SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Paulina Berliani NIM : 068114120
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Paulina Berliani NIM : 068114120
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Do what makes you happy
Be with who makes you smile
Laugh as much as you breathe
dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERBEDAAN POLA PERESEPAN OBAT HIPERTENSI PADA PASIEN GAKIN ANTARA SEMESTER I DAN SEMESTER II DI PUSKESMAS INDUK TEGALREJO YOGYAKARTA TAHUN 2009.
Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Banyak kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi selama proses pengerjaan skripsi. Namun berkat adanya dukungan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada :
1. Kepala Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan penelitian di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta. 2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, waktu, saran, dan kritik dalam proses penyusunan skripsi.
diberikan selama pengambilan data.
7. Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan kasih sayang, semangat, bimbingan dan doa yang tiada henti untuk penulis.
8. Budi Arifianto ST yang telah memberikan bantuan dan dukungan, kasih sayang dan cinta, air mata, canda tawa, dan buat ajaran hidupnya dalam mengatasi setiap masalah.
9. Juwita dan Amelia, yang telah bekerja sama dalam menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Anna, Ayem, Vero, Melia, Heny, dan teman-teman FKK 2006 lainnya yang tak sempat disebutkan namanya satu per satu yang telah memberikan bantuan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
11.Mbak Lusi dan Lisa yang telah memberikan bantuan dalam lancarnya penyelesaian skripsi.
12.Teman-teman kos yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang telah mendukung untuk terwujudnya skripsi ini.
perbedaan pola peresepan obat hipertensi pada pasien Gakin antara semester I dan semester II di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta tahun 2009 meliputi jenis, jumlah dan dosis obat.
Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif, data dianalisis dengan paired t-test. Langkah penelitian meliputi perijinan penelitian, pengumpulan dan pencatatan data, dan analisis data dengan statistik.
Hasil penelitian menunjukkan pasien hipertensi terbanyak perempuan. Usia terbanyak kelompok umur 63-73 tahun. Golongan obat terbanyak antihipertensi. Uji statistik jumlah item obat hipertensi menunjukkan ada perbedaan. Jumlah unit amlodipin 5 mg, captopril 12,5 mg, captopril 25 mg, diltiazem 30 mg, furosemid 40 mg, HCT 25 mg, dan nifedipin 10 mg tidak ada perbedaan signifikan pada pola peresepan, sedangkan pada jumlah unit propanolol 10 mg dan propanolol 40 mg ada perbedaan. Dosis obat amlodipin 5 mg, captopril 12,5 mg, captopril 25 mg, diltiazem 30 mg, furosemid 40 mg, HCT 25 mg, nifedipin 10 mg, dan propanolol 10 mg menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan, sedangkan pada propanolol 40 mg ada perbedaan.
profile, and observe whether there are differences in hypertension drug prescribing patterns patients from poor family in the first semester and second semester at Tegalrejo Main Public Health Centre, Yogyakarta in 2009.
The data were collected retrospectively, analyzed using paired t-test. Steps include the licensing of research studies, collecting and recording data, and analyzing statistical data.
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. HALAMAN PENGESAHAN ………. HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….. PRAKATA ……….. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. INTISARI ………
ABSTRACT ………
DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR LAMPIRAN ………... BAB I PENGANTAR ………...
A. Latar Belakang ……….
1. Perumusan masalah ..………. 2. Keaslian penelitian ……… 3. Manfaat penelitian ……….
B. Tujuan Penelitian ……….
B. Hipertensi ……….……...
1. Definisi ………..
2. Etiologi ……….
3. Patofisiologi ………...………... 4. Manifestasi klinis ………..
5. Diagnosis ………..……….
6. Tujuan dan sasaran pengobatan ……… 7. Strategi terapi ………... 8. Obat–obat antihipertensi ………
a. Diuretik ………...……….
D. Bahan Penelitian ………..
E. Tempat Penelitian ………
F. Tata Cara Penelitian ………..………...
G. Analisis Data ………
H. Kesulitan Penelitian ………. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….
A. Profil Pasien ……….
1. Karakteristik jenis kelamin pasien ………... 2. Karakteristik umur pasien ………. 3. Kasus penyakit ……….…………..
B. Profil Obat ………...
C. Pola Peresepan ……….
1. Jenis obat hipertensi………... 2. Jumlah unit obat hipertensi ……… 3. Dosis obat hipertensi ……….
D. Rangkuman Pembahasan ………
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………..
Tabel II.
Tabel III. Klasifikasi Hipertensi ... Modifikasi Pola Hidup untuk Pasien Hipertensi menurut JNC-VII tahun 2003 ... Jenis Obat Hipertensi ...
Sebaran Umur Pasien Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Distribusi Jenis Kasus Penyakit Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Distribusi Kasus Penyakit Komplikasi Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Distribusi Kasus Penyakit Penyerta Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Penggolongan Obat yang Diresepkan pada pasien Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Jumlah Item Obat Target Hipertensi dan Obat Non Target di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Perbandingan Jumlah Item Antihipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ...
Tabel XIV
Tabel XV
Tabel XVI
Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Perbandingan Rata-Rata Antihipertensi dalam Jumlah Unit di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Dosis Rata-Rata per hari Antihipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Perbandingan Frekuensi Rata–Rata per hari Antihipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ...
47
56
57
Gambar 2.
Jumlah Unit Pemakaian Amlodipin 5 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Jumlah Unit Pemakaian Captopril 12,5 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Jumlah Unit Pemakaian Captopril 25 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Jumlah Unit Pemakaian Diltiazem 30 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Jumlah Unit Pemakaian Furosemid 40 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Jumlah Unit Pemakaian HCT 25 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Jumlah Unit Pemakaian Nifedipin 10 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Jumlah Unit Pemakaian Propanolol 10 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ... Jumlah Unit Pemakaian Propanolol 40 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009 ...
Lampiran 2.
Uji Chi-Square Profil Jenis Kelamin Pasien ……….... Uji Chi-Square Profil Umur Pasien ……….. Uji Kolmogorov-Smirnov dan Uji Paired T Jumlah Item Obat Uji Kolmogorov-Smirnov dan Uji Paired T Dosis Obat Hipertensi ………..………... Panduan Pengobatan Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta ………..………. Surat Ijin Penelitian untuk Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta ………... Surat Ijin Penelitian untuk Puskesmas ……… Komposisi Obat ………
A. Latar Belakang
Hipertensi sering disebut sebagai "The Silent Killer", hanya 5-10% yang diketahui secara pasti penyebabnya disebut sebagai hipertensi sekunder, sisanya yang 90-95% disebut sebagai hipertensi primer. Menurut data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang (26,4%) mengidap hipertensi (Anonim, 2007). Menurut hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007-2008, kejadian prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7% dari total penduduk dewasa (Susanto, 2010). Menurut laporan profil kesehatan tahun 2000, hipertensi menyumbang 12,8% di Yogyakarta (Anonim, 2007). Di Puskesmas Induk Tegalrejo hipertensi termasuk dalam 5 besar penyakit berdasarkan banyaknya jumlah penderita.
dan dosis obat yang diberikan apakah sudah sesuai dengan penyakit yang diderita atau disesuaikan dengan stok obat yang masih tersedia.
Obat sebagai salah satu unsur penting dalam upaya kesehatan, mulai dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan pemulihan harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat dibutuhkan. Obat juga dapat merugikan kesehatan bila digunakan secara tidak tepat. Permintaan atau pengadaan obat merupakan suatu aspek yang harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan obat yang ada agar tidak terjadi kekurangan obat (Anonim, 2006), maka pasien memperoleh obat bukan disesuaikan stok obat yang masih tersedia, tetapi karena kebutuhan obat memang terpenuhi (tidak terjadi kekurangan obat), sehingga pasien memperoleh obat yang tepat sesuai dengan panyakit yang diderita. Peresepan obat dengan dosis yang kurang hanya akan memberikan efek subterapi.
