i
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN
DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH
Tesis
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Kebijakan Publik
Disusun Oleh:
LIES SETYAWATI
NIM : S311010104
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
ii
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN
DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH
DISUSUN OLEH :
LIES SETYAWATI
NIM : S311010104
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
1. Pembimbing I Prof. Dr. Hartiwingsih S.H., M.Hum ... ... NIP. 19570203 198503 2 00
2. Pembimbing II Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum ... ... NIP. 19641201 200501 1 001
Mengetahui :
Ketua Program Magister Ilmu Hukum
iv
Nama : LIES SETYAWATI
NIM : S. 311010104
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : “Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasidan ditunjukan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang
saya peroleh dari tesis tersebut. Selanjutnya untuk membuktikan keaslian tesis, saya
memperbolehkan tesis ini diupload dalam website Program Paska Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret.
Surakarta, Juni 2012
Yang membuat pernyataan,
LIES SETYAWATI
v
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga tesis yang berjudul “Sinkronisasi dan
Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Kegiatan Pertambangan di
Kawasan Hutan pada Era Otonomi Daerah” ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat magister program
studi ilmu hukum program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tesis ini membahas sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan
terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah serta
upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan
tersebut.
Kemudian penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan, dorongan, baik bersifat materil maupun spiritual.
Ucapan terima kasih yang tulus dan dengan kerendahan hati penulis haturkan kepada
yang terhormat :
1.
Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku rektor Universitas Sebelas MaretSurakarta.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program PascasarjanaUniversitas Sebelas Maret Surakarta.
3.
Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk kuliah pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana dan juga sebagai
dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini.
4.
Bapak Prof.Dr.Adi Sulistiyono,S.H.,M.H.selaku Ketua Program Studi Ilmu HukumProgram Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
izin dalam penelitian tesis dan juga sebagai tim penguji yang telah banyak
vi
telah memberikan kemudahan penulis dalam memberi izin penelitian
6.
Bapak Dr. Hari Purwadi SH.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I sekaligus sebagaiPembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan pencerahan
dan masukan demi selesainya penulisan tesis ini.
7.
Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS., selaku tim penguji yang telah memberikanbanyak masukan terhadap penulisan tesis ini.
8.
Bapak, ibu dan rekan-rekan di Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan,Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, khususnya Bapak Eko Novi, S.Sos., M.Si,
Kepala Seksi Perambahan dan Kebakaran Hutan Wilayah II, yang telah membantu
penulis dalam memperoleh data dan informasi terkait kegiatan pertambangan illegal
di kawasan hutan.
9.
Bapak Dr. Budi Riyanto, SH, Ahli Perancang Peraturan Perundang-UndanganUtama pada Kementerian Kehutanan, yang telah banyak memberikan inspirasi,
pencerahan, bimbingan dan petunjuk dalam penyelesaian tesis ini.
10.
Bapak Krisna Rya., S.H.,M.H, Kepala Biro Hukum dan Organisasi, KementerianKehutanan.
11.
Bapak Supardi, S.H., Kepala Bagian Bantuan Hukum dan Penanganan Perkara,Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kehutanan.
12.
Bapak Drs. Afrodian Lutoifi, SH., M.Hum, Kasubag Bantuan Hukum II, dan MasYudi Ariyanto, SH., MT, Kasubag Bantuan Hukum I, yang telah memberikan
motivasi, ide dan masukan dalam penulisan tesis ini.
13.
Rekan-rekan Biro Hukum dan Organisasi, khususnya rekan-rekan staf di BagianBantuan Hukum dan Penanganan Perkara.
14.
Seluruh Staf Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telahbanyak membantu selama perkuliahan.
15.
Kawan-kawan mahasiswa-i Program Studi Ilmu Hukum yang tak dapat penulisvii
program pascasarjana.
17.
Oo terima kasih atas support dan kebersamaannya dalam mendengarkan keluhkesah selama penulisan tesis ini.
18.
Sahabatku Nana terima kasih atas canda tawa dan kebersamaan yang menghiburdisela-sela penulisan tesis ini.
19.
Adik-adikku Dudi dan Desi, serta ponakanku tercinta Muhamad Raihan, terimakasih support dan kebersamaannya.
20.
Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.Semoga amal baik semua pihak mendapat balasan kebaikan yang berlipat dari
Alloh SWT, dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Amin.
Surakarta, Juli 2012
viii
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR TABEL... xi
ABSTRAK... xii
ABSTRACT... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah ... 19
C. Tujuan Penelitian ... 19
D. Manfaat Penelitian ... 19
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Kebijakan Publik... 21
B. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik ... 24
C. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan ... 29
1. Pengertian Perundang-Undangan... 29
2. Norma Hukum Negara Republik Indonesi ... 32
3. Ruang Lingkup Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan.... 40
D. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam ... 44
E. Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah ... 49
1. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah ... 49
2. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah ... 58
F. Tinjauan Umum Tentang Perizinan ... 66
1. Pengertian perizinan... 66
ix
5. Syarat Sah Perizinan ... 73
G. Kerangka Berpikir... 74
1. Bagan ... 74
2. Penjelasan Bagan ... 74
H. Penelitian Yang Relevan……… .... 77
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 78
B. Sifat Penelitian ... 79
C. Pendekatan Penelitian ... 79
D. Jenis dan Sumber Data ... 81
E. Teknik Pengumpulan Data... 83
F. Teknik Analisis Data... 83
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 85
1. Peraturan Perundang – Undangan Sektor Pertambangan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan ... 85
2. Peraturan Perundang-Undangan Sektor Kehutanan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan ... 87
3. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Sektor Pertambangan dan Kehutanan ... 89
B. Pembahasan 1. Sinkronisasi dan Sinergi Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur Kegiatan Pertambangan Dalam Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah ... 100
x
B. Implikasi... 136
C. Saran... 136
xi
Tabel:
1. Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, serta Kabupaten dan/atau Kota Dalam Menerbitkan
IUP.
