• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : PENGGUNAAN LAGU POP DALAM PEWARTAAN IMAN BAGI KAUM MUDA

A. Kaum Muda dalam Gereja

1. Definisi Kaum Muda

Bila ditinjau dari segi etimologis, istilah ‘kaum muda’ berarti mengacu pada orang-orang muda. Bagaimanakah kriteria seseorang dapat dikatakan ‘muda’? Secara umum masyarakat kebanyakan menilai istilah ‘kaum muda’ ditujukan pada mereka yang berada pada kisaran usia Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga mereka yang

tengah duduk di bangku perkuliahan serta belum menikah. Tentu saja pendapat tersebut pun masih memiliki kelemahan dari segi ilmiah. Bagaimana dengan mereka yang masih duduk di bangku kuliah namun telah menikah? Bagaimana dengan mereka yang telah lulus namun belum menikah?

a. Batasan Usia Kaum Muda

Istilah ‘kaum muda’ merupakan kata yang umum digunakan dalam kehidupan namun sulit didefinisikan secara jelas, khususnya mengenai batasan usia. Para ahli sendiri pun memiliki keanekaragaman pendapat mengenai batasan ‘muda’ tersebut. Bahkan dalam sebuah buku yang berbicara mengenai psikologi perkembangan manusia, Hurlock (1990: 206, 246) tidak menjelaskan tahapan kehidupan yang disebut dengan istilah ‘kaum muda’ secara spesifik. Tahapan yang mendekati kriteria ‘muda’ dijabarkan dalam dua masa yaitu masa remaja dan masa dewasa dini. Masa remaja sendiri dimulai pada usia tiga belas tahun hingga delapan belas tahun, sedangkan masa dewasa dini dimulai pada usia delapan belas tahun hingga empat puluh tahun. Uraian ini dapat diterima secara ilmiah, namun masih terdapat ganjalan berkenaan dengan rentang batasan usia yang terlampau jauh serta akhir masa dewasa dini yang terlalu tua untuk dikategorikan sebagai ‘kaum muda’.

Untuk menyiasati kesulitan dalam membuat batasan mengenai kaum muda, Tangdilitin (1984: 6) mencoba melihat kaum muda sebagi sosok pribadi yang sedang berada pada taraf tertentu dalam perkembangan hidup seorang manusia, dengan kualitas dan ciri tertentu yang khas, dengan hak dan peranan serta kewajiban tertentu, dengan potensi dan kebutuhan tertentu pula. Hal tersebut sesuai dengan batasan yang dikemukakan oleh Riberu (1977: 183):

Dengan ‘muda mudi’ dimaksudkan kelompok umur sexennium ketiga dan keempat dalam hidup manusia (± 12 – 24 tahun). Bagi yang bersekolah, usia ini sesuai dengan usia Sekolah Lanjutan dan Perguruan Tinggi. Ditinjau dari segi psikologis, seringkali patokan usia di atas perlu dikoreksi dengan unsur status sosial seseorang dalam masyarakat tertentu (kedewasaan psikologis). Status sosial yang dimaksudkan ialah hak dan tugas orang dewasa yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan tata kebiasaan masyarakat tertentu. Status sosial ini seiring sejalan dengan status berdikari di bidang nafkah dan atau status berkeluarga. Unsur status sosial ini menyebabkan seseorang yang menurut usianya masih dalam jangkauan muda mudi bisa dianggap sudah dewasa, dan sebaliknya orang yang sudah melampaui usia tersebut masih dapat dianggap muda-mudi.

Batasan di atas dapat ditarik sebagai patokan umum, khususnya berkaitan dengan batasan kaum muda yang dibicarakan dalam keseluruhan tulisan ini. Oleh sebab itu dapat ditarik kesimpulan bahwa batasan kaum muda ditujukan pada mereka yang berumur kurang lebih 12 hingga 24 tahun dengan memperhatikan kekhasan segi psikologis serta sosiologis yang ada.

b. Psikologi Perkembangan Kaum Muda

Ditinjau dari segi usia dalam tinjauan psikologi perkembangan, kaum muda merupakan golongan usia yang tengah berada pada tahap perkembangan penting yang disebut periode peralihan dan perubahan yang menuju pada kedewasaan. Pada rentang usia 12 sampai 18 tahun mereka mengalami perubahan fisik seperti tinggi dan berat badan, proporsi tubuh, serta perkembangan organ seksual. Perubahan fisik tersebut pun disertai dengan perubahan emosi, perubahan sosial, perubahan moral, serta perubahan kepribadian. Pada tahap usia ini mereka mulai menuju pada kematangan emosi dengan belajar mengendalikan emosi dengan menggunakan katarsis, yaitu penyaluran emosi melalui tindakan-tindakan seperti tertawa, menangis, bermain, olah raga, maupun bekerja. Secara sosial pun mereka tengah mengalami penyesuaian, khususnya dalam hubungan dengan lawan jenis yang belum

pernah mereka alami sebelumnya dan penyesuaian diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Sedangkan berkaitan dengan perubahan moral dan kepribadian, pada tahap ini mereka mulai belajar untuk memperbaiki dan membentuk kepribadian serta mengendalikan perilaku yang bertanggung jawab dengan tuntunan dari suara hati mereka sendiri (Hurlock, 1990: 206 - 234).

Pada rentang usia berikutnya (18-24 tahun) mereka memasuki gerbang awal masa dewasa dini di mana mereka mulai bersiap-siap untuk menerima status baru sebagai orang dewasa yang mandiri serta memiliki komitmen dan bertanggung jawab atas hidup mereka. Ketergantungan terhadap orangtua maupun lingkungan memang masih dirasakan, namun timbul kesadaran dalam diri mereka untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat lepas dari ketergantungan tersebut. Selain itu, gerbang awal masa dewasa dini ini merupakan suatu masa transisi di mana mereka mulai menyesuaikan diri dengan pola-pola kehidupan serta mempersiapkan peran-peran baru seperti peran sebagai suami/isteri, sebagai pencari nafkah, maupun sebagai orangtua (Hurlock, 1990: 246-251).

c. Perkembangan Keagamaan Kaum Muda

Pada dasarnya, perkembangan keagamaan dalam diri seseorang mengalami beberapa tahapan yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia itu sendiri, tak terkecuali kaum muda. Saat menapaki masa muda, langkah perjalanan religius seseorang mengalami perkembangan besar. Hal tersebut dapat dimengerti karena masa muda merupakan masa di mana individualitas menampakkan wujudnya yang memungkinkan mereka untuk menerima tanggungjawab atas perilaku mereka sendiri dan menjadi secara sadar terlibat pada perkara, keinginan, dan cita-cita yang mereka pilih.

Dari sekian banyak perkembangan yang dialami kaum muda, terdapat perkembangan yang sungguh turut mempengaruhi perubahan pengalaman religius yaitu perkembangan kognitif. Piaget (1969: 130) menggambarkan pertumbuhan kognitif kaum muda sebagai gerak peralihan dari cara berpikir konkret menuju cara berpikir proporsional. Pertumbuhan kognitif ini memudahkan kaum muda untuk berpikir secara abstrak, di mana mereka tidak lagi melihat suatu obyek secara konkret melainkan dapat menganalisis dan membuat generalisasi tentang sifat maupun ciri-ciri umum dari obyek tersebut. Dengan kemampuan inilah kaum muda dimungkinkan untuk melakukan transisi dari agama lahiriah menuju agama batiniah, meninggalkan agama anak-anak yang diperoleh dari lingkungannya menuju agama iman yang sifatnya sungguh-sungguh personal. Contohnya dalam menafsirkan teks Kitab Suci, mereka tidak lagi melihat teks tersebt secara konkret sebagaimana adanya yang tertulis, melainkan membangun konsep, menarik kesimpulan, serta melihat relevansi kebenarannya dalam pengalaman hidup mereka (Crapps, 1994: