• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dunia dalam garis lintang 35 LU dan 35 LS. Namanya diperoleh dari perkataan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dunia dalam garis lintang 35 LU dan 35 LS. Namanya diperoleh dari perkataan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan tentang Nyamuk Aedes spp

Nyamuk Aedes spp. adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis di seluruh dunia dalam garis lintang 35°LU dan 35°LS. Namanya diperoleh dari perkataan Yunani yaitu aedes, yang berarti "tidak menyenangkan", karena nyamuk ini menyebarkan beberapa penyakit berbahaya seperti demam berdarah dan demam kuning. Aedes albopictus merupakan spesies yang sering ditemui di Asia. Distribusi

Aedes dibatasi dengan ketinggian wilayah kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut.(WHO, 2001)

Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang paling penting adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas yaitu adanya garis - garis dan bercak - bercak putih keperakan diatas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking).

Nyamuk Aedes aegypti betina menggigit dan menularkan virus dengue.

(2)

pukul (16.00 - 17.00). Nyamuk jenis itu senang berada di tempat yang gelap dan lembap. Penampilan nyamuk ini sangat khas, yaitu memiliki bintik - bintik putih dan ukurannya lebih kecil dibandingkan nyamuk biasa. Pada malam hari, nyamuk ini bersembunyi di tempat gelap atau di antara benda-benda yang tergantung, seperti baju atau tirai (Satari, 2004).

2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp

Nyamuk Aedes spp., secara umum mempunyai klasifikasi (Womack, 1993), sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Famili : Culicidae Subfamili : Culicinae Tribus : Culicini Genus : Aedes

2.1.2. Morfologi Nyamuk Aedes spp

Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa, sehingga termasuk metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu (Soegijanto, 2006)

(3)

1. Telur

Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5 – 0,8 mm, rata – rata 150 butir, permukaan poligonal, tidak memiliki alat penampung, dan diletakkan satu persatu pada benda - benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air.

2. Larva

Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1 - 2 mm, duri - duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5 - 3,9 mm, duri dada belum jelas, corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).

Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan tanpa

(4)

duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu (tulf). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15 – 19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi - gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampit tegak lurus dengan bidang permukaan air.

3. Pupa

Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala -dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya,sehingga tampak seperti tanda baca ”koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Gerakan pupa tampak lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.

4. Dewasa

Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk - pengisap (piercing - sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong

(5)

lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose sedangkan nyamuk jantan tipe plumose.

Dada nyamuk ini tersusun dari 3 rias, porothorax, mesothorax dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia(betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung (mesontum) ada gambaran garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung nyamuk Aedes aegypti berupa sepasang garis lengkung putih (bentuk: lyre) pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Perut terdiri dari 8 ruas danpada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk Aedes aegypti ini tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya.

2.1.3. Tata Hidup Nyamuk Aedes spp

Telur nyamuk Aedes aegypti di dalam air dengan suhu 20 – 400 C akan menetas menjadi larva dalam waktu 1 – 2 hari kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan. Stadium larva berlangsung selama 6 - 8 hari, pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4 - 9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2 - 3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7 - 14 hari (Soegijanto, 2006).

(6)

Aedes aegypti bersifat aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda - benda berwarna hitam atau merah (Wikipedia, 2010).

Aedes albopictus pun bersifat aktif sama dengan Aedes aegypti, yaitu di pagi dan sore hari. Bertelurnya di air tergenang, misalnya pada kaleng-kaleng bekas yang menampung air hujan di halaman rumah. Pada musim penghujan, nyamuk ini banyak terdapat di kebun atau halaman rumah karena di situ terdapat banyak tempat yang terisi air (Wikipedia, 2010).

2.1.4 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti 1. Perilaku Makan

Aedes aegypti sangat antropofilik walaupun ia juga bisa makan dari hewan berdarah panas lainnya. Nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama di pagi hari beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari hari selama beberapa jam sebelum gelap. Puncak aktivitas menggigit yang sebenarnya dapat beragam bergantung lokasi dan musim. jika masa makannya terganggu, Aedes aegypti dapat menggigit lebih dari satu orang. Perilaku ini semakin memperbesar efisiensi penyebaran epidemik. Dengan demikian bukan hal yang luar biasa jika beberapa anggota keluarga yang sama mengalami rangkaian penyakit yang terjadi dalam 24 jam, memperlihatkan

(7)

bahwa mereka terinfeksi nyamuk infektif yang sama. Aedes aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang (WHO, 2004).

Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada binatang (bersifat

antropofilik). Darah (proteinnya) diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan, dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut satu siklus gonotropik (gonotropic cycle).

Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit (Depkes, 2008).

2. Perilaku Istirahat

Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan termasuk di kamar tidur, kamar mandi, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di

(8)

tumbuhan atau di tempat terlindung lainnya. Permukaan yang nyamuk suka di dalam ruangan adalah di bawah furniture, benda yang tergantung seperti baju, gorden serta di dinding (WHO, 2004).

Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat-tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Depkes RI, 2008).

3. Tempat Perkembangbiakan

Menurut Depkes RI ( 2008), tempat perkembangbiakan utama Aedes aegypti ialah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk

Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).

(9)

c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2ºC sampai 42ºC, dan bila tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.

4. Jarak Terbang

Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan (WHO, 2004).

Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas.

Aktifitas dan jarak terbang nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor eksternal dan faktor internal. Eksternal meliputi kondisi luar tubuh

(10)

nyamuk seperti kecepatan angin,temperatur, kelembaban dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu tubuh nyamuk, keadaan energi dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun Aedes aegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh, karena tiga macam kebutuhannya yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes aegypti bersifat lebih menyukai aktif di dalam rumah. Apabila ditemukan nyamuk dewasa pada jarak terbang mencapai 2 km dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau terbawa alat transportasi (Sitio, 2008)

2.2. Penyebaran Nyamuk Aedes aegypti

Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara dan terutama di sebagian besar di wilayah perkotaan. Penyebaran Aedes aegypti di pedesaan akhir-akhir ini relatif sering terjadi yang dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air pedesaan dan perbaikan sistem transportasi. Di wilayah yang agak kering seperti India, Aedes aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 cm per tahun, populasi Aedes aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota dan daerah pedesaan. Karena kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar dan Thailand, kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan (WHO, 2004).

(11)

Aedes aegypti tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum di Indonesia. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ±1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2008).

Ketinggian merupakan faktor yang penting untuk membatasi penyebaran nyamuk Aedes aegypti. Di India Aedes aegypti dapat ditemukan pada ketinggian yang berkisar dari nol meter sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan populasi nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (diatas 500 meter) memiliki populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara, ketinggian 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut tampaknya merupakan batas bagi penyebaran Aedes aegypti. Di bagian lain dunia, nyamuk spesies ini dapat ditemukan di wilayah yang jauh lebih tinggi, misalnya di Kolombia sampai mencapai 2200 meter (WHO, 2004).

2.3. Demam Berdarah Dengue

2.3.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)

Menurut WHO (2004), definisi Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi seperti sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia,

(12)

Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui nyamuk. Nyamuk yang dapat menularkan penyakit demam berdarah dengue adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus demam berdarah dengue terdiri dari 4 serotipe yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Penyakit ini merupakan penyakit yang timbul di negara-negara tropis, termasuk di Indonesia (Depkes RI, 2010).

2.3.2 Etiologi

Penyakit demam berdarah dengue disebabkan oleh virus Dengue dari genus

Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk

Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. (Depkes RI, 2010).

2.3.3 Siklus Penularan Demam Berdarah Dengue

Nyamuk Aedes betina biasanya akan terinfeksi virus dengue saat menghisap darah dari penderita yang berada dalam fase demam (viremik) akut penyakit. Setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar air liur nyamuk menjadi terinfeksi dan virus disebarkan ketika nyamuk yang infektif menggigit dan menginjeksikan air liur ke luka gigitan pada orang lain.setelah masa inkubasi pada tubuh manusia selama 3-14 hari (rata-rata 4-6 hari) sering kali terjadi rangkaian mendadak penyakit ini, yang ditandai dengan demam, sakit kepala, mialgia, hilang

(13)

nafsu makan, dan berbagai tanda serta gejala non spesifik lain termasuk mual, muntah dan ruam kulit.

Viraemia biasanya ada pada saat atau tepat sebelum gejala awal penyakit dan akan berlangsung selama rata-rata lima hari setelah timbulnya penyakit. Ini merupakan masa yang sangat kritis karena pasien berada pada tahap yang paling infektif untuk nyamuk vektor dan akan berkontribusi dalam mempertahankan siklus penularan jika pasien tidak dilindungi dari gigitan nyamuk (WHO, 2004).

Penularan DBD antara lain dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya, tempat yang potensial untuk penularan penyakit DBD antara lain (Sitio, 2008):

a. Wilayah yang banyak kasus DBD atau rawan endemis DBD.

b. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang, orang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar seperti sekolah, pasar, hotel, puskesmas, rumah sakit dan sebagainya.

c. Pemukiman baru di pinggir kota, karena dilokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka memungkinkan diantaranya terdapat penderita atau karier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal.

(14)

2.4. Vektor Penular Demam Berdarah Dengue

Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti dari subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemik yang paling penting, sementara spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, anggota kelompok Aedes Scutellaris dan Aedes niveus juga diputuskan sebagai vektor sekunder. Semua spesies tersebut kecuali Aedes aegypti memiliki wilayah penyebarannya sendiri, walaupun mereka merupakan vektor yang sangat baik untuk virus dengue, epidemik yang ditimbulkannya tidak separah yang diakibatkan oleh

Aedes aegypti (WHO, 2004).

Vektor Demam Berdarah Dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti

sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman, stadium pra dewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat penampungan air/wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Aedes aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan; sedangkan Aedes albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan,namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah. Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia,

(15)

disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali (Depkes RI, 2010).

Menurut Anies (2006), orang awam mudah mengenali nyamuk tersebut dengan ciri-ciri umum sebagai berikut:

a. badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih b. hidup di dalam dan di sekitar rumah

c. menggigit/mengisap darah pada siang hari

d. senang hinggap pada pakaian yang bergelantungan dalam kamar

e. bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah: bak mandi, tempayan, vas bunga, tempat minum burung, perangkap semut.

2.5. Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue

Menurut Sukowati (2010), beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu:

1. Manajemen Lingkungan

Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan. Sejarah

(16)

keberhasilan manajemen lingkungan telah ditunjukkan oleh Kuba dan Panama serta Kota Purwokerto dalam pengendalian sumber nyamuk.

2. Pengendalian Biologis

Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda). a. Predator

Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan yang paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia ada beberapa ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan di kota Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang.

Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops, Jenis ini sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini mampu makan larva vektor DBD. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain

Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar Penelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga.

(17)

b. Bakteri

Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vektor adalah kelompok bakteri. Dua spesies bakteri yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotype 14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi.

3. Pengendalian Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor.

(18)

4. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3 M plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD, namun karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman dan latar belakangnya sehingga belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya.

Mengingat kenyataan tersebut, maka penyuluhan tentang vektor dan metode pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara berkesinambungan. Karena vektor DBD berbasis lingkungan, maka penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa peran dari Pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dll.

2.6. Survei Jentik

Menurut Depkes RI (2008), untuk mengetahui keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan survei jentik sebagai berikut:

a. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembang-biakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.

(19)

b. Untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti: bak mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya. Jika pada pandangan (penglihatan) pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½ -1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.

c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti: vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain.

d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh, biasanya digunakan senter.

Metode survei yang paling umum menggunakan prosedur pengambilan sampel jentik bukan pengumpulan telur atau nyamuk dewasa. Unit pengambilan sampel adalah rumah atau tempat yang secara sistematik akan ditelusuri untuk mencari penampung air. Penampung kemudian diperiksa untuk menentukan keberadaan jentik. Bergantung pada tujuan survey, pencarian akan segera dihentikan begitu jentik Aedes ditemukan atau tetap diteruskan sampai semua penampung diperiksa (WHO, 2004).

Metode survei jentik dapat dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2008):

a. Single larva : Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.

b. Visual : Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.

(20)

Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan nyamuk Aedes aegypti:

a. House Index (HI).

Jumlah rumah ditemukan jentik

House Index (HI) = ---x 100 % Jumlah rumah yang diperiksa

b. Container Index (CI)

Jumlah kontainer ditemukan jentik

Container Index( HI) = --- x 100 % Jumlah Kontainer yang diperiksa

c. Breteau Index (BI) adalah jumlah kontainer positif perseratus rumah yang diperiksa.

Jumlah kontainer ditemukan jentik

Breteau Index (BI) = --- x 100 % 100 rumah yang diperiksa

d. Angka Bebas Jentik (ABJ)

Jumlah rumah tidak ditemukan jentik

Angka Bebas Jentik (ABJ) = --- x 100 % Jumlah rumah yang diperiksa

Menurut Sari (2012) yang mengutip dari WHO, kepadatan nyamuk dikatakan tinggi dan berisiko tinggi untuk penularan DBD jika HI dan CI ≥5% serta nilai BI ≥ 20%. Sedangkan ABJ menurut standar nasional adalah ≥ 95% . Tingginya kepadatan populasi nyamuk akan mempengaruhi distribusi penyebaran penyakit DBD.

House index pada umumnya digunakan untuk mengukur penyebaran populasi nyamuk di masyarakat. Ini merupakan indeks yang paling mudah dan cepat untuk mengamati keberadaan jentik. House index juga dapat digunakan untuk menghasilkan

(21)

indikasi cepat dari penyebaran Aedes aegypti di suatu daerah. Container index

menghasilkan indikasi yang lebih detail dari jumlah populasi nyamuk yang terdapat dalam tempat penampungan air. Sedangkan Breteau index memuat hubungan antara rumah dan penampung positif dan dianggap sebagai indeks yang paling informatif, tetapi sekali lagi, produktivitas penampung tidak termuat. Breteau index digunakan untuk mengukur kepadatan nyamuk.

Tingkat kepadatan (Density Figure) jentik aedes menurut WHO 1972, yang dikutip oleh Santoso,dkk (2008) dapat dilihat dari tabel 2.1 di bawah ini :

Tabel 2.1 Figur Densitas Aedes aegypti dan Hubungannya dengan Indeks Aedes oleh AWA Brown

Figur Densitas HI CI BI 1 1 – 3 1-2 1-4 2 4 – 7 3-5 5-9 3 8 – 17 6-9 10-19 4 18 – 28 10-14 20-34 5 29 – 37 15-20 35-49 6 38 – 49 21-27 50-74 7 50 – 59 28-31 75-99 8 60 – 76 32-40 100-199 9 > 77 >41 >200 Sumber :

2.7. Survei Perangkap Telur 2.7.1. Pengertian

Ovitrap (singkatan dari oviposition trap) adalah perangkat untuk mendeteksi kehadiran Aedes aegypti dan Aedes albopictus pada keadaan densitas populasi yang rendah dan survey larva dalam skala luas tidak produktif (misalnya BI < 5), sebaik

(22)

pada keadaan normal. Secara khusus ovitrap digunakan untuk mendeteksi infestasi nyamuk ke area baru yang sebelumnya telah dieliminasi. Alasan ini menjadi dasar pemasangan ovitrap di bandara internasional yang harus memenuhi persyaratan bebas vektor (WHO,2005). Ovitrap standar berupa gelas kecil bermulut lebar dicat hitam bagian luarnya dan dilengkapi dengan bilah kayu atau bambu (pedal) yang dijepitkan vertikal pada dinding dalam. Gelas diisi air setengahnya dan ditempatkan di dalam dan di luar rumah yang diduga menjadi habitat nyamuk Aedes.(WHO,2005)

Ovitrap dengan penambahan air rendaman jerami 10% terbukti dapat menghasilkan telur terperangkap 8 kali lebih banyak dibanding versi aslinya (Polson,2002). Ovitrap memberikan hasil setiap minggu. Persentase ovitrap yang positif menginformasikan tingkat paparan nyamuk Aedes, sedangkan jumlah telur digunakan untuk estimasi populasi nyamuk betina dewasa (WHO,2005)

2.7.2 Modifikasi Ovitrap dengan Atraktan

Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap serangga (nyamuk) baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol, dan asam lemak. Zat atau senyawa tersebut berasal dari bahan organik atau merupakan hasil proses metabolisme mahluk hidup, termasuk manusia. Atraktan fisika dapat berupa getaran suara dan warna, baik warna tempat atau cahaya. CO2, asam laktat, dan octenol merupakan atraktan yang dikenali dengan sangat baik. Sekresi kulit lain juga hal penting karena aroma dari host hidup selalu lebih memiliki daya tarik daripada kombinasi dari bahan-bahan kimia tersebut dalam keadaan panas dan lembab. Asam

(23)

lemak yang dihasilkan dari flora normal kulit merupakan atraktan yang efektif. Aroma ini efektif sampai jarak 7 – 30 meter, tetapi dapat mencapai 60 meter untuk beberapa spesies.