2. Sinkronisasi Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dengan Substansi Pasal 38 ayat (3) jo Pasal
50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan
3. Sinkronisasi Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 66 UU
Kehutanan
4. Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU Otonomi Daerah terkait
xii
Lies Setyawati, S. 311010104. 2012. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah
Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengsinkronkan dan mengsinergiskan peraturan perundang-undangan tersebut.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (doctrinal) dengan menggunakan konsep hukum yang kedua yaitu hukum sebagai norma-norma positif_di dalam sistem perundang-undangan nasional. Penelitian ini bersifat preskriptif dan terapan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditarik simpulan Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron namun belum sinergis, karena peraturan-peraturan tersebut masih bersifat sektoral sehingga implementasinya belum terpadu satu dengan yang lainnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengsinergiskan peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut yaitu dengan cara memadukan visi dan misi sektor kehutanan dan pertambangan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan dan pertambangan agar lintas sektoral dan terpadu satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas penulis menyarankan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah haruslah lintas sektoral, PP Minerba perlu mensyaratkan perlunya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP yang berada dalam kawasan hutan dan perlu adanya aturan yang mengatur IUP di dalam kawasan hutan wajib mencantumkan klausul, untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan baru bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan.
xiii
Lies Setyawati, S.311010104. 2012. Synchronization and Synergy of Regulations Concerned with The Mining Activity in Forest Area on The Era of Regional Autonomy.
Thesis: Graduate Program of Sebelas Maret University of Surakarta.
This research aims to determine the synchronization and synergy of the regulations that regulate mining activities in forest areas in the era of regional autonomy and to identify the efforts can be done to synchronize and synergy that regulations.
The type of the research is normative legal research (doctrinal) by using second law concept namely law as positive norm in the national legislation system. This research includes the type of research that is prescriptive normative law and applied by using statue and concept approachment. Types of data used are secondary data, consisting of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Data collection techniques used through library research and data collection through electronic media relating to the matter under research. Data analysis technique applied in this research is deductive logic, that conclude from a general case to the individual case involving by formulating the facts, seeking its causal relationships, and develop reasoning based on the cases.
Based on research results and discussion, it can be concluded that the laws and regulations of mining activities in forest areas in the era of regional autonomy has been synchronized, but not synergistic, because the regulations are still a sectoral so that its implementation has not been integrated among other. There for it’s necessary to do efforts to synergy such regulations by integrating vision and mission of mining and forestry sector as well as the improvement of regulations of mining and forestry sector in order to be cross sectoral and integrated among others.
Based on the abovementioned data, the author suggest legislation that regulates mining activities in forest areas in the era of regional autonomy should be cross-sectoral. Furthermore PP Minerba needs to require the need for coordination with the ministry of forestry in the issuance of the IUP that located in forest areas. Additionally the need of the rule to regulate IUP set in the forest area must include a clause, for mining activities in forest areas can only be started after the license to use the forest area from forestry minister.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak
ternilai harganya yang wajib disyukuri. Hutan sebagai modal pembangunan
nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa
Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara
seimbang dan dinamis. Bahkan dunia internasional pun mengakui keberadaan
sumber daya hutan Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting terwujudnya
keseimbangan ekosistem planet bumi secara lintas generasi melalui fungsinya
untuk menyerap emisi berbagai gas dan polutan beracun yang menjadi
penyebab meningkatnya efek rumah kaca serta semakin menipisnya lapisan
ozon.1
Hutan mempunyai fungsi ekologi yang penting, yaitu fungsi hidrologi
hutan yang bersifat lokal dan regional, fungsi pengaturan iklim, khususnya
pemanasan global serta sebagai sumber daya hayati bersifat global. Kerusakan
hutan tidak saja merugikan secara fisik dan ekonomis, tetapi yang paling
penting adalah terhadap keseimbangan ekonomi dan ekologi. Lingkungan hutan
merupakan suatu ekosistem tertentu dengan fungsi tertentu, dimana di dalam
ekosistem tersebut memiliki peran masing-masing. Apabila terjadi kerusakan,
maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem di dalam hutan tersebut.
Terganggunya keseimbangan ekosistem tersebut akan menyebabkan dampak
ikutan terhadap seluruh sistem yang ada dalam hutan tersebut.
Kerusakan hutan dalam hubungannya dengan ekologi dapat dijelaskan
misalnya terjadi pemanasan global, efek rumah kaca serta pergeseran musim,
khususnya di daerah tropik. Pemanasan global terjadi akibat dari menurunnya
jumlah hutan. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan semakin
renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan perkataan lain
kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat hubungan
harmonis antara manusia dengan hutan dan segala problematikanya. Hubungan
harmonis ini mulai retak, pada saat terjadi eksploitasi sumber daya hutan.
Eksploitasi hutan di Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda
sampai era reformasi saat ini. Eksploitasi hutan Indonesia secara berlebih yang
telah dilakukan sejak zaman kolonial menyebabkan rusaknya kawasan hutan di
Indonesia.
Semasa penjajahan Belanda dan Inggris, penebangan hutan (deforestasi)
terjadi atas kebijakan perdagangan Vereeigde Oost Indische Compagnie (VOC)
yang mengizinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan
pembuatan kapal. Kegiatan ini didukung kebijakan izin pembukaan lahan untuk
kepentingan pertanian agar memperoleh pendapatan dari pajak bumi melalui
sistem tanam paksa cultuurstesel). Sistem ini memaksa perubahan fungsi hutan
menjadi kebun kopi, tebu, vanila dan karet.2
Pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945, kegiatan penebangan hutan
terus berlanjut. Sebagian besar deforestasi pada zaman itu disebabkan oleh
penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan
tahunan. Tindakan ini bertujuan untuk membiayai perang. Setelah melakukan
penebangan, lahan disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman
pangan. Khusus di Pulau Jawa-semasa Jepang berkuasa-kurang lebih 4.428
hektar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian.3Setelah Indonesia merdeka,
eksploitasi hutan di Indonesia terus berlanjut. Sejak awal dekade 1970-an,
sektor kehutanan di Indonesia telah memainkan peranan penting dalam
2 Praminto Moehaya, Mengintip Sejarah Deforestasi di Indonesia,
www.burung.org/download.php?id=569, diakses pada tanggal 18 Mei 2011
pembangunan nasional sebagai sumber terbesar perolehan devisa non migas,
pelopor perkembangan industri, penyedia lapangan kerja, dan penggerak
pembangunan daerah.4
Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek
ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian, sejalan dengan
pertambahan penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber
daya hutan semakin meningkat. Dengan terjadinya tekanan terhadap hutan
tersebut, perusakan hutan yang terjadi di Indonesia memiliki hubungan yang
signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebab sumber daya hutan merupakan
pemasok devisa Negara terbesar setelah migas (minyak dan gas bumi).5
Dalam perkembangannya pemanfaatan hutan hanya menjadi monopoli
segelintir orang yang mendapat hak pengusahaan hutan. Masyarakat sekitar
hutan yang hidup bertahun-tahun hidup dalam hubungan harmonis dengan
hutan di sekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber daya hutan, baik
langsung maupun tidak langsung. Anne M. Larson dan Jesse C. Ribot
mengemukakan, The world bank estimates that 1.6 billion people depend on
forests for livehood. Unfortunately, communities living in and near forest suffer
from outsiders commercial exploitation of forest resources, and it is clear from
commodity chain and forest-village studies that vast profits are extracted
through many commercial forest activities, yet little of these profit remain in
local hand. (Bank dunia memperkirakan 1,6 milyar orang menggantungkan
hidupnya pada sumber daya hutan. Sayangnya masyarakat yang hidup di sekitar
hutan justru dirugikan dengan adanya kegiatan eksploitasi hutan untuk
kepentingan komersial yang dilakukan oleh pihak luar, dari hasil studi rantai
komoditas dan hutan desa, banyak keuntungan diambil dari hasil perdagangan
komoditas hutan namun hanya sedikit keuntungan yang dapat dinikmati
4Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 1, 2010): hal. 1
masyarakat sekitar hutan)6. Tersingkirkannya masyarakat sekitar hutan, memicu
masyarakat sekitar hutan melakukan berbagai usaha illegal terhadap hutan,
seperti perambahan dan pencurian kayu yang pada akhirnya menyebabkan
kerusakan hutan yang lebih parah lagi
Deforestation (perusakan hutan) di Indonesia saat ini telah menjadi
ancaman yang sangat serius, setiap tahunnya kerusakan hutan yang terjadi di
wilayah Indonesia terutama di luar pulau jawa, sepanjang Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua telah berada pada kondisi yang sangat
mengkhawatirkan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan
Deforestation sebagai kejadian ketika lahan hutan ditebangi atau dibersihkan
untuk dikonversi penggunaan lahan untuk sektor di luar kehutanan.7
Kehancuran hutan menunjukan pada penggantian dalam kualitas hutan, dan
terjadi ketika beragam spesies dan biomas berkurang secara penting, misalnya
penggunaan hutan secara tidak lestari. Keadaan kerusakan ini terjadi secara
nyata di Indonesia.8
Dampak terhadap kerusakan hutan di Indonesia menurut data dari
Departemen kehutanan tahun 2003-2006 menyebutkan bahwa luas hutan
Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar
dengan laju degradasi 2,1 juta hektar pertahun. Sejumlah laporan menyebutkan
antara 1,6 sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau
sama dengan luas enam kali lapangan sepak bola setiap menitnya 9.
Sebuah badan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) melansir
sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat
6
Anne M. Larson and Jesse C. Ribot, “The Poverty of Forestry policy: Double Standar On An Uneven Playing Field”, Journal of Suistainability Science,Vol. 2, No. 2, P-2
7 Fitryani Yuliawati, Eksploitasi Ekonomi dalam Politik Lingkungan di Indonesia,, http://www.subhanagung.net/2011/03/eksploitasi-ekonomi-politik.html. , diakses pada tanggal 4Mei 2011
8Ibid.
9 ICEL 2003 . Penegakan Hukum Illegal Logging permasalahannya dan solusinya
di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87
juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap
hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Lembaga lain United
Nation Environment Program (UNEP/GRID-Arendal) pada Mei 2007
mempublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke
belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950, Kalimantan
nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan 50%
hijaunya. Pada 2020, diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar
25% saja) yang akan tertinggal di pulau ini.10
Kerusakan hutan di Indonesia telah menjadi ancaman yang sangat serius
bagi kelestarian lingkungan maupun perekonomian masyarakat. Kerusakan
hutan yang terjadi selama ini berkaitan erat dengan kebijakan pengelolaan hutan
yang diterapkan pemerintah. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan
hutan tidak berada di ruang hampa sehingga kita dapat merekayasa secara
tunggal namun ia mengakar dan ditopang oleh sistem politik sebagai
dinamisator masyarakat11. Pengelolaan hutan Indonesia banyak dipengaruhi
oleh perubahan dinamis dalam kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian
negara. Selain itu kebijakan pengelolaan hutan dan lahan selama zaman
kolonial sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di kemudian hari dalam
menetapkan kerangka peraturan dan kebijakan hutan nasional.
Sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung
jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu
penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari,
10Fitryani Yuliawati, op. cit.
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan
dilandasi akhlak mulia dan bertangung-gugat. Berikut tiga aspek penting dalam
rangka pemanfaatan hutan, yaitu:12
a. Asas Kesejahteraan Sosial, ialah asas keutamaan yang menitikberatkan
perhatian kepada realitas kesejahteraan di sektor kehidupan masyarakat
bawah. Dalam pengelolaan hutan, penduduk asli dan anggota masyarakat
yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan, memiliki peranan penting
untuk melestarikan hutan.
b. Asas Keuntungan Ekonomi, atau disebut juga asas profitibilitas yakni,
suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi pada perolehan laba
dalam rangka peningkatan pendapatan dan kemajuan usaha.
c. Asas Kelestarian Lingkungan, atau disebut prinsip ekologi yaitu, suatu
prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi kepada usaha pemanfaatan
hutan secara lestari dengan sistim silvikultur.
Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, tetapi
negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur
dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan
hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Atas dasar hak menguasai tersebut, selanjutnya negara (pemerintah) berwenang
untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain yang terpaksa harus
menggunakan kawasan hutan. Untuk itu setiap kegiatan pemanfaatan atau
penggunaan kawasan hutan diberikan secara selektif dan terencana dalam satu
perizinan oleh Menteri.
Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan
yang bersifat penting dan strategis, maka perlu adanya ketentuan yang dapat
mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut. Atas dasar hal tersebut maka
dalam ketentuan Pasal 38 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (untuk selanjutnya disebut UU Kehutanan) diatur penggunaan
kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan
melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan, karena dengan mekanisme
tersebut Pemerintah masih mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan
mengendalikan penggunaan kawasan hutan tersebut. Sebagai tindak lanjut atas
ketentuan tersebut, maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan.
Adapun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang dapat
diberikan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan secara tegas telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, yaitu:
a. Religi;
b. Pertambangan;
c. Instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi
baru dan terbarukan;
d. Pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun
relay televisi;
e. Jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;
f. Sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi
umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;
g. Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air,
dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
h. Fasilitas umum;
i. Industri terkait kehutanan;
j. Pertahanan dan keamanan;
l. Penampungan sementara korban bencana alam.
Reformasi tahun 1998 membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi
yang lebih luas di Indonesia. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan
kebijakan desentralisasi di Indonesia kearah yang nyata. Reformasi memberi
hikmah yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi
daerah yang sesungguhnya.13
Pasal 18 dan 18A, B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), mengamanatkan pelaksanaan
otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Hal tersebut diejawantahkan
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo
undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut
UU Pemerintahan Daerah).
Sebagaimana telah disebutkan, landasan yuridis konstitusional
pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan B, UUD 1945.
Perkembangan paradigma dan arah politik dalam sektor pemerintahan daerah
yang terakomodir dalam UUD 1945 tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan
ketentuan sebagai berikut:
1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2).
2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 2).
3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat 1).
4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat 2).
5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat 1).
6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum
(Pasal 18 ayat 3).
7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil
(Pasal 18 A ayat 2).14
Dari prinsi-prinsip tersebut, tampak bahwa sendi-sendi otonomi telah terpenuhi.
Sendi-sendi otonomi yang dimaksud adalah :
1. Pembagian kekuasaan (sharing of power)
2. Pembagian pendapatan (distribution of income)
3. Kemandirian administrasi daerah (empowering).15
Mengingat semakin besarnya tanggung jawab pemerintah daerah
(daerah otonom) tersebut, maka demi kelancaran dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah serta suksesnya pembangunan di daerah, perlu didukung
oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Tata hukum yang jelas, khususnya sektor hukum administrasi Negara.
2. Standar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tinggi.
3. Manajerial organisasi pemerintahan yang baik, termasuk juga menyangkut
birokrasi pemerintahan.
4. Strategi pembangunan yang tepat dan efektif.16
Dengan adanya pemberian keleluasaan kepada daerah, maka daerah
harus dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat menjadi
lebih baik, mau mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan,
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah maupun
antara sesama daerah, sehingga akan terjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
14 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (filosofi, sejarah perkembangan, dan problematikanya), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005): hal. 20.
15Ibid, hal. 83
Pembagian urusan menjadi isu yang sangat penting dalam pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah karena pembagian urusan merupakan
jantungnya desentralisasi dan nafasnya otonomi daerah.17 Dalam UU
Pemerintahan Daerah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan
daerah diatur dalam pasal 10 :
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Berdasarkan ketentuan pasal 10 di atas, jelaslah bahwa pengelolaan
sumber daya hutan dan bahan galian tambang, tidak termasuk dalam urusan
pemerintahan sebagaimana diatur dalam ayat (3) atau dengan kata lain telah
didesentralisasikan
Di beberapa Negara Asia termasuk Indonesia, kebijakan nasional
mereka memberi peluang pengurusan hutan oleh pemerintah lokal (daerah).
Rowena Soriaga and Sango Mahanty mengemukakan, given these limitations
with highly centralized modes of forest governance, several countries in the
region are transferring some planning and implementations decisions to state
or local governments, especially to smaller-scala forest areas. The Philippines’
Local Government Code 1991, Thailand’ Tambon Administrative Act 1994,
Indonesia’ Regional Autonomy Law 1999, and Cambodia’ Commune Law 2001
are some of the national policies that provides opening for nurturing local
forest governance.(untuk membatasi mode pengelolaan hutan yang sentralisitk
(terpusat), beberapa Negara di Asia mengalihkan perencanaan dan pengambilan
keputusan kepada pemerintah lokal (daerah), terutama yang berkenaan dengan
pengelolaan hutan daerah skala kecil. UU Pemerintah Daerah Filipina Tahun
1991, UU Tambon Administratif Thailand Tahun 1994, UU Otonomi Daerah
Indonesia Tahun 1999 dan UU Komune Kamboja Tahun 2001 membuka
peluang untuk pengelolaan hutan oleh pemerintah lokal (daerah))18.
Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang
pemerintah daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat
operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat
kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau
makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.19
UU Kehutanan mengakomodasi desentralisasi kewenangan dalam
pengelolaan hutan. Hal ini tertuang dalam Pasal 66 UU Kehutanan yang
menyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
18Rowena Soriaga and Sango Mahanty, “Strengthening Local Forest Governance: Lessons on The Policy-Practice Linkage From Two Programs To Support Community Forestry in Asia”.
International Journal of Social Forestry (IJSF), 2008, 1(2):96-122, ISSN 1979-2611, www.ijsf.org , diakses tanggal 17 Oktober 2011
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud
ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam
rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan
dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan
efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
Desentralisasi sektor kehutanan merupakan upaya pelimpahan wewenang dan
urusan dari pemerintah pusat kepada kepala daerah provinsi dan kabupaten.
Menurut Fisher20, pengamatannya di berbagai daerah secara jelas menunjukan
bahwa sangat sulit mengimplementasikan suatu kebijakan kehutanan yang di
desain oleh pusat di daerah. Oleh karena itu, perlu ada penyerahan sebagian
kewenangan kepada daerah dalam pengambilan keputusan maupun
merumuskan sasaran. Dengan mendekatnya proses pengambilan kebijakan
dengan sumberdaya dan masyarakat serta stakeholder lainnya yang secara
langsung mendapatkan dampaknya, diharapkan bisa lebih mewujudkan
pengelolaan hutan lestari, adil dan demokratis serta membantu mengeluarkan
masyarakat setempat dari jerat kemiskinan.
Kebijakan otonomi diharapkan dapat meningkatkan peran serta
masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan dan memberikan kesempatan
yang lebih luas kepada masyarakat setempat dalam memperoleh akses dan
manfaat sumber daya hutan. Terkait peningkatan partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumber daya hutan ini, FAO menyatakan:21
The modern concept of multi-stakeholder forest management has
20 Dodik Ridhon Nurruchmat, Strategi Pengelolaan Hutan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.1, 2005): hal. 39
become a trend to incorporate all the various stakeholders making decisions about forest management and use. Community forestry is in example on a continuum of participation and involvement in resources management where local communities are involved in forestry activities from the growing of trees to the processing of forest product, and
generating income trough small forest based industries.(Konsep
pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak telah menjadi model pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak dari berbagai kalangan dalam mengambil kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Contoh keterlibatan masyarat kehutanan dalam rangkaian partisipasi dan keterlibatan mereka dalam mengelola sumber daya alam, adalah dilibatkannya masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mulai dari penanaman pohon sampai dengan mengelola hasil hutan, dan mendapatkan pendapatan dari hasil industri hutan skala kecil).22
Dalam perjalanan, kebijakan kehutanan di era otonomi daerah belum
menunjukan hasil yang memuaskan. Pemerintah Daerah dalam pengelolaan
hutan lebih mengedepankan eksploitasi hutan untuk meningkatkan pendapatan
daerah mereka bukan untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan,
sehingga tingkat kerusakan hutan di era otonomi dearah meningkat secara
signifikan. Luke Lazarus Arnold menyatakan:
As happened in Bolivia following decentralisation there, regional government throughout Indonesia have seen logging as a key to establishing independent revenue stream. Before the Otda laws even came into effect, many district/municipal governments proceeded to issue great number of small-scale commercial timber licences. Most of these carried no obligation to engage in reforestation activities, or to refrain from clear felling or logging in catchmen areas. As some district had no even established a regulatory agency, they clearly had no intention of ensuring that the holder of these licences logged strictly
according to the terms of the licences anyway. (Sama seperti
pelaksanaan desentralisasi di Bolivia, pemerintah daerah di Indonesia juga menempatkan hasil penebangan kayu untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Bahkan sebelum otonomi daerah berlangsung, banyak pemerintah daerah yang telah memproses untuk menerbitkan izin-izin pengusahaan hutan/pemungutan kayu skala kecil. Kebanyakan dari izin-izin tersebut diterbitkan tanpa kewajiban untuk melakukan penanaman kembali atau memperbaiki kondisi lahan di areal
penebangangan yang diberikan izin tersebut. Bahkan para pemerintah daerah tidak membentuk dewan pengawas untuk mengawasi apakah para pemegang izin hak pengusahaan hutan/pemungutan kayu tersebut benar-benar melakukan kegiatan penebangan hanya pada areal yang telah diberikan izin)23.
Selain kaya akan sumber daya hutan, Indonesia juga kaya akan sumber
daya mineral. Letak Indonesia yang berada pada posisi tumbukan dua buah
lempeng besar, yaitu lempeng Pasifik di Utara dan Lempeng Australia di
Selatan mendukung kondisi pembentukan mineralisasi berbagai mineral atau
bahan galian berharga, seperti mineral logam dan lain-lain. Seperti hal nya
dengan hutan, bahan galian tambang, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
juga dikuasasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Pengaturan pengelolaan bahan galian atau sektor pertambangan di
Indonesia, sama halnya dengan landasan hukum sektor lain pada umumnya,
yaitu dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga, sampai dengan
pemerintahan Orde Lama, secara konkret pengaturan pengelolaan bahan galian
atau sektor pertambangan masih mempergunakan hukum produk Hindia
Belanda yang langsung diadopsi menjadi hukum pertambangan Indonesia.
Terjadinya peralihan kekuasaan dari pemerintahan orde lama ke
pemerintahan orde baru, telah mendorong semangat baru untuk melahirkan
peraturan perundang-undangan sektor pertambangan sejalan dengan munculnya
semangat pembaruan dan pembangunan nasional yang direncanakan
pemerintahan orde baru. Maka, untuk mendukung program pembangunan
nasional tersebut, diperlukan pembiayaan yang besar, salah satunya dengan cara
menggali potensi sumber pendapatan Negara dari kekayaan alam Indonesia.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka lahirlah Undang-undang No.
11 Tahun 1967 tentang Ketenntuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui
undang-undang tersebut, memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk
melakukan pengelolaan bahan galian dengan membuka peluang bagi investor
asing untuk melakukan investasi pengelolaan bahan galian yang diminatinya.
Undang-undang No. 11 Tahun 1967, telah berhasil menarik investasi dalam
pertambangan, namun bentuk-bentuk izin pengusahaan bahan galian
berdasarkan undang-undang ini masih terpusat (berada di tangan menteri).
Terpusatnya kewenangan dan pengurusan legalitas pengusahaan bahan galian
pada tangan menteri, menimbulkan disharmonisasi pengelolaan bahan galian
antara pemerintah dan masyarakat di daerah yang kaya akan bahan galian.
Sejalan dengan bergulirnya reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah,
peraturan perundang-undangan sektor pertambangan juga mengalami
perubahan. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan diganti dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). UU Minerba
telah mengakomodir kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian, karena
sesuai dengan ketentuan UU Pemerintahan daerah, sektor pertambangan
termasuk urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah.
Kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian tercermin dari ketentuan
yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam mengeluarkan Izin Usaha
Pertambangan (IUP).
Dalam pengaturan pengelolaan bahan tambang, peraturan sektor
pertambangan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terkait dengan
sektor-sektor lainnya, hal ini berhubungan dengan lokasi dimana bahan galian
tambang itu berada, karena hak atas Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), atau Wilayah Izin Usaha
Pertambangan Khusus (WIUPK) tidak meliputi hak atas tanah dipermukaan
bumi (Pasal 134 ayat (1) UU Minerba). Oleh karena itu peraturan sektor
apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang dilarang untuk melakukan
kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari instansi terkait
(Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba). Termasuk dalam ketentuan Pasal 134
ayat (2) dan (3) UU Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada
dalam kawasan hutan. Oleh karena itu untuk kegiatan pertambangan dalam
kawasan hutan perlu adanya harmonisasi antara peraturan sektor pertambangan
dengan sektor kehutanan.
Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan potensial menimbulkan
konflik kewenangan antar instansi terkait. Sektor kehutanan dan pertambangan
potensial mendatangkan dan menjadi sumber pendapatan, sehingga
mengundang berbagai sektor yang terkait, baik pusat maupun daerah untuk
masuk dan berebut dengan mendasarkan diri pada klaim kewenangan
masing-masing. Konstantasi seperti ini, potensial pula meletupkan perselisihan
(wewenang) antara pusat dan daerah dan juga antar sektor yang terkait dengan
sektor kehutanan.24 Disamping itu, ketidakjelasan definisi kewenangan
administrasi dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah pusat dan
daerah juga masih menghambat efektivitas pelaksanaan pembangunan hutan di
daerah. Ketidaksepahaman pemerintah pusat dan daerah di antaranya dalam hal
kewenangan pemberian izin-izin pemanfaatan dan pengusahaan hutan.
Termasuk dalam hal kebijakan pemberian izin penggunaan kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan.
Pada era otonomi daerah ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan
yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk
kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan, jika dikaitkan
dengan Pasal 18, dan 18A UUD 1945 yang menjadi dasar otonomi
seluas-luasnya bagi daerah dalam implementasinya di lapangan menimbulkan konflik
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara (untuk selanjutnya disebut sebagai UU Minerba)
pemerintah daerah berwenang memgeluarkan izin usaha pertambangan, namun
apabila lokasi pertambangan berada dalam kawasan hutan, berdasarkan
ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal 38 ayat (3) UU
kehutanan pemegang izin usaha pertambangan tetap harus mempunyai izin
pinjam pakai dari menteri kehutanan. Hal ini menimbulkan konflik kewenangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan berpegang pada ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU
Kehutanan yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan
untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan. Adapun
pemerintah daerah dalam hal pemberian izin pertambangan pada kawasan hutan
berpegang pada Undang-unndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah) yang merupakan
pengejawantahan Pasal 18 dan 18A UUD 1945, yang mensyarakatkan
desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, termasuk desentralisasi dalam sektor kehutanan yang lebih lanjut
ditafsirkan pemerintah daerah termasuk dalam desentralisasi kewenangan
pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di
dalam kawasan hutan.
Konflik kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan
mengakibatkan tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah
dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan. Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (selanjutnya disebut Ditjen PHKA) Kementerian
Kehutanan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang lokasinya
tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaan-perusahaan tambang
pemegang izin usaha pertambangan yang areal kerjanya berada dalam kawasan
hutan. Hal ini menyebabkan makin maraknya perusahaan tambang yang
beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam pakai penggunaan
kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Berdasarkan data Ditjen PHKA
Kementerian Kehutanan sampai dengan tahun 2010 di wilayah Kalimantan saja
terdapat sedikitnya 1.236 (seribu dua ratus tiga puluh enam) perusahaan
tambang yang beroperasi dalam kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai dari
Menteri Kehutanan, dengan luas total kawasan hutan yang dijadikan areal kerja
adalah seluas 6.946.301,95 (enam juta Sembilan ratus empat puluh enam ribu
tiga ratus satu koma sembilan puluh lima) hektar.
Dengan tidak mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan para
perusahaan tambang tersebut mangkir dari kewajiban membayar PSDH DR dan
PNBP dan dapat mangkir dari kewajiban melakukan reklamasi di areal kerja
mereka. Dapat dibayangkan kerugian Negara dan kerusakan hutan akibat
kegiatan pertambangan illegal tersebut.
Guna mencegah kerugian Negara dan kerusakan hutan yang lebih parah
lagi maka konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan perlu
dibenahi. Untuk itu perlu dikaji sinkronisasi dan sinergitas peraturan
perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan
hutan pada era otonomi daerah, khususnya eksistensi peraturan
perundang-undangan yang mengatur kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan
izin penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan pada era otonomi daerah.
Berdasarkan hal-hal tersebut penulis tertarik untuk menulis tesis yang berjudul:
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan dalam latar belakang masalah di
atas selanjutnya dirumuskan masalah yaitu:
1. Apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan
pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron
dan sinergis satu dengan yang lainnya?
2. Upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan
perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam
kawasan hutan pada era otonomi daerah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian hukum ini adalah:
1. Untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan
perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan
pada era otonomi daerah
2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
menyinergiskan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan
pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah
D. Manfaat penelitian
Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat
khususnya Kementerian Kehutanan yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis :
Sebagai bahan masukan atau referensi dalam rangka sumbangan pemikiran
bagi ilmu hukum dalam kajian hukum dan kebijakan publik mengenai
2. Manfaat Praktis :
Sebagai masukan bagi instansi pemerintah pada umumnya dan secara
khusus bagi Kementerian Kehutanan dalam menyelesaikan konflik
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah terkait kebijakan
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Kebijakan Publik
Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik (public policy). Masing-masing definisi
tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena
masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara
di sisi yang lain, pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya
akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut di definisikan.25
Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert
eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai “ hubungan suatu unit pemerintah dengan
lingkungannya.26 Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung
pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan
kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.27 Sedangkan Carl J Frederick,
mendefinisikan kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan
tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya
mencari peluang-peluang untuk mencapai atau mewujudkan sasaran yang
diinginkan.28
25 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, ( Yogyakarta: Media Pressindo, Cet. III, 2005): hal.15
26Ibid 27Ibid.
28 Solichin Abdul Wahab, Analisa Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi
Amara Raksa Raya mengemukakan:29
“Kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen, yaitu:
1. Indentifikasi dari tujuan yang ingin dicapai
2. Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.”
Menurut Thomas R Dye dalam Budi Winarno, “kebijakan publik adalah
apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.30Senada
dengan pendapat Dye, Edwards III dan Sharkasky mengemukakan kebijakan
negara adalah “...is what goverment say and do, or not to do. It is the goals
purpose of goverment programs” (...adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan
atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau
tujuan program pemerintah).31
Pengertian Kebijakan menurut Kartasasmita, merupakan upaya untuk
memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau yang tidak dilakukan)
oleh pemerintah mengenai suatu masalah (2) apa yang menyebabkan atau yang
mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dari kebijakan negara tersebut.32
Menurut Amir Santoso:33
“kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah kategori: Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi dalam dua
29 Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000):hal. 17-18.
30Budi Winarno, op. cit., hal. 15. 31Irfan Islamy, op. cit., hal. 18
32Joko Widodo, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi
Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Insan Cendekia, 2001): hal.189
kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam kubu yang pertama melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah ”serangkaian intruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut”. Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari rangkaian Keputusan dan tindakan”.
Berkaitan dengan definisi kebijakan publik, Anderson mengatakan
bahwa:34 “public policies are those policies developed by goverment bodies
and officials” (kebijakan negara adalah kebijakan kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Menurut
Anderson implikasi dari pengertian kebijakan negara tersebut adalah:35
1. bahwa kebijakan negara itu mempunyai tujuan.
2. bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah.
3. bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. Jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.
4. bahwa kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, dan
5. bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan atau selalu didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa.
Berdasarkan pengertian-pengertian kebijakan publik yang telah
diuraikan di atas, maka kebijakan publik yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah kebijakan kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan
pejabat-pejabat pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka
untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang
diinginkan.
B. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik
Seperti telah diuraikan di atas “kebijakan publik adalah apapun yang
dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Kebijakan publik itu
berupa sasaran atau tujuan program pemerintah. Untuk mencapai tujuan-tujuan
yang telah dipilih dan ditentukan tersebut sehingga dapat terwujud di dalam
masyarakat maka diperlukan beberapa sarana. Salah satu bentuk sarana yang
cukup memadai adalah hukum dengan berbagai macam bentuk peraturan
perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, “law effectively legitimates
policy”, atau dengan perkataan lain, “proper attention to the use of law in
public policy formulation and implementation requires an awarness of the
condition under which law is effective”.36 Dengan kata lain hukum merupakan
sarana untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Hukum merupakan
serangkaian alat untuk merealisasi kebijaksanaan pemerintah.
Sejalan dengan apa yang telah diuraikan di atas maka pembuatan
kebijakan publik harus didasarkan pada hukum karena dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditentukan
bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Menurut Immanuel Kant,
Negara hukum merupakan salah satu tujuan Negara, maksudnya:
Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan yang menjadi rakyatnya. Ketertiban hukum perseorangan adalah syarat utama dari tujuan suatu negara. Tujuan Negara ialah pembentukan dan pemeliharaan hukum di samping dijamin daripada kebebasan dan hak-hak warganya. Rakyat harus mentaati undang-undang yang dibuat
dengan persetujuannya sendiri. Lain daripada itu perseorangan dilihat oleh Kant sebagai pihak yang sama derajatnya dengan Negara itu sendiri. Baik Negara maupun perorangan adalah subyek-subyek hukum, yang harus memandang satu dengan yang lain sebagai sesamanya sebagai pihak-pihak yang memegang hak-hak dan kewajiban. Sehingga Negara tidak dapat memandang perseorangan sebagai obyek yang tidak bernyawa dan tak mempunyai hak apa-apa.37
Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka tindakan
yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga masyarakatnya harus
didasarkan pada hukum. Dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan
tindakannya ini dapat dilihat dari dua sisi yakni pada satu sisi, memberikan
keabsahan bagi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang sekaligus
memberikan perlindungan hukum jika terjadi gugatan yang dilakukan oleh
warga masyarakat. Oleh karena itu, maka salah satu inti hakikat hukum
administrasi adalah “melindungi administrasi Negara itu sendiri”.38Maksudnya,
kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah akan mendapat perlindungan
hukum jika kebijakan itu dibuat berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Pada sisi lain, melalui dasar hukum dilakukan pembatasan terhadap
kekuasaan yang dimiliki pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pembatasan itu perlu dilakukan karena sekecil apapun kekuasaan yang
digenggam suatu lembaga atau seseorang, seperti yang sudah dibuktikan dalam
keseharian kita, ia tetap problematik ketika tidak diatur”.39
Hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan keberadaannya
bukan sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri namun sebagai lembaga yang
bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam kebijakan publik. Untuk menghindari terjadinya
penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan maka hukum dapat
37Didid NazmiYunas, Konsepsi Negara Hukum, (Padang: Angkasa Raya, 1992): hal.26. 38 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1992): hal..6
39 Cornelis Lay, “Lembaga Kepresidenan Di Indonesia”, dalam Tidak Tak Terbatas Kajian
dipergunakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut karena secara teknis
hukum dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan
memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat.
2. Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi.
3. Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi
melawan kritik.
4. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan
sumber-sumber daya.40
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa hukum dapat
digunakan sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang
telah ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalah
hukum. Oleh karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and
executive orders are indicators of policy. Law also sets the framework for
public policy”.41 Dengan demikian dasar bagi suatu pembuatan kebijakan
publik oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah harus didasarkan
pada hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Hukum tertulis sebagai hukum positif merupakan hukum yang
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Sehubungan dengan hukum positif ini,
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ditentukan jenis dan hieraki
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
40Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994): hal. 76-77.
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Selain hukum tertulis, yang juga menjadi dasar pembuatan kebijakan
publik adalah hukum tidak tertulis yakni asas-asas umum pemerintahan yang
baik (general principle of goal of administration), Asas-asas ini meliputi:
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of
equality);
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of
competence);
7. Asas permainan yang layak (principles of fair play);
8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition
of arbitrariness);
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised
expectation);
10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of
undoing the consequences of an annulled decision);
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of
protecting the personal way of life);
12. Asas kebijaksanaan (sapientia);
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).42
Penggunaan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis (asas-asas umum
pemerintahan yang baik) sebagai landasan bagi pembuatan kebijakan publik
42 Ateng Syafrudin, “Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian Kepala Daerah”, dalam Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB),
adalah penting dengan maksud agar penerapan hukum itu dapat menjamin
adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya,
kebijakan publik umumnya harus “dilegalisasikan” dalam bentuk hukum,
karena sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Dari pemahaman
dasar ini kita dapat melihat keterkaitan di antara keduanya dengan sangat jelas.
Bahwa sesungguhnya antara hukum dan kebijakan publik itu pada tataran
praktek tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan seiring, sejalan dengan
prinsip saling mengisi. Jika dikaji berdasarkan logika, dapat dikatakan bahwa
“sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka
produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Demikian pula
sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum
tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik
tersebut”.43
Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat kita lihat dalam
prakteknya, dimana keduanya dalam penerapannya dapat saling melengkapi
sehingga baik hukum maupun kebijakan publik dalam penerapannya dapat
berjalan dengan lebih baik. Hubungan simbiosis mutualisme tersebut dapat
dilihat dari tiga sektor kajian, yakni formulasi, implementasi dan evaluasi.
Dalam perbincangan hubungan hukum dan kebijakan publik dalam
konteks formulasi, sesungguhnya kita akan membahas bagaimana antara
pembentukan hukum dan formulasi kebijakan publik itu dapat saling
memperkuat satu dengan yang lainnya. Pada tingkatan implementasi kita akan
berbicara tentang bagaimana penerapan hukum dan implementasi kebijakan
publik dapat saling membantu memperlancar berjalannya hasil-hasil hukum dan
kebijakan publik di lapangan. Sedangkan pada konteks evaluasi kita akan
banyak membahas tentang bagaimana perbaikan kebijakan publik yang selama