• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU (MANGROVE) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PANTAI DI KECAMATAN SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU (MANGROVE) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PANTAI DI KECAMATAN SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KERUSAKAN EKOSISTEM

HUTAN BAKAU (MANGROVE) TERHADAP PENDAPATAN

MASYARAKAT PANTAI DI KECAMATAN SECANGGANG,

KABUPATEN LANGKAT

Agus Purwoko

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji dampak yang terjadi terhadap pendapatan masyarakat pantai setelah adanya kerusakan ekosistem hutan bakau, yaitu perbedaan keragaman jenis tangkapan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan kesempatan kerja dan berusaha nelayan serta perbedaan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan pada kondisi sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau. Dari analisis statistik terhadap data diketahui bahwa pendapatan rumah tangga, keragaman jenis biota tangkapan nelayan, kemudahan bekerja dan berusaha, serta ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan antara kondisi sebelum dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove ternyata berbeda secara signifikan pada taraf keyakinan 95%. Terjadi penurunan volume dan keragaman jenis hasil tangkapan, dimana rata-rata 56,32% dari jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap oleh nelayan menjadi langka (sulit didapat) dan 35,36% di antaranya bahkan menjadi hilang (tidak pernah lagi tertangkap). Secara kuantitatif terjadi penurunan pendapatan responden akibat kerusakan ekosistem mangrove sebesar rata-rata Rp 667.562,- atau sebesar 33,89% dari pendapatan sebelum terjadinya kerusakan.

Kata kunci: Hutan bakau, Mangrove, Pendapatan, Masyarakat pantai Pendahuluan

Umumnya ekosistem hutan bakau merupakan sumber daya alam (natural resources) yang memiliki intensitas relasi yang tinggi dengan masyarakat, mengingat hutan bakau mudah dijangkau dan berada pada kawasan-kawasan yang sudah cukup terbuka/berkembang. Selain itu, potensi ekonomi hutan ini cukup tinggi dengan didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini mendorong kerusakan ekosistem hutan bakau dan laju kerusakan umumnya berlangsung cepat. Ekosistem hutan bakau di kecamatan Secanggang saat ini telah mengalami kerusakan.

Menurut laporan Universitas Sumatera Utara (1999), di wilayah ini telah terjadi berbagai bentuk kerusakan ekosistem hutan bakau yang berupa penebangan liar/pencurian kayu, perambahan, pengambilan biota air yang tidak terkendali, perburuan liar, pencemaran sungai dan pemukiman. Okupasi lahan yang terjadi pada tahun 1999 mencapai 3.650 ha (24%) yang meliputi 1.600 ha untuk kegiatan pertambakan,

1.800 ha untuk kebun kelapa sawit dan 250 ha dikonversi untuk penggunaan lainnya. Selanjutnya dilaporkan bahwa bentuk-bentuk pengrusakan meningkat secara drastis sejak tahun 1995, baik yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Bahkan Dinas Perikanan dan Kelautan (2002) melaporkan adanya kerusakan ekosistem mangrove di wilayah ini yang sudah mencapai tingkat yang cukup parah. Berdasarkan data hasil interpretasi citra landsat TM tahun 2002 dilaporkan bahwa hutan bakau yang ada di kecamatan Secanggang tinggal 4.450,2 ha dari luas potensial sebanyak 9.000 ha. Hal itu berarti secara bentang fisik telah terjadi kehilangan/alih fungsi sebanyak 5.549,8 ha (61,7%).

Ekosistem hutan bakau sangat terkait dengan masyarakat pantai (Departemen Kehutanan, 1997). Sehingga, kerusakan pada ekosistem hutan bakau akan terkait dengan perekonomian masyarakat pantai secara keseluruhan. Sebaliknya, perilaku masyarakat pantai juga masih cenderung destruktif terhadap ekosistem

