• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KEPUASAN DALAM MEMEDIASI PENGARUH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN KEPUASAN DALAM MEMEDIASI PENGARUH"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN BRAND EQUITY PRODUK SHAMPO MEREK SUNSILK DENGAN MEREK PANTENE

(STUDI KASUS PADA PENDUDUK DI KOTA DENPASAR)

Oleh:

IDA AYU RARAS ARISTYANI NIM: 0906205037

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ANALISIS PERBANDINGAN BRAND EQUITY PRODUK SHAMPO MEREK SUNSILK DENGAN MEREK PANTENE

(STUDI KASUS PADA PENDUDUK DI KOTA DENPASAR)

Oleh:

IDA AYU RARAS ARISTYANI NIM: 0906205037

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi

(3)

Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetujui oleh Pembimbing, serta diuji

pada tanggal : 12 Juli 2012

Tim Penguji : Tanda tangan

1. Ketua : Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE, MS.

2. Sekretaris : Drs. I Komang Ardana, MM

3. Anggota : Drs. Ida Bagus Darsana, M.Si

Mengetahui,

Ketua Jurusan Manajemen Pembimbing

Prof.Dr. Ni Wayan Sri Suprapti, SE,MSi Dr.Ni Nyoman Kerti Yasa SE, MS

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan

Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Analisis Perbandingan Brand Equity Produk Shampo Merek Sunsilk dengan Merek Pantene (Studi Kasus Pada Penduduk di Kota Denpasar)”.

Penulis menyadari, bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan

pengarahan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan

skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr I Gusti Bagus Wiksuana, SE, MS, selaku Dekan Fakultas

Ekonomi Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa SE, MSi, selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

3. Ibu Prof. Dr. Ni Wayan Sri Suprapti, SE MSi dan Ibu Dr. Ni Nyoman Kerti

Yasa SE, MS masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Manajemen

Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

4. Bapak Drs. I Komang Ardana, MM, selaku Pembimbing Akademis.

5. Ibu Dr Ni Nyoman Kerti Yasa SE, MS, selaku dosen pembimbing atas waktu,

bimbingan, masukan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan

(5)

6. Seluruh staf pengajar dan administrasi di lingkungan Fakultas Ekonomi

Universitas Udayana yang telah mencurahkan segenap ilmu dan melayani

keperluan administrasi selama penulis menimba ilmu di Fakultas Ekonomi

Universitas Udayana.

7. Orang tua tercinta, kakak adik tersayang serta I.B Yogi Puspakanta yang

senantiasa dengan tulus memberikan doa, semangat, serta dukungan kepada

penulis selama menyelesaikan studi.

8. Sahabat dalam suka maupun duka: Maya Prabasari, Noviantari, Kusuma,

Mirah, Cakra, Riska Roseviyanthi atas dukungan, motivasi dan doa kepada

penulis dari awal hingga selesainya skripsi ini.

9. Teman-teman Manajemen angkatan 2009 dan semua pihak yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat dan bantuan

selama penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih

banyak terdapat kesalahan dan kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan

kemampuan serta pengalaman penulis. Namun demikian, skripsi ini diharapkan dapat

memberikan manfaat bagi yang berkepentingan.

Denpasar, Juni 2012

Penulis

(6)

Judul : Analisis Perbandingan Brand Equity Produk Shampo Merek Sunsilk dengan Merek Pantene (Studi Kasus pada Penduduk di Kota Denpasar)

Nama : Ida Ayu Raras Aristyani

Nim : 0906205037

ABSTRAK

Merek menjadi alat bersaing yang kuat bagi sebuah produk di era globalisasi ini. Merek yang baik dapat disebut memiliki ekuitas merek yang kuat. Dua merek produk shampo, yaitu Sunsilk dan Pantene memiliki eksistensi merek yang cukup bersaing di pasaran sekarang ini, dari tahun 2009 hingga 2011 Sunsilk berturut-turut memperoleh penghargaan Top Brand diposisi pertama, namun di tahun 2012 Pantene berhasil mengalahkan Sunsilk di penghargaan tersebut. Dalam penelitian yang berjudul “Analisis Perbandingan Brand Equity Produk Shampo Merek Sunsilk dengan Merek Pantene (Studi Kasus Pada Penduduk di Kota Denpasar)” ini, dimaksudkan untuk mengetahui bagaimanakah perbedaaan posisi brand equity beserta elemen-elemennya (brand awareness, brand association, brand perceived quality dan brand loyalty) antara produk shampo merek Sunsilk dengan Merek Pantene.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, dokumentasi serta kuesioner. Kuesioner menggunakan skala Likert dengan skala 1 sampai dengan 4. Jumlah sampel yang digunakan adalah 120 responden dengan teknik purposive sampling. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji validitas dan uji reliabilitas serta untuk memecahkan masalah menggunakan teknik analisis beda T-test dengan sampel berpasangan (paired sample).

Hasil analisis menunjukan bahwa brand equity produk shampo merek Pantene lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk shampo merek Sunsilk. Ini berarti konsumen produk shampo merek Pantene lebih merasa puas, lebih merasa rugi bila berganti merek (brand switching), lebih menghargai dan lebih merasa terikat kepada merek Pantene tersebut dibandingkan dengan shampo merek Sunsilk.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian...12

1.2.1 Tujuan Penelitian...12

1.2.2 Kegunaan Penelitian...13

1.3 Sistematika Penulisan...14

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori...16

2.1.1 Produk (Product)...16

2.1.2 Pengertian merek (brand)...18

2.1.3 Kebaikan dan keburukan merek...19

2.1.4 Ekuitas merek (brand equity)...21

2.1.5 Kesadaran merek (brand awareness)...25

2.1.6 Asosiasi merek (brand association)...28

2.1.7 Persepsi kualitas merek (brand perceived quality)...30

2.1.8 Loyalitas merek (brand loyalty)...32

(8)

2.3 Rumusan Hipotesis...43

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian...45

3.2 Objek Penelitian...46

3.3 Identifikasi Variabel...46

3.4 Definisi Operasional Variabel...46

3.5 Jenis dan Sumber Data...49

3.5.1 Jenis data...49

3.5.2 Sumber data...50

3.6 Populasi dan Metode Penentuan Sampel...51

3.6.1 Populasi...51

3.6.2 Metode penentuan sampel...51

3.7 Metode Pengumpulan Data...52

3.8 Validitas dan Reliabilitas Instrumen...54

3.8.1 Validitas instrumen...54

3.8.2 Reliabilitas instrumen...54

3.9 Teknik Analisis Data...55

3.9.1 Analisis kuantitatif...55

3.9.2 Analisis kualitatif...55

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum PT Unilever Indonesia Tbk...56

4.2 Gambaran Umum PT Procter&Gamble Home Products Indonesia (P&G)...57

4.3 Gambaran Umum Konsumen di Kota Denpasar...58

4.4 Karakteristik Responden...59

4.5 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen...63

4.6 Pembahasan...64

(9)

4.6.3 Perbandingan persepsi kualitas merek (brand perceived quality). 67 4.6.4 Perbandingan loyalitas merek (brand loyalty)...69 4.6.5 Perbandingan ekuitas merek (brand equity)...70

