• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulisan Hukum ( Skripsi )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Penulisan Hukum ( Skripsi )"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

TINJAUAN YURIDIS LEGALITAS PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN OLEH PENUNTUT UMUM DAN KAITANNYA

DENGAN PRINSIP MINIMUM ALAT BUKTI MENURUT PASAL 183 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

(KUHAP) DALAM PERKARA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNGNYA

(STUDI KASUS NOMOR 251/PID.B/2002/PN.SKA)

Penulisan Hukum ( Skripsi )

Disusun dan Diajukan Untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

DEWI ASTUTIK HANDAYANI E1107139

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

(2)

commit to user ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN YURIDIS LEGALITAS PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN OLEH PENUNTUT UMUM DAN KAITANNYA

DENGAN PRINSIP MINIMUM ALAT BUKTI MENURUT PASAL 183 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

(KUHAP) DALAM PERKARA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNGNYA

(STUDI KASUS NOMOR 251/PID.B/2002/PN.SKA)

Oleh

DEWI ASTUTIK HANDAYANI E1107139

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 08 Maret 2011

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Edy Herdyanto, S.H., M.H.

NIP. 195706291985031002

Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.

NIP. 198210082005011001

(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN YURIDIS LEGALITAS PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN OLEH PENUNTUT UMUM DAN KAITANNYA

DENGAN PRINSIP MINIMUM ALAT BUKTI MENURUT PASAL 183 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

(KUHAP) DALAM PERKARA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNGNYA

(STUDI KASUS NOMOR 251/PID.B/2002/PN.SKA)

Oleh

DEWI ASTUTIK HANDAYANI E1107139

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada : Hari : Selasa

Tanggal : 22 Maret 2011 DEWAN PENGUJI

1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. ( ... ) Ketua

2. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. ( ... ) Sekretaris

3 Edy Herdyanto S.H., M.H. ( ... ) Anggota

Mengetahui Dekan,

(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.) NIP. 19610930 198601 1 001

(4)

commit to user iv

PERNYATAAN

Nama : DEWI ASTUTIK HANDAYANI NIM : E1107139

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:

TINJAUAN YURIDIS LEGALITAS PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN OLEH PENUNTUT UMUM DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP MINIMUM ALAT BUKTI MENURUT PASAL 183 KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DALAM PERKARA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNGNYA (STUDI KASUS NOMOR 251/PID.B/2002/PN.SKA) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 10 Maret 2011 Yang membuat pernyataan

DEWI ASTUTIK HANDAYANI NIM. E1107139

(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user v

ABSTRAK

Dewi Astutik Handayani, 2011, TINJAUAN YURIDIS LEGALITAS PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN OLEH PENUNTUT UMUM DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP MINIMUM ALAT BUKTI MENURUT PASAL 183 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DALAM PERKARA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNGNYA (STUDI KASUS NOMOR 251/PID.B/2002/PN.SKA). Fakultas Hukum UNS.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui legalitas keterangan saksi yang dibacakan oleh penuntut umum dan kaitannya dengan prinsip minimum alat bukti menurut Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya berdasarkan putusan Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat preskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum normatif atau doktrinal atau penulisan hukum kepustakaan. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan atau (library research), dilaksanakan dengan membaca dan mempelajari isi bahan-bahan hukum sekunder hasil dari studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun penulisan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan dari jenis penelitiannya, maka teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis adalah dengan menggunakan metode deduksi yaitu menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keterangan saksi yang dibacakan oleh penuntut umum dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya tersebut tidak sah dan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 162 ayat (2) hanya dapat menilai keterangan tersebut sebagai keterangan biasa yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian, tetapi keterangan tersebut dapat digunakan sebagai keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim jika dihubungkan dengan alat bukti lain. Keterangan saksi yang dibacakan oleh penuntut umum dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya studi kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska telah memenuhi syarat minimum pembuktian menurut Pasal 183 KUHAP, hal ini dikarenakan keterangan saksi yang dibacakan mempunyai kontribusi syarat sebagai berikut: a) Dari segi kuantitas, jumlah saksi lebih dari dua, b) Dari segi kualitas, keterangan saksi yang dibacakan kait mengait, sehingga meskipun tidak sah namun syarat minimum alat bukti menurut Pasal 183 KUHAP dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya studi kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska tersebut telah terpenuhi.

Kata Kunci : pembuktian, alat bukti keterangan saksi, minimum pembuktian

(6)

commit to user vi

ABSTRACT

Dewi Astutik Handayani, 2011, A JURIDICAL REVIEW ON THE LEGALITY OF WITNESS’S INFORMATION AUTHENTICATION READ BY THE PUBLIC PROSECUTOR IN RELATION TO THE MINIMUM PRINCIPLE OF EVIDENCE UNDER ARTICLE 183 OF PROCEDURAL LAW CODE (KUHAP) IN BABY MURDER CASE BY ITS BIOLOGICAL MOTHER (CASE STUDY NUMBER 251/PID.B/2002/PN.SKA). Law Faculty of UNS.

This research aims to find out the legality of witness’s information authentication read by the public prosecutor in relation to the minimum principle of evidence under Article 183 of Procedural Law Code (KUHAP) in baby murder case by its biological mother based on the verdict number 251/Pid.B/2002/PN.Ska.

This study belongs to a research that is prescriptive in nature and when viewed from its objective belongs to a normative or doctrinal law research or library law writing.

Technique of collecting law material used was library research by reading and studying the content of secondary law material constituting the result of library research to collect and to organize this wriring relevant to the problem studied. Considering the type of research, technique of analyzing law material used by the writer was deduction method, that is, to draw on a conclusion from something general on the concrete problem encountered.

Based on the result of research, it can be concluded that the witness’s information read by the public prosecutor in baby murder case by its biological mother is not valid and judge’s oath consistent with the provision of Article 162 clause (2), it only serves as ordinary information with no authentication power, but it is used was the information that can confirm the judge’s belief if it is related to other evidence. The witness’s information read by the public prosecutor in baby murder case by its biological mother based on the verdict number 251/Pid.B/2002/PN.Ska has qualified the minimum requirement of authentication under Article 183 of KUHAP; it is because the witness’s information read has the following condition contribution: a) from quantity aspect, the number of witness is more than two, b) from quality aspect, the witness’s information read is interrelated, so that despite its not valid, the minimum requirement of evidence under Article 183 of KUHAP in baby murder case by its biological mother based on the verdict number 251/Pid.B/2002/PN.Ska has been satisfied.

Keywords: authentication, witness information evidence, minimum authentication.

(7)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user vii

MOTTO

Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi kecuali jika Tuhanmu menghendaki;

sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

“QS. Hud: 108”

Manusia yang paling lemah ialah orang yang tidak mampu mencari teman. Namun yang lebih lemah dari itu ialah orang yang mendapatkan

banyak teman tetapi menyiakannya.

“Ali Bin Abu Thalib”

Rahasia terbesar dalam hidup: Melewati hari ini dengan penuh makna. Makna tentang cinta, ilmu, dan iman. Dengan cinta hidup menjadi indah. Dengan ilmu

hidup menjadi mudah. Dan dengan iman hidup menjadi terarah.

“Safruddin”

Tidak ada keberhasilan dan kegagalan dalam hidup, yang ada hanya prestasi sebagai batu loncatan.

“Ian Gardner”

(8)

commit to user viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta dan terima kasih kepada:

1. Allah SWT sang penguasa alam atas segala karunia, rahmat dan nikmat yang telah diberikan-Nya;

2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi suri tauladan yang baik bagi umatnya;

3. Ayahanda Darmani Hadi Prayitno dan ibunda Sri Nuriyah yang telah memberikan kasih sayang yang tiada duanya kepada penulis;

4. Kakakku Anik Puji Rahayuningsih dan Didik Nurhadi serta Keponakanku Azkahasna Salsabila Iftinan;

5. Adik-adikku Nina Fitriani dan Tina Handriani;

6. Kekasihku Saiful Mujab yang telah memberikan dukungan serta semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

7. Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini dan juga untuk kekompakan selama ini (Pandu, Tari, Ginanjar, Topik, Tangguh, Mahendra KP, Mardiyan, Nunung Irawan);

8. Teman-teman Fakultas Hukum UNS angkatan 2007;

9. Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini;

10.Almamaterku, Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman untuk menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.

(9)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user ix

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya. Yang selalu memberikan jalan dan kemudahan kepada penulis sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul, “TINJAUAN YURIDIS LEGALITAS PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN OLEH PENUNTUT UMUM DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP MINIMUM ALAT BUKTI MENURUT PASAL 183 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DALAM PERKARA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNGNYA (STUDI KASUS NOMOR 251/PID.B/2002/PN.SKA)” dapat terselesaikan tepat waktu.

Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak hambatan dan permasalahan yang dihadapi penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini tidak bisa terlepas dari bantuan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, secara materiil maupun non materiil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya;

2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalan-Nya hingga akhir jaman;

3. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini;

4. Pembantu Dekan I yang telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;

5. Bapak Edy Herdyanto S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum UNS, sekaligus pembimbing skripsi I dalam penulisan hukum ini yang dengan kesabaran dan kebesaran hati telah membimbing, mengarahkan, serta membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini;

6. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang dengan sabar memberikan bimbingan, arahan selama penulisan hukum ini;

(10)

commit to user x

7. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku Ketua Laboratorium Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS yang telah membantu penulis dalam menyusun judul penulisan hukum ini;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada terkira berharganya bagi hidup dan kehidupan penulis;

9. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang telah diberikan;

10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS;

11. Ayahanda Darmani Hadi Prayitno dan Ibunda Sri Nuriyah yang penuh kasih sayang merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memberikan dukungan moril dan materiil sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan;

12. Kakakku Anik Puji Rahayuningsih dan Didik Nurhadi, serta keponakan tercintaku Azkahasna Salsabila Iftinan;

13. Adikku si Kembar Nina Fitriani dan Tina Handriani;

14. Kekasihku Saiful Mujab yang selalu memberikan nasehat serta dukunganya;

15. Teman-teman yang selalu membantuku Sri Lestari Handayani, Pandu Jaya Hartono, Ginanjar Wahyudi, Mahendra Kusuma Priyambada, Tangguh Safrida Kusumah, Mardiyan Hadi Nugraha, Nunung Irawan, Taufik Akbar Iman Tri Sutrisno;

16. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;

17. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua bantuan baik materiil maupun imateriil.

Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini sangat jauh dari sempurna, Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dalam penulisan hukum ini dan kedepannya sangat diperlukan dari para pembaca akan penulis terima dengan senang hati.

Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, 10 Maret 2011

Dewi Astutik Handayani NIM. E1107139

(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 12

1. Tinjauan Tentang Pembuktian ... 12

a) Pengertian Pembuktian dan Tujuan Pembuktian ... 12

b) Sistem Pembuktian ... 15

c) Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian ... 18

d) Prinsip Minimum Alat Bukti Menurut Pasal 183 KUHAP... 22

e) Asas-Asas dalam Pembuktian ... 24

2. Tinjauan Tentang Alat Bukti Keterangan Saksi ... 25

a) Pengertian Saksi dan Kesaksian ... 25

b) Syarat-syarat Menjadi Saksi ... 26

(12)

commit to user xii

c) Saksi Tidak Mau di Sumpah... 29

d) Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi ... 31

3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pembunuhan Bayi ... 33

a) Pengertian Tindak Pidana ... 33

b) Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Bayi ... 34

c) Macam-macam Pembunuhan... 35

d) Cara-cara Pembunuhan Terhadap Bayi Oleh Ibu Kandungnya .. 37

B. Kerangka Pemikiran ... 38

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 41

1. Kasus Posisi ... 41

2. Identitas Terdakwa ... 41

3. Dakwaan ... 41

4. Alat Bukti ... 44

B. Pembahasan ... 56

1. Legalitas Pembuktian Keterangan Saksi yang Dibacakan Oleh Penuntut Umum dalam Perkara Pembunuhan Bayi Oleh Ibu Kandungnya Pada Kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska. ... 56

2. Pemenuhan Prinsip Minimum Alat Bukti Keterangan Saksi yang Dibacakan Menurut Pasal 183 KUHAP Oleh Penuntut Umum dalam Perkara Pembunuhan Bayi Oleh Ibu Kandungnya Pada Kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska. ... 70

BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 78

B. Saran-Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

(14)

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Urgensi pembuktian sebagai sebuah tahap dalam proses untuk mencari kebenaran materiil mempunyai peranan yang cukup penting. Hal ini dikarenakan pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2002: 273). Yang dalam hal ini salah satunya adalah dengan alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum. Untuk menemukan kebenaran materiil dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP. Yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun pada tatanan empiris acap kali syarat-syarat tersebut tidak dapat dipenuhi secara penuh. Selain Pasal 184 juga terdapat Pasal 183 yang mempunyai peranan penting dalam menemukan kebenaran meteriil. Hal ini tidak terlepas dari sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada KUHAP yang masih menganut sistem negatif wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materiil.

Pasal-pasal KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa diatur di dalam Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pasal 183 KUHAP tersebut mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen: 1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat

(15)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

bukti yang sah menurut undang-undang, 2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian, meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2002: 273). Alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP ayat (1) huruf a adalah keterangan saksi. Alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana merupakan hal yang sangat penting dan diutamakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa, maka di sini hakim harus sangat cermat, teliti dalam menilai alat bukti keterangan saksi ini. Karena dengan alat bukti keterangan saksi ini akan lebih mengungkap peristiwanya.

Dengan suatu alat bukti saja umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah, akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah”

mempunyai kekuatan dan arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus diperoleh atau ditimbulkan dari alat-alat bukti yang sah.

Namun suatu fenomena yang sering terjadi dalam dunia peradilan di Indonesia, khususnya dalam tahap sidang pengadilan, adanya kecenderungan keterangan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan yang selanjutnya disebut BAP penyidikan dibacakan dalam persidangan. Hal ini disebabkan karena jaksa yang bersangkutan tidak mampu menghadirkan saksi-saksi di persidangan, khususnya terhadap saksi yang memberatkan (a charge), sehingga seringkali keterangan saksi-saksi yang diberikan dalam BAP dibacakan dalam persidangan. Di samping itu bahkan seringkali terungkap dalam persidangan bahwa ketidakhadiran saksi- saksi yang dimaksud tanpa didasari alasan yang jelas atau sah. Tentunya hal ini akan mengurangi tingkat kebenaran materiil (legalitas) sebagai tujuan dari proses pemeriksaan perkara pidana.

Menurut Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang

(16)

commit to user

saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Dari ketentuan tersebut berarti keterangan seorang saksi dapat dijadikan alat bukti yang sah bukan apa yang saksi nyatakan dalam BAP penyidikan, melainkan apa yang saksi nyatakan dalam sidang pengadilan.