(2)

hutan bakau. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan dengan adanya kerusakan ekosistem hutan bakau terhadap pendapatan nelayan dalam tataran rumah tangga secara kuantitatif dan ilmiah.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dampak yang terjadi terhadap pendapatan nelayan setelah adanya kerusakan ekosistem hutan bakau, yaitu perbedaan keragaman jenis tangkapan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan kesempatan kerja dan berusaha nelayan serta perbedaan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan pada kondisi sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan Desember tahun 2004. Desa terpilih yang menjadi lokasi penelitian adalah Jaring Halus dan Kwala Besar, dikarenakan kedua desa ini berada di sekitar ekosistem hutan bakau, memiliki garis pantai yang panjang dan hampir seluruh penduduknya memiliki mata pencaharian yang terkait langsung dengan sektor perikanan (Dinas Perikanan dan Kelautan, 2002). Adapun data yang digunakan berupa data primer (wawancara) dan data sekunder (literatur). Untuk mendapatkan gambaran dampak kerusakan, dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji-t mached pair untuk mengetahui signifikansi perbedaan beberapa indikator yang dianalisis pada saat sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Nurgiyantoro, dkk., 2000). Selain itu juga dilakukan analisis kuantitatif untuk mengetahui sejauh mana perbedaan yang terjadi pada kondisi sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove.

Hasil dan Pembahasan

Analisis pendapatan sebelum dan sesudah kerusakan dilakukan dengan pendekatan nilai kiwari (precent value approach) dikarenakan terdapat perbedaan preferensi terhadap nilai sumber daya alam seiring dengan

perubahan waktu. Keragaman jenis biota tangkapan dianalisis melalui jenis-jenis yang menjadi langka atau hilang (pendekatan frekuensi perjumpaan) dan tinjauan persepsi masyarakat terhadap populasi dan keragaman jenis-jenis biota laut tangkapan nelayan. Adapun kemudahan bekerja dan berusaha serta kondisi ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan merupakan analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi sebelum dan sesudah terjadi kerusakan ekosistem hutan mangrove di lokasi studi.

Dari analisis statistik dan analisis kuantitatif terhadap data diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Keragaman jenis biota tangkapan nelayan

Melalui uji-t macthed pair untuk menguji signifikansi perbedaan keragaman jenis biota tangkapan diperoleh hasil di mana t-hitung (20,65) lebih besar dari t-tabel (1,999) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti keragaman jenis biota tangkapan sesudah

terjadinya kerusakan ekosistem mangrove

berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya kerusakan

ekosistem mangrove (Tabel 1). Terjadi

penurunan volume dan keragaman jenis hasil tangkapan, dimana rata-rata 56,32% dari jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap oleh nelayan menjadi langka (sulit didapat) dan 35,36% di antaranya bahkan menjadi hilang (tidak pernah lagi tertangkap). Terdapat beberapa jenis ikan yang dahulu sering tertangkap nelayan, namun sekarang sudah tidak pernah dan/atau sangat jarang tertangkap lagi, di antaranya jenis-jenis bawal, kepiting bakau, kerapu, udang kapur, udang tiger, kakap, pari, senangin, cumi-cumi, gembung, tengiri, udang ambai, udang galah dan ikan selampai. Secara umum, semua jenis biota laut mengalami penurunan frekuensi penangkapannya.

Adanya dampak yang signifikan dari

kerusakan ekosistem mangrove terhadap

keragaman biota tangkapan nelayan ini karena menurut Anonious (1997), pada rantai makanan di habitat ekosistem hutan bakau, biomasa hutan (contoh: daun, ranting dan bunga) mengalami dekomposisi menjadi partikel bahan organik

(3)

Tabel 1. Paired Samples Test untuk Data Keragaman Jenis 2.30 65 .8794 .1117 2.08 31 2.52 98 20.6 51 61 .000 Sebelum Sesudah Pair 1 Mean Std Deviation Std. E

Mean Lower Upper

95% C fid

Interval of the Difference

Paired Differences

t df

Sig (2-tailed)

Tabel 2. Pendapatan Rata-Rata Berdasarkan Kelompok Profesi (2004)