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan...73 5.2 Saran...74

DAFTAR RUJUKAN

(10)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

1.1 Tingkat Kepercayaan Terhadap Produk yang Ada

Logo TOP BRAND-nya...4

1.2 Pengaruh Keberadaan Logo TOP BRAND dalam Kemasan Sebuah Produk dalam Memilih/Membeli Produk Tersebut ...5

1.3 Hasil TOP BRAND 2012 Kategori Shampo...8

4.1 Jumlah Penduduk Kota Denpasar per Kecamatan Tahun 2010...58

4.2 Karakteristik Responden...59

4.3 Konsistensi Penggunaan Produk Shampo...61

4.4 Faktor-faktor yang Dipertimbangkan Konsumen Ketika Menggunakan Produk Shampo...62

4.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen...64

4.6 Hasil Uji Beda T-Test Pada Subvariabel Brand Awareness...65

4.7 Hasil Uji Beda T-Test Pada Subvariabel Brand Association...66

4.8 Hasil Uji Beda T-Test Pada Subvariabel Brand Perceived Quality...68

4.9 Hasil Uji Beda T-Test Pada Subvariabel Brand Loyalty...69

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman

1 Kuesioner...1

2 Data Responden Kuesioner dan Pertanyaan Lain...8

3 Hasil Kuesioner Brand Awareness Produk Shampo Merek Sunsilk dan Pantene...13

4 Hasil Kuesioner Brand Association Produk Shampo Merek Sunsilk dan Pantene...17

5 Hasil Kuesioner Brand Perceived Quality Produk Shampo Merek Sunsilk dan Pantene...21

6 Hasil Kuesioner Brand Loyalty Produk Shampo Merek Sunsilk dan Pantene... 25

7 Rata-Rata Indikator Variabel Brand Equity dan Elemen-elemennya...29

8 Uji Validitas Instrumen...33

9 Uji Reliabilitas Instrumen...37

(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam era globalisasi ini dimana persaingan begitu sengit, banyak produk

sejenis yang beredar di pasaran. Karena itu arti sebuah merek (brand) menjadi sangat

penting. Untuk bertahan di pasaran diperlukan sebuah merek (brand) yang akan

menciptakan nilai tambah atas suatu produk. Darwing dan Wijoyo (2004)

mengemukakan merek (brand) adalah nama dan identitas utama suatu produk atau

jasa badan usaha, sehingga dapat dibedakan dari produk atau jasa sejenis yang

ditawarkan oleh pesaing. Menurut Widjaja dan Wijaya (2007) selain sebagai pembeda

dan identitas sebuah produk di tengah-tengah lautan produk sejenis, sebuah merek

(brand) mempunyai makna psikologis dan simbolis yang istimewa di mata

konsumen. Produk bisa saja dengan mudah ditiru oleh pesaing, namun suatu merek

(brand) sangat sulit untuk ditiru karena persepsi konsumen atas nilai suatu merek

(brand) tertentu tidak akan mudah diciptakan.

Menurut Kartajaya (2004:144) merek (brand) merupakan nilai utama

pemasaran. Semakin kuat merek produsen di pasar, maka semakin eksis pula merek

tersebut, terutama dalam hal mendominasi kesadaran konsumen sehingga akan

mengarahkan konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut. Pernyataan ini juga

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mourad, Ennew dan Kortam (2011).

(14)

aspek dari kekuatan dan keunggulan perusahaan dalam persaingan global. Merek

yang sukses memberikan keuntungan kompetitif yang sangat penting untuk

keberhasilan perusahaan (Fayrene dan Chai Lee, 2011). Dengan demikian, merek

(brand) saat ini tak hanya sekedar identitas suatu produk saja dan hanya sebagai

pembeda dari produk pesaing, melainkan lebih dari itu, merek (brand) memiliki

ikatan emosional istimewa yang tercipta antara konsumen dengan produsen. Pesaing

bisa saja menawarkan produk yang mirip, tapi tidak mungkin menawarkan janji

emosional yang sama. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Daulay (2006), Kartono (2007), dan Robertus (2007).

Merek yang baik dapat disebut memiliki ekuitas merek yang kuat. Menurut

Durianto, dkk (2004:6) ekuitas merek (brand equity) merupakan aset yang dapat

memberikan nilai tersendiri di mata pelanggan. Apabila brand equity-nya tinggi,

maka nilai tambah yang diperoleh konsumen dari produk tersebut akan semakin

tinggi pula dibandingkan merek-merek produk lainnya. Pernyataan ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Ballester dan Aleman (2004). Laboy (2007)

mengemukakan bahwa merek dengan ekuitas yang tinggi akan dapat

memaksimalisasi dan meningkatkan aliran kas secara konstan. Jadi, ekuitas merek

telah menjadi fokus yang semakin penting untuk perusahaan (Gupta dan Verma,

2008) serta menjadi isu penting dalam desain dan pengembangan perusahaan (Smith,

(15)

Kartajaya (2004:47) menyatakan bahwa produk-produk dengan keterlibatan

rendah (low involvement) memiliki ekuitas merek yang rendah karena banyaknya

varian dan barang substitusi yang muncul di pasaran. Oleh sebab itu, dibutuhkan

upaya-upaya dari produsen dengan produk keterlibatan rendah itu untuk dapat

mempertahankan eksistensi mereknya di pasaran. Menurut Quarles (2009) merek

dengan ekuitas merek yang kuat dapat mempertahankan pangsa pasar, menarik

investor serta menangkis datangnya pesaing baru.

Kekuatan merek terhadap keputusan pembelian konsumen mendorong

lembaga-lembaga riset melakukan penelitian secara berkesinambungan untuk mencari dan

memilih merek-merek terbaik pada berbagai kategori untuk memperoleh penghargaan

(award). Di Indonesia, beberapa lembaga riset yang berkompeten untuk hal ini

diantaranya Frontier untuk Indonesia Customer Satisfactions Award (ICSA), MARS

untuk Indonesia Best Brand Award (IBBA), MarkPlus untuk Superbrand, Onbee

Marketing Research untuk Word of Mouth Marketing (WOMM) Award, majalah

Marketing yang bekerja sama dengan Frontier Consulting Grup untuk Top Brand

Award, dan lain sebagainya. Penghargaan-penghargaan tersebut merupakan

kebanggaan bagi merek yang terpilih sebagai merek terbaik dan keberhasilan itu

dapat dijadikan indikator keberhasilan dan prestasi sebuah merek di pasar.

Penghargaan-penghargaan tersebut bisa menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah

merek di pasar dikarenakan penghargaan ini diperoleh berdasarkan hasil survey yang

(16)

dari konsumen terhadap sebuah merek. Eugenia (2011) menyatakan bahwa logo Top

Brand yang terpasang di kemasan memberikan pengaruh yang besar kepada

konsumen untuk memilih produk tersebut. Sehingga peluang merek suatu perusahaan

untuk dipilih konsumen akan semakin besar seiring keyakinan konsumen terhadap

merek tersebut. Konsumen pun tidak jarang menjadikan penghargaan tersebut

sebagai alasan utama untuk tetap loyal terhadap merek yang digunakan saat ini

(customer loyalty), berganti merek dan mencoba merek tersebut (brand switching)

atau melakukan migrasi (customer migration), serta meninggalkan merek yang

selama ini digunakan. Hal ini dibuktikan dengan riset yang telah dilakukan oleh

majalah Marketing dan Frontier Consulting Group. Riset yang dilakukan adalah

untuk mengevaluasi kekuatan logo Top Brand terhadap keputusan pembelian

konsumen. Berdasarkan riset tersebut diperoleh hasil seperti pada Tabel 1.1 dan Tabel

1.2 dibawah ini.

Tabel 1.1 Tingkat Kepercayaan Terhadap Produk yang Ada Logo TOP BRAND-nya

NO Keterangan Presentase (%)

1. Sangat percaya 7.9

2. Percaya 63.0

3. Biasa saja 28.0

4. Tidak percaya 0.8

5. Sangat tidak percaya 0.2

(17)

Tabel 1.2 Pengaruh Keberadaan Logo TOP BRAND dalam Kemasan Sebuah Produk dalam Memilih/Membeli Produk Tersebut

NO Keterangan Persentase (%)

1. Sangat besar 7.10

2. Besar 49.80

3. Biasa saja 41.40

4. Kecil 1.70

Sumber : Frontier Consulting Group, 2011

Dari Tabel 1.1 tersebut 7,9 persen responden mengatakan sangat percaya

terhadap produk yang memiliki logo Top Brand pada kemasannya, sedangkan 63

persen menyatakan percaya, dan sisanya sebesar 28 persen menyatakan biasa saja, 0,8

persen tidak percaya dan 0,2 persen sangat tidak percaya. Hal ini menunjukkan

bahwa tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk yang memiliki logo Top

Brand pada kemasannya cukup tinggi. Tentunya kepercayaan tersebut memiliki

pengaruh dalam minat pembelian produk tersebut. Hal tersebut dapat dilihat hasil

penelitian pada Tabel 1.2 dimana 49,8 persen adanya logo Top Brand pada kemasan

produk memiliki pengaruh yang besar dalam keputusan pembelian produk tersebut,

sedangkan 7,1 persen dari responden menyatakan keberadaan logo Top Brand pada

kemasan sebuah produk berpengaruh sangat besar dalam keputusan pembelian.

Sisanya sebesar 41,4 persen menyatakan biasa saja dan 1,7 persen menyatakan kecil

pengaruh terdapatnya logo Top Brand pada kemasan sebuah produk.

