i
MANFAAT PROGRAM PEMBINAAN MENJADI PRIBADI AGUNG (BELAJAR PADA HIDUP ELISABETH GRUYTERS)
BAGI PENGHUNI ASRAMA SMA STELLA DUCE I SUPADI 5 YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
OLEH
YUSTINA NGATINI O41114029
PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Seluruh harapanku berdasarkan ayat pertama Credo “Aku percaya akan Allah yang Mahakuasa”
(EG. 23) -
Jika „ya‟, hendaklah kamu katakan „ya‟, jika „tidak‟ hendaklah kamu katakan „tidak‟ apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.
(Mat 5:37)
Hasil karya ini kupersembahkan kepada:
Kongregasi Suster-suster Santo Carolus Borromeus tercinta.
Bapak, ibu, kakak-kakak dan adik tercinta.
Seluruh Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5.
v ABSTRAK
Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (Belajar Pada Hidup Elisabeth Gruyters)
Bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta
Yustina Ngatini Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2009
Penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 sekarang ini dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Padahal asal mula didirikannya asrama tersebut oleh suster CB adalah untuk menampung para siswi yang tidak mampu. Tingkat ekonomi menengah ke atas membuat mereka cenderung bersikap hedonis dan materialistis. Agar mereka tidak hanyut dengan gaya hidup yang demikian maka asrama memberikan pembinaan kepada penghuninya yaitu:“Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters)” pendiri Kongregasi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus. Program pembinaan yang diberikan adalah empat kecerdasan secara integral yaitu kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan mental, dan kecerdasan fisik.Tujuan penelitian ini ingin mengetahui manfaat program pembinaan tersebut bagi penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5.
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta mulai angkatan tahun I, II dan III yang berjumlah 50 siswi. Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah kuesioner Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta yang disusun oleh peneliti. Uji reliabilitas alat dengan menggunakan rumus Spearman and Brown yang menghasilkan reliabilitas sebesar 0,94.
vi ABSTRACT
The Advantages of Guidance Program “Being Great Person (learning on Elisabeth Gruyters Life)
for the Inhabitans of Stella Duce 1 Senior High School Dormitory Supadi Street no 5 Yogyakarta
Yustina Ngatini Sanata Dharma University
Yogyakarta 2009
The students live in dormitory in Stella Duce 1 Senior High School, Supadi street no 5 Yogyakarta now are coming from middle economic class to high class. The early reason why sisters CB build the dormitarian was to help poor students. High economic level makes the student become a hedonic and materialistic person. Sister in Dormitory give them a guidance program “Being Great Person (learning on Elisabeth Gruyters Life)” to those life styles. The purpose of this researth is to know the advantages of guidance program which was given by sisters for the inhabitans of Stella Duce 1 Senior High School dormitory Supadi street no 5 Yogyakarta. Guidance programs consisted of 4 types of intelligence, spiritual intelligence, emotional intelligence, mentally intelligence and physically intelligence.
The subject of this research was inhabitans of Stella Duce 1 Senior High School dormitory, Supadi street no 5 Yogyakarta, from first second and third grade. The subject consisted of female students. The instrument used The advantages of guidance program “Being Great Person (learning on Elisabeth Gruyters Life)” for the in habitans of Stella Duce 1 Senior High School dormitory Supadi street no 5 Yogyakarta Quationare. The Quationare constructed by researcher. Reliability test (Spearman and Brown) showed 0,94.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis hunjukkan kehadirat Allah Tritunggal, Bapa, Putera dan Roh Kudus atas segala berkat, karunia dan rahmat-Nya yang senantiasa membimbing dan menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Skripsi ini diberi judul “Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada
Hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta”.
Penulis menyadari, bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan berbagai pihak baik semenjak proses persiapan, penulisan hingga penyelesaian. Untuk itu dari lubuk hati yang terdalam penulis mengucapkan limpah terima kasih kepada:
1. Sr.Sesilia Widiastari CB berserta staf Dewan Pimpinan Provinsi Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada penulis dalam menjalani tugas perutusan studi serta berbagai pengarahan yang menunjang tugas perutusan selama ini.
viii
3. Sr. Secunda CB dan para suster komunitas Ganjuran yang telah membantu penulis dalam proses mempersiapkan diri untuk studi.
4. Sr.Lusi Mulyani CB dan para suster komunitas Maria Regina Samirono yang telah mendukung penulis dengan saling mengingatkan, menemani dalam mengerjakan tugas-tugas.
5. Sr. Henricia CB, Sr.Petra CB, dan para suster komunitas Pakuningratan yang dengan setia mendukung melalui doa-doa dan senantiasa memberi spirit sehingga skripsi ini terselesaikan.
6. Bapak, ibu, kakak-kakak dan adik tercinta yang senantiasa memberi semangat dan dukungan doa-doa dalam menjalani tugas perutusan studi.
7. Para Siswi SMA Stella Duce 1 asrama Supadi 5 atas kesediaannya mengisi kuesioner penelitian skripsi ini.
8. Ibu Dr. M.M. Sri Hastuti,M.Si Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling.
9. Ibu Dra. Ignatia Esti Sumarah, M.Hum yang dengan penuh kesetiaan dan ketelitian telah membimbing penulisan skripsi ini.
10. Bapak Drs. Wens Tanlain, M.Pd yang dengan kerelaan membimbing pengolahan data penelitian.
ix
xii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……… iv
ABSTRAK ……… v
ABSTRACT ……….. vi
KATA PENGANTAR ………. vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. ix
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………….. x
DAFTAR ISI ………... xi
B. Program Pembinaan Bimbingan Kelompok di Asrama “Stella Duce” ... 12
1. Bimbingan kelompok ... 12
2. Perencanaan program bimbingan kelompok ... 13
xiii
1. Pribadi Agung menurut Teori Stephen R.Covey ………. 14
2. Contoh Pribadi Agung menurut Stephen R.Covey ……….. 17
D. Empat Kecerdasan yang Diwujudnyatakan Elisabeth Gruyters ……….. 20
1. Kecerdasan spiritual ………. 23
2. Kecerdasan emosional ………. 25
3. Kecerdasan mental ………... 26
4. Kecerdasan fisik ……….. 29
E. Pelayanan Suster-Suster CB di Indonesia ……… 31
F. Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung di Asrama Stella Duce 1 Supadi 5 ………..
xiv
2. Reliabilitas ………... 53
3. Skoring ……… 54
4. Kategori tingkat manfaat program pembinaan menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta ……….. 55 H. Teknik Analisi Data ………. 56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 59 A. Hasil Penelitian ……… 59
B. Pembahasan Hasil Penelitian ………... 63
1. Berdasarkan data hasil penelitian ... 63
2. Berdasarkan proses kegiatan bimbingan ... 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 72 A. Kesimpulan ……….. 72
B. Saran ……… 76 DAFTAR PUSTAKA
xv DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kisi-kisi kuesioner Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama …………
51
Tabel 2 Koefisien Validitas dan Reliabilitas ……… 54
Tabel 3 Klasifikasi Koefisien Korelasi Alat Ukur ... 54
Tabel 4 Skor Penilaian Kuesioner ... 54
Tabel 5 Rincian responden dari 50 orang penghuni asrama ... 59 Tabel 6 Tinggi-Rendahnya Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung
(belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi penghuni asrama pada
masing-masing aspek ... 60
Tabel 7 Tanggapan Manfaat Program Menjadi Pribadi Agung (belajar pada Hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta secara keseluruhan ...
61
Tabel 8 Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi penghuni asrama yang tinggi dan rendah pada semua aspek ...
66
Tabel 9 Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi penghuni asrama yang tinggi dan rendah pada aspek tertentu ...
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta.
Lampiran 2 Tabulasi Skor Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta.
Lampiran 3 Tabel Pengelompokan Skor Ganjil – Genap. Lampiran 4 Tabel Penghitungan Skor Ganjil – Genap.
Lampiran 5 Penghitungan Koefisien Korelasi Ganjil – Genap. Lampiran 6 Penghitungan Koefisien Reliabilitas – Validitas.
Lampiran 7 Hasil Penghitungan Mean Keseluruhan dan Mean Per Aspek. Lampiran 8 Tabel Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung
(belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta pada Aspek kecerdasan Spiritual.
Lampiran 9 Tabel Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta pada Aspek kecerdasan Emosional.
Lampiran 10 Tabel Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta pada Aspek kecerdasan Mental.
xvii kecerdasan Fisik.
Lampiran 12 Tabel Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta Angkatan Tahun I Lampiran 13 Tabel Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung
(belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta Angkatan Tahun II Lampiran 14 Tabel Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung
(belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta Angkatan Tahun III. Lampiran 15 Surat Ijin Penelitian.
Lampiran 16 Surat Keterangan Penelitian.
1 BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah mengapa peneliti
tertarik dengan topik yang akan diteliti, permasalahan yang ditanyakan dan diajukan oleh peneliti, tujuan penelitian ini dilakukan, manfaat dari hasil penelitian yang akan diperoleh serta batasan istilah dan variabel.
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia modern dengan segala kemajuan Ilmu dan teknologinya membuat orang berusaha untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik orang berusaha menempuh pendidikan yang tinggi dan memilih sekolah-sekolah yang bermutu. Untuk mewujudkan keinginannya itu, orang tidak segan-segan untuk pergi jauh dari daerahnya ke daerah lain, dengan biaya yang tinggi. Bahkan orang tua berani mengirimkan putri-putrinya ke luar kota untuk menempuh Sekolah Menengah Atas (SMA). Siswa-siswi SMA yang meninggalkan daerahnya ke daerah lain khususnya ke kota Yogyakarta ini, tentu membutuhkan tempat tinggal selama mereka menempuh pendidikannya. Salah satu tempat tinggal yang mereka pilih adalah asrama.
2
Pada tahun 1973, banyak siswi yang berasal dari luar kota Yogyakarta juga luar Provinsi yang bersekolah di SMA Stella Duce 1. Hal tersebut mendorong Sr. Bernadia. CB (almarhumah) untuk mendirikan asrama bagi mereka. Setelah beberapa bulan mencari lokasi maka diperolehlah rumah di Jl.Supadi 5 (Provinsi Indonesia, 1987:214). Pemilihan lokasi rumah tersebut dengan pertimbangan supaya para siswi tidak mengeluarkan biaya untuk transportasi sebab SMA Stella Duce berada dekat dengan lokasi rumah tersebut. Asrama tersebut kemudian diberi nama “Asrama SMA Stella Duce 1”. Seiring dengan perkembangan SMA Stella Duce 1 yang mayoritas
siswinya dari kalangan ekonomi menegah ke atas maka berpengaruh pula dengan penghuni asrama jaman sekarang.
3
diprogramkan dimaksudkan supaya penghuni asrama dapat menjadi pribadi agung/menjadi pribadi utuh: tidak hanya cerdas secara mental saja melainkan juga cerdas secara spiritual, dapat memiliki kepekaan sosial (kecerdasan emosional) dan cerdas secara fisik. Oleh karena itu program pembinaan menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) diberikan kepada penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta. Melalui program pembinaan ini diharapkan agar para siswi sebagai komunitas asrama ikut ambil bagian dalam kerasulan awam (Riberu,1983:315)
Program pembinaan yang diberikan oleh asrama termasuk ke dalam kategori bimbingan kelompok. Bimbingan kelompok adalah pelayanan bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan (Winkel, 2004:563). Oleh karena penghuni asrama terdiri dari 3 tahun angkatan maka pembinaan diberikan dalam bentuk kelompok-kelompok sesuai dengan tahun angkatan masing-masing dengan didampingi oleh team pembimbing.
4
membagikan manfaat program pembinaan yang diberikan oleh asrama bagi penghuninya.
Seorang alumni yang berprofesi sebagai Jaksa, berdomisili di Surabaya membagikan manfaat program pembinaan yang dialaminya ia merasa bersyukur memiliki kebiasaan hidup doa yang baik. Akibatnya nuraninya senantiasa terasah untuk memperjuangkan keadilan saat menghadapi persoalan dalam persidangan kendati resikonya sangat besar. Melalui kebiasaan doa ia tergerak untuk memiliki visi membela yang benar, berempati dengan orang yang menghadapi masalah. Alumni yang lain berprofesi sebagai Kepala Sekolah di Jakarta mengungkapkan bahwa pembinaan ditelah diterimanya selama tinggal di asrama telah menumbuhkan dan membentuk jiwa kepemimpinannya. Sebagai seorang kepala sekolah ia menerapkan menjadi seorang pemimpin yang berpikir ke depan demi kemajuan anak-anak didiknya. Kemudian seorang alumni calon dokter gigi ia mengungkapkan bahwa pembinaan yang dijalani di asrama sangat membantunya untuk berdisiplin. Kedisiplinan dan ketekunan sangat dia rasakan sewaktu menjalani Koas untuk tidak datang terlambat walau satu menit. Dan ia dapat menjalani masa Koas dengan baik berkat pembinaan yang dialaminya selama tinggal di asrama.
5
mampu menemukan suara panggilan dalam jiwanya dan mengilhami orang lain untuk menemukan kemerdekaan jiwa mereka serta mampu mengembangkan empat kecerdasan secara integral. Pribadi agung dalam konteks bimbingan konseling berarti individu yang bersangkutan menjadi pribadi utuh.
Keempat kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan mental, dan kecerdasan fisik (Covey, 2006:34). Elisabeth adalah pribadi yang agung/utuh, ia telah mengembangkan empat kecerdasan tersebut secara integral sepanjang hidupnya.
Keempat kecerdasan itu, telah dihidupi oleh Elisabeth sebagai pendiri Kongregasi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus (CB) dan diteladani oleh semua suster CB. Asrama Stella Duce 1 yang dikelola suster-suster CB berusaha menanamkan keempat kecerdasan tersebut kepada para penghuninya melalui program-program pembinaan. Stella Duce berasal dari bahasa Latin “Bintang Pembimbing”. Istilah ini digunakan dengan maksud agar penghuni asrama
mendapatkan pembinaan menjadi pribadi agung sehingga dapat menampilkan kualitas hidup yang baik dalam bermasyarakat (Asrama, 2007:01).
Program pembinaan yang diberikan oleh asrama Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta meliputi:
6
harian dan Mingguan, mengikuti Perayaan Ekaristi di asrama setiap satu bulan sekali, doa dan renungan harian bersama, doa rosario setiap hari Rabu dan pada bulan Mei-Oktober didoakan setiap hari, mengikuti Pendalaman Iman, Sakramen Tobat, Perayaan Natal dan Paska, Perayaan Hari Jadi Kongregasi CB, dan Pesta Santo Carolus, menyediakan buku-buku bacaan tentang ajaran agama Buddha, Kristen dan Katolik.
b. Pembinaan kecerdasan emosional: pembinaan ini membantu dan melatih para siswi untuk memiliki semangat bela rasa. Bentuk kegiatan yang diberikan adalah analisa sosial, bakti sosial, Home stay/live in.
c. Pembinaan kecerdasan mental: Tujuannya supaya para siswi memiliki ketekunan dan mempunyai visi-misi hidup yang berorientasi demi menolong orang lain. Untuk itu asrama mewajibkan para siswi untuk: belajar di sekolah, di asrama, mengikuti les dan bimbingan belajar, latihan dasar kepemimpinan. d. Pembinaan kecerdasan fisik: dengan belajar dari organ-organ tubuh yang
memiliki disiplin tinggi dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Maka asrama membantu para siswi agar hidup tertib, teratur dan disiplin dengan dilatih untuk dapat mengatur waktu dan mengikuti kegiatan outbond.
7
Peneliti juga menjadi salah satu staf pembimbing di asrama tersebut yang bertanggungjawab menerapkan pendampingan agar penghuni asrama Stella Duce 1 Supadi 5 dapat menjadi “Bintang Pembimbing”.
Selain sebagai salah satu staf di asrama tersebut peneliti memiliki keprihatinan terhadap gaya hidup anak asrama yang cenderung hedonis dan materialistis. Peneliti menyaksikan secara langsung bagaimana penghuni asrama begitu mudah mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang kurang dibutuhkan.
B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah Manfaat Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi Penghuni Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
8 D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi:
a. Yayasan Syantikara sebagai lembaga penanggung-jawab asrama: dapat mengetahui manfaat program pembinaan menjadi pribadi agung bagi penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5.
b. Bagi pembimbing asrama: mendapatkan informasi pelayanan bimbingan untuk penghuni asrama berkaitan dengan program pembinaan menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) dengan mengembangkan empat kecerdasan dalam hidupnya.
c. Bagi para siswi: dapat menyerap betapa pentingnya untuk terus berproses mengembangkan kebebasan dan kemampuan untuk memilih, prinsip-prinsip dan empat kecerdasan secara integral.
d. Bagi peneliti: mengetahui sejauhmana respons penghuni asrama dalam menyerap nilai-nilai pembinaan menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) yang sepanjang hidupnya telah berproses menjadi pribadi agung dengan menggunakan seluruh anugerah penting dari sang pencipta dengan menemukan suara dalam jiwanya dan mengembangkan empat kecerdasan secara integral dalam hidupnya.
9 E. Batasan Istilah dan Variabel
Agar penelitian ini mudah dipahami, maka perlu dijelaskan definisi operasional beberapa istilah.
1. Batasan Istilah
a. Asrama adalah tempat tinggal yang dikhususkan untuk kelompok tertentu seperti suku, jenis kelamin, agama, dan tingkat pendidikan tertentu. Asrama biasanya dikelola oleh Yayasan tertentu dan memiliki tujuan tertentu pula (Asrama, 2007:01). Dalam penelitian ini asrama yang dimaksud adalah Asrama SMA Stella Duce 1 Jl. Supadi 5 Yogyakarta yang berada di bawah naungan Yayasan Syantikara dan dikelola oleh Suster-suster Cintakasih St.Carolus Borromeus. b. Pribadi Agung adalah pribadi yang mampu menemukan suara panggilan dalam
jiwanya dan mengilhami orang lain untuk menemukan kemerdekaan jiwa mereka serta mampu mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, mental dan fisik secara integral dalam hidupnya. Dalam konteks ini dengan cara belajar pada hidup Elisabeth Gruyters.
2. Variabel
10 BAB II
KAJIAN TEORITIS
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5, Program Pembinaan di Asrama dalam Konteks Bimbingan Kelompok “Stella Duce”,
Pribadi Agung menurut teori Stephen R.Covey, Empat Kecerdasan yang diwujudnyatakan oleh Elisabeth Gruyters, Karya Pelayanan CB di Indonesia, Program pembinaan menjadi Pribadi Agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) di Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta.
A. Asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5
Asrama Stella Duce 1 Supadi 5 dikelola oleh para suster CB. Asrama ini didirikan seiring berkembangnya karya pendidikan yang ditangani oleh para suster CB di SMA Stella Duce 1. Meningkatnya jumlah siswi yang berasal dari berbagai daerah mendorong para suster CB untuk mendirikan asrama. Selain jumlah siswi yang terus meningkat juga karena banyaknya siswi yang berasal dari keluarga kurang mampu. Karya asrama pertama kali muncul di Ganjuran pada tahun 1939 dengan menerima siswa-siswi SMP dan SPG (Provinsi Indonesia, 1987:162).
11
Kolombo 19 tepatnya di biara Stella Duce. Asrama ini terus berkembang dan jumlah siswi terus bertambah, sekitar tahun 1959 jumlah siswi asrama menjadi 146 orang, didampingi oleh 4 orang suster dan 2 orang ibu awam ((Provinsi Indonesia, 1987:207-208).
SMA Stella Duce yang terus berkembang dengan pesat dan jumlah siswi yang semakin bertambah tak memungkinkan lagi menampung para siswi di asrama Stella Duce Jalan Kolombo. Pada tanggal 1 Januari tahun 1973, Sr.Bernadia CB (almahurmah) membuka asrama lagi di Jalan Sabirin 3. Asrama ini diperuntukkan bagi para siswi yang tidak mampu secara ekonomi sehingga para siswi tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk transportasi. Asrama ini memiliki kapasitas/daya tampung 33 siswi. Akan tetapi karena jumlah siswi yang membutuhkan asrama terus bertambah maka masih pada tahun yang sama asrama kemudian dipindahkan ke Jalan Supadi 5 hingga sekarang. Asrama Jalan Supadi 5 ini memiliki daya tampung 52 siswi (Provinsi Indonesia, 1987:214). Asrama ini dinamai asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta.
12
sebagaimana telah dilakukan oleh Elisabeth Gruyters (Pendiri Kongregasi CB) (Dewan, 2004:28). Elisabeth berasal dari keluarga kalangan ekonomi menengah ke atas namun ia memiliki hati untuk orang lain yang tidak mampu. Itu sebabnya ada program pembinaan dalam bentuk bimbingan kelompok yang wajib diikuti oleh semua penghuni asrama supaya mereka memiliki hati seperti Elisabeth: cerdas secara mental dan cerdas secara spiritual, memiliki kepekaan sosial (kecerdasan emosional) dan disiplin tinggi (cerdas secara fisik). Oleh karena itu program pembinaan menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) diberikan kepada seluruh penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta. Agar para siswi sebagai komunitas asrama sedini mungkin turut ambil bagian dalam kerasulan awam (Riberu,1983:315).
B. Program Pembinaan Bimbingan Kelompok di Asrama “Stella Duce”
1. Bimbingan kelompok
13
Dalam bimbingan kelompok yang terutama dituju bukanlah perkembangan kelompok sebagai kelompok, melainkan perkembangan optimal dari masing-masing individu yang tergabung dalam suatu kelompok (Winkel, 2004: 565). Tujuan agar masing-masing individu dapat berkembang secara optimal untuk menjadi pribadi agung dengan meneladani kehidupan Elisabeth Gruyters dan agar mereka semakin menjadi “Stella Duce” (Bintang
Pembimbing). Di asrama pembinaan yang diberikan mengacu pada konsep bimbingan kelompok sebagaimana diuraikan di atas.
Agar tujuan pembinaan tercapai, maka kegiatan diberikan dalam bentuk
group guidance model. Pengelompokkan sesuai dengan tahun angkatan masing-masing, yaitu tahun I, tahun II dan tahun III. Pembimbing asrama memegang peranan utama, mengambil banyak inisiatif, mengatur inti kegiatan yang akan dilakukan, dan berperan sebagai fasilitator. Pembimbing asrama menyajikan banyak informasi dan melibatkan seluruh anggota kelompok dalam mengolah informasi supaya penghuni asrama mampu mencerna dan mengambil makna dari kegiatan bimbingan bagi dirinya sendiri dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dalam kelompok kecil.
14
2. Perencanaan program bimbingan kelompok
Menurut Winkel (2004: 581) kegiatan bimbingan yang diberikan pembimbing perlu bersumber pada pengetahuan dan pemahaman pembimbing, hasil refleksi pembimbing dan persoalan yang dihadapi oleh yang dibimbing. Dalam konteks kegiatan pembinaan di asrama, maka program disusun berdasarkan:
a. Bersumber dari pengetahuan dan pemahaman pembimbing asrama di berbagai bidang ilmu: teologi (dengan memperkenalkan tokoh-tokoh iman Katolik yaitu Elisabeth Gruyters, Santo Carolus Borromeus dan Yesus Kristus sebagai pusatnya), psikologi (dengan memperkenalkan 4 kecerdasan yang dicetuskan oleh Stephen R.Covey) dan sosiologi (dengan memperkenalkan teori analisa sosial).
b. Program disusun berdasarkan hasil refleksi pembina asrama tentang adanya pergeseran latar belakang penghuni asrama yang semula dari kalangan tidak mampu menjadi kalangan menengah ke atas yang cenderung hedonis dan materialistis. Oleh karena itu memunculkan gagasan untuk memberikan pembinaan “Menjadi pribadi agung
(belajar pada hidup Elisabeth Gruyters).
15
dengan menanamkan semangat disiplin tinggi untuk berani hidup bercukup/ugahari dan berbelarasa.
Berdasarkan gagasan di atas maka peneliti akan menyajikan teori-teori yang berkaitan dengan landasan psikologis dan teologis tentang menjadi pribadi yang agung.
C. Pribadi Agung
1. Pribadi agung menurut teori Stephen R.Covey
Seseorang dapat berkembang untuk bersinar cemerlang atau tidak, tergantung pada orang yang bersangkutan. Mengapa Stephen R.Covey menyebutkan bahwa manusia dikaruniai anugerah yang begitu luar biasa oleh Pencipta. Anugerah itu meliputi; 1) kebebasan dan kemampuan untuk memilih, 2) prinsip-prinsip/hukum alam, 3) empat kecerdasan/kemampuan. Berkaitan dengan tiga anugerah peting di atas berikut adalah uraian masing-masing anugerah itu mampu membawa seseorang menemukan titik gemilang atau menjadi pribadi yang agung.
Stephen R.Covey berpendapat: “SETIAP ORANG MEMILIH SATU dari dua
16
Jalan ke arah keagungan membebaskan dan mewujudkan potensi manusiawi. Jalan keagungan adalah suatu proses pertumbuhan bertahap dari dalam ke luar. Orang yang memilih jalan keagungan disebut juga orang yang memilih jalan atas. Mereka adalah pribadi yang berani bangkit tegak di atas berbagai pengaruh budaya yang negatif, dan memilih untuk menjadi kekuatan kreatif bagi kehidupan. Jalan keagungan dapat dinyatakan dengan SUARA (Panggilan Jiwa). Orang yang berada di jalan ini menemukan suara mereka, dan mengilhami orang lain untuk menemukan suara mereka (Covey, 2006:43).
Orang yang memilih jalan keagungan adalah pribadi yang berani bangkit tegak di atas berbagai pengaruh budaya negatif dan dapat memilih untuk menjadi kekuatan kreatif bagi kehidupan sebab orang yang demikian adalah orang yang mampu mendengarkan dan menemukan panggilan jiwanya. Sikap dan tindakan yang dilakukan berdasarkan panggilan dari dalam hatinya bukan hanya sekedar mengikuti tren apapun.
Untuk menjadi seorang pribadi agung maka beberapa hal meski ditempuh.
17
adalah orang yang mampu memilih jalan yang menuju ke titik gemilang. Orang yang memilih titik gemilang yakni jalan menuju suatu keagungan adalah orang yang berani memilih sesuatu yang tidak banyak dipilih oleh orang. Berkaitan dengan keagungan ada tiga jenis keagungan: keagungan pribadi, keagungan kepemimpinan, dan keagungan organisasi.
Keagungan pribadi ditemukan bila orang menemukan tiga anugerah yang sudah diterima sejak lahir yaitu pilihan, prinsip, dan empat kecerdasan manusia. Mengapa sebab ketika orang sudah mampu mengembangkan keempat kecerdasan itu secara integral maka orang yang bersangkutan mampu menumbuhkan karakter yang luar biasa, penuh visi, disiplin, dan gairah yang dipandu oleh hati nurani, pendek kata karakter yang berani sekaligus ramah. Karakter yang demikian memiliki kontribusi yang signifikan, yang bukan sekedar melayani umat manusia tetapi memiliki fokus pada “yang satu.” Inilah yang dinamakan keagungan
primer. Sedangkan keagungan sekunder meliputi bakat, reputasi, prestise, kekayaan, dan pengakuan atau penghargaan.
Keagungan kepemimpinan dicapai oleh orang-orang yang tanpa memandang posisi atau jabatan mereka, memilih untuk mengilhami orang lain agar menemukan suara mereka.
18
dalam sebuah organisasi, yaitu kejelasan, komitmen, penerjemahan, bantuan yang memampukan, sinergi, dan akuntabilitas. Pendorong ini juga merupakan prinsip-prinsip yang universal, abadi, sudah pasti terbukti bagi organisasi. Kesatuan tiga keagungan yang ada akan menjadikan seseorang mengalami titik gemilang. Di mana orang berada pada suatu posisi yang tepat yaitu karena energi yang dilepaskan saat seseorang menemukan suara jiwanya baik sebagai individu, tim dan organisasi.
Orang yang mampu menemukan suara jiwanya adalah orang yang juga mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia utuh. Maksudnya adalah bahwa seseorang telah dikaruniai kemampuan dan bakat-bakat. Kemampuan yang dimaksud adalah empat kecerdasan yaitu kecerdasan spiritual, emosional, mental dan fisik (Covey,2006: 416-418, 466-467)
2. Contoh pribadi agung menurut Stephen R. Covey
Sebagaimana diungkapkan oleh Covey dalam pandangannya mengenai pribadi agung adalah pribadi yang mampu menemukan suara panggilan jiwanya dan mampu mengilhami orang lain untuk juga menemukan suaranya sendiri. Selain itu juga Covey mengungkapkan, “Pribadi agung adalah pribadi yang berani memilih jalan yang sedikit dipilih oleh orang” (Covey, 2006:9,44). Maka tidak
19
1. Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, melewatkan hampir dua puluh tujuh tahun masa hidupnya di dalam penjara karena pembangkangannya melawan rezim apartheid. Masa hidupnya yang cukup lama di dalam penjara tidak membuatnya menjadi pribadi lemah sebab Nelson Mandela lebih membiarkan hidupnya dipimpin oleh angan-angan yang dimilikinya dari pada ingatannya akan peristiwa yang menimpa hidupnya.
Mandela mampu melihat dengan angan-angannya akan suatu dunia yang jauh lebih luas daripada batas-batas pengalaman dan ingatannya terhadap masa hidupnya di penjara, ketidakadilan, perang dan perpecahan suku. Nelson Mandela mampu mendengarkan suara panggilan dalam jiwanya yang bergaung sebuah keyakinan terhadap nilai dari setiap warga negara Afrika Selatan (Covey,2006:101-102).
2. Bunda Teresa dalam hidupnya membaktikan dirinya sepenuh hati, dengan bebas dan tanpa syarat untuk melayani kaum miskin. Terhadap Ordonya, dia mewariskan keteguhan yang berpegang pada kaul kemiskinan, kemurnian hati dan ketaatan. Bunda Teresa melaksanakan ketiga kaul membiaranya dengan amat berdisiplin. Tak mengherankan jika ordo yang didirikannya tetap kuat dan berkembang bahkan ketika bunda Teresa sudah meninggal dunia (Covey,2006:102).
20
mereka mampu menemukan suara panggilan dalam jiwanya dan bahkan apa yang mereka lakukan memberi inspirasi kepada orang lain untuk melanjutkan apa yang telah mereka rintis. Selain Nelson Mandela dan Bunda Teresa yang disebutkan oleh Covey ada seorang tokoh yang juga layak dikatakan sebagai pribadi agung yaitu Elisabeth Gruyters (Pendiri Kongregasi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus).
21
D. Empat Kecerdasan yang Diwujudnyatakan Elisabeth Gruyters
Tanggal 1 November 1789 Elisabeth lahir di Belgia, sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara. Ia berasal dari keluarga Kristiani yang saleh. Ayah dan ibunya bernama Nicolaas Gruyters dan Maria Borde. Ayahnya bekerja sebagai bendahara di Puri Leut milik Puteri van Mewen de Felz. Selain itu, ia bekerja sebagai pengurus gereja Paroki Sint Pieter di Leut. Keluarga Gruyters merupakan keluarga yang cukup berada dan terhormat bahkan rumah mereka termasuk besar di seluruh Leut (Soemardilah Magdaleni CB & Soeyarni Afra CB, 2004:12).
Ayah dan ibunya mendidik Elisabeth untuk memiliki hidup doa yang baik. Sedari kanak-kanak Elisabeth selalu bersikap rendah hati karena senantiasa meluangkan waktu untuk berdoa dan bermeditasi di hadapan patung Salib Yesus. Akibatnya, nurani Elisabeth senantiasa didayai oleh semangat belarasa sebagaimana telah dijalankan Yesus selama hidupnya (Seri Dokumen CB,2004:6). Jadi Elisabeth memiliki kecerdasan spiritual. Yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang membantu orang mencerna dan memahami prinsip-prinsip sejati hidupnya yang merupakan panggilan dari nuraninya (Covey, 2006:79).
Tahun 1789-1891 situasi sosial-politik di Belgia sedang bergejolak karena terpengaruh pasca Revolusi Perancis. Masyarakat kelas bawah memberontak terhadap kalangan atas dengan mengumandangkan: kemerdekaan/liberty; persamaan/equality
22
keluarga Puri Leut dapat merasakan teriakan penderitaan masyarakat kelas bawah tersebut, maka mereka tergerak untuk menolong masyarakat kelas bawah tersebut. Bentuk pertolongan yang mereka lakukan yaitu dengan cara memberi tumpangan agar orang-orang yang tertindas tidak tertangkap oleh penguasa.
Tindakan-tindakan Elisabeth bersama orangtuanya serta keluarga Puri Leut menunjukkan bahwa ia memiliki kecerdasan emosional. Adapun yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kepekaan untuk melakukan suatu perbuatan yang luhur. Tindakan-tindakan tersebut didasari oleh semangat berani menghadapi resiko demi menolong siapa saja tanpa memandang status apapun, inklusif dan senantiasa bersikap optimis karena yakin tindakan yang dilakukan itu benar (Covey, 2006:99).
23
Pada tanggal 29 April tahun 1837 Elisabeth mendirikan biara dan diikuti oleh dua orang perempuan lain di Maastricht Belanda. Mereka bertiga memiliki sikap disiplin yang tinggi, ulet dan mau bekerja keras dalam menolong orang yang menderita dengan penuh kegembiraan. Setelah 6 hingga 8 tahun karya mereka menarik banyak perempuan lain untuk bergabung menjadi pengikutnya. Biara yang didirikan Elisabeth awalnya disebut suster-suster cintakasih. Namun ketika peraturan dikirim ke Roma, Sri Paus Pius IX tidak setuju sebab sudah ada suster-suster cintakasih dari Vinsentius a Paolo dan Paus memberikan alternatif supaya Elisabeth memilih bergabung dengan Tarekat Suster-suster Vinsentius a Paolo atau menerima Santo Carolus Borromeus sebagai pelindung. Elisabeth memilih alternatif kedua sebab biaranya memiliki latar belakang semangat bela-rasa yang sama dengan yang telah dijalankan oleh Santo Carolus Borromeus. Jadi pada tanggal 14 Desember 1856 biara tersebut resmi bernama Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus disingkat Suster-suster CB (Gruyters, 2007:30-31,35-36). Ketekunan dan kedisiplinan Elisabeth dalam membangun biara mencerminkan bahwa ia memiliki kecerdasan fisik. Adapun yang dimaksud dengan kecerdasan fisik adalah kemampuan seseorang untuk terlibat penuh dengan disiplin diri yang tinggi dalam mewujudkan visi dan misi hidup yang telah dimilikinya (Covey, 2006:99).
24
bersaudara. Ayah Elisabeth bekerja sebagai bendaharawan di Puri Leut dan sebagai pengurus gereja. Keluarga Gruyters merupakan keluarga terpandang dan rumah mereka termasuk besar di seluruh Leut (Seri Dokumen CB, 2004:10-11). Kendati Elisabeth berasal dari keluarga terpandang, dalam seluruh hidupnya ia tidak terlena dengan kenikmatan material melainkan dapat berproses menjadi pribadi agung dengan mewujudnyatakan empat kecerdasan secara integral. Sehingga seluruh hidupnya diabdikan untuk menolong banyak orang.
1. Kecerdasan spritual
25 o... Pencinta hatiku yang manis
ikut sertakan aku dalam duka-Mu.
Semoga hatiku bernyala-nyala karena cinta. Buatlah aku cakap dalam pengabdian-Mu. Tetapi tidaklah bermanfaat bagiku saja.
Pun juga bagi keselamatan sesama manusia. Amin. (EG. 39)
Penghayatan iman Elisabeth Gruyters menggerakkan nuraninya untuk memiliki sikap-sikap: mau melayani orang lain, rendah hati, penuh semangat, penuh belarasa, bertanggung-jawab, adil dan hormat terhadap hidup orang lain (Lewis, 2004:30, 44, 54, 137). Sikap-sikap itu nampak dalam perilaku hidupnya yang berkelimpahan dengan mencurahkan tenaganya demi menolong orang lain yang menderita. Hidup Elisabeth senantiasa didayai oleh nurani dan hasrat semangat belarasa yang ditimbanya dari relasi pribadi dengan Yesus Sang tersalib dalam hidup doa.
Kepekaan nuraninya semakin terasah karena ia berada di lingkungan yang berorientasi pada tujuan mulia. Lingkungan yang di maksud adalah keluarganya sendiri dan keluarga Puri Leut. Ayah Elisabeth bersama keluarganya tinggal di salah satu rumah megah yang terletak di depan taman Puri. Pemilik Puri Leut adalah Puteri van Mewen de Felz juga seorang pribadi yang saleh, sederhana dan murah hati. Dalam lingkungan keluarganya sendiri dan keluarga Putri van Mewen de Felz, Elisabeth tumbuh menjadi seorang pribadi yang selalu mencari kehendak Tuhan (Soemardilah, 2004:13).
26
Elisabeth yang berasal dari lingkungan keluarga yang baik dan selalu mencari kehendak Tuhan dalam hidupnya ikut bertanggung-jawab untuk membantu keluarga Nijpels agar kembali ke jalan yang benar (Ratwasih, 1999:39). Semua hal ini menunjukkan jika Elisabeth memiliki kecerdasan spiritual.
2. Kecerdasan emosional
Ketergerakkan hati Elisabeth untuk membantu mereka yang menderita akibat ketidakadilan didorong oleh hasrat belarasa yang muncul/tumbuh di dalam hatinya (Hartono,2000:7-8). Hasrat belarasa inilah yang menjadikan Elisabeth senantiasa berorientasi membantu orang lain, berbagi dan bekerja sama dengan penuh optimisme. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Elisabeth menandakan bahwa ia memiliki perilaku pro sosial (Crain, 2007:312). Semua itu nampak pada waktu Elisabeth bersama keluarganya dan keluarga Puri Leut menolong orang-orang yang menderita di masa perang Revolusi Perancis karena dikejar-kejar pihak penguasa. Keluarga Elisabeth dan keluarga Puri Leut memberikan tumpangan di ruang bawah tanah Puri kepada orang-orang tersebut, menunjukkan lorong jalan bawah tanah sepanjang 1 km terletak mulai dari rumah bendaharawan puri, melewati Puri, melintasi sungai Maas menuju Maaseik supaya orang-orang tersebut dapat bebas dari kejaran pihak penguasa.
27
empatisitas dalam diri Elisabeth yang akhirnya senantiasa bersedia menolong orang-orang yang menderita itu kendati ia harus menghadapi tantangan (resiko) yang tinggi (Hartono, 2000:14-19).
Hasrat belarasa Elisabeth ini juga tumbuh berkat relasinya dengan Tuhan yang mendorongnya untuk berorientasi pada tujuan mulia: menolong orang lain dengan semangat belarasa sebagaimana telah dijalankan Yesus selama hidupnya. Semua hal ini menunjukkan jika Elisabeth memiliki kecerdasan Emosional.
3. Kecerdasan mental
Visi-misi hidup Elisabeth tumbuh dan berkembang karena ia belajar dari teladan hidup yang diberikan oleh kedua orangtuanya serta keluarga Puri yang selalu membantu orang lain yang menderita dari kalangan bawah akibat perang Revolusi Perancis telah membuka wawasan Elisabeth akan perspektif jangka panjang mengenai kehidupan manusia pada masa yang akan datang. Maka Elisabeth memiliki orientasi pada tujuan mulia. Situasi pasca Perang Revolusi Perancis mendorong Elisabeth untuk berpikir strategis guna membantu orang lain agar dapat keluar dari kotak penderitaan hidup yang telah membelenggu mereka. Peristiwa yang dialami oleh Elisabeth justru membentuknya menjadi pribadi yang berkualitas baik dalam sikap maupun tindakan. Kualitas sikap dan tindakan Elisabeth bertumpu pada visi-misi yang ia miliki.
28
Kerajaan Allah artinya sejak semula Allah menciptakan manusia baik adanya maka orang-orang yang miskin, tersisih dan menderita perlu dirangkul sehingga dapat mengalami belaskasih dan kerahiman Allah. (Kapitel Umum dan Kapitel Provinsi, 1999:20). Maka ia berusaha mewujudkan apa yang menjadi visi-misi hidupnya melalui karya-karya pendidikan, sosial dan kesehatan. Visi-misi hidup Elisabeth itu didayai oleh nurani dan hasrat semangat belarasa yang ditimbanya dari relasi pribadinya dengan Yesus Sang Tersalib melalui hidup doanya.
Visi-misi itu mengilhami seluruh hidup Elisabeth untuk mewujudkan mimpi/cita-citanya supaya martabat hidup manusia sebagai citra Allah kembali dipulihkan dalam keutuhan Kerajaan Allah. Tak mengherankan kalau Elisabeth menjadi seorang pionir berdirinya sebuah biara.
Cikal bakal berdirinya biara yang dirintisnya berawal dari kesediaannya untuk mendidik dan mengajari anak-anak miskin dan terlantar akibat keganasan perang Revolusi Perancis. Revolusi Perancis yang meletus di Eropa menyisakan banyak penderitaan sebab banyak anak kehilangan orangtuanya. Keadaan itu mengakibatkan banyak anak miskin dan terlantar yang tidak bisa menempuh pendidikan. Elisabeth menerima dan menampung mereka agar tetap dapat mempersiapkan masa depannya dengan baik.
