REALITAS PEREMPUAN SEBAGAI OBJEK
PEMBERITAAN PROGRAM REDAKSI
SIANG TRANS7
(Analisis Framing Mengenai Ideologi Media)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Ilmu Jurnalistik
Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh:
SYLVIA SEPTININGRUM SUGIARTO NIM.6662080427
KONSENTRASI ILMU JURNALISTIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
ABSTRAK
Sylvia Septiningrum Sugiarto. NIM. 6662080427. Skripsi. Realitas Perempuan Sebagai Objek Pemberitaan Program Redaksi Siang TRANS7 (Analisis Framing Mengenai Ideologi Media).
Komunikasi massa seringkali menemukan sebuah polemik ketika dihadapkan kepada permasalahan mengenai gender. Polemik tersebut akan bertambah ketika media massa, dalam menggambarkan suatu realitas berdasarkan kepada subjektivitas media. Maka tayangan pemberitaan dalam program Redaksi Siang TRANS7, bukan tidak mungkin menampilkan posisi atau kedudukan gender dengan sudut pandang yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan perempuan yang dihadirkan dalam tayangan pemberitaan Redaksi Siang TRANS7. Penelitian ini menggunakan teknik analisis framing Robert N Entman serta konsep realitas sosial yang dicanangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Analisis framing ini menelaah bagaimana media tidak menampilkan informasi ala kadarnya, melainkan dengan melakukan konstruksi ulang atas realitas. Kemudian rekonstruksi ulang peristiwa yang dilakukan oleh media, dengan cara melakukan penonjolan aspek-aspek tertentu. Efek dari konstruksi ulang peristiwa yang dilakukan oleh media, yaitu program Redaksi Siang TRANS7, dapat dikaji dengan menempatkan empat poin penting, yaitu pendefinisian masalah, perkiraan sumber masalah, pembuatan keputusan moral, dan rekomendasi solusi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Objek penelitian ini ialah tayangan pemberitaan Redaksi Siang yang berkenaan dengan perempuan sebanyak 14 tayangan dan informan sebanyak 8 orang, yang diambil berdasarkan kriteria tertentu. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan observasi, wawancara, dan telaah dokumentasi. Hasil penelitian ini yaitu Redaksi Siang dalam menghadirkan realitas perempuan di dalam pemberitaan tidak sejajar dengan pria. Selain itu, pemegang keputusan utama ialah produser program Redaksi Siang. Redaksi Siang TRANS7 menganut ideologi kapitalisme pasar. Sehingga, objek dan format pemberitaan menyesuaikan dengan khalayak pasar Redaksi Siang.
ABSTRACT
Sylvia Septiningrum Sugiarto. NIM. 6662080427. Thesis. Reality of Women as News Object in Redaksi Siang TRANS7 Program (Framing position or the position of gender with a different perspective. The purpose of this research was to determine how the position of women presented in the news show of Redaksi Siang TRANS7. This research uses framing analysis technique of Robert N. Entman and social reality of the concept which proposed by Peter L. Berger and Thomas Luckmann. This framing analysis examines how the media does not display information perfunctory, but by doing re-construction of reality. Then the reconstruction of events that have been done by the media, by highlighting certain aspects. The effect of re-construction of events conducted by the media, The Redaksi Siang TRANS7 news program, can be studied by placing four important points, they are the problems defining, diagnosing the causes, making moral judgements, and recommendations of solutions. The research method used is descriptive method with qualitative approach. The objects of this research are the show of the Redaksi Siang with regard to women's as many as 14 impressions and 8 people as informants, which is taken based on specific criteria. Data collection techniques used is to make observations, interviews, and review documentation. The results of this research is in the Redaksi Siang represents reality of women in the news are not equal with men. In addition, the holder of a major decision is the producer of the Redaksi Siang TRANS7 program. Redaksi Siang TRANS7 adheres to the ideology of market capitalism. Thus, the object of preaching, reporting format, as well as any way of writing the news editor of the market adjusts to the audience during the Redaksi Siang.
LEMBAR PERSETUJUAN
Nama : SYLVIA SEPTININGRUM SUGIARTO
NIM : 6662 080427
Judul Skripsi : REALITAS PEREMPUAN SEBAGAI OBJEK
PEMBERITAAN PROGRAM REDAKSI SIANG TRANS7
(Analisis Framing Mengenai Ideologi Media)
Serang, Juni 2012
Skripsi ini Telah Disetujui untuk Diujikan
Menyetujui,
Pembimbing I,
Idi Dimyati, S.Ikom, M.I.Kom
NIP. 197810152005011003
Pembimbing II,
Puspita Asri Praceka, S.Sos,
M.I.Kom
NIP. 198407132008122002
Mengetahui,
Dekan FISIP UNTIRTA
Dr. Agus Sjafari, M.Si
PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Sylvia Septiningrum Sugiarto
NIM : 6662 080427
Tempat Tanggal Lahir : Jambi, 12 September 1990
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul REALITAS PEREMPUAN
SEBAGAI OBJEK PEMBERITAAN PROGRAM REDAKSI SIANG TRANS7 (Analisis Framing Mengenai Ideologi Media) adalah hasil karya sendiri, dan seluruh sumber yang dikutip maupun yang dirujuk telah
saya nyatakan dengan benar. Apabila dikemudian hari skripsi ini terbukti
mengandung unsur plagiat, maka gelar kesarjanaan saya bisa dicabut.
Serang, Juni 2012
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Nama : SYLVIA SEPTININGRUM SUGIARTO
NIM : 6662080427
Judul Skripsi : REALITAS PEREMPUAN SEBAGAI OBJEK
PEMBERITAAN PROGRAM REDAKSI SIANG TRANS7 (Analisis Framing Mengenai Ideologi Media)
Telah diuji di hadapan Dewan Penguji Sidang Skripsi di Serang. tanggal 16 bulan Juli tahun 2012 dan dinyatakan LULUS.
Serang, Juli 2012
Mengetahui,
Dekan FISIP UNTIRTA
Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si. NIP : 197108242005011002
Ketua Program Studi
Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si. NIP. 197708112005122003 Ketua Penguji :
Mia Dwianna W, S.Sos., M.I.Kom.
NIP. 197810152005011003 ……….
Anggota :
Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si.
NIP. 197708112005122003 ……….
Anggota :
Puspita Asri Praceka, S.Sos., M.I.Kom
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pencipta seluruh
manusia dan makhluk lainnya di dunia ini. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang membawa dunia ke
masa terang benderang. Alhamdulillah penulis telah dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Realitas Perempuan Sebagai Objek Pemberitaan
Program Redaksi Siang TRANS7 (Analisis Framing Mengenai Ideologi Media)”. Penelitian ini dilakukan karena penulis ingin melakukan kajian secara mendalam mengenai realitas perempuan dalam pemberitaan media,
ideologi yang dimiliki media, serta kebijakan perangkat program dalam
memilih subjek pemberitaan yang akan ditayangkan.
