• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : PENGGUNAAN LAGU POP DALAM PEWARTAAN IMAN BAGI KAUM MUDA

B. Lagu Pop sebagai Bagian Musik

3. Lagu Pop dalam Hidup Sehari-hari

3. Lagu Pop dalam Hidup Sehari-hari

Pada umumnya, lagu pop amat dekat dengan kehidupan kaum muda bahkan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini dikarenakan “karakter musik dan lirik lagu pop selalu mengikuti kehidupan mereka: bagaimana mereka jatuh cinta, patah hati, atau hal-hal yang romantis” (Nipa, dkk., 2006: 11). Inspirasi isi lirik berasal dari pengalaman keseharian hidup kaum muda, karakter lagu dibangun untuk menceritakan perasaan yang mereka rasakan pada saat itu. Lagu pop seolah-olah menjadi soundtrack hidup yang menggambarkan perasaan dan pengalaman mereka. Namun tidak hanya itu, kepopuleran lagu pop di kalangan kaum muda pun turut dipengaruhi oleh para artis dan bintang pop tersebut. Semakin populer seorang artis dan bintang pop tersebut, semakin populer pula lagu yang mereka bawakan. Mereka bersama para penggemarnya saling mempengaruhi dan memenuhi untuk menjalin sebuah trend yang baru. Hal tersebut ditegaskan oleh pernyataan Batmomolin, dkk yang mengatakan: “Bagi kaum muda, penyanyi populer tertentu dapat menjadi role model bagi tindakan dan perilaku hidup mereka. Mereka meniru cara berpakaian, cara bicara, serta apa saja yang dilakukan penyanyi, bintang favorit mereka” (2003: 73). Semua itu menjadikan eksistensi lagu pop kini tidak

hanya sebatas musik yang didengar semata, melainkan juga berkaitan erat dengan gaya hidup dan fashion di antara mereka (Emka, 2006: 22).

Gaya hidup dan fashion adalah habitat alami sekaligus menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai satu paket utuh dari sebuah lagu pop. Sebagai contoh: ketika grup cantik Ratu naik daun dengan lagu-lagu “Teman Tapi Mesra” dan “Buaya Darat”, gaya berpakaian centil dan ‘tabrak lari’ yang kontras langsung ditiru oleh mayoritas gadis-gadis muda. Contoh tersebut diperkuat pula dengan realitas yang diungkap oleh Heru Emka dalam majalah GONG:

Untuk menikmati gaya hidup heavy metal, anak muda di berbagai kota kecil di Jawa Tengah (misalnya Kendal, Kaliwungu, Batang, dan sebagainya) cukup mengadopsinya dengan memanjangkan rambut, mengenakan kaos hitam berhias sablon bintang metal seperti metallica dan sebagainya, sambil tentu saja mendengarkan musik gaduh riuh itu sesering mungkin (2006: 22).

Dengan berbusana seperti itu mereka merasa telah turut mengambil bagian dalam gaya hidup yang ditawarkan oleh grup tersebut, sehingga mereka semakin merasa dekat dengan para pujaannya.

Konsep gaya hidup demikian pun turut mempengaruhi konsep pasar musik lagu pop dewasa ini. Sebelumnya, lagu pop tersebut dijual dalam bentuk produk album kaset dan cakram CD (Compact Disc) di toko-toko kaset maupun gerai-gerai musik lainnya. Kini meskipun produk dan pola penjualan lama masih berjalan, perlahan namun pasti pasar musik mulai berpindah ke dunia cyber. Dalam dunia cyber ini, lagu pop ‘dijual’ dalam bentuk ring tone (bunyi panggil) dan ring back tone (nada tunggu) untuk para pengguna hand phone. Bahkan untuk pengguna hand phone serta operator selular tertentu disediakan fasilitas-fasilitas khusus yang dapat memudahkan penggemar untuk mendengarkan dan men’download’ lagu-lagu pop yang disukai serta menambah kedekatan para penggemar dengan idolanya.

Para Slanker semakin merasa akrab sebagai bagian dari komunitas musik grup Slank secara ‘personal’, karena setiap saat mereka bisa terkoneksi dengan Slank atau para personilnya dengan mengakses lewat cara tertentu pada perangkat ponsel. Para pencinta musik pop (di) Indonesia bisa setiap saat menikmati lagu, video klip, wallpaper, foto-foto, bahkan ngobrol dengan bintang idolanya. Bukankah ini merupakan suatu kelebihan yang tak ada sebelumnya? (Emka, 2006:23)

Semua itu sungguh menjadikan lagu pop sebagai bagian dari gaya hidup, bahkan menjadi gaya hidup itu sendiri. Dengan demikian lagu pop telah sungguh merasuk ke dalam lapisan terdalam hidup keseharian kaum muda tersebut.

Pada hakikatnya manusia bukanlah makhluk statis. Manusia adalah makhluk dinamis yang mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan berlalunya waktu dalam rentang kehidupan. Perkembangan tersebut tidak hanya sebatas pertumbuhan fisik, melainkan juga secara psikologis berkaitan dengan tahap-tahap kehidupan tertentu. Hurlock (1990) melakukan sebuah pendekatan terhadap tahapan-tahapan dalam rentang kehidupan manusia dengan membaginya ke dalam beberapa masa: periode pranatal, periode neonatal, periode bayi, awal dan akhir masa kanak-kanak, masa puber, masa remaja, masa dewasa dini, usia madya, dan usia lanjut.

Setiap tahapan memiliki kurun waktu pembatas dan karakteristik yang berbeda antara sebuah tahapan dengan tahapan berikutnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa dibutuhkan perlakuan yang berbeda untuk menangani setiap kelompok tahapan sesuai dengan perkembangan psikologis yang tengah dialaminya. Namun perlu dipahami pula bahwa karakteristik dari tahapan-tahapan tersebut pun turut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melingkupi masing-masing pribadi. Salah satunya adalah budaya yang terdapat dalam lingkungan hidup pribadi tersebut. Perbedaan tempat hidup masing-masing pribadi mengandaikan adanya perbedaan budaya yang memungkinkan terjadinya perbedaan karakteristik dalam proses perkembangannya. Dengan demikian dimungkinkan adanya perbedaan karakteristik antara dua pribadi yang berasal dari tahapan kehidupan yang sama namun berbeda tempat tinggal. Sebagai contoh, anak-anak yang dibesarkan di desa dan anak-anak yang dibesarkan di kota tentu memiliki perbedaan sikap dan kebiasaan hidup.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa dalam menentukan perlakuan dan penanganan yang tepat bagi masing-masing pribadi tidak hanya dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh terhadap karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing tahapan. Faktor pemahaman terhadap budaya yang melingkupi pribadi yang bersangkutan pun perlu diperhitungkan dengan seksama.

Hal tersebut pun perlu diperhatikan oleh Gereja dalam melaksanakan tugas pewartaannya. Gereja perlu menyadari bahwa dalam tugasnya untuk mewartakan Sabda Allah Gereja perlu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi umat yang dihadapi demi efektivitas pewartaan iman itu sendiri.