v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... i KATA PENGANTAR ... ii SAMBUTAN ... iii DAFTAR ISI ... v PEMAKALAH KUNCI MEMUDAKAN KEARIFAN LOKAL, MEMPERKUAT KARAKTER BANGSA: Kearifan dan Karakter sebagai Kompas Kehidupan Zaman Disrupsi Djoko Saryono ... 1
PEMAKALAH UTAMA REVITALISASI NILAI DALAM CERITA RAKYAT SASAK LOQ SESEKEQ SEBAGAI PENGUATAN POLA ASUH ANAK DAN PENDIDIKAN KARAKTER Ida Bagus Kade Gunayasa ... 15
RITUAL AIR DALAM SIKLUS PURNAMA KAPAT PADA KAWASAN CAGAR BUDAYA BATUKARU DI BALI : KEARIFAN KONSERVASI LINGKUNGAN SEBAGAI IDENTITAS DAN KARAKTER MASYARAKAT BALI I Nyoman Wardi ... 25
PEMAKALAH PENDAMPING ANALISIS PUISI “SAJAK HOAX” KARYA SOSIAWAN LEAK MENGGUNAKAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE Ahmad Habib, Robbi Gunawan, Mamluqil Farihah ... 37
TRADISI KULINER TRADISIONAL MASYARAKAT LUMAJANG REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA PENDALUNGAN Aliffiati, AA Ayu Murniasih ... 43
PERANAN MADE ADA DALAM PERUBAHAN EKONOMI DI DUSUN PAKUDUI TEGALALANG GIANYAR (1984-2018) Anak Agung Inten Asmariati ... 54
RIAK GELOMBANGRESILIENSI KELUARGA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM BALUTAN ASPEK BUDAYA BALI Bambang Dharwiyanto Putro ... 59
vi
MOTIFEME-MIGRASI-AKULTURASI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT JAKA TARUB DAN CERITA SERUPA DI ASIA (STRUKTUR NARATIF ALAN DUNDES)
Dewi Ayuningtyas ... 69 PERAN MISIONARIS DALAM TERBENTUKNYA MASYARAKAT
MULTIBUDAYA DI BALI
Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo ... 75 REVITALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRI HITA KARANA DAN
SAD KERTIH DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA SANGKAN
GUNUNG
Gede Ginaya, I.A. Kade Werdika Damayanti, Ni Wayan Wahyu Astuti,
I Wayan Nurjaya ... 82 ANALISIS ‗UNTUK KITA RENUNGKAN‘
I Gusti Ayu Gde Sosiowati ... 88 METAFORA DI MEDIA CETAK: SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN I Gusti Ngurah Parthama ... 95 PEMBERDAYAAN SASTRA DAN BUDAYA DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA YANG SEHAT
I Ketut Darma Laksana ... 102 MEMILIH DAN MEMILAH SATUA DI DUNIA PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER YANG TEPAT
I Ketut Jirnaya ... 107 RATU SAKTI PANCERING JAGAT DI DESA TRUNYAN
I Ketut Setiawan ... 112 KAKAWIN SIWARATRIKALPA: ALUR DAN TEMA CERITA
I Made Suastika ... 117 TRANSFORMASI SOSIAL DAN ETIKA BUDAYA RELIGIUS
MASYARAKAT BALI ERA MODERN
I Nyoman Duana Sutika ... 123 HIPONIMI KATA‖SEKAR‖ DALAM BAHASA JAWA KUNA
I Nyoman Sukartha, Komang Paramartha ... 130 DINAMIKA SAPAAN DALAM BAHASA MELAYU BALI
vii
DARI ISLAM KAMPUNG SAMPAI ISLAM BALI : PERANAN NILAI-NILAI TRADISIONAL DALAM KEBERTAHANAN MASYARAKAT ISLAM DI BALI
I Putu Gede Suwitha ... 143 BENANG MERAH SASTRA LISAN NUSANTARA: STUDI KASUS CERITA RAKYAT CORO ILA DAN I BELOG MANTU
I Wayan Cika... 153 MASYARAKAT MULTIKULTUR PADA ZAMAN BALI KUNO ABAD IX-XIV M BERDASARKAN REKAMAN ARKEOLOGI
I Wayan Srijaya ... 159 BUDAYA KRITIK DALAM TEKS SASTRA TRADISI: REPLEKSI TEKS
GEGURITAN I KETUT BUNGKLING DAN GEGURITAN I KETUT BAGUS
I Wayan Suardiana ... 166 KEBERTERIMAAN KOMUNITAS HINDU DALAM PLURALITAS AGAMA DI LAMPUNG SUMATRA SELATAN
I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni ... 173 KEPRIBADIAN NASIONAL DAN BAHASA INDONESIA: SUATU
TINJAUAN SINGKAT
I Wayan Teguh ... 178 KATA KETERANGAN ASPEK FREKUENTATIF DALAM BAHASA SASAK Ida Ayu Putu Aridawati ... 185 KEARIFAN LOKAL DALAM KEBIJAKAN RAJA-RAJA PADA MASA
KERAJAAN BALI KUNO
Ida Ayu Putu Mahyuni ... 193 DESA-DESA DI BALI, DALAM LINTASAN SEJARAH
Ida Ayu Wirasmini Sidemen ... 197 WACANA TRADISI TARI WALI BARIS SUMBU DALAM UPACARA
NEDUH DI PURA DESA, DESA ADAT SEMANIK DESA PLAGA-BADUNG Ida Bagus Rai Putra ... 205 KEARIFAN LOKAL SINKRETISME HINDU-BUDHA PADA RELIEF CANDI PENATARAN SEBAGAI JATI DIRI BANGSA
Ida Bagus Sapta Jaya ... 210 KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAWASAN GUNUNG MUTIS DALAM PELESTARIAN HUTAN DI TIMOR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR
viii
ORIENTASI NILAI BUDAYA PETANI SAYUR: STUDI KASUS DI DESA ARGOSARI, KECAMATAN SENDURO, KABUPATEN LUMAJANG, PROVINSI JAWA TIMUR
Ketut Darmana ... 221 CERITA SI LUTUNG DAN SIKEKUWE DALAM SEBUAH
PERBANDINGAN
Komang Paramartha, I Nyoman Sukartha ... 227 KISAH CINTA DAN PENGORBANAN DI BALIK TRADISI PASOLA DI
SUMBA (KONSEP AWAL PENULISAN SKENARIO FILM PASOLA SUMBA) Maria Matildis Banda ... 234 KAJIAN SEMIOTIKA PEIRCE PADA PUISI IA TAK PERNAH JANJI LANGIT
SELALU BIRU DALAM ANTOLOGI PUISI DI KOTA TUHAN AKU ADALAH DAGING YANG KAU PECAH-PECAH KARYA STEBBY JULIONATAN
Moh. Yusril Hermansya ... 240 PERAN EKOLOGI SASTRA PUISI TERHADAP PELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP
Mursalim ... 247 PROBLEMATIKA KURIKULUM GENERIK PELAJARAN BAHASA BALI Nengah Arnawa ... 252 DIVERSIFIKASI PEMAKNAAN ISTILAH BUDAYA BALI DI MEDIA
ONLINE
Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama ... 258 PRASASTI SEBAGAI BUKTI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI KUNO
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi ... 265
“ARDHANARESWARI”; REPRESENTASI NILAI KEARIFAN LOKAL BALI
DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER
Ni Luh Arjani ... 270 PERSPEKTIF GENDER TUTURAN PERINTAH BAHASA JEPANG: STUDI PENDAHULUAN
Ni Luh Kade Yuliani Giri ... 275 REDUPLIKASI ADJEKTIF SECARA MORFEMIS DALAM BAHASA BALI Ni Luh Komang Candrawati ... 280
GEGURITAN SIWARATRI KALPA (LUBDAKA): ANALISIS ALUR CERITA
DAN PENOKOHAN
ix
EKSPLOITASI BURUH YANG DIGAMBARKAN KOBAYASHI TAKIJI DALAM CERPEN HOKKAIDO NO „SHUNKAN‟
Ni Luh Putu Ari Sulatri, Silvia Damayanti ... 292 MANFAAT DAUN DEDAP ‗Erythrina variegate‘
Ni Luh Sutjiati Beratha ... 301 KESANTUNAN BERBAHASA YANG TERCERMIN DALAM AIMAI
HYŌGEN
Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti ... 310 REPRESENTASI IDENTITAS DALAM GAYA HIDUP PEREMPUAN BALI MASA KINI
Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani... 318 PEMILIHAN PEDOMAN PENULISAN AKSARA JAWA DI RUANG
PUBLIK
Rahmat, Tya Resta Fitriana ... 326 NILAI PENDIDIKAN DALAM ANTOLOGI PUISI SENDJA DJIWA PAK BUDI
Sri Jumadiah ... 330 KEARIFAN LOKAL UPACARA RITUAL ERPANGIR KU LAUSEBAGAI PROYEKSI JATI DIRI MASYARAKAT KARO
Vanesia Amelia Sebayang, Asmyta Surbakti ... 337 KEARIFAN LOKAL DI BUMI MAJAPAHIT KECAMATAN TROWULAN-KABUPATEN MOJOKERTO
