• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM DAN DEMOKRASI (Kajian Pengembangan Materi Pada Diklat Penyuluh Agama Islam Tingkat Madya) Muchammad Toha ABSTRAKSI Indonesia adalah negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISLAM DAN DEMOKRASI (Kajian Pengembangan Materi Pada Diklat Penyuluh Agama Islam Tingkat Madya) Muchammad Toha ABSTRAKSI Indonesia adalah negara"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM DAN DEMOKRASI

(Kajian Pengembangan Materi Pada Diklat Penyuluh Agama Islam Tingkat Madya)

Muchammad Toha ABSTRAKSI

Indonesia adalah negara majemuk yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kendatipun demikian sejarah membuktikan keberadaan Agama dengan kekuatan negara yang tidak didasari agama, tidak menjadi halangan untuk menjadikan wilayah kepulauan terbesar didunia ini dalam kondisi aman dan damai. Hal ini dapat diraih salah satunya karena paham demokrasi yang dianut bangsa Indonesia tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Beberapa ajaran tersebut antara lain, musyawarah, keadilan, persamaan dan kebebasan.

PENGANTAR

Islam adalah agama sekaligus Negara (al-Islam huwa al-din wa al-dawlah), Keyakinan ini menancap kuat dalam memori kesadaran kolektif Umat Islam, terutama para pemikir politik Islam, mulai jaman dahulu hingga hari ini. Sehingga, Islam dianggap agama yang memiliki ajaran yang utuh, serba melingkup dan senantiasa sesuai dengan kebutuhan jaman. Selain itu, paradigma ini kerap mengiring Umat Islam untuk menampilkan agamanya dalam bentuk formal, yakni dengan menampakkan wajah literar bangunan politik Islam masa silam, tanpa modifikasi dan kontektualisasi dengan kebutuhan realitas.

Adanya paradigma di atas, karena lahir dari anggapan bahwa Nabi Muhammad, selain sebagai rasul, juga seorang kepala Negara yang memiliki kewenangan mengatur kehidupan politik Umat Islam. Nabi adalah penguasa tertinggi keagamaan sekaligus politik. Paradigma ini juga diperkokoh oleh romantisme khazanah Khulafa’ ar-Rasyidin (632-661) yang dalam perjalanan sejarahnya kemudian berubah menjadi autokratik-monarki dengan sebutan yang bermacam-macam, mulai dari amir al-mukminin, sultan, shah, amir al-umara’, shaykh, sharif

(2)

sampai khan, dan dinasti-dinasti awal Islam inilah yang telah banyak memberikan sumbangan bagi peradaban Islam di masa lalu (Hamim, 2004 : 4-5).

Salah satu bentuk romantisme khazanah Islam adalah penyamaan antara konsep syura dalam Islam, dengan demokrasi barat di hampir sebagian besar negara Muslim atau negara berpenduduk mayoritas Muslim. Penyamaan dan penyesuaian ini berkembang hingga taraf dimana para pemikir Muslim enggan menggunakan kata demokrasi, dengan alasan kata syura dianggap lebih tepat dan “lebih Islami” untuk mengungkapkan pengertian demokrasi.

Paling tidak ada dua alasan, seperti dikemukakan al-Jabiri (2003 : 24-25) yang sering dijadikan argumen untuk menyamakan konsep syura dan demokrasi. Pertama, bukan karena mereka mengetahui atau tidak mengetahui perbedaan antara keduanya, akan tetapi lebih karena kerangka aplikasi ideologis yang bertujuan agar pemuka agama yang fanatic menjadi tenang dengan seruan bahwa menerima demokrasi tidak berarti upaya memasukkan bid’ah ke wilayah Islam. Kedua,aplikasi ideologis ini digunakan untuk mengangkat data-data dalamtradisi Islam, guna menopang peradabanya ke tingkat modern. Implikasi yang diharapkan adala masalah-masalah yang dihadapi umat Islam, kapan dan di mana pun, dapat dipecahkan oleh tradisi agama dan pemikiranya sendiri. Mekanisme ini dikenal sebagai “mekanisme penguatan identitas” dan “pembelaan diri”.

