• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDUAN RESUSITASI edit . pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PANDUAN RESUSITASI edit . pdf"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

RESUSI

RS PKU

YOGY

PANDUAN

SITASI JANTUNG D

PKU MUHAMMADIYAH

GYAKARTA UNIT II

G DAN PARU

(2)

KEPUTUSAN DIREKTUR

RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II

Nomor : 0425/PS.1.2/IV/2015

Tentang

PANDUAN RESUSITASI JANTUNG DAN PARU

DIREKTUR RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II

Menimbang : a. Bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas dan

keamanan pelayanan pasien, maka diperlukan adanya Panduan Resusitasi Jantung dan Paru di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.

b. Bahwa sesuai butir a diatas perlu menetapkan Keputusan Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II tentang Panduan Resusitasi Jantung dan Paru

Mengingat : 1. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan

2. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

3. Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1165.A/MenKes/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

5. Surat Keputusan Badan Pelaksana Harian Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta nomer 015/B-II/BPH-II/XII/2013 tanggal 12 Desember 2013 M, tentang Susunan Direksi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.

RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II

Jl.Wates Km 5,5 Gamping, Sleman, Yogyakarta – 55294 Telp. (0274) 6499706, IGD (0274) 6499118

(3)

M E M U T U S K A N

Menetapkan :

PERTAMA KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT PKU

MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II

TENTANG PANDUAN RESUSITASI JANTUNG DAN

PARU RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH

YOGYAKARTA UNIT II.

KEDUA : Panduan Resusitasi Jantung dan Paru dimaksudkan

sebagaimana tercantum dalam Panduan di Keputusan ini.

KETIGA : Pelaksanaan Panduan Resusitasi Jantung dan Paru

dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pelayanan pasien sebagaimana dimaksud dalam Diktum kesatu

KEEMPAT : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Sleman

Pada Tanggal : 4 April 2015

Direktur,

dr. H. Ahmad Faesol, Sp. Rad. M. Kes.

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanyalah bagi Allah Subhanahuwata’ala, Tuhan semesta alam

yang telah memberikan Ridlo dan Petunjuk – Nya, sehingga Panduan Resusitasi

Jantung Dan Paru ini dapat selesaikan dan dapat diterbitkan.

Panduan ini dibuat untuk menjadi panduan kerja bagi semua staf dalam

melakukan Resusitasi Jantung dan Paru di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah

Yogyakarta unit II. Dalam panduan ini antara lain berisi tentang tatalaksana

Resusitasi Jantung dan Paru

Untuk peningkatan mutu pelayanan diperlukan pengembangan kebijakan,

pedoman, panduan dan prosedur. Untuk tujuan tersebut panduan ini akan kami

evaluasi setidaknya setiap 2 tahun sekali. Masukan, kritik dan saran yang konstruktif

untuk pengembangan panduan ini sangat kami harapkan dari para pembaca.

Sleman, 1 April 2015

(5)

DAFTAR ISI

BAB I : DEFINISI

BAB II : RUANG LINGKUP

BAB III : TATA LAKSANA

A. Bantuan Hidup Dasar Dewas

B. Terapi Elektrik

C. Bantuan Hidup Lanjut Pada Dewasa

D. Perawatan Pasca Henti Jantung

E. Etika Menunda Dan Menghentikan Resusitasi Jantung

(6)

LAMPIRAN

Keputusan Direktur Nomor : 0416/PS.1.2/IV/2015

Tentang Panduan Resusitasi Jantung dan Paru

BAB I

DEFINISI

Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di

Negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia.Berdasar proporsi

angka kematian di perkotaan pada kelompok umur 45 – 54 tahun, penyakit jantung

iskemik menduduki urutan ketiga (8.7%) sebagai penyebab kematian.Urutan pertama

adalah stroke (15.9%) dan urutan kedua adalah diabetes melitus (14.7%). Pada

kelompok umur yang sama untuk daerah pedesaan, penyakit jantung iskemik

merupakan urutan keempat.

Resusitasi jantung paru merupakan serangkaian tindakan untuk meningkatkan

daya tahan hidup setelah terjadinya henti jantung.Meskipun pencapaian optimal dari

RJP ini dapat bervariasi, tergantung kepada kemampuan penolong, kondisi korban,

dan sumber daya yang tersedia, tantangan mendasar tetap pada bagaimana melakukan

RJP sedini mungkin dan efektif.

Bantuan hidup dasar menekankan pada pentingnya mempertahankan sirkulasi

dengan segera melakukan kompresi sebelum membuka jalan napas dan memberikan

napas bantuan.Perubahan pada siklus bantuan hidup dasar menjadi C-A-B

(compression – airway – breathing) ini dengan pertimbangan segera mengembalikan sirkulasi jantung sehingga perfusi jaringan dapat terjaga.

Rantai pertama pada rantai kelangsungan hidup (the chain of survival) adalah mendeteksi segera kondisi korban dan meminta pertolongan (early access), rantai

kedua adalah resusitasi jantung paru (RJP) segera (early cardiopulmonary

(7)

life support) dan ranta

arrest care)

Berbagai pene

koroner akut (SKA) d

suatu irama yang

death/SCD). Kebany

tachycardia/ VT) seb akhirnya direkam iram

menjadi asistol. Tera

(RJP) dan defibrilasi e

antai kelima adalah perawatan pasca henti jantu

enelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 40%

) dapat terjadi iraa fibrilasi ventrikel (ventricula

g menyebabkan henti jantung mendadak

anyakan pasien mengalami takikardi ven

sebelum akhirnya berubah menjadi VF, dan

irama jantungnya, irama jantung sudah mengala

rapi optimal untuk mengatasi VF adalah resu

si elektrik.

jantung (post

cardiac-40% pasien sindroma

icular fibrillation/VF), ak (sudden cardiac

entrikel (ventricular

an pada saat pasien

alami perburukan lagi

(8)

BAB II

RUANG LINGKUP

Pada panduan resusitasi ini akan ditekankan pada pemberian bantuan hidup

dasar yang harus dikuasai oleh setiap dokter, dokter gigi, dokter spesialis maupun

first responder di lapangan. Bantuan hidup dasar diutamakan pada penanganan

airway, breathing, circulation berdasarkan panduan terbaru dari American Heart Association 2010 mengenai Panduan Resusitasi Jantung Paru (RJP). Beberapa hal yang ditekankan pada panduan resusitasi ini yaitu :

1. Kecepatan kompresi minimal 100 kali/ menit (perubahan dari panduan

sebelumnya yang menyatakan “kurang lebih” 100 kali/ menit).

2. Kedalaman kompresi paling tidak 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan kedalaman

kompresi paling tidak sepertiga diameter antero posterior dari thorax pada

bayi dan anak (kurang lebih 1.5 inchi (4 cm) pada bayi dan 2 inchi (5 cm)

pada anak). Perhatikan bahwa rentang 1.5 sampai 2 inchi tidak lagi digunakan

untuk korban dewasa, dan kedalaman absolut yang direkomendasikan untuk

anak dan bayi lebih dalam daripada versi AHA sebelumnya.

3. Menciptakan pengembangan dinding dada yang optimal di setiap akhir

kompresi.

4. Meminimalkan kompresi saat melakukan kompresi dada.

5. Menghindari ventilasi yang berlebihan.

(9)

BAB III

TATA LAKSANA

A. Bantuan Hidup Dasar Dewasa

Bila menemukan penderita dalam keadaan henti jantung, harus segera

memberikan pertolongan pertama berupa Bantuan Hidup Dasar (BHD).BHD

dapat dilakukan oleh satu atau dua penolong.

(10)

Tahapan yang harus dilakukan dalam BHD adalah sebagai berikut :

1. Tahap Pertolongan

a. Penolong yang mengetahui pertama kali harus segera melakukan

penilaian dini kesadaran korban.

b. Pastikan lingkungan penderita aman untuk dilakukan pertolongan.

c. Lakukan cek respon penderita dengan memanggil nama atau menepuk

bahu.

d. Meminta bantuan pertolongan atau mengaktifkan sistem pengananan

kegawat daruratan terpadu.

Gambar 2. Cek respon penderita

2. Tahap Resusitasi Jantung Paru

a. Lakukan pengecekan nadi karotis untuk memastikan apakah penderita

mengalami henti jantung atau tidak (nadi karotis normal : 60 – 100

(11)

Gambar 3. Cek nadi karotis penderita

b. Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali, dengan ketentuan sebagai

berikut :

1) Kompresi dada minimal 100 kali/ menit.

2) Kedalaman kompresi dada minimal 2 inchi (5 cm) pada dewasa,

1.5 – 2 inci (4 – 5.cm) pada bayi dan anak.

3) Upayakan pengembangan dada secara sempurna (complete chest

recoil) di setiap kompresi.

4) Minimalkan interupsi selama melakukan kompresi dada.

(12)

c. Lakukan pemeriksaan jalan napas untuk mengevaluasi apakah ada

sumbatan jalan napas. Sumbatan jalan napas dapat digolongkan

sebagai sumbatan jalan napas total dan sumbatan jalan napas parsial.

Sumbatan jalan napas parsial memiliki tanda sebagai berikut :

1) Pertukaran udara di perifer masih baik.

2) Masih ada suara napas.

3) Ditemukan suara napas tambahan saat inspirasi (gurgling atau

snoring).

4) Ada upaya batuk dari pasien untuk mengeluarkan sumbatan.

5) Pasien masih mampu berbicara meskipun terbata-bata atau satu

dua patah kata.

6) Akral hangat.

Sedangkan sumbatan jalan napas total memiliki tanda sebagai berikut :

1) Pertukaran udara buruk atau tidak ada.

2) Batuk yang lemah, tidak efektif, atau tidak ada.

3) Suara napas tambahan saat inspirasi atau tidak ada suara napas.

4) Kesulitan bernapas.

5) Sianosis.

6) Tidak mampu bicara.

7) Memegangi leher.

8) Akral dingin.

d. Bila ditemukan adanya sumbatan, lakukan pembebasan jalan napas

dengan cara sebagai berikut :

(13)

Gambar 5. Teknik melakukanhead – tilt chin – lift

2) Mendorong rahang bawah (jaw trust) bila ada trauma.

(14)

3) Berikan napas bantuan sebanyak 2 kali, setiap napas bantuan selama 1

detik.

Cara memberikan napas bantuan dapat menggunakan teknik dari

mulut ke mulut atau menggunakan alat (masker ataubagging).

Gambar 7. Teknik memberikan napas bantuan dengan masker

4) Setelah memberikan napas bantuan 2 kali, dilanjutkan kompresi dada

sebanyak 30 kali. Berikan napas bantuan 2 kali, lanjutkan kompresi

dada lagi. Lakukan siklus ini sampai 5 kali. Setelah 5 kali siklus RJP

dilakukan pengecekan kembali apakah nadi teraba. Apabila nadi tetap

tidak ada, RJP tetap dilakukan sampai tim bantuan emergensi datang

(15)

Secara ringkas bantuan hidup dasar adalah sebagai berikut :

Algoritma 1. Langkah – langkah bantuan hidup dasar

B. Terapi Elektrik

Defibrilasi

Proses defibrilasi mencakup penghantaran energi listrik melalui dinding dada

menuju ke jantung untuk mendepolarisasikan sel-sel miokard dan menghilangkan

VF. Pengaturan energi untuk defibrilator diatur untuk menyediakan energi dengan

tingkat terendah namun masih efektif dalam menghilangkan VF. Karena

(16)

didefinisikan sebagai hilangnya VF selama kurang lebih 5 detik setelah dilakukan

kejutan listrik.

Kardioversi tersinkronisasi

Kardioversi tersinkronisasi adalah hantaran kejut yang bersamaan dengan

kompleks QRS (sinkron).Energi (dosis kejut) yang digunakan untuk kejut

sinkronisasi lebih rendah dari yang digunakan untuk kejut yang tidak

tersinkronisasi (defibrilasi).Hantaran kejut tersinkronisasi (kardioversi)

diindikasikan untuk mengobati takiaritmia yang tidak stabil yang

berhubungan dengan pembentukan kompleks QRS dan irama nadi. Pasien

yang tidak stabil memperlihatkan tanda-tanda perfusi yang jelek termasuk

status mental yang berubah, nyeri dada berlanjut, hipotensi, atau tanda lain

syok dan edema paru.

Kardioversi tersinkronisasi direkomendasikan untuk mengobati SVT yang

tidak stabil akibat reentry, atrial fibrilasi, dan atrial flutter.Hantaran kejut

dapat menghentikan irama ini karena memutuskan pola reentri.Kardioversi

juga direkomendasikan untuk mengobati VT monomorfik yang tidak stabil.

Kardioversi tidak akan efektif untuk pengobatan junctional tachycardia atau ektopik atau multifocal atrial tachycardia karena irama ini memiliki fokus yang otomatis.

Dosis energi awal dengan alat bifasik yang direkomendasikan untuk atrial

flutter dan supraventrikular takikardia yaitu 50 – 100 J. Jika dengan dosis 50 J

awal gagal, penolong dapat meningkatkan dosis secara bertahap. Pada

anak-anak dapat diberikan energi awal 0,5 – 1 J/kg untuk supra ventrikular

(17)
(18)

C. Bantuan Hidup Lanjutan Pada Dewasa

Dalam melakukan bantuan hidup jantung lanjut tetap ditekankan pada pentingnya

RJP yang berkualitas tinggi sebagai manajemen dasar dari henti jantung.

Penghentian RJP secara periodik harus diminimalisir dan hanya dilakukan untuk

menilai ritme jantung, melakukan kejut jantung, menilai pulsasi nadi karotis bila

terdeteksi irama jantung ritmis, atau lakukan manajemen advanced airway.

Melakukan monitor dan optimalisasi kualitas RJP menggunakan parameter

mekanis (kecepatan dan kedalaman kompresi dada, pengembangan kembali

dinding dada secara adekuat, dan meminimalkan intervensi selama kompresi),

atau bila memungkinkan, parameter fisiologis (partial pressure of end-tidal CO2

[PETCO2], tekanan arteri selama fase relaksasi dinding dada saat melakukan

kompresi, atau saturasi oksigen vena sentral/ central venous oxygen saturation

[Scvo2]). Apabila tidak terdapat sarana manajemen jalan napas tingkat lanjut,

kompresi – ventilasi tersinkronisasi dengan rasio 30:2 lebih direkomendasikan

dengan kecepatan kompresi setidaknya 100 kali per menit. Setelah penggunaan

alat bantu napas tingkat lanjut salah satunya berupa endotracheal tube (ETT), kompresi harus dilanjutkan dengan kecepatan setidaknya 100 kali kompresi per

menit tanpa harus ada jeda untuk memberikan ventilasi atau oksigenasi. Ventilasi

diberikan setiap 6 atau 8 detik sekali (8 – 10 ventilasi per menit) dan harus

menghindari pemberian hiperventilasi.

Ritme yang secara spesifik meningkatkan angka kelangsungan hidup setelah

dilakukan defibrilasi adalah ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardi tanpa

pulsasi nadi. Sehingga diharapkan tenaga medis dapat melakukan intervensi

secara tepat pada pasien dengan irama jantung tersebut. Pemasangan akses

intravena, pemberian obat, dan manajemen jalan napas tingkat lanjut, diupayakan

(19)

Algoritma 2. Bantu hidup jantung lanjut

D. Perawatan Pasca Henti Jantung

Perawatan pasca henti jantung merupakan suatu komponen penting pada bantuan

hidup lanjut. Sebagian besar kematian terjadi dalam 24 jam pertama setelah onset

henti jantung. Suatu keadaan henti jantung akan berdampak terhadap berbagai

sistem organ. Disfungsi organ dan komplikasi pasca resusitasi memerlukan

berbagai tindakan yang terpadu. Tujuan awal dari perawatan pasca henti jantung

(20)

1. Mengoptimalkan fungsi jantung dan paru serta perfusi organ vital.

2. Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit, pasien hendaknya dirujuk ke

rumah sakit yang sesuai yang memiliki sistem perawatan pasca henti

jantung yang komprehensif, meliputi intervensi koroner akut, perawatan

neurologik,goal – directed critical care, dan hipotermia.

3. Pada kasus henti jantung yang terjadi di rumah sakit, pindahkan pasien

unit perawatan intensif yang sesuai yang mampu memberikan perawatan

pasca henti jantung yang komprehensif.

4. Mencoba mencari dan mengatasi penyebab yang mencetuskan henti

jantung dan mencegah berulangnya henti jantung.

Tujuan selanjutnya dari perawatan pasca henti jantung :

a. Mengendalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan kelangsungan hidup

dan pemulihan neurologis.

b. Mencari dan melakukan tata laksana sindroma koroner akut.

c. Mengoptimalkan ventilasi mekanik untuk meminimalkan trauma pada

paru.

d. Mengurangi resiko kerusakan multi organ dan menunjang fungsi organ

tersebut jika diperlukan.

e. Secara obyektif menilai prognosis untuk pemulihan.

f. Bila korban selamat, bantu dengan rehabilitasi ketika dibutuhkan.

Berbagai sistem organ yang harus diperhatikan pada kembalinya sirkulasi

spontan (return on spontaneus circulation/ ROSC) yaitu : 1. Patensi jalan napas

Pasien tidak sadar membutuhkan alat bantu napas lanjut untuk pemberian

ventilasi mekanik. Bila perlu gunakan endotracheal tube (ETT) untuk

menjaga patensi jalan napas. Hindari pemakaian fiksasi ETT yang

(21)

2. Ventilasi/ oksigenasi yang cukup

Meskipun oksigen 100% mungkin diperlukan pada awal resusitasi,

oksigen harus dititrasi hingga level paling rendah yang dibutuhkan untuk

mempertahankan saturasi oksigen ≥ 94% untuk menghindari intoksikasi

oksigen. Hiperventilasi atau overbagging harus dihindari karena dapat meningkatkan tekanan dalam rongga dada yang kemudian menurunkan

cardiac output. Penurunan PaCO2 yang terjadi pada hiperventilasi berpotensi menurunkan aliran darah ke otak secara langsung. Ventilasi

dapat diberikan mulai 10 – 12 kali per menit dan dititrasi untuk mencapai

PaCO2 40 – 45 mmHg. Sedangkan untuk ventilasi mekanik harus diatur

berdasarkan saturasi oksihemoglobin, nilai AGDA, ventilasi per menit,

dan kesesuaian ventilator.

3. Sirkulasi

Pengawasan tanda vital dan aritmia harus dilakukan secara kontinyu.

Monitoring EKG kontinyu harus dilanjutkan setelah ROSC, selama

transport, dan selama di ICU sampai kondisi stabil tercapai. Akses

intravena harus dipasang bila sebelumnya selama resusitasi belum

diperoleh. Apabila pasien hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg),

pertimbangkan pemberian bolus cairan. Cairan dingin dapat digunakan

bila dipilih terapi hipotermia. Infus obat vasoaktif seperti Dopamin,

Norepinefrin, atau Epinefrin dapat dimulai jika diperlukan dan dititrasi

hingga mencapai tekanan darah sistolik minimum ≥ 90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata ≥ 65 mmHg.

4. Disability

Patofisiologi cedera otak pasca henti jantung melibatkan rangkaian

kompleks molekular yang dicetuskan oleh iskemia dan reperfusi yang

masih berlangsung selama beberapa jam sampai beberapa hari setelah

ROSC. Kejadian dan kondisi dari periode pasca henti jantung memiliki

potensi untuk mencetuskan atau melemahkan jalur ini dan mempengaruhi

(22)

meliputi koma, kejang, myoclonus, beberapa tingkat disfungsi neurokognitif (mulai dari defisit daya ingat sampai status vegetatif) dan

kematian otak. Agen neuroprotektif dengan obat – obat antkonvulsi seperti

halnya Thiopental dan Diazepam dosis tunggal atau Magnesium atau

keduanya dapat diberikan pada kejang setelah ROSC, namun tidak dapat

meningkatkan status neurologis dari pasien.

5. Exposure

Direkomendasikan bahwa pasien dewasa dalam kondisi koma dengan

ROSC pasca henti jantung di luar rumah sakit sebaiknya didinginkan

sampai suhu 32°C - 34°C selama 12 – 24 jam. Hipotermia yang diinduksi

juga bisa dipertimbangkan untuk pasien dewasa yang koma dengan ROSC

pasca henti jantung di dalam rumah sakit dengan irama awal pulseless

electrical activity atau asystole. Penghangatan kembali pada pasien koma yang secara spontan menjadi hipotermia ringan (> 32°C) setelah resusitasi

(23)

Algoritma 3. Penatalaksanaan pasca henti jantung

Keadaan pasca henti jantung biasanya dihubungkan dengan instabilitas

hemodinamik, seperti gangguan metabolik. Terapi optimal disfungsi organ

miokard dan iskemia miokard dapat meningkatkan kemungkinan harapan

hidup. Intervensi untuk mengurangi cedera otak sekunder, seperti terapi

hipotermia, dapat meningkatkan angka harapan hidup dan kembalinya fungsi

neurologis. Setiap sistem organ menjadi beresiko pada saat tersebut dan

(24)

lain perawatan kritis, ilmu penyakit jantung, ilmu penyakit dalam, dan ilmu

penyakit saraf.

Oleh karena itu, diperlukan unit perawatan kritis yang baik dalam

mengantisipasi, monitor, dan menatalaksana setiap masalah yang terjadi.

E. Etika Menunda dan Menghentikan Resusitasi Jantung Paru

Etika Menunda Upaya Resusitasi Jantung Paru

Seluruh pasien anak dan dewasa yang mengalami henti jantung selama masa

perawatan di rumah sakit, harus segera dilakukan resusitasi, kecuali bila masuk

ke dalam kriteria DNAR (do not attempt rescucitation) atau memiliki tanda

kematian yang irreversible (misalnya pasien memiliki ketergantungan penuh

pada alat bantuan hidup untuk kelangsungan hidupnya).

DNAR (do not attempt rescucitation)

Tidak seperti intervensi medis yang lain, RJP dilakukan tanpa menunggu

perintah atau persetujuan dari dokter tetapi langsung dilakukan apabila ada tanda

henti jantung pada pasien. Dokter yang berkompeten dibutuhkan untuk

menentukan penundaan upaya resusitasi jantung paru pada pasien. Pasien dengan

sakit yang sudah terminal, lebih takut diabaikan dan menghadapi rasa sakit dari

pada kematian itu sendiri, sehingga dokter harus meyakinkan pasien dan

keluarga bahwa pengendalian rasa nyeri dan kondisi lain yang dapat menurunkan

kualitas hidup akan tetap dilakukan meskipun upaya resusitasi jantung paru

mungkin ditunda.

Dokter yang saat itu menangani pasien harus menulis permintaan DNAR di

rekam medis pasien, dengan catatan mengapa DNAR dilakukan, kondisi spesifik

lain yang menyebabkan keterbatasan intervensi, hasil diskusi dengan pasien,

lingkungan, dan keluarga pasien. DNAR verbal tidak diperbolehkan.Perintah

pembatasan terapi harus mencantumkan instruksi mengenai intervensi

(25)

agen vasopresor, ventilasi mekanis, produk darah, atau antibiotik.Perintah

DNAR harus menyebutkan secara spesifik intevensi mana yang ditunda.