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 159 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
MASYARAKAT MULTIKULTUR PADA ZAMAN BALI KUNO ABAD IX-XIV M BERDASARKAN REKAMAN ARKEOLOGI
I Wayan Srijaya [email protected]
ABSTRAK
Indonesia merupakan Negara dengan masyarakatnya yang multikultur. Masyarakat multikultur tidak saja dilihat dari banyaknya suku bangsa yang mendiami Negara kepulauan ini, melainkan juga menyiratkan banyaknya kebudayaan yang ada didalamnya. Kekayaan budaya ini menjadi kekuatan untuk mengikat masyarakat multikultur ke dalam bingkai Negara kesatuan. Demikian pula halnya dengan Bali yang menjadi bagian dari Negara Indonesia mempunyai keberagaman budaya dan adat istiadatnya yang diimplentasikan ke dalam berbagai bentuk kebudayaan. Masyarakat Bali juga telah dibentuk menjadi masyarakat multikultur sejak abad IX M sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti arkeologis.
Kata kunci:masyarakat multikultur, budaya, rekaman arkeologis Pendahuluan
Masyarakat Bali telah menjalin persahabatan dengan dunia luar sejak awal abad masehi (Ardika, 1991) yang ditandai dengan adanya bukti-bukti arkeologi berupa gerabah India yang berasal dari situs Arikamedu.Keberadaan gerabah India ini memberikan petunjuk bahwa telah terjadi kontak-kontak antara masyarakat pesisir Bali utara dengan pedagang India. Namun demikian kehadiran budaya India ini belum dapat dipastikan apakah dibawa oleh para pedagang India, masih menjadi pertanyaan. Sebab secara formal masyarakat Bali baru diketahui memasuki zaman sejarahnya sekitar abad VIII M sebagaimana ditunjukkan prasasti tertua yang belum menyebut nama raja yang oleh Goris disebut prasasti
Yumu pakatahu (Goris, 1954). Sejak saat ini, masyarakat Bali mulai memahami
tatanan sosial yang bernafaskan agama Hindu dan Budha. Kemudian dengan kontak-kontak formal yang membentuk masyarakat religious ini melahirkan berbagai kebudayaan yang di padukan dengan tradisi lokal yang sudah ada sebelumnya. Tradisi lokal masyarakat Bali tidak hilang begitu saja, melainkan dapat diselaraskan dengan unsur-unsur budaya yang dibawa oleh para pedagang dan pendeta India. Itulah sebabnya, dibanyak desa di Bali (desa-desa Bali mula) tetap dapat mempertahankan tradisinya yang sudah diwarisi secara turun temurun. Begitu juga konsep Hindu dan Budha yang datang belakangan tidak serta merta menghilangkan tradisi masyarakat melainkan saling melengkapi. Sejak munculnya sistem politik yang berbetuk kerajaan di Bali, masyarakat mulai diperkenalkan dengan masyarakat multikultur yang ditandai dengan hadirnya para migrant India yang membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat. Aspek-aspek yang mengalami pembauran dalam sistem sosial masyarakat adalah dalam
160 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
stratifikasi sosial, bahasa, seni, teknologi, ilmu pengetahuan, politik,dan agama. Unsur-unsur inilah yang paling mudah dicermati dari berbagai bukti arkeologis yang ada di Bali. Dari bukti-bukti arkeologis ini dapat dijelaskan bahwa di Bali telah terbentuk masyarakat multikultur.