Penulisan skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak lain,
sehingga skripsi ini tersusun dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;
2. Idi Dimyati, S.Ikom, M.I.Kom selaku pembimbing skripsi I yang telah membagi ilmu serta membimbing penulis selama pembuatan
skripsi ini;
3. Puspita Asri Praceka, S.Sos, M.I.Kom selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah meluangkan banyak waktu untuk berkonsultasi
dan memberikan banyak referensi kepada penulis dalam proses
penyelesaian skripsi ini;
4. Yoki Yusanto, S.Ikom, M.I.Kom selaku dosen pembimbing
akademik;
5. Para dosen dan staf prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa;
6. Kedua orangtuaku yang selalu berdoa, memberikan perhatian dan
7. Adinda Mega Puspita yang selalu mendukung dan memastikan
penulis agar selalu fokus selama mengerjakan skripsi;
8. Kekasihku Dicky Hertanto, SH. yang selalu memberikan perhatian
dan kesabaran serta dukungan yang luar biasa kepada penulis;
9. Keluarga besar Penjuru Bintang;
10. Keluarga besar Untirta Movement Community;
11. Sahabat-sahabatku Puteri Friska Marzela, Dian Nurlizta Aryani,
Naufal Rizqi Muttaqien, Reza Nursyah Putra serta Nugroho Adi yang
telah memberikan bantuan, dukungan, dan hiburan-hiburan konyol
dari awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai;
12. Aris Boy dan segenap karyawan TRANS7 yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
13. Keluarga besar Jukopan (Jurnalistik Komunikasi 2008) yang telah
memberikan kesan mendalam kepada penulis selama berkuliah di
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak
dan semoga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
Serang, Juni 2012
DAFTAR ISI
1.3. Identifikasi Masalah 7
1.4. Tujuan Penelitian 8
2.1.3. Kedudukan Perempuan dalam Media 15
2.1.4. Ideologi dan Gender 19
2.1.5. Feminisme 23
2.1.6. Analisis Framing dan Konsep Realitas Sosial 25
2.1.7. Komunikasi Kekuasaan 30
2.2. Kerangka Berpikir 33
2.3. Penelitian Terdahulu 35
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN
3.2. Metode Penelitian 41
3.3. Subjek dan Objek Penelitian 44
3.3.1. Cut Ika Melanie 45
3.3.2. Ardina Yunita Kartikasari 47
3.3.3. Ida Ayu Okta 47
3.3.4. Yudha Kurniawan 49
3.3.5. Kamaluddin Azhar 50
3.3.6. Dian Marita 51
3.3.7. Fanny Ratna Furi 52
3.3.8. Donny Sandjaya Suparman 52
3.4. Teknik Penelitian 54
3.5. Teknik Pengumpulan Data 55
3.4.1. Studi Literatur 55
4.1. Deskripsi Subjek Penelitian 61
4.1.1. Sejarah TRANS7 61
4.1.2. Sejarah Redaksi Siang 63
4.2.13. Berita 13 103
4.2.14. Berita 14 105
4.3. Interpretasi Data 115
4.3.1. Realitas Perempuan yang Ditampilkan dalam Program Redaksi
Siang TRANS7 115
4.3.2. Kebijakan Perangkat Program dalam Melakukan Proses Seleksi
Isu 116
4.3.3. Ideologi Redaksi Siang dan Pengaruhnya pada Penayangan
Pemberitaan Mengenai Perempuan 118
BAB V: PENUTUP
5.1. Kesimpulan 120
5.2. Saran 122
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 2 Jadwal Bimbingan Skripsi
Lampiran 3 Pedoman Observasi
Lampiran 4 Pedoman Wawancara
Lampiran 5 Catatan Observasi
Lampiran 6 Transkip Wawancara
Lampiran 7 CV Narasumber/Informan
Lampiran 8 Tayangan & Naskah Utuh Pemberitaan Redaksi
Siang TRANS7
Lampiran 9 Struktur Organisasi TRANS7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Salah satu kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial adalah berkomunikasi satu sama lain. Menurut Lasswell, komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Sedangkan perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, dan keberanian, yang timbul dari lubuk hati.1 Kemudian, komunikasi yang terjadi dalam suatu media massa dapat dikatakan dengan komunikasi massa.
Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communication) yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik, yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi.2 Akan tetapi, komunikasi, khususnya komunikasi massa, seringkali menemukan sebuah polemik ketika dihadapkan kepada permasalahan mengenai gender. Menjadi laki-laki atau perempuan adalah takdir yang tidak bisa dibantah dan diingkari oleh seseorang. Jenis kelamin adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu, hal ini bersifat alami, kodrati dan tidak bisa berubah. Sedangkan penilaian terhadap kenyataan sebagai laki-laki atau perempuan oleh masyarakat dengan sosial dan budayanya dinamakan dengan gender. Gender merupakan suatu praktik kultural yang mengatur konstruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi
1
Onong Uchjana Effendy; Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Rosda , 2006, hal. 10-11
2
sosial mereka. Gender selalu merupakan masalah bagaimana laki-laki dan perempuan dihadirkan.3
Ciri-ciri yang membedakan laki-laki dan perempuan bahkan dirumuskan secara positif dalam organisasi masyarakat. Bentuk tubuh laki-laki lah yang menentukan aturan main dalam kebanyakan cabang olahraga; siklus hidup laki-laki menentukan dalam mendefinisikan syarat-syarat keberhasilan profesional; kemampuan mewujudkan keberadaannya mendefinisikan apa yang disebut seni; kehadirannya menentukan utuh- tidaknya keberadaan suatu keluarga; agresivitas dan dominasinya mendefinisikan apa yang disebut sejarah.4
Memang, semua ciri ini tidak tertutup bagi perempuan, artinya perempuan juga bisa melakukan dan mencapai keberhasilan yang sama, tetapi tujuan-tujuannya, dalam kenyataan, didasarkan pada kepentingan dan nilai-nilai lelaki. Justru ketidakadilannya terletak pada kesan seakan-akan memberi kesempatan yang sama kepada perempuan. Padahal, perempuan berada dalam posisi yang tidak diuntungkan bukan karena pilih kasih sehingga memihak pada laki-laki, tetapi karena seluruh masyarakat secara sistematis lebih memberi keuntungan kepada laki-laki dengan definisinya tentang moral, kerja, karier, kepantasan, serta jasa. Inilah salah satu bentuk dominasi melalui wacana oleh laki-laki.
Kemudian, proses mengubah perilaku orang lain melalui komunikasi, dapat dilakukan dengan menggunakan media massa untuk mencapai hasil yang maksimal (mendapatkan komunikan dan efek yang lebih besar). Pemberitaan yang dilakukan oleh media massa menyangkut aspek perempuan serta menempatkan posisi perempuan di dalamnya, merupakan sebuah pemberitaan yang sarat akan muatan-muatan yang bisa jadi berbau politik, kekerasan, kekuasaan, dan materi berupa uang. Hal ini tentunya mengundang perhatian dari publik, dimana secara tidak langsung
3
Chris Barker, Cultural Studies, diterjemahkan oleh Nurhadi, Bantul: Kreasi Wacana, 2004, hal. 408
4
suatu pemberitaan tersebut pasti menyangkut tentang keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan suatu gender. Keterkaitan antara media dengan isu gender dapat mempengaruhi paradigma khalayak penonton hingga memberikan suatu penilaian tertentu terhadap kaum perempuan, sebagaimana pemberitaan media tersebut. Hal ini pun dapat ditinjau dari salah satu teori komunikasi massa, yaitu tentang pembingkaian media atau
media framing.
“Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut”.5
Isi berita yang ditawarkan kepada publik tidak terlepas dari bagaimana media massa tersebut melihat sebuah peristiwa. Media dapat menggiring pemahaman masyarakat terhadap sesuatu hal menuju sebuah pencitraan tertentu. Pembingkaian yang dilakukan media massa ini memiliki kekuatan sebagai pembentuk opini publik.
Pada dasarnya media massa memang memiliki kebebasan dalam memproduksi sebuah berita, termasuk pemberitaan mengenai perempuan. Asalkan penayangan berita tersebut tidak menyalahi aturan yang berlaku dan kode etik jurnalistik. Media memiliki kebebasan menentukan judul, sudut penceritaan berita, serta pencantuman narasumber dalam suatu pemberitaan.
Namun tentu saja hal ini tidak serta merta membuat media massa bebas akan kepentingan yang dibawanya. Sehingga seringkali berita yang dihasilkan tidak lagi berimbang dan objektif. Ada misi-misi tertentu yang dibawa media sebagai wujud dari agenda lembaganya.