Pengkajian Sumber Daya Kesehatan (PSDK) bidang Farmasi menemukan bahwa paling tidak 42% puskesmas pernah mengalami kekosongan obat (stock out) selama periode pelayanan (Dwiprahasto, 2004). Ketidakcukupan obat-obatan
Berdasarkan hal tersebut, maka timbul pertanyaan mengenai peresepan obat hipertensi pada pasien Gakin yang dibandingkan pada semester I dan semester II akibat kekosongan obat, sehingga dilakukan penelitian tentang PERBEDAAN POLA PERESEPAN OBAT HIPERTENSI PADA PASIEN GAKIN ANTARA SEMESTER I DAN SEMESTER II DI PUSKESMAS INDUK TEGALREJO YOGYAKARTA TAHUN 2009 yang meliputi jenis obat (item), jumlah obat (unit), dan dosis obat yang diresepkan. Tempat penelitian di Puskesmas Induk Tegalrejo karena terletak di kota sehingga dapat mewakili pola peresepan dan stok obat puskesmas kota. Sebagai puskesmas induk jumlah pasien Gakin yang menderita hipertensi cukup banyak, sehingga dapat mewakili jumlah pasien dalam penelitian ini. Pasien yang diteliti adalah pasien Gakin karena mereka berobat dengan kartu keluarga miskin yang bebas biaya pengobatan, sehingga kemungkinan dapat terjadi perbedaan peresepan obatnya. Anggaran obat untuk gudang obat turun bulan April, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti tanggal berapa permintaan obat terpenuhi untuk Puskesmas Induk Tegalrejo sendiri, sehingga data yang diambil dimulai dari bulan Mei 2009–Februari 2010. Penelitian ini diharapkan dapat mewakili pola peresepan sebuah puskesmas sebagai instansi pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat.
1. Perumusan masalah
b. Seperti apakah profil obat secara umum pada pasien Gakin yang menerima obat hipertensi antara semester I dan semester II di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta tahun 2009 menurut golongan obat ?
c. Apakah ada perbedaan pola peresepan obat hipertensi pada pasien Gakin antara semester I dan semester II di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta tahun 2009 yang meliputi jenis obat (item), jumlah obat (unit), dan dosis obat hipertensi ?
2. Keaslian penelitian
Penelitian yang sudah pernah dilakukan menyangkut terapi terhadap pasien hipertensi diantaranya tercantum di bawah ini:
a. “Studi Literatur tentang Interaksi Obat Hipertensi Tanpa Komplikasi Penderita Lanjut Usia pada Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Desember 2001” oleh Theodorine (2001).
b. “Pola Pemberian Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Pakualaman Yogyakarta Periode Januari-Juni 2002” oleh Ismawati (2002). c. “Profil Peresepan Obat Antihipertensi pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit
Panti Rini Kalasan Yogyakarta Tahun 2004” oleh Prasetyo (2004).
obat hipertensi pada pasien Gakin antara semester I dan semester II di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta pada tahun 2009 oleh peneliti lain.
3. Manfaat penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: a.Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi dan referensi guna mengetahui perbedaan pola peresepan obat hipertensi pada pasien Gakin antara semester I dan semester II yang meliputi jenis obat (item), jumlah obat (unit), dan dosis obat hipertensi yang diresepkan.
b.Manfaat praktis
Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk lebih memperbaiki manajemen pengelolaan obat termasuk penyediaan stok obat di puskesmas apabila terjadi perbedaan peresepan obat hipertensi di puskesmas, serta meningkatkan pelayanan peresepan obat yang rasional guna mencapai efek terapetik yang diinginkan.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengamati perbedaan pola peresepan obat hipertensi pada pasien Gakin antara semester I dan semester II di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta tahun 2009.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui profil pasien Gakin yang menerima obat hipertensi pada semester I dan semester II di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta tahun 2009 meliputi jenis kelamin, umur, dan kasus penyakit komplikasi dan penyakit penyerta.
b. Mengetahui profil obat secara umum pada pasien Gakin yang menerima obat hipertensi antara semester I dan semester II di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta tahun 2009 menurut golongan obat.
A. Peresepan Obat
Obat adalah bahan yang digunakan untuk mencegah, mengurangkan,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit (Anief, 2006).
Definisi peresepan yang rasional tentang obat itu sendiri menurut WHO
(1993) adalah jika penderita mendapat obat-obatan sesuai dengan diagnosis
penyakitnya, dosis, dan lama pemakaian obat yang sesuai dengan kebutuhan
pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan pasien maupun
masyarakat untuk membeli obat.
Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria
tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi
masing-masing, tetapi paling tidak akan mencakup hal-hal berikut : ketepatan indikasi,
ketepatan pemilihan obat, ketepatan cara pemakaian dan dosis obat, ketepatan
penilaian terhadap kondisi pasien dan tindak lanjut efek pengobatan.
Ketepatan indikasi adalah obat yang diresepkan berdasarkan keadaan
medis pasien dan secara farmakologis terbukti menjadi pilihan terbaik bagi
pasien, sehingga penggunaan obat tersebut memang perlu dan terbukti dapat
memberikan efek terapetik yang diinginkan, karena hal ini akan menentukan
evaluasi terhadap hasil terapi (Anonim, 2009).
Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan, yakni:
pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan sesuai dengan manfaat
yang akan diperoleh, biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat
dengan manfaat dan keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien
(affordable), jenis obat yang paling mudah didapat (available), cara pemakaian
paling cocok dan paling mudah diikuti pasien, sedikit mungkin kombinasi obat
atau jumlah jenis obat (Anonim, 2009).
Cara pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni :
cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian, dan lama pemberian, sampai ke
pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman
serta efektif untuk pasien. Juga perlu dipertimbangkan disini adalah kemungkinan
terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu. Ketepatan pasien serta
penilaiannya mencakup pertimbangan tentang adanya kontraindikasi atau
kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual, dan
keadaan yang merupakan faktor konsitusi terjadinya efek samping obat pada
penderita (Vance dan Millington, 1986).
Ketepatan pasien dapat diartikan pasien menerima obat dengan tidak ada
kontraindikasi dan tidak muncul efek samping. Obat dapat diberikan kepada
pasien jika tidak ada kontraindikasi, sedangkan untuk pemberian dosis pada
kebanyakan kasus dianjurkan dosis rendah terlebih dahulu. Penyesuaian dosis
perlu dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal atau hepar, pada pasien lanjut
B. Hipertensi 1. Definisi
Hipertensi adalah suatu penyakit dimana terjadi peningkatan tekanan darah
arteri (blood pressure), yang menyebabkan risiko terhadap serangan stroke, gagal
jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (Saseen dan Carter, 1999).
Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
lebih dari atau sama dengan 90 mmHg. Secara umum, hipertensi merupakan suatu
keadaan tanpa gejala dan sampai pasien dinyatakan menderita hipertensi
kebanyakan pasien merasa sehat (Graham-Clake dan Hebron, 1999).
Pada pemeriksaan tekanan darah akan diperoleh dua angka, angka yang
lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih
rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah ditulis
sebagai tekanan sistolik garis miring tekanan diastolik, misalnya 120/80 mmHg,
dibaca seratus dua puluh per delapan puluh. Dikatakan tekanan darah tinggi jika
pada tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik
mencapai 90 mmHg atau lebih, atau keduanya (Anonim, 2003).
Join National Commite on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure (JNC) VII mengklasifikasikan tekanan darah
untuk usia 18 tahun ke atas menjadi 4 yaitu tekanan darah normal, prehipertensi,
hipertensi tingkat 1, dan hipertensi tingkat 2. Pasien yang tekanan darahnya
terkena hipertensi dibanding dengan orang yang tekanan darahnya lebih rendah
(Chobanian dkk, 2003).
Tabel I. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-VII untuk pasien berusia lebih dari 18 tahun (Chobanian dkk, 2003)
Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik
(mmHg)
Tekanan Darah Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi tingkat 1 140-159 90-99
Hipertensi tingkat 2 ≥160 ≥100
Menurut Panduan Pengobatan Puskesmas (2009), klasifikasi hipertensi
sebagai berikut :
Tabel II. Klasifikasi Hipertensi (Anonim, 2009) Klas hipertensi
mmHg
Modifikasi gaya hidup
Tanda ada penyakit penyerta
Diastole 90-95 Perlu
Tiazid, atau ACE Inhibitor, ARB, beta bloker, Ca antagonis
atau kombinasi
Hipertensi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu primer
(esensial) dan sekunder.
Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Penyebab dari
hipertensi ini tidak diketahui, tidak dapat disembuhkan, dan hanya dapat
dikontrol. Kemungkinan penyebabnya adalah faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik dapat terlihat dari adanya riwayat penyakit
kardiovaskuler dari keluarga, dan dapat berupa sensitivitas terhadap natrium
dan kepekaan terhadap stress. Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan
hipertensi yaitu obesitas, konsumsi natrium yang berlebihan, dan merokok.
b. Hipertensi sekunder
Kurang lebih 10% pasien terkena hipertensi tipe ini. Yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal),
penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat-obatan dan lain-lain (Saseen dan
Carter, 1999).
3. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
II dari angiotensin I oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). ACE
memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati, kemudian oleh hormon
renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
inilah yang memiliki peranan dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi
utama.
Aksi pertama yaitu meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan
anak ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh, sehingga menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Akibatnya volume darah meningkat, yang pada
akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi
sekresi hormon aldosteron oleh korteks adrenal dengan sifat retensi garam dan air.
Jika renin yang dilepaskan berlebihan maka aldosteron yang dihasilkan akan
berlebihan sehingga retensi cairan meningkat. Akibatnya volume darah
meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah (Tanu, 1995).
Stress juga dapat meningkatkan tekanan darah karena stress dapat memacu
kerja saraf simpatis sehingga kontraktilitas otot jantung meningkat. Akibatnya
curah jantung meningkat. Apabila terjadi kelainan pada fungsi ginjal dimana
tubuh tidak mampu membuang sejumlah garam dan air maka terjadi peningkatan
retensi cairan dalam sirkulasi. Hal ini menyebabkan volume darah meningkat,
sehingga tekanan darah meningkat (Tjay dan Rahardja, 2002).
4. Manifestasi klinis
Hipertensi pada umumnya tidak memiliki gejala dan kebanyakan dari
pasien yang didiagnosis menderita hipertensi merasa sehat. Tanda utama
hipertensi adalah kenaikan tekanan darah. Manifestasi lain seperti kelelahan dan
sakit kepala hanya muncul pada beberapa orang saja (Graham-Clake dan Hebron,
1999).
5. Diagnosis
Menurut Joint National Commite VII diagnosis hipertensi ditegakkan
berbeda. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang
tersebut diperoleh nilai rata-rata tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Diagnosis hipertensi boleh ditegakkan
berdasarkan sekali pengukuran bila tekanan darah sistolik ≥210 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik ≥120mmHg (Setiawati dan Bustami, 1999).
6. Tujuan dan sasaran pengobatan
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan mortalitas dan
morbiditas kardiovaskular. Penurunan tekanan sistolik harus menjadi perhatian
utama, karena pada umumnya tekanan diastolik akan terkontrol bersamaan dengan
terkontrolnya tekanan sistolik. Target tekanan darah bila tanpa kelainan penyerta
adalah <140/90 mmHg, sedangkan pada pasien dengan DM atau gagal ginjal
kronis, tekanan darah harus diturunkan di bawah 130/80 mmHg (Syarif, 2007).
7. Strategi terapi
Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai dengan perubahan gaya
hidup berupa diet rendah garam, berhenti merokok, mengurangi konsumsi
alkohol, aktifitas fisik yang teratur dan penurunan berat badan bagi pasien dengan
berat badan lebih. Selain dapat menurunkan tekanan darah, perubahan gaya hidup
juga terbukti meningkatkan efektivitas obat antihipertensi dan menurunkan risiko
kardiovaskular (Syarif, 2007).
Menurut WHO, penyakit hipertensi tidak tergantung pada usia. Hipertensi
dapat diturunkan dengan terapi tanpa obat (non-farmakoterapi) atau terapi dengan
obat (farmakoterapi). Terapi non farmakologi ditujukan untuk menurunkan
dilakukan dengan cara mengendalikan bobot badan, pembatasan masukan
natrium, mengurangi konsumsi alkohol, partisipasi dalam program olahraga, dan
tidak merokok. Modifikasi pola hidup terbukti dapat menurunkan tekanan darah,
dan menurunkan risiko kardiovaskular. Terapi farmakologik adalah terapi yang
dilakukan dengan menggunakan obat-obatan. Pengobatan dengan terapi
farmakologi baru dilakukan jika terapi non farmakologi tidak berhasil. Dengan
menambahkan antihipertensi tahapan pertama yaitu golongan obat diuretik, β
bloker, penghambat ACE, antagonis kalsium, dan α bloker.
Tabel III. Modifikasi Pola Hidup untuk Pasien Hipertensi menurut JNC-VII tahun 2003
Modifikasi Rekomendasi Perkiraan Penurunan
Tekanan Darah Sistolik
Penurunan berat badan
Menjaga berat badan normal BMI 18,5-24,9 kg/m2
5-20 mmHg/10 kg penurunan berat badan Perubahan
pola makan
Diet dengan mengkonsumsi banyak buah, sayuran, dan produk rendah lemak
8-14 mmHg
Diet
pengurangan sodium
Mengurangi pemasukan sodium tidak > 100 mmol/hari (2.4 gr sodium atau 6 gr sodium klorid)
2-8 mmHg
Aktivitas fisik
Disarankan untuk aerobik ringan seperti jalan cepat (setidaknya 30 menit/hari)
4-9 mmHg
Pembatasan konsumsi alkohol
Batas konsumsi tidak lebih dari 2 minuman per hari (30 ml ethanol) pada pria dan tidak lebih dari 1 minuman per hari pada wanita
2-4 mmHg
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan obat antihipertensi antara
lain :
a. Derajat tingginya tekanan darah
Tekanan darah yang tinggi sekali memerlukan kombinasi beberapa obat
antihipertensi. Tekanan darah ringan dan sedang tanpa komplikasi dapat
disembuhkan dengan pengobatan rawat jalan.
b. Komplikasi yang mungkin telah terjadi atau penyakit penyerta
Pemilihan obat antihipertensi yang memperlihatkan tanda-tanda payah jantung
yaitu pemakaian obat diuretik dan penghambat Angiotensin Converting Enzym
(ACE). Penderita ini sudah memerlukan rawat inap di rumah sakit.
c. Faktor risiko yang sudah mungkin ada
Faktor risiko yang ada pada penderita perlu diperhatikan dengan baik. Obat
hipertensi berupa diuretik dosis besar cenderung memperberat dislipidemia dan
mempersulit pengendalian gula darah.
d. Usia penderita
Hal yang penting untuk diperhatikan adalah penurunan tekanan darah yang
tiba-tiba dapat menimbulkan stroke (Djaafar, 2003).
8. Obat-obat antihipertensi a. Diuretik
Obat antihipertensi golongan diuretik ini mempunyai khasiat antihipertensi
dengan efek yang meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan air, sehingga
mengurangi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan
kembali tetapi masih kira-kira 5% dibawah nilai sebelum pengobatan. Efek
proteksi kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga
diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang.
Bahkan bila menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi, maka salah
satunya dianjurkan diuretik (Syarif, 2007).
b. ACE-inhibitor / Penghambat enzim konversi angiotensin
Golongan obat ini dapat mencegah pembentukan angiotensin, suatu
protein yang dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah (konstriksi).
Mekanisme kerjanya dengan menghambat enzim yang mengubah angiotensin I
menjadi angiotensin II, sehingga pembentukan angiotensin II berkurang, terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi hormon aldosteron yang menyebabkan
terjadinya ekskresi natrium dan air, serta retensi kalium. ACE-inhibitor efektif
untuk terapi hipertensi ringan, sedang, dan berat. Beberapa obat hipertensi yang
digunakan untuk terapi hipertensi adalah captopril, enalapril, lisinopril, kuinapril,
fosinopril, ramipril, delapril, dan lain-lain.