No Kelompok

Pekerjaan Pokok

Jumlah Pendapatan (Rp/Bln) Perbedaan

SB & SK (Rp/Bln) Perbedaan Relatif (%) Sebelum Kerusakan (SB) Sesudah Kerusakan (SK) 1 Aparat Desa 1,597,100 1,187,214 409,886 25.66 2 Pedagang 2,518,409 1,673,318 845,091 33.56 3 Nelayan 2,088,721 1,388,061 700,660 33.54 4 Pembuat Arang 1,298,750 1,020,833 277,917 21.40 5 Pembudidaya 2,340,611 1,378,148 962,463 41.12 6 Pengolah Ikan 1,410,000 1,100,000 310,000 21.99 7 Pengumpul kayu 1,338,750 825,000 513,750 38.38 8 Petani 1,280,000 800,000 480,000 37.50 9 PNS 1,709,833 1,210,500 499,333 29.20 Rata-rata 1,999,233 1,331,771 667,462 33.89

proses dekomposisi, serasah hutan bakau berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme penyaring makanan, pemakan partikulat dan pemakan deposit seperti moluska, kepiting dan cacing palychaeta. Berbagai jenis udang yang menjadi sumber tangkapan utama masyarkaat di desa Jaring Halus juga berada pada rantai ini, yang berarti berkorelasi sangat dekat terhadap ketersediaan dentritus di ekosistem hutan bakau. Jenis-jenis Crustacea penting seperti udang ini secara langsung memakan partikulat bahan organik dan juga memakan konsumer tingkat pertama. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua yang biasanya didominasi oleh jenis-jenis ikan-ikan karnivor berukuran kecil. Predator berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga.

2. Pendapatan rumah tangga

Dari hasil uji-t macthed pair untuk menguji signifikansi perbedaan pendapatan keluarga masyarakat pantai diperoleh hasil dimana t-hitung (7,11) lebih besar dari t-tabel (1,995) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti pendapatan keluarga masyarakat pantai sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya

kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 3).

Secara kuantitatif diperoleh hasil bahwa terjadi penurunan pendapatan keluarga masyarakat pantai akibat kerusakan ekosistem mangrove sebesar rata-rata Rp 667.562,-/bulan atau sebesar 33,89% dari pendapatan sebelum terjadinya kerusakan, meskipun penurunan tersebut terjadi secara variatif antar-kelompok pekerjaan pokok (Tabel 2).

(4)

Tabel 3. Paired Samples Tests untuk Data Pendapatan 66746 812685.8 93840.87 480480.0 854444.0 7.11 74 .000 Sebelum -Sesudah Pair 1 Mean Std. Deviation Std.

Mean Lower Upper

95%

Interval of the Difference Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed)

Tabel 4. Paired Samples Test untuk Data Ketersediaan Bahan Baku dan Komoditas Perdagangan

2.6290 1.0748 .1365 2.356 1 2.9020 19.260 61 .000 Sebelum Sesudah Pair 1 Mean Std Deviation Std. E

Mean Lower Upper

95%

C fid

Interval of the Difference

Paired Differences

t df

Sig (2-tailed)

Kelompok pekerjaan pokok yang paling tinggi tingkat penurunannya adalah nelayan pembudidaya dengan proporsi penurunan sebesar 41,12% dari total pendapatan semula. Hal ini dikarenakan komoditas yang dibudidayakan di wilayah studi adalah jenis-jenis ikan kerapu, jenahar, udang dan kepiting bakau yang selama daur hidupnya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem mangrove. Kerusakan ekosistem hutan bakau/mangrove berdampak langsung terhadap ketersediaan bibit kegiatan budidaya, sehingga sebagian besar kegiatan budidaya laut maupun payau yang tidak lagi berjalan.

Pada kasus subsektor perdagangan, penurunan nilai pendapatan riil juga terjadi, namun secara relatif tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan meskipun volume fisik komoditas perdagangan menurun namun nilai nominal transaksi menjadi lebih besar akibat kenaikan harga komoditas perikanan, sehingga profit margin yang diambil oleh pedagang bisa menjadi lebih tinggi. Selain itu, adanya penurunan volume komoditas perdagangan menyebabkan pelaku usaha di subsektor perdagangan hasil laut menyusut, sehingga komoditas perdagangan yang ada terdistribusi kepada pedagang yang masih eksis dengan proporsi yang lebih besar. Hal itu diduga menjadi salah satu penyebab relatif konstannya pendapatan pedagang.

3. Ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan

Dari hasil uji-t matched pair untuk untuk menguji signifikansi perbedaan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan diperoleh hasil di mana t-hitung (19,20) lebih besar dari t-tabel (1,999) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda sacara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum

terjadinya kerusakan ekosistem mangrove

(Tabel 4). Sebelum kerusakan 84% masyarakat pantai menyatakan bahwa bahan baku dan komoditas perdagangan “tersedia dalam jumlah cukup” sampai dengan “tersedia dalam jumlah banyak,” namun setelah terjadi kerusakan 84% masyarakat pantai menyatakan “tersedia dalam jumlah terbatas” sampai dengan “tidak tersedia”.

Penurunan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan merupakan dampak yang penting mengingat kegiatan ekonomi masyarakat umumnya masih berkutat pada aktivitas mengolah dan/atau mendistribusikan hasil alam beserta kebutuhan pendukungnya, sehingga sumber daya alam merupakan bahan baku/objek utama dari aktivitas usaha masyarakat nelayan. Usaha-usaha yang lazim ditemukan di lingkungan nelayan, termasuk di lokasi penelitian di antaranya pengolahan hasil laut, budidaya hasil laut (ikan, kepiting, udang) dan distribusi/pemasaran hasil laut

(5)

Tabel 5. Paired Samples Test untuk Data Kesempatan Kerja dan Berusaha 2.677 1.238 .157 2.362 2.991 17.02 61 .000 Sebelum Sesudah Pair 1 Mean Std Deviation Std.

Mean Lower Upper

95%

Interval of the Difference

Paired

t df

Sig (2-tailed)

Tabel 6. Kondisi Kesempatan Bekerja dan Berusaha Sebelum dan Sesudah Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (2004)

No Kategori Sebelum Kerusakan Sesudah Kerusakan Perubahan

Jumlah (Resp) % Jumlah (Resp) % Jumlah (Resp) %

1 Mudah 34 54.8 1 1.6 -33 -53.2 2 Agak Mudah 19 30.6 2 3.2 -17 -27.4 3 Biasa 7 11.3 4 6.5 -3 -4.8 4 Agak Sulit 2 3.2 28 45.2 26 41.9 5 Sulit 0 0.0 27 43.5 27 43.5 Jumlah 62 100.0 62 100.0 0 0.0

yang kesemuanya bergantung dari hasil tangkapan dari alam. Kegiatan usaha pendukung seperti pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan rumah tangga juga terkait dengan keberadaan usaha di atas.

4. Kemudahan bekerja dan berusaha

Dari hasil uji-tmacthed pair untuk menguji signifikansi perbedaan kemudahan bekerja dan berusaha diperoleh hasil di mana t-hitung (17,02) lebih besar dari t-tabel (1,999) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti kemudahan bekerja dan berusaha masyarakat pantai sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda sacara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya

kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 5).

Dampak kerusakan ekosistem hutan mangrove terhadap kesempatan kerja dan berusaha secara kuantitatif cukup berarti, di mana 85,4% masyarakat pantai berpendapat bahwa sebelum kerusakan mereka “agak mudah” sampai dengan “mudah” mendapatkan kesempatan kerja dan berusaha, namun setelah terjadinya kerusakan terjadi sebaliknya di mana 88,7% menyatakan “agak sulit” sampai dengan “sulit” mendapatkan kesempatan bekerja dan berusaha (Tabel 6).

Berkurangnya hasil tangkapan berakibat pada berkurangnya volume aktivitas

ekonomi di lokasi penelitian, yang secara langsung berakibat pada menurunnya kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan. Berkurangnya hasil tangkapan berupa jenis-jenis ikan yang bisa dibudidayakan (seperti kerapu, jenahar, kepiting bakau) menyebabkan berkurangnya pelaku usaha dan volume usaha budidaya, yang berakibat pada berkurangnya tenaga kerja langsung maupun tidak langsung yang terlibat. Tenaga kerja langsung yang terlibat dalam budidaya ikan kerapu misalnya adalah tenaga kerja pengelola (memberi pakan dan mengurus keramba) dan penjaga keramba, sedangkan tenaga kerja tidak langsung yang terlibat misalnya tenaga pencari dan pemasok pakan ikan, pencari dan pengumpul bibit, pembuat keramba, pengangkut produk dan lain sebagainya.