5
Eriyanto, Analisis Framing:Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Jogjakarta:LKiS, 2007,
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah konsumsi pemberitaan. Bagaimana publik atau khalayak menafsirkan setiap berita yang disajikan dalam suatu media. Dalam studi media, ada dua pandangan mengenai bagaimana khalayak menafsirkan berita.6
Salah satu media massa, televisi, saat ini telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Banyak orang yang menghabiskan
waktunya lebih lama di depan pesawat televisi dibandingkan dengan waktu
yang digunakan untuk mengobrol dengan keluarga atau pasangan mereka.
Dari televisi, kita diperlihatkan bagaimana kehidupan orang lain dan
memberikan ide tentang bagaimana kita ingin menjalani hidup ini.
Stasiun televisi TRANS7 merupakan salah satu media massa dalam
penyampaian informasi kepada masyarakat Indonesia. TRANS7 pada
mulanya bernama TV7 yang telah diumumkan dalam Berita Negara Nomor
8687 pada tanggal 22 Maret 2000 sebagai PT. Duta Visual Nusantara Tivi
Tujuh. Kemudian sebagian saham TV7 dibeli oleh PT. Trans Corpora, yang
merupakan bagian dari manajemen Para Group. Akhirnya, TV7 berubah
nama menjadi TRANS7. Dengan cakupan nasional, informasi yang
diberikan melalui stasiun televisi ini cepat menyebar luas ke seluruh lapisan
masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Sehingga pemberitaan yang
diliput pada hari itu, dapat disiarkan pada waktu yang bersamaan, lengkap
dengan tampilan visual yang menggambarkan tempat kejadian.
Sebagai salah satu contohnya ialah pemberitaan dalam program
Redaksi Siang TRANS7. Penayangan serta pengambilan gambar dapat
dilakukan di saat yang bersamaan. Program yang banyak memuat
pemberitaan tentang perempuan seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan
pemberitaan lain yang berkaitan dengan perempuan ini, dapat
menyampaikan informasi lebih cepat dibandingkan dengan media cetak
6
seperti koran dan tabloid serta majalah wanita misalnya. Program Redaksi
Siang memiliki persentasi segmentasi lebih dari 80% ditujukan untuk wanita
dewasa. Untuk itu, berita yang ditayangkan dalam program Redaksi Siang
menyesuaikan dengan khalayak pemirsanya yaitu berupa feature, bukan
berita langsung/lurus (hard news) seperti yang ditayangkan pada program Redaksi Sore dan Redaksi Malam.
Persoalannya kemudian adalah bila terjadi peningkatan liputan yang dilakukan media massa terhadap kekerasan perempuan atau tindakan kriminalitas lainnya yang menempatkan perempuan sebagai korban, apakah itu berarti sejalan dengan meningkatnya aktivitas kriminalitas di masyarakat atau sekedar meningkatnya pelaporan atau reportase terhadap aktivitas tersebut. Pada tataran ini keterlibatan media massa dalam masalah kekerasan, kekuasaan, dan politik. Dalam fungsi utamanya sebagai penyaji informasi, media massa bertindak cepat dan berusaha sempurna memberitakannya. Frekuensi serta intensitas media massa tertentu terhadap tindak kekerasan dengan sendirinya juga berbeda-beda. Sangat bergantung pada kecekatan dan kepekaan wartawan, orientasi media massa dan bidang yang digelutinya, serta pengaturan sebuah sistem media massa terhadap aktivitas perusahaan media massanya kepada publik.
Menurut Franz Magnis Suseno, ideologi adalah:
“keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan kelompok sosial, atau kebudayaan. Dalam feminisme, ideologi gender dipakai untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan kelompok yang termarjinalisasi yang dalam hal ini ialah perempuan, dan memiliki posisi subordinasi dalam masyarakat yang dominan yaitu laki-laki,”.7
Dalam kaitannya dengan masalah pemberitaan tentang perempuan, secara langsung maupun tidak langsung maka dapat dikatakan bahwa media juga membutuhkan berita yang dapat terus dikonsumsi oleh khalayak, sehingga memberikan keuntungan bagi perkembangan media tersebut. Jika berbicara tentang hal tersebut maka erat kaitannya dengan aspek-aspek bisnis yang melekat pada media tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimanakah realitas perempuan sebagai objek pemberitaan program Redaksi Siang TRANS7?
1.3. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah realitas perempuan yang dihadirkan dalam pemberitaan program Redaksi Siang TRANS7?
2. Bagaimanakah kebijakan perangkat program dalam melakukan proses seleksi berita mengenai perempuan? 3. Bagaimanakah ideologi yang dimiliki TRANS7,
mempengaruhi penayangan pemberitaan mengenai perempuan?
7
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana realitas perempuan sebagai objek pemberitaan program Redaksi Siang TRANS7. 1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat di bidang ilmu komunikasi, khususnya teori tentang komunikasi massa yang berkaitan dengan aspek pemberitaan, seperti media framing effect
atau efek pembingkaian media serta yang berkaitan dengan aspek feminisme. Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap seluruh masyarakat Indonesia, khususnya kepada mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
1.5.2. Manfaat Praktis
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Komunikasi Massa
2.1.1.1. Komunikasi
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin
communicatio yang berarti ‘pemberitahuan’ atau ‘pertukaran pikiran’. Jadi, secara garis besar, dalam suatu proses komunikasi haruslah terdapat unsur-unsur kesamaan makna agar terjadi suatu pertukaran pikiran dan pengertian antara komunikator (penyebar pesan) dan komunikan (penerima pesan). Proses komunikasi dapat diartikan sebagai ‘transfer informasi’ atau pesan (message) dari pengirim pesan sebagai komunikator dan kepada penerima pesan sebagai komunikan. Dalam proses komunikasi tersebut bertujuan untuk mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara kedua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Dalam proses komunikasi, komunikator mengirimkan pesan/informasi kepada komunikan sebagai sasaran komunikasi.8
Menurut Wilian Albig, komunikasi adalah proses sosial, dalam arti pelemparan pesan/lambang yang mana mau tidak mau akan menumbuhkan pengaruh pada semua proses dan berakibat pada bentuk perilaku manusia dan adat kebiasaan. Sedangkan menurut Karlfried Knapp, komunikasi merupakan interaksi antarpribadi yang menggunakan sistem simbol linguistik, seperti simbol verbal (kata-kata) dan nonverbal. Sistem ini dapat disosialisasikan secara langsung/tatap muka atau melalui media lain (tulisan, oral, dan visual).9
8
Tommy Suprapto, Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi, Yogyakarta: MedPress, 2009, hal. 5-6
9
Sedangkan menurut Charles R. Berger dan Steven H. Chaffee, komunikasi berupaya memahami produksi, pemrosesan dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang, melalui pengembangan teori-teori yang dapat diuji, berisikan generalisasi-generalisasi yang sah yang menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan produksi, pemrosesan dan pengaruh dari system tanda dan lambang tersebut. 10
Hal tersebut berkaitan dengan apa yang diungkapkan oleh Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II, bahwa komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah pesan.11
Penayangan berita dalam program Redaksi Siang TRANS7 merupakan suatu fenomena komunikasi. Hal itu dikarenakan di dalam penayangannya, terjadi proses penyampaian informasi atau pesan yang disampaikan kepada massa. Berita yang ditayangkan, termasuk salah satu elemen komunikasi, yaitu pesan. Sehingga penulis menganggap perlu menjabarkan sebuah pemahaman mengenai definisi komunikasi.