Penyamaan kedua konsep politik ini juga mendapatkan kritik tajam dari Khalid Abdul Karim (2003 : 139-140), Baginya sinyalemen yang menyamakan antara syura dan demokrasi tidaklah tepat. Sebab, perbedaan di antara keduanyanya sangatlah gamblang. Bahkan, dalan kondisi bagaimana pun syura tidak mungkin menjalankan fungsi demokrasi atau mengganti posisinya disebabkan akar sejarah keduanya berbeda seratus delapan puluh derajat.

ANTARA SYURA DAN DEMOKRASI

Kata syura berasal dari akar kata sya-wa-ra, syawir yang berarti : berkonsultasi, menasehati, memberi syarat, petunjuk, dan naehat. Ada pula yang mengartikan syura dengan arti menjelaskan, menyatakan, mengajukan, dan

(3)

mengambil sesuatu. Dalam bahasa Arab, bisa kita jumpai istilah syara al- asl yang berarti mengeluarkan madu dari sarangnya., memetik, lalu mengambil dari tempatnya. Ada juga kata syarah dan saurah yang berarti baik perawakan dan penampilan. Dan ada lagi kata syura yang berarti menunjukkan dan menampakan sikap murah hati. Kata syura, yang berasal dari bahasa Arab ini, kemudian di serap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata musyawarah yang memiliki arti mengumpulkan dan menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok.

Dengan demikian, secara terminologis, syura berarti menjaring ide-ide terbaik dengan mengumpulkan sejumlah orang yang diasumsikan memiliki akal, argumentasi, pengalaman, kecanggihan pendapat, serta prasyarat lain yang menunjang merekauntuk memberikan pendapat yang tepat dan keputusan yang benar. (Zada, Arofah, 2004 : 26).

Adapun ayat al-Qur’an yang membahas mengenai syura. Pertama, dalam surat al-Syura: ayat 38 disebutkan bahwa kaum muslimin menyelesaikan masalah-masalah mereka melalui musyawarah. “Dan orang-oang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian rezekinya yang Kami berikan kepada mereka”. Kedua, dalam surat Ali Imron: ayat 159, Nabi diperintahkan untuk bermusyawarah dengan orang-orang dalam masyarakatuntuk melaksanakan keputusan-keputusan. “….Maka disebabkan rahmat Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu….”

Dalam ayat pertama, musyawarah hanya dianjurkan, dan bukan merupakan kewajiban. Namun demikian, ayat ini menandaskan bahwa musyawarah merupakan salah satu cirri khas masyarakat Muslim dalam menyelesaikan masalah mereka. Dan masih dalam kontek ayat ini, syura mengandung arti keutamaan bagi setiap orang beriman secara umum, bukan pada penguasa secara khusus. Sedangkan ayat kedua,

(4)

ditujukan kepada Nabi, pada saat terjadi perang Uhud. Allah memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah dengan kaum Muslimin agar hati mereka senang dan merasa dihargai.

Mengacu pada sejarah awal Islam yang diasumsikan sebagai prototype ideal praktek syura, selama empat periode Khulafa al-Rasyidin (632-661 M) dan dinasti-dinasti awal Islam (661-1258 M) menunjukkan adanya metode dan praktek yang berlainan dalam hal pengangkatan penguasa (khalifah). Pada masa Khulafa al Rasyidin, setelah wafatnya Rasulullah, pecahlah perselisihan di Tsaqifah mengenai mekanisme yang akan digunakan untuk mengangkat Khalifah. Suatu kenyataan penting mengenai pertemuan Tsaqifah adalah bahwa suatu perdebatan yang keras, sedikit panas, telah terjadi dalam pertemuan ini, yang pada akhirnya menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah melalui mekanisme musyawarah (syura). Pengangkatan ini memiliki arti bahwa dalam mengabsahkan keputusan Tsaqifah, serta kelestarian sifat dasar dari prosedur setelahnya, adalah consensus (ijma’) kelompok elite yang sering disebut dengan ahl-al wa al-‘aqd, baik dalam pemik\lihan Abu Bakar maupun Khalifah berikutnya (Umar, Utsman dan Ali). Disamping ijma’ dalam proses pemilihan Khalifah ini, juga terdapat adanya bai’ah (sumpah setia pada khalifah) dan ‘ahd atau janji khalifah untuk memerintah sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’ah (Enayat, 1996 : 63).

