• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Dinamika Perubahan Harga Pangan Antar Wilayah dan Antar Waktu di Indonesia

4.1.1. Dinamika Harga Pangan Pokok

Dinamika harga pangan pokok mencakup komoditi beras, minyak goreng dan gula pasir. Harga beras bila dilihat antar wilayah di Indonesia selalu berbeda di setiap propinsi dimana harga rata-rata tertinggi dari tahun 2002 – 2010 di Jayapura karena disebabkan sebagian petani di daerah produksi mengalami gagal panen karena faktor cuaca yang buruk sehingga hasil yang didapat juga berkurang dan pasokan sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako), sebagian besar didatangkan dari luar sehingga harga juga mengikuti harga dari luar. Sedangkan harga rata-rata beras terendah di Makasar yang sebabkan oleh banyaknya pasokan dari daerah produsen dan rata-rata daerah produsen di Sulawesi Selatan sedang panen serta rendahnya kualitas beras pengaruh musim hujan yang berkepanjangan. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi beras yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 42.31 persen. Sedangkan harga komoditi beras yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 57.69 persen (Gambar 9).

Gambar 9 Harga Rata-rata Beras antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

(2)

Pada komoditi minyak goreng harga rata-rata antar wilayah selalu berbeda-beda dimana harga minyak goreng tertinggi pada wilayah Kendari. Hal ini disebabkan oleh harga kopra di berbagai sentra produksi kelapa mengalami kekurangan stok, disamping itu juga kenaikan dipengaruhi karena adanya keterlambatan pengiriman dari luar daerah sementara permintaan pasar cukup besar.

Gambar 10 Harga Rata-rata Minyak Goreng antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Harga rata-rata minyak goreng pada tahun 2002 – 2010 terendah pada wilayah Kupang. Hal ini disebabkan adanya surplus stok minyak goreng di pasar, surplus ini terjadi karena masyarakat Kupang masih banyak menggunakan minyak curah (minyak kelapa) yang dimasak sendiri ataupun membeli. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi minyak goreng yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 34.62 persen. Sedangkan harga komoditi minyak goreng yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 65.38 persen (Gambar 10).

Pada komoditi gula pasir harga rata-rata antar wilayah selalu berbeda-beda di setiap wilayahnya dimana harga minyak goreng tertinggi pada wilayah Jayapura. Tingginya harga yang terjadi di wilayah Jayapura disebabkan oleh permintaan meningkat sedangkan stok yang ada tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumen, disamping itu juga adanya permainan yang dilakukan oleh para pedagang tengkulak dengan cara melakukan penimbunan yang bertujuan dapat mengendalikan harga.

(3)

Gambar 11 Harga Rata-rata Gula Pasir antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Rata-rata harga gula yang terendah terdapat di wilayah Semarang. Hal ini dipengaruhi karena adanya stok gula yang mampu memenuhi kebutuhan konsumen, dan disamping itu juga adanya kebijakan pemerintah yang mengatur mengenai harga dan ketentuan untuk mengimpor gula. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi gula pasir yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 38.46 persen. Sedangkan harga komoditi gula pasir yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 61.54 persen(Gambar 11).

Secara rata-rata rasio perubahan harga pangan pokok dari tahun 2002 – 2010 berada diatas tingkat inflasi, dimana tingkat inflasi rata-rata sebesar 8.07 persen. Ini berarti bahwa ketiga komoditi pangan pokok sangat besar memberikan sumbangan terhadap tingkat inflasi. Rata-rata rasio perubahan harga tertinggi pada komoditi gula pasir. Hal ini disebabkan karena pangsa produksi gula di dalam negeri hanya sekitar 56.25 persen dan selebihnya 43.75 persen berasal dari gula impor, baik berbentuk gula rafinasi maupun gula mentah yang kemudian diolah menjadi gula rafinasi. Masih tingginya ketergantungan Indonesia terhadap produksi gula negara lain, akibatnya harga gula pasir meningkat dan menyebabkan tingginya tingkat inflasi karena disebabkan kenaikan harga gula di pasaran internasional akibat perubahan cuaca yang tidak menentu, sehingga beberapa produsen gagal panen karena kemarau yang berkepanjangan. Begitu juga, konversi bahan bakar kendaraan yang berbahan baku gula menyebabkan persediaan gula internasional mengalami penurunan sedangkan saat ini stok gula

(4)

yang dimiliki PTPN dan Rajawali Nusantara Indonesia tinggal 200 ribu ton, angka yang sangat minim untuk negara sebesar Indonesia.

Gambar 12 Rasio Perubahan Harga Pangan Pokok dan Inflasi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Tingginya harga gula disebabkan oleh tren konsumsi gula nasional hingga saat ini cenderung meningkat dari 2.5 juta ton pada tahun 1990 menjadi 4 juta ton pada tahun 2009. Dari jumlah tersebut, sebagian besar gula digunakan oleh rumah tangga (78 persen) dan selebihnya selebihnya digunakan oleh industri, seperti industri pengolahan susu, industri roti dan biskuit, industri kembang gula, industri kecap dan sirup, dan industri coklat.

Rata-rata rasio perubahan harga untuk komoditi minyak goreng lebih kecil bila dibandingkan dengan beras dan gula pasir. Hal ini disebabkan karena produksi CPO domestik yang saat ini telah mencapai lebih dari 10 juta ton per tahun atau terbesar kedua di dunia setelah Malaysia dengan pangsa pasarnya adalah sekitar 30 persen dari produksi CPO di dunia. Meskipun secara rata-rata rasio perubahan harga minyak goreng paling kecil dari komoditi beras dan gula pasir namun jika di lihat antar tahun perubahan harga minyak goreng yang paling tinggi yang terjadi, hal ini diduga karena pengaruh dari harga CPO (Crude Palm Oil) internasional yang mengalami kenaikan.

Rasio perubahan harga beras berada pada urutan ke dua setelah gula pasir. Trend meningkatnya harga beras memang tak lepas dari hukum permintaan dan penawaran barang. Indonesia sebagai negara Asia dengan konsumsi beras sangat tinggi yakni mencapai 139.15 kg per kapita per tahun. Padahal negara-negara Asia lainnya tak lebih dari 100 kg per kapita per tahun. Dengan demikian,

(5)

total permintaan beras Indonesia menjadi sangat besar mengingat jumlah penduduknya lebih dari 237 juta jiwa maka kebutuhan beras nasional 34 juta ton .

Permintaan terhadap beras yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras yang memadai di dalam negeri. Pada saat ini jumlah permintaan dan penawaran beras di Indonesia relatif berimbang, dalam arti jumlah yang tersedia dan jumlah yang dikonsumsi berselisih tipis. Keadaan tersebut sangat riskan, karena apabila terjadi goncangan permintaan atau penawaran, harga beras akan mudah berfluktuasi. Disamping itu, cadangan beras untuk pengamanan ketersedian oleh Pemerintah dilakukan dengan kebijakan impor. Instrumen impor inilah yang digunakan dalam mengantisipasi perilaku pasar agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang justru memperkeruh pasar seperti aksi-aksi spekulasi.

4.1.2. Dinamika Harga Tanaman Pangan dan Holtokultura

Dinamika harga tanaman pangan dan holtikultura mencakup komoditi kacang kedelai, bawang merah dan cabe merah. Harga rata-rata kacang kedelai antar wilayah di Indonesia tertinggi pada wilayah Denpasar. Hal ini disebabkan karena konsumsi terbesar adalah keripik tempe sebagai oleh-oleh khas Bali.

Gambar 13 Harga Rata-rata Kacang Kedelai antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Rata-rata harga kacang kedelai terendah di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini terjadi karena NAD adalah salah satu sentra produksi kacang kedelai sehingga stok kacang kedelai selalu tersedia setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi kacang kedelai

(6)

yang berada di atas atau dibawah rata-rata nasional sama-sama sebesar 50 persen (Gambar 13)

Gambar 14 Harga Rata-rata Bawang Merah antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Harga rata-rata bawang merah antar wilayah di Indonesia tertinggi pada wilayah Jayapura. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bawang merah di pasok dari Surabaya sedangkan untuk pasokan bawang merah lokal masih minim belum bisa memenuhi permintaan bawang merah yang terjadi di kota Jayapura.

Rata-rata harga bawang merah terendah di wilayah Yogyakarta. Hal ini disebabkan karena Yogyakarta adalah salah satu dari sembilan penghasil utama bawang merah di Indonesia sehingga menyebabkan pasokan bawang merah yang tersedia cukup banyak untuk memenuhi permintaan bawang merah. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi bawang merah yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 38.46 persen. Sedangkan harga komoditi bawang merah yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 61.54 persen (Gambar 14)

Harga rata-rata cabe merah antar wilayah di Indonesia tertinggi pada wilayah Palangkaraya. Hal ini disebabkan karena terbatasnya stok cabe merah yang tersedia sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumen. Rata-rata harga cabe merah terendah di wilayah Denpasar. Hal ini terjadi karena Denpasar adalah salah satu sentra produksi bawang merah sehingga dengan stok cabe merah selalu tersedia setiap waktu dapat memenuhi semua permintaan konsumen.

(7)

Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi cabe merah yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 53.85 persen. Sedangkan harga komoditi cabe merah yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 46.15 persen (Gambar 15).

Gambar 15 Harga Rata-rata Cabe Merah antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Rasio perubahan harga kacang kedelai, bawang merah dan cabe merah antar wilayah di Indonesia berada diatas tingkat inflasi. Adapun tingkat inflasi rata-rata tahun 2002 – 2010 sebesar 8.07 persen.

Rata-rata rasio perubahan harga tertinggi dari tahun 2002 – 2010 pada komoditi bawang merah. Hal ini disebabkan karena kenaikan bawang merah tidak proporsional dengan kenaikan permintaan sehingga menyebabkan harga cenderung naik dan rasio perubahan harga terhadap inflasi cukup tinggi. pertumbuhan produksi rata-rata bawang merah selama periode 1989-2009 adalah sebesar 3.9 persen per tahun. Komponen pertumbuhan areal panen (3.5 persen) ternyata lebih banyak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan produksi bawang merah dibandingkan dengan komponen produktivitas (0.4 persen). Artinya pertumbuhan bawang merah cukup kecil dan permintaan bawang merah juga cenderung tetap sehingga menyebab harga bawang merah cukup tinggi.

Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Propinsi penghasil utama bawang merah diantaranya adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi

(8)

Selatan. Kesembilan propinsi ini menyumbang 95.8 persen (Jawa memberikan kontribusi 75 persen) dari produksi total bawang merah di Indonesia.

Gambar 16 Rasio Perubahan Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura serta Inflasi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Rasio perubahan harga dan inflasi paling rendah bila dibandingkan dengan bawang merah dan kacang kedelai. Hal ini disebabkan karena rata-rata produksi cabe diperkirakan mencapai 1.311 juta ton, terdiri dari cabe merah besar 777.22 ribu ton (61.5 persen) dan cabe rawit 487.26 ribu ton (38.5 persen). Sentra produksi utama cabe besar antara lain Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, Bandung); Jawa Tengah (Magelang,Temanggung); Jawa Timur (Malang, Banyuwangi). Sentra utama cabe kriting adalah Bandung, Brebes, Rembang, Tuban, Rejanglebong, Solok, Karo, Banyuasin; Sentra utama cabe rawit adalah Lombok Timur, Kediri, Jember, Boyolali, Sampang, Banyuwangi, Blitar, dan Lumajang. Negara-negara pengekspor cabai yang utama adalah India, Pakistan, Bangladesh, Cina, dan Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa cabai mempunyai potensi pemasaran baik untuk tujuan domestik maupun tujuan ekspor.

Namun bila dilihat antar waktu komoditi cabe merah mengalami rasio perubahan harga yang paling tinggi yaitu pada tahun 2004. Hal ini disebabkan adanya masa paceklik dan kegagalan panen yang diakabitkan serangan hama dan faktor cuaca, menyebabkan produksi cabe mengalami penurunan sehingga harga cabe menjadi melambung dipasaran.

Sedangkan pada komoditi kacang kedelai berada di urutan kedua dalam perubahan harga karena produksi dalam negeri yang cukup kecil sehingga untuk

(9)

memenuhi permintaan konsumen dengan melakukan kebijakan impor sehingga menyebabkan ketergantungan terhadap impor menjadi semakin tinggi.

4.1.3. Dinamika Harga Produk Peternakan

Dinamika harga produk peternakan mencakup komoditi daging ayam, telur ayam dan daging sapi. Harga rata-rata daging ayam antar wilayah di Indonesia berbeda di setiap wilayah dimana harga tertinggi terjadi pada wilayah Jayapura. Hal ini disebabkan karena 90 persen sembako di suplay dari luar papua ditambah biaya pengiriman dan biaya distribusi yang mengakibatkan harga di Jayapura melonjak naik.

Gambar 17 Harga Rata-rata Daging Ayam antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Harga rata-rata terendah pada komoditi daging ayam terjadi pada wilayah Pontianak, hal ini disebabkan karena produksi daging ayam ras terbesar dihasilkan kota Pontianak yaitu sebesar 13,625 ton per tahun atau 56 persen dari total produksi daging ayam ras di Kalimantan Barat. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi daging ayam yang berada di atas rata-rata-rata-rata nasional sebesar 46.15 persen. Sedangkan harga komoditi daging ayam yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 53.85 persen (Gambar 17).

Harga rata-rata telur ayam antar wilayah di Indonesia berbeda di setiap wilayah dimana harga tertinggi terjadi pada wilayah Jayapura. Hal ini disebabkan karena sistem distribusi yang susah dan mahal. Di katakan mahal karena transportasi yang digunakan untuk mengangkut telur adalah pesawat, ini menyebabkan harga di Jayapura melambung tinggi.

(10)

Gambar 18 Harga Rata-rata Telur Ayam antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Harga rata-rata terendah pada komoditi telur ayam terjadi pada wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini disebabkan karena NAD merupakan salah satu sentra produksi ayam ras, sehingga pada saat musim panen jumlah stok telur ayam meningkat namun tidak diikuti oleh permintaan masyarakat yang cenderung statis atau tetap. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi telur ayam yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 46.15 persen. Sedangkan harga komoditi telur ayam yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 53.85 persen (Gambar 18).

Rata-rata harga daging sapi tertinggi antar wilayah di Indonesia pada tahun 2002 – 2010 terjadi di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini disebabkan karena jenis dan kualitasnya sangat berbeda dengan yang dijual di daerah lain sehingga daging sapi di Aceh yang dibeli konsumen saat ini setara dengan daging khas yang kalau di Jawa juga jauh lebih mahal juga karena permintaan yang cukup banyak pada hari raya islami sehingga menyebabkan harga jual ikut meningkat.

Harga rata-rata daging sapi terendah terjadi di Kupang karena permintaan daging sapi tidak terlalu tinggi, hal ini disebabkan karena barang substitusinya seperti daging babi dan daging ayam harganya lebih rendah serta karena mayoritas penduduk NTT beragama kristen sehingga masyarakat cenderung mengkonsumsi daging babi dibandingkan dengan daging sapi meskipun produksi daging sapinya cukup banyak. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi daging sapi yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 46.15 persen.

(11)

Sedangkan harga komoditi daging sapi yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 53.85 persen (Gambar 19)

Gambar 19 Harga Rata-rata Daging Sapi antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

Rata-rata rasio perubahan harga telur yang berada diatas tingkat inflasi sedangkan rata-rata perubahan harga daging ayam dan daging sapi berada bawah tingkat inflasi dimana tingkat inflasi sebesar 8.07 persen. Tingginya rata-rata rasio perubahan harga telur ayam karena produksi teluar ayam lebih sedikit dibanding dengan daging ayam dan daging sapi akibat kurang lancarnya pasokan telur dari beberapa daerah terus tidak dimbangi dengan pasokan telur lokal sehingga tidak dapat untuk memenuhi permintaan konsumen.

Bila dilihat antar waktu, perubahan harga telur ayam juga paling tinggi yang terjadi pada tahun 2008. Hal ini disebabkan karena tingginya permintaan telur ayam pada hari raya keagamaan sehingga menyebabkan harga telur ayam cukup tinggi.

Rata-rata rasio perubahan harga daging sapi dan daging ayam berada di bawah tingkat inflasi. Hal ini disebabkan karena konsumsi terhadap kedua komoditi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan komoditi telur ayam. Produksi daging ayam cukup besar, namun konsumsi masyarakat saat ini masih terbilang rendah. Untuk daging ayam misalnya, konsumsi masyarakat Indonesia baru mencapai 7 kg/kapita/tahun.

(12)

Gambar 20 Rasio Perubahan Harga Produk Peternakan dan Inflasi di Indonesia dari tahun 2002 - 2010

Malaysia dan Singapura yang konsumsinya telah melebihi angka 25 kg per kapita per tahun. Dengan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia saat ini yang telah menginjak angka 3000 US Dollar, mestinya konsumsi produk protein hewani sebesar 17kg/kapita/tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya isu-isu miring seputar dunia perunggasan di masyarakat seperti kurangnya pengetahuan, kebiasaan serta rendahnya daya beli masyarakat karena bibit, pakan ayam (jagung) dan obat hewan juga masih di impor.

Produksi sapi dan daging sapi nasional mampu memenuhi 70 persen kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah kemungkinan masih mempertahankan target impor sebanyak 30 persen untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional. Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat rendah akibat tingginya harga jual daging sapi. Kemampuan suplai daging sapi dari dalam negeri saat ini baru mencapai dua pertiga dari total kebutuhan konsumsi sekitar 1.7 juta ekor per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sebesar sepertiga sisanya harus dipenuhi dari impor sapi bakalan sekitar setengah juta ekor dan impor daging sapi berkisar 70.000 ton per tahun.

(13)

4.2 Konvergensi Harga Pangan Antar Wilayah dan Antar Waktu di Indonesia

4.2.1 Konvergensi Harga Pangan Pokok

Estimasi konvergensi harga pangan pokok dilakukan dengan menggunakan tiga komoditi pada variabel dependennya, yaitu komoditi beras, minyak goreng dan gula pasir. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan harga pangan pokok pada tiga komoditi tersebut.. Tingginya harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tidak secara otomatis akan menyebabkan tingginya perbedaan harga komoditi tersebut pada antar wilayah karena harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tinggi terjadi pada semua wilayah atau pada wilayah tertentu saja di Indonesia.

Proses konvergensi harga pangan pokok dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel harga beras. Nilai dari koefisien dari yt-1 yang kurang dari 1 menunjukkan adanya proses konvergensi, sedangkan nilai yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa harga beras antar wilayah persisten. Model data panel dinamis FD-GMM menunjukkan bahwa koefisien pt-1 adalah 0.3394 dan signifikan pada level 5 persen, artinya proses konvergensi harga beras terjadi di antar wilayah di Indonesia. Dengan kata lain, harga beras antar wilayah konvergen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan pvalue 0.2084, artinya variabel instrumen yang digunakan valid. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten (Tabel 3).

Perhitungan konvergensi harga beras antar wilayah di Indonesia berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Barrios et al (2007) di Philipina bahwa terjadi proses divergen pada komoditi harga beras pada tahun 1990 – 2002 akibat adanya badai El Nino pada tahun 1998.

Adanya konvergensi harga beras antar wilayah di Indonesia karena produksi beras Indonesia cukup besar menduduki urutan ketiga di dunia setelah China dan India. Sementara tingkat produktivitas per hektar juga sangat baik mencapai 4.9 ton/ha, di atas produktivitas rata-rata negara Asia sebesar 4.2 ton/ha.

(14)

Estimasi konvergensi pangan pokok dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel harga minyak goreng. Nilai koefisien pt-1 pada lag variabel dependen kurang dari satu, sehingga menghasilkan tingkat konvergensi yang positif. Tingkat konvergensi mencapai 225.57 persen berdasarkan hasil empiris koefisien pt-1 sebesar 0.1048. Berdasarkan statistik uji Sargan menunjukkan bahwa hipotesis nol variabel instrumen valid tidak ditolak. Sedangkan uji m1 signifikan sedangkan nilai m2 tidak signifikan juga sehingga menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten (Tabel 3). Tabel 3 Estimasi Konvergensi Harga Pangan Pokok Menggunakan Metode Panel

Data Dinamis FD-GMM

Komoditi Parameters Koefisien SE P-value

Beras Harga t-1 0.3394 0.0150 0.0000 Implied λ 108.0576 Wald-Test 8037.17 0.0000 AB m1 -1.9568 0.0273 AB m2 -2.2077 0.0504 Sargan Test 25.9494 0.2084 Minyak Goreng Harga t-1 0.1048 0.0140 0.0000 Implied λ 225.5702 Wald-Test 26616.85 0.0000 AB m1 -1.6806 0.0002 AB m2 -3.7566 0.0928 Sargan Test 25.8034 0.2140 Gula Pasir Harga t-1 0.2012 0.0121 0.0000 Implied λ 160.3456 Wald-Test 412329.44 0.0000 AB m1 -4.0642 0.0008 AB m2 -3.3454 0.0547 Sargan Test 25.6496 0.2201

Konnvergen minyak goreng bukan saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Cina dimana komoditi yang konvergen adalah gabah, minyak goreng, unggas, ikan (Wan 2005). Hal ini terjadi karena bila dilihat dari volumenya, konsumsi minyak goreng sawit Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dengan laju pertumbuhan rata-rata mencapai 11.4 persen per tahun selama periode 1990–2009. Dengan tingkat konsumsi yang mencapai 2.8 juta ton per tahun, maka dibutuhkan sekitar 3.8 juta ton CPO sebagai bahan bakunya. Jumlah tersebut pada dasarnya masih dapat dipenuhi dari produksi CPO domestik yang saat ini telah mencapai lebih dari 10 juta ton per tahun atau terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Dengan porsi hanya sekitar 30 persen dari produksi CPO, pengadaan bahan baku minyak goreng sawit dalam negeri pada dasarnya tidak menemui kendala yang

(15)

berarti seiring dengan peningkatan luas areal tanaman kelapa sawit yang tersebar di 18 propinsi, yakni Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat dan Papua termasuk Irian Jaya Barat. Diantara wilayah tersebut, Riau (termasuk Kepulauan Riau) merupakan sentra produksi terbesar dengan luas lahan mencapai 23.5 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia yang saat ini mencapai 6,074,926 ha.

Estimasi konvergensi harga gula pasir dapat dibandingkan dengan konvergensi harga beras dan minyak goreng untuk melihat apakah dampak kebijakan pemerintah terhadap pangan pokok sudah berhasil atau belum (Tabel 3). Dimana proses konvergensi terjadi pada komoditi gula pasir, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien dari pt-1 sebesar 0.2011 dan menghasilkan tingkat konvergensi 160.34 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0.2201. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten. Dilihat dari tiga komoditi diatas ternyata tingkat konvergensi tertinggi pada komoditi minyak goreng, gula pasir lalu tingkat konvergensi terendah terjadi pada komoditi beras yang berarti kebijakan pemerintah di bidang pemberasan belum sepenuhnya berhasil yang dilihat dari tingkat konvergensi beras hanya 108.06 persen sehingga peran BULOG harus terus ditingkatkan dan operasi pasar menjadi salah satu cara untuk meningkatkan tingkat konvergensi di Indonesia.

4.2.2 Konvergensi Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura

Estimasi konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dilakukan dengan menggunakan tiga komoditi pada variabel dependennya, yaitu komoditi kacang kedelai, bawang merah dan cabe merah. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan harga tanaman pangan dan holtikultura pada tiga komoditi tersebut. Tingginya harga rata-rata dari suatu

(16)

komoditi tersebut tidak secara otomatis akan menyebabkan tingginya perbedaan harga komoditi tersebut pada antar wilayah karena harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tinggi terjadi pada semua wilayah atau pada wilayah tertentu saja di Indonesia.

Proses konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel harga kacang kedelai antar wilayah. Nilai dari koefisien dari pt-1 yang lebih kecil dari satu, mengindikasikan bahwa konvergensi terjadi atau harga kacang kedelai antar wilayah konvergen yang di tunjukkan dengan tingkat konvergensi 253.19 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0.2919. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten (Tabel 3).

Perhitungan konvergensi harga kacang kedelai antar wilayah di Indonesia berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Irwin et al (2009) di Chicago bahwa tidak terjadi proses konvergensi pada komoditi harga kacang kedelai pada tahun 2005 – 2008 akibat semakin luasnya pasar dan adanya perubahan kondisi penawaran dan permintaan yang tidak seimbang.

Tabel 4 Estimasi Konvergensi Tanaman Pangan dan Holtikultura menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD-GMM

Komoditi Parameters Estimated Coefficients Standard Error P-value

Kacang Kedelai Harga t-1 0.0795 0.0110 0.0000 Implied λ 253.1998 Wald-Test 7170.40 0.0000 AB m1 -1.0462 0.0295 AB m2 -0.7696 0.4416 Sargan Test 24.0248 0.2919 Bawang Merah Harga t-1 0.4310 0.0164 0.0000 Implied λ 84.16472 Wald-Test 16160.13 0.0000 AB m1 -2.6945 0.0070 AB m2 1.8285 0.0675 Sargan Test 25.2187 0.2378 Cabe Merah Harga t-1 0.4877 0.0995 0.0000 Implied λ 71.8054 Wald-Test 46000.30 0.0000 AB m1 -1.4155 0.0415 AB m2 -1.0907 0.1569 Sargan Test 25.8983 0.2104

(17)

Adanya konvergensi harga kacang kedelai antar wilayah di Indonesia karena produksi kedelai cukup meningkat karena peningkatan luas panen seluas 4.99 ribu hektar (0.75 persen) dan produktivitas sebesar 0.29 kuintal/hektar (2.11 persen). Peningkatan produksi yang konsisten tersebut juga sebagai akibat adanya kebijaksanaan pemerintah dalam mengendalikan impor kedelai, sehingga harga kedelai dalam negeri tetap memberikan insentif bagi petani untuk memproduksi kedelai. Tanpa dukungan perluasan areal, upaya untuk peningkatan produksi kedelai agak sulit, karena peningkatan produktivitas berjalan lambat.

Proses konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel harga bawang merah antar wilayah. Nilai dari koefisien dari pt-1 yang kurang dari satu, mengindikasikan bahwa konvergensi terjadi atau harga bawang merah antar wilayah konvergen dengan tingkat konvergensi 84.16 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0.2378. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten.

Hal ini senada yang terjadi di Amerika Utara bahwa harga bawang merah tahun 1998 – 2006 di wilayah tersebut menunjukkan terjadinya konvergensi harga secara cepat (Susanto 2007). Tingkat konvergensi bawang merah di Indonesia juga lebih rendah dari tingkat konvergensi kacang kedelai karena sifat dari bawang merah yang tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama akibat cepat rusak.

Estimasi konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dapat dilihat dari variabel harga cabe merah antar wilayah dimana nilai dari koefisien dari pt-1 yang kurang dari satu, mengindikasikan bahwa konvergensi terjadi atau harga cabe merah antar wilayah konvergen dengan tingkat konvergensi 71.80 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0.2104. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan

(18)

AB m2yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten.

Proses konvergensi dari tanaman pangan dan holtikultura terendah pada komoditi cabe merah dan tertinggi pada komoditi kacang kedelai. Tingginya konvergensi kacang kedelai di Indonesia disebabkan kacang kedelai merupakan komoditi yang cukup tahan lama bila dibandingkan dengan cabe merah dan bawang merah sehingga harganya tidak terlalu berfluktuasi di banding kedua komoditi tersebut.

4.2.3 Konvergensi Harga Produk Peternakan

Estimasi konvergensi produk peternakan dilakukan dengan menggunakan tiga komoditi pada variabel dependennya, yaitu komoditi daging ayam, telur ayam dan daging sapi. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan harga tanaman pangan dan holtikultura pada tiga komoditi tersebut. Tingginya harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tidak secara otomatis akan menyebabkan tingginya perbedaan harga komoditi tersebut pada antar wilayah karena harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tinggi terjadi pada semua wilayah atau pada wilayah tertentu saja di Indonesia.

Secara empiris, proses konvergensi produk peternakan yang diihat dari variabel harga daging ayam ras disajikan pada Tabel 5. Koefisien pt-1 secara tahunan sebesar 0.1602 dengan metode FD-GMM, menunjukkan bahwa tingkat konvergensi harga ayam ras antar wilayah di Indonesia sebesar 183.13 persen. Hasil uji Sargan dengan statistik sebesar 25.4964 (p-value 0.2263), artinya variabel instrumen yang digunakan telah valid secara signifikan pada level 5 persen. Model konsisten karena tidak ada serial correlation, dilihat dari m1 yang signifikan dan uji AB m2 tidak signifikan sesuai dengan teori untuk uji kekonsistenan model atau dengan kata lain konsisten (Tabel 5).

Perhitungan konvergensi komoditi daging ayam sama dengan yang dilakukan oleh Samaniego (2000) di Brazil dan Paraguay bahwa harga daging ayam tahun 1992 – 2000 di kedua wilayah tersebut menunjukkan terjadinya konvergensi harga. Tingkat konvergensi harga daging sapi di Indonesia cukup kecil karena jika dilihat dari sisi input produk yaitu pengaruh dari naik/turunnya

(19)

harga bahan input yang umumnya masih diimpor sehingga sangat dipengaruhi oleh pergerakan kurs seperti obat/vaksin & bibit ternak.

Estimasi perhitungan konvergensi produk peternakan menggunakan variabel harga telur ayam ras terjadi di antar wilayah. Hal ini dengan koefisien pt-1 lebih kecil dari 1 sehingga tingkat konvergensi terjadi dengan tingkat konvergensi 133.48 persen. Kriteria pengujian model dilakukan dengan uji Sargan untuk melihat validitas variabel instrumen. Statistiknya sebesar 25.9206 (p-value 0.2095), menunjukkan bahwa instrumen variabel valid. Demikian pula pengujian konsistensi model dari statistik m1 yang signifikan dan m2 yang tidak signifikan menunjukkan bahwa model tidak ada serial correlation atau dengan kata lain sudah konsisten.

Tabel 5 Estimasi Konvergensi Produk Peternakan Menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD-GMM

Komoditi Parameters Koefisien SE P-value

Ayam Harga t-1 0.1602 0.0157 0.0000 Implied λ 183.1332 Wald-Test 24315.27 0.0000 AB m1 -2.7543 0.0059 AB m2 -0.4138 0.6790 Sargan Test 25.4964 0.2263 Telur Ayam Harga t-1 0.2632 0.0057 0.0000 Implied λ 133.4841 Wald-Test 177296.67 0.0000 AB m1 -3.0857 0.0020 AB m2 -2.2481 0.0642 Sargan Test 25.9206 0.2095 Daging Sapi Harga t-1 0.4106 0.0163 0.0000 Implied λ 89.0135 Wald-Test 41942.58 0.0000 AB m1 -3.033 0.0024 AB m2 -0.0136 0.9892 Sargan Test 23.7082 0.3074

Tingkat konvergensi daging ayam lebih tinggi dari tingkat konvergensi telur ayam karena harga telur juga sedikit banyak dipengaruhi karena masuknya produksi telur asal peternak dari negara Malaysia. Setidaknya ada sekitar 100 ton telur yang di impor secara ilegal setiap minggunya ke wilayah Batam, Kepulauan Riau sehingga pasokan telur di dalam negeri semakin banyak dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

Harga daging sapi antar wilayah di Indonesia secara jangka panjang mengalami proses menuju ke satu titik tertentu. Nilai koefisien pt-1 pada lag

(20)

variabel dependen kurang dari 1, sehingga menghasilkan tingkat konvergensi yang positif artinya harga daging sapi antar wilayah konvergen dengan tingkat konvergensi 89.01 persen. Pemeriksaan model data panel dinamis dilakukan dengan uji validitas dan konsistensi model. Hasil uji Sargan menunjukkan bahwa hipotesis nol variabel instrumen valid tidak ditolak. Sedangkan uji m1 signifikan sedangkan nilai m2tidak signifikan sehingga menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten.

Hasil produk peternakan dengan variabel harga daging sapi antar wilayah di Indonesia mengalami tingkat konvergensi yang cukup rendah karena kegagalan swasembada daging sapi akibat adanya kesenjangan konsumsi dan produksi daging sapi. Selama periode 2002-2009, Indonesia masih mengimpor 40 persen total kebutuhan daging sapi yang pada tahun 2009 mencapai 322.1 ribu ton. Kemampuan suplai daging sapi dari dalam negeri saat ini baru mencapai dua pertiga dari total kebutuhan konsumsi sekitar 1.7 juta ekor per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sebesar sepertiga sisanya harus dipenuhi dari impor sapi bakalan sekitar setengah juta ekor dan impor daging sapi berkisar 70,000 ton per tahun.

4.2.4 Perbandingan Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu

Perhitungan estimasi konvergensi dengan data panel dinamis memerlukan kriteria validitas dan konsistensi. Uji Sargan merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrumen (variabel instrumen valid), artinya instrumen tersebut tidak berkorelasi dengan galat pada persamaan data panel dinamis. Sementara untuk melihat konsistensi hasil estimasi dilakukan dengan uji autokorelasi oleh statisitk m1 yang signifikan dan nilai m2yang tidak signifikan.

Dari tiga kelompok komoditi diatas dapat dilihat bahwa semua komoditi valid variabel instrumen yang digunakan tidak berkorelasi dengan error pada persamaan FD-GMM dan konsisten yang berarti tidak adanya masalah autokorelasi.

(21)

Tabel 6 Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Panel Data Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu di Indonesia

Komoditi Pangan Pokok Uji Validitas Uji Konsistensi

Pangan Pokok

Beras Valid Konsisten

Minyak Goreng Valid Konsisten

Gula Pasir Valid Konsisten

Tanaman Pangan dan Holtikultura

Kacang Kedelai Valid Konsisten

Bawang Merah Valid Konsisten

Cabe Merah Valid Konsisten

Produk Peternakan

Daging Ayam ras Valid Konsisten

Telur Ayam Ras Valid Konsisten

Daging Sapi Valid Konsisten

Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa tingkat konvergensi harga pangan paling tinggi terjadi pada komoditi tanaman pangan dan holtikultura yaitu variabel kacang kedelai serta minyak goreng pada komoditi pangan pokok.

Tabel 7 Estimasi Tingkat Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis FD-GMM

Komoditi Pangan Pokok Koefisien yt-1 Impliedλ

Pangan Pokok Beras 0.3394 108.0576 Minyak Goreng 0.1048 225.5702 Gula Pasir 0.2012 160.3456 Tanaman Pangan dan Holtikultura Kacang Kedelai 0.0795 253.1998 Bawang Merah 0.4310 84.16472 Cabe Merah 0.4878 71.8054 Produk Peternakan

Daging Ayam ras 0.1602 183.1332

Telur Ayam Ras 0.2632 133.4841

Daging Sapi 0.4106 89.0135

Kedua komoditi ini mempunyai tingkat konvergensi yang tinggi karena tingginya kebutuhan kacang kedelai nasional sebanyak 2.2 juta ton per tahun hanya bisa dipenuhi sepertiganya oleh produksi dalam negeri. Petani lokal hanya mampu memasok sekitar 600 ribu ton kedelai. Kekurangannya 1.6 juta ton harus diimpor. Nilai impor kedelai ini lumayan besar, sekitar Rp 8 triliun per tahun, sedikit lebih rendah dari nilai impor susu dan terigu. Meskipun tingginya impor namun secara rata-rata harga kacang kedelai lebih rendah dibanding delapan komoditi yang lain sehingga menyebabkan tingkat konvergensinya paling tinggi.

Tinggingnya tingkat konvergensi minyak goreng karena, konsumsi minyak goreng sawit Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dengan laju pertumbuhan rata-rata mencapai 11,4 persen per tahun selama periode 1990–2007.

(22)

Dengan tingkat konsumsi yang mencapai 2.8 juta ton per tahun, maka dibutuhkan sekitar 3.8 juta ton CPO sebagai bahan bakunya. Jumlah tersebut pada dasarnya masih dapat dipenuhi dari produksi CPO domestik yang saat ini telah mencapai lebih dari 10 juta ton per tahun atau terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Dengan porsi hanya sekitar 30 persen dari produksi CPO, pengadaan bahan baku minyak goreng sawit dalam negeri pada dasarnya tidak menemui kendala yang berarti seiring dengan peningkatan luas areal tanaman kelapa sawit yang tersebar di 18 propinsi,

4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan antar Wilayah dan antar Waktu di Indonesia

4.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan Pokok

Di antara kebutuhan pokok, beras, gula pasir dan minyak goreng merupakan komoditas yang posisinya sangat strategis dan karena itu pemerintah selalu berusaha agar harga kedua komoditas tersebut relatif stabil. Pengertian "stabil" tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis yakni suatu kondisi dimana variabilitas harga antar waktu dan antar wilayah berada pada kisaran yang masih memungkinkan bagi stakeholder (produsen dan konsumen) untuk melakukan penyesuaian dalam jangka pendek. Bagi konsumen, determinan dari kemampuan untuk melakukan penyesuaian adalah daya beli; sedangkan bagi produsen determinannya adalah tingkat penerimaan yang cukup untuk menutup semua biaya variabel.

Estimasi harga pangan pokok melalui variabel harga beras, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk dan panjang jalan. Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga beras adalah FD-GMM (Arellano and Bond) dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.8881 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 88.81 persen variasi harga beras, sedangkan 11.19 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model (Tabel 8).

Harga beras antar wilayah dan antar waktu di Indonesia di pengaruhi oleh jumlah produksi dan panjang jalan secara negatif serta PDRB dan jumlah

(23)

penduduk secara positif. Peningkatan jumlah produksi dan panjang jalan akan menurunkan harga beras tahun sedangkan meningkatnya PDRB dan jumlah penduduk akan meningkatkan harga beras.

Jumlah produksi mempengaruhi harga beras sebesar 0.27 persen. Jika Jumlah produksi naik 1 persen, maka harga beras akan turun sebesar 0.27 persen. Hal senada terjadi pada panjang jalan yang mempengaruhi harga beras sebesar 0.17 persen secara negatif. Artinya jika panjang jalan bertambah 1 persen maka harga beras akan turun sebesar 0.17 persen. Arah berbeda yang terjadi pada variabel PDRB dan jumlah penduduk dimana harga beras juga dipengaruhi oleh PDRB dan jumlah penduduk sebesar 0.20 persen dan 7.11 persen. Jika tingkat PDRB naik 1 persen akan menyebabkan kenaikan harga beras sebesar 0,20 persen. Jika jumlah penduduk naik 1 persen akan menyebabkan kenaikan harga beras cukup tinggi sebesar 7.11 persen. Tingginya kenaikan harga akibat kenaikan jumlah penduduk menandakan masih tingginya ketergantungan masyarakata pada komoditi beras meskipun jenis pasar untuk komoditi beras masih bersifat oligopoli.

Hasil estimasi ini berbeda studi yang dilakukan oleh Syafa’at (2007), bahwa harga beras dipengaruhi oleh tiga variabel penjelas yakni harga pembelian pemerintah (HPP), stok beras Bulog dan harga beras di pasar internasional.

Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga pangan pokok melalui variabel harga minyak goreng dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk dan panjang jalan. Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga minyak goreng adalah FD-GMM (Arellano and Bond) dengan p-value 0,0000. R-square sebesar 0,7221 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 72.21 persen variasi harga minyak goreng, sedangkan 27.79 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model (Tabel 8).

Harga minyak goreng antar wilayah di Indonesia di pengaruhi oleh PDRB dan jumlah penduduk secara positif. Sedangkan jumlah produksi dan panjang jalan mempengaruhi harga minyak goreng secara negatif. Peningkatan PDRB dan jumlah penduduk dapat meningkatkan harga minyak goreng sebesar

(24)

0.42 persen dan 8.42 persen. Jika PDRB naik 1 persen, maka harga minyak goreng akan naik sebesar 0.42 persen dan Jika jumlah penduduk naik 1 persen, maka harga minyak goreng akan naik sebesar 8.42 persen. Tingginya permintaan akibat kenaikan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya harga minyak goreng. Selain karena jumlah penduduk, tingginya harga minyak goreng juga dipicu oleh bentuk pasar dari komoditi minyak goreng yang bersifat olgopoli.

Peningkatan jumlah produksi dan panjang jalan dapat menurunkan harga minyak goreng sebesar 0.01 persen dan 0.07 persen. Jika jumlah produksi naik 1 persen, maka harga minyak goreng akan turun sebesar 0.01 persen. Jika panjang jalan bertambah 1 persen, maka harga minyak goreng akan turun sebesar 0.07 persen.

Tabel 8 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan Pokok dengan Model Panel Data Statis

Periode Veriable Coefficients Standard Error Prob

Beras Prod -0.2720 0.0350 0.0000 PDRB 0.2027 0.0350 0.0000 Pendk 7.1128 0.0764 0.0000 Jalan -0.1717 0.0238 0.0000 R-squared 0.8881 Ajusted R-squared 0.8853 F-Statistic 320.68 Prop 0.0000 Minyak Goreng Prod -0.0111 0.0016 0.0000 PDRB 0.4249 0.0907 0.0000 Pendk 8.4225 0.4248 0.0000 Jalan -0.0709 0.0203 0.0000 R-squared 0.7221 Ajusted R-squared 0.7252 F-Statistic 104.99 Prop 0.0000 Gula Pasir Prod -0.1096 0.0308 0.0000 PDRB 0.2259 0.0483 0.0000 Pendk 8.8930 0.2134 0.0000 Jalan -0.0178 0.0342 0.6010 R-squared 0.7580 Ajusted R-squared 0.7520 F-Statistic 126.52 Prop 0.0000

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Prastowo et al (2008), bahwa harga minyak goreng dipengaruhi oleh harga minyak goreng tahun sebelumnya dan harga CPO dunia, jumlah produksi dan dummy BULOG yang bernilai negatif dan signifikan. Hal ini menandakan pada saat BULOG berperan aktif dalam pengaturan stok dan distribusi minyak goreng hingga tahun 1998,

(25)

harga eceran minyak goreng cenderung lebih rendah dan stabil dibandingkan setelah 1998.

Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pangan pokok melalui variabel harga gula pasir dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk dan panjang jalan. Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga gula pasir adalah FD-GMM (Arellano and Bond) dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.7580 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 75.80 persen variasi harga gula pasir, sedangkan 24.20 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model (Tabel 8).

Harga gula pasir antar wilayah di Indonesia di pengaruhi oleh PDRB dan jumlah penduduk secara positif serta jumlah produksi secara negatif. Peningkatan PDRB dan jumlah penduduk dapat meningkatkan harga gula pasir. Tetapi sebaliknya peningkatan jumlah produksi gula akan menyebabkan harga gula pasir mengalami penurunan.

PDRB mempengaruhi harga gula pasir sebesar 0.22. Jika harga gula pasir tahun sebelumnya naik 1 persen, maka harga gula pasir akan naik sebesar 0.22 persen. Jumlah penduduk mempengaruhi harga gula pasir sebesar 8.89 persen. Tingginya pengaruh jumlah penduduk terhadap harga gula pasir karena pasar dari gula pasir itu sendiri yang bersifat oligopoli. Jika jumlah penduduk naik 1 persen maka harga gula pasir akan naik sebesar 8.89 persen. Jumlah produksi juga mempengaruhi harga gula pasir sebesar 0.10 persen. Jika jumlah produksi naik 1 persen maka harga gula pasir akan turun sebesar 0.10 persen.

Harga gula di tingkat konsumen juga sangat dipengaruhi oleh harga gula di pasar internasional, dummy BULOG dan dummy untuk penerapan pembatasan impor gula sejak September 2002. Hal ini diduga karena tren produksi dalam negeri semakin menurun, terutama setelah krisis seiring dengan menurunnya kinerja dan jumlah pabrik gula yang beroperasi. Sementara itu, tren kebutuhan gula meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Jumlah produksi tidak berpengaruh, karena pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri pada akhirnya lebih banyak mengandalkan pada gula impor (Prastowo et al 2008).

(26)

4.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura

Tanaman pangan dan holtikultura seperti kacang kedelai, bawang merah dan cabe merah merupakan tanaman yang banyak di konsumsikan oleh masyarakat Indonesia sehingga perubahan harga pada komoditi tanaman pangan dan holtikultura ini akan menyebabkan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan terganggu sehingga dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk menstabilkan harga komoditi tersebut.

Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanaman pangan dan holtikultura melalui komoditi kacang kedelai dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk dan panjang jalan. Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga kacang kedelai adalah FD-GMM (Arellano and Bond) dengan p-value 0,0000. R-square sebesar 0.7444 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 74.44 persen variasi harga kacang kedelai, sedangkan 25.56 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model (Tabel 9).

Harga kacang kedelai antar wilayah di Indonesia hanya di pengaruhi oleh PDRB dan jumlah penduduk secara positif. Sedangkan jumlah produksi dan panjang jalan mempengaruhi harga minyak goreng secara negatif. Peningkatan PDRB dan jumlah penduduk dapat meningkatkan harga minyak goreng sebesar 1.49 persen dan 3.39 persen. Jika PDRB naik 1 persen, maka harga minyak goreng akan naik sebesar 1.49 persen dan Jika jumlah penduduk naik 1 persen, maka harga minyak goreng akan naik sebesar 3.39 persen. Kurangnya pengaruh jumlah penduduk terhadap kenaikan harga kacang kedelai karena kacang kedelai lebih dipengaruhi oleh bentuk pasar yang bersifat oligopoli dimana mereka yang menentukan harga jual di pasar sehingga menyebabkan rendahnya pengaruh konsumen dalam menentukan harga jual kacang kedelai.

Peningkatan jumlah produksi dan panjang jalan dapat menurunkan harga minyak goreng sebesar 0.10 persen dan 0.23 persen. Jika jumlah produksi naik 1 persen, maka harga minyak goreng akan turun sebesar 0.10 persen. Jika panjang

(27)

jalan bertambah 1 persen, maka harga minyak goreng akan turun sebesar 0.23 persen.