Definisi Masyarakat Multikultur
Sebelum membahas masyarakat multikultur di Bali, kiranya ada baiknya diberikan difinisi tentang masyarakat multikultur. Ada beberapa pendapat tentang pengertian masyarakat multikultur yaitu:
(a) J.S.Furnivall memberikan difinisi masyarakat multikultur adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lainnya di dalam satu kesatuan politik;
(b) Nasikun seorang sosiolog kenamaan dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta memberikan definisi masyarakat multikultur adalah
masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih dari tatanan sosial masyarakat , atau kelompok yang secara kultural, ekonomi, dan politik dipisahkan(diisolasi), dan memiliki struktur kelembagaan dan berbeda satu sama lain.
(c) Cliffort Geertz memberikan definisi masyarakat multikultur adalah masyarakat yang terbagi ke dalam kebudayaan subsistem dimana masing-masing subsistem terikat oleh ikatan primordial;
(d) Parekh memberikan definisi masyarakat multikultur adalah masyarakat yang memiliki berbagai jenis komunitas budaya dengan segala manfaat dan sekit perbedaan yang ada seperti sejarah, adat istiadat, dan kebiasaan yang ada.
Dari definisi konsefsional yang disampaikan oleh para ahli di atas, kiranya yang menjadi inti dari masyarakat multikultur adalah terdiri atas dua atau lebih elemen masyarakat yang secara bersama-sama bertempat tinggal pada wilayah tertentu. Bali yang sejak abad VIII M, telah menjalin kontak dengan masyarakat internasional dapat dipastikan sudah didiami oleh setidak-tidaknya dua suku bangsa yaitu suku bangsa Bali dan suku bangsa para pedagang/pendeta yang diduga datang dari India. Suku bangsa pendatang ini telah melakukan berbagai perubahan terutama dalam mengantarkan masyarakat Bali memasuki peradaban sejarahnya, memperkenalkan bahasa Sansekerta, tatanan politik dengan sistem pemerintahan kerajaan, dengan rajanya yang mendapat gelar warmadewa, yang tak kalah pentingnya adalah diperkenalkannya sistem relegi Hindu dan Budha. Oleh karena itu, sejalan dengan definisi di atas, maka Bali sejak abad VIII M telah menganut sistem sosial masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sering disebut pula dengan masyarakat majenuk (masyarakat plural).
Sementara untuk mewujudkan masyarakat multikutur perlu ada acuannya yaitu multikulturalisme.Multikulturalisme adalah sebuah pandangan yang mengakaui dan mengagukan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme dapat berkembang ketika didukung adanya tolerasi dan kesediaan untuk saling menghargai. Burhanuddin (2003) sebagaimana dikutip oleh Sutjiati Beratha dkk (2010)
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 161 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
memberikan pengertian multikulturalusme adalah gerakan sosial intelektual yang mempromosikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip perbedaan serta menekankan pentingnya penghargaan pada setiap kelompok yang mempunyai kultur yang berbeda. Orientasinya adalah kehendak untuk membawa masyarakat ke dalam suasana rukun, damai,egaliter, toleran, saling menghargai, saling menghormati, tanpa ada konflik dan kekerasan, tanpa mesti menghilangkan kompleksitas perbedaan yang ada.
Demikian pula pendapat Berry dkk seperti dikutip Sutjiati Beratha dkk (2010) menyatakan bahwa multikulturalisme bermaksud menciptakan suatu konteksosiopolitis yang memungkinkan individu dapat mengembangkan kesehatan jati diri dan secara timbal balik mengembangkan sikap-sikap antar kelompok yang positif. Kebijakan-kebijakan yang mempertimbangkan pluralism biasanya banyak ditemui, acapkali hanya tersirat, tetapi dapat juga ekplisit. Mereka yang secara positif menyukai pluralisme diistilahkan dengan kebijakan-kebijakan multikulturalisme.
Berdasarkan kutipan di atas, mengisyaratkan bahwa multikulturalisme merupakan sebuah doktrin yang mempromosikan keberagaman antaretnik maupun antarkelompok secara sosiobudaya dalam suatu suasana yang rukun, damai, egaliter, toleran,saling menghargai, dan saling menghormati perbedaan. Bersamaan dengan itu, masing-masing pihak pun bisa menumbuhkembangkan jati diri mereka secara optimal tanpa dinisbikan oleh yang lainnya (Sutjiati Beratha dkk, 2010: 17).
Dalam kontek masyarakat Bali abad VIIIM-XIV M secara tersIrat dan tersurat dalam prasasti mengindikasikan bahwa masyarakat multikulturalisme sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Hal ini dapat diketahui dari adanya istilah-istilah banyaga dalam prasasti Julah (Goris, 1954: Ardika dkk,2013) yang mendakan adanya pedagang asing yang berdagang di pelabuhan Bali utara saat itu. Namun demikian belum dapat dipastikan apakah kelompok pedagang asing yang melakukan aktivitas perdagangan di Bali utara sudah membentuk komunitas sendiri belumlah dapat diketahui. Berdasarkan teori yang ada, bahwa ketika awal-awal proses Indianisasi di Indonesia, bahwa telah terjadi perkawinan antara kaum pedagang dengan wanita pribumi yang selanjutnya menurunkan keturunan campuram (Soemadio ed. 1984). Apabila hal itu yangterjadi kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa sejak masuknya peradaban Hindu dan Budha ke Bali diikuti pula oleh terjadinya perkawinan antara wanita pribumi dengan pedagang asing (India) yang melahirkan keturunan campuran sehingga membentuk komunitas masyarakat yang dilandasi oleh budaya India. Kontak-kontak yang makin intensif dilakukan oleh masyarakat Bali terjadi pada abad-abad berikutnya baik secara langsung maupun melalui perantara kerajaan-kerajaan yang sudah berkembang di Jawa. Oleh karena itu dapat dikatakan pada waktu itu di Bali setidak-tidaknya sudah berkembang masyarakat multikultur yang bersumber dari budaya India dan budaya lokal. Stereotipe budaya India dan lokal ini semakin jelas ketika kita memperhatikan prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali. Pada mulanya prasasti yang termasuk katagori yumu pakatahu menggunakan hurup dan Bahasa Bali kuno, ketika masuknya peradaban India prasasti ditulis dengan hurup Prenegari dan bahasa Sansekerta sebagaimana ditunjukkan dalam prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh raja Kesariwarmadewa. Penggunaan bahasa Sansekerta dalam prasasti rupanya tidak banyak digunakan lagi pada masa pemerintahan raja-raja
162 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
berikutnya. Tetapi dalam prasasti-prasasti itu terkadang masih ada unsur-unsur kata sansekertanya.
Masyarakat Bali kuno sebagaimana disebutkan di atas, menyiratkan adanya masyarakat multikultur (masyarakat plural) yang terdiri atas dua kelompok yaitu masyarakat lokal yang kuat dengan tradisi turun temurun dan masyarakat pendatang (India) dengan tradisi Hindu dan Budha. Kedua steriotif masyarakat ini, semakin kelihatan pada abad XIII-XV M yaitu dengan adanya penyebutan masyarakat Bali mula (yang mendiami dataran tinggi) dan masyarakat majapahit(wong majapahit) yang mendimi dataran rendah. Stereotive kedua kelompok masyarakat ini masih kuat dalam sistem sosial masyakat hingga saat ini. Perbedaan steriotive ini juga terlihat dari budaya yang mereka warisi secara turun temurun, kendatipun mereka merasa satu keyakinan yaitu Hindu tetapi dalam prakteknya ada perbedaan. Perbedaan ini tidak sampai menimbulkan terjadinya konflik antar kelompok yang berbeda tradisi ini. Contoh masyarakat yang masih kuat dengan tradisi ini misalnya masyarakat desa Trunyan di Bangli, Tenganan Pegeringsingan di Karangasem, Timrah di Karangasem, Sembiran, Tigawase, Sidatapedi Buleleng. Desa-desa ini umumnya berlokasi pada daerah-daerah pedalaman atau pegunungan, sementara kelompok masyarakat lainnya yang disebut wong Majapahit mendiami sebagian besar dataran rendah Bali.
Sutjiati Beratha dkk(2010) dalam penelitiannya terhadap komunitas mansyarakat Bali dan masayarakat Cina memberikan petunjuk adanya perbedaan perlakuan di satu sisi dan adanya persamaan hak dan kewajiban disisi yang lain. Dalam kajian ini dijelaskan status orang Cina dalam kontek desa pakraman. Keikutsertaan mereka dalam berbagai kegiatan di desa Pakeraman tidak selalu didasarkan padastatus mereka sebagai anggota desa Pakraman. Di dea Paakraman Baturiti, orang Cina tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman , tetapi dalam hal-hal tertentu mereka (orang Cina ) banyak berkontribusi dalam bentuk tenaga, barang maupun uang dalam berbagai kegiatan desa Pakraman setempat. Hal ini disebabkan karenaawig-awig desa pakraman mengatur tentang itu sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 4 awig-awig desa Pakraman Baturiti sebagai berikut: ―Sane kabawos krama desa adat inggih punike kulewarga sane magama
Hindu saha ngamong karang paumahan. Sjabe punika sinanggeh tamiu” artinya:
bahwa yang dimaksud dengan warga/anggota Desa Adat/Desa Pakraman dalam hal ini adalahkeluarga yang beragama Hindudan mempunyaipekarangan rumah diwilayah desa tersebut.Selain itu disebut tamu. Masyarakat Cina yang umumnya sebagai pemeluk agama Budha, tidaklah memungkinkan untuk menjadi anggota desa Pakeraman.
Sementara keikutsertaan mereka dalam desa Pakeraman di desa Baturiti oleh sementara informan disebut sudah menjadi tradisi yang berlangsung sejak lama. Agak berbeda dengan didesa Pakraman Padangbai dan Carangsari Badung.Pada kedua desa Pakraman ini, walaupunawig-awig mereka tidak jauh berbeda dengan awig-awig desa pakraman Baturiti, tetapi keanggotaan warga Cina dalam desa Pakraman didasarkan atas kesepakatan antara orang Bali dan orang Cina untuk meneruskan tradisi yang sudah ada secara turun temurun. Oleh karena itu,kesepakatan yang mereka buat dianggap sah dan memiliki kekuatan sama dengan peraturan atau awig-awig desa setempat (Sutjiati Beratha dkk, 2010: 96-97).
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 163 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Dalam kesempatan yang berbeda masyarakat Cina yang sudah turun temurun mewarisi tradisi leluhurnya di Bali mereka tidak dapat lepas tanggung jawabnya dengan desa pakraman dimana mereka bertempat tinggal. Dikatakan bahwa mereka terlibat secara aktif baik terkait dengan paryangan, pawongan dan
palemahan. Dalam hal paryangan mereka ikut serta melaksanakan kegiatan yang
ada didalam pura kahyangan tiga, seperti saat akan ada upacara di pura kahyangan tiga mereka ikut dari mulai persiapan hingga selesai kegiatan upacara. Demikian pula yang berkaitan dengan pawongan, secara khusuk mereka terlibat dalam berbagai kegiatan manusa yadnya. Mulai dari persiapan sampai selesai kegiatan. Dalam kontek palemahan, masyarakat Cina secara aktif ikut serta dalam menjaga lingkungan melalui kegiatan gotong royong yang diadakan oleh kerama banjar atau desa adat (Dialog Metro Tv, tanggal 2Maret 2019 tayang pk.22.05). Dari dialog yang dilakukan Metro Tv dengan masyarakat Cina yang ada di Bali kiranya dapat dipetik maknanya bahwa kebersamaan diantara dua suku bangsa yang sudah ada sejak berabad-abad silam dapat menjadi inspirasi bagi keberagaman masyarakat Indonesia. Dankeberagaman ini merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa diantara penguasa-penguasa kerajaan Bali kuno salah satunya adalah Raja Jayapangus telah menikahi putri Cina yang bernama Cing Kei Wi namun tidak memberikan keturunan. Perkawinan raja Jayapangus dengan putri Cing Kei Wi menjadi bagian dari cerita kehadiran masyarakat Cina di Bali yang melegenda. Bahkan sesudah keduanya meninggal kemudian di reprentasikan sebagai bentuk barong landung (laki-perempuan). Barong laki representasi dari raja Jayapangus dan barong landung perempuan represntasi dari Cing Kei Wi. Representasi perkawinan ini tidak saja berbentuk barong landung, tetapi juga ditemukan dalam bentuk pahatan topeng padabeberapa bangunan kuno di Bali. Contohnya adalah motif hias topeng yang ada pada prasada di pura Giri Kusume Abiansemal Badung.
Multikultul dalam Ragam Bentuk Tinggalan Arkeologi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Bali telah mendapat pengaruh kebudayaan asing sejak awal-awal abad masehi. Namun secara jelas baru diketahui pada abad VIII M dengan adanya prasasti. Prasasti sebagai bukti tertulis, menyiratkan di Bali berkembang masyarakat multikultur dengan agama yang berbeda yaitu Hindu dan Budha. Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkan oleh penguasa Bali kuno selalu disertakan dua penasehat kerajaan yang bergelar
dang acharya (pendeta Siwa) dan dang upadiyaya (pendeta Budha) untuk
memberikan pertimbangan kepada raja dalam mengambil keputusan penting. Kehadiran orang-orang India yang beragama Budha tentu merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dikesampingkan dalam sejarah Bali termasuk juga orang-orang Cina yang telah berbaur dengan masyarakat lokal. Berbagai bukti arkeologi yang ditemukan di Bali diketahui bahwa agama Budha sudah berkembang sejak abad IX M. Kehadiran agama Budha (Mahayana) pada abad ini ditandai dengan ditemukannya stupika-stupika tanah liat di Pejeng dan Singaraja. Stupika-stupika ini didalamnya berisikan meterai-meterai tanah liat. Pada meterai-meterai ini terdapat prasasti yang memuat mantra-antra budha. Selain memuat mantra-mantra budha ada pula yang memuat relief Dyani Budhayang merupakan panteon Budha. Stupika-stupika ini tidak satupun berisi penanggalan, namun prasasti yang sama di temukan di ambang pintu Candi
164 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Kalasan Yogyakarta. Pada prasasti Kalasan terdapat penanggalan yang berangka tahun 778 M (Goris, 1948; Stutterheim, 1929). Dari perbandingan ini dipastikan bahwa prasasti yang ditemukan dalam stupika-stupika tanah liat (dalam jumlah ratusan ) di Bali diperkirakan berasal dariabad IX M.
Stupa Pegulingan Runtuhan Catra Yasti di Goa Gajah Selain stupika-stupika tanah liat, ada pula situs-situs yang merupakan situs Hindu tapi didalamnya terdapat bangunan budha. Situs tersebut adalah Pura Pegulingan, Pura Goa Gajah, serta Pura Batur, dan Pura Balingkang. Pura Pegulingan yang terletak di Banjar Basangambu Tampaksiring merupakan sebuah bangunan suci untuk agama Hindu. Namun dalam pura ini juga terdapat sebuah bangunan stupa Budha yang berasal dari abad IX M. Keberadaan stupa Budha ini menjadi bukti kuat betapa harmoninya masyarakat penganut Siwaisme dan Budhisme di Bali. Dalam kontek ini, masyarakat Budha yang di Bali setiap hari-hari besar keagamaan selalu hadir melakukan persembahyangan ditempat ini. Namun sekarang ini karena masyarakat yang menjadi pengempon dari pura Pegulingan adalah pemeluk Hindu maka tanggung jawab yang berkaitan dengan kegiatan ritual keagaman di pura ini dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat yang menjadi bagian dari krama desa setempat. Masyarakat yang beragama Budha datang secara insidental untuk melakukan kegiatan pemujaan di bangunan stupa ini. Agak berbeda dengan masyarakat Cina yang bertemapat tinggal di Kintamani, yang menjadi bagian dari krama desa adat setempat sebagaimana di ceritakan di atas.
