Pemilu, Volatilitas Pasar, dan the Winning Sector
Oleh:
Asep Muhammad Saepul Islam1
Hanya dalam hitungan hari saja, bangsa Indonesia akan segera merayakan pesta
demokrasi yang rutin diselenggarakan lima tahun sekali. Berbagai harapan dan kekhawatiran
muncul seiring berlangsungnya hajatan besar rakyat Indonesia ini. Tak terkecuali bagi para
pelaku pasar modal yang sedang berharap-harap cemas menanti proses berjalannya suksesi
kepemimpinan bangsa ini lima tahun ke depan.
Mengenai kaitan pasar modal dengan dinamika politik suatu negara, Leblang &
Mukherjee (2005) meneliti tentang bagaimana volatilitas harga saham dipengaruhi oleh
keberpihakan pemerintah dan ekspektasi pelaku pasar modal terhadap kemenangan pemilu baik
oleh partai ‘sayap kiri’ maupun ‘sayap kanan’. Penelitian ini mengasumsikan bahwa ekspektasi
rasional terjadinya inflasi yang lebih tinggi ketika pemerintah di bawah kekuasaan partai sayap
kiri akan menurunkan volume perdagangan saham yang beredar di pasar modal. Penurunan
volume ini berdampak pada penurunan volatilitas harga saham bukan saja ketika partai sayap kiri
menjadi penguasa, tetapi juga ketika para pelaku pasar mengharapkan partai sayap kiri
memenangkan pemilu.
Sebaliknya, harapan akan rendahnya inflasi ketika kekuasaan berada di bawah partai
sayap kanan mengakibatkan meningkatnya volume perdagangan sehingga mendorong naiknya
volatilitas harga saham selama pemerintahan di bawah partai sayap kanan. Hal ini terjadi juga
1 Penerima Beasiswa LPDP Kementerian Keuangan RI. Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lebih sering disapa Amsi. E-mail: mangamsi@gmail.com, Blog: www.mangamsi.com
ketika para pelaku pasar mengantisipasi kemenangan partai sayap kanan dalam pemilu. Data
mingguan dan bulanan dari pasar saham Amerika Serikat dan Inggris antara tahun 1930 sampai
tahun 2000 secara statistik menjadi bukti yang menguatkan prediksi kedua peneliti tersebut.2
Bagaimana dengan Indonesia? Jika kita mengamati data historis Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) dan indeks sektoral pada tahun saat digelar dua pemilu terakhir (2004 dan
2009), maka secara umum tahun pemilu merupakan ‘tahun yang bersahabat’ bagi pasar modal.
Sebagai contoh pada tahun 2004, saat SBY dan JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden,
IHSG berhasil membukukan return sebesar 41,84 % dalam periode satu tahun. Pada periode
yang sama, beberapa sektor bahkan berhasil melampaui kinerja IHSG, masing-masing sektor
finansial (81,33%), properti dan konstruksi (61,90 %), perkebunan (58,03%), industri lain-lain
(56,10%), industri dasar (52,31%) dan infrastruktur (45,41%). Sementara itu, sektor yang
kinerjanya di bawah IHSG adalah pertambangan (41,50%), perdagangan (17,93%) dan konsumsi
(10,95%).
Pemilu 2009 yang kembali memunculkan SBY sebagai pemenang, meski dengan
pasangan yang berbeda, juga merefleksikan efek positif tahun politik terhadap pasar modal kita.
Padahal setahun sebelumnya, dunia pasar modal mengalami kegoncangan sebagai dampak krisis
global akibat fenomena subprime mortgage di Amerika Serikat. Pada tahun 2009 ini, kinerja
IHSG melesat jauh di atas indeks regional lainnya dengan mencatatkan return tahunan sebesar
78,83%. Sektor industri lain-lain (termasuk di dalamnya industri otomotif, tekstil dan kabel)
menjadi jawara pada periode tersebut dengan membukukan return 148,35%. Sektor lainnya yang
memiliki kinerja di atas IHSG antara lain sektor pertambangan (129.72%), konsumsi (105.50%),
industri dasar (94,33%), dan perkebunan (90,75%). Meski demikian, terdapat juga sektor yang
2 Penjelasan lebih rinci silakan lihat David Leblang dan Bumba Mukherjee, “ Government Partisanship, Elections, and the Stock Market: Examining American and British Stock Returns, 1930–2000” dalam American Journal of Political Science, Vol. 49, No. 4, October 2005, 780–802.
mencatatkan kinerja di bawah IHSG, masing-masing sektor perdagangan (78,06%), finansial
(72,00%), infrastruktur (42,38%), dan properti (40,00%).
Data-data historis di atas menguatkan asumsi bahwa tahun pemilu berdampak positif
terhadap pasar modal Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan kinerja positif yang ditorehkan
indeks harga saham gabungan maupun indeks masing-masing sektor. Dari data-data tersebut,
diperoleh juga sektor-sektor yang selalu mencatatkan kinerja di atas benchmark-nya yaitu IHSG.
Sektor-sektor yang dimaksud masing-masing adalah sektor perkebunan, industri lain-lain dan
industri dasar. Sementara sektor perdagangan menjadi satu-satunya sektor yang selalu memiliki
kinerja di bawah benchmark. Fakta historis yang dipaparkan di atas dapat dijadikan salah satu
acuan bagi para investor maupun trader dalam memilih saham jawara dari sektor juara. Tentunya
dengan tetap memperhatikan dan menilai kinerja fundamental perusahaan yang dielaborasi dari
laporan tahunan terbaru. Juga dengan mengantisipasi ‘sayap’ politik mana yang diprediksi punya
kans besar untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan berikut dampaknya terhadap dunia
pasar modal kita. Selamat memprediksi dan berinvestasi! [amsi]