Kewajiban hukum (legal obligation) bagi setiap orang untuk menjadi saksi dalam perkara pidana yang dibarengi pula dengan kewajiban mengucapkan sumpah menurut agama yang dianutnya bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar dan dialaminya sehubungan dengan perkara yang bersangkutan. Pengucapan sumpah atau janji merupakan kewajiban, tidak ada jalan lain bagi saksi untuk menolak mengucapkannya, kecuali penolakan itu mempunyai alasan yang sah. Pihak yang boleh diperiksa memberi keterangan tanpa sumpah, hanya mereka yang disebut dalam Pasal 171 KUHAP, yaitu anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa.

Sesuai dengan Pasal 224 KUHP, yang pada pokoknya mewajibkan seseorang wajib hadir jika dipanggil sebagai saksi dengan ancaman hukuman 9 bulan bagi saksi yang dengan sengaja tidak memenuhi panggilan tersebut. Tanpa kehadiran saksi-saksi dalam perkara pidana tentunya hal ini akan mengurangi tingkat kebenaran material (legalitas) sebagaimana tujuan dari proses pemeriksaan perkara pidana itu sendiri.

Hal yang tak kalah menarik perhatian untuk dikaji di bidang pembuktian adalah terhadap perkara pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri, beberapa saat setelah dilahirkan. Hakim dalam hal ini mempunyai peran untuk menilai mengenai dasar-dasar pembuktian keterangan saksi yang digunakan hakim untuk menjatuhkan pidana kepada ibu kandungnya. Dalam hal ini saksi yang memberatkan (a charge) tidak hadir dipersidangan dan keterangan saksi tersebut dibacakan oleh penuntut umum. Hakim harus menilai legalitas pembuktian keterangan saksi yang dibacakan oleh Penuntut Umum dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya. Hakim juga menilai keterangan saksi dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya tidak bertentangan dengan prinsip minimum alat bukti menurut Pasal 183 KUHAP.

(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Dengan berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas, maka Penulis tertarik untuk mengadakan dan menyusun penulisan hukum dengan judul:

“TINJAUAN YURIDIS LEGALITAS PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN OLEH PENUNTUT UMUM DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP MINIMUM ALAT BUKTI MENURUT PASAL 183 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DALAM PERKARA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNGNYA (STUDI KASUS NOMOR 251/PID.B/2002/PN. SKA)”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting di dalam suatu penelitian, karena dengan itu berarti seorang peneliti telah mengidentifikasi persoalan yang akan diteliti, sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, tegas, terarah dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis akan merumuskan perumusan masalah yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah legalitas pembuktian keterangan saksi yang dibacakan oleh penuntut umum dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya pada kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska?

2. Apakah keterangan saksi yang dibacakan oleh penuntut umum dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya tidak bertentangan dengan prinsip minimum alat bukti menurut Pasal 183 KUHAP?

C. Tujuan Penelitian

Maksud adanya tujuan penelitian adalah untuk memberikan arah yang tepat dalam proses penelitian yang dilakukan agar penelitian tersebut berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu penyusunan skripsi ini tujuan yang hendak dicapai penulis adalah sebagai berikut:

(18)

commit to user 1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui legalitas pembuktian keterangan saksi yang dibacakan oleh Penuntut Umum dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya pada kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska.

b. Untuk mengetahui pemenuhan prinsip minimum alat bukti keterangan saksi yang dibacakan menurut Pasal 183 KUHAP oleh penuntut umum dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya pada kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh bahan hukum sebagai bahan utama penyusunan penulisan guna memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dibidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah penulis peroleh selama berada di bangku kuliah.

c. Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman akan arti penting ilmu hukum dalam teori.

D. Manfaat Penelitian

Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang diperoleh dari penelitian, sebab besar kecilnya manfaat penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang manjadi manfaat dari penelitian ini dibedakan antara manfaat teoritis dan manfaat praktis yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan perkembangan pemikiran dalam ilmu hukum pada umumnya, dan pada Hukum Acara Pidana pada khususnya.

b. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalah yang diteliti.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan pengetahuan pemikiran bagi para pihak yang memiliki kepentingan dalam penelitian ini.

(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

b. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

c. Untuk melatih Penulis dalam mengungkapkan adanya semacam permasalahan tertentu secara sistematis dan berusaha memecahkan permasalahan yang ada tersebut dengan metode ilmiah yang baik.

d. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah merupakan unsur yang paling penting dalam penelitian untuk mendapatkan bahan hukum dengan validitas tinggi. Tanpa suatu metode maka seorang peneliti akan mengalami kesulitan dalam menentukan, merumuskan dan memecahkan masalah dalam mengungkapkan suatu kebenaran.

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum yang berguna untuk menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 35).

Beberapa hal yang menyangkut metode penelitian dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal atau penulisan hukum kepustakaan. Yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Penelitian hukum normatif sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas (Amiruddin &

H. Zainal Asikin, 2008: 118). Penelitian hukum normatif adalah suatu

(20)

commit to user

prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006: 57).

2. Sifat Penelitian

Dalam usaha memperoleh bahan hukum yang diperlukan untuk menyusun penulisan hukum ini, maka akan dipergunakan metode penelitian preskriptif dan terapan. Sebagai suatu ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 22).

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan menggunakan pendekatan perkara (case approach). Pendekatan perkara (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Dalam penelitian normatif perkara-perkara tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum (Johnny Ibrahim, 2006: 321).

4. Jenis Bahan Hukum Penelitian

Bahan hukum adalah suatu keterangan atau fakta dari obyek yang diteliti.

Berkaitan dengan jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis yang merupakan penelitian normatif, maka jenis bahan hukun yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder didapat dari sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu melalui bahan hukum yang diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, himpunan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku, hasil penelitian yang berwujud

(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

laporan, bahan-bahan dari internet maupun bentuk-bentuk lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.

5. Sumber Bahan Hukum Penelitian

Sumber bahan hukum adalah tempat dimana bahan-bahan hukum dalam penelitian ini diperoleh. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yang meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 141). Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

4) Putusan Pengadilan dalam Putusan Kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer (Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2008: 32).

Yang digunakan dalam penelitian hukum ini antara lain buku-buku terkait, karya ilmiah, makalah, artikel, sumber dari internet, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2008: 32). Bahan hukum tersier seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Kamus Politik, dan Ensiklopedia.

(22)

commit to user 6. Teknik Pengumpulan Bahan hukum

Berdasarkan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka untuk memeperoleh bahan hukum yang mendukung, kegiatan pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan (library research), yang dalam hal ini studi pustaka dilaksanakan dengan membaca dan mempelajari buku-buku literatur, surat kabar, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan dokumen resmi yang terkait dengan permasalahan yang sesuai dengan dasar penyusunan penulisan hukum ini.

7. Teknik Analisa Bahan hukum

Agar bahan hukum yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan maka perlu suatu teknik anaisis bahan hukum yang tepat. Analisis bahan hukum merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Di dalam penelitian studi kepustakaan, disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Dalam penelitian hukum ini permasalahan hukum dianalisa oleh penulis dengan metode deduksi, yaitu manarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393). Analisa dengan menggunakan metode deduksi ini dengan menggunakan premis mayor dan premis minor. Dalam premis mayor atau hal yang bersifat umum yaitu dengan menggunakan undang-undang sebagai bahan acuan yang dalam hal ini adalah KUHAP terutama dalam Pasal 183 dan beserta teori-teorinya, sedangkan premis minor atau permasalahan konkret yang dihadapi adalah alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP, yang dalam hal ini keterangan saksi yang dibacakan dan barang bukti yang dikaitkan dengan minimum pembuktian. Dari hasil tersebut ditarik suatu kesimpulan.

(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memepermudah pemahaman dalam pembahasan dan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi, penulis menjabarkan dalam bentuk sistematika skripsi sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan mengenai dua sub bab yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis uraikan tinjauan tentang pembuktian yang terdiri dari pengertian dan tujuan pembuktian, sistem pembuktian, alat bukti dan kekuatan pembuktian, prinsip minimum alat bukti menurut Pasal 183 KUHAP, asas-asas dalam pembuktian, tinjauan tentang alat bukti keterangan saksi yang meliputi pengertian saksi, syarat-syarat menjadi saksi, saksi tidak mau disumpah, dan kekuatan alat bukti keterangan saksi, tinjauan tentang penuntutan yang terdiri dari pengertian penuntutan, Penuntut Umum, tugas dan wewenang Penuntut Umum, tinjauan tentang tindak pidana pembunuhan meliputi pengertian tindak pidana, pengertian tindak pidana pembunuhan, macam-macam pembunuhan, dan cara-cara pembunuhan terhadap bayi oleh ibu kandungnya.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian tentang legalitas pembuktian keterangan saksi yang dibacakan oleh penuntut umum dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya pada kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska, serta analisis pemenuhan prinsip minimum alat bukti keterangan saksi yang dibacakan menurut Pasal

(24)

commit to user

183 KUHAP oleh penuntut umum dalam perkara pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya pada kasus Nomor 251/Pid.B/2002/PN.Ska.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini diuraikan tentang pokok-pokok yang menjadi simpulan dan saran dari penelitian ini yang tentu saja berpedoman pada hasil penelitian dan pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian dan Tujuan Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “membuktikan”

diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata “pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.

Di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak dijelaskan secara eksplisif mengenai pengertian pembuktian dalam pasal-pasal tertentu, namun mengenai pengertian pembuktian ini tersebar pada satu bab khusus mengenai pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu yang terdapat di dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 202 KUHAP. Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya pembuktian di dalam penyelesaian suatu perkara pidana di Indonesia.

Menurut M. Yahya Harahap (2000: 252) pembuktian yaitu sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada seorang terdakwa.

Menurut van Bummelen dalam Hari Sasangka & Lily Rosita (2003:

11) membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang:

1) Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi;

2) Apa sebabnya demikian halnya.

(26)

commit to user

Senada dengan hal tersebut Martiman Prodjohamidjojo dalam Hari Sasangka & Lily Rosita (2003: 11) mengemukakan membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Sudikno berpendapat bahwa membuktikan mengandung tiga pengertian yaitu membuktikan dalam arti logis, membuktikan dalam arti konvensional, dan membuktikan dalam hukum atau mempunyai arti yuridis (Sudikno Mertokusumo, 1981: 91). Membuktikan mempunyai pengertian- pengertian:

1) Memberi (memperlihatkan bukti);

2) Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran melaksanakan (cita-cita dan sebagainya);

3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu itu benar);

4) Meyakinkan, menyaksikan.

Berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di Indonesia yang masih menganut sistem pembuktian secara Negatief Wettelijk dalam pembuktian sebuah perkara pidana di Indonesia, yang pada dasarnya adalah demi mencari kebenaran materiil dan kepastian hukum pidana yang semakin nyata dibutuhkan di dalam suatu masyarakat.

Menurut Moeljatno dalam Arisirawan (http://arisirawan.wordpress.com/) hal tersebut haruslah dijalankan berdasarkan aturan-aturan yang telah dibuat, yaitu aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, serta menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan- larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Suatu pembuktian menurut hukum merupakan suatu proses menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang dalam hubungannya di dalam perkara pidana. Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian.

Pasal 183 KUHAP menjelaskan tentang apa apa yang diharuskan di dalam suatu pembuktian perkara pidana di Indonesia diantaranya perlunya minimal dua alat bukti yang sah yang memperoleh keyakinan hakim bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya, hal ini sangat penting karena menjadi patokan dalam proses pembuktian di Indonesia, gunanya adalah tidak lain dari untuk mencari suatu kebenaran materiil. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum acara pidana yang antara lain dapat dibaca di dalam pedoman pelaksanan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman sebagai berikut (Andi Hamzah, 2002: 8):

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelangaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwakan itu dapat di persalahkan.

Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut (Hari Sasangka &

Lily Rosita, 2003: 13):

(28)

commit to user

1) Bagi penuntut umum pembuktian adalah merupakan suatu usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.

2) Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk menyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.

3) Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat- alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum atau terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.

Pengajukan alat bukti di dalam persidangan menurut undang-undang dilakukan oleh (Hari Sasangka & Lily Rosita, 2003: 13);

1) Penuntut umum dengan tujuan untuk membuktikan dakwaannya;

2) Terdakwa atau penasihat hukum, jika ada alat bukti yang bersifat meringankan, untuk meringankan atau membebaskan terdakwa.

Pada dasarnya yang mengajukan alat bukti dipersidangan adalah penuntut umum (alat bukti yang memberatkan), terdakwa atau penasihat hukum (jika ada alat bukti yang meringankan). Dalam hal ini terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Hal ini dikarenakan adanya asas praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP. Jadi pada prinsipnya yang membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum.

b. Sistem Pembuktian

Di dalam teori dikenal empat sistem pembuktian (Hari Sasangka &

Lily Rosita, 2003: 14):

(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

1) Conviction in time.

Ajaran pembuktian conviction in time adalah suatu ajaran pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata. Hakim di dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada.

Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada di dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada dipersidangan.

Akibatnya dalam memutuskan perkara menjadi subjektif sekali, hakim tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya.

Seseorang bisa dinyatakan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya. Demikian sebaliknya hakim dapat membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan meskipun bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

Sistem pembuktian conviction in time dipergunkan dalam sistem peradilan juri (Jury rechtspraak), misalnya di Inggris dan Amerika Serikat.

2) Conviction in raisone.

Ajaran pembuktian ini juga masih menyadarkan pula kepada keyakinan hakim. Hakim tetap tidak terikat pada alat-alat yang ditetapkan dalam undang-undang. Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim bisa mempergunakan alat- alat bukti di luar yang ditentukan oleh undang-undang. Namun demikian dalam mengambil keputusan tentang bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah didasarkan alasan-alasan yang jelas. Jadi hakim harus mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan tersebut juga berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable).

Keyakinan hakim haruslah didasari dengan alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

(30)

commit to user 3) Sistem pembuktian positif.

Sistem pembuktian positif (positief wetelijk) adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seorang terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting. Dalam hal ini keyakinan hakim sangat diabaikan. Pada pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah yakni yang ditentukan oleh undang- undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Dalam hal ini seorang hakim laksana robot yang menjalankan undang-undang. Namun demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini yaitu hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nurani sehingga benar-benar objektif.

Yaitu menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang- undang. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perbahan hukum.

4) Sistem pembuktian negatif.

Sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone. Hakim dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. Jadi dalam sistem negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni:

a) Wettelijk yaitu adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

b) Negatief yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.

(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan dipersidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seseorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan.

Sistem pembuktian negatif dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat digunakan untuk pembuktian.

Dalam pembuktian ini penuntut umum membuat surat dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung jawab untuk menyusun alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan atau tentang kesalahan terdakwa, bukan sebaliknya terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Hakim dalam menjatuhkan putusan akan menilai semua alat bukti yang sah untuk menyusun keyakinan hakim dengan mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana yang harus dijatuhkan kepadanya setimpal dengan perbuatnnya (Martiman Prodjohamidjojo, 1983: 19).

c. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil atau pendirian atau dakwaan. Alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana disebut dakwaan di sidang pengadilan misalnya: keterangan terdakwa, keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk (Andi Hamzah, 1996: 254).

Alat bukti dahulu diatur dalam Pasal 295 HIR, yang macamnya disebutkan sebagai berikut:

(32)

commit to user 1) Keterangan saksi;

2) Surat-surat;

3) Pengakuan;

4) Tanda-tanda (petunjuk).

Jenis-jenis alat-alat bukti yang sah diatur di dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut:

1) Keterangan saksi

Keterangan saksi diatur di dalam Pasal 185 KUHAP. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa:

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

(5) Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

d. Cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

2) Keterangan ahli

Sedangkan keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan yang sebelumnya diambil sumpah terlebih dahulu. Pasal 1 butir 28 KUHAP pengertian keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Namun dalam Penjelasan Pasal 186 dikatakan sebagai berikut:

Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.

Menurut Pasal 343 Ned. Sv. dalam Andi Hamzah (2002: 268) definisi keterangan ahli adalah pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya tentang sesuatu apa yang yang dimintai pertimbangannya.

Isi keterangan seorang ahli menurut Andi Hamzah (2002: 269) adalah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu.

(34)

commit to user 3) Surat

Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluaran isi pikiran (Andi Hamzah, 2002: 271). Dalam Pasal 187 KUHAP dijelaskan bahwa surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4) Petunjuk

Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 KUHAP. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (ayat (1)). Petunjuk dapat diperoleh dari (ayat (2)):

a) Keterangan saksi:

b) Surat:

c) Keterangan terdakwa.

(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

5) Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan dalam persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan “pengakuan” atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya (ayat (3)).

Keterangan terdakwa berbeda dengan pengakuan terdakwa yang ada dalam peraturan lama HIR yang menyebutkan bahwa pengakuan terdakwa sebagai alat bukti menurut Pasal 295. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengkuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar.

Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan (Andi Hamzah, 2002: 273).

Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan kerena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:

a) Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.

b) Mengaku ia bersalah.

Tetapi suatu hal berbeda antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan pengakuan terdakwa ialah bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sebagai alat bukti lain merupakan alat bukti.

Dalam Pasal 184 ayat (2) dijelaskan hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang secara umum sudah diketahui disebut notoire feiten (Pasal 184 ayat (2) KUHAP).

d. Prinsip Minimum Alat Bukti Menurut Pasal 183 KUHAP

Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata

(36)

commit to user

lain asas minimum pembuktian adalah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa (M. Yahya Harahap, 2002: 283). Artinya sampai batas minimum pembuktian mana yang dapat dinilai cukup membuktikan kesalahan-kesalahan terdakwa.

Dalam Pasal 183 KUHAP diatur mengenai sistem pembuktian yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari pasal tersebut di atas, putusan hakim haruslah didasarkan pada dua syarat yaitu:

1) Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

2) Dari alat bukti tersebut hakim memperolah keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

Maksud dari kata-kata minimum dua alat bukti yang sah adalah untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa baru boleh dilakukan hakim apabila kesalahan terdakwa telah dapat dibuktikan dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah. Jadi minimum pembuktian yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar kepadanya dijatuhi pidana harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Satu alat bukti saja, undang-undang menganggap tidak atau belum cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Batas minimum yang dianggap cukup oleh undang-undang paling sedikit dua alat bukti yang sah.

Jika dihubungkan antara Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan secara rinci bahwa alat bukti yang sah menurut undang- undang adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Di luar selain yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Apabila Pasal 183 dihubungkan dengan jenis alat bukti tersebut, maka terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat

(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

(1). Oleh karena itu minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa sekurang-kurangnya atau paling sedikit dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan (M. Yahya Harahap, 2002: 283):

1) Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain;

2) Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.

Prinsip batas minimum pembuktian ini berkaitan dengan pemeriksaan perkara dengan acara pemeriksaan biasa. Sistem dan prinsip pembuktian dalam pemeriksaan perkara dengan acara pemeriksaan biasa, tidak sepenuhnya diterapkan dalam perkara dengan acara pemeriksaan cepat.

Dapat dicontohkan dalam perkara dengan acara pemeriksaan cepat, prinsip minimum pembuktian tidak mutlak dipedomi. Artinya dalam perkara acara cepat, pembuktian tidak diperlukan mesti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Satu alat bukti saja sudah cukup mendukung keyakinan hakim. Hal ini berdasarkan penjelasan Pasal 184 KUHAP pemeriksaan perkara cepat cukup dibuktikan dengan satu alat bukti dan keyakinan hakim.