Perintah DNAR tidak serta merta mencakup intervensi lain seperti pemberian

cairan parenteral, nutrisi, oksigen, analgesik, sedasi, anti aritmia, atau

vasopresor, kecuali intervensi ini masuk dalam perintah DNAR

tersebut.Beberapa pasien mungkin memilih untuk diterapi dengan defibrilasi dan

kompresi dada tetapi tidak bersedia diintubasi dan ventilasi mekanis. Perintah

DNAR tidak membawa implikasi pada terapi lain, dan aspek lain dari rencana

terapi harus didokumentasikan secara terpisah dan dikomunikasikan kepada

tenaga medis yang lain. Perintah DNAR harus dikaji ulang secara berkala sesuai

dengan protokol lokal, terutama bila pasien mengalami perubahan kondisi.

Perintah DNAR harus dikaji oleh ahli anestesi sebelum operasi dilakukan, ahli

bedah yang akan menjadi operator operasi, dan pasien atau keluarga untuk

menentukan apakah perintah DNAR ini aplikatif selama proses operasi

dilakukan dan selamaimmediate postoperative recovery period. Menghentikan upaya resusitasi jantung paru

Pada anak, belum ada laporan yang valid mengenai keputusan maupun aturan

klinis sebagai panduan untuk menghentikan upaya resusitasi, dan keputusan

untuk menghentikan upaya resusitasi dapat bervariasi tergantung pada dokter dan

institusi yang menangani. Dengan tidak adanya panduan yang jelas ini, klinisi

atau tenaga medis dapat menghentikan upaya resusitasi bila didapatkan tingkat

kepastian yang tinggi bahwa pasien tidak akan berespon meskipun dilakukan

bantuan hidup tingkat lanjut. Karakteristik henti jantung yang dipertimbangkan

oleh tenaga medis dalam menghentikan upaya resusitasi meliputi durasi

dilakukannya RJP, waktu terjadinya henti jantung, dosis pemberian epinefrin,

etiologi henti jantung, ritme jantung ketika pertama kali henti jantung dan

sesudah dilakukan intervensi resusitasi, dan usia. Perpanjangan upaya resusitasi

(26)

mengalami keracunan obat, atau yang mengalami kejadian yang menyebabkan

hipotermi.

Pada dewasa, penghentian upaya resusitasi jantung paru berdasarkan pada

banyak pertimbangan, termasuk henti jantung yang diketahui dan tidak diketahui

kejadiannya, waktu RJP, ritme henti jantung yang pertama, waktu defibrilasi,

penyakit komorbid, kondisi sebelum henti jantung, dan apakah terjadi ROSC

(27)

KEPUSTAKAAN

Gambar

Gambar 1. Alur bantuan hidup dasar yang disederhanakan
Gambar 2. Cek respon penderita
Gambar 4. Kompresi yang berkualitas tinggi pada anak
Gambar 5. Teknik melakukan head – tilt chin – lift
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada situasi dengan proporsi kedatangan p1 berapapun, weighted rationing strategy selalu menjaga kestabilan service level pada kedua kelas pelanggan, berbeda dengan static dan

Customer Relationship Management (CRM) merupakan strategi yang digunakan oleh UPT Perpustakaan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menjalin hubungan yang baik pada pemustaka.

2) Menurunkan tekanan darah, merupakan keuntungan bagi banyak sistem tubuh. Hipertensi jangka panjang meningkatkan kemungkinan terjadinya gagal jantung dan jenis

Berdasarkan hasil olah data yang diterima pada analisis faktor variabel kepuasaan konsumen, seluruh indikator layak sebagai pembentuk variabel kepuasan konsumen dengan

Kegiatan konseling dan penyuluhan kesehatan dan gizi harus dilakukan setiap bulan karena permasalahan lanjut usia akan meningkat dengan seiring waktu, selain itu dapat memantau

E sedE l-M u ’tasım ’a çok geniş bir rapor hazırlam ış ve bu raporunda Aşağı T ürkistanda İslâm î kaynaklarda (M averaü’n-Nehr) üçyüz bin kadar köy

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa efek dispersi sangat berpengaruh terhadap perambatan pulsa, dengan dispersi kurang dari 1 ps/nm.km seperti pada DFF Triple

Dalam penelitian ini, difokuskan pada alasan guru dalam pemilihan buku ajar yang digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi