• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lagu pop sebagai media pewartaan iman bagi remaja metropolitan pada jaman audio visual - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Lagu pop sebagai media pewartaan iman bagi remaja metropolitan pada jaman audio visual - USD Repository"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Disusun oleh:

Sara Lea NIM: 031124009

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada seseorang

yang telah mengandungku selama sembilan bulan tanpa mengeluh,

yang melimpahiku dengan cinta tak bersyarat sepanjang hidup yang telah kujalani, yang telah mendukung pilihan studiku tanpa peduli pandangan orang lain,

yang bangga dengan diriku apa adanya aku, yang mampu membagi waktunya antara keluarga, kerja,

serta karya bagi Gereja dan sesama,

serta menjadi teladan dan inspirasiku sepanjang waktu. Ia yang menjadi alasanku berjuang untuk melakukan yang terbaik

bagi diriku serta orang-orang di sekitarku.

(5)

v MOTTO

“Kuserahkan segala kehendakku. Kuserahkan segala kemampuanku. Kuserahkan segala kekhawatiranku. Kuserahkan segalanya pada Dia.

Biarlah Dia yang mengatur dan aku pun tidak takut. Aku tidak punya apa-apa. Aku adalah milik-Nya semata”

(Anton Puji Nugroho, 10 Maret 2005)

karena aku tahu …

“hanya yang menabur dengan menangis yang tahu arti sebenarnya dari sukacita pada saat ia menuai”

(Mzm 126: 5)

dan aku sungguh percaya bahwa …

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktu-Nya” (Pkh 3: 11)

maka…

“jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juru Selamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya.

Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Bogor, 8 November 2007 Penulis,

Sara Lea

(7)

vii

Indonesia. Di zaman audio visual ini, kaum muda metropolitan memiliki keleluasaan dan kemudahan dalam mengakses teknologi informasi yang mendukung perkembangan interaksi sosial yang bersifat global dan tidak terikat pada suatu tempat tertentu. Kekhasan pola interaksi dan komunikasi tersebut turut mempengaruhi kekhasan pola pikir dan gaya hidup dari kaum muda itu sendiri. Pengaruh media elektronis yang lahir pada zaman audio visual ini telah merasuki seluruh dimensi hidup kaum muda metropolitan. Dengan kata lain pesona media elektronis telah memenuhi hati mereka sehingga pewartaan iman yang bersifat penyampaian informasi dan dogma-dogma saja tidak lagi sesuai dengan hati mereka. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan besar bagi Gereja untuk menemukan pewartaan iman yang sesuai dan dapat diterima oleh kaum muda metropolitan. Berangkat dari keprihatinan tersebut, skripsi ini ditulis sebagai sebuah gagasan atas kegunaan lagu pop sebagai media pewartaan untuk menjawab kerinduan kaum muda metropolitan akan pewartaan iman yang berangkat dari keseharian hidup mereka sendiri.

Persoalan utama yang perlu dijawab dalam skripsi ini adalah apakah lagu pop sungguh-sungguh dapat digunakan sebagai sebuah media pewartaan iman dan bagaimana menggunakannya dalam pewartaan itu. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dilakukan studi pustaka untuk memperoleh pengertian-pengertian ilmiah serta data-data yang sesuai dengan tema yang diangkat. Deskripsi yang diperoleh berdasarkan studi pustaka tersebut kemudian dianalisis oleh penulis untuk menemukan gagasan-gagasan dan menguatkan argumen penulis terhadap penggunaan lagu pop sebagai media pewartaan iman yang dapat menunjang efektivitas pewartaan bagi kaum muda metropolitan pada zaman audio visual. Untuk menunjang deskripsi tesebut, disajikan pula analisis dari beberapa contoh lagu pop serta contoh penggunaannya dalam katekese.

(8)

viii

in Indonesia. In audio visual era, the metropolitan youth have freedom and facility to access technology of information. In fact, this technology supports the development of social interaction which tends to be global and untied with a certain place. This characteristic of communication and social interaction influence the way of thinking and the way of life of the youth. The influence of electronic media has already affected all dimension of their life. The fascination of the media fulfilled their heart, so that the informative and dogmatic way of faith communication will not be interesting for them. The Church is challenged to find out the appropriate method of faith communication for the metropolitan young people. Based on this concern, this thesis is written to emphasize that popular song will answer the need of metropolitan young people to have a faith communication based on their daily life.

The main problem of this thesis is whether popular song can really be used as media for communicating faith and how do we used it. To answer these questions, the writer did a study to find out some scientific understanding and data which are relevant to the topic. Then the description that came out from the study was analyzed to find out some ideas which are supportive toward the argumentation that popular songs can be used as media for communicating faith among the metropolitan young people. The writer also analyzed some related popular songs which later will be used in catechetical meetings.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan segala puji, hormat, juga syukur yang tiada terkira kepada Allah, Sang Pencipta Maha Segala karena rahmat dan kasih-Nya telah memampukan penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul LAGU POP SEBAGAI MEDIA PEWARTAAN IMAN BAGI KAUM MUDA METROPOLITAN PADA ZAMAN AUDIO VISUAL.

Diawali dengan kecintaan penulis terhadap dunia musik dan kesadaran sebagai seorang kaum muda, penulis mencoba menggagas tema skripsi ini. Terlahir di sebuah kota yang sangat dekat dengan ibukota Indonesia menjadikan penulis turut mengakrabi gaya hidup di dalamnya. Namun di balik semua itu penulis menyadari bahwa nuansa studi kateketik yang penulis jalani selama empat tahun ini pun sungguh merasuk ke dalam pribadi penulis. Hal tersebut terkadang terasa bagaikan dua sisi mata uang, sehingga penulis merasa hidup di dua dunia yang berbeda: dunia pewartaan iman dan dunia sekuler. Penulis menyakini bahwa banyak kaum muda metropolitan pun merasakan hal yang sama. Oleh karena itu penulis mencoba menyusun skripsi ini untuk menjawab kerinduan tersebut, yaitu membawa dan meleburkan pewartaan iman dalam kehidupan mereka sehari-hari melalui media lagu pop. Selain itu, skripsi ini pun disususn sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(10)

x

skripsi ini. “Every dawn is a new beginning.” Skripsi ini adalah persembahan penulis sebagai puncak akhir studi yang penulis jalani selama empat tahun di kampus IPPAK, sekaligus menjadi awal yang baru bagi penulis untuk meraih mimpi dan masa depan dalam proses kehidupan selanjutnya. Layaknya matahari yang tenggelam di ufuk Barat dan akan segera terbit kembali di ufuk Timur. Pada kesempatan ini, izinkan penulis mengucapkan ungkapan terima kasih dan syukur tiada terkira kepada:

1. Romo Drs. Y.I. Iswarahadi, SJ, MA. selaku dosen pembimbing utama yang senantiasa memberikan perhatian, meluangkan waktu, serta membimbing penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Khususnya untuk segala kesabaran, pemakluman, serta pengertiannya dalam memberikan izin bagi penulis untuk melaksanakan bimbingan online jarak jauh, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini di tengah-tengah keluarga yang sangat penulis kasihi. 2. Bapak P. Banyu Dewa H.S, S.Ag, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik

yang telah memberikan begitu banyak perhatian dan pendampingan bagi penulis selama skripsi maupun proses studi yang penulis jalani di kampus ini. Meskipun mungkin pernah terjadi sedikit kesalahpahaman di tengah proses studi, namun penulis menyadari semua itu terjadi semata-mata karena bapak sungguh memperhatikan dan menyayangi penulis. Terima kasih untuk segalanya.

(11)

xi

untuk semua kesempatan, bimbingan, perhatian, serta kepercayaan yang bapak berikan sehingga penulis dapat menjadi seperti sekarang ini.

4. Segenap staf dosen, staf sekretariat dan perpustakaan Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah begitu melimpahi penulis dengan ilmu, perhatian, dukungan, bimbingan serta senyuman yang selalu menguatkan penulis menjalani proses studi di kampus ini.

5. Sahabat-sahabat mahasiswa, khususnya angkatan 2003/2004 yang telah melimpahi penulis dengan hujanan cinta dan perhatian yang tak terhingga. Terima kasih atas warna-warna indah yang kalian berikan dalam hidup penulis. Selamanya akan penulis simpan sebagai kenangan terindah yang menghiasi taman hati penulis. Sampai jumpa di lain kesempatan.

6. Sahabat-sahabat di Paduan Suara Pradnyawidya yang seiring dalam pelayanan. Semua alunan nada itu akan menggema dalam batin selamanya, seolah mengingatkan bahwa terdapat satu masa di mana kita bernyanyi bersama melantunkan ungkapan syukur yang melimpah kepada-Nya.

7. Paulina Rahayu Setyaningrum dan Mathilda Eivalig Kilaola. Dua sahabat terbaik yang pernah penulis miliki. Terima kasih untuk semua kebersamaan yang telah dilalui bersama, penulis tidak akan mampu menjalani semuanya tanpa bantuan kalian. Semoga hidup mempertemukan kita lagi dalam satu kesempatan.

(12)

9. Agustinus Budiharto yang telah membuat penulis percaya bahwa segala sesuatu indah pada waktu-Nya bagi segala makhluk yang bersyukur atas kasih-Nya. Terima kasih karena telah memaknai cinta penulis dengan sejuta kasih-Nya. 10.Keluarga yang sangat penulis cintai: Papa, Mama, Nana, Arvin, Nina, dan Indra.

Andai terdapat kata yang mampu melukiskan betapa kalian sungguh berarti dalam hidup penulis, karena dari kalian semuanya berawal dan kepada kalianlah penulis akan kembali.

11.Seluruh staf pengajar Seminari Menengah Stella Maris Bogor yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan bagi penulis untuk membagi apa yang penulis miliki meskipun penulis belum memperoleh ijazah S-1.

12.Michael, Fritz, dan Martin yang telah meluangkan waktu untuk membantu menyelesaikan video presentasi penulis.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini telah menjadi bagian berarti dalam hidup penulis serta memampukan penulis menyelesaikan studi ini.

Penulis sungguh menyadari bahwa penulis memiliki keterbatasan dalam pengetahuan, pengalaman, serta pemahaman yang menyebabkan penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua yang berkepentingan.

Bogor, 8 November 2007

Penulis

Sara Lea

(13)

xiii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

PENGESAHAN ……….. iii

PERSEMBAHAN ………... iv

MOTTO ………... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi

ABSTRAK ……….. vii

ABSTRACT ……… viii

KATA PENGANTAR ……… ix

DAFTAR ISI ………... xiii

DAFTAR SINGKATAN ……… xvi

BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Penulisan Skripsi ………... 1

B. Rumusan Masalah ……….. 4

C. Tujuan Penulisan ……… 5

D. Metode Penulisan ………... 5

E. Sistematika Penulisan ………. 6

BAB II. PENGERTIAN LAGU POP ……….………. 8

A. Musik ……….. 8

1. Definisi Musik ……….. 8

a. Musik sebagai Peristiwa Bunyi ……….. 9

b. Musik sebagai Ungkapan Kejujuran Hati ………….. 10

2. Peranan Musik dalam Berbagai Zaman Kehidupan ……. 11

3. Musik dalam Dimensi Religius sebagai Sarana Mendekatkan Diri pada Allah………... 14 B. Lagu Pop sebagai Bagian dari Musik ………. 15

1. Definisi Lagu Pop ………. 16 2. Lagu Pop sebagai Apresiasi Musik pada Zaman Audio

Visual ………

(14)

xiv

1. Definisi Kaum Muda ……… 24

a. Batasan Usia Kaum Muda ……….. 25

b. Psikologi Perkembangan Kaum Muda ………... 26

c. Perkembangan Keagamaan Kaum Muda …………... 27

2. Kekhasan Kaum Muda Metropolitan ………... 28

3. Tempat Kaum Muda dalam Gereja ……….. 31

B. Pewartaan Iman dalam Gereja ……… 33

1. Pewartaan Iman ……… 34

2. Pewartaan Iman sebagai Kegiatan Komunikasi ………... 36

3. Pewartaan Iman melalui Media ……… 38

4. Macam-macam Model Pewartaan Iman dalam Gereja … 39 a. Pelajaran Agama di Sekolah ………... 40

b. Homili/Kotbah .………... 41

c. Dialog dengan Agama Lain ……… 42

d. Katekese ………. 43

C. Tantangan Pewartaan bagi Kaum Muda Metropolitan pada Zaman Audio Visual ……….. 45 1. Definisi Zaman Audio Visual ………... 46

2. Kendala yang Dihadapi dalam Pewartaan Iman bagi Kaum Muda Metropolitan pada Zaman Audio Visual …. 49 3. Pewartaan Iman yang Sesuai bagi Kaum Muda Metropolitan pada Zaman Audio Visual ……….. 51 BAB IV. PENGGUNAAN LAGU POP DALAM PEWARTAAN IMAN BAGI KAUM MUDA METROPOLITAN PADA ZAMAN AUDIO VISUAL ……… 55 A. Lagu Pop dalam Hidup Kaum Muda Metropolitan ………… 55 B. Lagu Pop dalam Pewartaan Iman bagi Kaum Muda

Metropolitan ………...

58

1. Lagu Pop sebagai Salah Satu Media Pewartaan Iman pada Zaman Audio Visual ………

(15)

xv

Pewartaan Iman berikut Analisisnya ………...

a. “Sandaran Hati” ……….. 70

b. “Kasih Putih” ……….. 73

c. “Karena Cinta” ………... 76

d. “Lilin-lilin Kecil” ………... 79

e. “You Raise Me Up” ……… 82

C. Penggunaan Lagu Pop sebagai Media Pewartaan Iman bagi Kaum Muda Metropolitan ……….. 84 1. Penggunaan Lagu Pop dalam Pelaksanaan Katekese Audio Visual ………. 85 2. Contoh Penggunaan Lagu Pop Dalam Katekese Audio Visual bagi Kaum Muda Metropolitan ……… 86 a. Katekese I ………... 86

b. Katekese II ……….. 90

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………... 95

A. Kesimpulan ………. 95

B. Saran ………... 96

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, h. 8. B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7 Desember 1965.

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi, 18 November 1965.

EN : Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik Paus Paulus VI tentang Evangelisasi dalam Dunia Modern, 8 Desember 1975

GE : Gravissimum Educationis, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen, 28 Oktober 1965.

IM : Inter Mirifica, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial, 4 Desember 1963.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983

(17)

xvii

NA : Nostra Aetate, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristiani, 28 Oktober 1965.

C. Singkatan Lain Art. : Artikel Komsos: Komisi Sosial

(18)

A. Latar Belakang Penulisan Skripsi

(19)

1956 dan 1957, hingga penemuan-penemuan yang lebih canggih seperti komputer yang diintegrasikan dengan telepon, televisi, dan satelit. Fenomena itulah yang lambat laun menggeser eksistensi budaya tulisan yang telah berakar selama kurang lebih 400 tahun serta mengarahkan pada lahirnya zaman berikutnya yaitu zaman audio visual (Iswarahadi, 2003:17-18). Salah satu ciri zaman audio visual adalah jaringan komunikasi yang mencakup seluruh dunia, di mana manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka hidup dalam ‘global village’ yang memungkinkan arus komunikasi mengalir dengan deras tanpa tersekat antarnegara maupun benua, tanpa terhadang laut maupun samudra.

Aliran informasi itu sendiri tentu saja membawa berbagai tawaran sekaligus kebebasan penuh untuk memilih, termasuk di antaranya berbagai tawaran akan budaya dan nilai-nilai baru seperti sekularisme, individualisme, indiferentisme, konsumerisme, dan lainnya. Hal ini perlu diwaspadai karena nilai-nilai baru ini dapat merasuk ke dalam semua lapisan usia tanpa terkecuali, termasuk kaum muda dan menyebabkan mereka kehilangan arah, makna, dan tujuan hidupnya. Untuk menyikapi hal itu, pihak Gereja perlu bergiat untuk merangkul dan menguatkan iman para kaum muda Kristiani agar tidak terjerumus pada tawaran-tawaran yang menyesatkan. Memang hal tersebut bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah, karena Gereja pun tengah berjuang untuk mempertahankan eksistensinya, sebab perkembangan teknologi yang demikian pesat telah meredupkan otoritas Gereja sebagai satu-satunya sumber informasi sekaligus sumber rohani yang dipercaya. Gereja mulai dipandang sebagai sesuatu yang tidak dapat dipercaya dan kehilangan otoritasnya yang sejati.

(20)

dihindari. Sebagaimana yang termuat dalam Inter Mirifica art 1 dan 2, Gereja Katolik memandang perkembangan teknologi informasi sebagai sesuatu yang mengagumkan dan membuka berbagai peluang baru untuk menyalurkan berbagai informasi, gagasan, serta pedoman-pedoman yang mengarah pada terwujudnya Kerajaan Allah di dunia. Kesulitan yang dihadapi justru menjadi tantangan bagi Gereja untuk menggali dan melaksanakan pewartaan dengan menggunakan berbagai media yang mampu menarik minat kaum muda tersebut. Gereja di zaman audio visual ini perlu mengganti wajah pewartaannya dengan wajah yang baru demi efektivitasnya. Wajah baru ini bukan berarti mengganti atau bahkan menghilangkan roh yang memberdayakan, yakni Yesus Sang Guru, melainkan wajah yang mampu mewartakan Yesus sesuai dengan situasi, keadaan, serta minat kaum muda jaman ini. Oleh sebab itu Gereja perlu peka untuk melihat hal-hal apa saja yang menarik bagi mereka.

Salah satu yang menjadi daya tarik bagi kaum muda, khususnya kaum muda metropolitan di jaman ini ialah musik, khususnya lagu pop. Lagu pop merupakan salah satu bentuk media yang ditawarkan oleh zaman audio visual itu sendiri, di mana lagu tersebut merupakan ekspresi kesenian yang menampilkan realitas dalam kemasan yang menawan. Umumnya lagu pop adalah lagu yang ringan dengan syair yang menyentuh hidup sehari-hari, khususnya bagi kaum muda, sehingga mudah diterima dan dicerna. Kemudahan-kemudahan tersebut menjadikan lagu pop demikian populer dan dekat dengan hidup kaum muda, serta memiliki tempat dan keterikatan dalam hati dan jiwa mereka.

(21)

dan disampaikan dalam rangkaian nada. Bila ungkapan keindahan tersebut memiliki kesesuaian kata dengan nilai-nilai yang diwartakan oleh Gereja dan dilantunkan dalam terang iman, lagu tersebut akan menjadi ungkapan iman yang terwartakan dalam nada dan menyentuh secara langsung kedalaman hati kaum muda yang mendengarkannya.

“Lagu Pop sebagai Media Pewartaan Iman bagi Kaum Muda Metropolitan pada Zaman Audio Visual” ditulis sebagai sebuah gagasan atas kegunaan dan peran lagu pop yang selama ini telah menjadi bagian dari hidup kaum muda bagi pewartaan iman oleh Gereja. Judul tersebut diangkat atas gagasan bahwa ada lagu-lagu pop tertentu yang memiliki kesesuaian nilai dengan nilai-nilai Kristiani yang hendak diwartakan oleh Gereja, sehingga dapat digunakan sebagai media pewartaan iman yang efektif bagi kaum muda.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan lagu pop?

2. Apa yang dimaksud dengan zaman audio visual?

3. Bagaimana ciri pewartaan iman pada zaman audio visual?

4. Pewartaan iman macam apa yang efektif bagi kaum muda metropolitan pada zaman audio visual?

5. Kriteria lagu pop seperti apa yang dapat digunakan dalam pewartaan iman?

(22)

C. Tujuan Penulisan

Berkenaan dengan beberapa rumusan permasalahan yang ada, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk memberikan gambaran mengenai lagu pop.

2. Untuk memberikan gambaran mengenai zaman audio visual

3. Untuk memberikan gambaran mengenai ciri pewartaan iman dalam zaman audio visual.

4. Untuk memberikan gambaran mengenai pewartaan iman yang efektif bagi kaum muda metropolitan dalam zaman audio visual.

5. Untuk mendefinisikan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah lagu pop agar dapat digunakan dalam pewartaan iman.

6. Untuk memaparkan peranan lagu pop sebagai media dalam pewartaan iman bagi kaum muda pada zaman audio visual.

7. Untuk memenuhi syarat kelulusan Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik (IPPAK) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.

D. Metode Penulisan

(23)

E. Sistematika Penulisan

Penulis memilih judul skripsi “LAGU POP SEBAGAI MEDIA PEWARTAAN IMAN BAGI KAUM MUDA METROPOLITAN PADA ZAMAN AUDIO VISUAL” yang akan diuraikan dalam lima bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan pendahuluan yang meliputi latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : PENGERTIAN LAGU POP

Bab ini membahas pengenalan terhadap lagu pop yang dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menguraikan musik pada umumnya, memberikan gambaran tentang musik dalam kehidupan sehari-hari dan peranannya dalam dimensi religius. Sedangkan bagian kedua membahas lagu pop secara terperinci.

BAB III : PEWARTAAN IMAN BAGI KAUM MUDA DI ZAMAN AUDIO VISUAL

(24)

BAB IV : PENGGUNAAN LAGU POP DALAM PEWARTAAN IMAN BAGI KAUM MUDA

Bab ini berisikan uraian mengenai tempat lagu pop dalam hidup kaum muda dan penggunaannya dalam pewartaan sebagai salah satu bentuk dari budaya media yang menjadi ‘ground’ dalam pewartaan itu sendiri. Untuk itu akan disampaikan kriteria-kriteria lagu pop yang dapat digunakan dalam pewartaan iman bagi kaum muda dan disertai oleh beberapa contoh lagu berikut analisis serta kemungkinan penggunaannya. Pada bagian akhir akan diberikan contoh usulan penggunaan lagu pop dalam katekese audio visual bagi kaum muda.

BAB V : PENUTUP

(25)

A. Musik

Musik adalah bagian dari seni yang sungguh akrab dengan kehidupan kita, layaknya bahasa yang biasa untuk diucapkan. Musik merupakan perwujudan bunyi yang ditangkap oleh indra pendengaran, bukan indra visual. Seiring perjalanan waktu selama ribuan tahun, musik telah menyesuaikan diri dan berkembang serta mengada dalam berbagai zaman dan kebudayaan. Proses penyesuaian itulah yang melahirkan beragam aliran musik yang dikenal masyarakat saat ini: barok, klasik, rock, pop, dll. Namun musik adalah seni yang tidak lekang oleh waktu karena musik dari zaman mana pun masih bisa tetap dinikmati hingga zaman ini. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Karl Edmund Prier (2004: 3) turut menegaskan bahwa “bahasa musik melampaui batas bahasa, kebudayaan, bahkan agama.” Dengan kata lain, musik merupakan suatu bahasa yang bersifat universal.

1. Definisi Musik

(26)

a. Musik sebagai Peristiwa Bunyi

Pada dasarnya, musik adalah sebuah peristiwa bunyi yang dihasilkan dari suatu benda yang bergetar pada frekuensi 20 sampai dengan 20.000 Hz dan ditangkap oleh indra pendengaran manusia. Hal yang membedakan bunyi sebagai musik dengan bunyi sebagai suara gaduh (noize) terletak pada kemampuan pendengaran manusia dalam menangkap bunyi tersebut dan kemampuan persepsi atasnya.

Setiap orang mempunyai pengalaman dan kemampuan persepsi sensorik yang berbeda-beda dalam mendengarkan bunyi, dan juga setiap orang mempunyai perspektif yang berbeda-beda dalam mempersepsi bunyi itu. Oleh karenanya, dengan pengalaman dan pengetahuan yang memadai memungkinkan orang mampu mempersepsi secara partikular dan dengan pendengarannya ia mampu membedakan aneka ragam bunyi (Tri Harjono, 1999: 43-45).

(27)

memiliki karakter dan sifat yang berbeda dalam menentukan bunyi yang dihasilkan. Ketiga unsur itulah yang pada akhirnya menjadikan bunyi sebagai sebuah musik.

b. Musik sebagai Ungkapan Kejujuran Hati

Musik adalah bahasa yang menjadi simbol dari pikiran sekaligus sarana untuk mengungkapkan pikiran melalui nada. Dalam musik nada-nada tersebut mengada dan menjadi simbol presentasi pemikiran terhadap pendengarnya. Layaknya sebuah bahasa yang bersifat metaforis karena tidak mampu melukiskan hal-hal secara langsung, musik pun menggunakan jalan tidak langsung yang sarat akan arti dan makna yaitu melalui melodi, ritme, serta harmoni. Pemilihan ketiga unsur pembentuk musik tersebut disesuaikan dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh penciptanya serta akan menentukan hasil musik yang diciptakan Hal tersebut menjadikan “musik dapat dirasakan namun tidak dapat dipahami, dapat dikenali namun tidak sepenuhnya dapat diterangkan.” (Tri Harjono, 1999: 54-56) Pendengar musik dapat menangkap apa yang hendak disampaikan oleh penciptanya, meskipun tidak sepenuhnya dapat menerangkan maksudnya. Mereka dapat merasakan emosi kesedihan, kebahagiaan, maupun kekecewaan dalam musik yang mereka dengar, namun tidak dapat sepenuhnya memahami. Musik menjadi sebuah bahasa yang dapat dirasakan dalam hati, namun sulit diterangkan dengan logika.

(28)

Hal senada pun turut diungkapkan oleh filsuf Arthur Schopenhauer sebagaimana yang termuat dalam Budaya Media (Batmomolin, dkk., 2003: 72). Ia mengatakan bahwa “musik adalah bentuk tertinggi dari karya kesenian. Semua bentuk karya seni yang lain hanya merupakan representasi dari esensi utama dari satu hal atau barang, sementara musik adalah esensi itu sendiri. Ia adalah hal atau barang itu sendiri.” Pernyataan tersebut didukung pula oleh pernyataan Schopenhouer sebagaimana dikutip oleh Tri Harjono (1999:42) dalam Musik sebagai Revelasi Ilahi. Di sana tertulis bahwa “musik tidak seperti seni-seni lainnya yang merupakan representasi dari ide-ide, tetapi musik adalah copy of the will itself. Musik mengekspresikan the inner being, the in-itself of the world.”

Semua pernyataan di atas tersebut pada akhirnya menegaskan kekuatan musik sebagai ungkapan kejujuran hati yang terdalam. Musik menjadi sebuah ekspresi yang menggambarkan emosi manusia sesuai apa adanya serta menggiring pendengarnya untuk masuk dalam pengalaman personal emosional yang intim di dalamnya (Tri Harjono, 1999: 47-48).

2. Peranan Musik dalam Berbagai Zaman Kehidupan

(29)

mengendalikan dan menguasai hawa nafsu yang mengakibatkan kecenderungan untuk melakukan suatu hal yang jahat (Prier, 2004: 5-6).

Sedangkan kebudayaan Yunani zaman klasik (± 500 SM) tidak hanya terbatas pada bidang seni tersebut. Zaman ini merupakan zaman kejayaan ilmu pengetahuan (filsafat) yang kemudian melahirkan beberapa tokoh filsuf Yunani klasik. Beberapa tokoh filsuf tersebut menguraikan teori estetika musik untuk mencoba menerangkan keindahan musik itu sendiri dan peranannya bagi kehidupan masyarakat. Salah satu tokoh filsuf di antara mereka yang bernama Aristoteles (Prier, 2004: 39-41) mengemukakan tiga kemungkinan pengaruh musik pada manusia:

Sebagai suatu hiburan enak yang mempengaruhi hati manusia seperti halnya yang terjadi pada pelbagai jenis tarian, minuman tertentu, dan lain-lain … Sebagai suatu pembentukan watak manusia, seperti yang dapat terjadi pada kaum muda yang dididik lebih tangkas, berdasarkan gerakan-gerakan badan yang harmonis pada tarian dan gymnastik yang diiringi dengan musik. Sebagai suatu perintang waktu tetapi yang luhur sifatnya, sampai menjadi alat untuk mencapai kemajuan dan kebahagiaan rohani pada manusia.