Sementara pada masa setelahnya, Muawiyah dinyatakan sebagai khalifah (661 M). Empat tahun sebelumj meninggal, Muawiyah mewariskan kekuasaan pada putranya, Yazid Ibn Muawiyah. Mekanisme pewarisan kekuasan menggantikan syura ini terus terjadi dan berjalan sepanjang sejarah Islam berikutnya, termasuk pada masa dinasti Abbasiyah.

Bentuk paling ideal yang mendekati majelis permusyawaratan adalahsebuah komite terkenal, terdiri dari para elite Muhajirin dan Anshar yang ditunjuk Khalifah Umar Ibn Khattab sebelum meninggal. Sedangkan fungsi dari komite ini adalah memilih diantara salah seorang dari komite tersebut untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah. .Selain berfungsi memilih khalifah pengganti Umar, komite ini juga

(5)

menggelar sidang umum, sidang khusus dan sidang terbatas. Melalui komite ini, banyak masalah yang dibicarkan, misalnya, pembinaan pemerintah melalui pendirian kantor-kantor, peletakan dasar-dasar peradilan dan administrasi, pembentukan bait al-mal, pengaturan jaringan pos dan penempatan pasukan di daerah-daerah perbatasan (Lewis, 1994 : 195).

KEBANGKITAN ISLAM DAN GELOMBANG DEMOKRASI

Terdapat catatan penting tentang hubungan Islam dengan demokrasi yang digambarkan berjalan paralel, yakni keduanya sedang mengalami kebangkitan. Di satu sisi, kebangkitan demokrasi dengan capaiannya yang fantastis, diterima oleh hamper seluruh belahan dunia. Tercatat bahwa antara 1974 hingga 1992 terdapat tiga puluhan negara yang mengalami proses transisi ke demokrasi. Termasuk di dalamnya adalah sejumlah negara di Eropa Selatan (Spanyol, Portugal, Yunani), Amerika Latin (Brazil, Argentina, Chili), Eropa Timur (Cekoslovakia, Rumania, Polandia) dan Afrika. Dengan perkembangan seperti itu, jumlah negara-negara demokratis menjadi berlipat ganda, (Huwaydi : 1996 : 2). Gelombang demokrasi secara spesifik kemudian berkembang secara sporadic di unia ketiga lainnya yang kemudian disebut oleh Lary Diamond sebagai revolusi demokrasi (Diamo, 1994 : 35).

Secara substansial, demokrasi diakui sebagai sebuah system nilai kemanusiaan yang paling menjajikan masa depan umat manusia yang lebih baik. Demokrasi dinilai sesuai dengan tuntutan kebutuhan non-material manusia. Anggapan ini muncul akibat penderitaan manusia pasca Fasisme, Totalitarianisme dan Komunisme pada beberapa dekade yang lalu. Perang Dunia I (1914-1919) dan Perang Dunia II (1938-1945) adalah fase sejarah kemanusiaan yang paling tragis dan ironis. Penderitaan panjang akibat Fasisme membuat manusia mendambakan munculnya sistem demokrasi. (Esposito, 1986 : 3-4).

Keruntuhan rejim-rejim juga berdampak positif bagi perkembangan demokrasi. Keruntuhan Uni Sovyet misalnya menyebabkan demokrasi kemudian mengalami globalisasi dan internasionalisasi. Rejim-rejim anti-demokrasi yang sebelumnya menutup pintu-pintu bagi arus demokrasi setelah kehancuran negara

(6)

adidaya itu lebih terbuka. Sebab, menutup diri dari arus demokratisasi akan berdampak buruk bagi Negara yang bersangkutan, mungkin negara ini akan dikucilkan atau paling tidak akan disorot tajam sebagai negara yang anti-demokrasi.

Sementara di sisi lain, semenjak jatuhnya rejim otoriter Shah Pahlevi di Iran, yang kemudian meledak menjadi Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, membawa dampak positif yang dapat menggerakkan kebangkitan Islam. Dalam dasawarsa 1970-1980, tuntutan-tuntutan untuk kembali kepada sistem politik yang Islami terdengar semakin keras. Analisis tentang faktor-faktor “kebangkitan”, atau tepatnya revitalisasi Islam lebih didorong oleh tiga faktor. Pertama, memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik Utara-Selatan. Kedua, perubahan social yang berlangsung amat cepat dengan akibat-akibat yang destruktif dalam masyarakat Muslim. Ketiga, krisis legitimasi di dalam sistem-sistem politik berorientasi sekuler.

PANDANGAN BARAT TENTANG ISLAM DAN DEMOKRASI

Gelombang demokratisasi yang bersamaan dengan terjadinya gelombang kebangkitan Islam memiliki implikasi yang serius mengenai perdebatan hubungan Islam dan demikrasi dalam konstelasi politik global (internasional). Faktanya, dimana-manapembicaraab Islam dan demokrasi yang sangat menarik. Dan fokusnya masih berkutat pada pertanyaan, apakah memang betul, Islam menolak demokrasi seperti yang dituduhkan Barat, atau Islam tidak sejalan dengan demokrasi atau justru Islam itu ada yang sejalan dengan demokrasi dan ada pula yang bertentangan dengan demokrasi. Inilah sesungguhnya yang menjadi problem hubungan Islam dan demokrasi.

Sebab itulah oleh sebagian orang, Islam sering dianggap sebagai sumber nilai yang belum tentu sesuai dengan konstruk Negara demokaratis. Bahkan ada juga yang berpendapat Islam bersifat bermusuhan dengan demokrasi. Pandangan stereotipikal ini rasanya tidak dibentuk atau dipengaruhi oleh nilai-nilai doktrinal Islam, sebab budaya tinggi Islam juga disertai dengan prinsip-prinsip egalitarianisme, voluntarisme yang tidak saja sesuai dengan demokrasi, tetapi juga dengan kehiupan social-ekonomi dan politik yang modern (Azra, 1996 : 18-19).

(7)

Sejatinya, pandangan peyoratif, “Islam anti-demokrasi” lebih didasarkan pada realitas politik di dunia Islam yang tidak demokratis. Dalam sejarah perjalanan negara-negara modern, dunia Islam sebanding dengan Negara-negara dunia ketiga lainnya berkembang menjadi kawasan dimana otoritarianisme dan personal rule tumbuh. Hal ini dipertegas dengan kesimpulan para ahli politikseperti Larry Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset, bahwa kebanyakan negara-nagara Islam tidak dapat diharapkan untuk melakukan proses transisi ke demokrasi (Karim,1999 : 39).

Tarik-menarik soal hubungan Islam dan demokrasi tidak saja dapat didasarkan pada dokrin Agama Islam yang masih menyisakan problem, tetapi juga sejarah yang membedakan antara keduanya. Karena secara histories, demokrasi telah berkembang sejak jaman Plato dan Aristoteles (300 - 400 SM), Yunani lah, yang melahirkan konsep demokrasi dari suatu proses dialog filsafat warganya yang memiliki tradisi yang kuat dalam filsafat. Dengan tradisi filsafat ini, Negara-kota Athena yang cukup kecil berhasil melahirkan konsep yang mereka sebut dengan pemerintahan atau kekuasaan rakyat. Pada waktu itu, demokrasi dipraktekkan sebagai sistem dimana seluruh warga Negara membentuk lembaga legislatif. Hal ini dimungkinkan oleh kenyataan jumlah penduduk negara-kota yang kurang lebih 10.000 jiwa. Demikian pula demokrasi di negara-negara Barat, lahir dan berkembang melalui proses Revolusi Puritan di Inggris, Revolusi Perancis dan perang saudara di Amerika (Taher,1999 : 145).

Dalam gerak selanjutnya, ide demokrasi modern berkembang dengan ide-ide dan lembaga-lembaga dari tradisi pencerahan yang dimulai pada abad 16. Tradisi tersebut adalah ide-ide sekularisme yang diprakarsai oleh Niccolo Machiavelli (1469-1527), ide negara kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi negara, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan lembaga federal oleh John Locke (1632-1704), yang disempurnakan oleh Baron de Montesquieu (1689-1755), yang idenya mengenai pemisahan kekuasaan menjadi lembaga

(8)

legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak social yang diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). Ide-ide tersebut merupakan respon terhadap monarkhi Absolut akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan gereja (teokrasi). Abdillah, 1999 : 71).