Penyimpangan ini dapat dibenarkan, hal ini dikarenakan pada dasarnya pembuktian dalam perkara acara cepat, lebih cenderung pada pendekatan pembuktian secara formal (M. Yahya Harahap, 2002: 284).

e. Asas-Asas dalam Pembuktian

Dalam pembuktian dikenal adanya asas-asas sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam pembuktian, diantaranya:

1) Menjadi saksi adalah kewajiban (Pasal 159 ayat (2) KUHAP).

(38)

commit to user

2) Satu saksi bukan saksi/unus testis nullus testis (Pasal 185 ayat (2) KUHAP).

3) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan/ notoire feiten (Pasal 184 ayat (2) KUHAP).

4) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, sehingga hanya mengikat dirinya sendiri (Pasal 189 ayat (3) KUHAP).

5) Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian, karena pengakuan terdakwa tidak menghilangkan syarat minimum pembuktian, jadi, meskipun terdakwa mengaku, penuntut umum dan persidangan tetap wajib membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain, karena yang dikejar adalah kebenaran materiil (Pasal 189 ayat (4) KUHAP).

2. Tinjauan tentang Alat Bukti Keterangan Saksi a. Pengertian Saksi dan Kesaksian

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP).

Sedangakan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur dari keterangan saksi adalah:

1) Keterangan dari orang (saksi);

2) Mengenai suatu peristiwa pidana;

3) Peristiwa itu ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengertian saksi adalah orang yang terlibat (dianggap) mengetahui terjadinya tindak pidana, kejahatan atau suatu peristiwa. Keterangan yang didengar atau diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukanlah suatu kesaksian. Terhadap keterangan saksi, hakim menilai kebenarannya dengan menyesuaikan keterangan-

(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

keterangan saksi satu dengan yang lainnya, keterangan saksi dengan alat bukti sah yang ada. Jenis saksi dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1) Saksi A charge yaitu saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum dikarenakan kesaksiannya memberatkan terdakwa.

2) Saksi A de charge yaitu saksi yang dipilih atau ditunjuk oleh penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum yang sifatnya meringankan terdakwa.

b. Syarat-syarat menjadi saksi.

Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar alat bukti keterangan saksi dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Dalam Pasal 1 butir 26, pada dasarnya setiap orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi. Menurut M. Yahya Harahap dalam Onti-Rug (http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com) Keterangan saksi agar dapat menjadi alat bukti yang sah harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:

1) Keterangan saksi yang diberikan harus diucapkan di atas sumpah, hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP.

2) Keterangan saksi yang diberikan di pengadilan adalah apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP.

3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, hal ini sesuai dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP.

4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agar mempunyai kekuatan pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP.

5) Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan

(40)

commit to user

tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP.

Dengan demikian berarti apabila alat bukti keterangan saksi tidak memenuhi persyaratan seperti disebutkan di atas, maka keterangan saksi tersebut tidak sah sebagai alat bukti, dengan demikian tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Dari syarat sahnya keterangan saksi agar mempunyai nilai kekuatan pembuktian, salah satunya disebutkan bahwa antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain harus mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Tapi bagaimana apabila keterangan dari beberapa saksi yang dihadirkan di sidang pengadilan saling “berdiri- sendiri”, maksudnya adalah bahwa keterangan antara saksi yang satu dengan saksi yang lain di sidang pengadilan tidak terdapat kesesuaian atau tidak ada keterkaitan atau hubungan yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu.

Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Dari pengertian keterangan saksi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hal- hal yang bersifat pendapat, hasil rekaan, dan keterangan yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukan merupakan keterangan saksi, sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dikatakan sah adalah:

1) Syarat formil

a) Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP);

b) Seorang saksi telah mencapai usia dewasa yang telah mencapai usia 15 tahun atau lebih atau sudah menikah. Sedangkan orang yang belum mencapai usia 15 tahun atau belum menikah dapat

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Seperti yang dibahas dalam kitab fikih, hutang dalam pinjaman bisa berupa barang atau uang, jika pinjaman itu berupa barang, biasanya para ahli hukum

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dan eksplisit dapat

Pelaksanaan pendidikan karakter di SMP saat ini belum menunjukan hasil yang memuaskan. Sebagian besar guru masih memusatkan perhatian pada tataran kognitif,

Pengaruh penggunaan gaya mengajar resiprokal terhadap peningkatan kepercayaan diri siswa pada saat pembelajaran permainan sepakbola.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Multicomponent Adsorption Isotherm Studies on Removal of Multi Heavy Metal Ions in MSW Leachate Using

Penelitian ini bertujuan untuk lengetahui lengetahui seberapa besar lotivasi untuk lelanjutkan jejanjang pendidikan ke perguruan tinggi pada siswa SMA di Blora

Pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah

Pada penelitian ini helmet sepeda berbahan polymeric foam diperkuat serat TKKS akibat beban impak jatuh bebas dilakukan dengan pengujian pada material polymeric foam, pada