Kombinasi dengan diuretik memberikan efek sinergistik (sekitar 85%
pasien tekanan darahnya terkendali dengan kombinasi ini). ACE-inhibitor terpilih
untuk hipertensi pada gagal jantung kongestif. Obat ini juga menunjukkan efek
positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik
untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia, dan obesitas. Efek samping yang
mungkin ditimbulkan oleh obat ini adalah batuk kering, hipotensi, gagal ginjal
c. Antagonis Ca
Antagonis Ca merupakan senyawa yang menghambat influks kalsium pada
sel otot polos pembuluh darah dan miokard, dengan memperkecil masuknya ion
kalsium ke dalam sel dengan saluran kalsium lambat. Beberapa contoh obat
golongan antagonis Ca adalah nifedipin, amlodipin, diltiazem, dan verapamil.
Kombinasi antagonis Ca dengan β-blocker sebaiknya dipilih antagonis yang
bersifat vaskuloselektif (dihidropiridin). Kombinasi antagonis Ca dengan
ACE-inhibitor atau α-bloker memberikan efek yang baik, tetapi antagonis Ca hanya
memberikan penambahan efek kecil jika ditambah dengan diuretik. Efek samping
yang dapat terjadi adalah iskemia miokard, edema perifer, bradiaritmia (Setiawati
dan Bustami, 1995).
d. Penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker)
Mekanisme kerja dari β-blocker yaitu dengan pengurangan denyut jantung
dan kontraktilitas miokard yang menyebabkan curah jantung berkurang, hambatan
pelepasan norepinefrin melalui hambatan reseptor β2 prasinapsi, hambatan sekresi
renin melaui hambatan reseptor β di ginjal dan efek sentral. Contoh obat golongan
ini adalah propanolol, pindolol, acebutolol, bisoprolol, timolol, penbutolol, dan
sotalol. Semua β-blocker dikontraindikasikan pada pasien dengan asma bronkial.
Kombinasi β-blocker (carvedilol dan bisoprolol) dengan ACE-inhibitor
bermanfaat untuk pengobatan gagal jantung. Efek samping dari β-blocker berupa
Menurut Panduan Pengobatan Puskesmas (2009), jenis obat hipertensi
sebagai berikut :
Tabel IV. Jenis Obat Hipertensi (Anonim, 2009)
Nama Generik Dosis (mg) Frekuensi per hari
Amlodipin 5-10 1-2
Captopril 12,5-25 2-3
Diltiazem 30-60 3
Furosemid 40-80 1-2
HCT 12,5-25 1-2
Nifedipin 5-10 3
Propanolol 40-160 2-3
C. Anggaran Obat
Alokasi anggaran kesehatan didefinisikan sebagai pembiayaan
kegiatan-kegiatan dengan tujuan utama meningkatkan derajat kesehatan.
Obat merupakan salah satu interfensi kesehatan yang paling nyata dan
paling dirasakan oleh pasien yang berkunjung ke fasilitas kesehatan. Alokasi
anggaran kesehatan didefinisikan sebagai pembiayaan kegiatan-kegiatan dengan
tujuan utama meningkatkan derajat kesehatan. Undang-undang kesehatan No. 23
tahun 1992 mengatur berbagai definisi, pengelolaan obat, dan perbekalan
kesehatan yang lain seperti yang tertuang dalam pasal 61 yang berbunyi
perbekalan kesehatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan lainnya (sediaan farmasi
adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetik). Pasal 61 ayat 1 memuat
pengelolaan perbekalan kesehatan, yaitu “pengelolaan perbekalan kesehatan
dilakukan agar dapat terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan
Sebesar 40% dari anggaran pembangunan kesehatan dipergunakan untuk
pengadaan obat. Ketersediaan obat sebagai unsur utama dalam pelayanan
kesehatan selain keterjangkauan, keamanan, mutu, dan manfaat, ketersediaan obat
terkait erat dengan pendanaan. Sebagai contoh anggaran belanja daerah di Kota
Yogyakarta untuk pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan dianggarkan
sejumlah Rp 4.501.699.500, yang digunakan untuk belanja bahan obat-obatan dan
suku cadang alat kesehatan (Anonim, 2008).
D. Puskesmas
Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar
yang diperlukan setiap orang. Puskesmas adalah salah satu organisasi pelayanan
kesehatan yang pada dasarnya adalah organisasi jasa pelayanan umum. Oleh
karenanya, puskesmas sebagai pelayanan masyarakat perlu memiliki karakter
mutu pelayanan prima yang sesuai dengan harapan pasien, selain diharapkan
memberikan pelayanan medis yang bermutu (Wijono, 1999).
Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan pemerintah, harus selalu
meningkatkan mutu pelayanannya agar tetap menjadi pilihan masyarakat,
termasuk dalam memberikan pelayanan pengobatan (Triwulaningsih, 2007).
Puskesmas sebagai pelayanan publik dirasakan kaku dan tidak inovatif,
akibatnya kepentingan masyarakat yang terus berkembang tidak mampu
diakomodasi. Hal ini menyebabkan upaya pengembangan yang dilakukan
puskesmas tidak dapat berjalan dengan efektif dan efisien, bahkan dapat
tidak sesuai dengan tugas pokok puskesmas akan menyebabkan puskesmas tidak
dapat menyediakan pelayanan yang bermutu dan tidak dapat meningkatkan
kesejahteraan karyawan (Hartanto, 2009).
Pada kenyataannya puskesmas menjadi tempat yang terlalu demokratis
bagi kesehatan rakyat. Puskesmas hanya difasilitasi secara minimal oleh
pemerintah dengan kualitas pelayanan yang seadanya. Hal ini dapat dilihat dari
fasilitas penunjang alat-alat kesehatan yang sudah tidak valid untuk pelayanan
kesehatan, fasilitas penyediaan obat-obatan yang sangat terbatas bahkan terkesan
asal-asalan yang berimplikasi dengan memukul rata obat bagi setiap penyakit.
Akhirnya keberadaan puskesmas patut dipertanyakan sejalan dengan alokasi
anggaran kesehatan. Anggaran kesehatan merupakan anggaran terbesar kedua
untuk dinas disetiap daerah setelah anggaran pendidikan, namun tetap saja tidak
ada dampaknya (Suryani, 2008).
E. Landasan Teori
Puskesmas merupakan pusat pelayanan kesehatan yang menjadi ujung
tombak kepedulian pemerintah terhadap masyarakat kecil yaitu masyarakat yang
tergolong warga miskin (Gakin). Masyarakat yang tergolong warga miskin
memperoleh Kartu Keluarga Miskin dari pemerintah yang merupakan kartu bebas
biaya berobat. Biaya yang rendah dan terjangkau di puskesmas terkadang tidak
diimbangi dengan fasilitas pelayanan yang mendukung (apalagi yang berobat
dalam hal jenis maupun jumlah setiap saat diperlukan. Persediaan obat untuk
puskesmas tergantung pada suplai gudang farmasi.
Peresepan yang kurang rasional yang sering terjadi di puskesmas
dikarenakan stok obat yang tersedia terbatas sehingga pasien memperoleh obat
yang tidak sesuai dengan penyakit yang diderita. Obat yang dipilih hendaknya
sesuai dengan tujuan terapi pasien hipertensi, tidak tergantung pada persediaan
stok obat di puskesmas, sehingga permintaan atau pengadaan obat merupakan
aspek penting yang harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan obat yang ada agar
tidak terjadi kekurangan obat.
Pengkajian Sumber Daya Kesehatan (PSDK) bidang Farmasi menemukan
bahwa paling tidak 42% puskesmas pernah mengalami kekosongan obat (stock
out) selama periode pelayanan (Dwiprahasto, 2004). Terjadinya kekosongan obat
terjadi pada bulan-bulan akhir. Masalah kekurangan obat dapat terjadi karena
faktor perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pencatatan
obat yang belum tepat, belum efektif, dan kurang efisien. Dengan demikian
diperlukan perbandingan untuk melihat perbedaan pola peresepan obat hipertensi
pada pasien Gakin antara semester I dan semester II di suatu puskesmas, karena
untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu puskesmas
tergantung pada ketersediaan obat yang cukup, sehingga puskesmas tersebut tidak
F. Hipotesis
Terdapat perbedaan pola peresepan obat hipertensi pada pasien Gakin
antara semester I dan semester II yang meliputi jenis obat (item), jumlah obat
(unit), dan dosis obat hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta tahun
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai Perbedaan Pola Peresepan Obat Hipertensi pada Pasien Gakin antara Semester I dan Semester II di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta tahun 2009 ini merupakan jenis penelitian observasional, karena peneliti hanya melakukan pengamatan terhadap data yang telah ada tanpa melakukan perlakuan terhadap subyek uji. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dari data terapi obat pasien yang sebelumnya telah diresepkan dan tercatat pada data rekam medik pasien di Puskesmas Induk Tegalrejo tahun 2009.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah analitik, yang memakai sensus data semua pasien yang diberi obat hipertensi. Kemudian diuji normalitasnya terlebih dahulu, dilanjutkan melihat perbedaannya dengan paired t-test. Alasan digunakan uji ini karena membandingkan data yang diperoleh dari semester I dan semester II peresepan obat hipertensi secara berpasangan pada tiap bulan.
Berdasarkan setting tempat, penelitian ini termasuk penelitian lapangan. Penelitian ini merupakan analitik, artinya dalam penelitian ini terdapat dua
dengan pencatatan data dalam lembar resep dan rekam medik pasien yang dibandingkan antara semester I dengan semester II.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas (independent variable) : waktu peresepan yakni pada semester I dan semester II.
b. Variabel tergantung (dependent variable) : pola peresepan yang meliputi jenis obat (item), jumlah obat (unit), dosis obat yang diberikan.
2. Definisi operasional
a. Peresepan obat adalah pemberian obat atau kombinasi obat oleh dokter yang ditulis pada kertas resep dengan mencantumkan nama obat, dosis, dan banyaknya obat yang harus dikonsumsi pasien.
b. Pasien hipertensi adalah pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah arteri, menjalani rawat jalan, dan berobat di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta.
c. Jenis obat (item) adalah setiap nama obat yang tercantum pada resep obat. d. Jumlah obat (unit) adalah hitungan obat per butir tablet pada peresepan.
e. Obat target adalah obat yang termasuk obat hipertensi misalnya captopril, nifedipin, amlodipin, diltiazem, propanolol, furosemid, HCT.
f. Obat non target adalah obat yang tidak termasuk dalam obat hipertensi.
h. Dosis regimen obat adalah kekuatan tablet yang biasanya diukur dengan milligram, mikrogram, atau milliliter, serta dapat mengukur frekuensi maupun durasi penggunaan obat per hari.
i. Anggaran obat adalah stok obat yang tersedia di gudang obat yang sudah direncanakan untuk jangka waktu tertentu.
j. Anggaran semester I adalah anggaran obat yang digunakan pada 5 bulan pertama dimulai dari bulan dimana stok obat itu turun yakni Mei 2009 - September 2009.
k. Anggaran semester II adalah anggaran obat yang digunakan pada 5 bulan kedua, terhitung setelah anggaran 5 bulan pertama yakni Oktober 2009 - Februari 2010.
C. Subyek Penelitian
karena tergantung pasien yang datang pada waktu yang ditentukan. Hasil dari besar sampel yang akan dilibatkan dalam penelitian yang didapatkan sebagai jumlah subjek uji pasien hipertensi sebanyak 382 pasien.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah buku register pasien warga miskin, lembar catatan medik pasien, dan lembar resep obat pasien yang menerima obat hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo pada semester I dan semester II pada bulan Mei 2009-Februari 2010.
E. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian Pendaftaran, Bagian Pemeriksaan, dan Bagian Pelayanan Obat di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta untuk pencatatan data yang diperlukan.
F. Tata Cara Penelitian 1. Tahap persiapan
Tahap ini dimulai dengan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian dan pembuatan proposal penelitian. Kemudian melakukan perijinan penelitian yang diawali dari pihak Universitas, perijinan pihak Dinas Kesehatan, kemudian perijinan pihak Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta, serta laporan kepada Walikota Yogyakarta.
a. Analisis situasi meliputi diskusi dengan pihak manajemen Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta mengenai peresepan obat, stok obat dan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun teknis pelaksanaan dengan pihak puskesmas.
b. Penetapan kajian penelitian dan penetapan kriteria inklusi serta eksklusi untuk menentukan subyek penelitian secara retrospektif selama Mei 2009-Februari 2010.
3. Pengumpulan data
Pengumpulan data diawali dengan cara pencatatan semua pasien (sensus) yang daftar namanya telah tertulis di buku register pasien yang termasuk kriteria inklusi. Dilanjutkan dengan mengeluarkan subjek uji yang termasuk kriteria eksklusi. Kemudian mengelompokkan pasien pada semester I dan semester II berdasarkan bulan pasien datang periksa. Data yang dicatat meliputi nomor indek pasien, nama pasien, jenis kelamin, umur, dan diagnosis penyakit. Kemudian dilanjutkan dengan pencatatan nama, dosis, jumlah, dan frekuensi obat dari lembar resep obat yang bersangkutan dengan subjek penelitian. Diperlukan melengkapi pencatatan data dengan melihat rekam medik pasien. Dari langkah tersebut sudah didapatkan kumpulan dan catatan data, termasuk data jenis, jumlah, dan dosis obat hipertensi. Semua data yang terkumpul ditabulasi meliputi identitas pasien, diagnosis, terapi yang diberikan (jenis obat, jumlah obat, dan dosis obat).
Wawancara secara spontan dilakukan kepada dokter yang sedang berjaga sekilas mengenai kebiasaaan peresepan obat untuk pasien hipertensi.
5. Tahap penyelesaian a. Pengolahan data
Pada tahap ini data sudah didapatkan dari tahap pengumpulan data. Kemudian dilakukan pengolahan dari data yang sudah didapatkan. Data yang terkumpul dilakukan analisa deskriptif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara retrospektif sehingga dapat diketahui peresepannya yang meliputi jenis obat, jumlah obat, dan dosis obat untuk melihat pola peresepan pada pasien yang bersangkutan kemudian dilihat perbedaan antara semester I dan semester II yakni pada bulan Mei 2009-Februari 2010.
b. Evaluasi data
Statistik yang digunakan yaitu parametrik atau non parametrik ditentukan oleh sebaran data. Bila parametrik menggunakan paired t-test dan bila non parametrik menggunakan Wilcoxon. Sebaran data diuji normalitasnya dengan Kolmogorov-Smirnov test karena sampel yang diuji lebih dari 50 (Dahlan, 2008).
c. Penarikan kesimpulan
G. Analisis Data
1. Persentase jenis kelamin antara semester I dan semester II, yang dikelompokkan menjadi 2, yaitu pasien berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok jenis kelamin dibagi dengan jumlah keseluruhan kasus pasien yang menggunakan obat hipertensi dikali 100%. Perlu uji statistik, untuk mengetahui apakah jumlah jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan pada semester I dan semester II berbeda bermakna atau tidak, taraf kepercayaan yang digunakan adalah 90%. Uji yang digunakan adalah Chi-Square, bila p<0,1 artinya berbeda bermakna, sedangkan bila p>0,1 artinya berbeda tidak bermakna.
2. Persentase umur antara semester I dan semester II, yang dikelompokkan dengan rentang 10 tahun yaitu 19-29 tahun, 30-40 tahun, 41-51 tahun, 52-62 tahun, 63-73 tahun, 74-84 tahun dan 85-95 tahun. Dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok umur dibagi dengan jumlah keseluruhan kasus penyakit hipertensi dikali 100%. Perlu uji statistik, untuk mengetahui apakah jumlah umur antara semester I dan semester II berbeda bermakna atau tidak, taraf kepercayaan yang digunakan adalah 90%. Uji yang digunakan adalah Chi-Square, bila p<0,1 artinya berbeda bermakna, sedangkan bila p>0,1 artinya berbeda tidak bermakna.
jenis penyakit yang diderita oleh pasien hipertensi yaitu hipertensi tanpa komplikasi tanpa penyakit penyerta, hipertensi dengan komplikasi, hipertensi dengan penyakit penyerta, dan hipertensi dengan komplikasi dan penyakit penyerta. Dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada masing-masing golongan jenis penyakit dibagi dengan jumlah keseluruhan kasus yang menggunakan obat hipertensi dikali 100%.
4. Persentase penggolongan obat yang diresepkan pada pasien hipertensi. Dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus tiap golongan obat dibagi dengan jumlah pasien hipertensi dikali 100%.
5. Perbandingan antara jumlah item obat target hipertensi, obat non target dan obat total pada tiap pasien antara semester I dan semester II. Dihitung dengan cara menghitung jumlah item obat antara lain obat target, obat non target, dan obat total dibagi dengan jumlah keseluruhan kasus yang ada. Perlu uji statistik, untuk mengetahui apakah jumlah item obat target dan jumlah jenis obat total antara semester I dan semester II berbeda bermakna atau tidak, terlebih dahulu diuji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Test, taraf kepercayaan yang digunakan adalah 90%. Bila sebaran data normal digunakan uji parametrik paired t-test sedangkan jika sebaran data tidak normal digunakan uji Wilcoxon. Jika p<0,1 artinya berbeda bermakna, sedangkan bila p>0,1 artinya berbeda tidak bermakna.
7. Persentase peresepan obat tunggal dan kombinasi pada pasien hipertensi antara semester I dan semester II. Dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus antara lain obat tunggal dan kombinasi dibagi dengan jumlah keseluruhan kasus yang ada dikali 100%.
8. Jumlah unit obat untuk masing-masing jenis obat pada tiap pasien antara semester I dan semester II. Dihitung dengan cara menghitung jumlah unit obat masing-masing jenis obat dibagi dengan jumlah pasien yang menggunakan tiap jenis obat tersebut. Perlu uji statistik, untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah unit masing-masing obat hipertensi antara semester I dan semester II, dengan taraf kepercayaan yang digunakan adalah 90%. Pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test. Bila sebaran data normal digunakan uji parametrik paired t-test sedangkan jika sebaran data tidak normal digunakan uji Wilcoxon. Jika p<0,1 artinya berbeda bermakna, sedangkan bila p>0,1 artinya berbeda tidak bermakna. 9. Jumlah unit pemakaian masing-masing jenis obat hipertensi dilihat menurut
Kolmogorov-Smirnov Test, taraf kepercayaan yang digunakan adalah 90%.
Bila sebaran data normal digunakan uji parametrik paired t-test sedangkan jika sebaran data tidak normal digunakan uji non parametrik Wilcoxon. Jika p<0,1 artinya berbeda bermakna, sedangkan bila p>0,1 artinya berbeda tidak bermakna.
10.Distribusi dosis obat antara semester I dan semester II, sehingga dapat diketahui banyaknya pasien yang memperoleh dosis obat tertentu dari beberapa obat hipertensi yang digunakan.
11.Perbandingan rata-rata jumlah pemberian untuk masing-masing jenis obat pada semester I dan semester II. Dihitung dengan cara menghitung jumlah unit obat masing-masing jenis obat dibagi dengan jumlah kasus tiap jenis obat. 12.Uji statistik, untuk mengetahui apakah ada perbedaan dosis masing-masing
obat hipertensi pada tiap pasien antara semester I dan semester II, dengan taraf kepercayaan yang digunakan adalah 90%. Pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test. Bila sebaran data normal digunakan uji parametrik paired t-test sedangkan jika sebaran data tidak normal digunakan uji Wilcoxon. Jika p<0,1 artinya berbeda bermakna, sedangkan bila p>0,1 artinya berbeda tidak bermakna.
14.Perbandingan rata-rata frekuensi penggunaan per hari obat hipertensi pada semester I dan semester II. Dihitung dengan menghitung rata-rata dosis penggunaan per hari obat hipertensi dibagi dengan dosis penggunaan masing- masing jenis obatnya.
H. Kesulitan Penelitian
a. Sulitnya menemukan catatan status pasien karena data catatan medik untuk satu keluarga ditulis dalam satu buku.
b. Waktu pengambilan data sangat terbatas karena harus menunggu dari jam periksa di puskesmas habis sampai puskesmas tersebut tutup.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian “Perbedaan Pola Peresepan Obat Hipertensi pada Pasien Gakin
antara Semester I dan Semester II di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta tahun
2009” ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya perbedaan pola peresepan obat
hipertensi pada pasien Gakin antara semester I dan semester II di Puskesmas Induk
Tegalrejo Yogyakarta tahun 2009. Pasien hipertensi yang dipilih adalah pasien yang
merupakan Gakin. Hasil dan pembahasan penelitian disajikan dalam 3 bagian yaitu
profil pasien hipertensi yang meliputi jenis kelamin, umur, kasus penyakit komplikasi
maupun penyakit penyerta; profil obat secara umum berdasarkan golongan obat; serta
peresepan obat hipertensi yang dibandingkan dari data kedua semester.
Jumlah pasien dengan penyakit hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo
Yogyakarta cukup tinggi, termasuk dalam 5 penyakit terbesar sepanjang tahun 2009.
Jumlah sampel keseluruhan ada 382 pasien, pada semester I berjumlah 180 pasien
dan pada semester II berjumlah 202 pasien.
A. Profil Pasien 1. Karakteristik jenis kelamin pasien
Banyak sumber yang menyatakan bahwa penyakit hipertensi lebih sering
terjadi pada wanita daripada laki-laki. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan
a. Stress (ketegangan emosional) dapat meningkatkan tekanan darah untuk
sementara akibat pelepasan adrenalin dan noradrenalin (hormon stress), yang
bersifat vasokonstriktor.
b. Pil anti hamil yang mengandung hormon wanita estrogen yang bersifat retensi
garam dan air.
c. Kehamilan, hal ini disebabkan tekanan darah yang terjadi selama kehamilan.
d. Obesitas (berat badan berlebihan) yang dapat menyebabkan bertambahnya
volume darah dan perluasan sirkulasi (Tjay dan Rahardjo, 2002).
Faktor-faktor diatas sebagian besar dialami oleh wanita, sehingga wanita lebih
berisiko terserang penyakit hipertensi. Dari data yang saya peroleh lebih banyak
pasien wanita daripada yang laki-laki.
Gambar 1. Sebaran Jenis Kelamin Pasien Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
Dari gambar 1, dapat diketahui bahwa persentase pasien laki-laki dan
hipertensi perempuan lebih banyak daripada pasien hipertensi laki-laki. Pada
semester I pasien hipertensi laki-laki 28,9% sedangkan pasien hipertensi perempuan
71,1% (jumlah pasien hipertensi laki-laki sebanyak 52 pasien dan jumlah pasien
hipertensi perempuan sebanyak 128 pasien). Pada semester II pasien hipertensi
laki-laki 20,3% sedangkan pasien hipertensi perempuan 79,7% (jumlah pasien hipertensi
laki-laki sebanyak 41 pasien dan pasien hipertensi perempuan sebanyak 161 pasien).
Hasil analisis data yang membandingkan perbedaan profil jenis kelamin
pasien diperoleh nilai p=0,051 mempunyai nilai signifikansi <0,1 menunjukkan
bahwa jumlah jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan pada semester I dan
semester II berbeda bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
jumlah pasien laki-laki dan perempuan antara kedua semester.
2. Karakteristik umur pasien
Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang yang berusia lebih
dari 40 tahun. Tekanan darah meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, akibat
pengerasan dinding pembuluh darah, sehingga elastisitas dinding pembuluh darah
berkurang, yang dapat mengakibatkan tekanan darah lebih tinggi dibandingkan
dengan dinding pembuluh darah yang masih elastis. Tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa penyakit hipertensi dapat diderita oleh orang yang berusia lebih
muda. Hal ini bisa dikarenakan gaya hidup dan pola makan, seperti olahraga yang
tidak teratur serta lebih suka memilih jenis makanan yang cepat saji tanpa
Dari data yang diperoleh dapat diketahui jumlah pasien hipertensi yang
berusia 40 tahun keatas pada semester I sebesar 175 kasus, sedangkan pada semester
II sebesar 199 kasus. Pasien hipertensi yang tercatat di bawah 40 tahun pada semester
I sebanyak 5 pasien dan pada semester II sebanyak 3 pasien.
Berdasarkan data kelompok umur, usia terbanyak kasus hipertensi di
Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta pada semester I dan semester II adalah pada
kelompok umur 63-73 tahun, pada semester I sebanyak 69 kasus dengan persentase
38,3% sedangkan pada semester II sebanyak 63 kasus dengan persentase 31,2%.
Dalam penelitian ini tercatat usia termuda yang mengalami hipertensi adalah 19
tahun, sedangkan usia tertua yang mengalami hipertensi adalah 89 tahun.
Tabel V. Sebaran Umur Pasien Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
∑ Kasus Persentase (%)
Kelompok
Umur (tahun) Semester I Semester II Semester I Semester II
19-29 1 1 0,5 0,5
Hasil analisis data yang membandingkan profil umur pasien diperoleh nilai
p=0,464 mempunyai nilai signifikansi >0,1 menunjukkan bahwa kelompok umur
pada semester I dan semester II berbeda tidak bermakna, sehingga dapat disimpulkan
semester II. Jika sebaran data berbeda tidak bermakna maka perbedaan pola
peresepan pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh umur pasien hipertensi.
3. Kasus penyakit
Hipertensi dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan organ pada
jantung, otak, ginjal, dan mata. Penyakit penyerta kadang timbul bersamaan dengan
hipertensi dan dapat memperburuk kerusakan organ (Syarif, 2007).
Jumlah kasus hipertensi yang terjadi yaitu sebanyak 382 kasus di Puskesmas
Induk Tegalrejo Yogyakarta periode Mei 2009-Februari 2010. Kasus penderita
hipertensi diklasifikasikan menjadi 4 golongan jenis penyakit yang diderita oleh
pasien hipertensi yaitu hipertensi tanpa komplikasi tanpa penyakit penyerta,
hipertensi dengan komplikasi, hipertensi dengan penyakit penyerta, dan hipertensi
dengan komplikasi dan penyakit penyerta.
Tabel VI. Distribusi Jenis Kasus Penyakit Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
∑ Kasus Persentase (%)
Jenis Penyakit Semester
I Hipertensi tanpa komplikasi tanpa
penyakit penyerta 34 28 18,9 13,8
Hipertensi dengan komplikasi 2 1 1,1 0,5
Hipertensi dengan penyakit penyerta 140 166 77,8 82,2
Hipertensi dengan komplikasi dan
penyakit penyerta 4 7 2,2 3,5
Dapat dilihat dari Tabel VI, kasus hipertensi pada semester I dan semester II
yang terbanyak persentasenya adalah hipertensi dengan penyakit penyerta yakni
77,8% dan 82,2%.
Tabel VII. Distribusi Kasus Penyakit Komplikasi Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
∑ Kasus Persentase (%)
Komplikasi Hipertensi
Semester I Semester II Semester I Semester II
CHF 6 8 3,3 3,9
Tabel VII menunjukkan penyakit komplikasi dari hipertensi yaitu hipertensi
dengan komplikasi gagal jantung kongestif (CHF). Hal tersebut dikarenakan
hipertensi muncul akibat tingginya tekanan darah yang dapat meningkatkan beban
kerja jantung (Syarif, 2007). Pada semester I sebesar 3,3% dan pada semester II
sebesar 3,9%.
Tabel VIII menunjukkan kasus hipertensi disertai penyakit penyerta dengan
persentase terbesar adalah dispepsia pada semester I dan DM pada semester II.
Kemungkinan dispepsia disebabkan karena iritasi lambung, sedangkan untuk DM
Tabel VIII. Distribusi Kasus Penyakit Penyerta Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
∑ Kasus Persentase (%)
Penyakit Penyerta
Semester I Semester II Semester I Semester II
Alergi 7 4 3,9 2,0
Obat yang paling banyak diresepkan dari keseluruhan obat adalah
antihipertensi karena sudah jelas semua pasien menderita hipertensi dengan
Tabel IX. Penggolongan Obat yang Diresepkan pada pasien Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
∑ Unit ∑ Kasus Persentase (%)
Golongan obat
S I S II S I S II S I S II
Sistem Kardiovaskular dan Hematopoietik (Antihipertensi)
Sistem Kardiovaskular dan Hematopoietik (Selain
Antihipertensi)
26 18 4 3 2,3 1,5
1 Digoxin 0,25 mg 20 18 3 3 1,7 1,5
2 Isosorbide Dinitrate 5 mg 6 0 1 0 0,6 0
Sistem Gastrointestinal dan
Lanjutan Tabel IX
Golongan obat terbanyak kedua adalah sistem neuro-muskular dengan
persentase jumlah kasus sebesar 65,9% pada semester I dan 69,3% pada semester II.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Tabel VII.
C. Pola Peresepan 1. Jenis obat hipertensi
Perbandingan jumlah item obat target dan obat non target pada semester I dan
semester II dapat dilihat pada Tabel X. Obat target untuk tiap pasien pada semester I
jumlahnya lebih banyak daripada semester II, karena pada semester I pasien lebih
banyak mendapatkan obat hipertensi dengan 2 kombinasi obat, sedangkan pada
Tabel X. Jumlah Item Obat Target Hipertensi dan Obat Non Target di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
∑ Obat ∑ Pasien
Dilakukan uji statistik, untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah item
obat hipertensi dan jumlah item obat total antara semester I dan semester II. Untuk
data jumlah item obat hipertensi dan jumlah item obat total antara semester I dan
semester II, hasil uji normalitas diperoleh bahwa sebaran data berdistribusi normal.
Hasil perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah item obat hipertensi
(obat target) diperoleh nilai p=0,02 yang mempunyai nilai signifikansi <0,1
menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah item obat hipertensi antara semester I dan
semester II. Seperti yang sudah dijelaskan, karena pada semester I pasien lebih
banyak mendapatkan obat hipertensi dengan 2 kombinasi obat, sedangkan pada
semester II pasien lebih banyak mendapatkan obat tunggal, sehingga terjadi adanya
perbedaan jumlah jenis obat hipertensi antara semester I dan semester II.
Hasil perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah item obat total
diperoleh nilai p=0,221 yang mempunyai nilai signifikansi >0,1 menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan dari jumlah item obat total antara semester I dan
semester II, sehingga jumlah item obat total tidak dipengaruhi stok obat yang tersedia
Perbandingan antar obat hipertensi tampak pada Tabel XI yang menunjukkan
banyaknya jumlah pemberian masing-masing obat yang diresepkan setiap obat pada
tiap semester. Obat yang banyak diresepkan pada semester I adalah captopril 25 mg
sebanyak 80 dengan persentase 27,9%; sedangkan pada semester II obat yang paling
banyak diresepkan adalah amlodipin sebanyak 74 dengan persentase 26,6%.
Tabel XI. Perbandingan Jumlah Item Antihipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
∑ Item Persentase (%)
Pemberian obat-obat hipertensi ada yang diberikan secara kombinasi dalam
bentuk 2 atau lebih kombinasi obat. Kombinasi obat antihipertensi biasanya
dilakukan dengan menggabungkan 2 obat antihipertensi dari kelas yang berbeda,
yang bekerja secara bersinergi dengan saling memperkuat efek antihipertensinya,
serta mempunyai efek samping sesedikit mungkin (Rahardjo, 2001). Variasi jumlah
obat pada penderita hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta dapat
dilihat dari Tabel XII. Dilihat dari peresepan obat untuk pasien hipertensi yang paling
sering adalah kombinasi HCT 25 mg dengan captopril 25 mg pada semester I,
Tabel XII. Peresepan Obat Tunggal dan Kombinasi pada pasien Hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
∑ Pasien Persentase (%)
Antihipertensi Oral dan Kombinasi
2. Jumlah unit obat hipertensi
Tabel XIII memperlihatkan jumlah unit obat untuk masing-masing jenis obat
pada tiap pasien antara semester I dan semester II. Pemakaian jumlah unit obat
terbanyak adalah captopril 25 mg pada semester I maupun pada semester II.
Tabel XIII. Perbandingan Jumlah Unit Antihipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
∑ Unit obat Jenis Obat
Semester I Semester II
Amlodipin 5 mg 5,6 5,5
Captopril 12,5 mg 9,8 10,1
Captopril 25 mg 11,4 10,3
Diltiazem 30 mg 8,3 8,8
Furosemid 40 mg 6,4 5,3
HCT 25 mg 5,4 5,5
Nifedipin 10 mg 5 6
Propanolol 10 mg 7,8 6,6
Propanolol 40 mg 3 6,6
Jika jumlah unit pemakaian obat hipertensi di Puskesmas Induk Tegalrejo
Yogyakarta dilihat menurut jumlah pemakaian per bulannya pada tiap pasien dan
kemudian dilakukan uji statistik, untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah unit
pemakaian masing-masing obat hipertensi pada tiap pasien antara semester I dan
a. Amlodipin 5 mg
Pada gambar 2, dapat diketahui bahwa pada bulan 1, 2, 4, dan 5 pemakaian
obat lebih banyak pada semester I. Untuk bulan 3 jumlah pemakaiannya lebih banyak
pada semester II.
Gambar 2. Jumlah Unit Pemakaian Amlodipin 5 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
Hasil uji normalitas diperoleh bahwa sebaran data berdistribusi normal. Hasil
perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah unit pemakaian amlodipin 5
mg diperoleh nilai p=0,779 yang mempunyai nilai signifikansi >0,1 menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan dari jumlah unit pemakaian amlodipin 5 mg
antara semester I dan semester II, sehingga jumlah unit pemakaian obat amlodipin 5
mg tidak dipengaruhi stok obat yang tersedia di puskesmas.
b. Captopril 12,5 mg
Pada gambar 3, dapat diketahui bahwa bulan 1 pemakaian lebih banyak pada
Gambar 3. Jumlah Unit Pemakaian Captopril 12,5 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
Hasil uji normalitas diperoleh bahwa sebaran data berdistribusi normal. Hasil
perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah unit pemakaian captopril 12,5
mg diperoleh nilai p=0,854 yang mempunyai nilai signifikansi >0,1 menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan dari jumlah unit pemakaian captopril 12,5 mg
antara semester I dan semester II, sehingga jumlah unit pemakaian obat captopril 12,5
mg tidak dipengaruhi stok obat yang tersedia di puskesmas.
c. Captopril 25 mg
Pada gambar 4, dapat diketahui bahwa pada bulan 1, 2, dan 4 jumlah
pemakaian lebih banyak pada semester I, sedangkan pada bulan 5 jumlah pemakaian
lebih banyak semester II.
Hasil uji normalitas diperoleh bahwa sebaran data berdistribusi normal. Hasil
perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah unit pemakaian captopril 25
mg diperoleh nilai p=0,315 yang mempunyai nilai signifikansi >0,1 menunjukkan
antara semester I dan semester II, sehingga jumlah unit pemakaian obat captopril 25
mg tidak dipengaruhi stok obat yang tersedia di puskesmas.
Gambar 4. Jumlah Unit Pemakaian Captopril 25 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
d. Diltiazem 30 mg
Pada gambar 5, dapat diketahui bahwa pada bulan 3, 4, dan 5 jumlah
pemakaian obat lebih banyak pada semester II, sedangkan pada bulan 2
pemakaiannya lebih banyak pada semester I.
Hasil uji normalitas diperoleh bahwa sebaran data berdistribusi normal. Hasil
perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah unit pemakaian diltiazem 30
mg diperoleh nilai p=0,981 yang mempunyai nilai signifikansi >0,1 menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan dari jumlah unit pemakaian diltiazem 30 mg
antara semester I dan semester II, sehingga jumlah unit pemakaian obat diltiazem 30
mg tidak dipengaruhi stok obat yang tersedia di puskesmas.
e. Furosemid 40 mg
Pada gambar 6, dapat diketahui bahwa pada bulan 1 dan 3 jumlah pemakaian
obat lebih banyak pada semester II, sedangkan pada bulan 2, 4, dan 5 jumlah
pemakaian obat lebih banyak pada semester I.
Gambar 6. Jumlah Unit Pemakaian Furosemid 40 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
Hasil uji normalitas diperoleh bahwa sebaran data berdistribusi normal. Hasil
perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah unit pemakaian furosemid 40
bahwa tidak ada perbedaan signifikan dari jumlah unit pemakaian furosemid 40 mg
antara semester I dan semester II, sehingga jumlah unit pemakaian obat furosemid 40
mg tidak dipengaruhi stok obat yang tersedia di puskesmas.
f. HCT (Hydrochlorothiazide) 25 mg
Pada gambar 7, dapat diketahui bahwa pada bulan 1 dan 3 pemakaian lebih
banyak pada semester II, sedangkan pada bulan 4 dan 5 pemakaiannya lebih banyak
pada semester I.
Gambar 7. Jumlah Unit Pemakaian HCT 25 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
Hasil uji normalitas diperoleh bahwa sebaran data berdistribusi normal. Hasil
perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah unit pemakaian HCT 25 mg
diperoleh nilai p=0,855 yang mempunyai nilai signifikansi >0,1 menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan signifikan dari jumlah unit pemakaian HCT 25 mg antara
semester I dan semester II, sehingga jumlah unit pemakaian obat HCT 25 mg tidak
g. Nifedipin 10 mg
Pada gambar 8, dapat diketahui bahwa pada semester I pemakaian nifedipin
hanya pada bulan 2, sedangkan pada semester II pemakaian obat nifedipin hanya
pada bulan 1 dan 4.
Gambar 8. Jumlah Unit Pemakaian Nifedipin 10 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
Hasil uji normalitas diperoleh bahwa sebaran data berdistribusi normal. Hasil
perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah unit pemakaian nifedipin 10
mg diperoleh nilai p=0,544 yang mempunyai nilai signifikansi >0,1 menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan dari jumlah unit pemakaian nifedipin 10 mg
antara semester I dan semester II, sehingga jumlah unit pemakaian obat nifedipin 10
mg tidak dipengaruhi stok obat yang tersedia di puskesmas.
h. Propanolol 10 mg
Pada gambar 9, dapat diketahui bahwa pada bulan 1 jumlah pemakaian lebih
pemakaian propanolol 10 mg. Kemungkinan pada bulan 3, 4, 5 pasien mendapatkan
resep dengan obat propanolol 40 mg karena di Puskesmas Induk Tegalrejo digunakan
propanolol dengan 2 macam dosis yaitu propanolol 10 mg dan propanolol 40 mg.
Gambar 9. Jumlah Unit Pemakaian Propanolol 10 mg di Puskesmas Induk Tegalrejo Yogyakarta 2009
Hasil uji normalitas diperoleh bahwa sebaran data berdistribusi normal. Hasil
perhitungan statistik untuk uji signifikansi dari jumlah unit pemakaian propanolol 10
mg diperoleh nilai p=0,042 yang mempunyai nilai signifikansi <0,1 menunjukkan
bahwa ada perbedaan jumlah unit pemakaian propanolol 10 mg antara semester I dan
semester II.
i. Propanolol 40 mg
Pada gambar 10, dapat diketahui bahwa pemakaian propanolol 40 mg pada
semester I hanya terdapat pada bulan 2. Di Puskesmas Induk Tegalrejo digunakan
propanolol dengan 2 macam dosis yaitu propanolol 10 mg dan propanolol 40 mg, jadi