Atraktan dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku, memonitor atau menurunkan populasi nyamuk secara langsung, tanpa menyebabkan cedera bagi binatang lain dan manusia, dan tidak meninggalkan residu pada makanan atau bahan pangan. Efektifitas penggunaannya membutuhkan pengetahuan prinsip-prinsip dasar biologi serangga. Menurut Weinzierl (2005) Serangga menggunakan petanda kimia(semiochemicals) yang berbeda untuk mengirim pesan. Hal ini analog dengan rasa atau bau yang diterima manusia.

Air rendaman jerami (hay infusion) dibuat dari 125 gram jerami kering, dipotong dan direndam dalam 15 liter air selama 7 hari (Polson et al, 2002). Selanjutnya, penggunaan air rendaman ini dicampur dengan air biasa (misalnya air sumur) dengan konsentrasi yang diinginkan. Polson et al (2002) menggunakan konsentrasi 10%, sedangkan Santos et al (2003) dengan berbagai konsentrasi. Namun demikian, baik Polson maupun Santos menyimpulkan bahwa konsentrasi 10% menghasilkan telur terperangkap paling banyak daripada air biasa (tap water). Air rendaman jerami menghasilkan senyawa-senyawa CO2, ammonia, dan octenol yang mudah dikenali dan merangsang saraf penciuman nyamuk dan dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku, memonitor atau menurunkan populasi nyamuk secara langsung (Sayono, 2008). CO2 dan Ammonia suatu senyawa yang terbukti mempengaruhi saraf penciuman nyamuk Aedes.

(24)

Cabai merah juga dapat digunakan sebagai atraktan pada ovitrap. Pembuatan atraktan dengan menggunakan cabai merah dilakukan dengan cara merendam cabai merah karena air rendaman tersebut dapat menghasilkan senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol dan asam lemak setelah melalui proses perendaman selama 7 hari (Aisyah, 2013). Penelitian atraktan bumbu dapur yang salah satu bahannya menggunakan cabai merah dengan konsentrasi 10% menghasilkan rata-rata 3,50 butir lebih efektif dibandingkan dengan air hujan yang rata-ratanya 2,83 butir. Amoniak, CO₂, dan asam laktat merupakan salah satu atraktan nyamuk yang mempunyai daya tarik bagi reseptor sensoris nyamuk Aedes sp. Disamping itu, adanya atraktan di dalam ovitrap mempermudah nyamuk betina menemukan tempat perindukan. Penciuman nyamuk Aedes dapat menjangkau objek sejauh 36 meter.(Sayono ,2008)

Larutan gula ditambah dengan ragi roti karena reaksi fermentasi dari penambahan ragi pada larutan gula akan menghasilkan CO2 yang merupakan salah satu atraktan nyamuk Aedes sp. CO2 merupakan salah satu atraktan nyamuk yang mempunyai daya tarik bagi reseptor sensoris nyamuk Aedes.(Widya, 2012)

2.8. Landasan Teori

Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memliki potensi penyakit. Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan dapat digambarkan dalam teori simpul (Achmadi, 2011).

(25)

1. Simpul 1: Sumber Penyakit

Sumber penyakit adalah titik yang menyimpan atau menggandakan agen penyakit serta mengeluarkan agen penyakit. Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui media perantara.

Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk kelompok B

anthropoda borne virus(Arboviruses). dikenal sebagai genus Flavivirus, famili

Flaviviridae dan mempunyai empat jenis serotype, yaitu: DEN-1, DEN–2, DEN–3 dan DEN–4.Keempat serotype virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.

