BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1Steganografi
Steganografi adalah seni komunikasi dengan menyembunyikan atau menyamarkan keberadaan pesan rahasia dalam suatu media penampungnya sehingga orang lain tidak menyadari adanya pesan di dalam media tersebut. Kata steganografi merupakan istilah yang berasal dari bahasa yunani yang berasal dari kata steganos (tertutup) dan
graphein (tulisan). Lebih lengkapnya steganos dan graphein atau graptos memiliki arti menulis tulisan yang tersembunyi atau terselubung (Sutoyo, 2009).
Steganografi sudah digunakan sejak dahulu kala sekitar 2500 tahun yang lalu untuk kepentingan politik, militer, diplomatik, serta untuk kepentingan pribadi. Tehnik steganografi mempelajari tentang bagaimana menyembunyikan suatu pesan rahasia di dalam suatu wadah penampung. Selain steganografi, terdapat salah satu istilah lain yang bernama watermaking. Watermaking merupakan suatu bentuk dari steganografi. Yang membedakan steganografi dengan watermaking, watermaking
merupakan cara penyembunyian pesan ke dalam wadah penampung dan wadah penampung mampu menghadapi proses pengolahan sinyal digital namun tidak merusak wadah penampung sehingga seolah-olah tidak ada perbedaan antara wadah penampung sebelum dan sesudah proses penyembunyian. Sedangkan steganografi memiliki prinsip dasar lebih mengkonsentrasikan pada kerahasian pesannya bukan pada keutuhan wadahnya (Munir, 2004).
masih asli yang belum dimodifikasi, yang disebut media cover (cover object). Kemudian media cover dan embed yang ditempelkan membuat media stego (stego object). Extraction adalah proses menguraikan pesan yang tersembunyi dalam media
stego. Ringkasnya, steganografi adalah teknik menanamkan embed pada suatu cover object, dimana hasilnya berupa stego object (Pakereng,2010).
Adapun proses steganografi selengkapnya ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Proses Steganografi
Pihak yang terkait dengan steganografi antara lain embeddor, extractor, dan
stegoanalyst. Embeddor adalah pelaku yang melakukan penyisipan (embedding),
extractor adalah pelaku yang melakukan ekstraksipada stego object, dan stegoanalyst
adalah pelaku yang melakukan steganalisis. Steganalisis merupakan ilmu dan seni untuk mendeteksi embed yang tersembunyi dalam steganografi (Prihanto, 2010).
Gambar 2.2 Taksonomi Steganografi
Cover
Cover
<tipe data> <tipe data>
a. Teknik Steganografi (Technical Steganography)
Merupakan teknik yang menggunakan metode sains untuk menyembunyikan
embed. Contohnya adalah penyembunyian embed dalam chip mikro. b. Linguistik Steganografi (Linguistic Steganography)
Merupakan teknik yang menyembunyikan embed dalam cara yang tidak lazim. Teknik ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Semagrams dan Open Codes.
c. Open Codes
Merupakan tehnik menyembunyikan embed cara yang tidak umum namun tetap tidak mencurigakan. Teknik ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Jargon Code dan
Covered Ciphers. d. Covered Ciphers
Merupakan tehnik yang menyembunyikan embed dalam media penampung sehingga embed kemudian dapat diekstrak dari media penampung tersebut oleh pihak yang mengetahui bagaimana embed tersembunyi tersebut disembunyikan. (Sumber: Aditya, 2010)
Penilaian sebuah metode steganografi yang baik dapat dinilai dari beberapa faktor yaitu imperceptibility, fidelity, recovery, dan robustness. Karakteristik metode steganografi yang baik adalah memiliki imperceptibility tinggi, fidelity tinggi,
recovery maksimum dan robustness tinggi (Putra, 2010). 1. Imperceptibility
Keberadaan embed dalam media penampung tidak dapat dideteksi. 2. Fidelity
Mutu media penampung setelah ditambahkan embed tidak jauh berbeda dengan mutu media penampung sebelum ditambahkan embed.
3. Recovery
Embed yang telah disisipkan dalam media penampung harus dapat diungkap kembali. Hal ini merupakan syarat mutlak dalam sebuah metode steganografi, karena ada banyak cara penyisipan embed yang tidak terdeteksi namun sulit dalam pembacaan kembali.
4. Robustness
operasi-operasi manipulasi, maka embed yang disembunyikan seharusnya tidak rusak (embed masih utuh, tetap bisa diekstrak kembali).
2.2 Media Steganografi
Citra penampung (citra cover) merupakan media untuk menampung embed pada
steganografi. Suatu embed dapat mempunyai hubungan atau bahkan tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan media penampung (untuk kasus komunikasi rahasia) atau embed juga dapat berupa menyediakan info penting tentang media, seperti informasi autentifikasi, judul, tanggal dan waktu pembuatan, hak cipta, nomor seri kamera digital yang digunakan untuk mengambil gambar, informasi mengenai isi dan akses terhadap citra dan lain sebagainya (Prihanto, 2010).
Steganografi digital menggunakan media digital sebagai media penampung, seperti teks, citra, audio dan video. Semua berkas yang ada dalam komputer dapat digunakan sebagai media penampung, asalkan berkas tersebut mempunyai bit-bit data redundan yang dapat dimodifikasi. Hal ini juga berlaku untuk media penyisip (embed).
1. Citra
Format citra atau gambar paling sering digunakan, karena merupakan salah satu
format berkas yang sering dipertukarkan dalam dunia internet. Alasan lainnya adalah banyaknya metode steganografi yang tersedia untuk media penampung yang berupa citra.
2. Teks
Dalam metode steganografi yang menggunakan teks sebagai media penampung, teks yang telah disisipi embed tidak boleh mencurigakan untuk orang yang melihatnya.
3. Audio
Format audio atau suara juga sering dipilih karena berkas dengan format audio berukuran
4. Video
Format video memiliki ukuran berkas yang relatif sangat besar namun jarang digunakan karena ukurannya yang terlalu besar sehingga mengurangi kepraktisannya dan juga kurangnya algoritma yang mendukung format ini.
2.3Pengertian Citra Digital
Citra digital adalah gambar dua dimensi yang dapat ditampilkan pada layar monitor komputer sebagai himpunan berhingga (diskrit) nilai digital yang disebut pixel
(picture elemen). Citra digital tersusun dalam bentuk raster (grid atau kisi). Setiap kotak yang terbentuk disebut pixel (picture element) dan memiliki koordinat (x,y).
Pixel merupakan suatu elemen citra yang memiliki nilai yang menujukkan intensitas warna. Citra digital dapat didefenisikan sebagai fungsi dua variabel f(x,y), dimana x
dan y adalah koordinat spasial dan nilai f(x,y) merupakan intensitas citra suatu titik. Piksel (0,0) terletak pada sudut kiri atas pada citra, indeks x begerak ke kanan dan indeks y bergerak ke bawah. Konvensi ini dipakai merujuk pada cara penulisan larik yang digunakan dalam pemrograman komputer.
Gambar 2.3 Koordinat Pada Citra
Suatu citra digital diperoleh dari penangkapan kekuatan sinar yang dipantulkan oleh objek. Citra digital tersusun atas sejumlah berhingga elemen, masing-masing memiliki lokasi dan nilai/intensitas tertentu. Tingkat ketajaman atau resolusi warna
pada citra digital tergantung pada jumlah bit yang digunakan oleh komputer untuk merepresentasikan setiap piksel tersebut. Tipe yang sering digunakan untuk merepresentasikan citra digital adalah 8-bit citra (256 colors (0 untuk hitam - 255
untuk putih)), tetapi dengan kemajuan teknologi perangkat keras grafik, kemampuan tampilan citra digital di komputer hingga 32 bit (232 warna) (Sutoyo, 2009).
Selain citra digital, juga terdapat jenis citra yang lain yakni citra analog. Citra analog adalah citra yang terdiri dari sinyal – sinyal frekuensi elektromagnetis yang belum dibedakan sehingga pada umumnya tidak dapat ditentukan ukurannya. Analog berhubungan dengan hal yang kontinu dalam satu dimensi, contohnya adalah bunyi diwakili dalam bentuk analog, yaitu suatu getaran gelombang udara yang kontinu dimana kekuatannya diwakili sebagai jarak gelombang. Hampir semua kejadian alam boleh diwakili sebagai perwakilan analog seperti bunyi, cahaya, air, elektrik, angin dan sebagainya (Putra, 2010).
Citra digital dapat dibagi menjadi 4 macam berdasarkan warna-warna penyusunnya :
1. Citra biner (monochrome), atau disebut juga binary image, yaitu citra yang setiap pikselnya hanya memiliki kemungkinan dua warna, yaitu berwarna hitam (0) atau
berwarna putih (1). Oleh karena itu, setiap piksel pada citra biner hanya membutuhkan media penyimpanan sebesar 1 bit.
2. Citra greyscale (citra keabuan), citra ini terdiri atas warna abu-abu. Setiap piksel citra greyscale merepresentasikan derajat keabuan atau intensitas warna putih. Untuk pengubahan warna citra menjadi greyscale dapat dilakukan dengan memberikan bobot untuk masing-masing warna dasar red green blue atau dengan membuat nilai rata-rata dari ketiga warna dasar tersebut.
2.3.1 Format File Citra Digital
Citra digital dapat disimpan dalam berbagai format. Sebuah format citra harus dapat menyatukan kualitas citra, ukuran file dan kompatibilitas dengan berbagai aplikasi. Setiap format file citra memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing dalam hal citra yang disimpan. Menyimpan suatu citra harus diperhatikan citra dan format
file citra apa yang sesuai. Misalnya format citra GIF sangat tidak cocok untuk citra fotografi karena biasanya citra fotografi kaya akan warna, sedangkan format GIF hanya mendukung sejumlah warna sebanyak 256 (8 bit) saja. Format JPEG merupakan pilihan yang tepat untuk citra – citra fotografi karena JPEG sangat cocok untuk citra dengan perubahan warna yang halus. Saat ini tersedia banyak format grafik dan format baru tersebut yang sudah dikembangkan, diantaranya yang terkenal adalah BMP, JPEG, dan GIF (Prihanto, 2010).
2.3.2 Format Data Bitmap
Pada format bitmap, citra disimpan sebagai suatu matriks di mana masing-masing elemennya digunakan untuk menyimpan informasi warna untuk setiap piksel. Jumlah warna yang dapat disimpan ditentukan dengan satuan bit-per-piksel. Semakin besar ukuran bit-per-piksel dari suatu bitmap, semakin banyak pula jumlah warna yang dapat disimpan. Format bitmap ini cocok digunakan untuk menyimpan citra digital yang memiliki banyak variasi dalam bentuknya maupun warnanya, seperti foto, lukisan, dan frame video. Format file yang menggunakan format bitmap ini antara lain adalah BMP, DIB, PCX, GIF, dan JPG. Format yang menjadi standar dalam system operasi Microsoft Windows adalah format bitmap BMP atau DIB.
Pada citra bitmap jumlah warna yang dapat disimpan ditentukan oleh banyaknya bit yang digunakan untuk menyimpan setiap titik dari bitmap yang menggunakan satuan bpp (bit-per-piksel). Dalam Windows dikenal bitmap dengan 1, 4, 8, 16, dan 24 bit-per-piksel. Jumlah warna maksimum yang dapat disimpan dalam
suatu bitmap adalah sebanyak 2n, dimana n adalah banyaknya bit yang digunakan
Citra bitmap memiliki kelebihan untuk memanipulasi warna, tetapi untuk mengubah objek lebih sulit. Tampilan bitmap mampu menunjukkan kehalusan gradiasi bayangan dan warna dari sebuah gambar. Oleh karena itu, bitmap merupakan media elektronik yang paling tepat untuk gambar –gambar dengan perpaduan gradiasi warna yang rumit, seperti foto, kamera digital, video capture, dan lain-lain.
2.3.3 Format File Citra BMP
File format BMP bisa disebut juga bitmap atau format file DIB (untuk perangkat independen bitmap), adalah sebuah file gambar format yang digunakan untuk menyimpan gambar digital bitmap, terutama pada sistem operasi Microsoft Windows
dan OS/2. Format ini mendukung mode warna dari Bitmap Mode hingga RGB Mode.
File citra bitmap terdiri atas bagian header, palet RGB, dan data bitmap. Pada citra 8 bit, setiap elemen data bitmap menyatakan indeks dari peta warnanya di palet
RGB (Munir, 2004). Header merupakan informasi dari struktur daripada sebuah file
citra. Header biasanya memberikan informasi tentang nama file, ukuran, dimensi, resolusi (horizontal atau vertikal), format yang digunakan, tehnik kompresi yang digunakan, dan lain-lain.
<header> <palet RGB>
R G B
1 20 45 24 2 14 13 16 3 12 17 15 …
256 46 78 25 <data bitmap>
2 2 1 1 1 3 5 …
Gambar 2.4 Format Citra 8 Bit (256 Warna)
<header> <data bitmap> 2 2 1 1 1 3 5 …
Gambar 2.5 Format Citra 24 Bit (16 Juta Warna)
Pada contoh format citra 24-bit di atas, pixel pertama mempunyai R = 2, G = 2, B = 1.
BMP mudah dibuka dan disimpan, tetapi ada beberapa aturan khusus yang harus dicermati, diantaranya:
1. Format file ini menyimpan datanya secara terbalik, yaitu dari bawah ke atas
2. Citra dengan resolusi warna 8 bit, lebar citra harus merupakan kelipatan dari 4, bila tidak maka pada saat penyimpanan akan ditambahkan beberapa byte pada data hingga merupakan kelipatan dari 4.
3. Citra dengan resolusi warna 24 bit, urutan penyimpanan tiga warna dasar adalah biru, hijau, merah (B, G, R). Lebar citra dikalikan dengan 3 harus merupakan kelipatan dari 4, bila tidak maka pada saat penyimpanan akan ditambahkan
beberapa byte pada data hingga merupakan kelipatan dari 4.
Tabel 2.1 Struktur File .BMP
Keterangan:
1. Offset : byte ke (yang dimulai dari angka 0). 2. Size : ukuran dari panjang byte.
b. byte ke-2 dengan ukuran panjang 4 byte, nama spesifikasinya bitmap file size
yang berupa ukuran dari file dalam bentuk bytes.
c. byte ke – 6 dan 8 yang ukurannya 2 byte berupa field cadangan di set 0.
d. byte ke – 10 ukurannya 4 byte yang merupakan spesifikasi dari struktur bitmap file header ke bitbitmap, dimana file gambar dimulai pada tahap ini.
e. byte ke – 14, panjangnya 4 byte dengan spesifikasi nama bitmap size yang mempunyai ukuran header 40 bytes.
f. byte ke – 18 dengan panjang 4 bytes merupakan lebar gambar dalam satuan
pixel.
g. byte ke 22 dengan panjang 4 bytes merupakan tinggi gambar dalam satuan
pixel.
h. byte ke-26 dengan panjang 2 bytes merupakan bitmap planes dengan sejumlah
planes (umumnya 1).
i. byte ke-28 dengan panjang 2 byte merupakan jumlah bit per pixel : 1, 4, 8, atau 24.
j. byte ke-30 dengan panjang 4 byte yang merupakan tipe kompresi.
2.4Mode Warna
Mode warna RGB menghasilkan warna menggunakan kombinasi dari tiga warna primer red (merah), green (hijau), blue (biru). RGB dimulai dengan warna hitam (ketiadaan semua warna) dan menambahkan merah, hijau, biru terang untuk membuat putih. Kuning diproduksi dengan mencampurkan merah, hijau. warna cyan dengan mencampurkan hijau dan biru. warna magenta dari kombinasi merah dan biru. Kombinasi warna RGB dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Warna campuran (selain dari putih) dihasilkan dengan menambahkan warna komponen RGB individual dengan berbagai tingkat saturasi, dengan tingkatan mulai dari 0.0 hingga 1.0 (0 berarti tidak menggunakan warna tersebut; 1 berarti menggunakan warna tersebut pada saturasi penuh).
Warna didefenisikan dengan memasukkan intensitas untuk setiap komponen dalam matriks. Tiap komponen memiliki matriksnya sendiri-sendiri dan matriks tersebut bisa dijumlahkan. Sebagai contoh, untuk menghasilkan merah saturasi sempurna, masukan (1,0,0) : 100% merah 0% hijau dan 0% biru. Pada saat ketiga komponen warna tersebut dikombinasikan dalam 100% saturasi (1,1,1) hasilnya adalah putih (seperti diperlihatkan berikut):
Merah (1,0,0) + hijau (0,1,0) + Biru (0,0,1) = Putih (1,1,1)
2.5Menghitung Nilai RGB
Cara untuk menghitung nilai RGB citra cover sama dengan menghitung RGB citra
embed, dimana setiap pikselnya mengandung 24 bit kandungan warna atau 8 bit untuk masing-masing warna dasar (R, G, dan B), dengan kisaran nilai kandungan antara 0 (00000000) sampai 255 (11111111). Untuk tiap warna yang dapat ditulis sebagai berikut.
Red: RGB (255, 0, 0)……….………….…………..………... (2.1)
Green: RGB (0, 255, 0)... .………..……….... (2.2)
Blue: RGB (0, 0, 255)…..……….………... (2.3) Dari nilai triplet RGB persamaan (2.1) sampai (2.3) di atas dapat dikonversikan ke dalam nilai desimal seperti dibawah ini:
Red: 255*2560 + 0*2561 + 0*2562 = 255 + 0 + 0 = 255 ………..…... (2.4)
Green: 0*2560 + 255*2561 + 0*2562 = 0 + 65,280 + 0 = 65,280 ………... (2.5)
Rumus dasar mencari nilai RGB citra adalah:
R = COLORand RGB(255, 0, 0)….……….…... (2.7) G = (COLORand RGB(0, 255, 0)) / 256...……..……….…... (2.8) B = ((COLORand RGB(0, 0, 255)) / 256) / 256 ….……….… (2.9)
Dari persamaan (2.4) sampai (2.6) diatas, rumus RGB pada persamaan (2.7) sampai (2.9) menjadi:
Nilai R = c and 255………... (2.10) Nilai G = (c and65,280)/256 ..………...………..…... (2.11) Nilai B = ((c and 16,711,680)/256)/256 ………...………... (2.12)
2.6Ukuran Data yang Disembunyikan
Ukuran data yang akan disembunyikan bergantung pada ukuran citra penampung.
Pada citra 24-bit yang berukuran 350 × 250 pixel terdapat 87500 pixel, setiap pixel
berukuran 1 byte, berarti terdapat 87500 byte yang siap untuk menampung byte-byte
pesan nantinya. Ukuran byte pesan harus kurang dari jumlah byte citra penampung. Karena jika semakin besar jumlah byte pesan yang disembunyikan di dalam citra, semakin besar pula kemungkinan terlihat perubahan pada citra penampung akibat banyaknya byte-byte yang berubah akibat proses penyisipan.
2.7Metode Least Significant Bit (LSB)
terakhir (bit LSB) dari piksel citra penampung digantikan dengan satu bit dari embed
(Suryani, 2008). Cara kerja metode LSB dapat dijelaskan melalui contoh di bawah ini.
10 50 90 65 20 60 25 35 30 70 15 45 40 80 35 75
Gambar 2.7 Matriks Citra Penampung
Pada Gambar 2.7 di atas nilai tiap-tiap piksel citra penampung adalah 10, 50, 90, 65, 20, 60, 25, 35, 30, 70, 15, 45, 40, 80, 35, 75. Kemudian nilai piksel di atas dilakukan pengubahan ke nilai biner menjadi : 00001010, 00110010, 01011010, 01000001, 00010100, 00111100, 00011001, 100011, 00011110, 01000110, 00001111, 00101101, 00101000, 01010000, 00100011, 01001011.
Diberikan embed berupa teks “IPA” jika di-biner-kan menjadi 01001001, 01010000, 01000001. Penyisipan dengan metode LSB dilakukan dengan mengganti 1
bit terakhir dari piksel citra penampung dengan 1 bit dari bitembed teks ”IPA”.
I = 01001001
P = 01010000 A = 01000001
0 1 0 0
Gambar 2.8 Penyisipan Metode LSB 00110010 00001011 00101000 00111100
00101001 00011110 01000110 00100001
00011010 00110011 00001010 00101001
Pada Gambar 2.8 dapat dilihat bit-bit embed yang telah disisipkan pada citra penampung, dapat dilihat dengan huruf tebal, dimana yang berubah adalah nilai bit
yang terakhir.
2.8Metode Modified Least Significant Bit (MLSB)
Penyisipan pesan dengan Metode MLSB dilakukan dengan menyisipkan 5 bit embed
ke dalam 5 bit LSB citra penampung (citra cover). Namun sebelum data embed
disisipkan, terlebih dahulu dilakukan modifikasi terhadap data embed. Modifikasi pertama kali dilakukan dengan mengubah data embed kedalam heksadesimal dengan menggunakan tabel ASCII sebagai bantuan. Misalnya embed yang akan disisipkan berupa pesan “STEGO with 05 bits” dimana jika embed tersebut diubah ke biner
membutuhkan memori sebesar 18 x 8 bit = 144 bit. Pada metode MLSB, pesan di atas diubah menjadi ASCII heksadesimal (5 bit), maka pesan berubah menjadi:
53h, 54h, 45h, 47h, 4fh, 20h,77h, 69h,74h, 68h, 20h, 30h, 35h, 20h, 62h, 69h,74h,73h.
20h menerangkan spasi pada tabel ASCII. Kemudian data embed tersebut ditambahi dengan keterangan control symbol yang sudah ditetapkan (Zaher, 2011). Control symbol dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2 Control symbol
Kemudian dilakukan pembacaan data embed. Pertama-tama baca data embed
(ASCII) sampai tanda spasi (20h) yaitu 53, 54, 45, 47, 4f. Lalu semua nilai dikurangi dengan nilai terendah yaitu 40 menjadi 53-40= 13, 54-40= 14, 45-40= 05, 47-40 = 07, 4f-40 = 0. Jadi data embed kelompok pertama adalah 1ch, 13h, 14h, 05h, 07h, 0f dimana 1ch adalah control symbol untuk huruf besar (capital). Untuk kelompok data
Hexa Operasi
kedua adalah 77h, 69h,74h, 68h dikurangi dengan nilai terendah (60) menjadi 77-60= 17, 69-60= 09, 74-60= 14, 68-60= 08. Data kelompok kedua ini digabung dengan kelompok pertama dan diberi nilai control symbol 1dh (spasi) dan 1bh (huruf kecil) menjadi 1dh, 1bh, 17h, 09h, 14h, 08h. Data kelompok ketiga adalah: 30h, 35h dikurangi dengan nilai terendah (30) menjadi: 30-30= 0, 35-30= 05. Data tersebut digabung dengan kelompok sebelumnya, ditambah dengan control symbol 1dh (spasi), 1eh (nomor) menjadi 1dh, 1eh, 00h, 05h. Data kelompok keempat adalah: 62h, 69h,74h,73h dikurangi dengan nilai terendah (60) menjadi: 62-60= 02, 69-60= 09, 74-60= 14, 73-74-60= 13. Data tersebut digabung dengan kelompok sebelumnya, ditambah dengan control symbol 1bh (huruf kecil), menjadi 1bh, 02h, 09h, 14h, 13h dan akhir data (1fh).
Maka embed keseluruhannya menjadi:
1ch,13h,14h,05h,07h,0fh,1dh,1bh,17h,09h,14h,08h,1dh,1eh,00h,05h,1bh,02h,09h,14 h,13h,1fh
Embed diatas membutuhkan 22 x 5 bit = 110 bit.
Embed 1ch, 13h, 14h, 05h, 07h, 0f, 1dh, 1bh, 17h, 09h, 14h, 08h, 1dh, 1eh, 00h, 05h, 1bh, 02h, 09h, 14h, 13h, 1fh, kemudian diubah menjadi biner:
11100, 10011, 10100, 00101, 00111, 00000, 11101, 11011, 10111, 01001, 10100, 01000, 11101, 11110, 00000, 00101, 11011, 00010, 01001, 10100, 10011, 11111.
Embed biner disisipkan ke dalam sebuah citra cover yang memiliki matriks seperti pada Gambar 2.9.
188 122 50 12 120 20 14 22 201 24
188 122 50 12 120
20 14 22 201 24
188 122 50 12 120
Gambar 2.9 Matriks Citra Cover
10111100 01111010 00110010 00001100 01111000 00010100 00001110 00010110 11001000 00011000
10111100 01111010 00110010 00001100 01111000
00010100 00001110 00010110 11001000 00011000
10111100 01111010 00110010 00001100 01111000
Gambar 2.10. Citra Cover dalam Biner
Penyisipan dilakukan pada setiap piksel citra. 5 bitembed disisipkan kedalam 5 bit LSB piksel citra cover seperti pada Gambar 2.11
10111100 01110011 00110100 00000101 01100111
00000000 00011101 00011011 11010111 00001001
10111100 01101000 00111101 00011110 01100000 00000101 00011011 00000010 11001001 00010100
10110011 01111111 00110010 00001100 01111000
Gambar 2.11 Citra Hasil Penyisipan (Citra Stego) dalam Biner
Setelah mengalami proses penyisipan, diperoleh sebuah citra stego seperti gambar 2.12 berikut.
188 115 52 5 103
0 29 27 215 9
188 115 52 5 103
0 29 27 215 9
188 115 52 5 103
2.9Pengukuran Fidelity
Salah satu kriteria metode steganografi yang baik adalah dengan terpenuhinya fidelity. Pengukuran fidelity salah satunya dapat dihitung dengan menghitung nilai MSE (Mean Squared Error). MSE merupakan nilai rata-rata kuadrat dari error citra (Aditya, 2010).
MSE dapat dihitung dengan persamaan (2.13). Pada persamaan (2.13), I (x,y) adalah nilai grey-level citra asli di posisi (x,y), I’ adalah nilai derajat keabuan citra yang telah diberi watermark atau penyisip di posisi (x,y), X dan Y adalah ukuran panjang dan lebar citra.
MSE = 1
𝑋𝑋𝑋𝑋∑ ∑𝑥𝑥 𝑦𝑦[𝐼𝐼(𝑥𝑥,𝑦𝑦)− 𝐼𝐼′(𝑥𝑥,𝑦𝑦)]2 ... (2,13)