29
keluarga Nijpels. Sebelum mendirikan biara Elisabeth sering mengunjungi para penderita di Rumah Sakit tersebut dan berdoa bersama mereka. Elisabeth merawat penderita di Rumah Sakit Calvarieberg karena ia berpikir dengan merawat para penderita ia telah merawat tubuh mistik Kristus yang menderita di Salib.
Selain itu Elisabeth juga tergerak untuk berkarya di Panti Asuhan Katolik. Ia menjumpai bahwa suasana diantara anak-anak panti diliputi sikap saling mencurigai satu dengan yang lain, iri hati sehingga tidak ada kedamaian dan kesatuan karena adanya hasutan dari pengasuh Panti Asuhan.
Elisabeth memilih menolong orang-orang miskin dan menderita melalui karya pendidikan, sosial dan kesehatan karena memperoleh pengalaman mistik sewaktu ia berdoa di muka Salib Yesus; ia mendapat penampakkan tubuh mistik Yesus yang menderita. Sejak itu Elisabeth sangat rindu untuk diikut-sertakan dalam duka Ilahi. Ia menangkap pesan: Allah sangat berduka jika manusia menderita dan tidak selamat, padahal Yesus telah mengorbankan hidup-Nya untuk mengangkat kembali martabat keputeraan manusia yang telah hilang karena dosa.
30
mengumumkan biara yang didirikan oleh Elisabeth diakui sebagai biara tingkat Kepausan dengan nama Kongregasi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus (Gruyters, 2007:35-36). Semua upaya ini menunjukkan jika Elisabeth memiliki kecerdasan mental. Ia dapat mewujudkan Visi-misi hidupnya mendirikan sebuah biara karena ia memiliki disiplin yang tinggi.
4. Kecerdasan fisik
Elisabeth adalah seorang pribadi yang disiplin. Kedisiplinan hidup Elisabeth semakin nyata sewaktu ia mengalami berbagai tantangan. Berkat kedisiplinannya, ia mampu bersikap tegas ketika menghadapi orang-orang yang mencoba mengoncangkan biaranya seperti diungkapkannya: “Banyak orang mengunjungi
kami di biara yang baru, tetapi bukan menguatkan keberanian kami, melainkan untuk menggoncangkannya. Tetapi ini tidak kupedulikan. Harapanku ada pada Tuhan dan tidak seorang pun dapat menggoncangkannya” (Gruyters, 2007:33). Dapat dipahami jika begitu banyak orang yang mencoba menggoncangkan
31
biaranya demi menolong anak-anak terlantar, miskin dan menderita dan mendidik mereka.
Disiplin tinggi yang dimiliki oleh Elisabeth semakin teruji ketika anak-anak terlantar, miskin dan menderita terus bertambah dan karyanya semakin luas sedangkan Elisabeth hanya bertiga dalam memulai karyanya. Elisabeth dapat menerima realitas tersebut dan tetap konsisten dengan pilihan hidup yang telah diambilnya. Ia selalu memohon bantuan kepada Allah dalam doa agar mengirimkan orang-orang yang bersedia bergabung dengannya.
32
Elisabeth mendirikan biara yang ketiga pada tahun 1844. Di biara yang ketiga ini jenis karya bertambah dengan membuka kelompok baru di Sittard. Kedisiplinan Elisabeth yang konsisten dan terlibat penuh dengan apa yang telah menjadi pilihan hidup mencerminkan bahwa ia memiliki kecerdasan fisik.
Sepanjang hidupnya Elisabeth terus berproses menjadi pribadi yang mampu menemukan suara jiwa dan menjadi pribadi agung. Ia telah mewujudnyatakan kecerdasan spiritual, emosional, mental, fisik secara integral. Elisabeth wafat pada tanggal 26 Juni 1864 di Maastricht. Walau Elisabeth telah tiada namun semangatnya tetap hidup dan diteruskan oleh para pengikutnya pada jaman sekarang yaitu para suster CB.
E. Pelayanan Suster-suster CB di Indonesia
33
Kehadiran para suster CB yang semula melayani karya kesehatan, dalam perjalanan waktu terus berkembang menanggapi kebutuhan masyarakat sehingga muncul karya pendidikan dan sosial yang tersebar diberbagai Provinsi; salah satunya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Karya pendidikan mulai dirintis oleh Kongregasi CB pada tahun 1935 dari tingkat SMP, SKP (Sekolah Keperawatan) dan SPG di Ganjuran. Kemudian pada bulan Agustus 1948 memulai karya pendidikan SMA Stella Duce di Jalan Sabirin dengan Sr.Catharinia CB (almarhumah) sebagai kepala sekolah kala itu. Karya pendidikan yang telah dirintis oleh Kongregasi CB terus berkembang dan banyak orang menempuh pendidikan yang didirikan oleh para suster CB. Kehadiran karya pendidikan di Yogyakarya mendorong munculnya karya lain yakni asrama.
34
Jaman yang terus berubah mempengaruhi para siswi yang masuk ke asrama. Saat ini para siswi yang tinggal di asrama Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas cenderung hedonis dan materialistis. Kecerderungan tersebut hendak “dilawan” dengan memperkenalkan
kehidupan Elisabeth yang walaupun dari keluarga kalangan menengah ke atas namun sepanjang hidupnya senantiasa peduli kepada orang-orang yang menderita (berbelarasa). Oleh karena itu pembinaan “Menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters)” diberikan di asrama Supadi 5 Yogyakarta agar para
penghuni asrama dapat memiliki semangat disiplin yang tinggi untuk bersedia hidup ugahari/secukupnya dan solider dengan orang-orang kecil.
F. Program Pembinaan Menjadi Pribadi Agung di Asrama Stella Duce 1
Supadi 5 Yogyakarta
Asrama dalam kongregasi CB masuk bidang karya sosial. Namun karya
asrama ini tidak hanya karya sosial saja sebab di dalamnya juga terdapat karya pendidikan informal. Unsur pendidikan asrama terwujud dalam bentuk pembinaan. Program pembinaan yang diberikan belajar pada semangat pendiri suster-suster CB yaitu Elisabeth Gruyters.
35
“Bintang Pembimbing” bagi banyak orang. Elisabeth bisa menjadi “bintang pembimbing” bagi banyak orang sebab ia membiarkan hidupnya senantiasa
dibimbing oleh Sang Bintang utama yakni Tuhan Allah sendiri.
Menjadi pribadi agung seperti yang telah diteladankan oleh Elisabeth terus
dikembangkan oleh para penerusnya yaitu suster-suster CB dan oleh para suster CB coba dibagikan kepada mereka yang didampingi maupun mitra kerja. Mereka yang didampingi dalam penelitian ini adalah para siswi SMA Stella Duce 1 yang tinggal di asrama Supadi 5 Yogyakarta. Usaha untuk terus mengembangkan diri menjadi pribadi agung tersebut terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan pembinaan yang diberikan. Kegiatan pembinaan itu meliputi: aspek kecerdasan spiritual, aspek sosial (kecerdasan emosional), kecerdasan intelektual (kecerdasan mental) dan kecerdasan fisik.
1. Pembinaan kecerdasan spiritual: hormat terhadap Yesus Sang
Tersalib
Elisabeth Gruyters senantiasa bersikap rendah hati melalui kesediaannya
36
dosa dipulihkan kembali. Elisabeth juga menangkap bahwa Allah sangat berduka jika manusia tidak selamat dan menderita (Humblet, 1987: 28-29). Jadi pentingnya hidup doa untuk mengasah nurani seseorang yang menjadi tanda bahwa seseorang dapat memiliki kecerdasan spiritual juga diberikan di asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta. Bentuk pembinaan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual itu meliputi:
a. Doa: untuk mengasah kepekaan nurani dan memperdalam relasi dengan Tuhan maka penghuni asrama dibantu dengan pembinaan rohani. Pembinaan rohani menjadi penting agar para penghuni asrama memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan sehingga apa yang dilakukan sebagai wujud cintakasih terhadap sesama (Beding,1989:139-140). Kegiatan pembinaan yang termasuk doa yaitu: doa harian pagi dan malam, Perayaan Ekaristi harian dan Mingguan, devosi kepada Bunda Maria.
Kegiatan doa harian dilakukan setiap hari pagi dan malam. Dalam kegiatan ini bahan doa harian dan completorium (Doa malam kumpulan Mazmur). Kegiatan ini mempunyai tujuan: mengasah nurani untuk senantiasa mensyukuri dan berterimakasih atas rahmat kehidupan yang diterimanya, merefleksikan pengalaman hidup yang disatukan dalam relasi dengan Tuhan dan sesama.
37
asrama. Tujuan dari kegiatan ini untuk mengenangkan cinta kasih Allah dan Karya Penyelamatan Yesus Kristus. Dengan mengenangkan kasih Allah itu penghuni asrama diajak untuk membagikan kasih Allah dalam perjumpaan dengan sesama. Selain itu agar penghuni asrama juga terlibat dengan umat separoki dan mencintai Paroki di mana mereka berada.
Perayaan hari-hari besar gereja (Adven-Natal dan Prapaska-Paska): kegiatan ini bertujuan untuk membantu penghuni asrama merefleksikan pengalaman hidup dalam sejarah keselamatan dan Penebusan Tuhan serta melatih diri dengan merefleksikan hidup rohani, beraskese/matiraga, pantang dan puasa sebagai wujud solidaritas dan belarasa dengan sesama yang menderita.
Doa Rosario: kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Rabu malam, khusus bulan Mei dan Oktober setiap malam. Tujuan kegiatan ini untuk menanamkan devosi kepada Bunda Maria. Belajar dari Bunda Maria sebagai figur dari teladan iman yang bersedia mengikuti Yesus dengan setia sampai salib.
38
karena terjangkit penyakit pes serta kesederhanaan dan kerendahan hati Santo Carolus (Liedmeier, 1989: 78-80).
b. Pendalaman Kitab Suci: kegiatan ini dilakukan pada malam hari. Tujuannya mengasah nurani dengan mendengarkan sabda Tuhan sehingga setiap sikap dan tindakan yang dilakukan bercermin dari ajaran dan perintah Yesus yang disabdakan melalui Injil.
c. Pembaharuan Hidup: menyadari bahwa manusia mudah jatuh dalam kesalahan dan dosa maka perlu adanya pembaharuan hidup. Bentuk kegiatan pembinaan ini yaitu Sakramen Tobat menjelang Natal dan Paska. Tujuannya agar penghuni asrama memiliki kepekaan nurani dalam mensikapi setiap tindakan yang telah dilakukan. Menyadarkan penghuni asrama bahwa sebagai manusia yang lemah, rapuh dan mudah jatuh dalam kesalahan dan dosa. Menyadari kelemahan dan kerapuhan tersebut maka membutuhkan pertolongan dari Allah. Dalam kerendahan hati mengalami kerahiman Tuhan. Dengan semangat hidup yang baru bersedia juga memaafkan kesalahan orang lain.
39
dengan penuh harapan. Belajar dari tahun sebelumnya maka ditahun yang akan datang mencoba memperbaharui hidup agar lebih baik.
d. Rekoleksi: menyadarkan penghuni asrama akan keberadaan dirinya sebagai citra Allah (misalnya dalam tema “Who Am I”). Dengan demikian
mereka dapat menghargai bakat-bakat/potensi-potensi/talenta yang telah dikaruniakan Tuhan dalam dirinya dan bersedia memperkembangkannya demi pelayanan kepada sesama kelak di kemudian hari (misalnya dalam tema “Belarasa dalam perspektif Elisabeth Gruyters”).
Melalui bentuk-bentuk kegiatan pembinaan di atas diharapkan penghuni asrama memiliki kesadaran akan pentingnya menjalin relasi dengan Tuhan lewat doa dan rajin membaca Kitab Suci. Harapannya mereka memiliki kebiasaan untuk mengikuti Perayaan Ekaristi di luar jadwal yang diwajibkan dan tidak datang terlambat. Menurut pengakuan seorang alumni asrama yang berprofesi sebagai Jaksa, tinggal di Surabaya ia merasa bersyukur memiliki kebiasaan hidup doa yang baik. Akibatnya nuraninya senantiasa terasah untuk memperjuangkan keadilan saat menghadapi persoalan dalam persidangan kendati resikonya sangat besar.
2. Pembinaan kecerdasan emosional : belarasa
40
lain. Penghuni asrama jaman sekarang juga berasal dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas, maka pengelola asrama memiliki tanggung jawab untuk membantu mereka agar dapat mengembangkan kepekaan hatinya dengan memiliki semangat belarasa seperti yang telah dihidupi Elisabeth. Untuk menumbuhkan semangat tersebut maka ada berbagai bentuk pembinaan yang berkaitan dengan kegiatan sosial yaitu:
41
Setelah itu penghuni asrama diberi kesempatan untuk mengamati situasi masyarakat kecil, menganalisa, menilai dan bertindak atas realitas yang mereka jumpai (KWI, 1996:45). Kemudian penghuni asrama terlibat secara langsung dengan cara berjualan koran bersama dengan anak jalanan, berjualan di pasar Krangan, pasar Demangan, Kaki Lima dan Stasiun Lempuyangan. Tujuan kegiatan ini yaitu agar dengan mengalami secara langsung perjuangan hidup masyarakat kecil dalam memenuhi kebutuhan hidupnya penghuni asrama memiliki semangat belarasa dan empatisitas terhadap orang-orang kecil dan menderita (Lewis,2004:137-138). Dengan demikian memiliki hasrat dalam hati dan tergerak untuk membantu mereka yang menderita.
42
cara kolekte, mengurangi uang saku yang dimilikinya, membuat kue lalu menjualnya. Tujuan dari kegiatan ini membantu menumbuhkan dan mengembangkan kemauan berbagi, kepedulian dalam diri penghuni asrama sehingga memiliki keberanian berorientasi pada orang lain (Lewis,2004:39). Home Stay/Live in: kegiatan ini dilaksanakan bersama dengan program kegiatan sekolah. Dalam kegiatan ini penghuni asrama tinggal dan mengalami serta menjalin hubungan hidup bersama dengan penduduk di daerah Sumber (Muntilan), Somohitan (Lereng Merapi), Turi (Sleman) selama tiga hari (Lewis,2004:347-351). Melalui kegiatan ini diharapkan agar penghuni asrama semakin sensitif dan tiada takut menghadapi tantangan hidup, memiliki empatisitas terhadap orang-orang kecil.
Mengadakan bazaar tanaman hias, pupuk organik olahan sendiri, makanan, minuman, karya tangan para suster sepuh. Kegiatan ini dilakukan penghuni asrama bersama dengan para suster CB untuk menggalang dana peduli pendidikan anak jalanan dan anak tukang becak. Kegiatan ini menjadi tanda adanya suatu tingkah laku kelompok/group behavior (Chaplin, 2005:215). Tujuan kegiatan ini agar pendidikan dapat dinikmati oleh semua kalangan.
43
mengikuti gaya hidup semata. Hal itu ditunjukkan oleh penghuni asrama sewaktu berpergian yang jaraknya tidak terlalu jauh mau berjalan kaki atau naik sepeda. Mereka juga tidak malu berjualan untuk menggalang dana bagi anak-anak Panti Asuhan, peduli pendidikan anak jalanan dan anak tukang becak. Menyisihkan sebagian uang sakunya untuk membantu orang lain yang berkekurangan sebagai wujud solidaritas kepada sesama (Kieser,1992:25-26).
3. Pembinaan kecerdasan mental : ketekunan
Elisabeth dalam hidupnya memiliki Visi: “Yang miskin, yang tersisih dan yang menderita diselamatkan dan dibebaskan dalam keutuhan Kerajaan Allah” (Kapitel
Umum, 1999:20). Dengan visinya itu maka Elisabeth mampu menjadi “Bintang Pembimbing” bagi banyak orang. Untuk itu asrama juga memberikan pembinaan
yang dapat membantu penghuni asrama agar memiliki perspektif jangka panjang sehingga menumbuhkan visi-misi hidup yang bermanfaat bagi orang lain. Hal itu diharapkan terwujud melalui perilaku mau membantu orang lain yang menderita dalam semangat belarasa sehingga orang yang menderita dapat meraih masa depan yang lebih baik.
44
strategis dan penuh pertimbangan jika mereka memiliki wawasan yang luas. Hal itu hanya mungkin jika mereka memiliki intelektualitas yang baik dan mampu memimpin dengan baik. Maka penghuni asrama memiliki perilaku tekun belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolah baik secara individual maupun dalam kelompok dan mencari les tambahan (Winkel, 2004:559). Namun diharapkan pula mereka juga mampu menjadi seorang pemimpin yang handal seperti yang telah diwujudkan oleh seorang alumni yang berprofesi sebagai Kepala Sekolah di Jakarta. Oleh sebab itu asrama membagi dalam dua kategori kegiatan pembinaan yaitu:
a. Intelektual: agar kemampuan intelektual penghuni asrama dapat berkembang dengan baik sehingga memiliki hidup yang berkualitas dan dapat berpikir jangka panjang maka seluruh penghuni asrama menempuh pendidikan formal yang sama yaitu di SMA Stella Duce 1. Sebab SMA Stella Duce 1 juga sekolah yang dikelola oleh para suster CB. Untuk mengasah kemampuan intelektualnya mereka juga menempuh pendidikan informal.
45
belajar mengantisipasi masa depan, menaruh percaya pada orang lain, sehingga mampu menetapkan harapan.
Belajar di asrama: kegiatan ini wajib bagi seluruh penghuni asrama baik belajar secara individual maupun kelompok. Kegiatan belajar ini terbagi dalam dua sesion, pertama mulai pukul 17.00-18.30, kedua pukul 19.30-21.00. Selain waktu belajar yang diwajibkan penghuni asrama diijinkan untuk menambah waktu belajarnya jika diperlukan. Kegiatan belajar dengan durasi waktu tertentu ini juga untuk membentuk ketekunan penghuni asrama.
46 4. Pembinaan kecerdasan fisik : disiplin
Elisabeth sepanjang hidupnya memiliki disiplin diri yang tinggi sehingga ia mampu mewujudkan apa yang menjadi visi-misi hidupnya. Kedisiplinannya itu membuahkan hasil lahirnya sebuah biara yang dapat mewujudkan mimpi/cita-cita/misinya untuk menolong orang-orang yang menderita. Penghuni asrama juga dibina dan dilatih untuk hidup tertib agar mampu memiliki disiplin diri yang tinggi. Ada tiga kategori pembinaan yang diberikan yaitu:
a. Disiplin: seperti Elisabeth yang memiliki disiplin diri tinggi maka penghuni asrama juga diharapkan memiliki disiplin diri yang tinggi, untuk itu mereka perlu dibina dan dilatih. Bentuk kegiatan pembinaan untuk memiliki disiplin diri yaitu: tatatertib asrama, time managemen.
Tatatertib asrama: seluruh penghuni asrama wajib mentaati peraturan/jadwal asrama. Tujuannya untuk melatih ketertiban, kedisiplinan dan tanggung jawab penghuni asrama melalui keterlibatannya secara penuh dalam kehidupan bersama sebagai warga asrama. Peraturan/jadwal asrama meliputi: waktu bangun pagi, waktu istirahat (jam tenang) baik sore/malam, waktu kegiatan di luar asrama, latihan koor, waktu belajar, waktu makan, dan lain-lain.
47
asrama dibuka wawasannya dengan materi mengenai empat kuadran waktu, menentukan prioritas dan lain-lain. Setelah itu penghuni asrama diminta untuk melakukan sejumlah kegiatan yang waktunya sudah ditentukan. Dengan waktu yang telah ditentukan penghuni asrama diharapkan mampu memanfaatkan waktu yang ada secara efektif dan efisien.
b. Kerjasama: penghuni asrama berasal dari berbagai daerah dan latar belakang hidup yang berbeda-beda sehingga memiliki gaya hidup yang berbeda pula, untuk itu perlu dibangun suatu kerjasama yang baik agar perbedaan yang ada tidak menimbulkan permasalahan dan konflik. Untuk itu asrama memfasilitasi mereka dengan pembinaan yang menunjang terjadinya kerjasama seperti Out bond, perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Valentine‟s Day, malam keakraban, piknik dan kerja
bakti asrama.
48
bersama. Berinteraksi dengan alam dan merefleksikannya sehingga semakin mencintai Sang Pencipta dan lingkungan (Schultz,1991:66). Perayaan hari Kemerdekaan: tujuannya meneladan semangat dan keberanian para pejuang yang telah rela berkorban demi kemerdekaan bangsa, meningkatkan semangat persaudaraan, paguyuban dan persatuan antar penghuni asrama yang berasal dari berbagai latar belakang.
Valentine‟s Day: tujuannya sebagai wahana mengekspresikan bakat dan kreatifitas yang dimiliki oleh para penghuni asrama. Semua bakat, kreatifikas yang dimiliki oleh tiap-tiap penghuni asrama dipadukan dalam suatu bentuk atraksi yang terpadu sehingga terjadi kerjasama antar mereka.
Malam keakraban dan piknik asrama tujuannya untuk mempererat persaudaraan, kebersamaan, kekompakan sehingga saling membantu satu dengan yang lain.
49
c. Kesehatan: orang bisa hidup berdisiplin yang tinggi jika secara fisik juga sehat. Supaya penghuni asrama juga sehat secara jasmani dan rohani maka asrama memberikan pembinaan mengenai hal-hal yang dapat membantu agar tumbuh secara sehat melalui pembinaan pola hidup sehat. Kegiatan ini melibatkan perawat Rumah Sakit Panti Rapih. Diberikan dalam bentuk
workshop dan dialog interaktif. Tujuan kegiatan ini untuk membuka wawasan penghuni asrama sehingga memiliki pola hidup yang sehat berkaitan dengan kedisiplinan pola makan dan pola tidur.
Dengan pembinaan kecerdasan fisik yang telah diberikan maka diharapkan penghuni asrama yang masih tinggal di asrama memiliki perilaku hidup yang disiplin dengan indikasi mampu menghargai setiap waktu yang ada. Dapat memanfaatkan waktunya untuk kegiatan yang bermanfaat seperti yang telah dilakukan oleh para alumni asrama. Alumni asrama memberikan kesaksian bahwa kebiasaan waktu yang serba teratur dan terbatas yang diberikan oleh asrama justru sangat membantu hidupnya sekarang apalagi dengan profesinya sebagai seorang calon dokter gigi yang saat ini sedang koas.
50 BAB III
METODE PENELITIAN
Bahasan metodologi ini mencakup Jenis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian, Subjek dan Objek Penelitian, Populasi, Instrumen Pene1itian, Teknis Pengumpulan Data, Validitas dan Reliabilitas Instrumen, dan Teknik Analisis Data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survei. Menurut Sevilla penelitian deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata pada saat penelitian dilakukan (Sevilla,1993:71). Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui manfaat program pembinaan menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters)” bagi penghuni
asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta. Informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta pada tanggal 15 agustus pukul 20.00 WIB, dengan membagikan 50 kuesioner manfaat program pembinaan “Menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters)” bagi penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta.
51
asrama. Kuesioner yang memenuhi persyaratan adalah menjawab semua item yaitu 30 item. Semua kuesioner yang peneliti bagikan diisi dan dikembalikan oleh penghuni asrama pada hari yang sama yaitu Sabtu 15 Agustus 2009 pukul 20.30 WIB.
C. Subjek dan Objek Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah orang-orang yang terlibat dalam penelitian dalam hal ini mereka bertindak sebagai pemberi informasi yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Subjek penelitian ini adalah para penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta.
Subjek dalam penelitian ini berasal dari tiga keyakinan yang berbeda yaitu 2 orang siswi beragama Buddha, 2 orang siswi beragama Kristen Protestan, 2 orang siswi sebagai Katekumen (Persiapan baptis Katolik) dan 44 orang siswi beragama Katolik.
Selain itu subjek penelitian juga terbagi dalam tiga tingkatan yakni tahun pertama, tahun kedua dan tahun ketiga. Tahun pertama adalah para siswi yang saat ini duduk di kelas X, tahun kedua adalah yang saat ini duduk di kelas XI dan tahun ketiga adalah yang saat ini duduk di kelas XII.
2. Objek Penelitian
52
program pembinaan “Menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters)” bagi penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta.
D. Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 1998:115). Populasi penelitian ini adalah para penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta. Penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta secara keseluruhan berjumlah 50 orang.
Dasar pertimbangan yang digunakan dalam penentuan populasi yakni: penghuni asrama SMA Stella Duce 1 seluruhnya mendapat dan wajib mengikuti program pembinaan menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) yang diberikan oleh pihak asrama.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah kuesioner yang mengungkap manfaat program pembinaan menjadi pribadi agung (belajar pada hidup Elisabeth Gruyters) bagi penghuni asrama SMA Stella Duce 1 Supadi 5 Yogyakarta. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup, yaitu kuesioner yang disusun dengan menyediakan pilihan jawaban sehingga responden tinggal memilih dari alternatif yang ada (Arikunto, 1998:140-141).