• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB II"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

DUA

KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

DAN DAMPAKNYA

Pengantar

Pembangunan sebagai wacana atau diskursus (discourse development) telah menduduki tempat dalam sejarah perkembangan pemikiran dari teori-teori pembangunan itu sendiri (Fakih, 2001:12-13; Grillo and Strirrat, 1977). Wacana pembangunan kemudian dipahami sebagai upaya sadar, terencana, dan melembaga untuk mencapai sesuatu masyarakat yang dibayangkan (imagine community) (Anderson, 2001). Mengacu kepada teori-teori modernisasi masyarakat yang dibayangkan (Suparlan, 1993:viii; dan Ibrahim, 2004:37-38) adalah membebaskan diri dari ketertinggalan menjadi negara maju atau negara sejahtera yang umumnya lebih menggunakan angka-angka laju pertumbuhan ekonomi sebagai kategori tersendiri untuk mengukur keberhasilan pembangunan.

(2)

memiliki kekuasaan. Dampaknya adalah muncul sejumlah perlawanan yang dilakukan rakyat untuk mempertanyakan kepada negara terkait masa depan dari kebijakan pembangunan tersebut dimasa mendatang, terutama dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya (Fauji, 2005).

Atas dasar latar belakang di atas, bab ini akan menjawab pertanyaan tentang bagaimana luasan persoalan dan pemaknaan kebijakan pembangunan yang dipilih oleh negara dalam memanfaatkan sumber daya alamnya dalam hal ini tambang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya termasuk di dalamnya berkembangnya konflik pembangunan. Konflik ini kemudian berkembang menjadi gerakan sosial. Karenanya pada akhir paparan akan dijelaskan munculnya berbagai dinamika gerakan sosial melawan kebijakan negara yang dinilai justru menyengsarakan dan menciptakan ketidak-adilan bagi rakyatnya.

Dinamika Pembangunan

Sebagai negara yang “umumnya” belum lama merasakan kemerdekaannya, adalah negara-negara yang dikategorikan sebagai negara berkembang termasuk Indonesia. Ciri utama dari negara berkembang adalah secara ekonomi dinilai paling miskin dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Namun dibalik penilaian tersebut, negara-negara ini justru memiliki kekayaan sumber daya alam, karena memiliki luasan bentang tanah pertanian dan hutan, serta kandungan minyak bumi, tambang dan mineral (Fauji, 2005:2-3). Meskipun rakyatnya tidak merasa memiliki permasalahan dengan namanya pembangunan, tetapi bagi para penguasa negara justru mempersoalkan ketidak-tepatan dalam menentukan arah dari kebijakan pembangunan. Hal ini terjadi karena menurut penguasa negara masih banyak permasalahan pembangunan yang dihadapi seperti kemiskinan, kesenjangan sosial dan lain sebagainya.

(3)

pendekatan pembangunan untuk melakukan transformasi masyarakat melalui 5 (lima) tahapan pertumbuhan ekonomi (five-stage scheme) seperti yang dikembangkan oleh Rostow (1960). Kelima tahapan pembangunan yang dimaksudkan adalah : (1) Tahap Masyarakat Tradisional (The Traditional Society): (2) Tahap Prasyarat Tinggal Landas (The Preconditions for Take-Off); (3) Tahap Tinggal Landas (The Take-Off); (4) Tahap Menuju Kedewasaan (The Drive to Maturity); dan (5) Tahap Konsumsi Tinggi (The Age og High Mass Consumption).

Untuk menjalankan tahapan pertumbuhan ekonomi tentunya dibutuhkan persyaratan. Meir and Baldwin (1957) menyatakan bahwa pendekatan kebijakan pembangunan dapat berjalan dengan baik apabila ditopang oleh tersedianya dan/atau mengalirnya modal atau investasi untuk menggerakkan perubahan-perubahan variabel dalam jangka panjang baik pada struktur permintaan maupun perubahan pada penawaran. Menjamin mengalirnya modal, tentunya negara harus kuat dan menjadi pemeran utama untuk memimpin pembangunan ( state-led-develoment) (Achwan, 1999 dan Giddens, 1984). Negara kemudian mengeluarkan UU tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU tentang Pemanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).7 Dengan dikeluarkan UU ini, negara kemudian dapat memberikan berbagai konsesi kepada para investor untuk memanfaatkan dan/atau mengeskploitasi kekayaan sumber daya alam yang ada dibumi Indonesia melalui mekanisme pemberian Hak Penguasaan Hutan (HPH); Hutan Tanaman Industri (HTI); Kuasa Pertambangan (KP); Kontrak Karya (KK); dan Hak Guna Usaha (HGU). Selain itu negara juga memberikan dukungan tambahan berupa insentif pajak penghasilan bagi para investor yang ingin menanamkan modal di Indonesia.

7 Terkait dengan UU tentang Penanaman Modal mulai dikeluarkan pada tahun 1967,

(4)

Kebijakan menempatkan negara sebagai pemeran utama untuk memimpin pembangunan (state-led-develoment) kembali dikritik dan digugat keberadaannya karena kekuasaan dan kekayaan ekonomi menjadi terpusatnya pada segelintir pemegang kekuasaan politik dan aktor ekonomi. Di pihak lain, potensi politik masyarakat sipil lumpuh dan tidak ada kontrol rakyat terhadap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik (MacIntyr, 1994:224-267). Ekonomi kemudian menjadi ”teramputasi” dan ketika terjadi krisis sulit untuk bisa ke luar dari belenggu, sehingga melahirkan krisis multidimensional (Van Klinken dan Nordholt; 2007, Lane, 2007 serta Basyaib, 2006). Hadar (2006) kemudian menilai pemerintah Orde Baru telah gagal dalam melaksanakan pembangunan karena membawa masyarakat, hidup dalam pembangunan yang ”semu” atau hanya terbawa pada mitos-mitos pembangunan di mana konsep pembangunan lebih menekankan dan memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan materi, dan tingkat konsumsi, sementara variasi-variasi lokal yang ada di masyarakat terus diabaikan. Dampaknya adalah munculnya korban-koban pembangunan atau korban kemajuan (Davis, 1976).

(5)

sipil terus terjadi, bencana kelaparan terjadi di mana-mana, merebaknya penyakit AIDs serta kemiskinan (Martinussen, 1997; dan Sachs, 2005; Ife, 2002; dan Escobar, 1995). Kondisi ini menjadi salah satu aspek hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan Orde Baru dibawah Soeharto dan dipaksa lengser dari kekuasaannya oleh gerakan mahasiswa pada bulan Mei 1998 (Suharsih dan Mahendra, 2007).