Penurunan hasil tangkapan juga berakibat menurunnya kegiatan usaha pengolahan hasil laut. Kegiatan usaha pengolahan hasil laut yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian antara lain pembuatan ikan asin (pengeringan), pembuatan keripik ikan cincang rebung dan pembuatan terasi udang (blacan). Semua usaha pengolahan tersebut bergantung kepada ketersediaan bahan baku berupa ikan yang diperoleh dari hasil tangkapan. Berkurang atau bertambahnya

(6)

kegiatan usaha pengolahan tersebut dipengaruhi secara langsung oleh ada atau tidaknya bahan baku, terutama pada kasus usaha pengeringan ikan, pengolahan terasi udang dan pengolahan keripik ikan cincang rebung. Dengan demikian, perubahan hasil tangkapan berdampak pada penurunan kesempatan kerja bagi masyakat pantai, terutama bagi anggota keluarga seperti anak-anak dan kaum wanita.

Penutup

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kerusakan ekosistem hutan bakau (mangrove) berdampak secara nyata terhadap pendapatan masyarakat pantai melalui penurunan keragaman jenis tangkapan nelayan, pendapatan keluarga, ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan serta kesempatan kerja dan berusaha masyarakat pantai secara signifikan.

Oleh karena itu disarankan agar: (1) Pemerintah daerah bersama masyarakat harus segera melakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove yang seiring dengan upaya penyadaran masyarakat terhadap arti pentingnya ekosistem hutan mangrove bagi kelangsungan hidup mereka, (2) Pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat dan semua pihak yang terkait berupaya mengembangkan bentuk-bentuk mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pantai yang berbasis pada pengolahan sumber daya alam, tidak sekedar eksploitatif, memberikan nilai tambah yang tinggi, dan sinergi dengan konsep pemanfaatan sumber daya alam secara lestari melalui pendekatan budaya (kultur) serta sinergi dengan peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), (3) Pemerintah daerah melakukan upaya antisipatif guna mencegah dan mengeliminir potensi kerawanan sosial di masyarakat pantai akibat menurunnya pendapatan serta kesempatan kerja dan berusaha.

Daftar Pustaka

Departemen Kehutanan. 1997. Strategi

Nasional Pengelolaan Kawasan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan. 2002. Peta

Potensi Perikanan Kabupaten Langkat. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat. Stabat.

Nurgiyantoro, B., Gunawan, Marzuki. 2000. Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara. 1999. Pelestarian dan Pengembangan Suaka Margasatwa Kab. Langkat dan Langkat Timur Laut. Makalah Seminar Pelestarian dan Pengembangan SM KGLTL. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Gambar

Tabel 1. Paired Samples Test untuk Data Keragaman Jenis  2.30 65 .8794 .1117 2.0831 2.5298 20.651 61 .000Sebelum SesudahPair 1MeanStdDeviationStd
Tabel 3. Paired Samples Tests untuk Data Pendapatan  66746 812685.8 93840.87 480480.0 854444.0 7.11 74 .000Sebelum -SesudahPair 1 Mean Std
Tabel 5. Paired Samples Test untuk Data Kesempatan Kerja dan Berusaha  2.677 1.238 .157 2.362 2.991 17.02 61 .000Sebelum SesudahPair 1 Mean Std Deviation Std

Referensi

Dokumen terkait

Objektif umum kajian ini adalah untuk mengenal pasti hubungan antara peruntukan masa, jenis dan cara pengelolaan guru terhadap kerja rumah bagi mata pelajaran Bahasa Cina dengan

Dengan demikian terlihat bahwa sistem olah tanah dan aplikasi herbisida tidak berpengaruh terhadap kandungan K-dd tanah pada 5 BST dan 10 BST pada lahan penelitian

27 0030184010 DELVIYANTI Pemberdayaan M asyara kat Tani Mela lui Peneem bangan lkan Asap dan Penggunaan Asap Cair untuk Menambah Cita Rasa dan Kualitas lkan

IX/2011 TENTANG PENGAKUAN MODEL NOKEN DALAM PEMILUKADA KABUPATEN LANNY JAYA PAPUA PERSPEKTIF TEORI HUKUM MURNI

[r]

Pada tahun 2012, mereka menemukan bahwa kualitas pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien kanker pankreas pada Cancer Treatment Centers of America (CTCA)

Dari beberapa kasus tersebut merupakan contoh mengenai beberapa kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU No.11 Tahun 2008 terhadap

(2) Instansi Pemerintah atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) setelah memenuhi persyaratan yang