Bukti arkologi kedua adalah pura Goa Gajah yang terletak di desa Bedulu Gianyar. Oleh masyarakat Hindu tempat ini dikenal sebagai pura Goa yang diempon oleh keluarga pemangku pura Goa. Namun saat berlangsungnya upacara piodalan maka krama adat Bedulu secara bersama-sama melakukan persembahyangan. Dalam komplek pura ini, terdapat bangunan budhis yang berupa pahatan catra yasti bersusun 13. Pahatan catra yasti ini terletak di tepi tukad Pangkung, yang saat ini tertinggal dalam bentuk runtuhan di jurang tukad Pangkung. Selain itu, di komplek ini juga terdapat dua buah arca Dyani Budha di timur Goa. Satu diantaranya sudah hilang sejak tahun 1991 dan sekarang masih satu buah tanpa kepala.. Arca ini dilihat dari langgamnya diduga kuat sejaman dengan arca-arca Budha yang menghiasi candi Borobudur yaitu abad IX M. Terkait dengan keberadaan tempat ini, kitab Negara Kertagama yang digubah oleh Mpu Prapanca pujangga besar dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk menyebut nama dua tempat di Bali yaitu Lwa Gajah dan Bedahulu (Slamet Mulyana, 1979). Lwa Gajah oleh banyak ahli diduga adalah Goa Gajah sekarang, sedangkan Bedahulu sekarang menjadi nama desa Bedulu. Apabila pernyataan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 165 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Prapanca ini diyakini kebenarannya maka Goa Gajah setidak-tidaknya sudah menjadi tempat kegiatan keagamaan sejak abad IX M.
Dari dua contoh di atas dapat diduga bahwa sejak abad IX M-XIV M di Bali telah muncul masyarakat multikultur yang hidup berdampingan secara harmoni. Kedua agama ini sebagaimana disebutkan di atas mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan roda pemerintahan di Bali saat itu. Itulah sebabnya tokoh-tokoh agama dari kedua agama ini ditempatkan sebagai penasehat raja untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan penting yang dilakukan oleh raja.
Simpulan
Masyarakat multikultur telah ada sejak abad IX M yang ditandai dengan adanya masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha. Para pemeluk kedua keyakinan yang berbeda ini dapat hidup secara hormis untuk dapat menjalankan agamanya masing-masing. Kedua agama ini mendapat perhatian besar dari para penguasa, sehingga tokoh-tokoh/pemimpin umat ditempatkan menjadi penasehat kerajaan. Pura Pegulingan dan Goa Gajah merupakan bukti keberadaan masyarakat multikultur tersebut walaupun belum dapat dirunut sebagaimana dikonsefsikan oleh para ahli seperti di atas.Masyarakat multikultur merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, dan A.A.Bagus Wirawan, 2013 Sejarah Bali
dari Prasejarah sampai Modern. Denpasar: Udayana Press.
Goris, R. 1948 Sejarah Bali Kuno.Singaradja
1954 Prasasti Bali.Bandung: NV Masa Baru
Slamet Mulyana, 1979Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:Bratha Stuterheim, W.F, 1929 Oudheden van Bali. Singaradja
Soemadio Ed, 1984 Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka
Sutjiati Beratha, Ni Luh, I Wayan Ardika, dan Inyoman Dana, 2010 Dari
Tatatapan Mata ke Pelaminan sampai di Desa Pakraman. Studi Tentang Hubungan Orang Bali dengan Orang Cina di Bali. Denpasar: Udayana
Prees.
https://blog.ruangguru.com Mengenal masyarakat multikultur dan karakteristiknya ditulis oleh EMbun Beng Diniari 28 Maret 2018.
350 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019