2.1.1.2. Massa
Kata ‘massa’ dalam komunikasi massa dapat dikatakan lebih dari sekadar ‘orang banyak’, seperti orang-orang yang sedang mengerumuni penjual obat atau yang sedang bersama-sama menanti dibukanya pintu lintasan
10
Sasa DjuarsaSendjaja, Paradigma Baru Pendidikan Ilmu Komunikasi Di Indonesia dalam Komunika – Warta Ilmiah popular Komunikasi Dalam Pembangunan (Jakarta: LIPI, 2005), hal. 9
11
kereta api. Massa disini bukan sekadar orang banyak di suatu lokasi yang sama.
Menurut Berlo, massa diartikan sebagai “meliputi semua orang yang sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran”. Massa mengandung pengertian orang banyak, tetapi mereka tidak harus berada di suatu lokasi tertentu yang sama. Mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama.12
Massa juga dapat dilihat sebagai ‘meliputi semua lapisan masyarakat’ atau ‘khalayak ramai’ dalam berbagai tingkat umur, pendidikan, keyakinan, status sosial. Tentu saja yang terjangkau oleh saluran media massa. Pengertian itu perlu dikemukakan, sebab istilah massa pernah dipakai hanya untuk menunjuk suatu lapisan bawah atau rendah, yang jumlahnya paling banyak dalam suatu sistem sosial, yang primitif, lebih banyak dikuasai oleh naluri daripada oleh akal sehat, dan cenderung suka membuat kerusuhan apabila ada kesempatan.13
Jadi komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada komunikan yang berjumlah banyak, heterogen, tidak dikenal atau ditujukan kepada masyarakat umum, dan proses komunikasinya dilakukan melalui media yang mampu digunakan untuk komunikasi massa, yaitu media massa, baik berupa media cetak, audio, audio visual, film, dan media luar ruang. Komunikasi massa biasanya dimanfaatkan oleh pihak pemerintah, kalangan bisnis, organisasi-organisasi non bisnis, atau bahkan oleh perorangan untuk melaksanakan penyampaian berbagai
12
Wiryanto, Teori Komunikasi Massa, Grasindo, 2000, hal. 2-3
13
pesan, baik yang bersifat informasi, intruksional, maupun persuasif.14
Pool mendefinisikan komunikasi massa sebagai komunikasi yang berlangsung interposed (menjadi perantara) ketika antara sumber dan penerima tidak terjadi kontak secara langsung, pesan-pesan komunikasi mengalir kepada penerima melalui saluram-saluran media massa seperti surat kabar, majalah, radio, film, atau televisi.15
Karena pada pembahasan sebelumnya, penulis menjabarkan proses komunikasi yang terjadi dalam konteks pemberitaan yang melibatkan massa sebagai komunikan, salah satu elemen komunikasi, maka penulis merasa perlu untuk menjabarkan definisi massa. Massa memiliki peranan dalam penelitian ini karena penulis beranggapan apapun informasi atau berita yang ditayangkan dalam Redaksi Siang TRANS7, akan memberikan pengaruh kepada massa, baik pola pikir atau bahkan perilaku.
2.1.2. Berita dan Media
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), berita merupakan cerita atau keterangan mengenai suatu kejadian atau peristiwa yang hangat. Berita juga dapat diartikan sebagai laporan.16 Bila dikaitkan dengan jurnalistik, berita merupakan laporan mengenai suatu fakta kejadian yang disajikan dalam pembacaan dan penulisan yang jelas, sistematis, lengkap (mengandung unsur 5W+1H), aktual dan menarik.17 Kemudian berita ini tidak dapat melaporkan dirinya sendiri kepada khalayak. Berita memerlukan
14
Atep Adya Barata, Dasar-dasar Pelayanan Prima, Elex Media Komputindo, 2003, hal. 107
15
Wiryanto, Op.Cit., hal. 3
16
Joko Untoro dan Tim Guru Indonesia, Buku Pintar Pelajaran; Ringkasan Materi dan Kumpulan Rumus Lengkap, Jakarta: WahyuMedia, 2010, hal. 421
17
wadah atau perantara atau media untuk dapat sampai kepada khalayak.
Pada prinsipnya, media merupakan institusi yang difungsikan untuk mengembangkan kebebasan berpendapat yang menyebarkan informasi ke segala arah, yakni kepada publik dan institusi lainnya termasuk pemerintah. Sebagai institusi, suatu media harus memiliki tenaga profesional, manajemen, dan infrastruktur. Untuk memenuhi fungsinya, media menjalin hubungan dengan sumber berita, pembaca, klien, pemilik modal, distributor, dan pihak-pihak lain. Dengan demikian, juga terlihat bahwa keberadaan media sebagai institusi sosial berkaitan dengan institusi lainnya, seperti ekonomi, politik, hukum, ataupun khalayak luas.18
Ketika media massa telah menjadi sebuah industri dalam ekonomi pasar, maka keberhasilan berbagai aktor politik, seperti presiden, parlemen atau parpol, lebih ditentukan oleh kemampuannya untuk menerapkan suatu strategi manajemen hubungan dengan media dibandingkan dengan pendekatan represif dan kontrol. Dalam sebuah sistem kapitalis, media merupakan sebuah industri dan institusi bisnis yang berkepentingan untuk melakukan akumulasi modal sebagai fungsi kredibilitas media di mata publik. Untuk konteks itu, kredibilitas sebuah media akan naik dan laku jika media itu bersikap kritis pada pemerintah. Sebaliknya media tersebut tidak akan memiliki kredibilitas di mata publik jika media itu dinilai hanya sebagai instrumen kekuasaan pemerintah sehingga publik malas membelinya. Oleh karena itu, sebagai institusi bisnis, media di zaman Orde Baru selalu berusaha menemukan garis aman agar mampu mendapatkan keuntungan
18
maksimal dari pemberitaan politik di satu sisi (bersikap kritis) dan di sisi lain tetap terhindar dari langkah-langkah represif penguasa.19
Suatu proses komunikasi membutuhkan suatu media untuk menyalurkan pesan yang ingin disampaikan, dalam konteks ini media massa merupakan media dalam proses penyampaian berita. Karena, berita tidak mungkin berdiri dan memberitakan dirinya sendiri kepada khalayak pemirsa. TRANS7 merupakan media dalam penyampaian berita, khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga penulis ingin melihat sejauh mana kenetralitasan sebuah media dalam menayangkan setiap pemberitaan yang berkaitan dengan aspek perempuan.
2.1.3. Kedudukan Perempuan dalam Media
Kedudukan dapat pula disebut dengan status. Kedudukan atau status merupakan unsur dan memiliki peranan penting dalam sebuah sistem sosial, yang merupakan suatu pola yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Sehingga status secara langsung berkaitan dan berpengaruh pada suatu sistem dan interaksi sosial.
Menurut Soerjono Soekanto, status memiliki arti posisi dalam suatu hierarkhi, atau suatu wadah bagi hak dan kewajiban, atau aspek statis dari peranan, atau prestise yang dikaitkan dengan suatu posisi, atau jumlah peranan ideal dari seseorang.20
Jadi, kedudukan dapat mempengaruhi hak-hak serta kewajiban-kewajiban setiap orang, berdasarkan bagaimana cara orang tersebut memperoleh kedudukan itu. Menurut Ralph Linton, terdapat tiga cara dalam memperoleh kedudukan. Pertama, kedudukan dapat diperoleh dengan sendirinya semenjak dari lahir. Misalnya, anak yang lahir dari keluarga kerajaan atau bangsawan,
19
Rully Chairul Azwar, Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era, Jakarta: Grasindo, hal. 14
20
maka secara otomatis anak itu akan mendapatkan kedudukan yang sama seperti keluarganya. Kedua, kedudukan dapat diperoleh dengan cara usaha sendiri. Sebagai contohnya seseorang akan menempuh pendidikan strata satu untuk mendapatkan gelar sarjana, setelah orang itu lulus maka ia akan mendapatkan gelar tersebut. Ketiga, kedudukan diperoleh seseorang karena diberikan oleh orang lain karena prestasi atau jasa orang tersebut. Misalnya, seseorang diberikan gelar pahlawan karena ikut berjuang membela tanah air pada saat perang, atau seseorang yang telah menyelamatkan lingkungan hidup.21
Selain nilai sosial dari masyarakat, yang menentukan status atau kedudukan perempuan dalam sebuah sistem sosial, media juga merupakan salah satu aspek yang berpengaruh dalam menentukan kedudukan perempuan. Kenyataan bahwa dalam media massa: surat kabar, majalah (baik majalah laki-laki maupun perempuan), film, buku, semua cenderung memperlihatkan gambaran stereotip kaum perempuan, yang merugikan perempuan. Media membuat perempuan seolah pasif, terdominasi, tidak dapat membuat keputusan dan cenderung hanya menerima keputusan yang dibuat oleh laki-laki. Sehingga secara sadar atau tidak, media telah membuat perempuan menjadi warga kelas dua.22 Hal itu didukung oleh norma budaya masyarakat Indonesia itu sendiri yang menekankan bahwa kedudukan dan peranan perempuan berkisar
21
Kun Maryati dan Juju Suryawati, Sosiologi; Untuk SMA dan MA Kelas X, Jakarta: Esis, 2001, hal. 69-70
22
dalam lingkungan keluarga seperti mengurus anak dan suami, memasak, serta mengurus keperluan rumah tangga lainnya.23
Misalnya saja dalam sebuah iklan. Hampir semua iklan menggunakan perempuan sebagai modelnya hanya untuk dikaitkan dengan kebutuhan rumah tangga. Atau iklan otomotif yang menjadikan perempuan hanya sebagai pajangan saja, bahkan tidak sedikit dari iklan tersebut yang menggambarkan kekaguman perempuan akan kaum laki-laki.24
Selain itu, eksistensi perempuan juga tidak terwakili secara proporsional di media massa, baik dalam media hiburan maupun dalam media berita. Hal itu dikarenakan perempuan senantiasa digambarkan sangat tipikal yaitu menjalani profesi yang terbatas, selalu melihat pada dirinya sendiri, sebagai objek seksual atau simbol seks, objek fetish (jimat), objek pelecehan dan kekerasan, objek yang selalu disalahkan (blaming the victim) yang juga bersifat pasif, serta menjalankan fungsi sebagai pengkonsumsi barang atau jasa dan sebagai alat pembujuk.25
Melalui penggambaran semacam itu, menurut Fry, kaum perempuan telah mengalami kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh suatu jaringan kekuasaan dalam berbagai bentuk. Selain itu, media massa melalui fungsi mediasinya menunjukkan pada khalayak bagaimana semua kekerasan itu diketahui sebagaimana adanya. Misalnya pada sebuah liputan tentang perkosaan. Selain mengetahui bagaimana proses terjadinya kekerasan itu, khalayak seperti diarahkan oleh media untuk ikut menyalahkan korban (blaming the victim). Sehingga, yang terjadi
23
Billy Sarwono Atmonobudi, Perempuan dan Media dalam Konteks Pemilu 2004 dalam Komunika Vol. 9 No. 2, LIPI, 2006, hal. 15-16
24
Hetty Siregar, Op. Cit.
25
kini perempuan justru mendapatkan dua kekerasan, yaitu kekerasan fisik yang dialaminya langsung, dan kekerasan di lingkungan sosial yang terjadi dalam bentuk perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi sosialnya.26
Apabila dikaitkan dengan pemberitaan Redaksi Siang TRANS7, penelitian ini dilakukan karena penulis ingin melakukan kajian yang mendalam mengenai kedudukan perempuan dalam pemberitaan, khususnya berita televisi. Karena, penulis menganggap ada hal-hal yang erat kaitannya antara kedudukan perempuan dan media, khususnya televisi. Hal yang pertama terkait dengan posisi televisi sebagai salah satu media massa yang menjadi agen sosialisasi ideologis suatu nilai-nilai tertentu di masyarakat melalui fungsi sebagai penerus warisan sosial (transmission of the social heritage). Selain itu, diantara berbagai media massa yang ada, media televisi relatif mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan media massa yang lain disebabkan sifat audio-visualnya yang mampu mengatasi hambatan literasi khalayaknya. Hal lainnya yang ingin ditelili ialah terkait dengan pemberitaan perempuan dengan ideologi yang melatar belakanginya.27 Sehingga, peneliti ingin mengupas mengenai cara pandang media TRANS7 mengenai kedudukan terhadap perempuan dalam pemberitaan program Redaksi Siang. 2.1.4. Ideologi dan Gender
Masyarakat Indonesia terkadang menyamakan arti antara seks dan gender. Keduanya memang membahas mengenai laki-laki dan perempuan. Namun seks merupakan suatu kondisi yang tidak dapat diubah, karena seks atau jenis kelamin, didapat pada saat seseorang dilahirkan. Hal yang membedakannya ialah dari bentuk alat kelamin
26
Ibid, hal. 4-6
27
dan ciri-ciri fisik serta psikologis. Berbeda dengan seks, gender didapat seseorang karena masyarakat setempat yang memberikan pemaknaan. Karenanya, gender sulit sekali untuk dapat diubah, karena berkaitan dengan pola pikir masyarakat sekitar mengenai laki-laki dan perempuan.
Gender adalah sebuah kata kuno yang kemudian diberi makna baru.28 Gender merupakan suatu praktik kultural yang mengatur konstruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka. Gender selalu merupakan masalah bagaimana laki-laki dan perempuan dihadirkan.29 Dan seiring perkembangannya, gender menjadi sebuah ideologi.