Tabel 9 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura antar Wilayah di Indonesia dengan Model Panel Data Statis

Periode Veriable Coefficients Standard Error Prob

Kacang Kedelai Prod -0.1037 0.0213 0.0000 PDRB 1.4995 0.1305 0.0000 Pendk 3.3891 0.5077 0.0000 Jalan -0.2274 0.0703 0.0010 R-squared 0.7444 Ajusted R-squared 0.7381 F-Statistic 117.68 Prop 0.0000 Bawang Merah Prod -0.0007 0.0063 0.0000 PDRB 0.6476 0.0610 0.9030 Pendk 12.3278 0.3338 0.0000 Jalan -0.1291 0.0292 0.0000 R-squared 0.6878 Ajusted R-squared 0.6801 F-Statistic 89.0000 Prop 0.0000 Cabe Merah Prod -0.0652 0.0055 0.0000 PDRB 0.0452 0.0675 0.0000 Pendk 12.4432 0.5327 0.0000 Jalan -0.1712 0.0596 0.0040 R-squared 0.3747 Ajusted R-squared 0.3592 F-Statistic 24.20 Prop 0.0000

Estimasi faktor-faktor tanaman pangan dan holtikultura melalui komoditi bawang merah dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk dan panjang jalan. Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga bawang merah adalah FD-GMM (Arellano and Bond) dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.6878 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 68.01 persen variasi harga bawang merah, sedangkan 31.99 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model (Tabel 9).

Harga bawang merah antar wilayah di Indonesia di pengaruhi oleh PDRB dan jumlah penduduk secara positif serta panjang jalan secara negatif. Peningkatan PDRB dan jumlah penduduk akan mempengaruhi harga bawang

(28)

merah sebaliknya peningkatan panjang jalan akan mengurangi harga bawang merah.

PDRB mempengaruhi harga bawang merah sebesar 0.65 persen. Jika PDRB naik 1 persen, maka harga bawang merah akan naik sebesar 0.65 persen. Jumlah penduduk mempengaruhi harga bawang merah sebesar 12.33 persen. Jika Jumlah penduduk naik 1 persen, maka harga bawang merah akan naik sebesar 12.33 persen. Selanjutnya panjang jalan juga mempengaruhi harga bawang merah dimana jika panjang jalan naik 1 persen akan menyebabkan penurunan harga bawang merah sebesar 0.13 persen. Tingginya pengaruh jumlah penduduk terhadap harga jual karena adanya indikasi dari jenis pasar bawang merah itu sendiri yang bersifat oligopoli dan sifat dari komoditi bawang yang mudah rusak sehingga menyebabkan harga bawang merah selalu berfluktuasi.

Estimasi harga tanaman pangan dan holtikultura melalui komoditi cabe merah dimana faktor-faktor yang mempengaruhi harga cabe merah dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk dan panjang jalan. Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga bawang merah adalah FD-GMM (Arellano and Bond) dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.3747 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 37.47 persen variasi harga cabe merah, sedangkan 62.53 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model (Tabel 9).

Harga cabe merah antar wilayah di Indonesia di pengaruhi oleh PDRB dan jumlah penduduk secara positif serta jumlah produksi dan panjang jalan secara negatif pada taraf signifikansi 1 persen. Peningkatan PDRB dan jumlah penduduk dapat meningkatkan harga cabe merah. Sebaliknya peningkatan jumlah produksi dan panjang jalan dapat menurunkan harga cabe merah.

PDRB mempengaruhi harga cabe merah sebesar 0.45 persen. Jika PDRB naik 1 persen, maka harga cabe merah akan naik sebesar 0.45 persen. Selanjutnya jumlah penduduk juga mempengaruhi harga cabe merah dimana jika jumlah penduduk bertambah 1 persen akan menyebabkan kenaikan harga cabe merah sebesar 12.44 persen. Jumlah produksi dan panjang jalan mempengaruhi harga cabe merah sebesar 0.06 persen dan 0.17 persen. Jika jumlah produksi bertambah

(29)

1 jiwa maka akan menurunkan harga cabe sebesar 0.06 persen dan jika panjang jalan bertambah 1 persen akan menyebabkan penurunan harga cabe merah sebesar 0.17 persen.

Tingginya harga cabe merah akibat penambahan jumlah penduduk menunjukkan tingginya tingkat konsumsi terhadap cabe merah sementara produksi cabe merah masih bersifat musiman dan cepat rusak di tambah lagi jenis pasar dari komoditi cabe merah bersifat oligopoli sehingga menyebabkan harga cabe merah terus berfluktuasi.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Prastowo et al (2008) bahwa yang mempengaruhi harga cabe merah adalah harga sebelumnya, harga BBM dan variabel dummy gangguan distribusi yang disebabkan oleh faktor cuaca dan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

4.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Produk Peternakan

Salah satu sub sektor yang berperan penting dalam rangka mensukseskan ketahanan pangan adalah bidang peternakan. Dalam perekonomian Indonesia, kontribusi sub sektor ini dalam pembentukan Produk Domestik Bruto Indonesia lebih dari 12 persen per tahunnya. Sementara Dari aspek penyerapan tenaga kerja, kontribusi sub sektor peternakan terus mengalami peningkatan, dari sekitar 6 persen pada tahun 2005 menjadi sekitar 11 persen pada tahun 2008. Produk peternakan yang dimaksud adalah daging ayam, telur ayam dan daging sapi.

Estimasi produk peternakan melalui komoditi daging ayam, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging ayam dilakukan dengan menggunakan variabel independen harga daging ayam tahun sebelumnya, jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat kemiskinan, jumlah penduduk dan panjang jalan. Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga bawang merah adalah FD-GMM (Arellano and Bond) dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.7715 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 77.15 persen variasi harga daging ayam, sedangkan 22.85 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model (Tabel 10).

(30)

Harga daging ayam antar wilayah di Indonesia di pengaruhi oleh jumlah penduduk dan PDRB secara positif serta jumlah produksi secara negatif. Peningkatan jumlah penduduk dan PDRB dapat meningkatkan harga daging ayam sebaliknya peningkatan jumlah produksi akan menurunkan harga daging ayam

Jumlah penduduk mempengaruhi harga daging ayam sebesar 3.90 persen. Jika jumlah penduduk naik 1 persen, maka harga daging ayam akan naik sebesar 3.90 persen. PDRB juga menjadi penentu juga dalam perubahan harga daging ayam tahun. Jika PDRB naik 1 persen akan menyebabkan kenaikan harga beras sebesar 0.69 persen. Sebaliknya jika jumlah produksi naik 1 persen maka harga daging ayam akan turun sebesar 0.05 persen. Masih rendahnya ketergantungan masyarakat terhadap daging ayam karena harga daging ayam yang cukup mahal akibat dari jenis pasar dari komoditi daging ayam ini bersifat oligopoli.

Tabel 10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Produk Peternakan antar Wilayah di Indonesia dengan Model Panel Data Statis

Periode Veriable Coefficients Standard Error Prob

Daging Ayam Prod -0.0501 0.0042 0.0000 PDRB 0.6951 0.0395 0.0000 Pendk 3.9033 0.1659 0.0000 Jalan -0.0059 0.0079 0.4530 R-squared 0.7715 Ajusted R-squared 0.7658 F-Statistic 136.39 Prop 0.0000 Telur Ayam Prod -0.0007 0.0023 0.0000 PDRB 0.6476 0.0657 0.0000 Pendk 12.3278 0.2324 0.0000 Jalan -0.1291 0.0111 0.0000 R-squared 0.8283 Ajusted R-squared 0.8138 F-Statistic 182.00 Prop 0.0000 Daging Sapi Prod -0.0427 0.0034 0.0000 PDRB 0.3856 0.0309 0.0000 Pendk 3.3630 0.1571 0.0000 Jalan -0.0090 0.0105 0.3940 R-squared 0.9226 Ajusted R-squared 0.9206 F-Statistic 481.27 Prop 0.0000

Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga telur ayam ras dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk dan panjang jalan. Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga bawang merah

(31)

adalah FD-GMM (Arellano and Bond) dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.8183 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 81.83 persen variasi harga telur ayam, sedangkan 18.17 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model (Tabel 10).

Harga telur ayam ras antar wilayah di Indonesia hanya di pengaruhi oleh PDRB dan jumlah penduduk secara positif sedangkan jumlah produksi dan panjang jalan dipengaruhi secara negatif. Peningkatan PDRB dan jumlah penduduk dapat meningkatkan harga telur ayam ras dan peningkatan jumlah produksi dan panjang jalan dapat menurunkan harga telur ayam.

Harga telur ayam ras tahun sebelumnya mempengaruhi PDRB sebesar 0.71 persen. Jika PDRB naik 1 persen, maka harga telur ayam ras akan naik sebesar 0.71 persen. Jumlah penduduk mempengaruhi perubahan harga jual telur sebesar 12.32 persen. Jika jumlah penduduk bertambah 1 persen maka harga jual telur ayam akan naik sebesar 12.32 persen. Sedangkan jumlah produksi dan panjang jalan mempengaruhi harga telur ayam sebesar 0.0007 persen dan 0.13 persen. Jika jumlah produksi naik 1 persen maka harga telur akan turun sebesar 0.0007 persen. Dan jika panjang jalan naik 1 persen akan menyebabkan harga telur akan telur turun sebesar 0.13 persen.

Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk dan panjang jalan Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga bawang merah adalah FD-GMM (Arellano and Bond) dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.9226 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 92.26 persen variasi harga daging sapi, sedangkan 7.74 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model (Tabel 10).

Harga daging sapi antar wilayah di Indonesia di pengaruhi PDRB dan jumlah penduduk secara positif serta jumlah produksi berpengaruh secara negatif. Peningkatan PDRB dan jumlah penduduk dapat meningkatkan harga beras. Sebaliknya peningkatan jumlah produksi akan menurunkan harga daging sapi.

PDRB mempengaruhi harga daging sapi sebesar 0.38 persen. Jika PDRB naik 1 persen, maka harga daging sapi akan naik sebesar 0.38 persen. Jumlah

(32)

penduduk mempengaruhi harga daging sapi sebesar 3.36 persen. Jika jumlah penduduk naik 1 persen, maka harga daging sapi akan naik sebesar 3.36 persen. Jumlah produksi juga menjadi penentu juga dalam perubahan harga daging sapi tahun sekarang secara negatif. Jika jumlah produksi bertambah 1 persen akan menyebabkan penurunan harga beras sebesar 0.04 persen.

Hasil penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Prastowo et al (2008), bahwa yang mempengaruhi harga daging sapi adalah harga sebelumnya, harga daging sapi di pasar internasional, harga BBM, dummy lebaran dan idul adha.

4.4 Implikasi Kebijakan

Perbedaan harga antar wilayah merupakan fenomena yang biasa terjadi di negara berkembang, namun pada tingkat yang lebih lanjut dapat mengakibatkan masalah-masalah ekonomi yang berkepanjangan dan juga tantangan sosial dan politik bahkan dapat memicu disintegrasi bangsa. Oleh karena itu pemerintah mempunyai tanggung jawab penting dalam mewujudkan pemerataan dan distribusi hasil-hasil pertanian ke arah keseimbangan proporsional sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayahnya masing-masing. Setiap wilayah diharapkan dapat mencapai tingkat harga yang stabil untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pemenuhan kebutuhan pada tingkat rumah tangga bertujuan untuk mengenali kebutuhan yang mendesak dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, membantu daerah dalam rangka mencapai kemandirian ekonomi dan meningkatkan daya saing, serta mendorong pengembangan potensi daerah agar mampu mengekspor hasil pertaniannya, untuk mendukung perekonomian nasional (Soedjito 1997). Pada tingkat daerah seyogyanya diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:

1. Penurunan kehilangan hasil pada komoditas pertanian masih relatif tinggi, sehingga penanganan pascapanen dan pengolahan sangat berperan dalam upaya perbaikan kehilangan hasil tersebut.

2. Pengembangan distribusi antar wilayah sentra produksi dan konsumsi pangan pokok pada saat panen raya belum terlaksana secara teroganisir, sehinga terjadi fluktuasi yang sangat tinggi antar sentra produksi. Salah satu kendala

(33)

yaitu belum adanya sistem informasi yang dapat diakses akibat tidak terdapatnya informasi harga antar sentra produksi. Distorsi informasi ini mengakibatkan harga antar sentra produksi berbeda satu sama lain dengan cukup tinggi.

3. Stabilisasi harga, fluktuasi harga sering terjadi pada komoditas pangan pokok oleh karena itu pemerintah hendaknya berperan aktif untuk mencari solusi guna menstabilkan harga, terutama pada saat panen raya.

4. Pengendalian serta proteksi impor, Pada saat musim tanam di Indonesia, kadangkala terdapat pangan pokok impor (ilegal maupun legal) di sentra produksi. Oleh karena itu, dengan adanya perbedaan musim tanam antar wilayah sentra produksi dimana pada hakekatnya ada peluang untuk mengatur musim tanam antara propinsi. Dalam pada itu, perlu adanya kebijakan proteksi pangan pokok impor.

Kebijakan yang lebih efektif sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan ketidakstabilan harga pangan di Indonesia dengan revitalisasi lahan, revitalisasi perbenihan dan perbibitan, revitalisasi infrastruktur dan sarana, revitalisasi sumber daya manusia, revitalisasi pembiayaan petani, revitalisasi kelembagaan petani dan revitalisasi teknologi dan industri hilir (Renstra 2010-2014).

Gambar

Gambar 9 Harga  Rata-rata  Beras  antar  Propinsi  di  Indonesia  dari  tahun  2002  – 2010
Gambar 10 Harga  Rata-rata  Minyak  Goreng  antar  Propinsi  di  Indonesia  dari  tahun 2002 – 2010
Gambar 11 Harga  Rata-rata  Gula  Pasir  antar  Propinsi  di  Indonesia  dari  tahun  2002 – 2010
Gambar 12 Rasio Perubahan Harga Pangan Pokok dan Inflasi di Indonesia dari  tahun 2002 – 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Produk hasil perengkahan PFAD menjadi biofuel dengan katalis zeolit sintesis dikarakterisasi dengan FTIR dan dapat diketahui perubahan yang terjadi pada gugus fungsi

Berdasarkan hasil penelitian dapat dipahami bahwa orang tua yang memiliki perilaku cukup dalam pemilihan makanan bergizi pada anak usia pra sekolah seperti

Masa orde lama merupakan masa revolusioner, dibawah komando Bung Karno telah mengikrarkan suatu wilayah dari Sabang sampai Merauke dalam kerangka Negara

Sistem ini merupakan monitoring ketinggian air sungai yang memberikan informasi kepada pengawas sungai dan masyarakat berupa tinggi beserta status sungai secara real time melalui

Menurut Petugas Pajak jumlah penurunan pelaporan SPT Tahunan dari tahun 2009 sampai dengan 2011 itu disebabkan oleh beberapa hal seperti Turunnya kesadaran wajib pajak

Menyadari akan berbagai kekurangan yang ada penulis, maka untuk meningkatkan profesionalisme yang penulis rasakan masih kurang, selama tahun 2013 / 2014 ini

Filsafat sebagai dasar dari semua ilmu cabang pengetahuan adalah karena filsafatlah yang melahirkan semua ilmu pengetahuan yang lain, filsafatlah sumber dari segala ilmu

berkembanglah kerajinan batik tulis di Desa Kebon yang pada akhirnya terbentuklah sebuah kelompok Perajin Batik tulis di Desa Kebon bernama “ Batik Tulis Kebon