Gaya hidup modern seperti sekarang ini telah menuntut masyarakat untuk

bersikap cepat, praktis dan ekonomis. Tuntutan hidup yang semakin tinggi

(18)

yang didapat. Begitu juga dengan pola konsumsi masyarakat yang telah banyak

dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup, sehingga membuat berbagai macam

perusahaan berlomba-lomba untuk membuat produk yang dapat memenuhi kebutuhan

konsumen yang terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Shampo sudah

sangat familiar ditelinga masyarakat. Shampo adalah sejenis cairan, seperti sabun,

yang berfungsi untuk meningkatkan tegangan permukaan kulit (umumnya kulit

kepala) sehingga dapat meluruhkan kotoran (membersihkan)

(http://id.wikipedia.org/wiki/Sampo). Kegunaan shampo pun sangat diakui, yaitu

kemampuan utamanya adalah sebagai pembersih kulit kepala serta rambut dari

kotoran dan minyak. Kegiatan membersihkan kulit kepala dan rambut ini disebut

keramas. Pada saat keramas, individu dianggap melakukan perawatan dengan

mencuci rambut dan kulit kepala agar bersih dari minyak, debu, serpihan kulit dan

kotoran lain yang menempel dirambut seiring aktifitas yang dilakukannya. Seiring

perkembangan jaman, produk shampo kian bervariatif. Ini semua dikarenakan

permintaan konsumen akan jenis shampo kian beragam, karena masalah rambut yang

dimiliki tiap individu itu berbeda.

Wanita cenderung lebih memperhatikan penampilan, sehingga sangat

memperhatikan penampilan rambutnya. Menyadari hal tersebut, banyak industri

shampo saling berlomba untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan para

(19)

dalam kategori barang yang tidak tahan lama (nondurable goods), sehingga produsen

harus melakukan strategi pemasaran tertentu untuk meningkatkan preferensi merek

agar tercapai loyalitas merek pada konsumen. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Kotler (2005:73) mengenai barang yang tidak tahan lama (nondurable goods), yaitu

barang berwujud yang biasanya dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali

penggunaan, sedangkan bila dikelompokkan menurut kebiasaan belanja konsumen,

shampo termasuk ke dalam kelompok barang convinience. Barang convinience adalah

barang – barang yang biasanya sering dibeli konsumen, segera dan dengan usaha

yang minimum. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Marthin dan Semuel

(2007), produk shampo dengan merek tertentu akan mempunyai konsumen dengan

loyalitas tinggi bila terdapat kecocokan antara kualitas shampo dengan karakteristik

rambut yang dimiliki oleh konsumen. Konsumen shampo yang loyal tidak akan

bersedia ganti merek shampo yang lain, karena shampo dengan merek tersebut

mampu memberikan hasil rambut seperti yang diharapkan. Ia juga menyatakan, bila

seorang konsumen telah loyal kepada suatu merek, maka dia tidak akan dengan

mudah berpindah ke merek lain, apapun yang terjadi dengan merek tersebut.

Persaingan merek di Indonesia bisa dikatakan kompetitif begitu juga dengan

produk shampo. Hal ini dikarenakan terdapat banyaknya merek yang beredar di

pasaran, tetapi hanya beberapa merek saja yang termasuk dalam kategori Top Brand.

Top Brand mampu memberikan ukuran kesuksesan sebuah merek di pasar melalui

(20)

dan commitment share (future intention). Top Brand Index diformulasikan

berdasarkan tiga variable tersebut, dapat dikatakan ketiga variabel ini mampu

memberikan gambaran tentang kondisi merek di pasar. Variabel pertama yaitu mind

share, mengindikasikan kekuatan merek di benak konsumen. Market share

menunjukkan kekuatan merek di pasar dalam hal perilaku pembelian aktual

konsumen. Variabel ketiga, yaitu commitment share mengindikasikan kekuatan merek

dalam mendorong konsumen untuk membeli merek tersebut di masa yang akan

datang (http://www.frontier.co.id). Menurut survey yang dilakukan oleh Frontier

Consulting Group dan Majalah Marketing. Tabel 1.3 dibawah ini merupakan hasil

survey untuk produk kategori shampo dari tahun 2009 hingga 2012.

Tabel 1.3 Hasil Top Brand Kategori Shampo

Merek Persentase (%) Top Brand Index (TBI) dan Hasil Top Brand Award2009 Ket 2010 Ket 2011 Ket 2012 Ket

Sunsilk 26.3 TOP 25.9 TOP 25.8 TOP 20.5 TOP

Pantene 18.0 20.8 TOP 24.2 TOP 29.2 TOP

Clear 23.0 TOP 20.1 21.0 20.3

Lifebuoy 11.3 12.2 10.7 11.7

Rejoice 6.0 6.5 6.0 6.1

Dove 5.3 5.5 5.2 5.5

Zinc 3.8 3.5 3.2 2.3

Emeron 2.2 7.1 1.8 1.2

Head & Shoulders

1.0 1.2 -

-Sumber : Frontier Consulting Group, 2012

Kota Denpasar merupakan pasar yang potensial bagi perusahaan shampo atau

(21)

untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan kebersihannya. Pada saat ini kebersihan

adalah hal yang sangat penting untuk menjaga kesehatan. Semua kalangan

masyarakat, baik yang dalam kategori ekonomi lemah hingga kategori ekonomi kuat,

pasti menggunakan shampo untuk membersihkan rambutnya. Kebutuhan konsumen

akan shampo merupakan kebutuhan yang tinggi. Saat sekarang ini jarang ditemui

individu yang masih menggunakan air jerami, perasan daun mangkok serta santan

untuk mencuci rambutnya, hal ini dikarenakan sudah banyak produk shampo yang

tentunya lebih praktis, serta dapat merawat rambut dengan hasil yang lebih baik.

Sesuai dengan hasil survey Top Brand yang dilakukan oleh Frontier Consulting

Group dan Majalah Marketing beberapa produk shampo yang bersaing di pasaran

saat ini diantaranya Sunsilk, Pantene, Clear, Lifebouy, Rejoice, Dove, Zinc, Emeron

dan Head & Shoulders. PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Procter &

Gamble Home Products Indonesia (P&G) menguasai 90 persen pasar shampo

Indonesia, menurut data berbagai sumber yang dikompilasi Departemen Riset IFT.

Pangsa pasar Unilever Indonesia mencapai 50 persen sementara pangsa pasar P&G

Indonesia sebesar 40 persen (http://www.indonesiafinancetoday.com). Kedua

perusahaan ini merupakan perusahaan besar yang produk perawatan pribadinya

(toiletries product), yaitu shampo Sunsilk dan Pantene yang sudah menguasai pangsa

pasar shampo pada tahun 2010.

Sunsilk dan Pantene adalah merek shampo yang sudah dipercaya oleh sebagian

(22)

sangat diminati dan sudah memiliki positioning yang kuat dibenak konsumen. Dilihat

dari hasil survey dari Top Brand 2009 hingga 2012 dimana kedua merek shampo ini

memperoleh Top Brand Index yang tinggi dibandingkan dengan pesaing-pesaing

produk shampo merek lainya. Pada tahun 2009 Top Brand Index Clear mengalahkan

Top Brand Index Pantene, namun ditahun-tahun berikutnya Top Brand Index Pantene

terus mengalami peningkatan. Persaingan yang ketat antara Pantene dan Sunsilk

terlihat jelas dari perolehan Top Brand Index tersebut.

Baik Sunsilk maupun Pantene sama-sama gencar mengiklankan produknya di

televisi. Keduanya tak mau kalah dalam ‘perang’ iklan agar produknya menjadi top

of mind di benak konsumen dan menjadi produk yang paling dikenal dipasar shampo.

Kedua produk tersebut menggunakan endoser iklan yang dikenal dan dianggap

berpengaruh di masyarakat, yaitu Titi Kamal untuk Sunsilk dan Anggun C Sasmi

untuk Pantene, yang diharapkan dapat mempertegas asosiasi mereknya. Pemilihan

endorser ini adalah salah satu strategi yang dapat digunakan bagi para pemasar agar

produknya mendapat perhatian di masyarakat. Heruwati (2010) menyatakan celebrity

endorser yang dianggap sebagai panutan bagi konsumen, mungkin lebih cenderung

untuk mendorong kepercayaan dan dipercaya bagi konsumen, sehingga menjadi lebih

mampu mempengaruhi niat pembelian, sikap dan perilaku.