Menurut Franz Magnis Suseno, ideologi adalah:
“keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan kelompok sosial, atau kebudayaan. Dalam feminisme, ideologi gender dipakai untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan kelompok yang termarjinalisasi yang dalam hal ini ialah perempuan, dan memiliki posisi subordinasi dalam masyarakat yang dominan yaitu laki-laki”.30
Ideologi gender merupakan suatu pandangan hidup yang berisi satu set ide yang saling berhubungan. Ide ini oleh masyarakat digunakan untuk membangun sebuah konstruksi sosial yang disepakati bersama sebagai pandangan hidup untuk mengatur kehidupan. Pandangan hidup dan aturan hidup ini, tidak selalu sama untuk waktu, tempat, dan kemauan masyarakat setempat. Ideologi gender ini menjadi rancu dan merusak relasi perempuan dan laki-laki, ketika dicampuradukkan dengan pengertian seks atau jenis kelamin. Pada waktu perbedaan seks dan gender tidak dilihat secara
28
A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender; Buku Kedua, Magelang: IndonesiaTera, 2004, hal. 78
29
Chris Barker, Cultural Studies, diterjemahkan oleh Nurhadi, Bantul: Kreasi Wacana, 2004, hal. 408
30
kritis, maka muncullah masalah gender yang berwujud ketidakadilan gender. Masalah tersebut bentuknya adalah pandangan posisi subordinat terhadap perempuan, pandangan stereotip terhadap perempuan dan laki-laki, beban ganda dari perempuan, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. Maka, jelas bahwa korban ketidakadilan itu sebagian besar berada di pihak perempuan.31
Ada beberapa macam ideologi yang ada di dunia, salah satunya yaitu liberalisme, yakni ideologi yang mendasarkan diri pada kebebasan individu. Jika dikaitkan dengan ekonomi, liberalisme mengajarkan kemakmuran orang perseorangan dan masyarakat seluruhnya, untuk memberi kesempatan untuk mengejar kepentingan masing-masing. Kemudian, ada ideologi kapitalisme. Dari segi ekonomi, dapat diartikan sebagai sistem ekonomi yang mendistribusikan bahan baku yang secara pribadi dimiliki dan dikembangkan, dengan harus mempunyai hak individu terutama properti. Milton Friedman cenderung mengefektifkan pasar bebas yang diklaim sebagai individu dan demokrasi, tetapi menurut Marx, kapitalisme adalah hasil karya pasar pekerja. Tujuan dari ideologi kapitalisme ini ialah untuk mencapai keuntungan.32
Kemudian ideologi yang lainnya adalah kolonialisme. Kolonialisme adalah paham tentang penguasaan suatu negara/bangsa lain dengan maksud memperluas wilayah negaranya. Lalu ada pula ideologi marxisme, marxisme tidak mengenal perbedaan kelas, perekonomian negara dan hak milik bersama diatur oleh negara. Ada pula ideologi sosialisme, yaitu ideologi yang menjadi gerakan mengubah struktur milik sosial dan politik masyarakat, serta akan
31
A. Nunuk P. Murniati, Loc. Cit., hal. 78-79
32
membangun suatu masyarakat baru dengan pola yang berbeda-beda menurut aliran-aliran sosialisme. Lalu ada fasisme, yang berasal dari kata Facio di combat-timento (persatuan perjuangan) yang menyususn negara menjadi otoriter dan totaliter. Ideologi selanjutnya ialah nazisme, yang dicetuskan oleh A. Hitler, yang mengajarkan bahwa bangsa Jerman adalah bangsa yang unggul dan agung.33
Begitu pula halnya bila melihat pemberitaan Redaksi siang TRANS7, media miliki peran penting dalam menempatkan posisi gender dalam setiap pemberitaan atau penayangan. Penulis membahas secara sekilas mengenai gender, terkait penelitian yang dilakukan bertemakan kedudukan perempuan dalam pemberitaan. Kemudian penulis ingin mengetahui secara lebih lanjut bagaimana ideologi yang dimiliki oleh media, serta pola pikir perangkat program Redaksi Siang TRANS7 mengenai gender, mengingat kebijakan dan ideologi erat kaitannya.
2.1.5. Feminisme
Para pakar membuat definisi feminisme dari berbagai aspek. Namun pada dasarnya, feminisme adalah sebuah kesadaran tentang adanya ketidakadilan yang sistematis bagi perempuan di seluruh dunia. Nancy F. Cott mengatakan bahwa sukar untuk membuat definisi feminisme, karena sukar mencari kata-kata yang menggambarkan perubahan status perempuan yang selama ini sudah terkonstruksi secara sosial. Baru pada tahun 1933, kamus Oxford, memasukkan kata feminisme yang diberi arti: “pandangan dan prinsip-prinsip untuk memperluas pengakuan hak-hak perempuan”. Namun pengertian itu pun, dirasa belum menggambarkan arti
33
feminisme yang sebenarnya. Pengertian feminisme mengandung dua arti yang sangat penting, yaitu kesadaran dan perjuangan, sehingga dalam prosesnya menjadi sebuah ideologi atau gerakan (movement). Menurut Nancy, feminisme memperjuangkan persamaan hak tetapi dalam perbedaan seks. Tujuan ideologi atau gerakan ini, untuk membebaskan setiap pribadi perempuan melalui mobilisasi solidaritas antarperempuan. Ini berarti mengajak perempuan untuk menyadari bahwa setiap pribadi perempuan itu berbeda-beda. Baik laki-laki maupun perempuan, berbeda untuk setiap pribadi. Pandangan stereotip mengakibatkan hilangnya kesadaran individu dan identitas diri. Baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai persamaan dan perbedaan yang nature (alamiah) dan berdasarkan
nurture (kebudayaan). Budaya memberikan peran gender kepada laki-laki dan perempuan.34
Istilah feminism (feminisme) mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada musim semi tahun 1914, meski sejak tahun 1910-an kata feminisme sudah kerap dipergunakan. Kata feminisme berasal dari bahasa Prancis, pertama kali digunakan pada 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Hubertine Auclort adalah pendiri perjuangan politik perempuan yang pertama di Prancis, dalam salah satu publikasinya menggunakan kata feminisme dan feministe. Sejak itulah feminisme tersebar di seluruh Eropa dan sampai AS, melalui New York pada tahun 1906. Gerakan feminisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut hal-hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi.35
34
A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Magelang: IndonesiaTera, 2004, hal. XXVI-XXVIII
35
Penulis menganggap feminisme erat kaitannya dengan tema besar penelitian ini. Hal itu dikarenakan penelitian yang ingin dilakukan oleh penulis ialah mengenai kedudukan perempuan dalam suatu pemberitaan, yang mana terdapat permasalahan gender di dalamnya, sehingga penulis merasa perlu memasukkan kajian mengenai feminisme. Dengan begitu, penulis dapat sekiranya menggambarkan bagaimana program Redaksi Siang sadar dan memperjuangkan kedudukan perempuan melalui penayangan pemberitaannya.
2.1.6. Analisis Framing dan Konsep Realitas Sosial
Menurut Gaye Tuchman, “Berita adalah jendela dunia”. Melalui berita, khalayak, khususnya khalayak pemirsa, dapat mengetahui apa saja yang terjadi di kawasan Jakarta, Tangerang, Aceh, dan sebagainya. Akan tetapi yang dilihat, diketahui, dan khalayak rasakan mengenai dunia itu tergantung dengan ‘jendela’ yang dipakai. ‘Jendela’ yang besar akan memperluas pandangan khalayak. Sebaliknya, ‘Jendela’ yang kecil akan membatasi pandangan. Apakah ‘jendela’ tersebut berjeruji atau tidak, dapat dibuka secara lebar ataupun tidak. Dalam berita, ‘jendela’ itu yang disebut dengan frame (bingkai).36
Eriyanto memberikan ilustrasi yang menggambarkan bahwa berita bukanlah sesuatu yang sama dan sebangun dengan peristiwa yang terjadi (atau disebut pula sebagai realitas sosial). Bentuk, ukuran dan posisi ‘jendela’ tersebut melalui proses pembingkaian (framing).37
36
Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LKiS, 2005, hal. 193-194
37
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.38 Menurut Robert N. Entman,
framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa lebih menonjol dibandingkan aspek lain.39
Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh William A. Gamson yang menyatakan bahwa framing adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.40
Dalam analisis framing, berita selalu bersifat subjektif. Opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Hal ini berbeda dengan pandangan positivis yang menyebutkan bahwa berita bersifat objektif, menyingkirkan opini dan pandangan subjektif pembuat berita. Analisis framing, yang menurut Eriyanto merupakan bagian dari paradigma kostruksionis melihat berita bukan sesuatu yang terberi (taken for granted), melainkan hasil konstruksi yang dilakukan wartawan. Peter D. Moss menyatakan, wacana media massa, termasuk berita surat kabar, merupakan konstruk kultural uang dihasilkan ideologi, karena sebagai produk media massa, berita
38
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Jogjakarta:LKiS, 2007, hal. 21
39
Ibid., hal. 67 40
surat kabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial.41
Realitas berasal dari kata Latin “res” yang berarti benda, dan berubah menjadi “realis” yang berarti sesuatu membenda dan atau yang memiliki wujud, aktual. Salah satu pemikiran konstruksionisme yang mengaji tentang pembentukan realitas sosial di masyarakat, yaitu teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.42 Menurut Berger dan Luckmann, realitas adalah suatu kualitas yang terdapat dalam gejala fenomena-fenomena yang diakui oleh manusia sebagai memiliki being (keberadaan) dan tidak tergantung pada manusia itu sendiri.43
Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Sebuah teks berupa berita tidak dapat dikatakan sebagai jiplakan (copy of) realitas, melainkan harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan.44
Dalam konteks inilah, wartawan tidak sekadar menyampaikan kepada khalayak tentang sesuatu yang terjadi, melainkan juga memberi makna tertentu tentang kejadian itu. Karena
41
Alo Liliweri, Op.Cit.hal 194
42
Tuti Widiastuti,Konstruksi Realitas Perempuan dalam Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi dalam Komunika Vol. 8 No. 1, 2005, hal. 54
43
Ibid.
44
itu analisis framing tidak melihat berita sebagai sesuatu yang objektif dan netral, melainkan subjektif dan memihak. Ketidakobjektifan dan ketidaknetralan itu, misalnya, terlihat dari pemilihan isu dan narasumber. Wartawan memilih isu tertentu untuk ditonjolkan dan isu lain untuk diabaikan. Wartawan juga memilih tokoh tertentu untuk diwawancarai, dan tokoh lain tidak diawancarai. Proses itu sudah menunjukkan bahwa berita tidak objektif dan tidak netral. Hal itu pula yang menyebabkan peristiwa tertentu diberitakan, peristiwa lain tidak diberitakan. Bahkan, satu berita dapat diberitakan secara berbeda-beda oleh berbagai media, sesuai dengan cara pandang tiap media. Inilah yang sering membingungkan pembaca koran, pendengar radio, atau pemirsa televisi. Sesuai dengan pola pikir dan lingkup pengalamannya, wartawan juga tidak objektif dalam pemberian predikat terhadap seseorang atau kelompok.45
Menurut Eriyanto, terdapat empat model framing; Pertama, model framing Murray Edelman. Murray Edelman menyejajarkan
framing sebagai “kategorisasi” yaitu pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Kedua, model framing William A. Gamson. Dalam pandangan Gamson, yang termasuk penganut konstruktivisme, ada dua level framing. Pertama, dalam level personal; menandakan bagaimana setiap orang mempunyai konstruksi yang bisa jadi berbeda-beda atas suatu realitas atau peristiwa. Konstruksi tersebut menentukan bagaimana dunia dihayati, dialami, dan dimengerti. Kedua dalam level kultural; menandakan bagaimana budaya masyarakat dan alam pikiran
45
khalayak menentukan bagaimana peristiwa atau isu dikonstruksi dan dibentuk. Individu mempunyai pengalaman sejarah, latar biografis, interaksi, dan predisposisi psikologis tersendiri yang digunakan olehnya dalam mengkostruksi makna. Ketiga, yaitu model Pan dan Kosicki. Menurut mereka, ada dua konsepsi dari framing yang saling berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologi. Framing dalam konsepsi ini lebih menekankan bagaimana seorang memproses informasi dalam dirinya. Kedua,dalam konsepsi sosiologis proses bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya. Keempat, model framing Robert N. Entman.46
Penulis menilai teknik framing Entman yang lebih tepat untuk menanalisis pemberitaan perempuan dalam program Redaksi siang TRANS7. Karena, penulis beranggapan bahwa konsep Entman melihat berita yang ditampilkan tidak hanya sebuah konstruksi realitas yang dilakukan oleh media saja, namun lebih kepada bagaimana media melakukan proses seleksi isu dan penekanan/penonjolan aspek tertentu dari isu pemberitaan tersebut. Penulis beranggapan bahwa realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Proses seleksi isu serta penonjolan aspek yang dilakukan dengan menggunakan strategi wacana (penempatan headline, penampilan gambar, pengulangan, pemakaian grafis, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi) inilah yang kemudian penulis
46
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Jogjakarta:LKiS, 2007,
anggap erat kaitannya dengan ideologi media, yang juga merupakan objek penelitian yang ingin dilakukan oleh penulis.
Teknik Framing Entman dilakukan sebanyak empat tahap. Tahap-tahap itu ialah pendefinisian masalah, melakukan diagnosa penyebab masalah, membuat keputusan moral, dan rekomendasi penyelesaian apa yang ditawarkan atau yang harus ditempuh atas suatu permasalahan. 47
2.1.7. Komunikasi Kekuasaan
Wacana dapat tidak lagi dipahami sebagai serangkaian kata-kata atau proporsi dalam teks, tetapi mengikuti Foucault adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi kerena secara sistematis suatu ide, opini, konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.48
Menurut Michael Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam banyak kajiannya mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep yang abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi
47
Ibid., hal.187
48
dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan ‘terpinggirkan’ (marginalized) atau ‘terpendam’ (submerger).49
Jika penayangan berita mengenai perempuan dalam redaksi Siang TRANS7 dinilai subjektif, maka besar kemungkinan terdapat praktik kekuasaan yang terstruktur di dalam media tersebut. Kekuasaan itu dapat berkaitan dengan ideologi yang dimiliki oleh TRANS7, atau berkaitan dengan kebijakan para perangkat program Redaksi Siang. Dengan kekuasaan tersebut, media dapat memberikan suatu kedudukan terhadap perempuan dalam suatu strata sosial melalui penayangan beritanya.
49
2.2. Kerangka Berpikir
Berita Utama dan Laporan Khas Redaksi mengenai perempuan dalam Redaksi Siang
Dari tema penelitian “Analisis framing pemberitaan mengenai perempuan” hal yang ingin diteliti antara lain bagaimana pola komunikasi yang dilakukan oleh media massa dalam memberitakan perempuan, bagaimana framing yang dilakukan media massa ditinjau dari model analisis
2.3. Penelitian Terdahulu
perempuan, ditinjau dari framing serta ideologi media dan aspek gender yang menyertai pemberitaan tersebut.
dari mulai proses peliputan, pembuatan naskah, pengambilan gambar, penyuntingan, hingga kemudian berita itu disiarkan.
Ketiga, penelitian yang berjudul “Citra Seksual Perempuan Dalam Surat Kabar” yang dilakukan oleh Dian Nurmalasari. Penelitian ini merupakan skripsi program studi ilmu komunikasi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikeluarkan pada tahun 2010. Sampel dari penelitian ini ialah rubrik “Nah, Ini Dia” yang terdapat pada harian umum Pos Kota. Penelitian yang dilakukan Dian merupakan penelitian dengan metode penelitian kualitatif deskriptif, dengan pendekatan analisis framing. Untuk model framing, Dian menggunakan model framing Pan dan Kosicki. Melalui model framing ini, Dian menganalisis teks berita dari segi struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik, dan struktur retorisnya. Kesimpulan dari penelitian Dian adalah citra perempuan yang dihadirkan dalam rubrik “Nah, Ini Dia” pada harian umum Pos Kota adalah negatif, dan pemberitaan dalam rubrik tersebut cenderung melecehkan perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai objek humor seksual bagi kaum dominan (laki-laki). Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Dian dan penelitian ini terletak pada metode penelitian serta teknik analisis yang digunakan. Baik Dian maupun penulis, sama-sama menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dan teknik analisis framing. Namun, penulis menggunakan teknik framing
mulai dari redaktur hingga pada tataran pemimpin redaksi. Mereka (perangkat media) dianggap memiliki kebijakan dan kekuasaan untuk membuat suatu keputusan
mengenai pemberitaan. Perspektif redaktur dan pemimpin redaksi juga tidak dihadirkan dalam penelitian Dian.
lantas memberikan suatu solusi atas
permasalahan tersebut. Penelitiannya hanya sebatas pembuktian model analisis.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah paradigma konstruksionis. Bagi kaum konstruksionis, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi, dan bersifat subjektif.50 Karena, penulis menganggap media, khususnya TRANS7, melakukan konstruksi terhadap suatu peristiwa. Konstruksi realitas itu dapat berbeda-beda, tergantung kepada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami berbeda oleh masing-masing awak media, dalam hal ini ialah perangkat program Redaksi Siang. Kemudian fakta atau realitas tersebut diberi makna oleh perangkat program tersebut. Maka media tidak dapat lagi dikatakan sebagai saluran yang bebas, namun subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.
3.2. Metode Penelitian
Pengertian metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang artinya cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah
yang berkaitan dengan suatu cara kerja untuk memahami suatu subjek atau
objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya.
Sedangkan penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten.51
50
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Jogjakarta:LKiS, 2007, hal. 22.
51 Rosady Ruslan,
Untuk metode penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penulis memilih pendekatan kualitatif sebagai metode penelitian ini adalah karena, dalam konteks ilmu komunikasi, sebagaimana
juga dalam konteks ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu perilaku yang lebih
luas, metode penelitian kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan-penjelasan, mengontrol gejala-gejala komunikasi,
mengemukakan prediksi-prediksi, atau untuk menguji teori apapun, tetapi
lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran atau pemahaman
(understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.52
Selain itu, metode kualitatif digunakan sebagai metode dalam
penelitian ini karena penulis beranggapan permasalahan belum jelas,
kompleks, dinamis, dan penuh makna. Sehingga tidak mungkin data pada
situasi sosial tersebut dapat dijaring dengan metode penelitian kuantitatif
dengan instrument test serta kuesioner.
Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan pendekatan analisis framing. Metode kualitatif deskriptif ini digunakan penulis untuk menggambarkan bagaimana kedudukan perempuan dalam pemberitaan dalam program Redaksi Siang TRANS7. Metode kualitatif deskriptif dapat digunakan untuk memberikan, menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan fenomena objek penelitian. Metode ini menjelaskan secara alami, objektif, dan apa adanya (faktual).53
Untuk analisis framing ini, penulis menggunakan teknik framing
Robert N. Entman. Entman mengatakan framing dilakukan dalam empat tahap, yaitu: pertama, pendefinisian masalah/define problem tentang bagaimana melihat suatu isu/peristiwa dan sebagai masalahapa isu/perisiwa itu dilihat. Kedua, memperkirakan masalah atau sumber masalah/diagnose
52
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LKiS, 2007, hal. 35.
53
cause tentang peristiwa itu dilihat sebagai apa serta siapa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah. Ketiga, membuat keputusan moral/make moral judgement tentang nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah dan nilai moral apa yang dipakai untuk menyatakan penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah atau isu dan jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah. Keempat, recommendation menekankan tentang penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu dan jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah.54
54
3.3. Subjek dan Objek Penelitian
Adapun subjek penelitian ini ialah stasiun televisi TRANS7, khususnya program Redaksi Siang, dan objek penelitian ini adalah salah satu pemberitaan dari program Redaksi Siang TRANS7 edisi Oktober 2011-Januari 2012.
Kemudian, untuk teknik pengambilan sampel untuk subjek dan objek dalam penelitian ini, penulis menggunakan non probability sampling
(sampel non probabilitas), dimana teknik pengambilan sampel ini tidak secara random (acak) atau tidak memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau angota populasi untuk kemudian dijadikan sampel. Dalam non probability sampling, terdapat purposive sampling
(sampel purposif atau sampel bertujuan) yang digunakan oleh penulis, yakni orang-orang yang dijadikan sebagai sampel diseleksi dengan pertimbangan atau kriteria tertentu. Kriteria yang dibuat berdasarkan tujuan penelitian dan fokus masalah yang dituju oleh penulis.55
Sampel penelitian dari penelitian kualitatif ini kemudian disebut narasumber, partisipan, informan, teman atau guru dalam penelitian. Sebagai sumber data atau sebagai informan, penulis menentukan kriteria yang harus dipenuhi sebagai berikut:
1. Mereka yang bekerja di TRANS7 selama minimal dua tahun.
2. Mereka yang menguasai atau memahami ideologi yang dimiliki dan dijadikan sebagai acuan oleh media TRANS7.
3. Mereka yang masih atau pernah berkecimpung atau terlibat langsung dalam program Redaksi Siang TRANS7.
4. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi.
55
5. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil ‘kemasannya’ sendiri.
6. Mereka yang mau terbuka dalam memberikan informasi-informasi terkait dengan objek penelitian.
Berdasarkan kriteria itulah, maka penulis mendapatkan delapan orang untuk dijadikan sebagai informan, tiga diantaranya merupakan informan kunci. Informan-informan tersebut antara lain:
3.3.1. Cut Ika Melanie
Salah satu informan kunci pada penelitian ini ialah Cut Ika
Melanie. Perempuan yang kerap disapa Icut ini merupakan produser
pada program pmberitaan Redaksi Siang, yang memiliki tugas
utama mengidentifikasi kebutuhan biaya program, menyusun
rencana produksi program dan melaksanakannya untuk mencapai
target, serta mengkoordinir, mengawasi, dan mengevaluasi
kelancaran keseluruhan kegiatan persiapan dan pelaksanaan
pembuatan program (materi, personil, set design, musik, teks,
editor, art, talent, peralatan) dan pengembangan ide kreatif program sesuai dengan konsep program yang disepakati, untuk memastikan
kegiatan produksi berjalan sesuai dengan perencanaan.
Perempuan kelahiran 6 September 1979 ini sudah bekerja
selama hampir enam tahun di TRANS7, dan lebih dari sembilan
tahun di TRANSCORP. Ia memulai karir pada tahun 2003 sebagai
production assistant program talkshow Kupas Tuntas di stasiun televisi Trans Tv. Kemudian pada tahun 2005 Icut menjadi reporter
pada program Reportase Trans Tv.
Lulusan jurusan Broadcasting Universitas Indonesia dan Universitas Mercu Buana ini, pada tahun yang sama, berkesempatan
pada tahun 2006, tahun dimana kepemilikan saham TV7 dipegang
oleh TRANSCORP dan berubah nama menjadi TRANS7, pada saat
itu Icut menjabat posisi assprod Reportase Trans Tv, produser Kupas
Tuntas Trans Tv dan juga menjadi produser program Selamat Pagi
TRANS7, yang kini telah berganti nama menjadi Redaksi Pagi.
Tahun 2006 merupakan tahun perombakan bentuk tayangan
pemberitaan pada TRANS7, khususnya program pemberitaan pada
siang hari (Redaksi Siang). Ia bersama rekannya Dina (produser
Redaksi Siang), terlibat secara langsung dalam perubahan format
pemberitaan, dari segmentasi hingga pada bentuk pengemasan
pemberitaan. Pada saat itulah Icut dan rekan-rekannya merancang
bentuk atau format yang baru untuk redaksi Siang. Kemudian pada
tahun 2008 hingga penelitian ini dilakukan, Icut menjabat sebagai
produser pada program Redaksi Siang TRANS7, yang bertugas
sebagai penanggungjawab atas tayangan pemberitaan program
Redaksi Siang TRANS7.
3.3.2. Ardina Yunita Kartikasari
Perempuan dengan nama panggilan Dina ini juga merupakan
informan kunci pada penelitian yang penulis lakukan. Dina belum
genap setahun menjadi produser pada program Redaksi Siang
TRANS7, namun perempuan ini telah bergabung dengan
TRANSCORP selama hampir delapan tahun.
Perempuan yang sudah berkecimpung dalam media sejak
mengawali karir, nyatanya tidak sejalan dengan pendidikan yang ia
ambil sebelumnya. Perempuan yang pernah bekerja di bagian
marketing Suara Surabaya FM ini, ternyata lulusan ilmu pariwisata