Aristoteles memang menilai musik sebagai bentuk hiburan yang paling tinggi di antara seni-seni lainnya, bahkan ia menganggap musik bernilai sama tinggi dengan ilmu pasti dan filsafat.

(30)

mencerminkan kebaikan dan menghubungkan jiwa para pendengarnya dengan seisi surga.

Seiring perjalanan waktu, pada abad pertengahan (± 375-1400 M) berkembang musik Gregorian yang kemudian berperan dalam perkembangan musik liturgi Gereja. Musik Gregorian dinilai memiliki keindahan yang melebihi keindahan musik-musik lain serta mencerminkan suasana ketenangan dan renungan, sehingga tepat digunakan dalam peribadatan. Peranan lagu Gregorian dalam peribadatan pada masa itu kian ditegaskan berdasarkan kebijaksanaan Paus Gregorius Agung yang kemudian memerintahkan agar lagu-lagu tersebut digunakan sebagai nyanyian resmi dalam ibadat (Prier, 2004: 86-102).

Musik memang merupakan seni yang telah mengarungi masa ribuan tahun dengan turut berakar dan berperan di dalam perkembangan kehidupan dan kebudayaan manusia pada setiap zaman, bahkan hal tersebut terus berlangsung hingga kini. Pada zaman audio visual ini, musik telah menjadi salah satu bentuk budaya media yang merupakan sarana komunikasi yang efektif dalam pengungkapan dan penyebarluasan opini. Ia mampu menyentuh hati pendengarnya dan membuat mereka terpesona atasnya. Musik mampu mengemas suatu pesan yang biasa menjadi sesuatu yang baru dan memiliki kesan yang kuat (Batmomolin, dkk., 2003: 72-73).

(31)

3. Musik dalam Dimensi Religius Sebagai sarana Mendekatkan Diri pada Allah

Ketika manusia mencoba mengenal dan mendekatkan diri pada Allah, seringkali manusia jatuh pada berbagai konsep rumusan dogma-dogma teologi serta tradisi. Manusia berusaha serta berupaya untuk memahami Allah melalui ranah kajian teori dan rumusan-rumusan yang ada, sehingga cenderung melupakan bahwa Allah tidak akan terselami oleh keterbatasan akal manusia semata. Berkaitan dengan itu, Tri Harjono (1999: 68) mengungkapkan:

Pemahaman manusia akan wahyu ilahi selama ini lebih pada teori dan rumusan yang sulit dipahami, dan orang cenderung melupakan potensi yang ada dalam diri insani. Potensi yang ada dalam diri manusia dibatasi oleh sekat-sekat ideologi yang kaku dan membatasi. Titik rawan eksistensi manusia adalah ketika keberadaan dan potensinya dikebiri dan dimanipulasi.

Pengenalan serta pendekatan akan Allah perlu didasari pada potensi dasar manusia yang dianugerahkan oleh Allah sendiri, yaitu keterpesonaan dan keterkaguman saat merasakan kehadiran Allah yang tampil dalam kebenaran, kebaikan, dan keindahan (Tri Harjono, 1999: 61). Foley (1995: 177) sendiri mengungkapkan bahwa keindahan adalah kunci pertama untuk menyebut Allah sebagai Yang Ilahi. Dengan merasakan keindahan tersebut manusia dapat merasakan dan mengalami Allah sendiri.

(32)

bahwa kemampuan mendengar merupakan potensi dasar manusia sejak awal di mana manusia mulai mengada.

‘Mendengar’ bisa juga merupakan dasar memahami realitas, bukan ‘melihat’, karena ‘melihat’ lebih pada mengontrol daripada menerima dan membiarkan diri seperti dalam peristiwa mendengarkan. Mendengar merupakan potensi paling awal … Jadi, medengar merupakan potensi murni dan paling efektif dalam menerima wahyu Ilahi (Tri Harjono, 1999: 69-70).

Potensi murni yang dimiliki oleh indra pendengaran merupakan keunggulan musik yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sendiri. Melalui musik manusia diajak untuk jujur pada keindahan dan kebenaran yang dialami dan dirasakan, sehingga dapat mengarah, mendekati, dan mengenali Allah sendiri yang ada dalam jiwa setiap manusia. Melalui keindahan musik, Allah dapat dikenali dan dialami.

B. Lagu Pop sebagai Bagian Musik

(33)

Musik pop memiliki karakter dasar: seluruh strukturnya tidak bisa menghindar dari standardisasi baik secara kompositorik (kord sederhana, melodi dengan tingkat tangga nada terbatas, pola ritme sederhana, banyak repetisi, dan seterusnya) maupun tema lirik (yang berkisar tentang pengalaman cinta, persoalan rumah tangga, ratapan, dan pengalaman kehidupan cinta pada umumnya). Ini berbeda dengan musik serius yang mengutamakan detail pada keseluruhan bangunan komposisi.

Meskipun para pemerhati musik melancarkan kritik, lagu pop tetap digemari masyarakat luas. Penjualan kaset-kaset maupun CD para bintang pop tersebut tetap tinggi, bahkan menembus angka ratusan ribu bagi bintang-bintang tertentu. Hal tersebut seolah menegaskan bahwa lagu-lagu pop tersebut sungguh digemari oleh masyarakat luas. Kesederhanaan komposisi dan tema lirik justru memiliki kemampuan memikat dan mempesonakan yang luar biasa (Batmomolin, dkk., 2003: 77).

1. Definisi Lagu Pop

Sebuah artikel dalam majalah GONG memuat pernyataan Arnold Hauser yang mencoba membagi strata seni ke dalam 4 kategori, yaitu high art, folk art, popular art, dan pop art. High art merupakan seni tinggi yang didukung oleh para

(34)

tidak akan pernah lepas dan berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh aliran musik lainnya. Lagu pop sendiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh aliran-aliran musik yang lain. Pernyataan tersebut seolah ditegaskan oleh sebuah situs ensiklopedi di internet (NN, 2007: 1) yang mencoba menguraikan sebuah definisi mengenai lagu pop:

Pop music (often called simply pop) is a genre of popular music .... The term indicates specific stylistic traits such as a danceable beat, simple melodies and a repetitive structure. Pop music often includes elements of rock, hip hop, reggae, dance, R&B, funk, and sometimes even folk.

Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui bahwa meskipun lagu pop seringkali dipengaruhi oleh aliran-aliran musik lainnya, lagu pop tetap memiliki sebuah ciri khas dasar yang demikian mudah dikenali. Ciri khas tersebut terkait pada kesederhanaan, baik kesederhanaan melodi maupun lirik. Seno M. Hardjo mengungkapkan ciri-ciri standar sebuah lagu pop:

Ciri-ciri bentuk musikalnya bisa dilihat dari pilihan melodi lagu, yang sengaja meringankan diri, harmoni dan melodius, mendayu-dayu kalau bisa membuat jantung robek karena kesahihannya mencekal kebutuhan permukaan seorang manusia. Banyak pengulangan yang menjadi senjata perayu pendengar. Liriknya lebih parah lagi, senantiasa bicara cinta. Berkisar tentang kebutuhan permukaan rasa pendengarnya… Sementara bentuk instrumentasinya juga dibuat mengikuti bentuk lagu. Tidak perlu dikasih tanda berlebihan. Ornamen musiknya enak di kuping dan ada bagian tertentu yang mudah diingat (2006: 24-25).

(35)

Pop berasal dari kata populer atau populis yang berarti umum atau penduduk (masyarakat) kebanyakan. Kata pop mulai dikenal secara luas di akhir tahun 1950-an atau awal tahun 1960-an. Kata “pop” mulanya dipakai sebagai slogan penanda gerakan seni masyarakat luas secara umum (populis) melawan seni serius yang dianggap terlalu mapan dan ekslusif untuk kalangan tertentu saja. Gerakan budaya pop ini (pop culture) merambah semua disiplin kesenian … Pop art (seni pop) membuka pintu wilayah seninya lebar-lebar untuk semua anggota masyarakat yang terasing dalam dunia seni. Tak terkecuali. … Seni yang bersifat massal diupayakan untuk memenuhi kebutuhan selera masyarakat dengan material yang mudah dicerna, mudah diingat, dan gampang diterima… Kesenian coba diupayakan untuk membuka keakraban yang lebih familiar antara dirinya dengan masyarakat umum seluas-luasnya (Hardjana, 2006: 16-17).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami alasan dibalik kesederhanaan yang membungkus kemasan musik pop. Pada dasarnya lagu pop merupakan seni untuk menjawab selera pasar. Ia muncul untuk memenuhi kebutuhan dan kehausan masyarakat akan musik yang dapat diterima dengan mudah. Kesederhanaan itulah yang menjadikan lagu pop dapat diterima oleh masyarakat dengan mudah tanpa harus berpikir keras sebelumnya karena untuk menikmati lagu tersebut tidak dibutuhkan latar belakang pendidikan maupun pengetahuan khusus mengenai lagu tersebut.

2. Lagu Pop sebagai Apresiasi Musik pada Zaman Audio Visual

(36)

serta harmoni yang lebih hidup dan hangat (Prier, 2004: 131-132). Hal serupa pun terjadi pada masa Barok (1600-1750). Pada masa itu, orang berorientasi pada khayalan yang fantastis serta sesuatu yang tidak jelas dan berbelit-belit untuk mengungkapkan kemewahan. Oleh karena itu musik pun diekspresikan dalam rangkaian nada yang mewah dan tidak wajar.

Setelah melalui jalinan sejarah yang panjang dan menyesuaikan diri dengan berbagai kebudayaan setempat di berbagai zaman, musik pun bertemu dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan pada zaman audio visual ini. Zaman audio visual sendiri pada dasarnya adalah zaman teknologi informasi dan komunikasi di mana media menjadi budayanya (Batmomolin, dkk., 2003: 31). Di dalam budaya media, media tidak lagi hanya sekedar menjadi peraga dalam penyampaian pesan melainkan menjadi pemeran utama yang mengintegrasikan pesan itu sendiri. Perpaduan sempurna antara gambar (image) dan suara (sound) dikemas sedemikian rupa sehingga menciptakan hal-hal spektakuler dan menyampaikan suatu pandangan dan nilai yang berasal dari keseharian kita. Demikian pula halnya dengan musik, di dalam budaya tersebut musik pun menjadi sebuah media yang mengkomunikasikan visi tertentu.

(37)

Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, lagu pop telah menunjukkan kapasitas kemampuannya sebagai sebuah media pembawa pesan sekaligus menjadi pesan itu sendiri. Ia hadir sebagai salah satu bentuk budaya media berupa ekspresi kesenian yang menampilkan realitas dalam kemasan yang menawan. Kapasitas itulah yang pada akhirnya mengukuhkan lagu pop sebagai wujud apresiasi musik pada zaman audio visual.

3. Lagu Pop dalam Hidup Sehari-hari

(38)

hanya sebatas musik yang didengar semata, melainkan juga berkaitan erat dengan gaya hidup dan fashion di antara mereka (Emka, 2006: 22).

Gaya hidup dan fashion adalah habitat alami sekaligus menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai satu paket utuh dari sebuah lagu pop. Sebagai contoh: ketika grup cantik Ratu naik daun dengan lagu-lagu “Teman Tapi Mesra” dan “Buaya Darat”, gaya berpakaian centil dan ‘tabrak lari’ yang kontras langsung ditiru oleh mayoritas gadis-gadis muda. Contoh tersebut diperkuat pula dengan realitas yang diungkap oleh Heru Emka dalam majalah GONG:

Untuk menikmati gaya hidup heavy metal, anak muda di berbagai kota kecil di Jawa Tengah (misalnya Kendal, Kaliwungu, Batang, dan sebagainya) cukup mengadopsinya dengan memanjangkan rambut, mengenakan kaos hitam berhias sablon bintang metal seperti metallica dan sebagainya, sambil tentu saja mendengarkan musik gaduh riuh itu sesering mungkin (2006: 22).

Dengan berbusana seperti itu mereka merasa telah turut mengambil bagian dalam gaya hidup yang ditawarkan oleh grup tersebut, sehingga mereka semakin merasa dekat dengan para pujaannya.

Konsep gaya hidup demikian pun turut mempengaruhi konsep pasar musik lagu pop dewasa ini. Sebelumnya, lagu pop tersebut dijual dalam bentuk produk album kaset dan cakram CD (Compact Disc) di toko-toko kaset maupun gerai-gerai musik lainnya. Kini meskipun produk dan pola penjualan lama masih berjalan, perlahan namun pasti pasar musik mulai berpindah ke dunia cyber. Dalam dunia cyber ini, lagu pop ‘dijual’ dalam bentuk ring tone (bunyi panggil) dan ring back

tone (nada tunggu) untuk para pengguna hand phone. Bahkan untuk pengguna hand

phone serta operator selular tertentu disediakan fasilitas-fasilitas khusus yang dapat

(39)

Para Slanker semakin merasa akrab sebagai bagian dari komunitas musik grup Slank secara ‘personal’, karena setiap saat mereka bisa terkoneksi dengan Slank atau para personilnya dengan mengakses lewat cara tertentu pada perangkat ponsel. Para pencinta musik pop (di) Indonesia bisa setiap saat menikmati lagu, video klip, wallpaper, foto-foto, bahkan ngobrol dengan bintang idolanya. Bukankah ini merupakan suatu kelebihan yang tak ada sebelumnya? (Emka, 2006:23)

(40)

Pada hakikatnya manusia bukanlah makhluk statis. Manusia adalah makhluk dinamis yang mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan berlalunya waktu dalam rentang kehidupan. Perkembangan tersebut tidak hanya sebatas pertumbuhan fisik, melainkan juga secara psikologis berkaitan dengan tahap-tahap kehidupan tertentu. Hurlock (1990) melakukan sebuah pendekatan terhadap tahapan-tahapan dalam rentang kehidupan manusia dengan membaginya ke dalam beberapa masa: periode pranatal, periode neonatal, periode bayi, awal dan akhir masa kanak-kanak, masa puber, masa remaja, masa dewasa dini, usia madya, dan usia lanjut.

(41)

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa dalam menentukan perlakuan dan penanganan yang tepat bagi masing-masing pribadi tidak hanya dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh terhadap karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing tahapan. Faktor pemahaman terhadap budaya yang melingkupi pribadi yang bersangkutan pun perlu diperhitungkan dengan seksama.

Hal tersebut pun perlu diperhatikan oleh Gereja dalam melaksanakan tugas pewartaannya. Gereja perlu menyadari bahwa dalam tugasnya untuk mewartakan Sabda Allah Gereja perlu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi umat yang dihadapi demi efektivitas pewartaan iman itu sendiri.

A. Kaum Muda dalam Gereja

Dalam berbagai masa sepanjang rentang hidup manusia masa muda merupakan tahap perkembangan yang paling dinamis, sebab pada masa itu seseorang mengalami banyak perubahan progresif secara fisik, kognitif, psikologis, sosiologis, serta emosional yang menuju pada integrasi kepribadian yang semakin matang dan bijaksana (Dariyo, 2003: ix). Kaum muda merupakan bibit-bibit penerus yang perlu dipelihara dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, karena di tangan merekalah masa depan Gereja terletak. Hal tersebut perlu disadari oleh Gereja dengan sungguh-sungguh.

1. Definisi Kaum Muda

(42)

tengah duduk di bangku perkuliahan serta belum menikah. Tentu saja pendapat tersebut pun masih memiliki kelemahan dari segi ilmiah. Bagaimana dengan mereka yang masih duduk di bangku kuliah namun telah menikah? Bagaimana dengan mereka yang telah lulus namun belum menikah?

a. Batasan Usia Kaum Muda

Istilah ‘kaum muda’ merupakan kata yang umum digunakan dalam kehidupan namun sulit didefinisikan secara jelas, khususnya mengenai batasan usia. Para ahli sendiri pun memiliki keanekaragaman pendapat mengenai batasan ‘muda’ tersebut. Bahkan dalam sebuah buku yang berbicara mengenai psikologi perkembangan manusia, Hurlock (1990: 206, 246) tidak menjelaskan tahapan kehidupan yang disebut dengan istilah ‘kaum muda’ secara spesifik. Tahapan yang mendekati kriteria ‘muda’ dijabarkan dalam dua masa yaitu masa remaja dan masa dewasa dini. Masa remaja sendiri dimulai pada usia tiga belas tahun hingga delapan belas tahun, sedangkan masa dewasa dini dimulai pada usia delapan belas tahun hingga empat puluh tahun. Uraian ini dapat diterima secara ilmiah, namun masih terdapat ganjalan berkenaan dengan rentang batasan usia yang terlampau jauh serta akhir masa dewasa dini yang terlalu tua untuk dikategorikan sebagai ‘kaum muda’.

(43)

Dengan ‘muda mudi’ dimaksudkan kelompok umur sexennium ketiga dan keempat dalam hidup manusia (± 12 – 24 tahun). Bagi yang bersekolah, usia ini sesuai dengan usia Sekolah Lanjutan dan Perguruan Tinggi. Ditinjau dari segi psikologis, seringkali patokan usia di atas perlu dikoreksi dengan unsur status sosial seseorang dalam masyarakat tertentu (kedewasaan psikologis). Status sosial yang dimaksudkan ialah hak dan tugas orang dewasa yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan tata kebiasaan masyarakat tertentu. Status sosial ini seiring sejalan dengan status berdikari di bidang nafkah dan atau status berkeluarga. Unsur status sosial ini menyebabkan seseorang yang menurut usianya masih dalam jangkauan muda mudi bisa dianggap sudah dewasa, dan sebaliknya orang yang sudah melampaui usia tersebut masih dapat dianggap muda-mudi.

Batasan di atas dapat ditarik sebagai patokan umum, khususnya berkaitan dengan batasan kaum muda yang dibicarakan dalam keseluruhan tulisan ini. Oleh sebab itu dapat ditarik kesimpulan bahwa batasan kaum muda ditujukan pada mereka yang berumur kurang lebih 12 hingga 24 tahun dengan memperhatikan kekhasan segi psikologis serta sosiologis yang ada.

b. Psikologi Perkembangan Kaum Muda

(44)

pernah mereka alami sebelumnya dan penyesuaian diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Sedangkan berkaitan dengan perubahan moral dan kepribadian, pada tahap ini mereka mulai belajar untuk memperbaiki dan membentuk kepribadian serta mengendalikan perilaku yang bertanggung jawab dengan tuntunan dari suara hati mereka sendiri (Hurlock, 1990: 206 - 234).

Pada rentang usia berikutnya (18-24 tahun) mereka memasuki gerbang awal masa dewasa dini di mana mereka mulai bersiap-siap untuk menerima status baru sebagai orang dewasa yang mandiri serta memiliki komitmen dan bertanggung jawab atas hidup mereka. Ketergantungan terhadap orangtua maupun lingkungan memang masih dirasakan, namun timbul kesadaran dalam diri mereka untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat lepas dari ketergantungan tersebut. Selain itu, gerbang awal masa dewasa dini ini merupakan suatu masa transisi di mana mereka mulai menyesuaikan diri dengan pola-pola kehidupan serta mempersiapkan peran-peran baru seperti peran sebagai suami/isteri, sebagai pencari nafkah, maupun sebagai orangtua (Hurlock, 1990: 246-251).

c. Perkembangan Keagamaan Kaum Muda

(45)

Dari sekian banyak perkembangan yang dialami kaum muda, terdapat perkembangan yang sungguh turut mempengaruhi perubahan pengalaman religius yaitu perkembangan kognitif. Piaget (1969: 130) menggambarkan pertumbuhan kognitif kaum muda sebagai gerak peralihan dari cara berpikir konkret menuju cara berpikir proporsional. Pertumbuhan kognitif ini memudahkan kaum muda untuk berpikir secara abstrak, di mana mereka tidak lagi melihat suatu obyek secara konkret melainkan dapat menganalisis dan membuat generalisasi tentang sifat maupun ciri-ciri umum dari obyek tersebut. Dengan kemampuan inilah kaum muda dimungkinkan untuk melakukan transisi dari agama lahiriah menuju agama batiniah, meninggalkan agama anak-anak yang diperoleh dari lingkungannya menuju agama iman yang sifatnya sungguh-sungguh personal. Contohnya dalam menafsirkan teks Kitab Suci, mereka tidak lagi melihat teks tersebt secara konkret sebagaimana adanya yang tertulis, melainkan membangun konsep, menarik kesimpulan, serta melihat relevansi kebenarannya dalam pengalaman hidup mereka (Crapps, 1994: 23-25).

2. Kekhasan Kaum Muda Metropolitan

(46)

Perkotaan metropolitan dapat didefinisikan sebagai suatu kawasan yang merupakan aglomerasi dari beberapa kota yang berdekatan dan terkait dalam satu sistem kegiatan sosial ekonomi, termasuk prasarana dan sarana penunjangnya, dengan satu kota utama berperan sebagai inti dan kota-kota lainnya sebagai satelit. Secara demografis kota metropolitan berpenduduk besar (untuk Indonesia diambil ukuran lebih besar dari 1 juta jiwa) dan mempunyai kepadatan tinggi. Pada umumnya kota metropolitan juga menjadi pusat kegiatan ekonomi seperti industri, jasa, dan finansial dan terkait dengan sekitarnya. Keterkaitannya tercermin dari sistem jaringan infrastruktur dan hubungan sosial ekonomi… Dengan pendekatan tersebut, maka yang termasuk sebagai perkotaan metropolitan di Indonesia adalah: Medan, Semarang, Palembang, Surabaya, Jakarta, Denpasar, Bandung, dan Makasar.

Berangkat dari pengertian metropolitan tersebut, pembicaraan mengenai kaum muda metropolitan dapat dipahami sebagai pembicaraan mengenai kaum muda yang bertempat tinggal di wilayah-wilayah tersebut.

Tentu saja kehidupan masyarakat di desa maupun pelosok berbeda dengan kehidupan masyarakat di kota metropolitan. Perbedaan tersebut dapat dilihat berdasarkan kekhasan pola hidup yang menjadi ciri kaum muda berdasarkan tempat hidupnya masing-masing, meski tetap perlu disadari adanya persamaan karakter dasar yang dimiliki kaum muda pada umumnya.

(47)

(place) seperti yang umumnya masih dilakukan oleh masyarakat desa (Batmomolin, 2003: 135-141).

Pola interaksi dan komunikasi semacam itu turut mempengaruhi pola dan gaya hidup kaum muda metropolitan itu sendiri. Kebiasaan belajar serta mengerjakan tugas tidak lagi harus dilakukan di rumah. Bahan serta referensi tidak perlu lagi dicari di perpustakaan. Keinginan untuk memperoleh hiburan, baik berupa tayangan televisi maupun siaran radio, tidak semata terpuaskan dengan duduk di depan televisi maupun di hadapan radio di kamar. Semua itu dapat dilakukan di luar rumah, di tengah-tengah pusat perbelanjaan, maupun di café, hanya dengan bermodalkan teknologi. Belajar, bersantai, dan bersenang-senang dapat dikerjakan di tempat yang sama, pada waktu yang sama. Pelajar berseragam sekolah yang duduk di mall untuk menikmati minuman segar dengan laptop terbuka di hadapannya merupakan pemandangan yang umum dalam mall-mall di kota metropolitan. Di tempat itu, ia dapat mengerjakan tugas-tugasnya menggunakan laptop dengan bahan-bahan yang ia peroleh dari internet menggunakan fasilitas hot spot yang bertebaran di mana-mana. Dunia sungguh seolah telah berada dalam genggaman.

Pola hidup demikian pada akhirnya memudahkan kaum muda metropolitan untuk memperoleh akses seluas-luasnya, tidak hanya pada dunia pengetahuan, tetapi sekaligus juga membuka akses pada dunia hiburan. Perangkat telepon genggam telah berkembang sedemikian majunya, sehingga dapat digunakan untuk menonton tayangan televisi maupun mendengarkan siaran radio.

(48)

metropolitan. Jajak pendapat tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa kemudahan akses informasi melalui berbagai media yang ada telah menimbulkan kecenderungan bagi kaum muda metropolitan untuk meniru gaya hidup barat dan nilai-nilainya tanpa melalui proses seleksi terlebih dahulu. Gaya hidup tersebut berkaitan dengan masalah moral, seksual, serta sifat konsumerisme. Selain itu, hasil jajak pendapat turut mengungkapkan keraguan yang tersembunyi dalam diri kaum muda metropolitan mengenai kehidupan keagamaan.

Mayoritas di antara mereka (di atas 95%) menganggap bahwa agama membentuk manusia menjadi baik dan berakhlak. Ironisnya, banyak yang ragu-ragu (di atas 50%), apakah agama justru membatasi kreativitas dan mengekang pergaulan? Boleh jadi, kontroversi ini terjadi lantaran pemahaman agama yang kurang dalam, sehingga mereka melihat seolah ajaran agama cuma penuh dengan larangan. Jadilah agama kurang populer apalagi diguncang pengaruh budaya barat yang bebas. Timbullah konflik batin yang seyogianya diredakan para orangtua (Lubis, 1998).

3. Tempat Kaum Muda dalam Gereja

Pada dasarnya Gereja menyadari bahwa generasi muda adalah masa depan serta harapan Gereja dan mereka menjadi tulang punggung Gereja sendiri. Secara tegas Komisi Kepemudaan KWI (2002) menyatakan bahwa:

Kaum muda adalah harapan Gereja, bangsa dan negara. Mereka adalah penentu, sekaligus pembaharu Gereja, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan. Di atas pundak mereka terletak tanggung jawab bagi kelangsungan hidup dan perekembangan Gereja, masyarakat, bangsa dan negara. Demi tugas dan tanggung jawab di masa depan itu Gereja Indonesia senantiasa memperhatikan, meningkatkan dan mengembangkan pembinaan dan pendampingan kaum muda.

(49)

Kristiani, menjawab serta menanggapi kebutuhan mereka, dan memampukan mereka bertanggungjawab dan berperan sosial aktif” (Tangdilintin, 1984: 13).

Beranjak dari harapan tersebut, pembinaan kaum muda menjadi suatu bentuk pelayanan Gereja yang bertitik tolak dan berpusat pada kaum muda itu sendiri, di mana mereka ditempatkan sebagai subyek dan pusat bina. Dengan kata lain Gereja menghargai kaum muda sebagai sosok pribadi yang utuh dan tengah berkembang dengan segala potensi dan kemampuan diri yang dimiliki berikut berbagai masalahnya. Kaum muda bukanlah sekedar ‘komponen masa depan’ yang menjadi obyek pembinaan Gereja, di mana mereka dipandang baru dapat berperan di masa depan. Kaum muda memang merupakan generasi penerus Gereja, namun bukan berarti mereka tidak dapat berbuat sesuatu pada masa sekarang ini. Dengan meletakkan kaum muda sebagai subyek pembinaan, Gereja mengakui keberadaan mereka sebagai “komponen masa kini” yang dapat berperan serta dan menggambil bagian dalam dinamika hidup menggereja pada masa sekarang ini. Bahkan Gereja memandang bahwa pemberian peranan serta tanggung jawab bagi kaum muda merupakan salah satu bentuk dan upaya dari pembinaan itu sendiri (Tangdilintin, 1984: 9-13).

(50)

kerjasama dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pembinaan dan pendampingan kaum muda, serta menginformasikan dan menjelaskan visi pembinaan yang diinginkan oleh Gereja. Pembentukan Komisi Kepemudaan dilaksanakan di tingkat nasional dalam naungan Konferensi Wali Gereja Indonesia maupun di tingkat lokal keuskupan dan paroki, dengan tujuan agar pelayanan terhadap kaum muda tersebut dapat terlaksana secara menyeluruh dan terorganisir (Komisi Kepemudaan KWI, 2002).

B. Pewartaan Iman dalam Gereja

(51)

1. Pewartaan Iman

Sepanjang zaman, Gereja selalu berupaya untuk mengusahakan datangnya Kerajaan Allah yang terwujud melalui keselamatan umat manusia secara utuh sebagaimana yang dikendaki dan direncanakan oleh Allah sendiri. Demi menjawab keprihatinan tersebut, Gereja turut mengambil bagian dalam tritugas Yesus Kristus sendiri, yakni tugas nabi, tugas imami, dan tugas rajawi. Tugas nabi merupakan tugas pewartaan yang dijalankan oleh Gereja dalam fungsi kerygma, tugas imami merupakan tugas pengudusan atau perayaan yang dijalankan Gereja melalui fungsi liturgia, sedangkan tugas rajawi diartikan sebagai tugas melayani yang dijalankan oleh Gereja melalui fungsi diakonia.

(52)

Kepada Gereja dipercayakan oleh Kristus Tuhan khasanah iman agar Gereja dengan bantuan Roh Kudus menjaga kebenaran yang diwahyukan tanpa cela, menyelidikinya secara lebih mendalam serta memaklumkan dan menjelaskannya dengan setia; Gereja mempunyai tugas dan hak asasi untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa, pun dengan alat-alat komunikasi sosial yang dimiliki Gereja sendiri, tanpa tergantung oleh kekuasaan insani mana pun juga (KHK kan.747 §1).

Perlu diperhatikan sungguh bahwa pewartaan Sabda Allah yang dimaksud oleh Gereja bukanlah sekedar informasi teoritis mengenai Allah yang bertujuan untuk mengadakan kristenisasi dengan memperoleh pengikut baru sebanyak-banyaknya. Bahkan dalam AG 13 dijelaskan secara tegas bahwa Gereja melarang keras upaya pewartaan sebagai bentuk kristenisasi, di mana orang dipaksa maupun dibujuk untuk mengikuti Kristus. Pewartaan Sabda Allah yang dilakukan oleh Gereja merupakan penyampaian sabda yang membebaskan, menerangi, dan menafsirkan hidup manusia serta memberikan harapan kepada umat manusia di tengah berbagai pengaruh kehidupan. Khususnya, di tengah dunia saat ini yang penuh dengan perubahan yang demikian beruntun dalam segala segi kehidupan yang menimbulkan kemalangan, penderitaan, keburukan, dan kejahatan. Dengan kata lain, pewartaan Sabda Allah adalah pewartaan iman akan Kristus yang datang menyelamatkan dan memberikan harapan akan Kabar Gembira. Pewartaan Sabda Allah terwujud sebagai jawaban Gereja atas panggilan Kristus sendiri dalam bentuk kesaksian akan harapan tentang Kerajaan Allah yang sungguh dirasakan (Adisusanto, 2000: 17, 20).

(53)

2. Pewartaan Iman sebagai Kegiatan Komunikasi

Disadari maupun tidak, komunikasi ada di mana-mana, menyentuh setiap aspek dalam kehidupan, bahkan mengisi hampir keseluruhan waktu manusia. Komunikasi merupakan sebuah proses yang mendasar dalam kehidupan, proses yang berpengaruh besar dalam pertumbuhan kepribadian manusia. Berkenaan dengan itu, Dictionary of Behavioral Science (Wolman, 1973: 69) menjabarkan arti komunikasi

dalam enam pengertian:

Communication 1) The transmission of energy change from one place to another as in the nervous system or transmission of sound waves. 2) The transmission or reception of signal or messages by organisms. 3) The transmitted message. 4) (Communication theory). The process whereby system influences another system through regulation of transmitted signals. 5) The influences of one personal region on another whereby a change in one results in a corresponding change in the other region. 6) The message of a patient to his therapist in psycotherapy.

Berdasar pengertian-pengertian tersebut dapat terlihat bahwa komunikasi memiliki makna yang amat luas, di mana komunikasi dapat dipahami sebagai penyampaian energi, gelombang suara, tanda, maupun sistem bahkan pesan pasien psikoterapi. Di antara berbagai pengertian tersebut, terdapat satu hal mendasar di mana komunikasi selalu dimaknai sebagai suatu usaha dalam menyampaikan sesuatu. Hal senada pun diungkapkan oleh Black Jay dan Frederick Whitney yang memandang komunikasi sebagai proses dimana masing-masing individu terlibat dalam tukar menukar makna (1992: 5). Melalui definisi di atas, dapat dipahami bahwa:

Komunikasi tidak hanya terdiri dari pernyampaian pesan secara verbal, langsung dan dengan maksud tertentu, melainkan juga semua proses dimana orang saling mempengaruhi satu sama lain… Penyebaran makna bukanlah sekedar pengiriman atau penerimaan informasi, melainkan hasil dari kegiatan menerima dan memberi melalui interaksi sosial (Iswarahadi, 2007).

(54)

wahyu, di mana wahyu terjadi semata-mata karena prakarsa Allah sendiri dengan tujuan mengundang manusia untuk ikut serta dalam persekutuan Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Wahyu merupakan sapaan Allah, komunikasi pribadi antara Allah yang transenden untuk memperkenalkan diriNya sendiri dan rencana penyelamatanNya kepada manusia di dunia. Kepenuhan wahyu tersebut terwujud dalam diri Yesus Kristus, sang Sabda Allah yang diutus kepada manusia. Seluruh diri dan hidupNya menjadi perwujudan serta pelaksanaan kehadiran Allah di tengah-tengah manusia (DV 2,4).

Berdasarkan uraian tersebut, pada hakikatnya wahyu merupakan komunikasi yaitu komunikasi yang tidak terpahami antara Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Melalui diri Yesus Kristus dan atas karya Roh Kudus, manusia dapat menangkap sapaan Allah dan menerima kebenaran wahyu. Penerimaan manusia terhadap sapaan Allah tersebut ditunjukkan melalui “penyerahan diri manusia seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikaruniakan olehNya” (DV 5). Dalam iman itulah Gereja diundang untuk ikut serta dan terlibat dalam jaringan komunikasi tersebut, di mana pewartaan iman akan Kabar Gembira Yesus Kristus sendiri menjadi inti komunikasi (Komsos KWI, 1987: 8).

(55)

yang mengajar melainkan juga Gereja yang belajar. Gereja perlu memperhatikan kondisi dan perkembangan dunia serta belajar untuk menyesuaikan diri dengan tanggapan zaman akan ide-ide dan peristiwa-peristiwa, agar benih-benih yang ditabur Gereja sungguh berkembang dan menghasilkan buah (Komsos KWI, 1987: 9).

3. Pewartaan Iman melalui Media

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi informasi telah membuka kemungkinan bagi Gereja untuk mewartakan Injil melalui berbagai media modern. Melalui media-media modern tersebut, orang dapat dihadapkan pada pesan-pesan Injil dengan berbagai cara baru. Mereka pun dimungkinkan serta dimudahkan untuk mengambil bagian dalam upacara-upacara keagamaan, ibadat maupun tugas-tugas gerejani, meskipun mereka berada jauh dari lokasi pelaksanaan. Bila media-media tersebut dimanfaatkan dengan baik, semua itu dapat sangat mendukung dinamika kehidupan menggereja yang penuh persaudaraan dan partisipatif. Dukungan Gereja terhadap pemanfaatan media tersebut dapat dilihat melalui dokumen Communio et Progressio art. 4 yang berbunyi:

Pendekatan Gereja kepada sarana komunikasi sosial pada pokoknya bersifat positip, memberikan dukungan. Gereja bukan hanya menghakimi dan mengutuk, melainkan Gereja melihat alat-alat ini bukan hanya hasil kejeniusan umat manusia tapi juga merupakan anugerah besar dari Allah dan merupakan tanda-tanda zaman. Gereja ingin mendukung mereka yang secara profesional terlibat dalam komunikasi dengan memberikan prinsip-prinsip yang positip untuk membantu mereka dalam karya mereka, seraya mendorong suatu dialog, di mana semua pihak yang berminat – pada jaman sekarang ini berarti hampir setiap orang – dapat berpartisipasi .

(56)

propaganda mengandung potensi yang bersifat dehumanisasi dan bertentangan dengan nilai-nilai Injil. Meskipun demikian peran sarana-sarana komunikasi sosial tidak dapat dihindarkan dalam pelaksanaan misi Gereja. Untuk itu Gereja perlu cermat dalam memilih dan menentukan media yang memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai Injil serta bersikap tegas dalam menentukan arah dan kegunaannya dalam pewartaan (Komsos KWI, 1987: 10-12).

Pemilihan dan penentuan media yang sesuai dalam pewartaan perlu berlandaskan pada peranan fungsi media yang sesungguhnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Iswarahadi:

Fungsi utama media adalah mengkomunikasikan ’kebenaran’ pada masyarakat umum. Tugas lain media adalah bertindak sebagai pengontrol pemerintah, menyediakan informasi yang penting bagi pembangunan, menyuarakan mereka yang tidak bersuara, menjadi sarana pendidikan, menyediakan hiburan bagi masyarakat, dan mempertemukan orang dengan kebudayaan (2003: 18).

Penggunaan media dalam pewartaan iman perlu mengabdi pada perjumpaan dan persatuan individu-individu maupun kelompok yang mendorong pada terjadinya dialog dan komunikasi di antara banyak orang. Dengan demikian dapat terjadi suatu proses komunikasi yang saling memberi dan menerima sehingga menciptakan paguyuban dan solidaritas dalam masyarakat. Media juga merupakan anugerah pelayanan untuk membantu orang memahami Injil secara lebih baik (Iswarahadi, 2003: 27).

4. Macam-macam Model Pewartaan Iman dalam Gereja

(57)

anggota Gereja. Oleh sebab itu dalam melaksanakan pewartaan tersebut, Gereja berusaha untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi dunia yang menjadi medan pewartaan dengan melaksanakan pewartaan dengan berbagai model serta cara. Berikut di bawah ini adalah contoh-contoh model pewartaan iman dalam Gereja meski tidak menutup kemungkinan adanya model-model pewartaan iman lainnya. Hal tersebut dapat dimengerti dengan memahami bahwa Gereja memiliki beragam cara untuk melaksanakan pewartaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman.

a. Pelajaran Agama di Sekolah

Sekolah memiliki makna istimewa dalam sebuah proses pendidikan, yaitu sebagai tempat untuk membina bakat-bakat intelektual, mengembangkan kemampuan menilai dengan tepat, mengantar ke dalam warisan budaya, mengembangkan kepekaan nilai-nilai, serta mempersiapkan kehidupan profesi. Sesuai dengan misi tersebut, sekolah telah menjadi “pusat kegiatan maupun kemajuan yang secara serentak turut melibatkan keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan, keagamaan, masyarakat sipil, dan segenap keluarga manusia” (GE 5). Untuk itu sekolah pun turut memperhatikan pengembangan manusia secara keseluruhan yang meliputi berbagai aspek seperti moral, akhlak, budi pekerti, ketrampilan, kesehatan, seni, dan budaya.

(58)

yang secara resmi mendapatkan tempatnya dalam pendidikan nasional Indonesia yaitu kurikulum di sekolah. Tujuan PAK sendiri tidak lain adalah membantu siswa untuk mengenal, menyadari, dan menghayati hidupnya dalam terang iman Kristiani sebagaimana yang diwartakan oleh Yesus Kristus. Kekhasan pewartaan iman dalam bentuk PAK terletak dalam penjabaran yang diberikan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2003):

Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan para siswa untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama Katolik, dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

Melalui penjabaran tersebut, dapat dimengerti bahwa kekhasan PAK sebagai pewartaan iman terletak pada sasaran dan proses pelaksanaannya. Pelaksanaan PAK dilakukan dengan menginteraksikan pemahaman, pergumulan, dan penghayatan iman siswa sehingga siswa mampu membangun hidup yang semakin beriman serta kesetiaan pada Injil Yesus Kristus yang memiliki keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah.

b. Homili/Kotbah

(59)

iman yang berlangsung dalam perayaan liturgi untuk membantu umat meresapkan Sabda dalam hati dan pergumulan hidup mereka (Komisi Liturgi KWI, 2002: 49).

c. Dialog dengan Agama Lain

Pada dasarnya Gereja dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira serta keselamatan ke seluruh dunia, meskipun Gereja tidak dapat menutup mata akan pluralitas serta keragaman agama yang terdapat di dalam masyarakat. Hal tersebut tidak disambut dengan penolakan melainkan justru dengan penerimaan dan penghargaaan yang dilandasi dengan sikap hormat. Bukti pernyataan sikap Gereja tersebut termuat dalam dokumen hasil Konsili Vatikan II yang berbicara mengenai hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristiani yaitu Nostra Aetate.

Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu apa yang benar dan suci. Dengan sikap hormat tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar Kebenaran yang menerangi semua orang (NA 2).

Sikap Gereja tersebut sangat sesuai dengan pluralitas dalam dunia saat ini, di mana keragaman merupakan isu sensitif dan dapat menimbulkan perpecahan sewaktu-waktu. Dengan bersikap toleran dan menghargai perbedaan, arah pewartaan iman Gereja kepada dunia yang plural diwujudkan dalam bentuk dialog antar umat beragama. Dialog tersebut tidaklah menjadi upaya perbandingan maupun upaya doktrinasi, melainkan merupakan ungkapan kesaksian pengalaman iman yang berlandaskan pada kasih dan pengharapan (KWI, 1996: 168-169). Melalui dialog antar agama, Gereja mewartakan dan memberikan ”kesaksian tentang iman serta perihidup Kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio budaya, yang terdapat pada mereka.” (NA 2).

(60)

d. Katekese

Dalam sebuah anjuran apostolik Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa “katekese adalah pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam iman, khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen” (CT 18). Sedangkan Marinus Telaumbanus memaknai katekese sebagai “usaha-usaha dari pihak Gereja untuk menolong umat agar semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari di mana di dalamnya terdapat unsur pewartaan, pengajaran, pendidikan, pendalaman, pembinaan, pengukuhan, serta pendewasaan” (1999: 5). Dengan demikian dapat diketahui bahwa katekese memiliki kaitan yang sungguh erat dengan seluruh kehidupan dan perkembangan Gereja. Untuk itu katekese tidak dapat dipisahkan dari kenyataan dunia yaitu pergulatan hidup sesama jemaat dan sesama manusia pada umumnya, sehingga proses katekese terus berusaha menyesuaikan diri dengannya. Melalui perjalanan waktu yang panjang, katekese telah mengalami berbagai perkembangan mendasar.

(61)

zaman Konsili Vatikan II yang menghasilkan paham-paham teologis yang baru (Adisusanto, 2000: 1-9).

Hingga pada tahun 70-an, Gereja Katolik Indonesia merasa tertantang untuk mengembangkan arah katekese yang sesuai dengan kondisi umat di Indonesia sendiri. Upaya tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan PKKI yang melibatkan komisi kateketik dari seluruh keuskupan di Indonesia. Pelaksanaan PKKI I berhasil merumuskan katekese umat, di mana katekese dipandang sebagai “komunikasi iman dalam usaha saling menolong untuk membaktikan dan menghayati hidup beriman baik perorangan maupun bersama, berpolakan Yesus Kristus menuju hidup Kristiani yang dewasa sejati” (Komisi Kateketik KWI, 1997: 10). Dalam katekese umat terdapat dua elemen penting, yaitu pengalaman iman yang dimiliki umat serta harta kekayaan iman Kristiani. Secara sederhana, katekese umat dapat dimengerti sebagai proses yang mempertemukan antara pengalaman iman umat dengan harta kekayaan iman Kristiani yang dimiliki oleh Gereja. Dengan adanya pertemuan antara kedua elemen tersebut, katekese menjadi suatu proses yang utuh dan memperkembangkan. Pengalaman iman umat diteguhkan oleh harta kekayaan iman, sedangkan harta kekayaan iman menjadi nyata di tengah dunia lewat pemaknaan atas pengalaman hidup umat sendiri.

(62)

Pada saat itu katekese kontekstual hadir sebagai usaha Gereja menjawab permasalahan tersebut. Katekese kontekstual berpijak dan berangkat atas konteks hidup dan permasalahan sosial yang dihadapi umat serta mengarah pada pertumbuhan iman yang terwujud dalam sikap solidaritas untuk ikut mengatasi permasalahan yang ada (Iswarahadi, 1992).

Kontekstualisasi katekese bergerak dalam tiga konteks, yakni konteks aktual, alkitabiah, dan historis, dalam komunikasi kritis dan kreatif... Masalah-masalah sosial adalah konteks aktual yang mengundang umat untuk membaca tanda-tanda zaman dalam terang Injil. Proses dari aksi menuju refleksi kembali ke aksi (praxis) rupanya merupakan proses katekese kontekstual yang paling sesuai (Komisi Kateketik KWI, 1997: 23).

Pada zaman audio visual ini katekese audio visual merupakan sebuah pilihan model pewartaan alternatif yang memiliki keunggulan sebagai katekese yang menyentuh sekaligus merangsang daya khayal dan menjawab kerinduan akan kepenuhan hidup. Katekese model ini disampaikan melalui media dan membantu orang menerima sebuah ide melalui getaran perasaan jiwa sebagai seorang beriman. Pewartaan yang disampaikan secara audio visual lebih menimbulkan iman daripada menjelaskan akan iman itu sendiri. Katekese audio visual berangkat dari realitas yang dialami oleh peserta dan medium audio visual mengajak kelompok untuk saling bicara, menyapa hati, memanggil mereka untuk bertobat dan mendorong mereka untuk bertindak (Adisusanto, dkk., 2001).

C. Tantangan Pewartaan bagi Kaum Muda Metropolitan pada Zaman Audio Visual

(63)

pada proses untuk melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama seorang anak kecil dan mencari identitas baru. Dunia sebagai kanak-kanak mereka telah runtuh, namun dunia sebagai orang dewasa belum sepenuhnya tercipta, sedangkan mereka dihadapkan pada perkembangan zaman dengan berbagai tawaran yang menggiurkan tanpa pegangan nilai-nilai yang kokoh. Krisis tersebut p

Referensi

Dokumen terkait