Pada saat pergantian rezim, diskursus tentang pembangunan seakan-akan terlupakan karena para elit lebih disibukkan dengan kebijakan yang bersifat politis, mengiringi derasnya desakan masyarakat untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Selain itu, pihak elit politik dari tingkat pusat hingga daerah juga disibukkan dengan persoalan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dengan dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Penyelenggaraan negara seakan-akan tidak menjalankan tugasnya dengan baik dikarenakan adanya tarik menarik kepentingan baik secara struktural maupun kultural ditingkat lokal; ketidakjelasan fungsi antar tingkat pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan; maraknya praktik politik uang; hilangnya hubungan fungsional dan sinerjik antara kabupaten/kota dengan provinsi untuk menopang

pembangunan serta bermunculan ‟raja-raja‟ kecil di daerah (Suwondo, 2003; World Bank, 2005; dan Kompas, 17 Agustus 2007). Negara juga terus menghadapi berbagai konflik sosial dari konflik antar agama, antar suku hingga konflik ideologi dibarengi dengan munculnya tekanan berbagai bencana alam yang terjadi, seperti tsunami di Aceh hingga meletusnya gunung Merapi di Jawa Tengah. Kondisi ini seakan-akan menjadikan proses-proses kebijseakan-akan pembangunan yang dijalankan oleh negara tanpa memiliki arah dan tujuan.

(6)

pemerintahan sekarang ini hanyalah menunjukkan data-data yang bersifat makro ekonomi (seperti; pertumbuhan ekonomi) sebagai tolak ukur keberhasilannya pembangunan. Di pihak lain persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kemiskinan dan pengangguran serta persoalan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi, baik dari pendapatan per kapita, pendapatan antarwilayah (regional inequality) maupun kepemilikan aset juga masih belum bisa teratasi (Wicaksana, 2007), seperti yang ingin di atasi penguasa negara.

Menjelang berakhir abab 20, dorongan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis menyebabkan beberapa negara juga mengalami krisis kepercayaan dan berujung pada krisis politik, seperti terpecahnya Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin serta beberapa penguasa yang otoritarian. Arah kebijakan pembangunan yang kemudian didorong adalah mendukung upaya privatisasi, deregulasi dan perdagangan bebas, serta peningkatan investasi swasta. Pendekatan ini mengedepankan pencabutan peran negara dalam berbagai kebijakan pembangunan dipangkas ke tingkat yang minimal seperti pengurangan kepemilikan unit-unit bisnis, penguasaan dan pengelolaan langsung sumber-sumber ekonomi, penjaminan asuransi sosial, penciptaan regulasi yang berlebihan atas segala kegiatan masyarakat dan lain sebagainya.

Dampak dari pencabutan peran negara mendorong ekspansi investasi dari perusahaan-perusahaan multinasional secara besar-besaran ke negara-negara yang memiliki SDA termasuk Indonesia karena mendapat dukungan pendanaan sepenuhnya dari badan-badan pembangunan internasional (IMF, ADB, World Bank dll) yang pada waktu itu menjadi penentu arah dari kebijakan pembangunan. Negara atau bangsa di berbagai belahan dunia “mau tidak mau” harus menerima kenyataan ini, dan dalam konsep Wallerstain (1987) tidak ada negara maupun masyarakat nasional yang dapat disebut sebagai

(7)

terbuka karena dinilai menggadaikan atau menjual bangsa ini kepada pihak asing (Swasomo, 2007:7) melalui melalui kolom opini di Kompas pada bulan Oktober hingga Nopember 2010.

Meskipun mendapat kritik tetapi arah kebijakan untuk membuka selebar-lebarnya peluang investasi tetap dijalankan oleh pemerintahan Indonesia (Wirjawan, 2010). Hal ini dilakukan karena Indonesia masih membutuhkan dana investasi untuk pembangunan hingga Rp. 2.000 triliun agar dapat mendorong laju pertumbuhan 7% dalam lima tahun ke depan (2009-2014). Di pihak lain kemampuan pemerintah untuk menyediakan dana hanya sebesar 20% atau Rp. 400 triliun, sedangkan sisanya Rp. 1.600 triliun (80%) berasal dari sektor swasta baik dari dalam negeri maupun luar negeri termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Kompas, 7 Nopember 2010:11). Pada masa kabinet pembangunan I (2004-2009), pemerintahan SBY membutuhkan dana untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp. 1.305 triliyun. Sejumlah Rp. 810 triliyun akan dicari dari lembaga-lembaga keuangan internasional (Rp. 90 triliyun), serta dari pengusaha swasta domestik dan luar negeri (Rp. 750 triliyun) melalui tawaran berbagai proyek (Setiawan, 2005; 16). Dampak dari kebijakan ini, Indonesia pada tahun 2010 oleh UK Trade and Investment yaitu sebuah departemen di pemerintahan Inggris yang bertugas membantu perusahaan-perusahaan Inggris untuk berhasil dalam persaingan ekonomi global ditempatkan sebagai urutan kedua di dunia untuk tujuan investasi di luar Brasil, Rusia, India, dan China (Kompas, 17 September 2010).

(8)

kebanyakan memiliki kekayaan sumber daya alam. Kondisi ini oleh Burger (2002), diartikan sebagai “biaya korban manusia” sebagai konsekuensi dari kebijakan negara mengundang investor.

Keresahan, ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dimaksud berakar pada beberapa fakta: pertama, pembangunan ternyata telah meminggirkan posisi ekonomi masyarakat (the development of underdevelopment) seperti yang diungkapkan Roxborough (1994); serta Seligson and Passe-Smith (2003). Kedua, pembangunan menafikan eksistensi sistem sosio-budaya masyarakat, sehingga bukan kemajuan yang dihasilkan dari proses pembangunan tersebut

melainkan “kemadegan”. Dalam hal ini, para scholars menyebutnya sebagai modernization without development (Sajogyo, 1973 dalam Anonymous, 2003). Ketiga, pembangunan sangat menguntungkan pertumbuhan dan ekspansi modal serta proses akumulasi kapital bagi perekonomian kapitalis (Frank, 1978; Wallerstein, 1976). Keempat, pembangunan justru mendorong proses-proses disintegrasi sosial-masyarakat di kawasan sedang berkembang, di mana semangat kolektivitas (misal: gotong-royong) sebagai ciri sosiologis penting meluntur (hilang) secara dramatis (Galtung, 1995 dan Panjaitan, 2016). Kondisi ini tentunya menjadi salah satu pemicu berbagai konflik yang oleh Ngadisah (2003) disebut sebagai konflik pembangunan yang apabila tidak dikelola dengan baik akan bermuara pada konflik politik.

(9)

menjamin bahwa beroperasinya modal dapat memberikan dampak yang bersifat mutliplier dan menjalar ke mana-mana (tricle down effect) (Gie, 2010). Pada Presiden Jokowi, nampaknya posisi negara sebagai pelayan masyarakat dikembalikan.

