CONTINUAL IMPROVEMENT KINERJA INSTALASI FARMASI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
Oleh:
ARUM WULAN HANDAMARI D 0105044
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Administrasi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelayanan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dan seharusnya menjadi prioritas organisasi dalam mempertahankan eksistensinya. Terlebih dewasa ini, seiring dengan kompetisi global yang semakin ketat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat kian kritis terhadap pelayanan yang diterima. Dalam kondisi demikian, hanya organisasi yang mampu memberikan pelayanan berkualitas lah yang akan memperoleh kepercayaan dari pelanggan (customer). Dengan kata lain, apabila organisasi menginginkan kepercayaan dari pelanggan dan terlebih memberikan kepuasan bagi mereka, maka pelayanan yang berkualitas harus diprioritaskan. Sedangkan organisasi dengan pelayanan yang buruk harus bersiap menghadapi sulitnya kompetisi dengan organisasi lain yang pada akhirnya berdampak pada keterpurukan organisasi itu sendiri.
Salah satu hal yang selama ini menjadi masalah adalah pelayanan publik secara umum belum mampu memberikan kepuasan bagi para pelanggannya. Menurut survey yang dilakukan oleh Center for Population Policy Studies
misi (1%). Akibatnya aparatur terbelenggu untuk melakukan daya inovasi dan kreasi dalam pelayanan publik serta berdampak pada ketidakpuasan masyarakat sebagai pengguna layanan. (Lijan Poltak Sinambela, 2006: 117-118)
Seiring dengan kondisi demikian, maka organisasi mulai menyadari akan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan dipacu oleh adanya penerapan Total Quality Management (TQM). Konsep TQM ini pada dasarnya menekankan pada perbaikan berkesinambungan (continual improvement) pada setiap proses organisasi untuk mencapai kepuasan pelanggan. Menurut Zulian Yamit ( 2005: 77-78), kepuasan pelanggan hanya dapat dicapai apabila organisasi memperhatikan apa yang diinginkan pelanggan dan memperhatikan apa yang diinginkan pelanggan berarti kualitas produk dan jasa pelayanan yang dihasilkan ditentukan oleh pelanggan pula.
Dari hal tersebut, tentu saja pelayanan yang diinginkan pelanggan merupakan sesuatu yang bermutu baik sehingga mampu memberikan kepuasan bagi mereka dan di saat inilah konsep TQM dapat bermanfaat sebagai strategi dalam menciptakan pelayanan yang bermutu tersebut.
Dalam konsep TQM, untuk menciptakan pelayanan yang bermutu, oganisasi harus pula memperhatikan adanya perbaikan berkesinambungan
lebih rinci pengertian perbaikan berkesinambungan (continual improvement) sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan continous improvement sebagai berikut:
“…Sesuatu yang berbeda jika dibandingkan pada ISO 1994, yang didasari
continous improvement. Pada continous improvement terjadi proses pendekatan yang terus menerus dan dilakukan dengan segera setelah terjadi penyempurnaan. Hal ini akan menjadi standar dan tantangan untuk melakukan penyempurnaan lagi. Peningkatan yang baru dilakukan, direvisi dan diganti untuk mencapai nilai baru dan lebih baik. Dengan kata lain, terjadi peningkatan yang terus menerus yang tiada pernah berhenti. Tetapi, pada pelaksanaannya seringkali hasil peningkatan tersebut belum familiar bagi pemakainya sehingga ketika dilakukan peningkatan lagi akan makin menyulitkan. Karena itu pada edisi baru bentuk peningkatan diganti dari continous menjadi continual. Dengan continual improvement, setelah dilakukan peningkatan pertama kali, maka sebelum ditingkatkan terlebih dahulu dilakukan stabilisasi. Bila stabilisasi sudah berjalan baru dilanjutkan dengan meningkatkan standar”.
ISO 9000 merupakan bagian dari standar mutu untuk mengoptimalkan efektivitas mutu suatu organisasi melalui perbaikan berkesinambungan. ISO 9000 merupakan strategi yang ampuh bagi organisasi karena banyak manfaat yang didapat dari penerapan standar mutu tersebut. Menurut Rudi Siardi (2003: 31-32), manfaat penerapan standar mutu ISO 9000 terbagi menjadi 2, yaitu
pertama,manfaat yang sulit diukur diantaranya yaitu membuat sistem kerja dalam suatu perusahaan menjadi standar kerja yang terdokumentasi, adanya jaminan bahwa perusahaan itu mempunyai sistem manajemen mutu dan produk yang diinginkan sesuai dengan keinginan pelanggan, menjamin bahwa proses yang dilaksanakan sesuai dengan manajemen mutu yang diharapkan,dan sebagainya.
berkurang, mengurangi corrective action serta mengurangi jumlah keluhan pelanggan.
RSUD Dr. Moewardi (RSDM) Surakarta merupakan salah satu organisasi yang mempunyai kesadaran akan pentingnya kualitas pelayanan yang dipacu dengan adanya penerapan TQM. Sebagai organisasi pelayanan publik yang mempunyai peran dalam bidang pelayanan kesehatan yang memiliki status sebagai rumah sakit rujukan wilayah Eks Karisidenan Surakarta dan sekitarnya, RSDM Surakarta berupaya mengedepankan kualitas pelayanan agar mampu memberikan kepuasan bagi para pelanggannya. Atas upayanya tersebut, pada tanggal 19 Juni 2007 RSDM Surakarta mampu meraih sertifikasi ISO 9001:2000 yang merupakan bagian dari standar mutu ISO 9000 dan lembaga register yang memberikan sertifikasi untuk RSDM Surakarta adalah SGS Internasional.
Dengan diperolehnya sertifikasi ISO 9001:2000 diharapkan RSDM Surakarta mampu memberikan pelayanan yang berkualitas sehingga secara berkesinambungan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai pelanggan.
Keberhasilan penerapan standar mutu ISO 9001:2000 melalui perbaikan berkesinambungan terhadap pelayanan seperti halnya yang dilakukan RSDM Surakarta nantinya, akan memberikan kesempatan yang besar bagi peningkatan kinerja pelayanan serta mampu memberikan kepuasan kepada pelanggan.
yang mengatakan, “Pelaksanaan ISO merupakan upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntutan pasar. Selain itu, guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan rumah sakit pemerintah”. Sekda Jateng Mardjijono juga memberikan pernyataan bahwa, ''Maksud pencanangan ISO 9001:2000 yakni agar kualitas
pelayanan kesehatan dapat diukur melalui sistem manajemen mutu, sehingga masyarakat sebagai obyek pelayanan merasa puas.
(http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com)
Ruang lingkup penerapan sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 di RSDM Surakarta meliputi Instalasi Rawat Inap Paviliun Cendana, Laboratorium, Instalasi Farmasi, Instalasi Radiologi dan Instalasi Bedah Sentral.
Instalasi Farmasi menjadi salah satu ruang lingkup dalam pelaksanaan ISO 9001:2000 di RSDM Surakarta karena Instalasi Farmasi mempunyai peran penting sebagai instalasi yang melakukan pelayanan penunjang medis di bidang perbekalan farmasi kepada pasien maupun instalasi terkait di rumah sakit. Di samping itu, pelayanan farmasi rumah sakit menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
pasien Instalasi Gawat Darurat (IGD) dilayani di apotek IGD (sub instalasi farmasi apotek IGD); pelayanan perbekalan farmasi yang tidak diresepkan seperti x-ray film,fixer,developer,dll, dilayani melalui sub instalasi farmasi pelayanan kebutuhan ruangan; perbekalan farmasi yang tidak tersedia di pasaran atau memerlukan pengemasan kembali dilaksanakan oleh sub instalasi farmasi produksi farmasi. Pelayanan lainnya, staf instalasi farmasi bersama staff laboratorium farmasi kedokteran terlibat pendidikan dokter muda Fakultas Kedokteran UNS, mahasiswa tingkat profesi Fakultas Farmasi beberapa Universitas di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta serta siswa Sekolah Menengah Farmasi di Surakarta dikoordinasi oleh sub instalasi farmasi administrasi dan pendidikan.
Dengan diterapkannya sistem manajemen mutu ISO 9001:2000, Instalasi Farmasi dituntut untuk selalu meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas tersebut dapat tercapai apabila terdapat peningkatan kinerja dari seluruh elemen atau pihak yang ada di Instalasi Farmasi RSDM Surakarta sebagai bagian dari prosesnya.
Tetapi dalam kenyataannya, pelayanan di Instalasi Farmasi masih mengalami beberapa kendala yang menyebabkan ketidakpuasan para pelanggan. Hal ini terlihat dalam dari hasil pengukuran kepuasan pelanggan terhadap pelayanan farmasi pasien rawat inap yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi RSDM Surakarta pada bulan Oktober 2008:
Tabel 1.1
Rekapitulasi Evaluasi Kepuasan Pelanggan Pelayanan Farmasi di RSDM Surakarta Bulan Oktober 2008
N
o Variabel
Penilaian
Total %
PP
Nilai x Bobot Nilai
pelanggan
Sumber: Instalasi Farmasi RSDM Surakarta
Jumlah pelanggan yang mempunyai nilai kepuasan tinggi: 81,71% Keterangan
SP(5) : Sangat Puas, Bobot Nilai:5 P(4) : Puas, bobot nilai:4
CP(3) : Cukup Puas, bobot nilai:3 KP(2) : Kurang Puas, bobot nilai:2 STP(1) : Sangat Tidak Puas, bobot nilai:1 % PP : Prosentase Pelanggan Puas
terhadap kecepatan waktu pelayanan menjadi rendah. Berkurangnya anggaran obat tersebut juga menyebabkan kelengkapan obat di sub instalasi cendana menjadi kurang karena gudang farmasi mulai kesulitan dalam pengadaan obat.
Adapun sasaran mutu dan target Instalasi Farmasi yaitu, dalam melayani pasien, Instalasi Farmasi memiliki target dan sasaran mutu yang dapat memberikan kepuasan terhadap para pasien. Instalasi Farmasi mentargetkan 90 % pasien puas dengan pelayanan yang mereka lakukan. Kepuasan pasien tersebut diukur dengan angket kepuasan pelanggan ( kuisioner ) yang dilakukan evaluasi setiap 6 bulan sekali. Untuk proses internal respon time dilakukan dengan waktu antara 15–30 menit setiap pelayanan resep bagi pasien non askes dan waktu antara 41-45 menit bagi pasien askes.
Tabel 1.2
Laporan Pencapaian Sasaran Mutu Proses Internal Instalasi Farmasi Bulan Juli-September 2008
N o
Parameter
Respon Time Ruang Jumlah Lembar
Bulan (Jumlah Waktu dalam
Menit) Jumlah Juli Agustus September
1 Perhitungan
Sumber: Instalasi Farmasi RSDM Surakarta
Dari hasil perhitungan respon time terlihat bahwa untuk respon time pelayanan resep untuk jenis racikan dan non racikan telah memenuhi target atau sasaran mutu. Untuk resep non racikan sebesar 14,39 menit dan resep racikan 27,7 menit (sasaran mutu resep non racikan:15 menit sedangkan resep racikan 29 menit). Waktu pelayanan untuk pasien askes juga menunjukkan bahwa sasaran mutu bisa tercapai dimana respon time yang terdapat dari hasil perhitungan adalah 40,35 menit (sasaran mutu:42 menit).
Untuk selanjutnya continual improvement tetap diperlukan agar sasaran mutu yang telah memenuhi target tersebut dapat ditingkatkan lagi sehingga kualitas pelayanan dapat tercapai. Sedangkan masih terdapatnya sasaran mutu yang belum terpenuhi, maka continual improvement diperlukan agar kedepannya pihak Instalasi Farmasi RSDM Surakarta mampu menemukan penyebab untuk kemudian dicari solusi untuk perbaikan sasaran mutu tersebut. Karena adanya masalah tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang
continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan perumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimana continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta ?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Operasional
Untuk mengetahui bagaimana continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.
2. Tujuan Individu
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang administrasi khususnya tentang continual improvement kinerja.
2. Menjadi bahan masukan sekaligus evaluasi bagi RSDM Surakarta dalam upaya perbaikan berkesinambungan kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta berikutnya.
3. Dengan adanya upaya continual improvement kinerja, Instalasi Farmasi RSDM Surakarta dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
4. Bagi penulis, dapat bermanfaat sebagai media latihan serta menambah wawasan khususnya berkaitan dengan continual improvement kinerjanya.
E. Landasan Teori
1. Continual Improvement
Dalam Kamus Lengkap Inggris Indonesia, continual berarti secara terus menerus, berkesinambungan, kontinyu. Sedangkan improvement
berarti perbaikan, kemajuan.
perbaikan berkesinambungan diterapkan baik terhadap proses maupun orang yang melaksanakan.
Sedangkan Vincent Gaspersz (2006:81) menyebutnya sebagai peningkatan terus menerus yaitu sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus meningkatkan efektivitas dan/atau efisiensi organisasi untuk memenuhi kebijakan dan tujuan dari organisasi itu. Peningkatan terus menerus membutuhkan langkah-langkah konsolidasi yang progresif, menanggapi perkembangan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan, dan akan menjamin evolusi dinamik dari sistem manajemen kualitas.
Rudi Siardi (2003: 57), menjelaskan secara lebih rinci pengertian perbaikan berkesinambungan (continual improvement) sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan continuous improvement sebagai berikut:
“…Sesuatu yang berbeda jika dibandingkan pada ISO 1994, yang didasari continuous improvement. Pada continuous improvement
terjadi proses pendekatan yang terus menerus dan dilakukan dengan segera setelah terjadi penyempurnaan. Hal ini akan menjadi standar dan tantangan untuk melakukan penyempurnaan lagi. Peningkatan yang baru dilakukan, direvisi dan diganti untuk mencapai nilai baru dan lebih baik. Dengan kata lain, terjadi peningkatan yang terus menerus yang tiada pernah berhenti. Tetapi, pada pelaksanaannya seringkali hasil peningkatan tersebut belum familiar bagi pemakainya sehingga ketika dilakukan peningkatan lagi akan makin menyulitkan. Karena itu pada edisi baru bentuk peningkatan diganti dari continuous menjadi
Dari berbagai pendapat ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian continual improvement adalah suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik.
2. Kinerja
Kinerja menurut Lembaga Administrasi Negara didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi organisasi. (Joko Widodo, 2005:79)
Menurut Joko Widodo sendiri (2005:79), kinerja pada hakikatnya berkaitan dengan tanggung jawab individu atau organisasi dalam menjalankan apa yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Selain itu, John Waihmore dalam Lijan Poltak Sinambela (2006:138) mengemukakan bahwa kinerja merupakan ekspresi potensi seseorang dalam memenuhi tanggung jawab dengan menetapkan standar tertentu. Sementara menurut Bastian dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan (2005:175), kinerja organisasi merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi tersebut.
sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi.
3. Continual Improvement Kinerja
Continual improvement dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Sedangkan pengertian kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dari orang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi.
Berdasarkan dua pengertian di atas maka pengertian continual improvement kinerja dapat disimpulkan sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus menerus untuk memperbaiki atau meningkatkan pencapaian tugas dari seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi dapat tercapai.
Membahas mengenai continual improvement kinerja tidak terlepas dari peningkatan proses terus-menerus karena keduanya saling berkaitan, dimana continual improvement kinerja merupakan salah satu bagian dari peningkatan proses terus-menerus. Dengan adanya analisis mengenai kinerja maka menjadi landasan untuk peningkatan proses terus-menerus sehingga dalam hal ini analisis kinerja berperan dalam mengendalikan proses. Oleh karena itu, penulis perlu menjelaskan tentang peningkatan proses terus-menerus.
“Integrasi sekuensial dari orang, material, metode, dan mesin atau peralatan dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah output untuk pelanggan”.
Sedangkan proses dalam ISO 9001:2000 ( Rudi suardi, 2003:52) diartikan sebagai:
“Kumpulan aktivitas yang saling berhubungan/mempengaruhi, dimana berubahnya input (material, persyaratan, peralatan, instruksi) menjadi output (barang, jasa)”.
Selain itu, M.N. Nasution (2001:80) mengartikan proses sebagai: “Sekumpulan aktivitas kerja yang saling berhubungan guna mentransformasikan sumber-sumber input menjadi produk untuk pelanggan”.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses merupakan aktivitas berubahnya input menjadi output. Kemudian mengacu kesimpulan mengenai pengertian continual improvement
(perbaikan berkesinambungan/peningkatan terus-menerus) seperti dijelaskan dimuka sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik, maka oleh penulis peningkatan proses terus-menerus didefinisikan sebagai aktivitas yang berfokus pada upaya terus-menerus mengubah input menjadi output agar menjadi lebih baik.
Dalam penelitian ini selanjutnya akan diulas lebih jauh tentang
a). Mendefinisikan Masalah dalam Konteks Proses.
Model peningkatan proses dimulai dari penetapan sistem mana yang terlibat, agar usaha-usaha dapat terfokus pada proses bukan output. Aktivitas spesifik dalam langkah ini adalah:
Identifikasi output. Identifikasi pelanggan.
Definisi kebutuhan pelanggan.
Identifikasi proses yang menghasilkan output ini. Identifikasi pemilik proses.
b). Identifikasi dan Dokumentasi Proses
Diagram alir (flowcart) merupakan alat yang umum dipergunakan untuk mendeskripsikan proses. Pembuatan diagram alir pada proses memungkinkan untuk melakukan empat aktivitas perbaikan berikut:
Mengidentifikasi peserta dalam proses.
Memberikan kepada semua peserta proses suatu pemahaman
umum tentang semua langkah proses dan peranan individual mereka.
Mengidentifikasi inefisiensi, pemborosan dan langkah-langkah
redundant (berlebihan atau tidak perlu) dalam proses.
Menawarkan suatu kerangka kerja untuk mendefinisikan
Proses yang telah diidentifikasi harus didokumentasikan dengan baik agar dapat dipergunakan sebagai bahan informasi yang berguna dalam peningkatan proses secara terus-menerus.
c). Mengukur Kinerja
Mengukur kinerja dimaksudkan untuk dapat melihat bagaimana suatu sistem sedang berjalan baik atau jelek. Ukuran-ukuran kinerja didefinisikan dan dievaluasi dalam konteks ekspektasi pelanggan. Dengan kata lain, setiap ukuran kinerja yang dipergunakan harus mengarah pada ekspektasi atau kebutuhan pelanggan.
Pada dasarnya pengukuran kinerja dapat dilakukan pada tiga tingkat, yaitu proses, output dan outcome (Vincent Gasperz, 2003:126-128) sebagai berikut:
a. Pengukuran pada tingkat proses
Mengukur setiap langkah atau aktivitas dalam proses dan karakteristik input yang diserahkan oleh pemasok (Supplier) yang mengendalikan karakteristik output yang diinginkan. Tujuan dari pengukuran pada tingkat ini adalah mengidentifikasi perilaku yang mengatur setiap langkah dalam proses, dan menggunakan ukuran-ukuran ini untuk mengendalikan operasi serta memperkirakan output yang akan dihasilkan sebelum output itu diproduksi atau diserahkan kepada pelanggan.
b. Pengukuran pada tingkat output
Mengukur karakteristik output yang dihasilkan dibandingkan dengan spesifikasi karakteristik yang diinginkan pelanggan. Beberapa contoh ukuran pada tingkat output adalah banyaknya unit produk yang tidak memenuhi spesifkasi tertentu yang ditetapkan (banyak produk cacat), tingkat efektivitas dan efisiensi produksi, kualitas dari produk yang dihasilkan,dll.
c. Pengukuran pada tingkat outcome
tingkat outcome adalah banyaknya keluhan pelanggan yang diterima, banyaknya produk yang dikembalikan oleh pelanggan, tingkat ketepatan waktu penyerahan produk sesuai dengan waktu yang dijanjikan,dll.
d). Memahami Mengapa Suatu Masalah dalam Konteks Proses Terjadi Ketiadaan data menimbulkan kesulitan untuk memahami mengapa suatu sistem berjalan seperti itu sehingga kinerjanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masalah adalah deviasi atau penyimpangan yang terjadi antara kinerja yang diharapkan (sasaran) dengan kinerja actual (hasil actual).
Agar langkah-langkah peningkatan proses terus menerus dapat berjalan dengan efektif dan efisien, setidaknya terdapat tiga hal yang harus dipahami. Pertama, memahami apa yang menjadi masalah utama dalam proses tersebut. Kedua, memahami hal-hal yang menjadi masalah dalam proses tersebut. Ketiga, memahami apa yang menjadi sumber variasi dalam masalah tersebut. Variasi merupakan ketidakseragaman dalam sistem sehingga menimbulkan perbedaan dalam kualitas.
e). Mengembangkan dan Menguji Ide-ide
f). Implementasi Solusi dan Evaluasi
Langkah keenam dalam model peningkatan proses ini dimulai dengan perencanaan dan implementasi perbaikan yang diidentifikasi dan diuji dalam langkah kelima. Langkah enam melanjutkan untuk mengukur dan mengevaluasi efektivitas dari proses yang diperbaiki itu. Informasi yang diperoleh dijadikan umpan balik untuk melaksanakan peningkatan selanjutnya, sehingga diperoleh suatu perbaikan proses secara terus menerus.
Gambar 1.1
Model peningkatan Proses Secara Terus-menerus
Umpan Balik
Selain itu, Montgomey mengemukakan suatu model perbaikan proses dalam versi lain dimana model yang dikemukakan ini merupakan model perbaikan kualitas yang tetap berorientasi pada perbaikan proses
Langkah 1: Definisi Masalah
Langkah 2: Identifikasi dan dokumentasi Poses
Langkah 3: Mengukur Kinerja
Langkah 4: Memahami Mengapa?
Langkah 5: Mengembangkan dan
Menguji Ide-ide
sebagaimana ditunjukkan oleh gambar di bawah ini (M.N. Nasution, 2001:83) :
Gambar 1.2 Model Perbaikan Proses
Pengujian dan Evaluasi Identifikasi Kecacatan
Mengembangkan Tindakan Analisis Penyebab Kecacatan
Korektif
Model perbaikan proses ini mempelajari keseluruhan rantai pemasok dengan pelanggan, sehingga kebutuhan pelanggan merupakan masukan dari industri untuk diteruskan pada pemasok. Pengukuran dilakukan pada keseluruhan sistem, sehingga apabila ditemukan ada kecacatan atau kegagalan, kegagalan atau kecacatan itu harus diidentifikasi, untuk selanjutnya dianalisis penyebab kecacatan atau kegagalan yang terjadi dalam proses secara keseluruhan. Hasil temuan berupa akar penyebab kegagalan atau kecacatan itu kemudian dihilangkan melalui pengembangan tindakan korektif. Pada akhirnya, tindakan pengujian dan evaluasi harus dilakukan untuk menguji dan mengevaluasi apakah tindakan korektif yang dilakukan itu efektif menghilangkan penyebab kegagalan atau kecacatan yang terjadi dalam proses.
Pemasok Input Proses Output
Pengukuran
Pelanggan
Menghilangkan Penyebabkecacatan
Cacat
Sedangkan Vincent Gasperz (2003:160), mengemukakan program peningkatan kualitas dengan menggunakan langkah-langkah berikut:
a) Memilih dan menetapkan program perbaikan kualitas. b) Mengemukakan mengapa memilih program tersebut. c) Melakukan analisis situasi melalui pengamatan situasional. d) Melakukan pengumpulan data selama beberapa waktu. e) Melakukan analisis data.
f) Menetapkan rencana perbaikan melalui penetapan sasaran perbaikan kualitas.
g) Melaksanakan program perbaikan selama waktu tertentu.
h) Melakukan studi penilaian terhadap program perbaikan kualitas itu. i) Mengambil tindakan korektif atas penyimpangan yang terjadi atau
standardisasi terhadap aktivitas yang sesuai.
Gambar 1.3
Strategi Perbaikan Kualitas Mengikuti Siklus Deming PDSA
Ya
Tidak
Metode peningkatan terus-menerus menurut siklus Deming PDSA tersebut di atas akan dijelaskan dalam tahap-tahap sebagai berikut (Fandy Tjiptono, 1996:277-279):
1) Tahap Perencanaan (Plan)
Meliputi penjelasan studi yang akan dilakukan, tes untuk perubahan proses, atau eksperimen yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya. Dalam tahap perencanaan ini, meliputi semua daftar yang diperlukan untuk melaksanakan studi, termasuk siapa yang akan melakukan, data apa yang harus dicatat, pelatihan apa yang diperlukan, dan sebagainya.
2) Tahap Pelaksanaan (Do)
Ketidaksesuaian dengan rencana dicatat dan digunakan dalam analisis.
3) Tahap studi (Study) Rencana
(Plan, P)
Laksanakan (Do, D)
Studi (Study, S)
Sesuai(Mencapai sasaran?
Tindakan (Act,A) Standardisasi
Tindak Lanjut
Peningkatan/ perbaikan Tindakan (Act,A)
Hasil dari tahap Do dibandingkan dengan prediksi yang dibuat selama tahap perencanaan. Apabila hasil tidak sesuai dengan apa yang diprediksikan, teori yang ada pada tahap perencanaan dapat direvisi. Sebaliknya, apabila hasilnya telah sesuai dengan prediksi, tim akan menentukan bagaimana kondisi studi yang berbeda dari kondisi yang akan dilihat dari proses atau sistem di masa akan datang.
4) Tahap Tindakan (Act)
Tim menentukan suatu tindakan dengan melihat hasil ketiga tahap sebelumnya. Tindakan dapat berupa perubahan proses/sistem yang dipelajari tim atau tim melakukan tes lebih lanjut sebelum melakukan perubahan. Pada tahap ini juga memutuskan apa yang difokuskan pada siklus berikutnya.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Amy Y. Chou & David C. Chou berikut ini (International Journal Information Systems and Change Management, 2007: 25):
kualitas membuat sebuah rencana atau tes dalam rangka perbaikan. Dalam tahap pelaksanaan (Do), sebuah rencana atau test dilakukan. Menurut tahap studi (Study), hasil yang didapat diuji untuk diidentifikasi kesalahan apa yang terjadi dan apa yang harus dipelajari. Kemungkinan, praktisi kualitas akan merubah proses atau meninggalkan proses yang didasarkan pada hasil studi).
Siklus Deming PDSA tersebut dapat di perinci lagi menjadi model tujuh langkah sebagai strategi perbaikan kualitas, sebagaimana dijelaskan oleh Richard Reid di bawah ini (International Journal Productivity and Quality Management, 2006:33) :
“Step 1 – define the problem: the objective is to assemble the right team, reduce the project’s focus, and finalise the problem statement.
Step 2 – describe the current process: the team’s responsibility is to create and validate a flowchart of the current process and verify the current performance with process owners and internal customers.
Step 3 – identify and verify the root cause(s) of the problem: using various sequences of Total Quality tools, the team investigates cause–effect relationships associated with the study process and its current level of performance.
Step 4 – develop an action plan to implement the preferred solution: before constructing a detailed action plan for eliminating the root cause(s), the team generates, evaluates, and selects the best approach from among the potential solutions and then establishes specific performance target values to be achieved. Step 5 – implement the solution: on a pilot basis, the plan is implemented with the team documenting any necessary changes, measuring progress, and documenting results.
Step 6 – review and evaluate results. If the planned changes meet the pre-established numerical goals, and thus, were successful in eliminating the root cause(s), then the problem’s symptoms will have greatly diminished and the improvements need to be standardised within the organisation. If, on the other hand, the implemented changes did not meet the pre-determined numerical performance goals, then the team will have to revisit, as appropriate, steps 3, 4, or 5 to determine the root cause, re-design a new, more effective, action plan, or re-deploy the original action plan, respectively.
utilised methodology and initiates any appropriate changes, celebrates their success, and continues the improvement process by returning to step 1”.
(Langkah pertama, mendefinisikan masalah: tindakan nyata adalah menghimpun tim yang benar, memperkecil focus rencana dan merumuskan masalah. Langkah kedua, menguraikan aliran proses: tanggung jawab tim adalah untuk menghasilkan dan memvalidasi diagram alir (flowchart) dari aliran proses dan memeriksa kebenaran aliran kerja bersama pemilik proses dan pelanggan internal. Langkah ketiga, identifikasi dan memeriksa akar penyebab masalah: menggunakan macam-macam hubungan dari total quality tools, tim menyelidiki dampak hubungan dengan proses studi dan aliran dari kinerja. Langkah keempat, mengembangkan sebuah rencana tindakan untuk melaksanakan solusi yang lebih mungkin. Sebelum menyusun sebuah rincian rencana perbaikan untuk menghilangkan akar masalah tim menghasilkan, mengevaluasi dan menyeleksi pendekatan terbaik di antara solusi yang mungkin, untuk kemudian menetapkan target kinerja yang harus dicapai secara spesifik. Langkah kelima, melaksanakan solusi: dasar penunjuk rencana dilaksanakan dengan tim mendokumentasikan perubahan yang sifatnya memaksa, mengukur kemajuan dan mendokumentasikan hasil. Langkah keenam, memeriksa dan mengevaluasi hasil. Jika rencana perubahan sesuai dengan tujuan dan berhasil menghilangkan akar penyebab dan gejala masalah sebagian berkurang dan perbaikan dalam organisasi membutuhkan standardisasi. Jika sebaliknya, perubahan dilaksanakan tidak sesuai dengan tujuan kinerja, kemudian tim akan mengulang lagi langkah 3, 4, atau 5 untuk menentukan kembali akar penyebab, mendesain lagi rencana tindakan yang baru yang lebih efektif atau membuka kembali rencana tindakan yang asli agar lebih sesuai. Langkah ketujuh, merenungkan dan bertindak sesuai dengan pengalaman: tim menstandardisasikan perbaikan yang sukses, merenungkan metodologi yang efektif yang digunakan dan memulai berbagai perubahan yang benar, merayakan kesuksesan dan melanjutkan proses perbaikan dengan kembali ke langkah pertama secara terus-menerus).
Deming selanjutnya, yaitu tahap pelaksanaan (Do), tahap studi (Study) dan tahap tindakan (Act).
Vincent Gasperz (2003:161) melihat hubungan antara siklus Deming PDSA dan model tujuh langkah sebagai strategi perbaikan kualitas seperti tersebut di atas, digambarkan melalui gambar di bawah ini:
Gambar 1.4
Hubungan Siklus Deming (PDSA) dan Strategi Perbaikan Kualitas Siklus Deming PDSA Transformasi Kualitas Merencanakan (Plan, P) Definisi Sistem
Menilai Situasi Sekarang Analisis Penyebab Melaksanakan (Do, D) Mencoba Teori Perbaikan Mempelajari (Study, S) Memeriksa Hasil
Bertindak (Act, A) Standardisasi Perbaikan Rencana Perbaikan Terus-menerus
Berbeda halnya dengan Woerner (Vincent Gasperz, 2003:98-101), mengembangkan suatu model manajemen proses terstruktur yang memiliki sembilan langkah sebagai berikut:
mendiskusikan ruang lingkup dan tujuan, menjabarkan tugas tim, dan lain-lain.
b) Pemilihan Tim, setelah rencana perbaikan proses disetujui maka tim dipilih. Dalam langkah ini koordinator melakukan diskusi dengan pemilik proses untuk mempelajari proses yang ada.
c) Penetapan Ruang lingkup dan Tujuan, adanya peninjauan ulang dan penetapan ruang lingkup agar semua peserta dalam perbaikan proses memiliki pemahaman yang sama serta memiliki komitmen. Selain itu, adanya peninjauan ulang terhadap aliran proses dilakukan sebagai penyesuaian sehingga merefleksikan proses sesungguhnya.
d) Identifikasi Kelemahan Proses, dari peninjauan ulang proses diketahui kelemahan proses. Kelemahan proses yang telah ditetapkan dan mendapat prioritas diberi validasi dan dilakukan pengembangan rekomendasi untuk perbaikan proses.
e) Pengembangan Rekomendasi untuk Perbaikan Proses, rekomendasi dikembangkan, setelah mendapat validasi dan diperoleh kelayakan untuk melaksanakannya, maka laporan manajemen disiapkan. f) Memperoleh Persetujuan, rekomendasi tersebut didiskusikan untuk
mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat dalam perbaikan proses.
h) Presentasi Rencana Kualitas, pemilik proses mempresentasikan rencana kualitas kepada semua peserta agar diketahui bersama. i) Implementasi dan Pemantauan Kemajuan Perbaikan Proses,
rencana kualitas diimplementasikan dan laporan kemajuan proses disiapkan secara teratur.
Model manajemen proses terstruktur seperti disebutkan diatas membutuhkan pendidikan serta pelatihan tentang prinsip-prinsip kualitas kepada sumber daya manusia yang terlibat dalam perbaikan proses.
Gambar 1.5
Model Manajemen Proses Terstruktur
TINDAKAN LANGKAH HASIL
Kesempatan Perbaikan terpilih
Teamdan kelompok penasehat
Manajemen(KPM) terpilih, draft
batas-batas proses & tujuan tim
Batas-batas proses dan
menyiapkan laporan manajemen
Persetujuan implementasi
rekomendasi
Rencana kualitas berupa standar
pengukuran proses & kepuasan
pelanggan
Rencana Kualitas siap
diimplementasikan
Laporan Kemajuan kepada
sponsor,tim dan coordinator.
PERBAIKAN TERUS
MENERUS
Berdasarkan beberapa teori diatas, maka untuk menjelaskan bagaimana continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta, penulis akan menggunakan model peningkatan terus-menerus
dengan menggunakan siklus Deming Plan-Do-Study-Act (PDSA). Hal yang mendasari penulis untuk mengambil teori ini adalah bahwa teori-teori yang dikemukakan diatas pada dasarnya mempunyai inti yang sama dalam menjelaskan peningkatan proses terus menerus. Selain itu, teori PDSA yang dikemukakan Deming telah mengcover inti dari teori-teori yang telah dikemukakan para ahli lain tersebut.
Teori siklus deming PDSA tersebut dimulai dengan tahap-tahap sebagai berikut:
A. Plan (P) atau Tahap Perencanaan.
Fandy Tjiptono (1996:277) menjelaskan tahap perencanaan sebagai berikut:
“Tahap perencanaan meliputi penjelasan studi yang akan dilakukan, tes untuk perubahan proses, atau eksperimen yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya. Perencanaan terdiri dari daftar semua langkah yang akan diperlukan untuk melakukan studi atau atau tes, termasuk siapa yang akan melakukan setiap langkah, data yang harus dicatat, siapa yang akan menginformasikan, pelatihan macam apa yang diperlukan, dan siapa yang akan melakukannya.”
Menurut Richard M. Walker dalam artikel yang berjudul “Continuous Improvement for Housing Associations: A Discussion Paper Prepared for The Housing” menjelaskan tahap perencanaan adalah sebagai berikut (www.cardiff.ac.uk/cplan/staff/walker.html):
organisasi dalam area kunci dimana perbaikan akan memberikan akibat yang besar terhadap kinerja mereka dan menyiapkan dasar kerja yang terperinci untuk perbaikan dalam aktivitas organisasi)
Dari pendapat-pendapat tersebut, maka penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa tahap perencanaan merupakan tahap untuk pengumpulan informasi tentang proses yang ada dalam organisasi untuk kemudian dibuat suatu rencana untuk perbaikan. Dalam penelitian ini, tahap perencanaan akan menjelaskan tentang rencana-rencana yang dilakukan Instalasi Farmasi RSDM Surakarta dalam upaya continual improvement kinerjanya
B. Do (D) atau Tahap Pelaksanaan.
Fandy Tjiptono (1996:278), memberikan penjelasan tentang tahap pelaksanaan, yaitu dalam pelaksanaan apabila diketemukan ketidaksesuaian dengan rencana, maka dalam tahap ini ketidaksesuaian tersebut dicatat dan digunakan dalam analisis.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Amy Y. Chou & David C. Chou (International Journal Information Systems and Change Management, 2007: 25) dimana dalam tahap pelaksanaan sebuah rencana atau tes dilakukan.
Dari pendapat tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa, tahap pelaksanaan merupakan pelaksanaan dari rencana perbaikan yang telah ditetapkan. Dalam penelitian ini, akan dijelaskan bagaimana tahap pelaksanaan rencana sebagai upaya continual improvement
C. Study (S) atau Tahap Studi.
Mengenai tahap studi , Fandy Tjiptono (1996:278) memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Tahap ketiga dari siklus adalah study. Hasil dari tahap Do dibandingkan dengan prediksi yang dibuat selama tahap perencanaan. Jika hasil tidak sesuai dengan yang diprediksikan, teori yang ada dalam tahap perencanaan dapat direvisi. Jika hasilnya sesuai dengan prediksi, tim menentukan bagaimana kondisi studi yang berbeda dari kondisi yang akan dilihat dari proses atau sistem di masa yang akan datang”.
Sedangkan Vincent Gasperz (2006:73) memberikan penjelasan bahwa dalam tahap studi dilakukan untuk mengetahui apakah jenis masalah kualitas yang ada telah hilang atau berkurang. Hasil dari dari studi ini akan memberikan tambahan informasi dalam perencanaan kualitas berikutnya.
Jadi, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tahap studi merupakan tahap untuk memeriksa hasil dari tahap pelaksanaan (Do) untuk dibandingkan dengan prediksi yang dibuat dalam tahap perencanaan. Dalam penelitian ini, tahap studi akan menjelaskan bagaimana kesesuaian tahap pelaksanaan dengan perencanaan yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam upaya continual improvement
kinerjanya.
D. Act (A) atau Tahap Tindakan.
Penjelasan tahap tindakan menurut Fandy Tjiptono (1996: 279) adalah:
sistem yang dipelajari tim atau tim melakukan tes lebih lanjut sebelum melaksanakan perubahan. Tahap act juga memutuskan apa yang akan difokuskan pada siklus selanjutnya”.
Vincent Gasperz (2006: 73) mengartikan tahap tindakan sebagai:
“Hasil-hasil yang memuaskan dari tindakan solusi masalah harus distandardisasikan, dan selanjutnya melakukan perbaikan terus menerus pada jenis masalah yang lain. Apabila tindakan terhadap solusi masalah tidak memberikan hasil-hasil yang memuaskan, tindakan itu harus dikoreksi atau diperbaiki”. Dari kedua pendapat tersebut penulis mangambil suatu kesimpulan bahwa tahap tindakan (Act) merupakan tindakan yang dilakukan dengan melihat hasil dari ketiga tahap sebelumnya untuk kemudian dijadikan dasar bagi proses continual improvement
berikunta. Dalam hal ini adalah tindakan-tindakan yang dilakukan Instalasi farmasi RSDM Surakarta sebagai upaya continual improvement kinerjanya.
F. Kerangka Pikir
pelayanan di Instalasi Farmasi. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang baik, maka di dalam sistem manajemen Instalasi Farmasi dibutuhkan upaya continual improvement kinerja agar keseluruhan proses dapat berjalan dengan baik pula.
Tetapi dalam kenyataannya pelayanan di Instalasi Farmasi masih mengalami beberapa kendala yang menyebabkan ketidakpuasan pelanggan, seperti masalah yang berkaitan dengan kecepatan waktu pelayanan dan kelengkapan obat di apotek. Meskipun proses internal Instalasi Farmasi telah berjalan baik.
Menyikapi permasalahan-permasalahan yang menjadi penyebab ketidakpuasan pelanggan maka Instalasi farmasi RSDM Surakarta menerapkan
continual improvement kinerja dalam prosesnya. Continual improvement kinerja tersebut dapat diidentifikasi dengan menggunakan siklus Deming yang dimulai dari tahap Plan-Do-Study-Act (PDSA).Hal ini dilakukan agar kedepannya pihak Instalasi Farmasi RSDM Surakarta mampu menemukan penyebab untuk kemudian dicari solusi untuk tindak lanjut dalam perbaikan sasaran mutu. Dengan adanya continual improvement kinerja dalam prosesnya pula, sasaran mutu yang telah tercapai dapat ditingkatkan lagi sehingga peningkatan kualitas pelayanan dapat tercapai.
kinerja dari rencana-rencana perbaikan yang ditetapkan sebelumnya. Berikutnya, dalam tahap studi (Study) kita dapat membandingkan kinerja dengan sasaran mutu. Dalam hal ini, apakah kinerja Instalasi Farmasi telah mencapai sasaran mutu atau justru sebaliknya. Apabila telah sesuai maka dapat dilakukan tindakan (Act), yaitu standardisasi. Sebaliknya, apabila belum dapat dilakukan tindakan koreksi. Dari hasil atau tindak lanjut dari tindakan tersebut kita dapat melihat bagaimana continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta sehingga nantinya peningkatan kualitas pelayanan dapat tercapai.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy Moleong (2001:3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam hal ini peneliti ingin mendeskripsikan tentang Continual Improvement Kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Farmasi RSDM Surakarta yang beralamat di Jl.Kolonel Soetarto No.132 Jebres Surakarta. Adapun pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pada pertimbangan, yaitu tersedianya data-data atau informasi yang peneliti butuhkan di Instalasi Farmasi RSDM Surakarta yang berkaitan dengan Continual Improvement
Kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari para informan melalui wawancara dengan pihak yang berkompeten. Pihak yang berkompeten dalam penelitian ini adalah pihak yang mengetahui serta memahami informasi tentang continual improvement kinerja Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.
Informan dalam penelitian ini adalah:
Kepala Instalasi Farmasi RSDM Surakarta.
Kepala Sub Instalasi Administrasi dan Pendidikan.
Kepala Sub Instalasi Farmasi Pelayanan Gudang Farmasi dan
Pelayanan Kebutuhan Ruangan.
Kepala Sub Instalasi Apotek Rawat Inap.
Kepala Sub Instalasi Farmasi Klinik.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung atau data yang diperoleh selain dari sumber data primer, seperti dokumen, catatan, lampiran-lampiran data serta hasil penelitian yang relevan yang dijadikan data penunjang atau pelengkap informasi dari penelitian.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Dokumen-dokumen dari Instalasi Farmasi RSDM Surakarta,
seperti Laporan Hasil Evaluasi Kepuasan Pelanggan Instalasi Farmasi RSDM Surakarta, Laporan pencapaian Sasaran Mutu Proses Internal Instalasi Farmasi RSDM Surakarta, Prosedur Tetap Standar Kompetensi Farmasis di RSDM Surakarta, Prosedur Tetap Stock Opname Perbekalan Farmasi serta Laporan Ketidaksesuaian dan Penyelesaian.
4. Teknik Pengambilan Sampel
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara
Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara bertanya langsung kepada informan yang telah ditentukan sebelumnya untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan pada waktu dan kondisi yang dianggap paling tepat sehingga mampu mendapatkan data yang lengkap dan mendalam. Selain itu, wawancara juga dilakukan secara berulang-ulang sesuai dengan kebutuhan peneliti sehingga kejelasan jawaban dari informan dapat diperoleh.
b. Dokumentasi
Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen atau arsip-arsip secara teliti yang terdapat di instansi. Dokumen atau arsip yang ada di Instalasi Farmasi meliputi:
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Laporan Hasil Evaluasi Kepuasan Pelanggan Instalasi Farmasi
Laporan pencapaian Sasaran Mutu Proses Internal Instalasi
Farmasi RSDM Surakarta.
Prosedur Tetap Standar Kompetensi Farmasis di RSDM
Surakarta.
Prosedur Tetap Stock Opname Perbekalan Farmasi.
Laporan Ketidaksesuaian dan Penyelesaian.
Selain itu, dokumentasi juga menggunakan data yang bersumber dari buku kepustakaan, hasil penelitian terdahulu serta arsip ataupun dokumen yang berhubungan dengan penelitian.
c. Observasi Langsung
Merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara langsung untuk memperoleh gambaran tentang peristiwa, tempat atau lokasi penelitian serta kegiatan yang berlangsung didalamnya.
Dalam hal ini, peneliti melakukan observasi langsung berperan pasif dimana dalam observasi peneliti hanya mendatangi lokasi, tetapi sama sekali tidak berperan sebagai apapun selain sebagai pengamat pasif.
6. Validitas Data
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan yang lain untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Ada 4 macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini menurut Lexy J. Moleong (2002 : 178) dapat dicapai dengan langkah :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. b. Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, dan orang pemerintahan.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
berbeda yang tersedia. Dengan demikian data yang satu akan dikontrol oleh data yang lain dari sumber yang berbeda.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif. dimana model ini mempunyai tiga komponen analisis, yaitu: reduksi data, sajian data dan penarikan simpulan serta verifikasinya yang berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai suatu siklus. Dalam proses analisis terdapat tiga komponen yang saling berkaitan serta menentukan hasil akhir analisis, tiga komponen tersebut adalah :
a. Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung terus-menerus mulai dari awal sampai laporan akhir penelitian.
b. Sajian Data
dan mungkin untuk mengerjakan sesuatu pada analisis atau tindakan lain.
c. Penarikan Simpulan dan Verifikasi
Dari awal pengumpulan data peneliti sudah harus memahami arti dari berbagai data yang diperoleh. Simpulan akhir baru akan diperoleh setelah proses pengumpulan data berakhir. Untuk lebih memperoleh kemantapan dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, setelah penarikan simpulan perlu verifikasi. Pada dasarnya, makna data perlu diuji validitasnya supaya simpulan penelitian menjadi lebih kokoh dan dapat dipercaya (HB. Sutopo, 2002:93)
Gambar 1.7
Model Analisis Interaktif
Sumber : HB. Sutopo, 2002 : 96 Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penarikan Simpulan/verifikasi
BAB II
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi (RSDM) Surakarta adalah rumah sakit pendidikan (teaching hospital) bagi calon dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan program pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) dan tenaga kesehatan lainnya. Disamping itu, RSDM sebagai rumah sakit rujukan wilayah Eks Karesidenan Surakarta dan sekitarnya, juga Jawa Timur bagian barat dan Jawa Tengah bagian timur.
Gambaran umum RSDM yang lain adalah sebagai berikut:
1. Identitas
Nama rumah sakit : RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Pemilik : Pemerintah Propinsi Jawa Tengah Alamat : Jl. Kolonel Soetarto 132 Surakarta Kelas : A
Jumlah Tempat tidur : 473 Tempat Tidur
2. Dasar Hukum / Landasan Operasional
ii. Perda No.3 / 97, Tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja RSUD Dr. Moewardi Surakarta
iii. Perda No.14 / 1999, Tentang perubahan RSDM menjadi RS Unit Swadana
iv. Surat Ketetapan Menteri Kesehatan tanggal 6 September 2007 Nomor: 1011/MENKES/SK/IX/2007 tentang Peningkatan Kelas Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta Milik Provinsi Jawa Tengah dari Kelas B Pendidikan menjadi Kelas A. juga sebagai Rumah Sakit Pusat Rujukan Daerah Jawa Tengah Bagian Tenggara dan Jawa Timur Bagian Barat.
3. Falsafah
RSDM Surakarta adalah yang memberikan pelayanan kesehatan dengan mutu yang setingginya dan melaksanakan fungsi pendidikan kesehatan di rumah sakit dengan sebaik-baiknya yang diabdikan bagi kepentingan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
4. Visi
Menjadi Pusat Rujukan Pelayanan Kedokteran Akademik Terkemuka di Jawa Tengah 2010.
5. Misi
i. Meningkatkan mutu akademik SDM penyelenggara pelayanan serta meningkatkan komitmennya terhadap mutu pelayanan.
iii. Meningkatkan competitiveness pelayanan RSDM melalui peningkatan mutu akademik pelayanan.
iv. Meningktkan competitiveness pendidikan FK.UNS melalui peningkatan mutu pendidikan sebagai hasil dari peningkatan mutu pelayanan.
6. Tujuan
i. Kemandirian finansial rumah sakit. ii. Kepuasan pelanggan.
iii. Proses pelayanan yang prima.
iv. Sumber daya manusia berkomitmen tinggi dan kompeten. B. Penghargaan
a. Juara I Penampilan kerja Rumah Sakit Pendidikan Tingkat Propinsi Jawa Tengah 1995.
b. Juara I penampilan kerja Rumah Sakit Pendidikan Tingkat Propinsi Jawa Tengah 1996.
c. Juara I penampilan kerja Rumah Sakit Pendidikan Tingkat Propinsi Jawa Tengah 1997.
d. Akreditasi Nasional Rumah Sakit Sayang Bayi dari Kepala BKKBN Menteri UPW, Menkes 1993.
e. Akreditasi Internasional Rumah Sakit sayang Bayi dari WHO 1994. f. Akreditasi penuh Rumah Sakit Umum dari Komite Gabungan Akreditasi
g. Akreditasi penuh Rumah Sakit Umum dari Komite Gabungan Akreditasi Rumah Sakit dengan 10 pelayanan tahun 2000.
h. Citra pelayanan tahun 2001
i. Terakreditasi 16 pelayanan tahun 2005 j. Tersetifikasi ISO 9001:2000 tahun 2007 k. Menjadi kelas A tahun 2007
l. Masuk dalam 5 besar rumah sakit terbaik di jawa tengah. m. Dalam proses menjadi Badan Layanan Umum
n. Dalam proses akreditasi 16 pelayanan (plus) C. Stuktur Organisasi RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Di dalam rumah sakit umum struktur organisasi sangat diperlukan, karena dengan adanya suatu struktur organisasi yang baik dapat tercipta kerjasama yang baik antara pihak yang terlibat di dalamnya untuk mewujudkan tujuan bersama dan terdapat adanya pembagian tugas yang dirumuskan secara jelas sehingga dalam pelaksanaan pekerjaan tidak terdapat kerancuan.
Gambar 2.1
Struktur Organisasi RSDM Surakarta
Sumber : RSDM Surakarta
Mengenai pembagian tugas dari masing-masing bagian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Direktur
RSDM dipimpin oleh seorang Kepala dengan sebutan Direktur yang secara teknis fungsional berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan dan taktis Operasional kepada Gubernur Kepala Daerah.
DIREKTUR
KOMITE MEDIS
STAF MEDIS FUNGSIONAL SATUAN PENGAWAS
INTERN
WAKILDIREKTUR PENUNJANG MEDIS
DAN PENDIDIKAN
WAKIL DIREKTUR UMUM &KEUANGAN WAKIL DIREKTUR
2. Wakil Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan
Wakil Direktur Pelayanan Medis Keperawatan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan bidang pelayanan medis dan bidang keperawatan, serta melaksanakan pelayanan rawat jalan, rawat inap, rawat darurat, bedah sentral, perawatan intensif dan pelayanan kesehatan terpadu.
Wakil Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan Membawahi:
a. Bidang Pelayanan Medis.
b. Bidang Keperawatan.
c. Instalasi Rawat Jalan.
d. Instalasi Rawat Inap I, II, III.
e. Instalasi Gawat Darurat.
f. Instalasi Bedah Sentral.
g. Instalasi Perawatan Intensif.
h. Instalasi Pelayanan Kesehatan Terpadu.
3. Wakil Direktur Penunjang Medis dan Pendidikan
Wakil Direktur Penunjang Medis dan Pendidikan mambawahi:
a. Bidang Penunjang Medis.
b. Bidang Pendidikan dan Pelatihan.
c. Instalasi Radiologi.
d. Instalasi Farmasi.
e. Instalasi Rehabilitasi Medik.
f. Instalasi Laboratorium.
g. Instalasi Penyehatan Lingkungan Rumah Sakit.
h. Instalasi Gizi.
i. Instalasi Pemulasaran Jenazah.
j. Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit.
4. Wakil Direktur Umum dan Keuangan
Wakil Direktur Umum dan Keuangan membawahi:
a. Bagian Sekretariat.
b. Bagian Perencanaan dan Rekam Medis.
c. Bagian Penyusunan Anggaran dan Perbendaharaan.
d. Bagian Akuntansi dan Mobilisasi Dana.
e. Instalasi Pusat Pencuci Hama dan Cuci Jahit.
5. Komite Medis
Komite Medis adalah kelompok tenaga medis yang keanggotaan terdiri dari ketua-ketua kelompok Staf Medis Fungsional. Komite Medis membantu tugas direktur menyusun standar pelayanannya, memantau pelaksanaannya, melaksanakan etika profesi, mengatur kewenangan profesi anggota staf Medis Fungsional, mengembangkan program pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
6. Staf Medis Fungsional
7. Satuan Pengawas Intern
Pada RSDM dapat dibentuk Satuan Pengawas Intern yang ditetapkan oleh dan bertanggungjawab kepada Direktur dengan masa bakti 3 tahun. Satuan Pengawas Intern adalah kelompok Fungsional yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya rumah sakit.
D. Sarana dan Prasarana
Pada saat ini, RSDM Surakarta memiliki bangunan seluas 33,205 meter persegi diatas tanah seluas 39.915 meter persegi, yang terdiri dari:
Tabel 2.1
10 Blok L Gudang Umum Radioterapi
Total Luas Bangunan
1.881,2 576 300 33.205
1 lantai 1 lantai 1 lantai
Sumber: RSDM Surakarta
Sarana dan fasilitas lain yang dimilki oleh RSDM Surakarta, adalah:
1. Fasilitas Lift
- Hyundai (9 buah)
2. Fasilitas Air
- PAM (2 buah)
- Sumur Arthesis (2 buah masing-masing 150 meter), dengan
menggunakan Hydrophor dengan tower. 3. Fasilitas Listrik
- PLN 1000 KVA
- Genset 1x630 KVA; 2x 7,5 KVA; 1 x 1,25 MVA
- UPS 30 KVA
4. Fasilitas Gas
- Sentral gas medic: Blok G (IBS dan Ruang Intensif)
5. Fasilitas Pengolah Limbah
- Cair: 2 Unit Biodetix ( 125&250 m3/jam)
- Sampah medis: Insenerator (1 m 3
- Boiler: 2 buah
E. Instalasi Farmasi RSUD Dr. Moewardi Surakarta
1. Falsafah
Pelayanan Farmasi Rumah Sakit adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan berorientasi pada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, serta melaksanakan farmasi klinik.
2. Visi
Menjadi pusat rujukan pelayanan farmasi rumah sakit di Jawa Tengah tahun 2010
3. Misi
a. Meningkatkan mutu sumber daya manusia penyelenggara pelayanan farmasi dan meningkatkan komitmennya terhadap peningkatan mutu pelayanan farmasi.
b. Meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pelayanan farmasi.
c. Meningkatkan competitiveness pelayanan farmasi rumah sakit.
4. Tujuan
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesinal berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi.
c. Melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang obat.
d. Memberi pelayanan bermutu melalui analisa dan evaluasi untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi.
e. Melakukan pengawasan perbekalan farmasi berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
f. Menyelanggarakan pendidikan dan pelatihan bidang farmasi.
g. Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi.
h. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium rumah sakit.
5. Kedudukan
Instalasi Farmasi merupakan fasilitas penyelenggaraan pelayanan penunjang medik dipimpin oleh kepala instalasi dalam jabatan non struktural.
6. Wewenang.
7. Tanggung Jawab
Bertanggung jawab terhadap semua perbekalan farmasi yang beredar di rumah sakit.
8. Kebijakan
Pelayanan rumah sakit meliputi penyediaan, distribusi perbekalan farmasi, pelayanan keprofesian, pelayanan informasi obat dan jaminan kualitas yang berhubungan dengan pemakaian perbekalan farmasi.
Pelayanan farmasi terdiri:
Sistem pengadaan dan inventaris.
Pembuatan obat secara CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik),
termasuk pengemasan kembalis sesuai dengan kebutuhan.
Penyelenggaraan sistem distribusi yang efisien.
Pelayanan keprofesian meliputi, penyiapan perbekalan farmasi,
pencampuran, penyampaian, pemantauan obat dalam hal dosis, indikasi dan efek samping.
Pelayanan informasi obat dan alat kesehatan yang baik kepada pasien
9. Keadaan Pegawai
Tabel 2.2
Daftar Ketenagaan di Instalasi Farmasi RSDM Surakarta Menurut Status kepegawaian Tahun 2009
No Status Kepegawaian Jumlah
1 Apoteker 11
2 Asisten Apoteker 35
3 Tenaga administrasi 14
4 Tenaga Hororer 11
Jumlah 71
Menurut data di atas, dari 71 tenaga pegawai yang ada di Instalasi Farmasi terdapat 11 orang diantaranya adalah apoteker, 35 orang sebagai asisten apoteker, 14 orang lainnya sebagai tenaga administrasi dan 11 orang sisanya berstatus sebagai tenaga hororer.
10. Pengorganisasian
Dalam melaksanakan tugas Instalasi Farmasi dikelola sedemikian rupa demi terciptanya tujuan pelayanan dan agar terjalin kerja sama yang harmonis antara intern Instalasi Farmasi maupun ekstern instalasi dengan unit lain yang terkait.Instalasi Farmasi dipimpin oleh seorang kepala yaitu seorang apoteker yang memiliki SK penempatan, berpengalaman di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 7 tahun atau berpendidikan Spesialis Farmasi Rumah Sakit dan ada SK Direktur.
Farmasi, Pelayanan Kebutuhan Ruangan, Administrasi dan Pendidikan, Pelayanan Farmasi Klinik, Apotek Rawat Jalan, Apotek Rawat Inap, dan Apotek Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Berikut ini adalah gambar dari struktur organisasi instalasi farmasi RSDM Surakarta.
Gambar 2.2
Struktur Organisasi Instalasi Farmasi
Sumber :
11. Uraian Tugas dan Tanggung Jawab Jabatan a. Kepala Instalasi Farmasi
Harus terlibat dalam perencanaan manajemen dan penentuan
anggaran serta penggunaan sumber daya.
Terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan yang
berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.
Bertanggung jawab terhadap aspek hukum dan peraturan farmasi
baik terhadap pengawasan distribusi maupun administrasi barang farmasi.
Melakukan penilaian tugas dan pekerjaan terhadap staf dan petugas
lainnya.
Menetapkan kebijakan intern instalasi farmasi.
b. Kepala Sub Instalasi Farmasi.
Menyelenggarakan pelayanan farmasi.
Dalam melaksanakan tugas dibantu oleh tenaga ahli madya (D3),
tenaga menengah farmasi (AA) dan tenaga lainnya.
Setiap saat harus berada ditempat pelayanan untuk melangsungkan
dan mengawasi pelayan farmasi dan harus ada pendelegasian wewenag yang bertanggung jawab apabila apoteker berhalangan. Membuat dokumentasi yang rapid an rinci dari pelayanan farmasi,
dilakukan evaluasi terhadap pelayanan farmasi setiap bulan. b.1. Sub Instalasi Farmasi Administrasi dan Pendidikan.
Mengarsipkan surat masuk dan keluar.
Mengatur urusan kepegawaian atau ketenagaan instalasi
farmasi.
Mengatur pendidikan bagi mahasiswa fakultas farmasi
b.2. Sub Instalasi Farmasi Pelayanan Gudang Farmasi.
Menerima perbekalan farmasi dari panitia pmeriksa atau
penerima barang.
Mencatat pada kartu gudang atau kartu barang atau pada
komputer sistem informasi instalasi farmasi.
Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi
penyimpanan.
Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit distribusi
(Apotek rawat jalan, apotek rawat inap dan apotek IGD). Membuat evaluasi dan pelaporan mutasi barang setiap
bulan.
Membuat perencanaan untuk pengadaan barang perbekalan
farmasi setiap bulan.
b.3. Sub Instalasi Farmasi Pelayanan Kebutuhan ruangan.
Melayani kebutuhan perbekalan farmasi yang tidak
diresepkan bagi ruangan instalasi rawat inap, instalasi rawat jalan, instalasi bedah sentral dan instalasi lain.
Permintaan kebutuhan dilaksanakan setiap minggu.
Mencatat pengeluaran barang atau pada komputer sistem
instalasi farmasdi.
b.4. Sub Instalasi Produksi farmasi.
Bertugas memproduksi sediaan farmasi yang diperlukan
untuk pelayanan medis tetapi tidak diproduksi di pasaran. Melaksanakan pengemasan kembali sesuai dengan
keperluan pelayanan medis.
b.5. Sub Instalasi Farmasi Apotek Rawat Jalan
Melayani pasien umum dan pasien peserta asuransi
(jamsostek,askeskin dan lain-lain) rawat jalan.
Administrasi Sub Instalasi Farmasi Apotek Rawat jalan
meliputi:
Penyiapan persediaan obat dan alat kesehatan habis
pakai melalui pengambilan di Sub Instalasi Farmasi Gudang Farmasi.
Evaluasi dan pelaporan kegiatan pelayanan harian dan
setiap bulan.
Pelayanan resep meliputi:
Memeriksa keabsahan resep (nama poliklinik resep
ditulis, nama dokter, penulis resep, tanggal, dll). Memeriksa kelengkapan resep.
Menghitung harga obat atau alat kesehatan.
Menyiapkan obat atau alat kesehatan dan member
etiket.
Membuat copy resep (bila diperlukan). Menyiapkan ke tempat penyerahan. Penyerahan obat.
b.6. Sub Instalasi Farmasi Apotek Rawat Inap.
Melayani pasien umum dan pasien peserta asuransi
(jamsostek,askeskin dan lain-lain) rawat inap.
Melayani pasien umum dan pasien peserta asuransi
(jamsostek,askeskin dan lain-lain) rawat inap.
Administrasi Sub Instalasi Farmasi Apotek Rawat inap
meliputi:
Penyiapan persediaan obat dan alat kesehatan habis
pakai melalui pengambilan di Sub Instalasi Farmasi Gudang Farmasi.
Evaluasi dan pelaporan kegiatan pelayanan harian dan
setiap bulan.
Pelayanan resep meliputi:
Memeriksa keabsahan resep (nama poliklinik resep
ditulis, nama dokter, penulis resep, tanggal, dll). Memeriksa kelengkapan resep.
Menghitung harga obat atau alat kesehatan.
Menyiapkan obat atau alat kesehatan dan member
etiket.
Membuat copy resep (bila diperlukan). Menyiapkan ke tempat penyerahan. Penyerahan obat.
b.7. Sub Instalasi Farmasi apotek IGD
Melayani pasien umum dan pasien peserta asuransi
(jamsostek,askeskin dan lain-lain) IGD.
Melayani pasien umum dan pasien peserta asuransi
(jamsostek,askeskin dan lain-lain) IGD.
Administrasi Sub Instalasi Farmasi Apotek IGD meliputi:
Penyiapan persediaan obat dan alat kesehatan habis
pakai melalui pengambilan di Sub Instalasi Farmasi Gudang Farmasi.
Evaluasi dan pelaporan kegiatan pelayanan harian dan
setiap bulan.
Pelayanan resep meliputi:
Memeriksa keabsahan resep (nama poliklinik resep
ditulis, nama dokter, penulis resep, tanggal, dll). Memeriksa kelengkapan resep.
Menghitung harga obat atau alat kesehatan.
Menyiapkan obat atau alat kesehatan dan member
etiket.
Memriksa kebenaran.