Secara literal, demokrasi berarti kekuasaan oleh rakyat, yang dalam doktrin Islam terdapat perbedaan. Islam justru menganut doktrin kedaulatan di tangan Tuhan. Meski demikian tidak otomatis demokrasi bertentangan dengan Islam, atau demokrasi bukanlah konsep yang secara keseliruhan Islami. Akan tetapi dalam Islam terkandung prinsip-prinsip yang sejalan dengan demokrasi. (Rudy, 1999 : 361)

MENAFSIRKAN ISLAM DENGAN DEMOKRASI

Ada pendapat bahwa demokrasi belum lama digunakan dalam khasanah pemikiran dunia Islam, meski sebenarnya inhern dan sejalan dengan ajaran Islam. Namun adapula yang berpandangan ajaran Islam bertumpu pada konsepsi “kedaulatan Tuhan”, sehingga demokrasi yang bermakna “kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat” kurang sesuai dengan pemikiran politik Islam (Hidayat, 1994 : 192).

Dalam perspektif inilah, bisa dapat diambil pemetaan mengenai perbedaan di kalangan umat Islam berkenaan dengan hubungan agama dan demokrasi. Kelompok pertama berpandangan bahwa konsepsi ajaran Islam sejalan dengan konsepsi paham demokrasi. Bahwa konsepsi demokrasi sebenarnya melekat dalam ajaran Islam. Kelompok kedua melihat demokrasi sebagai paham dan konsep yang milia, tetapi mengakui kenyataan bahwa demokrasi kontemporer mengandung bias pemikiran sekuler Barat, sehingga masih perlu diisi serta diberi jiwa Islam. Artinya, perlu dikembangkan pola “teo-demokrasi” (demokrasi yang berketuhan) yang dalam hal ini pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tidak keluar dan menyimpang dari ajaran Islam. Kelompok ketiga adalah yang menentang dan menolak demokrasi. Menurut pandangan kelompok ini, demokrasi merupakan pemikiran sekuler yang berprinsip bahwa hokum dan undang-undang ditetapkan oleh perwakilan rakyat bukan oleh Allah. Artinya, Allah di mata demokrasi hanya Zat yang diakui keberadaan-Nya, tetapi ditolak peranan-Nya dalam mengatur kehidupan manusia. Sedangkan dalam

(9)

konsep ajaran Islam, diyakini bahwa manusia tunduk pada hokum Tuhan yangdiwahyukan Allah melalui al-Qur’an dan Rasul-Nya.

Secara prinsipil, doktrin Islam yang bertemu dengan demokrasi adalah doktrin Islam yang universal dan holistik, seperti musyawarah (al-syura), keadilan (al-‘adl), kebebasan (al-hurriyyah), persamaan (al-sawa).

Musyawarah. Allah SWT, berfirman:”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. (QS al-Syura : 38). “Maka disebabkan karena rahmat Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (peperangan) itu”. (QS Ali Imron : 159).

Keadilan. Allah SWT berfirman: “Apabila menetapkan hokum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. (QS al-Nisa’ : 58). “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu”. (QS al-An’am : 152)

Kebebasan. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dai jalan yang sesat”. (QS al-Baqarah : 256). “Dan katakanlah ,“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir”. (QS al-Kahfi : 29). “Dan apabila Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apabila kamu (hendak) memaksa manusia supaya menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. (QS Yunus : 99).

Persamaan. Allah SWT berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di

(10)

antara kamu”. (QS al-Hujurat : 13). “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah m,enciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang beriman”. (QS al-Rum : 22). “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yangdiberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka”. (QS Hud : 18 – 19).

Pada dataran ini, Islam tidak berbicara tentang sistem yang procedural melainkan muatan substansial dari spirit dan arah demokrasi. Prinsip-prinsip Islam inilah yang menjadi asumsi bahwa Islam dan Demokrasi ada kesesuaian dalam hal- substansi. Jika yang dimaksud dengan demokrasi itu adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu, misalnya apersamaan dihadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak untuk hidup bebas, dan mendapatkan pekerjaan, dan hak-hak lainnya, itu semua dijamin dalam Islam. Namun demikian, tidak berarti otomatis Islam sesuai dengan demokrasi secara keseluruhan, karena ada prinsip-prinsip Islam yang berbeda dengan demokrasi. Karena dalam Islam ada beberapa hal yang problematic dengan persoalan demokrasi, misalnya doktrin dar al-Islam dan dar al-harb, pemimpin wanita dan lain sebagainya (Iqbal, 2001 : 278-279).

PENUTUP

Selanjutnya, bagaimana Islam berdialog dengan demokrasi sebagai sistem politik global. Tentunya jika disepakati bahwa prinsip keadilan, musyawarah, dan persamaan dalam Islam adalah prinsip dasar bermasyarakat dan bernegara, maka inilah yang harus menjadi perhatian dengan tidak menafikan sesuatu yang memang telah ada dalam Islam yang cakupannya dalah menolak demokrasi. Pemikiran ini tentu saja mengarah pada pandangan substansialisti, bukan formalistic-legalistik. Pandangan substansialistik yang akan mendialogkan Islam dengan demokrasi didasari pada kenyataan bahwa ada beberapa doktrin Islam yang secara tegas tidak sesuai dengan demokrasi, seperti kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam polotik dan

(11)

keluarga, kafir, perbudakan, penegakan syariat Islam, atau Negara Islam. Semuanya ini adalah doktrin Islam yang jelas-jelas tertera dalam al-Qur’an dan Hadits. Akan tetapi karena demokrasi menghendaki kebebasan, kesetaraan, dan pluralisme maka yang harus dilakukan adalah menafsirkan nya secara substansial.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana.

Abdul Karim, Khalil, 2003. Syari’ah Sejarah Perkelahian dan Pemaknaan, Yogyakarta : LkiS.

Al-Jabiri, Muhammad Abed, 2003. Syura: Tradisi -Partikularitas- Universalitas, Yogyakarta: LkiS.

Azra, Azyumardi, 1996. Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, Jakarta: Paramadina.

Diamond, Larry (Peny.), 1994. Revolusi Demokrasi : Perjuangan Untuk Kebebasan dan Pluralisme Di Negara sedang Berkembang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Effendi, Bahtiar, 2001. Teologi Baru Politik Islam, Yogyakarta: Galang Press. Enayat, Hamid, 1996. Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, Bandung: Pustaka.

Hamim, Thoha, 2004. Islam & NU, Di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer : Dialektika kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim, Surabaya : Diantama.

Hidayat, Komaruddin, 1994. Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi Dalam Elza Peldi Taher Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta: Paramadina.

Huwaydi, Fahmi, 1996. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar Politik Islam, Bandung: Mizan

Iqbal, Muhammad, 2001. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Karim, M. Rusli, 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kayam, Umar, 1999. Proses Demokrasi dan Budaya Indonesia Menghidupkan Kultur Masyarakat Berembuk dalam Elza Peldi Taher, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi, Jakarta: Paramadina.

(13)

L Esposito, John, 1986. Identitas Islam Pada Perubahan Sosial-Politik, Jakarta: Bulan Bintang.

Lewis, Bernard, 1994. Bahasa Politik Islam, Jakarta: Gramedia.

Rudy, Teuku May. 1999. Politik Islam dalam PemerintahanDemokrasi Dalam Abu Zahra Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius Di Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah.

Taher, Elza, Peldi, 1994, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Paramadina.

Zada, Khamami, dan R Arofah, Arief, , 2004. Diskursus Politik Islam, Jakarta: LSIP.

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 5. Pembenahan yang dilakukan pada siklus ini ialah guru menyampaikan hasil belajar yang harus dicapai sebelum menugasi siswa melakukan tahap Pilih,

Untuk itu, melalui Seminar Nasional ini pendidikan bahasa dan sastra dapat memberikan andil dalam mewujudkan perubahan mental secara cepat generasi muda harapan masa

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolonganNya penulis dapat menyelesaiakan karya ilmiah yang berjudul “ PERANCANGAN BUKU

For any (parabolic, hyperbolic, and elliptic) second-order partial differential equations, it is con- ventional to distinguish four basic types of boundary value problems, depending

Dalam tulisan ini dibahas mengenai jumlah dan sebaran hotspot pada bulan Agustus- November 2015 di Provinsi Sumatra Selatan serta kualitas udara di Palembang

Pekerja social dapat bekerja bersama keluarga terduga dan terpidana kasus terorisme melalui program pendampingan psikososial, pelayanan social berbasis Hak Asasi Manusia (HAM)

Hasil penelitian menunjukan bahwa pernyataan visi perusahaan pada sektor infrastructure, utilities dan transportation, baru mengikuti 58.12% dari seluruh kriteria visi

Masalah fisik, psikologis, sosial sering dialami oleh pasien coronary artery disease (CAD), sehingga pasien perlu mengembangkan mekanisme koping yang tepat,