Selain itu, rangkaian produk yang diberikan Pantene seperti kondisioner,

(23)

merawat rambut lebih intensive sesuai dengan jenis masalah atau jenis rambut

konsumen. Sunsilk tidak mau kalah dengan Pantene, lalu Sunsilk pun juga

mengeluarkan jenis produk yang sama yaitu kondisioner, masker rambut, pelembab

rambut tanpa dibilas serta serum yang dibuat dengan menggunakan tenaga ahli untuk

menciptakan kandungan yang pas untuk masalah rambut yang dimiliki konsumen

yaitu seperti Thomas Taw ahli rambut terkemuka dari London yang terkenal sebagai

pakar untuk rambut kering dan rusak yang menciptakan kandungan sunsilk untuk

rambut rusak, sehinga rambut yang rusak dapat terlihat sehat kembali, lembut, mudah

diatur dan tidak bercabang (http://www.sunsilk.co.id).

Persaingan harga untuk produk Sunsilk dan Pantene memiliki persaingan yang

ketat. Dari hasil pengamatan disalah satu supermarket terkemuka di Denpasar harga

eceran untuk produk shampo ini dengan isi bersih 90ml yaitu dengan kisaran harga

Rp8.000,- hingga Rp9.000,-. Sedangkan untuk shampo dengan ukuran sachet dengan

harga Rp1.000,- secara eceran. Sunsilk dan Pantene juga selalu menjaga tingkat

ketersediaan produk, sehingga konsumen bisa dengan mudah mendapatkan produk ini

ditingkat eceran.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(24)

2) Bagaimanakah perbedaan brand association (asosiasi merek) produk shampo merek Sunsilk dengan Pantene?

3) Bagaimanakah perbedaan brand perceived quality (persepsi kualitas merek) produk shampo merek Sunsilk dengan Pantene?

4) Bagaimanakah perbedaan posisi brand loyalty (loyalitas merek) produk shampo merek Sunsilk dengan Pantene?

5) Bagaimanakah perbedaan brand equity (ekuitas merek) produk shampo merek Sunsilk dengan Pantene?

1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mengetahui adanya perbedaan posisi brand awareness (kesadaran merek) produk shampo merek Sunsilk dengan Pantene.

2) Mengetahui adanya perbedaan posisi brand association (asosiasi merek) produk shampo merek Sunsilk dengan Pantene.

3) Mengetahui adanya perbedaan posisi brand perceived quality (persepsi kualitas merek) produk shampo merek Sunsilk dengan Pantene.

4) Mengetahui adanya perbedaan posisi brand loyalty (loyalitas merek) produk shampo merek Sunsilk dengan Pantene.

(25)

1.2.2 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat tidak hanya bagi penulis, tetapi juga bagi

pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris pada bidang

manajemen pemasaran, khususnya tentang brand equity (ekuitas merek) serta

sub variable dari brand equity yaitu brand awareness (kesadaran merek),

brand association (asosiasi merek), brand perceived quality (persepsi kualitas

merek) dan brand loyalty (loyalitas merek) pada produk shampo merek

Sunsilk dan Pantene.

2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan dijadikan acuan

serta referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya serta diharapkan dapat

dipergunakan sebagai bahan pertimbangan, masukan dan informasi yang

berguna bagi perusahaan dalam mengambil kebijaksanaan strategis baik bagi

PT Unilever Indonesia Tbk, unit bisnis produk shampo merek Sunsilk, serta

bagi PT Procter & Gamble Home Products Indonesia (P&G), unit bisnis

produk shampo merek Pantene.

(26)

Penelitian ini terdiri dari lima bab yang saling berhubungan antara bab yang

satu dengan yang lainnya dan disusun secara terperinci dan sistematis untuk memberi

gambaran dan mempermudah pembahasan tentang penelitian ini. Sistematika dari

masing-masing bab dapat diperinci sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini dimuat latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penyajian.

BAB II : KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

Bab ini dimuat teori-teori yang berasal dari berbagai literatur yang

dianggap relevan dengan permasalahan agar dapat diakomodasikan

sebagai argumentasi yang akurat sesuai dengan pokok permasalahan

yang ada serta hipotesis yang digunakan.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini dijabarkan mengenai lokasi penelitian, objek penelitian,

identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber

data, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik

(27)

Bab ini diuraikan dan membahas permasalahan dalam penelitian ini

dengan didukung oleh teori-teori yang relevan digunakan. Selain itu,

akan dijelaskan pula mengenai gambaran umum perusahaan dan

pengolahan data yang digunakan untuk memecahkan masalah ditinjau

dari teori-teori yang digunakan.

BAB V : SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian akhir dari skripsi ini, yang didalamnya

diuraikan mengenai kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan

dan saran-saran bagi kepentingan perusahaan yang diteliti.

(28)

KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Produk (product)

Produk merupakan salah satu unsur dari bauran pemasaran yang dapat

memuaskan atau memenuhi kebutuhan dan keinginan dari konsumen. Diharapkan

melalui pembelian produk tersebut konsumen dan terpenuhi kepuasannya.

Kotler (2005:69) mendefinisikan produk adalah segala sesuatu yang dapat

ditawarkan ke pasar untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan. Produk-produk

yang dipasarkan meliputi barang fisik, jasa, pengalaman, acara-acara, orang, tempat,

properti, organisasi dan gagasan. Produk merupakan bagian dari pemasaran karena

pengertian pemasaran itu sendiri adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu

dan kelompok mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan dengan

menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai

dengan pihak lain (Kotler, 2005:10). American Marketing Association dalam Kasali

(2000:53) juga mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses perencanaan dan

eksekusi, mulai dari tahap konsepsi, penetapan harga, promosi hingga distribusi

barang-barang, ide-ide, dan jasa-jasa, untuk melakukan pertukaran yang memuaskan

individu dan lembaga-lembaganya. Jadi, produk adalah alat yang digunakan individu

atau lembaga agar pertukaran dalam pemasaran dapat dilakukan sehingga keinginan

(29)

haruslah memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Produk bisa berupa manfaat

tangible maupun intangible yang dapat memuaskan konsumen.

Kotler (2005:72) mengidentifikasikan enam tingkat hierarki produk, yaitu:

1) Kebutuhan keluarga (family need) yaitu kebutuhan inti yang mendasari

keberadaan suatu produk, contoh: keamanan.

2) Kebutuhan produk (product need) yaitu semua kelas produk yang dapat

memenuhi suatu kebutuhan inti dengan lumayan efektif, contoh: tabungan dan

penghasilan.

3) Kelas produk (product class) yaitu sekelompok produk dalam keluarga produk

yang diakui mempunyai ikatan fungsional tertentu, contoh: instrumen

keuangan.

4) Lini produk (product line) yaitu sekelompok produk dalam suatu kelas produk

yang saling terkait erat karena melaksanakan suatu fungsi yang sama, dijual

kepada kelompok pelanggan yang sama, dan dipasarkan melalui saluran yang

sama atau masuk ke dalam rentang harga tertentu, contoh: asuransi jiwa.

5) Jenis produk (product type) yaitu satu kelompok produk dalam lini produk

yang sama-sama memiliki salah satu dari beberapa kemungkinan bentuk

produk tersebut, contoh: asuransi berganda.

6) Unit produk (item) yaitu suatu unit tersendiri dalam suatu merek atau nilai

produk yang dapat dibedakan berdasaran ukuran, harga, penampilan atau ciri

(30)

2.1.2 Pengertian merek (brand)

Merek (brand) suatu produk atau jasa memegang peranan sangat penting.

Berbagai pengertian mengenai merek (brand) telah diungkapkan oleh para peneliti.

Keller (2005) mendefinisikan merek sebagai bagian paling berharga dari properti

legal, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku konsumen, dapat dibeli

dan dijual, dan menyediakan pendapatan masa depan yang aman bagi perusahaan.

American Marketing Association dalam Kotler (2005:82) mendefinisikan merek

sebagai nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi semuanya, yang

dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok

penjual dan untuk membedakannya dari barang atau jasa pesaing. Merek menjadi

tanda pengenal yang sangat penting bagi penjual atau pembuat. Definisi brand serupa

diungkapan oleh Janita (2005: 23) yaitu brand adalah ide, kata, desain grafis dan

suara/bunyi yang mensimbolisasikan produk, jasa, dan perusahaan yang

memproduksi produk dan jasa tersebut.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan brand adalah identitas

tambahan dari suatu produk yang tak hanya membedakannya dari produk pesaing;

namun merupakan janji produsen atau kontrak kepercayaan dari produsen kepada

konsumen dengan menjamin konsistensi bahwa sebuah produk akan selalu dapat

(31)

Merek-merek terbaik memberikan jaminan kualitas dan merek lebih dari

sekedar symbol. Sehingga merek dapat memiliki enam pengertian (Kotler, 2002:460)

sebagai berikut.

1) Atribut , yaitu merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.

2) Manfaat, yaitu atribut perlu diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan emosional.

3) Nilai, yaitu merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.

4) Budaya, yaitu merek juga mewakili budaya tertentu.

5) Kepribadian, yaitu merek juga mencerminkan kepribadian tertentu.

6) Pemakai, yaitu merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan merek tersebut.

2.1.3 Kebaikan dan Keburukan merek

Kotler (2005:90) merumuskan beberapa keunggulan bagi penjual yang

menggunakan merek pada produknya, yaitu:

1) Merek memudahkan penjual memproses pesanan dan menelusuri masalah

baik masalah yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan, pemesanan produk

atau jasa tersebut dan lain sebagainya.

2) Nama merek dan tanda merek penjual memberikan perlindungan hukum atas

ciri-ciri produk yang unik.

3) Merek memberikan penjual kesempatan untuk menarik pelanggan yang setia

(32)

perlindungan dari persaingan serta pengendalian yang lebih besar dari

perencanaan program pemasarannya.

4) Merek membantu penjual melakukan segmentasi pasar.

5) Merek yang kuat membantu meningkatkan citra perusahaan, memudahkan

perusahaan meluncurkan merek-merek baru yang mudah diterima para

distributor dan pelanggan.

Menurut Swastha (2002:138) alasan-alasan perusahaan untuk tidak

menggunakan merek pada barang atau jasa yang dijualnya adalah sebagai berikut.

1) Pertimbangan perusahaan

Adanya ketidakpuasan konsumen terhadap barang atau jasa yang telah

dibelinya baik mengenai mutu, harga maupun pelayanan yang diberikan

perusahaan. Adanya ketidakpuasan konsumen tersebut akan berakibat tidak

menguntungkan bagi perusahaan sebagai pemilik produk dan merek karena

konsumen akan menjadi ragu-ragu untuk melakukan pembelian ulang, tidak

hanya pembelian untuk barang yang sama tetapi juga pada barang atau jasa

lain yang memiliki merek yang sama.

2) Sifat barang

Beberapa macam barang sengaja tidak diberi merek karena sulit dibedakan

dengan barang yang dihasilkan dari perusahaan lain seperti: kapas, gandum,

(33)

basi. Apabila barang-barang semacam ini diberi merek maka resiko yang

harus ditanggung oleh perusahaan sangat besar karena apabila terjadi

kerusakan barang seringkali mengakibatkan rusaknya nama baik merek

tersebut.

2.1.4 Ekuitas merek (brand equity)

Ekuitas merek menurut Kotler dan Amstrong (2001:357) adalah nilai dari

suatu merek, menurut sejauh mana merek itu mempunyai loyalitas merek yang tinggi,

kesadaran nama, kualitas yang diterima, asosiasi merek yang kuat, serta aset lain

seperti paten, merek dagang dan hubungan saluran. Keller (2005) mendefinisikan

ekuitas merek sebagai nilai yang secara langsung ataupun tidak langsung dimiliki

oleh merek. Durianto, dkk (2004:4) mendefinisikan ekuitas merek sebagai

seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol

yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk

atau jasa baik pada perusahaan maupun pada pelanggan. Brand Equity sangat

berkaitan dengan seberapa banyak pelanggan suatu merek merasa puas dan merasa

rugi bila berganti merek (brand switching), menghargai merek itu dan

menganggapnya sebagai teman, dan merasa terikat kepada merek itu (Kotler, 2002 :

461).

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ekuitas merek (brand equity) adalah

(34)

sehingga akhirnya konsumen akan merasa mendapatkan kepuasan yang lebih bila

dibanding produk-produk lainnya.

Menurut Kotler (2005:86) ekuitas merek yang tinggi akan memberikan sejumah

keunggulan bersaing bagi perusahaan, yaitu:

1) Perusahaan tersebut akan memiliki pengaruh perdagangan yang lebih besar

dalam melakukan tawar menawar dengan distributor dan pengecer karena

pelanggan mengharapkannya menjual merek tersebut.

2) Perusahaan tersebut dapat menggunakan harga yang lebih tinggi daripada

pesaing-pesaingnya karena merek itu memiliki persepsi mutu untuk lebih

tinggi.

3) Perusahaan tersebut dapat dengan mudah melakukan perluasan produk karena

nama merek tersebut menyandang kredibilitas yang tinggi.

4) Merek tersebut menawarkan kepada perusahaan itu suatu pertahanan terhadap

persaingan harga.

Menurut Aaker dalam Simamora (2003:14) ekuitas merek memiliki tiga nilai

yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Nilai fungsional

Nilai fungsional adalah nilai yang diperoleh dari atribut produk yang

memberikan kegunaan (utility) fungsional kepada konsumen. Nilai ini

(35)

2) Nilai Emosional

Merek memberikan nilai emosional apabila konsumen mengalami perasaan

positif (positive feeling) pada saat membeli atau menggunakan suatu merek.

Pada intinya, nilai emosional berhubungan dengan perasaan yaitu perasaan

positif apa yang dialami konsumen pada saat membeli produk. 3) Nilai Ekspresi diri

Nilai ini berpusat pada ekspresi publik dengan kata lain mencari jawaban atas

“jati diri” seseorang atau tentang “bagaimana saya di mata orang lain maupun

diri saya sendiri”.

Brand equity tidak terjadi dengan sendirinya tetapi ditopang oleh elemen-elemen

pembentuk brand equity, dimana hal tersebut dapat dikelompokkan menjadi lima

kategori (Durianto, dkk; 2004:4) sebagai berikut.

1) Brand awareness atau kesadaran merek merupakan kesanggupan sekumpulan

konsumen untuk mengenal atau mengingat kembali tentang keberadaan suatu

merek yang merupakan suatu bagian dari kategori produk atau jasa tertentu.

2) Brand Association atau asosiasi merek adalah pencitraan suatu merek

terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup,

manfaat, atribut produk, geografi, harga, pesaing, selebritis dan lain-lain.

3) Brand Perceived quality atau persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen

terhadap kinerja kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa yang

dibandingkan dengan harapan konsumen dalam mengkonsumsi produk atau

(36)

4) Brand loyalty atau loyalitas merek merupakan keterikatan atau kesetiaan

konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek produk atau jasa tertentu.

5) Other proprietary asset atau aset-aset merek lainnya.

Gambar 2.1 Konsep Ekuitas Merek (Brand Equity)

Sumber: Durianto, dkk (2004:5)

Perceived quality

Brand association

Brand Equity

Brand awareness

Brand

loyalty Brand assets

Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat:

Efisiensi dan efektifitas program pemasaran

Brand loyalty

Harga atau laba Perluasan merek

Peningkatan perdagangan Keuntungan kompetitif Memberikan nilai kepada pelanggan dengan

memperkuat:

(37)

Unsur-unsur brand equity diluar other proprietaryasset dikenal dengan

unsur-unsur utama dari brand equity. Elemen brand equity yang kelima (other proprietary

asset) akan secara langsung dipengaruhi oleh kualitas dari keempat unsur utama

tersebut.

Menurut Kotler dan Amstrong (2001:461) terdapat konsumen yang sadar akan

keberadaan suatu produk atau jasa tertentu (brand awareness), dimana kesadaran

merek ini diukur berdasarkan ingatan atau pengakuan konsumen terhadap merek

tersebut. Di atas itu, ada merek yang memiliki penerimaan (brand acceptability) yang

tinggi atas suatu kondisi dimana konsumen tidak menolak untuk membeli merek

tersebut. Kemudian ada pula merek yang tingkat preferensi mereknya tinggi, ini

merupakan kondisi dimana konsumen memilih suatu merek diatas merek lainnya.

Akhirnya, terdapat merek yang memiliki tingkat kesetiaan merek yang tinggi dari

konsumen.

2.1.5 Kesadaran merek (brand awareness)

Menurut Durianto, dkk (2004:54) brand awareness merupakan kesanggupan

sekelompok konsumen untuk mengenal atau mengingat kembali tentang keberadaan

suatu merek yang berkaitan dengan suatu kategori produk atau jasa tertentu.

Schumann (2004) menyatakan bahwa brand awareness adalah kemungkinan

merek-merek yang muncul di benak konsumen ketika mengingat sebuah produk atau jasa.

Romaniuk,dkk (2004) menyatakan bahwa kesadaran merek adalah langkah pertama

(38)

membangun merek sebagai cara untuk memastikan pelanggan potensial mengetahui

kategori di mana merek tersebut bersaing.

Rangkuti (2002:40) menyatakan bahwa terdapat beberapa tingkatan brand

awareness dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut.

1) Unaware of brand merupakan tingkat kesadaran yang paling rendah dari

konsumen, dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek yang

dikaitkan dengan suatu kategori produk atau jasa tertentu.

2) Brand recognition merupakan tingkat minimal kesadaran konsumen dimana

dalam mengingat merek tersebut konsumen memerlukan bantuan.

3) Brand recall merupakan tingkat kesadaran konsumen akan suatu merek

dimana dalam mengingat merek tersebut konsumen tidak memerlukan

bantuan.

4) Top of mind merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada di benak

konsumen.

Kesadaran merek menciptakan suatu nilai-nilai tertentu, dimana oleh Durianto

dkk (2004:7) dibagi menjadi empat nilai, yaitu :

1) Jangkar tempat tautan berbagai asosiasi

Suatu merek yang kesadarannya tinggi dibenak konsumen akan membantu

asosiasi-asosiasi melekat pada merek tersebut karena daya jelajah merek

(39)

disimpulkan bahwa jika kesadaran suatu merek rendah, maka asosiasi yang

diciptakan oleh pemasar akan sulit melekat pada merek tersebut

2) Familier/rasa suka

Jika kesadaran atas merek sangat tinggi, konsumen akan sangat akrab dengan

merek tersebut, dan lama-kelamaan akan timbul rasa suka yang tinggi

terhadap merek tersebut.

3) Substansi/komitmen

Kesadaran merek dapat menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang

sangat penting bagi suatu perusahaan. Jadi jika kesadaran atas merek tinggi,

kehadiran merek itu akan selalu dapat dirasakan. Sebuah merek dengan

kesadaran konsumen tinggi biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu

diiklankan secara luas, eksistensi yang sudah teruji oleh waktu, jangkauan

distribusi yang luas, dan merek tersebut dikelola dengan baik.

4) Mempertimbangkan merek

Langkah pertama dalam suatu proses pembelian adalah menyeleksi

merek-merek yang dikenal dalam suatu kelompok untuk dipertimbangkan dan

diputuskan merek mana yang akan dibeli. Merek dengan top of mind yang

tinggi mempunyai nilai pertimbangan yang tinggi. Jika suatu merek tidak

tersimpan dalam ingatan, merek tersebut tidak akan dipertimbangkan dalam

(40)

2.1.6 Asosiasi merek (brand association)

Pengertian brand association menurut Durianto, dkk (2004:69) adalah

keseluruhan kesan yang ada di benak konsumen yang berkenaan dengan ingatannya

terhadap merek suatu produk atau jasa tertentu. Cheng dan Chen (2001)

mendefinisikan asosiasi merek sebagai informasi lain yang terhubung ke merek

dalam memori dan mengandung arti merek dalam benak konsumen. Asosiasi merek

merupakan dasar untuk kualitas pembentukan citra merek dan ekuitas merek. Bagi

pemasar, asosiasi merek berguna dalam banyak hal, terutama untuk pengambilan

keputusan dan perluasan merek produknya, sedangkan bagi konsumen bisa dijadikan

untuk dasar dalam pemilihan merek yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan dan

keinginannya (Albari dan Pramudito, 2005). Adapun fungsi brand association

menurut Durianto, dkk (2004:69) adalah sebagai berikut.

1) Help process retrive information artinya membantu dalam proses penyusunan

informasi.

2) Differentiate, artinya suatu asosiasi dapat memberikan landasan didalam

upaya membedakan antara merek yang satu dengan merek yang lainnya.

3) Reason to buy artinya brand association dapat mengangkat atribut produk

atau manfat produk bagi konsumen, dimana dalam hal ini memberikan alasan

(41)

4) Create positive attitude feelings, artinya asosiasi-asosiasi merek dapat

menciptakan perasaan yang positif berdasarkan pengalaman pemakaian

terdahulu.

5) Basis for extension, artinya asosiasi dapat menjadi landasan dalam melakukan

perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian dengan merek dan sebuah

merek baru.

Menurut Durianto, dkk (2004:70) asosiasi-asosiasi terhadap suatu merek

umumnya dikaitkan dengan hal-hal berikut.

1) Product attributes (atribut produk), dimana dengan mengasosiasikan atribut

atau karakteristik produk atau jasa dan jika atribut tersebut bermakna akan

menjadi alasan dalam pembelian merek tersebut.

2) Intangible attributes (atribut tak berwujud). Suatu atribut tak berwujud

merupakan atribut umum seperti persepsi kualitas, kemajuan teknologi, atau

kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang objektif.

3) Consumers benefits (manfaat pelanggan). Sebagian besar atribut memberikan

manfaat bagi pemakainya.

4) Relative price (harga relatif). Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas

produk ini terwakili dengan penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau

dua tingkat harga.

5) Application (pengguna). Pendekatan ini adalah mengasosiasikan merek

(42)

6) User costumers (pengguna/pelanggan). Pendekatan ini adalah dengan

mengasosiasikan merek dengan tipe pengguna atau pelanggan.

7) Celebrity person (responden terkenal/ khalayak). Responden terkenal yang

dikaitkan dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi kuat responden

terkenal tersebut kepada merek.

8) Life style personality (gaya hidup/kepribadian). Asosiasi merek yang

dikaitkan dengan gaya hidup dapat diilhami oleh asosiasi para pemakai merek

dengan kepribadian dan gaya hidup yang hampir sama.

9) Product class (kelas produk). Pendekatan ini dilakukan dengan

mengasosiasikan sebuah merek dengan kelas produknya.

10)Competitors (para pesaing). Pendekatan ini dilakukan dengan

mengidentifikasi pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan

mengunggulinya.

11)Country geographic area (Negara/ wilayah geografis). Sebuah negara dapat

menjadi simbol sebuah merek asalkan terdapat hubungan yang erat dengan

produk, bahan dan kemampuan.

2.1.7 Persepsi kualitas merek (brand perceived quality)

Brand perceived quality menurut Durianto,dkk (2004:96) adalah persepsi

konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan dari suatu produk atau jasa

(43)

pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa

layanan yang sama dengan maksud yang diharapkannya. Aaker dalam Kimpakorn

dan Tocquer (2010) mendefinisikan persepsi kualitas merek sebagai penilaian

konsumen terhadap dimensi nilai-nilai merek dan keunggulan keseluruhan merek

yang pada akhirnya membuat konsumen untuk memilih atau membeli produk

tersebut.

Brand perceived quality dapat mewujudkan lima nilai (Rangkuti, 2002:42),

yaitu:

1) Memberikan alasan utama bagi konsumen dalam membeli suatu produk atau

jasa. Hal ini akan mempengaruhi merek-merek mana yang dipertimbangkan

dan merek mana yang akan dipilih konsumen.

2) Dapat dijadikan sebagai strategi positioning yang akan membedakan suatu

merek dengan merek lainnya.

3) Dapat dijadikan sebagai pilihan dalam menetapkan berbagai harga optimum

atau harga premium.

4) Dapat menarik minat distributor, pengecer, atau saluran distribusi yang

lainnya untuk mendistribusikan merek tersebut.

5) Dapat dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagai perluasan merek yaitu

dengan menggunakan suatu merek tertentu untuk masuk dalam kategori

(44)

Dimensi brand perceived quality mengacu kepada pendapat David A. Garvin

menurut Durianto, dkk (2004:98) adalah sebagai berikut.

1) Kinerja: meliputi berbagai karakteristik operasional dari perusahaan. Oleh

karena faktor kepentingan setiap konsumen berbeda, maka konsumen memiliki

penilaian yang berbeda terhadap atribut-atribut kinerja tersebut.

2) Pelayanan: menggambarkan kemampuan untuk memberikan pelayanan pada

produk yang ditawarkan.

3) Ketahanan: menggambarkan umur ekonomis dari produk tersebut.

4) Keandalan: menggambarkan konsistensi dari kinerja produk.

5) Karakteristik produk: menggambarkan feature atau tambahan-tambahan atribut

dari produk.

6) Kesesuaian dengan spesifikasi: menggambarkan kualitas produk yang sesuai

dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji.

7) Hasil: menggambarkan kualitas yang dirasakan setelah mengkonsumsi produk

tersebut.

2.1.8 Loyalitas merek (brand loyalty)

Oliver (2000) menyatakan bahwa brand loyalty adalah pilihan dari konsumen

pada merek dari produk atau jasa yang paling disukai. Pengertian brand loyalty

menurut Rangkuti (2002:60) adalah ukuran kesetiaan konsumen terhadap suatu merek

(45)

sentral gagasan pemasaran karena merupakan suatu ukuran keterkaitan sekelompok

konsumen terhadap suatu brand equity. Loyalitas merek yang kuat adalah ketika

seorang konsumen memiliki sikap yang relative tinggi terhadap suatu merek melalui

perilaku pembelian ulang (Foong Yee dan Sidek, 2008).

Terdapat lima tingkatan brand loyalty dari yang terendah sampai yang tertinggi

(Rangkuti; 2002:61), yaitu:

1) Switcher buyer. Pada tingkat loyalitas yang paling dasar ini konsumen sama

sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek apapun yang ditawarkan.

Merek memainkan peranan yang kecil dalam keputusan pembelian karena

konsumen lebih memperhatikan harga sehingga konsumen lebih sering

berpindah-pindah merek dalam mengkonsumsi suatu kategori produk atau

jasa.

2) Habitual buyer. Pada tingkatan ini tidak terdapat dimensi ketidakpuasan yang

cukup memadai untuk mendorong perubahan dalam mengkonsumsi suatu

merek, terutama apabila pergantian ke merek lainnya memerlukan suatu biaya

tambahan.

3) Satisfied buyer. Pada tingkatan ini terdapat konsumen yang puas namun

menanggung biaya peralihan baik itu waktu, uang atau resiko sehubungan

(46)

4) Likes the brand. Konsumen memiliki perasaan emosional dalam menyukasi

suatu merek. Rasa suka ini didasari oleh asosiasi seperti simbol, pengalaman

dalam menggunakan atau kesan kualitas yang tinggi.

5) Commited buyer. Terdapat konsumen yang memang setia terhadap suatu

merek. Konsumen merasa bangga dalam memakainya karena dapat

menunjukkn identitas dirinya.

2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Guna membantu penelitian ini, peneliti mengkaji beberapa penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan ekuitas merek, sebagai berikut.

1) Penelitian yang dilakukan oleh Darwing danWijoyo (2004) dengan judul

Analisis Komparasi Ekuitas Merek Ades dan Merek Aqua di Kalangan

Mahasiswa di Surabaya”, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan ekuitas

merekAdes dengan Aqua bagi mahasiswa di Surabaya. Secara keseluruhan air

minum dalam kemasan merek Aqua mempunyai ekuitas merek yang lebih

kuat daripada air minum dalam kemasan merek Ades.

2) Penelitian yang dilakukan oleh Albari dan Pramudito (2005) dengan judul

Analisis Asosiasi Merek Handphone Nokia, Siemens dan Sony Ericsson di

Kotamadya Yogyakarta”. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa

(47)

sedangkan konsumen wanita lebih cenderung menilai Siemens sebagai

handphone yang ringan dibawa. Dari sudut pandang pelajar dan mahasiswa

Sony Ericsson juga dianggap sebagai produk berkualitas dan mempunyai

bentuk yang fashionable.

3) Penelitian yang dilakukan oleh Daulay (2006) dengan judul “Analisis

Perbandingan Elemen-Elemen Ekuitas Merek Pada Supermarket Macan dan

Maju Bersama di Kota Medan Sebagai Salah Satu Strategi Dalam

Menentukan Keputusan Pemasaran”. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil

bahwa ekuitas merek supermarket Macan lebih kuat dari Maju Bersama.

Selain itu diperoleh strategi pemasaran yang sebaiknya dilakukan oleh kedua

supermarket yaitu meningkatkan promosi terutama dengan menggunakan

asosiasi barang berkualitas (kemasan dan masa pakai produk) pada

Supermarket Macan dan asosiasi bersih dan luas serta memberikan

kenyamanan dan keamanan (penggunaan AC, pencahayaan, tangga jalan/lift,

keamanan/alarm) yang lebih baik pada Supermarket Maju Bersama.

4) Penelitian yang dilakukan oleh Robertus (2007) dengan judul “Analisis

Perbandingan Brand Equity Indomie dengan Mie Sedaap (Studi Kasus Pada

Mahasiswa Universitas Negeri Semarang)”, diperoleh hasil bahwa terdapat

perbedaan brand equity Indomie dengan Mie Sedaap bagi mahasiswa

Universitas Negeri Semarang. Dimana secara keseluruhan ekuitas merek

(48)

5) Penelitian yang dilakukan oleh Kartono (2007) dengan judul “Analisis

Elemen-Elemen Ekuitas Merek Produk Minyak Pelumas Motor Merek Enduro

4T (Studi Kasus Pada Mahasiswa Universitas Negeri Semarang)” .Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa ekuitas merek pelumas Enduro 4T masih

lemah. Hal ini karena elemen-ekemen ekuitas nerek yang terdiri dari brand

awareness, brand association, perceived quality dan brand loyalty masih

rendah.

6) Penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan Resdianto (2007) dengan judul

Brand Sebagai Kekuatan Perusahaan Dalam Persaingan Global” diperoleh

hasil bahwa cara untuk tetap bertahan dalam persaingan global ini adalah

merek, dalam jurnal ini yang dijelaskan mengenai

positiong-differentiate-brand theiry, positiong-differentiate-brand communication, positiong-differentiate-brand equity, dan strategi brand

management.

7) Penelitian yang dilakukan oleh Mike dan Kususmawati (2007) dengan judul

“Analisa Pengaruh Brand Equity Terhadap Loyalitas Konsumen Breadtalk

Pakuwon Trade Center Surabaya Ditinjau Dari Product, Image, dan Visual”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa image memiliki pengaruh yang paling

besar disbanding product dan visual. Tingkat loyalitas yang terbentuk adalah

pada level 4 yaitu advantage yang berarti bahwa tingkatan loyalitas cukup

(49)

8) Penelitian yang dilakukan oleh Widjaja dan Wijaya (2007) dengan judul

Analisis Penilaian Konsumen terhadaap Ekuitas Merek Coffee Shops di

Surabaya”. Hasil penelitian menunjukan bahwa Starbucks merupakan coffee

shop yang kesadaran mereknya paling banyak diingat oleh responden,

diasosiasikan paling positif dan loyalitas mereknya paling tinggi. Sedangkan

Excelco merupakan coffee shop dengan kesan kualitas yang paling tinggi.

9) Penelitian yang dilakukan oleh Marthin dan Semuel (2007) dengan judul

Analisis Tingkat Brand Loyalty pada Produk Shampoo Merek ‘Head &

Shoulders’”. Hasil penelitian menunjukan bahwa shampoo merek Head &

Shoulders memiliki konsumen paling banyak pada tingkat committed buyer

yaitu 91.25 persen sehingga disimpulkan bagus. Prosentase switcher buyer,

habitual buyer, satisfied buyer, liking of the brand dan commintted buyer atas

shampoo merek Head & Shoulders berturut-turut adakah 18.50, 42.08, 79.67,

86.60, dan 91.25 persen sehingga susunan piramida loyalitas adalah seperti

piramida terbaik. Hal ini mengindikasikan bahwa merek Head & Shoulders

memiliki brand equity yang kuat.

10) Penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2008) dengan judul “Pengaruh

Ekuitas Merek (Brand Equity) Terhadap Kepuasan dan Loyalitas Konsumen

Sony Ericsson Pada Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Sumetera

Utara” diperoleh hasil dari uji serempak terdapat pengaruh yang signifikan

(50)

dan asosiasi merek terhadap kepuasan mahasiswa, sedangkan pada uji parsial

terdapat pengaruh yang signifikan antara kesan kualitas merek dan asosiasi

merek terhadap kepuasan. Selain itu diketahui juga bahwa variable kesadaran

merek tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan mahasiswa.

11) Penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2010) dengan judul “Studi tentang

Loyalitas Merek (Kasus pada Shampo Sunsilk di Kota Semarang)” diperoleh

hasil bahwa model yang diajukan dapat diterima. Dengan demikian, loyalitas

merek Sunsilk dapat dicapai dengan meningkatkan prefensi merek melalui

kesadaran merek dan asosiasi merek.

12) Penelitian yang dilakukan oleh Makerti (2010) dengan judul “Analisis

Perbandingan Brand Equity Produk Penyedap Rasa Royco Dengan Produk

Penyedap Rasa Masako (Studi Kasus Pada Ibu Rumah Tangga di Kota

Denpasar” diperoleh hasil bahwa brand equity merek produk penyedap rasa

Masako lebih tinggi jika dibandingkan dengan merek penyedap rasa Royco.

Ini berarti konsumen merek produk penyedap rasa Masako lebih merasa puas,

lebih merasa rugi bila berganti merek (brand switching), lebih menghargai

merek itu dan lebih merasa terikat lepada merek itu dibandingkan dengan

konsuemen merek penyedap rasa Royco.

(51)

Mahasiswa Universitas Andalas)” diperoleh hasil terdapat perbedaan antara

brand equity Indomie dengan Mie Sedaap secara signifikan.

14) Penelitian yang dilakukan oleh Roseviyathi (2011) dengan judul “Analisis

Perbandingan Brand Equity Produk Mie Instan Merek Indomie dengan

Produk Mie Instan Merek Mie Sedaap (Studi Kasus Pada Penduduk di Kota

Denpasar). Hasil penelitian menunjukan bahwa brand equity merek produk mie instan merek Indomie lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk mie

instan merek Mie Sedaap. Ini berarti konsumen produk mie instan merek

Indomie lebih merasa puas, lebih merasa rugi bila berganti merek (brand

switching), lebih menghargai dan lebih merasa terikat kepada merek Indomie

tersebut dibandingkan dengan mie instan merek Mie Sedaap.

15) Penelitian yang dilakukan oleh Intan Eugenia (2011) dengan jududl “The

Power Of Top Brand”, diperoleh hasil bahwa logo Top Brand yang terpasang

di kemasan memeberikan pengaruh yang besar kepeda konsumen untuk

memilih produk tersebut. Sehingga peluang merek suatu perusahaan untuk

dipilih konsumen akan semakin besar seiring keyakinan konsumen terhadao

merek tersebut.

16) Penelitian yang dilakukan oleh McDonald (2004) dengan judul “Brand

Equity: Working Toward A Diciplined Methodology for Measurement

(52)

dengan brand transfer analysis (mengetahui atribut yang diposisikan

perusahaan terhadap merek, mengetahui atribut yang paling dipentingkan oleh

target pasar dan mengetahui kinerja atribut dibandingkan dengan atribut

pesaing pada dimensi tersebut) serta brand premium analysis (mengetahui

kemungkinan berbagai alternatif posisi harga produk di pasar).

17) Penelitian yang dilakukan oleh Keller (2005) dengan judul “Measuring Brand

Equity” diperoleh hasil bahwa cara yang digunakan untuk mengetahui tingkat

ekuitas merek sebuah produk adalah dengan mengukur tingkatan

elemen-elemen ekuitas merek dan membuatnya ke dalam laporan ekuitas merek.

Elemen ekuitas merek tersebut yaitu kesadaran merek (brand awareness),

asosiasi merek (brand association), persepsi kualitas merek (brand perceived

quality) dan loyalitas merek (brand loyalty).

18) Penelitian yang dilakukan oleh Smith (2007) dengan judul “An Analysis of

Brand Equity Determinants: Gross Profit, Advertising, Research, And

Development” diperoleh hasil bahwa laba kotor memiliki korelasi terbesar

dengan euitas merek. Ekuitas merek yang lebih tinggi dalam sebuah

perusahaan dapat menyebabkan sebuah perusahaan berani menetapkan harga

yang lebih tinggi dimana nantinya akan berpengaruh pula kepda laba kotor

perusahaan tersebut. Selain itu biaya jangka pendek dalam iklan serta

(53)

merek dapat memberikan hasil jangka panjang. Dalam mengukur keberhasilan

sebuah merek perusahaan harus menggunakan persepsi jangka panjang karena

untuk membangun sebuah merek sama halnya dengan investasi.

19) Penelitian yang dilakukan oleh Laboy (2007) dengan judul “The Importance

of Measuring Brand Value and Brand Equity”, diperoleh hasil bahwa

mengukur dan mengelola ekuitas merek, bagaimanapun, dengan

menggunakan model pengukuran disesuaikan, sangat penting untuk

mentransfer nilai kepada pemegang saham korporasi.

20) Penelitian yang dilakukan oleh Jaehee dan Young (2008) dengan judul

Consumer-Based Brand Equity: Comparisons Among Americans and South

Koreans in the USA and South Koreans in Korea” diperoleh hasil bahwa

diantara elemen-elemen ekuitas merek yang ada, persepsi kualitas merek dan

asosiasi merek yang lebih tinggi ada pada siswa Amerika dibandingkan siswa

Korea Selatan yang ada di Amerika maupun di Korea Selatan. Bagi siswa

Korea Selatan, loyalitas merek adalah elemen ekuitas merek yang terpenting

sebab terdapat hubungan positif antara loyalitas merek dengan pembelian

ualng pada siswa Korea Selatan.

21) Penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Verma (2008) dengan judul

(54)

diperoleh hasil bahwa secara keseluruhan ekuitas merek Airtel Cellphone

lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekuitas Hutch Cellphone.

22) Penelitian yang dilakukan oleh Kartono dan Rao (2008) dengan judul “Brand

Equity Measurement: A Comparative Review and Normative Guid”, diperoleh

hasil bahwa kriteria klasifikasi untuk berbagai macam ukuran ekuitas merek

yang telah dikembangkan dalam literatur meliputi: perspektif pelaku pasar

yang terlibat, orientasi teoritis balik pendekatan pengukuran, indikasi apakah

tindakan itu menangkap sumber atau hasil dari ekuitas merek, jenis dan

ukuran data yang digunakan, dan metodologi digunakan untuk memperoleh

mengukur.

23) Penelitian yang dilakukan oleh Tuominen (2009) dengan judul “Managing

Brand Equity”, diperoleh hasil bahwa dimensi aset utama dari ekuitas merek

dapat dikelompokkan menjadi loyalitas merek, kesadaran merek, persepsi

kualitas dan asosiasi merek. Ada tiga cara alternatif untuk meningkatkan

ekuitas merek: pertama bangun ekuitas merek, kedua pinjam ekuitas merek,

atau ketiga membeli ekuitas merek. Ekuitas merek dapat menciptakan

keuntungan dan manfaat bagi perusahaan, perdagangan atau konsumen.

24) Penelitian yang dilakukan oleh Quarles (2009) dengan judul “A Conceptual

Gambar

Tabel 1.1 Tingkat Kepercayaan Terhadap Produk yang Ada Logo TOP BRAND-nya
Tabel 1.2 Pengaruh Keberadaan Logo TOP BRAND dalam Kemasan SebuahProduk dalam Memilih/Membeli Produk Tersebut
Tabel 1.3 Hasil Top Brand Kategori Shampo
Gambar 2.1 Konsep Ekuitas Merek (Brand Equity)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Program kerja di dalam bidang seni dan olahraga kegiatan yang dilaksanakan yaitu olahraga seperti senam bersama (oleh D dan E). Berbagai kegiatan yang telah disebutkan

Dan setelah dilakukan peninjauan dan penelitian maka penulis dapat menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya masalah tersebut adalah kurangnya kemampuan perusahaan dalam

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. Talak ba‟in kubro terjadi pada talak

e. Pihak kedua bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan petunjuk.. pelaksanaan yang telah ditentukan serta melaporkan kegiatan kepada Pihak

[r]

Adapun waktu wajibnya mengeluarkan Zakat Fithri menurut Syafi’iyah, Hanabilah dan satu pendapat dari Malikiyah adalah dimulai saat tenggelamnya matahari

Konversi syngas menjadi dimethyl ether dilaksanakan dalam reaktor unggun tetap dengan kondisi; perbandingan mol H 2 /CO=2/1; kecepatan aliran total 80-183 ml/menit (diukur pada

Para peserta kegiatan UFST2D sangat antusias dan serius dalam mengikuti program ini, sehingga diharapkan dapat mengadopsi teknologi suplementasi protein bypass