Berdasarkan diskusi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembangunan itu sendiri sangatlah kompleks dan berdimensi banyak ditunjukkan dengan berbagai variasi kebijakan yang harus dibuat oleh negara. Sebagai proses politik, apakah kebijakan pembangunan yang dipilih dapat mencapai suatu tatanan kehidupan

masyarakat yang lebih baik terutama untuk “merealisasikan potensi manusia” seperti yang diungkapkan oleh Soejatmoko (Ibrahim, 2004). Apabila kebijakan pembangunan tersebut belum mampu merealisasikan potensi manusia, maka yang tercipta adalah munculnya berbagai konflik akibat dari kebijakan pembangunan itu sendiri.

Konflik Pembangunan

Konflik pembangunan yang terjadi di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang ketika rakyat mulai berani bertanya kepada negara melalui aksi protes atau unjuk rasa menolak kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara. Meskipun rezim Orde Baru yang terkenal memiliki pemerintahan yang otoriter dan represif, tetapi rakyat sudah berani melakukan protes, seperti pada kasus pembangunan proyek Pelabuhan Peti Kemas (Jakarta); pembangunan proyek Waduk Kedung Ombo (Jawa Tengah); pembangunan proyek Waduk Nipah (Jawa Timur); pembangunan proyek PLTA Danau Lindu (Sulawesi Tenggara); serta protes terhadap PT Indorayon (Sumatera Utara), dan PT Freeport Indonesia (Papua) (Ngadisah, 2003).

(10)

rakyatnya. Kondisi ini yang kemudian memicu terjadinya berbagai aksi protes yang berujung pada konflik.

Nordholt (1971:317-346;2004), dan Pitaloka (2004); serta Haynes, (2000:7-14), menyimpulkan bahwa konflik merupakan suatu realitas sejarah yang telah mengakar dalam setiap perilaku manusia di dunia. Karenanya hampir semua negara pernah mengalami minimal satu atau lebih konflik, baik konflik antar manusia, antar golongan, antar etnis, antar agama, hingga konflik antar negara (Strauss, 2002). Konflik kemudian diartikan sebagai akibat persaingan antar paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak baik perorangan, keluarga, kelompok dan/atau satu komunitas atau mungkin satu lapisan kelas sosial hingga negara saling bersaing (Dahrendorf, 1959). Persaingan ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dari satu kelompok/organisasi, satu suku bangsa, dan atau satu pemeluk agama tertentu dengan lainnya bahkan dengan negara (Nader, 1998;236-241). Konflik-konflik yang berdimensi ekonomi dan politik acap kali terkait dengan siapa mendapat apa, siapa kehilangan apa, dan berapa banyak kehilangannya, dan cenderung bersifat riil, sedangkan konflik yang berdimensi budaya dan ideologi memiliki aspek yang fundamental dan arena itu cenderung abstrak. Persoalannya adalah apakah konflik-konflik yang terjadi harus dipandang sebagai sesuatu yang rasional, konstruktif, dan berfungsi secara sosial, atau sesuatu yang irasional, patologis, dan tidak berfungsi secara sosial.

(11)

konflik antarnegara, tetapi pada tahun 1990-an hampir semua konflik besar di dunia terjadi di dalam negara. Antara tahun 1989 dan 1996, misalnya tercatat ada 95 dari 101 konflik bersenjata terjadi di dalam negara. Perhatian sempat menghilang beberapa saat ketika penyatuan kembali Jerman Timur dan Jerman Barat (Juliastuti, 1999:12-14; dan Tambunan, 2004:1-10).

Selanjutnya merujuk dari perkembangan teori konflik yang awalnya menekankan pada perimbangan kekuasaan (balance of power), menjadi teori pencegahan (deterrence theory) seperti pada kasus perang dingin (cold war) di mana Uni Soviet dan Yogoslavia terpecah menjadi negara-negara kecil. Teori pencegahan berdasar pada asumsi bahwa perimbangan terror (balance of terror) karena ada nuklir di negara-negara adikuasa akan mencegah konflik. Teori ini kemudian membuka jalan bagi perkembangnya teori-teori yang lebih canggih seperti teori pengambilan keputusan (decision making theory) dan teori permainan (game theory).Konflik sendiri pada akhirnya dimulai dari perbedaan kepentingan (sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan) antar kelompok masyarakat dan atau antara kelompok masyarakat dengan negara yang pada akhirnya berkembang menjadi konflik ideologi.

(12)

50% di antaranya memiliki satu atau lebih kelompok rakyat yang berlandaskan pada kepentingan identitas

Di Indonesia sendiri persoalan konflik mempunyai sejarah panjang dan beragam. Dimulai dari berbagai perang antar suku untuk memperebutkan wilayah kekuasaan (territoriality), dominasi, sexualitas, dan kelangsungan hidup (survival). Lane (2007;1-2) mencatat ada tiga ratus kelompok etnik di Indonesia yang memiliki perbedaan dalam budaya maupun kepercayaan keagamaan. Konflik ini bisa terjadi karena sistem pemerintahan terbentang dari pemerintahan tradisional kesukuan hingga kerajaan ditopang dengan sistem kekerabatan masyarakatnya termasuk matrilineal, patrineal, dan pola-pola bilateral. Pada masa kolonial Belanda, kondisi ini dimanfaatkan

untuk menjalankan kebijakan politik “adu-domba” untuk memecah belah masyarakat agar dapat menguasai wilayah jajahannya.

(13)

Pemberontakan yang sama juga terjadi di Sulawesi melalui Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA); Maluku terkenal dengan Republik Maluku Selatan (RMS); Papua dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM); dan di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdekanya (GAM) serta di Jawa Barat dengan gerakan NII untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Inti dari pemberontakan adalah para aktor di daerah menggunakan isu mensejahterakan masyarakatnya juga ingin menjadi orang nomor satu di “rumahnya sendiri”.

Pemberontakan kemudian dapat diredam pada masa kekuasaan Orde Baru (1965-1998) yang terkenal dengan sistem pemerintahan yang sangat represif-otoritarian dengan menggunakan teror yang sangat menakutkan serta melakukan penyeragaman budaya secara nasional membuat tradisi dan budaya lokal yang dapat menjadi simbol pemersatu di berbagai daerah tidak lagi dapat berkembang. Baswesdan (2007:x-xi) menyebut masa otoritarian sebagai masa konflik politik atau masa revolusi di mana penduduk tidak diberi peluang untuk mengartikulasikan dan menegosiasikan kepentingannya secara bebas. Sistem ini juga menjalankan pemerintahan dengan sistem sentralistik dengan melakukan tindakan-tindakan yang represif (Wardaya, 2007;17-51). Teror-teror yang menakutkan dengan melakukan penangkapan, pembuangan, pembunuhan dan hukuman penjara tanpa proses peradilan secara transparan juga digunakan oleh Orde Baru (Pitaloka, 2004:1-2). Penguasa Orde Baru juga melakukan penindasan terhadap organisasi yang tidak mendukung pemerintah guna mengakhiri politik mobilisasi terbuka serta penghancuran psikologi melalui gerakan demoralisasi (Lane, 2007:40-41). Daerah-daerah yang bergejolak dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dan kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan disebut sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) serta tokoh-tokohnya dicap sebagai separatisme. Meskipun demikian tidak lantas nasionalisme kedaerahan hilang begitu saja.

(14)

Pasalnya, rakyat di daerah ini umumnya mempunyai standar hidup yang rendah, kemiskinan yang tinggi, tingkat anak balita gizi buruk juga tinggi, serta rendahnya layanan kesehatan dari pada daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam. Ross (2001;7) menyebutkan bahwa negara-negara yang bergantung kepada sumber daya alam terutama di sektor hutan dan tambang umumnya berstandar hidup rendah, kemiskinan tinggi, skala korupsinya masif, tingkat anak balita gizi buruk tinggi, rendahnya layanan dana kesehatan, rentan geger ekonomi, dan kerap dilanda perang sipil. Kondisi ini pada titik tertentu menjadi ”geger ekonomi” yang kemudian menjadi penyebab pemberontakan terjadi seperti di Aceh di bawah bendara kelompok GAM.

(15)

terjadinya proses pemiskinan sistematis karena negara tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan pelayanan publik (Wardhani, 2006).

Memasuki masa transisi peralihan kekuasaan dari era Orde Baru ke era Reformasi, muncul polemik mempertanyakan kembali identitas negara bangsa (nation-state). Kusni (2009) misalnya menginginkan negara berbentuk tribal state (negara-suku atau negara etnik) seperti yang berkembang di Irlandia Utara, Israel, India, Balkan, dan Sarejevo sebagai identitas baru yang lebih sempit menggantikan konsep nation-state. Konsep negara ini sulit untuk diterima karena tidak mencantumkan latar belakang teori dalam tulisannya dan nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran tentang konflik etnis yang memiliki tujuan untuk menguasai suatu negara, dan pembebasan dari penguasaan oleh kelompok-kelompok lainnya atau pemaknaan lain agar mereka dapat menguasai negara itu sendiri sehingga dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan etnis-nya, dengan cara merugikan atau merusak kelompok-kelompok pesaingnya (Horowitz, 1985).

Menanggapi berbagai polemik, para elit politik di Jakarta mencari jalan tengah agar konsep nation-state tetap dipertahankan dengan dua opsi (Suara Pembaharuan, 6 Desember 1999) ;(1) pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah; atau (2) memberlakukan kembali konsep Negara Federal. Namun setelah Habibie mengambil alih kekuasaan, opsi yang dipilih adalah otonomi daerah dengan mengeluarkan Undang Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yanag kemudian mengalami perubahan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan terakhir menjadi UU No. 23 Tahun 2014. Pertanyaannya apakah dengan dikeluarkan UU ini dapat mengurangi bahkan dapat meredam berbagai konflik yang terus berkembang di di berbagai.

(16)

hak hidup serta hak untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagian hidup (Kompas 02 Januari 2007).

Persoalan ini menunjukkan bahwa otonomi daerah yang

dijalankan masih “setengah hati” mengingat keuntungan dari kekayaan yang dimiliki daerah yang seharusnya porsi terbesar diserahkan kepada daerah ternyata masih saja dikuasai oleh pusat dan umumnya terkonsentrasi bagi kepentingan elit-elit politik dan para pengusaha yang dekat dengan para elit politik (McCarthy, 2007:189-195). Dampaknya adalah muncullah gerakan perlawanan rakyat berkaitan dengan penguasaan dan/atau pemilikan terhadap kekayaaan sumber daya alam dikarenakan negara tidak memberikan kepastian atas hak kepada rakyat yang selama ini telah menguasai dan memanfaatkan kekayaan tersebut (Kartodihardjo dan Jhmantani, 2006;10-11). Hal ini terjadi karena mengiringi pembangunan juga terjadi pemindahan penduduk (transmigrasi dan migrasi) dan penaklukan yang tidak sepenuhnya (incomplete conquest) juga menimbulkan munculnya berbagai jenis keluhan sejarah (histories) yang tak kunjung hilang. Sekelompok pribumi yang dijajah dan terpaksa membiarkan masuknya etnis asing untuk tujuan-tujuan ekonomi penjajah, belakangan mungkin menganggap keberadaannya dianggap tidak sah

Selain itu, dengan dilaksanakannya otonomi daerah juga

(17)

melakukan pengusiran atau pembasmian pada status qua ante (sebelum status qua) yang diperlukan dengan mengatasnamakan pembangunan.

Pelaksanaan otonomi daerah juga menjadi penyebab terjadinya erosi norma-norma yang selama ini telah dianut oleh masyarakat sebagai modal sosial. Salah satu penyebabnya elit politik lokal lebih memilih mengarahkan kekayaan daerah pada kepentingan ”politik

praktis” agar dapat terus berkuasa dari pada mengalokasinya untuk kepentingan masyarakat. Hasil Simposium Indonesia Timur dan Tengah (Menado, 27-29 Januari 2009) mendesak pemerintah untuk menertibkan berbagai bentuk kegiatan terutama investasi ke wilayah Timur dan Tengah Indonesia yang telah merusak lingkungan dan budaya lokal serta menurunkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu ada banyak produk hukum dan perundangan serta berbagai kebijakan pembangunan yang secara nyata semakin meminggirkan, menghalangi, bahkan menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat. Bahkan lebih dari itu, tatanan kehidupan sosial yang beragam, struktur dan sistem tradisional serta dunia spritual religius lokal eksistensi telah berubah. Diperparah oleh adanya lembaga formal modern yang dipaksakan dari luar untuk menjadi acuan. Di pihak lain karena pemerintah daerah belum memiliki kemampuan dalam hal permodalan, ketrampilan atau teknologi, serta akses terhadap informasi, memberikan peluang bagi para elit politik lokal memasukkan para investor dan memposisikan rakyat hanya sebagai penerima manfaat bukan sebagai penguasa terhadap kekayaan tersebut.

(18)

fungsi lainnya; pengawasan (57,7%), memberi masukan ke pemerintah (58,6%), membuat UU (57,2%), dan membuat anggaran (55,8%). Kondisi ini berkembang karena ada tembok pembatas yang begitu tebal membatasi kehidupan sosial dan ekonomi kelompok elit dengan rakyatnya (Wertheim, 2009).

Di samping itu, para aktor politik juga mengetahui kegelisahan yang dirasakan oleh rakyat, tetapi akses untuk menangguk keuntungan dari sumber-sumber daya alam (Ribot, 1998 dalam McCarthy, 2007:194) yang mereka miliki justru lebih dimanfaatkan untuk kepentingan mereka sendiri terpisah dari kepentingan rakyat. Para aktor ini kemudian berjuang untuk menarik keuntungan dari pemanfaatan sumber-sumber daya yang dimiliki dengan memanfaatkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses mendapatkan akses ke sumber-sumber (McCarthy, 2007:194). Faktor-faktor yang dimaksud adalah; kerangka-kerangka legal, kekuasaan institusional, keanggotaan kelompok, identitas etnis atau sosial, status sosial, dinamika dalam suatu kelompok pengendali sumber, akses ke negara, modal, sumber-sumber material, otoritas adat, pasar-pasar, pengetahuan dan kemampuan memanfaatkan mekanisme-mekanisme institusional.

Fenomena seperti ini oleh Huntington (1996) diterangkan sebagai berikut: (…) it was in large part of the product of social change and rapid mobilization of new group into politics coupled with the slow

development of political institutions. (…) The rates of social

(19)

semuanya dilakukan dengan tujuan pemupukan profil dengan mengibiri negara sebagai pelindung rakyat.

Gerakan Sosial

Secara teoritik, konsep gerakan perlawanan rakyat dapat dipahami sebagai gerakan sosial karena sama-sama menjadikan tindakan atau aksi kolektif beserta tujuan-tujuan atau klaim-klaim agar dapat mengarahkan sebuah proses perubahan tatanan sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Auda (dalam Haynes, 2000), yang menyatakan bahwa gerakan sosial pada dasarnya selalu menantang status quo, anti sistem, menyerukan dan memadukan tuntutan akan perubahan tatanan sosial, politik dan/atau ekonomi. Karenanya menurut Escobar dan Alvarez (Haynes, 2000), gerakan sosial dicirikan sebagai upaya untuk menandingi dasar politis dari negara dan gerakan ini tidak tumbuh dalam isolasi dari pelaku sosial dan politik lain tetapi merupakan pelaku kolektif terorganisir yang terlibat dalam perjuangan politik atau kultural yang berkelanjutan melalui jalan lain ke arah bentuk aksi yang institusional dan ekstra-institusional.

Mengacu van Klinken (2007:11) bahwa definisi gerakan sosial yang paling komprehensif adalah dari The Blackwell Companion to Sosial Movements di mana gerakan sosial dipahami sebagai: “...kolektivit as-kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak di luar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan secara institusional atau kultural dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia di mana mereka

merupakan salah satu bagiannya.”

(20)

prinsip dan cara tersendiri dalam melakukan aksi-aksi protes. Hal ini didukung oleh Rosenthal, Fingrutd, dkk (1985), yang melihat bahwa setiap gerakan sosial harus memiliki hubungan khusus dengan organisasi gerakan sosial lain yang memiliki misi sama atau serupa. Ia melihat gerakan sosial yang terjadi di pusat lebih ideologis daripada gerakan di tingkat lokal. Sementara itu, Molyneux (1998) dalam karyanya Analysing Women‟s Movements menyebutkan bahwa gerakan sosial itu dilakukan untuk meraih tujuan bersama. Gerakan sosial cenderung memerlukan dukungan jaringan melalui mobilisasi personal maupun mobilisasi kognitif (Keun, 2000).

Atas dasar pemahaman di atas, secara konseptualisasi gerakan sosial paling tidak dicirikan oleh; adanya tindakan kolektif atau gabungan; tujuan-tujuan atau klaim-klaim lebih berorientasi pada perubahan; melakukan sesuatu tindakan kolektif yang bersifat ekstra-institusional atau non institusional; organisasi sampai tingkat tertentu (relasi); keberlanjutan dalam hal waktu sampai tingkat tertentu; dan membangun jaringan antar aktor baik lokal, regional, nasional dan global. Dengan kata lain studi-studi tentang gerakan sosial tentunya merupakan satu bagian terbesar dan paling luas untuk dipahami dalam disiplin ilmu sosiologi.

Dalam khasanah teori gerakan sosial, ada banyak perspektif yang dapat digunakan. Misalnya Tarrow (1998;14-18) mengusulkan ada empat perspektif atau pendekatan dalam memahami gerakan sosial, yakni; perspektif perilaku kolektif (collective behavior), mobilisasi sumber daya (resource mobilization), proses politik (political process) dan gerakan sosial baru (new social movements). Berbeda dengan Tarrow, McAdam (1999;2) melihat ada tiga faktor utama dalam menganalisis kemunculan dan perkembangan gerakan sosial, yakni; mobilisasi sumberdaya (resource mobilization), peluang politik (political opportunities) dan proses pembingkaian (framming process).

(21)

upaya untuk menghubungkan berbagai macam demografis dalam skala besar, transformasi ekonomi dan politik terhadap munculnya secara regional, nasional, dan bahkan global dari sebuah gerakan sosial. Keragaman pendekatan juga digunakan untuk mempelajari berbagai bentuk tindakan kolektif yang juga sangat bervariasi. Misalnya analisis terhadap penggunaan teknologi media dan dampaknya terhadap para aktor gerakan sosial, pendekatan lain menggunakan dampak dari kemiskinan dan kelas sosial pada kemunculan gerakan sosial. Terdapat lagi pendekatan terutama dari kelompok ilmuan kontemporer yang mengeksplorasi faktor identitas dan munculnya rangkaian baru dari kepentingan bersama yang menyatukan masyarakat yang berbeda melintasi jarak fisik yang besar dan dari berbagai budaya dan sistem politik (Haryanto dkk, 2013:187-188).

Selanjutnya bagi Young (1996) penting menempatkan aktor gerakan sosial dengan berbagai pertimbangan keikut-sertaannya, di antaranya; pertama, pada keseluruhan isu, para aktor tidak didasarkan pada hak kewarganegaraan maupun pelebaran dasar ekonomi. Isu mereka lebih secara rinci pada persoalan sosial untuk menentukan nasib sendiri atas perbedaan tanggung jawab dan pluralisme budaya di dalam gaya hidup, sebagai cerminan atas kekuasaan di dalam interaksi, keikutsertaan di dalam kegiatan sosial dan ekonomi, dan dalam institusi politis. Kedua, format organisasi dari gerakan ini tidak menyerupai gerakan massa yang membentuk partai politik atau perserikatan, untuk mempersatukan birokrasi memperoleh kekuasaan dengan mengerahkan sumber daya. Gerakan sosial ini cenderung menggunakan jaringan dari kelompok lokal, masing-masing dengan gaya dan kebijakan mereka sendiri, meskipun demikian bertindak di dalam persetujuan bersama dalam beberapa aksi protesnya.

(22)

terhadap manifestasi modernisasi kultural, teknologis, dan institusional yang berupaya untuk mendominasi pandangan sosial politik baru di sebagian besar dunia. Ringkasnya bahwa gerakan sosial berupaya untuk mengerahkan bagian-bagian dan kelompok-kelompok yang tertindas dengan menggunakan berbagai isu, seperti pelanggaran HAM dan lain sebagainya.

Larana (1994) selanjutnya merangkum pemahaman dengan mengindentifikasi ciri-ciri gerakan sosial; (1) menstransendensikan struktur kelas, (2) memperhatikan kemajemukan gagasan dan nilai-nilai, (3) memfokuskan pada isu-isu budaya dan simbolik yang lebih terkait dengan identitas daripada ekonomi, (4) hubungan antara individu dan ekonomi kabur, (5) melibatkan segi-segi pribadi dan keakraban kehidupan manusiawi, (6) mengandalkan semangat anti-kekerasan dan pembangkangan sipil, (7) berkaitan dengan adanya krisis kredibilitas dan ruang partisipasi, dan (8) cenderung tersegmentasi, Ciri-ciri ini hampir mirip dengan Epstein (1991) dan Fakih (2002), Menurut Epstein maupun Fakih, ada gejala baru dalam analisa gerakan sosial dan perubahan dari analisis perjuangan kelas menuju ke analisis yang didasarkan pada non-kelas. Epstein mencatat bahwa gejala ini menunjukkan lemahnya kepentingan dan terbatasnya ruang lingkup kepentingan aksi.

(23)

yang terbatas ke gerakan transformasi sosial yang lebih luas, sehingga menciptakan pendekaan baru dalam menganalisa gerakan sosial.

Teori-teori baru tentang gerakan sosial melihat gerakan sosial sebagai usaha untuk menghasilkan transformasi mendasar dalam hakikat praktik politik maupun teori tentang gerakan sosial itu sendiri. Salah satu ciri gerakan sosial yang ditemukan adalah penolakan atas analisis sosial yang didasarkan pada pembagian ruang politik menjadi dua kubu yang saling bertentangan (konsep Marx tentang borjuis dan proletar). Keberagaman aktor sosial memapankan kehadiran ruang otonomi mereka dalam lingkungan sosial dan politik yang terfragmentasi. Analisis dampak gerakan sosial ditempatkan dalam konteks proses demokrasi yang sangat luas, yang juga sebagai proses transformasi sosial atas aspek-aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik maupun aspek kehidupan lainnya. Tentunya ada banyak faktor yang menjadi penyebab munculnya dan berkembangnya teori tentang gerakan sosial terutama dimasukkannya faktor budaya, seperti yang disampaikan McAdam (1999).

(24)

dilakukan secara langsung. Budaya menjadi fokus pertentangan utama suatu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya dalam memperjuangkan identitas mereka.

Bahwa dalam perkembangannya, gerakan sosial di dunia ketiga terus mengalami perubahan seiring dengan terjadinya pergeseran konfigurasi kekuasaan yang tadinya kukuh mempertahankan isu kepentingan bergeser menjadi isu identitas dalam bentuk regionalisme dan etnisitas (Fauzi, 2005:6-10). Mengikuti gelombang perubahan tersebut dapat menggunakan klasifikasi dari Mirsel (2004:21-105);

periode pertama, berlangsung dari tahun 1940-an hingga 1960-an disebut periode klasik atau periode tradisional di mana pusat perhatian gerakan sosial adalah pada aspek irasional dengan merujuk pada beberapa kasus sosial, di antaranya; gerakan antidemokrasi dan represif serta militerisasi persaingan dan konflik antara tiga negara penggerak perang dunia II (Amerika Serikat, Uni Soiviet dan Jepang) (McAdam, 1999; Mayer, 1991; McCarthy&Zald, 2004; dan Jenkins, 1982).

Pada periode kedua berawal dari tahun 1960-an dan masih bertahan sampai sesudah tahun 1970-an. Periode kedua penekanan lebih pada aspek tindakan rasional di dalam pemaksaan yang besifat struktural. Gagasan periode kedua didasarkan pada perkembangan berbagai paradigma baru seperti; teori-teori pilihan rasional (rational choice models) dan studi-studi tentang perilaku organisatoris di dalam ilmu-ilmu sosial. Kasus-kasus sosial yang diacu pada periode ini terkait dengan munculnya gerakan perjuangan hak sipil; gerakan-gerakan pembebasan nasional dan dekolonisasi; gerakan-gerakan kaum perempuan (womens movements) dan gerakan-gerakan lingkungan hidup.

(25)

pengukuran-pengukuran kuantitatif bagi hal-hal yang berhubungan dengan alasan lahirnya ketegangan dan pemberontakan dalam masyarakat. Terkait dengan ketegangan struktural juga dapat dikaitkan dengan Smelser (1970) dengan teori nilai-tambah enam-tahap ( six-stage value-added theory) atau yang dikenal juga teori jawaban agen-agen kontrol sosial di mana ketegangan struktural sebagai faktor penjelas dengan keyakinan-keyakinan yang tergeneralisasi (generalized beliefs), kepemimpinan dan komunikasi serta insiden-insiden pemicu (precipitating incidents). Faktor struktural lain yang penting adalah dukungan struktural (structural conduciveness).

Teori di atas mendapat kritik karena dinilai ambiguitas mengenai ketegangan struktural dalam sistem keyakinan para pelaku gerakan yang tidak mesti cocok dengan karekteristik suatu masyarakat saat itu. Untuk melengkapinya perlu memadu-satukan antara dimensi-dimensi ekonomis, ruang dan kulturalnya sebagai pendorong munculnya gerakan sosial dengan memperhatikan peralihan dari ekonomi agraris kepada ekonomi industri seiring terjadinya urbanisasi di Amerika Serikat (Gusfield, 1963). Kritik ini kemudian memunculkan teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) pada tahun 1960-an dengan tidak lagi mempersoalkan ketegangan struktural tetapi memfokuskan pada tindakan-tindakan yang dilakukan para aktor yang umumnya rasional untuk mencapai tujuan organisasi, seperti yang dipikirkan oleh Weber.

Pergeseran pada periode ketiga ditandai dengan berkembangnya

tren-tren ekonomi dan politik yang baru menandai perlunya melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap paradigma mobilisasi sumber daya alam serta paradigma-pradigma Marxis. Kelompok-kelompok yang tadinya solid dalam mendukung gerakan-gerakan kemasyarakatan terpecah-pecah ke dalam kelompok-kelompok etnis ketimbang kelas sosial yang kemudian disebut sebagai gerakan tandingan. Muncul gerakan tandingan ini mengakhiri bentuk-bentuk aksi protes yang lebih disiplin dan terorganisir.

(26)

yang terjadi di negara-negara dunia ketiga tertua (negara-negara Amerika Latin) memasuki fase yang sulit dalam membangun perekonomiannya (Lowy, 2003). Di dalam batas-batas laju pertumbuhan yang begitu lamban dan berlanjutnya ketergantungan pada sistem ekonomi kapitalis menyebabkan negara-negara ini menjadi semakin represif supaya menjaga dan mengkonsolidasi apa yang di dalam kepemimpinan disebut lembaga-lembaga inti.

Mendasarkan pemahaman tersebut di atas, maka gerakan sosial dapat dipahami sebagai penggabungan aneka bentuk, strategi, dan taktik organisasi secara sengaja dan sadar dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Organisasi kemudian ditempatkan sebagai faktor penting dari keberhasilan gerakan dengan menekankan perbedaan kontribusi antara para penganut (anggota tetap dan peserta), konstituensi (sumber dari sumber-sumber daya), dan para pencari keuntungan (beneficiaries) untuk membentuk bagian dari strategi dan taktik organisasi.

Kaitan dengan strategi dan taktik organisasi gerakan, Gamson (1975) mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi gerakan terkait erat dengan tujuan-tujuan jangka pendek, struktur birokrasi, dan metode mengganggu terus-menerus (disruptive methods) yang digunakan. Peranan kaum professional atau intelektual kemudian memainkan menjadi penting terutama keahlian teknisnya dalam mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi, menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap kelompok elit, dan mengadakan kontak dengan media massa dan terpusat pada otoritas internal organisasi.

(27)

dan Islam, politik identitas dan politik rasial di Amerika Serikat, dan kondisi negara-negara sosialis Dunia Ketiga yang memprihatinkan melahirkan penilaian-penilaian yang lebih negatif terhadap berbagai gerakan sosial. Periode keempat cenderung menjadi gerakan chauvinistis, dalam sebuah masyarakat yang miskin, tidak adil dan berpemerintahan yang buruk (Van Klinken, 2007:228).

Sebelum menjelaskan lebih lanjut, terlebih dahulu akan dipaparkan pendekatan dari gerakan sosial baru atau dIsingkat dengan GSB terutama yang dikemukakan oleh para ilmuan kontemporer. Gerakan sosial baru dipahami berbeda dengan gerakan sosial lama (klasik) yang melibatkan wacana ideologis yang lebih meneriakkan anti kapitalisme, revolusi kelas dan perjuangan kelas. Karekteristik GSB sifatnya plural, di antaranya seputar isu yang berhubungan dengan anti rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminisme, lingkungan hidup, kebebasan sipil sampai pada isu-isu Perdamaian (Singh, 2007: 122).

Dalam konteks penulisan ini lebih melihat dengan perspektif GSB berangkat dari asumsinya bahwa dalam kasus yang terjadi di Kalimantan Tengah, walaupun ditemukan adanya ketegangan yang sifatnya strukturalis antara pemerintah dan masyarakat, tetapi ide dasar gerakan berdasarkan isu seputar lingkungan dan etnisitas. Mobilisasi yang dilakukan berbagai Organisasi Non-Pemerintah (NGO) adalah menciptakan berbagai bentuk perlawanan terhadap kehadirannya para investor yang kemudian menjadi dasar penggunaan konsepsi GSB.

(28)

Ketiga, GSB umumnya melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput yang kerap memprakarsai gerakan mikro. Mereka melahirkan secara horisontal asosiasi demokratis terorganisir yang terjalin dalam federasi longgar pada tingkat nasional sebuah negara maupun dalam tingkat global. GSB secara umum merespon isu seputar demoralisasi struktur kehidupan sehari-hari dan memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk komunikasi dan identitas kolektif dibandingkan membidik domain perekonomian dan negara. Diharapkan untuk menata kembali relasi negara, masyarakat dan pasar untuk menciptakan ruang publik yang berisi kebebasan individu, kolektivitas dan identitas selalu bisa didiskusikan dan diawasi.

Keempat, lain halnya dengan teori klasik, struktur GSB didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak, orientasi oleh heterogenitas basis sosial mereka.

Sesuai dengan esensinya, maka GSB umumnya bersifat global dan tidak tersegmentasi. Wilayah aksi, strategi dan cara mobilisasi mereka transnasional menyeberangi batas-batas bangsa dan masyarakat. Aktor-aktor yang beroprasi dalam GSB bukan karena kepentingan kelas mereka tetapi dengan alasan kemanusiaan. Aktor GSB seperti feminis, ekolog, dan aktivis perdamaian, memiliki pemahaman diri berupa identitas, tujuan, dan cara-cara berasosiasi mereka ditinjau secara historis adalah baru.

Secara teoritis mengenai GSB sebagai analisis, maka tulisan ini meminjam konsep framing. Pendekatan framing dalam gerakan sosial paling erat terkait dengan karya David Snow, William Gamson dan Todd Gitlin (McAdam et.al, 2007:12). Menurut Haryanto, dkk (2013), istilah frame dipinjam dari Erving Goffman yang mengacu pada skema penafsiran bahwa individu mengadopsi untuk memahami dunia di sekitar mereka dan menempatkan diri di dalamnya. Menurut Snow (2004), framememberikan makna pada peristiwa dan “berfungsi untuk

mengatur pengalaman dan panduan tindakan (kolektif dan

individual).”

Untuk menarik massa, gerakan sosial harus membangun frame

(29)

berusaha untuk dimobilisasi. Proses ini disebut “kerangka berpihak”

dan tergantung pada seberapa sukses pemimpin gerakan yang menjembatani kerangka aksi gerakan mereka sendiri dengan frame

tindakan kolektif dari simpatisan sehingga mereka akan mampu memobilisasi berbagai individu.

Dalam rangka untuk menjelajahi bagaimana orang bisa membangun frame tindakan kolektif, Gamson menganalisa kelas pekerja. Gamson (1975) memeriksa tiga frame tindakan kolektif yang berbeda yang ia sebut, ketidakadilan, lembaga dan identitas. Sehubungan dengan frame ketidakadilan, Gamson menemukan bahwa orang yang bekerja tidak menyederhanakan menerima penggambaran

frame ketidakadilan tanpa terlebih dahulu mereka memproses melalui kerangka interpretif dan pengalaman mereka. Seperti teori framing

lainnya, Gitlin juga memulai dengan definisi Irving Goffman tentang

frame, tetapi fokusnya pada dampak cara media terhadap frame

gerakan sosial bukannya pembangunan frame individu. Sementara Gamson menentang gagasan bahwa media memiliki pengaruh langsung pada individu terhadap frame tindakan kolektif, Gitlin menyatakan bahwa media massa itu sendiri memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik, dan gerakan sosial tertentu. Gitlin menyatakan bahwa media memiliki dampak langsung dan signifikan terhadap keberhasilan, atau kegagalan, gerakan sosial modern.

(30)

penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan dalam kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.

Selain itu, konsep kedua yang dipakai dalam tulisan ini adalah mekanisme relasi (relational mechanisms) yang diambil dalam teori

contentious politics (McAdam et.al: 2004). Secara umum mekanisme didefinisikan sebagai sebuah kejadian yang mengubah hubungan-hubungan di antara elemen-elemen tertentu dan cara-cara serupa. Sebuah contoh sentral tentang mekanisme relasional adalah brokerage

(perantara), di mana dua unit sosial dibawa memasuki sesuatu hubungan dengan satu sama lain oleh unit ketiga (Van Klinken, 2007:17). Mekanisme relasional mengubah hubungan antara orang-orang, kelompok, dan jaringan interpersonal. Brokerage

menghubungkan dua atau lebih situs sosial yang sebelumnya tidak terhubung oleh sebuah unit yang menengahi hubungan mereka dengan satu sama lain dan atau tanpa agen lain. Mekanisme berkaitan dengan kelompok dan individu satu sama lain yang termobilisasi selama periode politik perdebatan (contentious politics) sebagai kelompok baru yang disatukan oleh interaksi yang meningkat dan situasi ketidakpastian, sehingga menemukan kepentingan bersama mereka (McAdam et.al, 2004:26).

Contentious politics itu sendiri oleh McAdam, Tilly dan Tarrow didefinisikan sebagai peristiwa yang terjadi secara episodik atau tiba-tiba dari pada reguler. Definisi contentious politics yang dimaksud berdasarkan dua alasan, yaitu: pertama, banyak contoh ketegangan yang tumbuh di luar dari kebiasaan yang ada; kedua, perubahan dalam jangka waktu singkat sebuah ketegangan politik dan perubahan sosial sering muncul dari transgresif yang memiliki kecenderungan lebih sering memproduksi rezim-rezim yang ada.

(31)

dan di dalamnya masyarakat dapat melakukan diskusi secara kritis terbuka kepada semua orang.

Seperempat abab terakhir ini, ruang publik mengalami perkembangan pesat mengiringi tumbuhnya ICT (information communication technology). Ruang publik dalam konteks perkembangan ICT dipahami sebagai „ruang imajiner‟ atau „ruang

maya‟ yang bersifat artifisial, di mana setiap orang melakukan apa saja

yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru. Hal menarik lainnya dari ruang publik virtual ini adalah; (1) identitas aktor-aktor sosial tersembunyi di balik tanda; (2) Isu-isu politik tersebar dengan cepat dan menjangkau penerima yang amat luas, tanpa dibatasi ruang dan waktu; dan (3) masyarakat kemudian diarahkan untuk mengembangkan hidupnya melalui jejaring (the network society). Berdasarkan ciri seperti ini, peran ruang publik virtual kemudian dikaitkan dengan berkembangnya demokrasi politik seperti yang sedang terjadi di Indonesia (Lim, 2002).

Dalam konteks seperti yang dijelaskan di atas, ruang publik tentunya tidak hanya dilihat dalam artian ruang publik fisik belaka karena dipengaruhi juga dengan tumbuhnya ICT yang justru mampu membuka kembali wacana otonomi; dan kebebasan individu, kolektifvitas dan identitas. Dalam ruang ini, aktor-aktor pendukung gerakan kemudian menggunakan teori proses framing untuk memahami sukses dan gagalnya sebuah gerakan sosial. Snow dan Banford (1980) mencatat, suksesnya gerakan sosial terletak sampai sejauhmana mereka memenangkan pertempuran atas arti. Hal ini berkaitan dengan upaya para aktor perubahan mempengaruhi makna dalam kebijakan publik. Oleh karena itu, aktor perubahan memiliki tugas penting guna mencapai tujuan perjuangan melalui pembentukan

(32)

Pada akhirnya, suatu gerakan sosial di ruang publik virtual dapat berkembang dikarenakan adanya jaringan, aktor, translasi, dan intermediari seperti yang dikembangkan oleh Bruno Latour (2005) yang kemudian disebut sebagai Teori Jaringan-Aktor atau Actor-Network-Theory atau sering disingkat ANT. Para penggagas ANT berpendirian bahwa masyarakat itu bukan hanya sekadar berisi unsur-unsur individu manusia serta norma yang mengatur kehidupan

mereka, tetapi lebih dari itu dia ak dalam sebuah “jaringan”.

Konsep jaringan tidak hanya berfokus pada relasi sosial aktor manusia, tetapi mencakup aktor-aktor nonmanusia (sebuah jaringan heterogen atau beragam). Aktor didefinisikan sebagai sesuatu yang ikut beraksi, yang bukan hanya manusia, melainkan juga merupakan obyek teknis. Translasi berarti penjajakan dan penyesuaian aksi-aksi yang berlangsung antara aktor-aktor sampai tercapai suatu relasi yang stabil sehingga obyek teknis dapat terus berfungsi. Sedangkan intermediari

adalah aktor yang ”bersirkulasi” di antara aktor-aktor dan yang memelihara relasi di antara mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Results further showed that trait self-control is associated with contextual performance; start-control related positively to OCB, personal initiative, and proactive coping, and

Hasil analisa stabilitas produk epoksi menunjukkan bahwa karakteristik produk epoksi sebelum dan setelah pemurnian tidak stabil selama penyimpanan 1 bulan, dengan nilai

Bagi yang pindah domisili, membawa surat keterangan pindah domisili dari

Salah satu bentuk dari ekonomi kreatif adalah industri kreatif dimana potensi daerah di Indonesia sangat beraneka ragam dari mulai kerajinan tangan, seni, budaya,

Berdasarkan latar belakang ini maka penulis akan mengajukan penelitian yang dapat mengetahui lokasi parkir mana saja yang kosong ataupun yang sedang terisi mobil

Penerapan teknologi ini dapat dilakukan dilapangan sesuai dengan hasil Uji Marshall memperlihatkan pada aspal termodifikasi dengan konsentrasi karet alam sebesar 5%

An informal expert consultation was organized with experts from India, Maldives, Sri Lanka, Thailand and Timor-Leste to learn about country experiences and challenges,

Peningkatan basal spasi dapat dilakukan dengan menginterkalasi asam stearat ke dalam galeri organobentonit, menghasilkan OBT seperti yang disajikan pada Gambar