama (Arzy et al., 2010). Jerami padi mengandung kalium (K) berkisar antara 1.1 % - 3.7 %. Unsur K yang berasal dari jerami bersifat larut air dan siap tersedia bagi tanaman (Sutanto, 2002). Hasil penelitian Suhartini (2007) menyatakan bahwa vermikompos limbah budidaya jamur merang mempengaruhi kuantitas hasil panen tanaman selada (Lactuca sativa L.). Semakin tinggi tingkat kematangan kompos maka semakin tinggi kuantitas hasil panen tanaman selada.

Pupuk Kandang Sapi

Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Apabila dalam memelihara ternak tersebut diberi alas seperti jerami pada sapi, kerbau, dan kuda serta sekam pada ayam, maka alas tersebut akan dicampur menjadi satu kesatuan dan juga disebut pupuk kandang. Beberapa petani di beberapa daerah memisahkan antara pupuk kandang padat dan cair.

Pupuk kandang padat yaitu kotoran ternak yang berupa padatan, baik belum dikomposkan maupun sudah dikomposkan sebagai sumber hara (terutama nitrogen) bagi tanaman dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk kandang cair merupakan pupuk kandang berbentuk cair yang berasal dari kotoran hewan yang masih segar dan bercampur dengan urin hewan atau kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dengan perbandingan tertentu (Hartatik dan Widowati, 2006).

Pupuk kandang atau kotoran hewan yang berasal dari usaha tani pertanian antara lain adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, dan kambing. Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda, tergantung pada jumlah dan jenis makanannya. Secara umum, kandungan hara dalam kotoran hewan lebih rendah per satuan bobot daripada pupuk anorganik. Oleh karena itu, biaya aplikasi pemberian pupuk kandang ini lebih besar daripada pupuk anorganik.

Hara dalam pupuk kandang tidak mudah tersedia bagi tanaman.

Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi atau mineralisasi

(6)

dari bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang antara lain disebabkan karena bentuk nitrogen, fosfor, serta unsur lain terdapat dalam bentuk senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit terdekomposisi (Hartatik dan Widowati, 2006).

Salah satu jenis pupuk kandang adalah pupuk kandang sapi. Pada umumnya pupuk kandang sapi mengandung nitrogen (N) 2 - 8 %, fosfor (P2O5) 0.2 - 1 %, kalium (K2O) 1 - 3 %, magnesium (Mg) 1.0 - 1.5 %, dan unsur mikro (Donahue et al., 1977). Pupuk kandang sapi juga mempunyai kadar selulosa yang tinggi. Hal ini terbukti dari hasil pengukuran parameter rasio C/N yang cukup tinggi, yakni > 40. Tingginya kadar karbon dalam pupuk kandang sapi menghambat penggunaan langsung ke lahan pertanian karena akan menekan pertumbuhan tanaman utama. Penekanan pertumbuhan terjadi karena mikroba dekomposer akan menggunakan nitrogen yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik tersebut sehingga tanaman utama akan kekurangan nitrogen. Untuk memaksimalkan penggunaan, pupuk kandang sapi harus dikomposkan agar menjadi kompos pupuk kandang sapi dengan rasio C/N di bawah 20 (Hartatik dan Widowati, 2006). Pemanfaatan pupuk kandang sapi secara langsung juga berkaitan dengan kadar air yang tinggi. Bila pupuk kandang sapi dengan kadar air yang tinggi diaplikasikan secara langsung, maka akan memerlukan tenaga pengangkutan yang lebih banyak serta proses pelepasan amoniak masih berlangsung.

Arang Sekam

Penggilingan gabah menghasilkan sekitar 25 % sekam, 8 % dedak, 2 % bekatul, dan 65 % beras giling. Sekam terutama tersusun dari jaringan serat - serat selulosa dan mengandung banyak silika. Silika terutama terdapat pada bagian luar kerak bergigi dalam bentuk serabut-serabut yang sangat keras sebagai kutikula yang tebal dan rambut permukaan. Bagian dalam sekam juga beralur dan berserat, tersusun atas serabut hipodermal memanjang. Kandungan silika pada bagian tengah sekam rendah (Haryadi, 2008).

Arang sekam biasanya dibuat dengan cara dibakar atau disangrai.

Pembuatan arang sekam dengan cara dibakar dapat dilakukan dengan berbagai

(7)

cara, salah satunya dengan sistem drum statis. Drum statis diisi penuh dengan sekam kering, kemudian ditutup, dan dipasang cerobong asap. Proses selanjutnya adalah disemprotkan minyak tanah pada lapisan sekam paling atas kemudian dibakar. Cara lain yaitu pembakaran dengan sistem cerobong asap. Pembuatan arang sekam dengan sistem cerobong asap dilakukan dengan cara meletakkan bara api di lantai kemudian ditutup dengan rumah cerobong. Sekam kering ditumpukkan di sekitar cerobong sehingga terjadi perambatan panas dalam tumpukkan sekam. Sekam yang telah menjadi bara selanjutnya didinginkan sehingga terbentuk arang sekam (Setiawati dan Nugraha, 2010).

Berdasarkan analisis Japanese Society for Examining Fertilizer and Fodders, komposisi arang sekam paling banyak mengandung senyawa SiO2

sebanyak 52 % dan unsur karbon (C) sebanyak 31 %. Komposisi lainnya adalah Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO, dan Cu dalam jumlah yang sangat kecil, juga mengandung bahan-bahan organik. Karakteristik lainnya dari arang sekam yaitu ringan (berat jenis 0.2 kg/L) dan kasar sehingga sirkulasi udara tinggi karena banyak pori, kapasitas memegang air tinggi, berwarna hitam sehingga dapat mengabsorbsi sinar matahari secara efektif. Rongganya banyak sehingga aerasi dan drainasenya baik sehingga akar tanaman akan mudah bergerak di antara butiran arang sekam tersebut. Arang sekam telah steril, karena saat pembuatannya melalui panas yang tinggi dari proses pembakaran sehingga tidak memerlukan bahan desinfektan, mempunyai daya melapuk lambat, dan dianggap dapat bertahan sampai satu tahun (Wuryaningsih dan Darliah, 1994).

Sifat Fisik, Kimia, dan Biologi Komponen Media Tanam

Komponen media tanam secara spesifik memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi yang berbeda. Sifat fisik tersebut terdiri dari kelembaban, aerasi, stabilitas, bulk density, infiltrasi, dan water holding capacity. Adapun sifat kimia media

tanam terdiri dari kapasitas tukar kation (KTK), pH, dan rasio C/N (Dole dan Wilkins, 2005). Sifat biologi media tanam, khususnya media tanam yang mengandung bahan organik, dapat disifatkan dengan keberadaan dan peran jasad hidup dalam tanah atau media tanam (Hakim et al., 1986).

(8)

Kapasitas Memegang Air (Water Holding Capacity, WHC)

Air diperlukan oleh tanaman antara lain untuk memenuhi transpirasi, pembentukan karbohidrat dalam proses asimilasi, serta sebagai pengangkut hasil – hasil fotosintesis ke seluruh jaringan tanaman. Selain itu, air juga merupakan bagian penyusun tubuh tanaman. Air tanah berfungsi sebagai pelarut unsur hara dalam tanah dan berfungsi membawa unsur hara ke permukaan akar tanaman serta mengangkut unsur hara yang diserap akar ke seluruh tubuh tanaman (Hakim et al., 1986)

Air mengendalikan hampir seluruh proses fisik, kimia, dan biologi yang terjadi di dalam tanah. Kadar air tanah dinyatakan sebagai perbandingan antara bobot air yang ada dalam contoh sebelum pengeringan dan bobot contoh setelah dikeringkan sampai mencapai bobot yang tetap pada 105 oC (Abdurachman et al., 2006).

Kapasitas memegang air adalah volume air yang dapat ditahan oleh media setelah irigasi dan drainase atau pada kondisi kapasitas lapang. Nilai kapasitas memegang air suatu media tanam ditunjukkan oleh kadar air media tanam tersebut. Untuk mengetahui keadaan air tanah dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman, maka perlu ditetapkan kadar air tanah dalam beberapa keadaan, seperti : (1) kadar air total, yaitu kadar air tanah yang diperoleh dengan jalan pengeringan tanah kering udara di dalam oven pada suhu 105 oC sampai bobotnya tetap; (2) kapasitas lapang, yaitu jumlah air yang ditahan oleh tanah setelah kelebihan air gravitasi meresap ke bawah karena gaya gravitasi; dan (3) titik layu permanen, yaitu kandungan air tanah pada saat tanaman yang ditanam di atasnya telah mengalami layu permanen, dalam arti sulit dipulihkan kembali meskipun telah ditambahkan sejumlah air yang mencukupi (Hanafiah, 2005).

Kemampuan tanah untuk memegang air tergantung pada tekstur tanah.

Tanah berpasir mempunyai kemampuan memegang air yang rendah dibandingkan tanah liat. Akan tetapi aerasi tanah pasir lebih baik daripada tanah liat.

Kemampuan tanah berpasir untuk memegang air dapat ditambah dengan bahan organik (Jumin, 2008).

Hanafiah (2005) menyatakan bahwa air yang diserap tanaman di samping berfungsi sebagai komponen sel-selnya, juga berfungsi sebagai media reaksi pada

(9)

hampir seluruh proses metabolismenya. Ion – ion hara larut dalam air dan dibawa ke dalam akar kemudian ke daun tanaman. Air juga menjadi pemicu reaksi kimiawi penyediaan unsur hara yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman.

Zulkarnain (2010) menambahkan bahwa tanaman yang ditanam pada kadar air mendekati kapasitas lapang akan mampu tumbuh dengan cepat bila unsur hara dan faktor lingkungan lainnya berada dalam kondisi optimal.

pH Media Tanam

Soepardi (1983) menyatakan bahwa kemasaman tanah mempengaruhi serapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman melalui dua cara : (1) pengaruh langsung ion hidrogen; atau (2) pengaruh tidak langsung, yaitu melalui pengaruh terhadap ketersediaan unsur hara dan adanya unsur-unsur toksik. Dalam tanah, pengaruh ketersediaan unsur hara dan adanya unsur-unsur toksik adalah yang terpenting. Ketersediaan unsur hara sangat dipengaruhi oleh pH. Beberapa unsur hara dalam keadaan pH tertentu dapat mencapai tingkat beracun. Pada nilai pH kurang dari 5.0 atau 5.5 alumunium, besi, dan mangan menjadi larut dalam jumlah cukup banyak yang dapat menyebabkan tanaman menderita keracunan. Pada pH yang sangat tinggi terdapat ion bikarbonat dalam jumlah banyak sehingga akan mengganggu serapan unsur lain dan sangat merugikan pertumbuhan tanaman.

Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Nilai pH optimal untuk ketersediaan unsur hara tanah adalah sekitar 7.0 karena pada pH ini semua unsur makro tersedia secara optimal, sedangkan unsur hara mikro pada umumnya tidak tersedia secara optimal, kecuali Mo, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas unsur mikro tertekan. Pada pH di bawah 6.5 dapat terjadi defisiensi P, Ca, dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn, dan Fe; sedangkan pada pH di atas 7.5 dapat terjadi defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca, dan Mg serta toksisitas B dan Mo (Hanafiah, 2005).

Pengaruh pH cukup besar terhadap ketersediaan unsur hara dalam tanah.

Kondisi tanah yang baik (tidak mengandung bahan toksik) terjadi pada kondisi agak masam sampai netral (pH 5.0 – 7.5), akan tetapi perbedaan jenis tanaman maupun pola tanam menghendaki kondisi tertentu (Sutanto, 2005).

(10)

Rasio C/N (Rasio Karbon : Nitrogen)

Soepardi (1983) menyatakan bahwa rasio C/N mempunyai arti penting bagi tanah, di antaranya adalah : (1) terjadinya persaingan antara tanaman dengan mikroba dekomposer bila bahan organik yang mempunyai rasio C/N tinggi langsung dimasukkan dalam tanah; dan (2) karena sifat mantap rasio ini dalam tanah maka untuk mempertahankan jumlah karbon atau bahan organik dalam tanah sedikit banyak tergantung dari kandungan nitrogen yang terdapat dalam tanah. Rasio C/N juga bukan hanya ditentukan oleh kandungan nitrogen tanah, melainkan ditentukan juga oleh jumlah kandungan bahan organik yang terdapat dalam tanah.

Setyorini et al. (2006) menambahkan bahwa bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbon (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10 - 12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai C/N rasio tinggi (jerami 50 - 70;

dedaunan tanaman 50 - 60; kayu-kayuan > 400).

Hanafiah (2005) menyatakan bahwa rasio C/N merupakan indikator yang menunjukkan proses mineralisasi-imobilisasi nitrogen oleh mikroba dekomposer bahan organik. Rasio C/N bahan organik tanah berkisar antara 8 : 1 - 15 : 1 (umumnya 10 : 1 - 12 : 1), terkait dengan curah hujan dan suhu, mikrobia yang terlibat, dan rasio C/N vegetasi di atasnya. Rasio C/N di daerah kering lebih rendah dibandingkan di daerah dingin. Apabila rasio C/N lebih kecil dari 20 menunjukkan terjadinya mineralisasi N, sedangkan apabila rasio C/N antara 20 – 30 berarti mineralisasi seimbang dengan immobilisasi. Pada rasio C/N di atas 20 (awal dekomposisi), N-tersedia yang ada segera diimmobilisasikan ke dalam sel - sel mikrobia untuk memperbanyak diri. Aktivitas mikrobia yang meningkat semakin meningkatkan proses mineralisasi N, selaras dengan kebutuhan N untuk perbanyakan mikrobia. Pada tahap akhir, cadangan bahan organik yang mudah dirombak semakin menipis sehingga sebagian mikrobia mati dan N penyusun sel -

(11)

selnya segera mengalami mineralisasi melepaskan N dan hara-hara lain. Dengan demikian ketersediaan N semakin meningkat pada kondisi rasio C/N di bawah 30.

Nilai rasio C/N yang terlalu tinggi tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman. Tingginya nilai rasio C/N mengindikasikan bahwa proses dekomposisi belum terjadi dengan sempurna. Akibatnya pertumbuhan tanaman di atasnya akan terhambat karena mikroba dekomposer akan menggunakan nitrogen yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik tersebut sehingga tanaman utama akan kekurangan nitrogen (Hartatik dan Widowati, 2006). Karbon digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen digunakan untuk sintesis protein. Banyaknya sumber energi yang tersedia karena tingginya jumlah karbon menyebabkan mikroorganisme lebih berkembang dan menggunakan nitrogen yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik, sehingga tanaman utama akan kekurangan nitrogen dan mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu.

Soepardi (1983) menyatakan bahwa nitrogen terutama merangsang pertumbuhan di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Pada serealia memperbesar butir-butir (biji serealia) dan kandungan protein. Tanaman yang kekurangan nitrogen tumbuh kerdil dan sistem perakarannya terbatas. Daun menjadi kuning atau hijau kekuning-kuningan dan cenderung cepat rontok.

Buncis (Phaseolus vulgaris L.)

Tanaman buncis (Phaseolus vulgaris L.) berasal dari Amerika Utara, akan tetapi kemampuan beradaptasinya sangat luas, mulai dari daerah sub tropika sampai dengan daerah tropika. Secara umum terdapat dua tipe buncis, yaitu tipe merambat (climbing bean/pole) dan tipe tidak merambat atau dikenal dengan tipe tegak (dwarf bean). Oleh karena itu, buncis memiliki beberapa nama dalam Bahasa Inggris, seperti “bean”, “snap bean”, “reen bean”, “kidney bean”, “haricot bean”, dan “dwarf bean” (Sofiari dan Djuariah, 2004).

Berbagai kultivar Phaseolus vulgaris adalah tanaman musim panas yang membelit dan merambat. Selain bentuk merambat indeterminate dan tidak merambat, ada bentuk kerdil (tegak) determinate dan indeterminate. Kultivar bentuk tegak determinate yang saat ini berbeda dengan bentuk merambat

(12)

indeterminate yang dahulu memiliki dominansi apikal yang lebih rendah dan

sedikit atau tidak tanggap terhadap fotoperiod hari pendek. Kultivar indeterminate merambat dan tegak memiliki percabangan yang lebih banyak dan memiliki potensi hasil yang lebih besar karena jumlah buku pembungannya lebih banyak.

Panjang batang tipe merambat dapat mencapai 3 m dengan lebih dari 25 buku pembungaan. Bentuk ini sangat mudah rebah sehingga umumnya ditopang dengan lanjaran (ajir). Bentuk tegak determinate memang pendek, beberapa jenis tidak lebih dari 60 cm, memiliki jumlah buku sedikit, dan pembungaannya terbentuk di ujung batang tanaman. Kultivar determinate juga tidak dapat memperoleh nitrogen yang terfiksasi rhizobium sehingga diperlukan pemupukan untuk perkembangan tanaman yang jagur. Pada kondisi pertumbuhan yang sesuai, buncis tipe tegak dapat dipanen pada umur 60 - 70 hari setelah tanam, sedangkan buncis tipe merambat umumnya memerlukan waktu panen 10 - 20 hari lebih lama daripada buncis tipe tegak. Kultivar determinate lebih peka terhadap cekaman yang mengganggu pembentukan polong sehingga menyebabkan hasil panen menjadi rendah. Meskipun demikian, pada kondisi pertumbuhan yang sesuai tanaman determinate unggul dalam menghasilkan polong yang sangat seragam (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Buncis lebih peka terhadap kondisi tanah daripada kacang panjang dan memerlukan tanah dengan pH di atas 5 untuk memberikan hasil yang baik. Akar buncis membentuk bintil akar yang lebih sedikit daripada jenis tanaman kacang - kacangan lainnya di dataran rendah tropika dan memerlukan lebih banyak nitrogen daripada kacang panjang (William et al., 1993).

Rata - rata suhu udara 20 – 25 oC sudah optimum untuk pertumbuhan buncis dan berdaya hasil tinggi. Buncis tipe merambat cenderung tumbuh lebih baik pada suhu lebih rendah dan lebih peka terhadap suhu tinggi pada saat pembungaan daripada buncis tipe tegak. Buncis peka terhadap kekeringan dan genangan. Perkecambahan, pembungaan, dan perkembangan polong paling peka terhadap kekurangan air. Tanah lempung liat yang berdrainase baik, remah, dan bertekstur medium sangat sesuai untuk produksi buncis (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Referensi

Dokumen terkait

yang tidak dapat diingat lagi dengan pasti antara bulan Nopember 2016 sampai dengan Desember 2016 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun

Berdasarkan fakta tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis penilaian perilaku komunikasi peserta didik pada pelaksanaan ujian nasional melalui perbandingan sistem manual

Teknis analisa data ini dilakukan untuk menarik kesimpulan tentang data yang diperlukan. Dalam penelitian ini akan digunakan teknik analisis data kualitatif dengan

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sesorang siswa yang memiliki tingkat modernitas yang tinggi yang di tandai dengan kesadaran diri sebagai subyek ( baik dalam

Pada sub bab sebelumnya, pembebanan terpusat pada titik-titik nodal. Pada kondisi struktur yang sebenarnya, pembebanan tidak hanya merupakan beban-beban terpusat

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Makgosa dan Mohube (2007) yang menemukan bahwa teman sebaya berpengaruh terhadap perilaku konsumsi atas ba- rang

Dari analisis penelitian yang telah dilakukan maka dapat dideskripsikan bahwa sistem rekomendasi tempat kuliner lama pada aplikasi Eattoria masih belum ada fitur

Dengan memberikan dukungan, dorongan, membantu pekerjaan ibu, mengurangi beban mentalnya, menghindari membahas masalah emosi, dan segera memberikan penanganan yang tepat