2. Simpul 2: Media Transmisi Penyakit

Ada 5 komponen lingkungan yang dapat memindahkan agent penyakit yang kita kenal sebagai media transmisi penyakit yaitu udara ambient, air, tanah/pangan, binatang/serangga/vektor, dan manusia melalui kontak langsung. Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit jika di dalamnya tidak mengandung agent penyakit.

Demam Berdarah Dengue ditularkan nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Yang paling berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk

Aedes aegypti karena hidupnya didalam rumah, sedangkan Aedes albopictus

hidupnya di kebun-kebun sehingga lebih jarang kontak dengan manusia. Aedes aegypti adalah nyamuk yang termasuk dalam subfamili Culicinae, famili

(26)

3. Simpul 3: Perilaku Pemajanan/Biomarker

Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya dapat diukur dalam konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan. Apabila kesulitan mengukur besaran agent penyakit, maka diukur dengan cara tidak langsung yang disebut sebagai biomarker.

Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali dan sering kali ditandai dengan hemokonsentrasi. Pemeriksaan darah pasien sangat membantu untuk menegakkan diagnosa yang akurat terhadap pasien DBD. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % ataulebih) menunjukkan adanya kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung memberikan hasil yang rendah.

4. Simpul 4: Kejadian Penyakit

Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memliliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Manifestasi dampak akibat hubungan antara penduduk dengan lingkungan menghasilkan penyakit pada penduduk.

Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeniadan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.

(27)

Berdasarkan uraian diatas maka sumber penyakit, media transmisi, proses interaksi dengan penduduk, serta outcome penyakit dapat digambarkan sebagai model kejadian penyakit atau paradigma kesehatan lingkungan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Landasan Teori Achmadi (2011) Virus Dengue Nyamuk

Aedes aegypti

(Pemeriksaan Darah)

− Sehat

− Sakit

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Variabel lain yang berpengaruh : Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti, Pengendalian Vektor dengan Modifikasi Ovitrap Sumber Penyakit Media Transmisi Perilaku Pemajanan/ Biomarker Kejadian Penyakit

(28)

2.9. Kerangka Konsep

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Perlakuan yang Menggunakan : 1. Ovitrap tanpa Aktraktan 2. Ovitrap Air Rendaman Jerami 3. Ovitrap Air Rendaman Cabai Merah

4. Ovitrap Air Gula dan Ragi Roti

CI, HI, ABJ sesudah Perlakuan CI,HI, ABJ

Gambar

Tabel 2.1 Figur Densitas Aedes aegypti dan Hubungannya dengan   Indeks Aedes oleh AWA Brown
Gambar 2.1. Landasan Teori Achmadi (2011) Virus Dengue Nyamuk
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Perlakuan yang Menggunakan  :  1. Ovitrap tanpa Aktraktan    2

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu faktor penentu keberhasilan penyelanggaraan proses pendidikan adalah kultur yang dibangun dengan baik. Kultur siswa yang baik diharapkan akan berhasil

Apabila surat peringatan ini tidak diindahkan dalam 3 (tiga) kali berturut-turut masing-masing selama 7 (tujuh) hari kerja, maka akan dikenakan sanksi penertiban berupa

Secara teori akad murabahah bil wakalah dapat dikatakan syariah apabila melakukan akad wakalah terlebih dahulu baru melakukan akad murabahah setelah barang yang dimaksud

Adanya rencana persalinan aman yang disepakati antara ibu hamil, suami, keluarga dgn bidan. Adanya rencana untuk menggunakan alat kontrasepsi

BBNI memiliki indikator MACD dan Rsi mengindikasikan pola Uptrend, BBNI belum berhasil menembus Resistance di level harga 5550 sehingga terbuka peluang untuk kembali menguji

( libur, adalah, cuaca, cerah, ban, bocor, paku, matematika, bahasa, sains, bermain, baris, rajin, tentang, kalimat, tentang, kalimat) Bagus, siapa tahu arti kata dari; libur

Jumlah mahasiswa yang dijadikan responden sebanyak 170 mahasiswa dari masing – masing program studi, tetapi hanya 102 mahasiswa yang mengembalikan kuisioner

Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati Bantul mengalami preeklamsia ringan sebanyak 28 orang (56%)., Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati