• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ANALISIS DATA"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

29

ANALISIS DATA

2.1. Keterkaitan Antarunsur Cerita dalam Serat Babad Sunan Prabu

Analisis struktural pada dasarnya bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot tokoh, latar atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai (Burhan Nurgiyantoro, 2000: 37).

Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik karya sastra yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1995: 37).

Roman Ingarden (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 15) menganalisis norma-norma puisi sebagai berikut: lapis suara/bunyi, lapis arti, lapis objek yang dikemukakan, lapis dunia, dan lapis metafisis.

2.1.1. Lapis Bunyi

Puisi berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi/suara sajak: suara frasa dan suara kalimat. Dalam puisi analisis lapis bunyi ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang

(2)

dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Berikut ini merupakan analisis lapis bunyi dari Serat Babad Sunan Prabu.

Serat Babad Sunan Prabu menggunakan satu bentuk konvensi

sastra, yaitu: bentuk puisi terikat, konvensi atau bait yang digunakan dalam Serat Babad Sunan Prabu adalah konvensi tembang macapat, karya ini terikat oleh konvensi tembang secara umum. Konvensi atau aturan tersebut meliputi aturan fisik yang terdiri: (a) guru gatra, banyaknya gatra ‘gatra’ dalam satu pada ‘bait’, (b) guru wilangan, yakni banyaknya wanda ‘suku kata’ pada masing-masing baris serta (c) guru lagu yakni ketentuan bunyi vokal pada suku kata terakhir tiap baris. Selain itu terdapat konvensi atau aturan batin yaitu, tiap bait memiliki fungsi pemakaian yang berbeda. Hal ini berhubungan dengan watak masing-masing tembang.

Aturan dalam tembang macapat, terutama dalam guru lagu menunjukkan pentingnya unsur bunyi pada tembang. Dengan kata lain, lapis bunyi di dalam tembang macapat termuat dalam konvensi guru

lagu. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya lapis

bunyi yang direalisasikan melalui sarana-sarana lain, misalnya asonansi dan aliterasi.

Serat Babad Sunan Prabu secara keseluruhan menampilkan bait

tembang macapat yang terbagi dalam 8 pupuh. Terdapat 4 macam metrum yang digunakan dalam Serat Babad Sunan Prabu yakni:

(3)

Metrum pertama, yakni Dhandhanggula terdiri dari 4 pupuh

yaitu pupuh 1, 3, 5, dan 8, pupuh 1 terdiri 8 bait, pupuh 3 terdiri 25 bait, pupuh 5 terdiri 32 bait, pupuh 8 terdiri 43 bait. Terikat pada konvensi 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i dan 7a. Tembang Dhandhanggula terdiri atas sepuluh baris. Baris pertama terdiri atas 10 suku kata dan vocal terakhir berupa huruf (i), baris kedua juga memiliki 10 suku kata dengan huruf vocal akhir (a), baris ketiga terdiri atas 8 suku kata dan huruf vocal terakhir (e), baris ke-empat memiliki 7 suku kata dengan huruf vocal akhir (u), baris kelima terdiri atas 9 suku kata dan huruf vocal akhir (i), baris ke-enam mempunyai jumlah suku kata 7 dan huruf vocal akhir (a), baris ke-tujuh memiliki 6 suku kata dengan dan huruf vocal akhir (u), baris kedelapan mempunyai 8 suku kata dengan huruf vocal akhir (a), baris kesembilan mempunyai jumlah suku kata sebanyak 12 dan huruf vocal akhir (i), baris terakhir mempunyai 7 suku kata dan vocal akhir (a). Berikut ini kutipan tembang Dhandhanggula yang terdapat dalam

Serat Babad Sunan Prabu:

Kutipan:

(h. 2) Ingkang putra wus dangu neng ngarsi pĕpak sowan dagane kang rama

garwa bĕndara putri len pyayi sak dalĕm agung tan adangu mafad narpati tangis umyang gumrĕrah tuwin Kangjĕng Ratu Kĕncana sumungkĕm pada

putra wayah karuna samya nungkĕmi

(4)

Terjemahan:

Yang putra sudah lama di depan lengkap datang ke jasat sang ayah istri keturunan tuan putri

semua orang dalam keluarga besar tidak lama meninggalnya raja tangis yang menderu-deru termasuk Kanjeng Ratu Kencana disembah oleh

anak cucu semua pada sungkem di telapak kaki.

Bait pertama baris petama mengandung asonansi [ a u ] baris kedua terdapat asonansi [a e] baris ketiga terdapat asonansi [ a ] baris ke-empat terdapat asonansi [ a ] baris lima terdapat asonansi [ a, u, dan i] baris ke-enam terdapat asonansi [ i dan a ] disertai alitrasi [ng] yang mempuyai arti suasana haru, baris ketujuh terdapat asonansi [a, u] baris kedelapan terdapat asonansi [a, u] baris kesembilan terdapat asonansi [a, u, i] baris kesepuluh terdapat asonansi [a].

Kutipan:

Gumrĕ tangis wong sajroning puri para bĕndara miwah parĕkan tan adangu lah ing kono dan siniraman sampun Ki Pangulu wus dentimbali sayid myang kancanira lan suranata wus layon dalĕm tinabĕla

tuwin Kangjĕng Gusti Pangeran Dipati

ngrĕngga layoning rama. (pupuh 1 bait 2 hal. 13)

Terjemahan:

Suara tangis orang-orang dari dalam keraton semua keluarga dan kerabat menangis disitu tidak lama lah disitu

dan setelah pemandian selesai ustad sudah dipanggil

(5)

sayid ke temannya dan abdi dalem sudah

jenazah dimaksukkan kedalam peti dan Kanjeng Gusti Pangeran Dipati menunggui jenazah sang ayah.

Baris pertama bait kedua mengandung asonansi [i] disertai alitrasi [n], baris kedua mengandung asonansi [a], baris ketiga mengandung asonansi [a] disertai alitrasi [n], baris ke-empat mengandung alitrasi [s], baris kelima terdapat asonansi [u] dan [i], baris ke-enam terdapat asonansi [a], baris krtujuh juga mengandung asonansi [a], baris kedelapan terdapat alitrasi [l], baris kesembilan terdapat asonansi [i] dan alitrasi [n], baris kesepuluh terdapat asonansi [a].

Kutipan:

Senapati Ngalaga di Murti Ratu Bagus tus trahing kusuma sĕmana ing sĕngkalane

taun Jimakiripun

angkanira punika ngarsi 1642 pĕksa pat ngoyag jagat sayid lan pangulu

ngula- (h. 13) ma angestrenana tur sandika saur kukila prasami

tandya Kapitin Jaswa. (bait 9 pupuh 3 hal. 20)

Terjemahan:

Senapati Ngalaga di Murti

Raja tampan asli keturunan luhur begitu disengkalannya Tahun Jimakir

angkanya itu di depan

1642 burung empat mengejar dunia utusan dan imam

ulama memberi restu

juga patuh bagai burung yang sesautan tanda Kapten Jaswa

(6)

Baris petama mengandung asonansi [i] baris kedua terdapat asonansi [ u ] dan alitrasi [s] baris ketiga terdapat asonansi [ a ] baris ke-empat terdapat asonansi [ u ] dan alitrasi [n] baris kelima terdapat asonansi [ a, i] baris ke-enam terdapat asonansi [ a ] disertai aritrasi [t] yang memberi kesan tegas dam jelas, baris ketujuh terdapat asonansi [a] baris kedelapan terdapat asonansi [a] dan alitrasi [n] baris kesembilan terdapat asonansi [a] dan alitrasi [s] baris kesepuluh terdapat asonansi [a] yang mempunyai kesan nada rendah.

Kutipan:

Ingkang kaping kalih ing prakawis mĕnggah luluse ing tĕtumbasan panĕmpur ingkang warni wos ping katri bĕnangipun

laywan tanĕm tuwuh ing jawi ingkang warni marica

cabe myang kumukus wiji sawi singat sangsam

kang punika akathah bayar Kumpĕni

General ing Jĕng Sunan. (pupuh 3 bait 15 hal. 21)

Terjemahan:

Yang kedua dalam perkara perihal jual beli

penjualan yang berupa beras yang ketiga benangnya

dengan tumbuh-tumbuhan (hasil bumi) di Jawa yang berupa merica

cabai serta kemukus biji sawi tanduk rusa

yang semuanya dibayar Kompeni General kepada Jeng Sunan.

Baris pertama bait 15 ini terdapat asonansi [i] dan alitrasi [ng], baris kedua terdapar asonansi [a], bait ketiga terdapat asonansi [a], baris ke-empat terdapat asonansi [i], baris kelima terdapat alitrasi [w],

(7)

baris ke-enam terdapat asonansi [a], baris ketujuh terdapat asonansi [u], baris kedelapan terdapat asonansi [i] dan [a], baris kesembila terdapat asonansi [a] dan litrasi [k], baris kesepuluh tersapat asonansi [a].

Kutipan:

Garwa Kandha kang ngadon-adoni angaturi angrĕbata pura

nungswa Jawa padha duwe punapa kaotipun

tuwin wĕling dalĕm kang swargi ing nĕgara sajawa

singa ingkang mĕngku putra kĕkalih punika

salĕrĕse dhuh gusti tumuta mukti

kĕsangĕtĕn rakanta. (pupuh 5 bait 9 hal. 28)

Terjemahan:

Garwa Kandha yang mengadu domba memberitahu keseluruh pura

Orang Jawa sama mempunyai apa yang berhubungan

dengan wasiat dari almarhum raja di negara seluruh Jawa

Raja yang mempunyai anak keduanya itu

sebenarnya aduh Tuhan ikutlah mulia keterlaluan kakaknya

Baris pertama terdapat asonansi [a], baris kedua terdapat asonansi [a], baris ketiga terdapat asonansi [a], baris ke-empat terdapat alitrasi [p], baris kelima terdapat asonansi [i], baris ke-enam terdapat asonansi [a], baris kutujuh terdapat alitrasi [ng], baris kedelapan terdapat asonansi [a], baris kesembilan terdapat asonansi [i dan a], kesepuluh terdapat asonansi [a].

(8)

Kutipan:

Alun-alun pan sampun aradin wadya punggawanya amĕlatar pinrĕrapat pakuwone

wong Sokawati suyud

pan akathah jinunjung linggih myang wong kalang akathah kang dadya Tumĕnggung Dipati Sasranĕgara

wus anuduh marang sagunging prajurit

samya ngĕlar jajahan. (pupuh 5 bait 26 hal. 31)

Terjemahan:

Alun-alun yang sudah ramai bala tentara memenuhi dirapatkan barisannya Orang Sukowati tersisih sudah banyak diangkat duduk kepada orang banyak dikepung yang menjadi Tumenggung Dipati Sasranegara

sudah menunjuk kepada seluruh prajurit bersama-sama memulai jajahan

Baris pertama terdapat alitrasi [n], baris kedua terdapat asonansi [a], baris ketiga terdapat alitrasi [p], baris ke-empat terdapat alitrasi [s], baris kelima terdapat asonansi [a, u, i], baris ke-enam terdapat alitrasi [ng], baris kutujuh terdapat alitrasi [ng], baris kedelapan tidak terdapat asonansi dan alitrasi, kesembila terdapat alitrasi [ng], baris kesepuluh terdapat asonansi [a].

Kutipan:

Pasliyun saking nagri Bĕtawi ngaturi Panĕmbahan Purbaya sĕngadi General mangke ingkang arsa tĕtĕmu

lan Nĕmbahan Purbaya tuwin gandhek dalĕm sĕmana

(9)

praptane anuju

amundhut Pangeran Harya

lah ing ngriku gandhek Pasliyun nyarĕngi angkate kur-ungkuran. (pupuh 8 bait 1 hal. 102)

Terjemahan:

Pasliyun dari negara Betawi

Memberitahu Panembahan Purbaya Tuan besar Jendral nanti

Yang menginginkan bertemu Dan Nembahan Purbaya juga Gandhek yang begitu

Pertemuannya bertujuan Mengambil Pangeran Harya

Dan disitulah gandhek Pasliyun mengikuti Berangkatnya bersamaan

Baris pertama terdapat asonansi [i]. Baris kedua terdapat alitrasi [p], baris ketiga tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris ke-empat tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris kelima terdapat alitrasi [n], baris ke-enam terdapat asonansi [e], baris ketujuh tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris kedelapan juga tidak terdapat asonansi maupun alitrasi, baris kesembilan terdapat asonansi [i], baris kesepuluh terdapat asonansi [u].

Kutipan:

Ginadhang-gadhang gumantya aji mring kang ibu Ratwagĕng kang nama milane kasĕbut dene

Jĕng Ratwagĕng kang wau dene karsa bungah Sang Aji kinarang ngulu dera

kang rayi Jĕng Ratu Kĕncana ngrĕnggani pura

pan kĕkalih pasĕbutanira nĕnggih

(10)

Terjemahan:

Diharapkan menggantikan raja oleh sang ibu Ratu Ageng yang nama maka tersebutkan sedangkan

Kangjeng Ratu Ageng yang tadi jika ingin bahagia sang raja dilarang memakan hak sang adik Kangjeng Ratu Kencana merawat keraton yang keduanya dijuluki yaitu Ratu Ageng Kadipaten

Baris pertama terdapat alitrasi [ng], baris kedua juga terdapat alitrasi [ng], baris ketiga terdapat asonansi [e], baris ke-empat terdapat alitrasi [ng], baris kelima tidak terdapat asonansi maupun alitrasi, baris ke-enam juga tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris ketujuh tidak terdapat asonansi maupun alitrasi, baris kedelapan terdapat asonansi [a], baris kesembilan terdapat asonansi [i], baris kesepuluh tidak terdapat asonansi maupun alitrasi.

Metrum kedua, yaitu Mijil terdapat 2 pupuh yaitu pupuh 2 dan 4,

pupuh 2 terdiri 23 bait, pupuh 4 terdiri 31 bait, terikat pada konvensi 10i, 6o, 10e, 10i, 6i dan 6u. Bait pertama mempunyai 10 suku kata dan huruf vocal akhir (i), bait kedua terdiri atas 6 suku kata dengan huruf vocal akhir (o), bait ketiga memiliki 10 suku kata dan huruf vocal akhir (e), bait ke-empat mempunyai 10 suku kata dengan vocal akhir (i), bait kelima memiliki jumlah suku kata sebanyak 6 dengan huruf vocal akhir (i), bait terakhir terdiri atas 6 suku kata dengan huruf vocal akhir (u). Bait 12 pupuh 2 ini menampilkan tembang sebagai berikut :

(11)

Kutipan:

Rumiyin wontĕn nagri Sĕmawis Kangjĕng Sang Akatong

sayĕkti kang rama surud mangke Kangjĕng Gusti Pangeran Dipati pantĕs anggĕntosi

dhasar putra sĕpuh.(pupuh 2 bait 12 hal. 17)

Terjemahan:

Dahulu di negara Semawis (Semarang) Kangjeng Sang Akatong

setelah nanti ayahnya meninggal Kanjeng Gusti pangeran Dipati pantas menggantikan ayahnya dengan dasar anak tertua.

Baris pertama bait 12 terdapat asonansi [i], baris kedua terdapat alitrasi [ng], baris ketiga terdapat asonansi [a] dan alitrasi [ng], baris ke-empat terdapat asonansi [i], baris kelima terdapat alitrasi [s], baris ke-enam terdapat asonansi [a].

Kutipan:

Gunging Wĕlandi ciptaning ati Jĕng Gusti rinajong

kang mugi kados ramanta rajeng Kumpĕni myang pra rat pĕni muji witnenipun kaki

General Gurnadur. (pupuh 2 bait 14 hal. 17)

Terjemahan:

Kehebatan Belanda menciptakan hati Jeng Gusti memayungi

yang semoga menjadi ayah raja

Kompeni pergi para jagat bagus berdoa sabar kakek

Jenderal Gurnadur.

Baris pertama mengandung asonansi [i] dan alitrasi [ng], baris kedua mengandung alitrasi [ng] yang memberi bunyi parau, baris

(12)

ketiga mengandung alitrasi [k, r dan ng], baris ke-empat mengnadung asonansi [a dan i], baris kelima mengandung asonansi [i], baris ke-enam mengandung asonansi [a] disertai alitrasi [g].

Kutipan:

Surya biseka rema bĕk sari rikala ri Sĕpton

wusdene yen umarak bĕn sore dene yen umarĕk wanci enjing tan supe tĕtasik

konyoh lan cĕcundhuk. (pupuh 4 bait 14 hal. 24)

Terjemahan:

matahari menyinari rambut yang indah ketika hari Sabtu

apalagi ketika menjelang setiap sore juga ketika menjelang waktu pagi tidak lupa berdandan

lulur dan hiasan kepala

Baris pertama bait ke 14 terdapat asonansi [a], baris kedua terdapat asonansi [i] dan alitrasi [r], baris ketiga terdapat asonansi [e], baris ke-empat terdapat asonansi [e] dan [i], baris kelima terdapat asonansi [a] dan alitrasi [t], baris ke-enam terdapat alitrasi [k].

Kutipan:

Mung kenging seredan sinjang nĕnggih myang buntaring sĕmbong

sayĕktine pan sangking kathahe ywan nuju marĕk pĕpakan sami ingkang wontĕn wingking

ing sakkajĕngipun. (pupuh 4 bait 20 hal. 25)

Terjemahan:

Hanya boleh bertaruh kain yaitu ke ujung kain

sejatinya tidak dari banyaknya jangan menuju ke makanan sesama

(13)

yang terdapat di belakang yang semestinya

Baris pertama bait 20 mengandung alitrasi [ng], baris kedua terdapat alitrasi [ng], baris ketiga terdapat asonansi [e] dan alitrasi [s], baris ke-empat terdapat asonansi [a]. Baris kelima terdapat alitrasi [ng], bari ke-enam terdapat [alitrasi [ng].

Metrum ketiga, yaitu Durma terdapat 1 pupuh yaitu pupuh 6

terdiri 243 bait, terikat pada konvensi 12a, 71, 6a, 7a, 8i, 5a dan 7i. Baris pertama terdiri atas 12 suku kata dengan vocal akhir (a). Baris kedua memiliki jumlah suku kata sebanyak 7 dan huruf vocal akhir (i). Baris ketiga mempunyai 6 suku kata dengan vocal akhir (a). Baris ke-empat memiliki jumlah suku kata 7 dengan huruf vocal akhir (a). Baris kelima berisikan 8 suku kata dengan huruf vocal akhir (i). Baris ke-enam mempunyai suku kata sebanya 5 dan huruf vocal akhir (a). baris terakhir terdiri atas 7 suku kata dengan vocal akhr (i). Berikut salah satu bait tembang Durma dalam Serat Babad Sunan Prabu. Bait pertama pupuh 6 ini menampilkan tembang sebagai berikut :

Kutipan:

Garwa Kandha kang dadya cucuking ngarsa para lurah nambungi

ki gĕndara desa

lawan pun anggĕndara jaladara lawan malih kang mangundara

(14)

Terjemahan:

Garwa Kandha yang menjadi pemimpin di depan para lurah mengikuti

para pemimpin desa juga menjadi pengikutnya mendung dan juga

yang membentuk mendung prajurit dan prajurit.

Baris pertama mengandung asonansi [a] dan alitrasi [ng]. Baris kedua terdapat asonansi [a i], baris ketiga terdapat asonansi [a]. Baris ke-empat terdapat asonansi [a u], baris kelima terdapat asonansi [a] dan alitrasi [l], baris ke-enam terdapat asonansi [a] dan alitrasi [ng], baris ketujuh terdapat asonansi [a i] dan alitrasi [s dan l].

Kutipan:

Atmral Britman sĕmana arsa panggia pan sampun mardana glis

marang gĕdhong gyanya Ki Patih Cakrajaya Atmral angrĕs ingkang ati wus tĕtabeyan

Atmral ĕluhe mijil. (pupuh 6 bait 115 hal. 45)

Terjemahan:

Atmral Baritman begitu ingin bertemu Yang sudah menjemput

Ke tempat tinggalnya Ki Patih Cakrajaya

Atmral miris dalam hatinya Sudah bertemu

Atmral air matanya menetes

Baris pertama terdapat asonansi [a], baris kedua terdapat asonansi [a], baris ketiga terdapat alitrasi [ng], baris ke-empat terdapat asonansi [a], baris kelima tidak terdapat terdapat asonansi dan alitrasi,

(15)

baris ke-enam juga tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris ketujuh terdapat alitrasi [l].

Metrum ke-empat, yakni Sinom terdapat 1 pupuh yaitu pupuh 7

terdiri dari 278 bait, terikat pada konvensi 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 7u, 8u, 7a, 8i dan 12a. Baris pertama 8 suku kata dengan akhiran vokal (a) bait kedua 8 suku kata diakhiri vokal (i) bait ketiga terdiri 8 suku kata diakhiri vokal (a) bait ke-empat terdiri atas 8 suku kata dengan huruf vocal akhir (i). Baris kelima mempunyai 7 suku kata dengan vocal akhir (i). Baris ke-enam jumlah suku katanya 8 dan vocal akhirnya (u). Baris ke-tujuh memiliki 7 suku kata dan vocal akhir (a). Baris kedelapan mempunyai jumlah suku kata sebanyak 8 dengan vocal akhir (i). Baris terkahir terdiri atas 12 suku kata dengan vocal akhir (a). Pupuh sinom memiliki keunikan lain yaitu di setiap baris genap mempunyai suku kata sebanyak 8. Berikut kutipan tembang sinom dalam Serat Babad Sunan Prabu:

Kutipan:

Adipati Mangkupraja kacarita kawan latri saha lawan Tuwan Atmral rĕrĕb aneng Kartasari rĕmbagira sarehning Ki Dipati alon muwus dhumatĕng Tuwan Atmral lah tuwan dawĕg ungsir

sarapane Pangeran kalih punika. (bait 1 pupuh 7 hal. 60)

Terjemahan:

Adipati Mangkupraja diceritakan empat malam

(16)

juga dengan Tuwan Atmral beristirahat di Kartasura perbincangan karena Ki Dipati pelan berujar kepada tuan Amral

lah tuan sudah selesai diusir sarapannya Pangeran dengan ini.

Baris pertama terdapat asonansi [a], baris kedua terdapat asonansi [a i] dan alitrasi [r], baris ketiga terdapat asonansi [a] dan alitrasi [n], baris ke-empat terdapat asonansi [e i], baris kelima terdapat asonansi [i] dan alitrasi [g], baris ke-enam terdapat asonansi [i u], baris ketujuh terdapat asonansi [a], baris kedelapan terdapat asonansi [a i], baris kesembilan terdapat asonansi [a e] dan alitrasi [p].

Kutipan:

Nanging benjing ingkang wayah Panĕmbahan Purbaya di

mĕsthi yen jumĕnĕng nata kĕdhatone Sri Bupati Ngadipala ing benjing sangsara wiwitanipun luhur ingkang wĕkasan langkung sĕsamining aji

Kandhuruhan nulya wau aputusan. (pupuh 7 bait 63 hal. 69) Terjemahan:

Tetapi nanti cucu Panembahan Purbaya pasti jika menjadi raja di Kerajaannya Sri Bupati Ngadipala jika nanti menderita awalannya luhur pada akhirnya

kurang lebih sama seperti raja Kandhuruhan tadi yang disampaikan

Baris pertama terdapat alitrasi [ng], baris kedua terdapat asonanso [a] dan alitrasi [p], baris ketiga terdapat asonansi [e], baris

(17)

ke-empat tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris kelima terdapat alitrasi [ng], baris ke-enam terdapat asonansi [a dan i], baris kutujuh tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris kedelapan juga tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris kesembilan terdapat asonansi [u].

Lapis bunyi yang terdapat dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu mengandung asonansi [a, i dan u] terdapat juga alitrasi [g, l, n, r, s, dan ng], namun yang dominan dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu asonansi [a] yang digunakan untuk memperindah bahasa dan memberikan estetika dalam tembang.

2.1.2. Lapis Arti

Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, frase dan kalimat. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab dan totalitas puisi.. Berikut ini lapis arti dalam Serat Babad Sunan Prabu:

Kutipan:

Sĕnadyan tĕmbe wibawa mukti mangsa padha tinunggu wong tuwa ywan tan arjana wĕkase

sĕmantĕn kang

Sinuhun surudira densĕngkalani Tri Papat Rasa Tunggal

bawaning prajagung

ruharaning tyas wong susah

pahosing krĕraton gangsal wĕlas warsi antawis laminira. (bait 8 pupuh 1 hal. 16)

Terjemahan:

Walaupun baru merasakan kekuasaan pada waktu ditunggu orang tua jika tidak jangka terakhir segini yang

Sinuhun meninggal diberi sengkalan tiga empat rasa (6) satu

(18)

pengembira hati orang yang kesusahan lamanya keraton lima belas tahun sekitar itu lamanya

Bait tersebut menunjukan arti sengkalan meninggalnya Sinuhun (Pakubawana I) sengkalan tersebut berbunyi Tri Papat Rasa Tunggal yang mempunyai arti tri = 3, papat = 4, rasa = 6, dan tunggal = 1, dalam pembacaan sengkalan 1643. Bait ini menunjukan arti peristiwa penting karena adanya sengkalan, karena dalam masyarakat Jawa sengkalan ditujukan untuk memperingati atau menandai peristiwa penting, dalam bait ini yaitu bertujuan untuk menandai tahun meninggalnya Sinuhun Paku Buwana I yaitu 1643 tahun Jawa yang merupakan peristiwa penting bagi Kerajaan Kartasura.

Kutipan:

Senapati Ngalaga di Murti

Ratu Bagus tus trahing kusuma sĕmana ing sĕngkalane taun Jimakiripun

angkanira punika ngarsi 1642 pĕksa pat ngoyak jagat sayid lan pangulu

ngula-(h. 13) ma angestrenana

tur sandika saur kukila prasami tandya Kapiting Jaswa.

(pupuh III bait 9 hal. 20)

Terjemahan:

Pemimpin prajurit berperang pada diri

Raja tampan asli keturunan luhur begitu disengkalannya Tahun Jimakir

angkanya itu di depan

1642 burung empat mengejar dunia utusan dan imam

ulama memberi restu

(19)

Bait ini juga menunjukan arti peristiwa penting di Kerajaan Kartasura yaitu Pangeran Dipati diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya Sinuhun Paku Buwana I yang diberi sengkalan pĕksa pat

ngoyak jagat, pĕksa = 2, pat = 4, ngoyak = 6, jagat = 1, dibaca secara

konvensi pembacaan sengkalan yaitu 1642 tahun Jawa. Kutipan:

Sĕmantĕn Pangeran Adipati Purbaya Adipati Balitar pinundhut upacarane duk panjĕnĕnganipun ingkang rama putra kĕkalih kĕndhangannya gotongan pĕngawinanipun

gangsal ingkang munggeng ngarsa

wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji upacara kaputran.(pupuh V bait 6 hal 27)

Terjemahan:

Begitu Pangeran Adipati Purbaya Adipati Blitar diambil upacaranya ketika mereka

yang ayahnya dua anak itu petinya digotong

pengiringnya

lima yang berada di depan

sudah diambil dipakai untuk menjadi raja upacara kaputran.

Kata upacara dalam bait ini mempunyai arti barang-barang pribadi milik pangeran, arti dari bait ini yaitu barang-barang pribadi milik Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar di ambil untuk kepentingan naik tahta Pangeran Dipati memimpin Kerajaan Kartasura.

(20)

Kutipan:

(42) Surud dalĕm Kangjĕng Sri Bupati

Sĕptu Wage tanggal ping pitulas nuju Ruwah ing sasine

wukune Julung Arum ing sĕngkalanipun

Sirna Tata Rasa Tunggal 1650 layon dalĕm wus rawuh ing Imagiri

sumare ing Jimatan. (bait 42 pupuh 8 hal 108)

Terjemahan:

Kematian dalam Kanjeng Sri Bupati Sabtu Wag tanggal tujuh belas bertepatan dengan bulan ruwah wukunya JulungWangi

sengkalannya (angka tahun dalam kata-kata) hilang aturan rasa satu 1650

jasad Raja sudah sampai di Imogiri dimakamkan di Jimatan

Bait 42 pupuh 8 ini mengandung arti yang pertama pada baris kedua yang berbunyi Sĕptu Wage tanggal ping pitulas yang memiliki arti hari sabtu wage tanggal tujuh belas, selanjutnya baris ketiga berbunyi nuju Ruwah ing sasine yang berarti bulan Ruwah, baris ke-empat berbunyi wukune Julung Arum yang memiliki arti tahun Jimakir, dan di baris ke-enam terdapat kata yang berbunyi Sirna Tata

Rasa Tunggal, Sirna = 0, Tata = 5, Rasa = 6, Tunggal = 1, yang

dibaca 1650 tahun Jawa. Bait ini memiliki arti di kerajaan Kartasura terdapat peristiwa penting yaitu meninggalnya Prabu Amangkurat pada hari sabtu wage tanggal 17 bulan Ruwah tahun Jimakir dengan sengkalan 1650 tahun jawa dan dimakamkan di Imogiri.

Kutipan:

Putranira Kangjĕng Pangran Balitar radyan putra ing mangkin

(21)

tan arsa kantuna ing nagri Kartasura

kĕdah tumut mring Matawis trĕsna ing Paman

mangkya sinung wĕwangi. (pupuh 6 bait 45 hal. 37)

Terjemahan:

Putranya Kangjeng Pangeran Blitar anak laki-laki yang nanti

tidak ingin tertinggal di negara Kartasura harus ikut ke Mataram cinta kepada Paman jadi diberi pewangian.

Bait di atas terdapat kata Metawis, kata Metawis memiliki arti Mataram. Kata Metawis digunakan untuk mengganti kata Mataram karena untuk memperindah kata atau estetika dalam tembang, selain untuk estetika tembang kata Metawis juga digunakan untuk memenuhi konvensi tembang.

Kutipan:

Sultan Panĕmbahan sĕmantĕn utusan dhatĕng ing Sokawati

kang raka ngaturan Pangeran Herucakra mring nĕgara Kartasari suwawi rĕmbug

amamong ingkang rayi.(pupuh 6 bait 125 hal. 46)

Terjemahan:

Sultan Panembahan begini utusannya ke Sokawati (Sragen)

yang kakak mengundang Pangeran Herucakra

di negara Kartasari (Kartasura) menjawab diskusi

(22)

Bait 125 pupuh 6 terdapat kata Sokawati dan Kartasari, kata Sokawati memiliki arti Sragen, Sokawati merupakan nama lain dari Sragen. Sokawati dipilih untuk menggantikan kata Sragen karena untuk meperindah dan memberi estetika dalam tembang dan juga digunakan untuk memenuhi konvensi tembang. Kata Kartasari dalam bait ini memiliki arti Kartasura, Kartasari dipilih untuk menggantikan kata Kartasura juga untuk alasan memberikan estetika dan untuk memenuhi konvensi tembang Durma bait 125 halaman 46.

Kutipan:

Animbali Kyai Patih Cakrajaya miwah wadya Kumpĕni

sira Tuwan Atmral caraka sampun prapta ing nĕgari Surawesthi nĕdhakkĕn surat

(h. 59: kosong) (h. 60) dhatĕng Rĕkyana Patih.(bait 70 pupuh 6

hal. 40) Terjemahan:

Memanggil Kyai Patih Cakrajaya juga prajurit Kompeni

juga Tuwan Atmral utusan sudah bertemu

di negara Surawesthi (Semarang) memberikan surat

kepada Rekyana Patih.

Bait 70 pupuh enam tembang Durma di atas terdapat kata Surawesthi yang memiliki arti Surabaya, kata Surawesthi dipilih untuk menggantikan kata Surabaya yaitu bertujuan untuk memberikan keindahan atau estetika tembang dan juga untuk memenuhi konvensi

(23)

Kutipan:

Rumiyin wontĕn nagri Sĕmawis Kanjĕng Sang Akatong

sayĕkti kang rama surud mangke Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati pantĕs anggĕntosi

dhasar putra sĕpuh.” (Pupuh II bait 12 hal. 17)

Terjemahan:

Dahulu di negara Semawis (Semarang) Kanjeng Sang Akatong

setelah nanti ayahnya meninggal Kanjeng Gusti pangeran Dipati pantas menggantikan ayahnya dengan dasar anak tertua.

Bait 12 pupuh 2 terdapat kata Semawis yang memiliki arti Semarang, dalam bait ini kata Semarang diganti dengan Kata Semawis yang bertujuan untuk memeperindah bahasa yang memberikan estetika dalam tembang Mijil ini. Kata Semawis juga dipilih untuk menggantikan kata Semarang dengan alasan untuk memenuhi konvensi tembang Mijil baris pertama pada bait 12 yang memiliki aturan konvensi tembang 10i.

2.1.3. Lapis Objek

Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Pelaku atau tokoh, latar waktu, latar tempat. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur cerita (alur). Lapis objek dalam Serat Babad Sunan Prabu seperti berikut.

(24)

2.1.3.1. Tokoh

Pelaku atau tokoh utama dalam naskah ini yaitu Pangeran Dipati/Prabu Amangkurat, Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, Atmral Baritman, Garwa Kandha, Pangeran Harya Matawis/Pangeran Harya Mataram, Pangeran Pancawati, Kangjeng Ratu Ageng/Ibu Prabu Amangkurat, Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar, Pangeran Herucakra, KI Dipati Lumarap, Tumenggung Wira Negara, Ngabehi Tohjaya, Kyai Patih Cakrajaya, Ragum, dapat dilihatl pada kutipan-kutipan berikut:

Kutipan:

(12) Rumiyin wontĕn nagri sĕmawis

Kanjĕng Sang Akatong

sayĕkti kang rama surud mangke Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati pantĕs anggĕntosi

dhasar putra sĕpuh.” (Pupuh 2 bait 12 hal. 17)

Terjemahan:

dulu di negara semarang Kanjeng Sang Akatong

setelah nanti ayahnya meninggal Kanjeng Gusti pangeran Dipati pantas menggantikan ayahnya dengan dasar anak tertua.

Bait 12 pupuh II di atas dapat ditemukan nama tokoh yang merupakan salah satu dari lapis objek yaitu Kangjeng Gusti Pangeran Dipati atau Prabu Amangkurat.

(25)

Kutipan:

Sĕmantĕn Pangeran Adipati Purbaya Adipati Balitar pinundhut upacarane duk panjĕnĕnganipun ingkang rama putra kĕkalih kĕndhangannya gotongan pĕngawinanipun

gangsal ingkang munggeng ngarsa

wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji upacara kaputran.” (pupuh V bait 6 hal 27)

Terjemahan:

Begitu Pangeran Adipati Purbaya Adipati Blitar diambil upacaranya ketika mereka

yang ayahnya dua anak itu petinya digotong

pengiringnya

lima yang berada di depan

sudah diambil dipakai untuk menjadi raja upacara kaputran.

Bait di atas dapat ditemukan nama tokoh yaitu Pangeran Adipati Purbaya dan Pangeran Adipati Blitar

Kutipan:

Atmral Britman umiyat kĕlangkung suka anulya tinut wuri

myang sagung dipatya umiringi marang Atmral prapteng ngarsaning surambi Atmral umiyat

mring Pangeran Pancawati. (pupuh VI bait 98 hal. 43)

Terjemahan:

Atmral Britman dengan cekatan lebih bahagia segera mengikuti dibelakang

kepada semua adipati mengiringi kepada Amral tiba di depan serambi

(26)

Amral dengan cekatan menuju kepada Pangeran Pancawati

Kutipan di atas dapat ditemukan nama tokoh yaitu Atmral Britman yang merupakan pemimpin dari pasukan Kompeni. Kutipan:

Garwa Kandha kang dadya cucuking ngarsa para lurah nambungi

ki gĕndara desa

lawan pun anggĕndara jaladara lawan malih kang mangundara

subala lan subali. (bait 1 pupuh 6 hal. 32)

Terjemahan:

Garwa Kandha yang menjadi pemimpin di depan para lurah mengikuti

para pemimpin desa juga menjadi pengikutnya mendung dan juga

yang membentuk mendung prajurit dan prajurit.

Kutipan di atas menunjukan nama tokoh yaitu Garwa Kandha.

Kutipan:

Sinumbaga abra sinang pasisir kang cĕlak sami wus dhatĕng aneng Sĕmarang kang bang wetan dereng prapti Pangran Harya Matawis nĕnggih kang dadi pakewuh sampun rawuh Santĕnan nĕdya jumĕnĕng pribadi

Sunan Kuning wau ing jĕjalukira. (pupuh VII bait 40 hal.

(27)

Terjemahan:

Tersinari cahaya merah bersinar pesisir yang terdekat semua sudah datang di Semarang yang daerah timur belum datang Pangeran Harya Mataram yang menjadi sungkan

sudah datang Santenan (Pathi) segera duduk disinggasana Sunan kuning itu namanya.

Kutipan di atas menunjukkan nama tokoh yaitu Pangeran Harya Matawis/Pangeran Harya Mataram.

Kutipan:

Mĕdal sangking pakuwon Kumpĕni prapta Pangeran Pancawati

binendrong sĕnjata wonge saya keh pĕjah

mangsah nĕdya ngamuk wani

nanging kasĕsa, ing gurnat gutuk api. (pupuh 6 bait 96 hal.

43)

Terjemahan:

Keluar dari markas Kompeni bertemu Pangeran Pancawati

ditembak senjata

orang semakin banyak yang mati maju perang niyat mengamuk berani tetapi terburu

di dom.

Kutipan di atas menunjukan nama toko yaitu Pangeran Pancawati.

(28)

Kutipan:

Malbeng pura malih sing kidul kewala nulya mundur tumuli

sawadya lon-lonan sĕmantĕn pan meh ĕbyar Kangjĕng Ratu Agĕng nĕnggih dupi miyarsa

amuwun kuntrang-kantring. (pupuh 6 bait 17 hal. 34)

Terjemahan:

Masuk ke dalam Pura yang letaknya di sebelah selatan sering mundur kemudian

berjalan bergandengan

hanya beberapa yang akan bubar Kangjeng Ratu Ageng melihat semua itu

kemudian menangis tersedu-sedu.

Kutipan di atas menunjukan nama toko yaitu Kangjeng Ratu Ageng ibu dari Prabu Amangkurat, Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar.

Kutipan:

Sultan Panĕmbahan sĕmantĕn utusan dhatĕng ing Sokawati

kang raka ngaturan Pangeran Herucakra mring nĕgara Kartasari suwawi rĕmbug

amamong ingkang rayi.(pupuh 6 bait 125 hal. 46)

Terjemahan:

Sultan Panembahan seperti itu memerintah ke Sokawati (Sragen)

yang kakak diundang Pangeran Herucakra

di negara Kartasari (Kartasura) menjawab diskusi

(29)

Kutipan di atas menunjukan nama tokoh yaitu Panembahan Herucakra.

Kutipan:

Ki Dipati Lumarap sampun sumĕkta wadya kang sampun dhimin

rame kang sĕnjata sira Tumĕnggung Wira Nĕgara sawadya aglis sangking ing kanan

ramya campuh kang jurit. (pupuh 6 bait 174 hal. 52)

Terjemahan:

Ki Dipati Lumarap sudah selesai Prajurit yang sudah dahulu Ramai dengan senjata Dia Tumenggung Wira

Negara berprajurit cepat

Dari sisi kanan

Ramai berpapasan yang perang

Kutipan di atas menunjukkan nama tokoh yaitu Ki Dipati Lumarap dan Tumenggung Wira Negara.

Kutipan:

Sira Ngabehi Tohjaya anglancangi marang ngarsa angiringi sarowangira barise manca nĕgari

ingkang tinĕmpuh wingwrin sumyur pan padha lumayu angungsi wurinira

Panĕmbahan Purbaya glis

pan ingungsir dening bala Lamongan. (pupuh VII bait 154

hal. 82) Terjemahan:

Dia Ngabehi Tohjaya bertindak lancang di depan mengiringi balaku

barisnya mancanegara yang dilewati miris/takut

(30)

hancur yang pada berlari mengungsi ke belakangnya Panembahan Purbaya segera Yang diusir oleh bala Lamongan.

Kutipan di atas menunjukkan nama tokoh yaitu Ngabehi Tohjaya.

Kutipan:

Animbali Kyai Patih Cakrajaya miwah wadya Kumpĕni

sira Tuwan Atmral caraka sampun prapta ing nĕgari Surawesthi nĕdhakkĕn surat

(h. 59: kosong) (h. 60) dhatĕng Rĕkyana Patih.(bait 70

pupuh 6 hal. 40) Terjemahan:

Memanggil Kyai Patih Cakrajaya juga prajurit Kompeni

juga Tuwan Atmral utusan sudah bertemu

di negara Surawesthi (Semarang) memberikan surat

kepada Rekyana Patih.

Kutipan di atas menunjukkan tokoh yaitu Kyai Patih Cakrajaya.

Kutipan:

Garwa Kandha anake aneng kunjara inggal dennya marani

kunjara binubrah sira Ragum wus mĕdal Ki Garwa Kandha manangis dhuh anak ingwang

(31)

Terjemahan:

Garwa Kandha anaknya berada di penjara cepat dirinya datang ke

penjara dirusak

dia ragum sudah keluar Ki Garwa Kandha menangis dhuh anakku

tidak menyangka kalau hidup

Kutipan di atas menunjukkan nama toko yaitu Ragum yang merupakan anak dari Garwa Kandha.

Kutipan:

Wus mangkana tan antawis lami wau ta ing kono

Kapitan Jaswa wus tur uningeng srat dalĕm kuntrak pĕngangkat prapti sangking ing Bĕtawi

palkat surat agung. (pupuh 2 bait 10 hal. 17)

Terjemahan:

Sudah begitu tidak begitu lama tadi di situ

Kapitan Jaswa sudah juga tahu

surat rumah kontrak pengangkat datang dari betawi

palkat surat besar

kutipan di atas menunjukkan nama toko yaitu Kapitan Jaswa/Kapten Jaswa.

2.1.3.2. Latar Tempat

Latar tempat dalam Serat Babad Sunan Prabu ditunjukan dalam kutipan-kutipan berikut:

Kutipan:

Tumĕnggung Wiranĕgara lan Arya Danupayadi barise sampun mangetan

(32)

sampun kinĕpung baris rusak tĕpisniringipun di dalĕm Kartasura susah prihatining ati

kan Sinuhun sakĕlangkung dening sungkawa. (pupuh VII

bait 21 hal. 62) Terjemahan:

Tumenggung Wiranegara dan Arya Danupadiya

barisnya sudah mengarah ke timur di Negara Kartasura

sudah dikepung barisan rusak besi batas

di dalam kerajaan Kartasura susah prihatin di hati

sang Sinuhun lebih-lebih berdukanya

Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Negara Kartasura atau Kerajaan Kartasura.

Kutipan:

Samya angalĕm ing nala sĕmantĕn antawis lami bitingira Panĕmbahan kinĕpung dhatĕng Kumpĕni antawis wolung sasi

mangkana ngriku winuwus ika Jĕng Panĕmbahan arsa kondur mring Matawis

ingkang putra kinen tĕngga pabitingan. (pupuh VII bait 79

hal. 71) Terjemahan:

Semua bersamaan memuji di hati begitu sekiranya agak lama betengnya Panembahan dikepung oleh Kumpeni sekitar delapan bulan begitu disana diceritakan itu Kanjeng Panembahan akan pulang ke Mataram

(33)

Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Metawis atau Mataram.

Kutipan:

Sinumbaga abra sinang pasisir kang cĕlak sami wus dhatĕng aneng Sĕmarang kang bang wetan dereng prapti Pangran Harya Matawis nĕnggih kang dadi pakewuh sampun rawuh Santĕnan nĕdya jumĕnĕng pribadi

Sunan Kuning wau ing jĕjalukira. (pupuh VII bait 40 hal.

65)

Terjemahan:

Tersinari cahaya merah bersinar pesisir yang terdekat semua sudah datang di Semarang yang daerah timur belum datang Pangeran Harya Mataram yang menjadi sungkan

sudah datang Santenan (Pathi) segera duduk disinggasana Sunan kuning itu namanya.

Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Semarang Kutipan:

Wondene putra-putranya angĕlar jajahan sami Rahadyan Surya Taruna lan Rahaden Singasari Dyan Jayapuspita di miwah ingkang para mantu gitik mancanĕgara

ing Jipang Kudus wus sami

lan ing Dĕmak kang tumut ing Kartasura. (pupuh VII bait 41 hal. 65)

Terjemahan:

Sedangkan anak-anaknya yang meggelar jajahan

(34)

Raden Surya Taruna dan Raden Singasari raden jayasupita juga para menantu

tongkat keci diluar negara di Jipang Kudus sudah bersama dan di Demak yang ikut di Kartasura.

Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Jipang, Kudus dan Demak.

Kutipan:

Panĕmbahan ingaturan dhatĕng Raden Surapati anjog nĕgari ing Malang Kĕdhiri wus denanciki dhatĕng bala Kumpĕni pan akarya biting sampun Atmral mring Surabaya mĕdal ing Japan nĕgari

sami nungkul punggawa mancanĕgara. (pupuh VII bait 168

hal. 84) Terjemahan:

Panembahan diundang oleh Raden Surapati ke Negara di Malang Kediri sudah dikuasai oleh bala kumpeni

juga sudah bekerja membuat beteng Amral menuju Surabaya

keluar di Negara Japan

bersama-sama menundukan kepala punggawa mancanegara Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Malang dan Surabaya

Kutipan:

Saha Kumpĕni sumahab Kapopongan dennya jurit Jĕng Sultan karoban lawan inggal mundur dipunungsir dening wadya Kumpĕni

(35)

Sultan minggah marang gunung antang anjog ing Malang kang bujung wus wangsul sami

mring Kĕdhiri lajĕng samya pamondhokan. (pupuh VII bait

171 hal. 82) Terjemahan:

Kumpeni juga berkelompok banyak Kapopongan berperangnya

Kanjeng Sultan kebanjiran lawan segera mundur diusir

oleh bala tentara Kumpeni Sultan naik ke gunung antang sampai ke Malang yang keburu sudah pulang ke Kediri lalu segera beristirahat.

Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Kediri Kutipan:

Sampun mangkat saha bala Pangeran Hamangkubumi neng Kĕlathen barisira sigra wong Mataram prapti rame dennya ajurit

gĕnti ilih arug

langkung sudiraning prang Pangeran Hamangkubumi

wong Mataram akathah longe kang pĕjah. (pupuh VII bait

23 hal. 63) Terjemahan:

Sudah berangkat dengan pasukan Pangeran Hamangkubumi

di Klaten pasukannya

segera orang Mataram datang ramai olehnya berperang berganti-ganti lawannya apalagi darah peperangan Pangeran Hamangkubumi

orang Mataram banyak yang mati.

(36)

Kutipan:

Ngĕlih nama Pangran Harya mangkin Mangkunĕgara ing Kartasura

kocap malih lah ing kono ingkang lumakyeng nglaut sampun prapta nagri Bĕtawi Panĕmbahan Purbaya lan sarowangipun Panĕmbahan Herucakra

pan binucal dhatĕng pulo Kap anunggil.

(h. 181) rakanya sĕpuh pyambak. (pupuh VIII bait 4 hal. 102)

Terjemahan:

Berganti nama Pangeran Harya nanti Mangkunegara di Kartasura

diceritakan berubahlah di sana yang berjalan di laut

sudah sampai Negara Betawi Panembahan Purbaya

dan kawan-kawannya Pangeran Harucakra

akan dibuang ke pulau Kap bersatu kakaknya tertua sendiri.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu Negara Betawi/Jakarta

Kutipan:

Gumrĕ tangis wong srajoning puri para bĕndara miwah parĕkan tan adangu lah ing kono dan siniraman sampun Ki Pangulu wus dentimbali sayid myang kancanira lan suranata wus layon dalĕm tinabĕla

tuwin Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati

(37)

Terjemahan:

Suara tangis orang-orang dari dalam keraton semua keluarga dan kerabat menangis disitu tidak lama lah disitu

dan setelah pemandian selesai ustad sudah dipanggil

sayid ke temannya dan abdi dalem sudah

jenazah dimaksukkan kedalam peti dan Kanjeng Gusti Pangeran Dipati menunggui jenazah sang ayah.

Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu di dalam Puri/Kerajaan.

Kutipan:

Sinumbaga abra sinang pasisir kang cĕlak sami wus dhatĕng aneng Sĕmarang kang bang wetan dereng prapti Pangran Harya Matawis nĕnggih kang dadi pakewuh sampun rawuh Santĕnan nĕdya jumĕnĕng pribadi

Sunan Kuning wau ing jĕjalukira. (pupuh VII bait 40 hal.

65) Terjemahan:

Tersinari cahaya merah bersinar pesisir yang terdekat semua sudah datang di Semarang yang daerah timur belum datang Pangeran Harya Mataram yang menjadi sungkan

sudah datang Santenan (Pathi) segera duduk disinggasana Sunan kuning itu namanya.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu di pesisir.

Kutipan:

Kangjĕng Sultan Balitar wus aparentah siyagaa ngajurit

(38)

wus samya sumĕkta sakĕpraboning yuda ing alun-alun abaris sanggyeng punggawa

asaos pancaniti. (pupuh 6 bait 200 hal. 55)

Terjemahan:

Kangjeng Sultan Balitar sudah memeribtah bersiagalah perang

sudah semua siap beserta kerajaan perang di alun-alun berbaris

semua punggawa (pemimpin) menjaga singgah sanah

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu alun-alun.

Kutipan:

Garwa Kandha anake aneng kunjara inggal dennya marani

kunjara binubrah sira Ragum wus mĕdal Ki Garwa Kandha manangis dhuh anak ingwang

tan nyana lamun urip. (pupuh 6 bait 8 hal. 33)

Terjemahan:

Garwa Kandha anaknya ada di penjara cepat dirinya datang ke

penjara dirusak

dia ragum sudah keluar Ki Garwa Kandha menangis dhuh anakku

tidak menyangka kalau hidup

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu penjara.

Kutipan:

Samangkana Kangjĕng Ratu lajĕng minggah dhumatĕng Gunung Kunthi

Pangeran Balitar prapta ing Purubaya ngidul sawadyanira glis

(39)

kang ibu mirsa

ngawe nguwuh anjĕlih. (pupuh 6 bait 19 hal. 34)

Terjemahan:

Begitulah Kangjeng Ratu kemudian naik menuju Gunung Kunthi

Pangeran Balitar

bertemu dengan Purubaya

menuju ke selatan dengan tergesa-gesa bersama teman-temannya

Sang Ibu mengetahui

melambaikan tangan berseru memanggil.

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu Gunung Kunthi.

2.1.3.3. Latar Suasana

Latar suasana dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu tercermin dalam kutipan berikut:

Kutipan:

Gumrĕ tangis wong srajoning puri para bĕndara miwah parĕkan tan adangu lah ing kono dan siniraman sampun Ki Pangulu wus dentimbali sayid myang kancanira lan suranata wus layon dalĕm tinabĕla

tuwin Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati

ngrĕngga layoning rama.(pupuh I, bait 2 hal. 15)

Terjemahan:

Suara tangis orang-orang dari dalam keraton semua keluarga dan kerabat menangis disitu tidak lama lah disitu

dan setelah pemandian selesai ustad sudah dipanggil

sayid ke temannya dan abdi dalem sudah

(40)

jenazah dimaksukkan kedalam peti dan Kanjeng Gusti Pangeran Dipati menunggui jenazah sang ayah.

Kutipan di atas dapat dilihat latar suasana yaitu suasana haru dan sedih di dalam keraton, karena Paku Buwana I telah meninggal dunia, semua orang dalam keraton menangisi kepergian Paku Buwana I.

Kutipan:

Mĕdal sangking pakuwon Kumpĕni prapta Pangeran Pancawati

binendrong sĕnjata wonge saya keh pĕjah

mangsah nĕdya ngamuk wani

nanging kasĕsa, ing gurnat gutuk api. (pupuh 6 bait 96 hal.

43)

Ginarujug ing mimis drĕse lir udan Pangeran Pancawati

wus anandhang brana baunira kang kiwa

mundur mring sakidul kali wus denrĕrompa

binĕkta mring surambi. (pupuh 6 bait 96 hal. 43)

Terjemahan:

Keluar dari markas Kompeni bertemu Pangeran Pancawati

ditembak senjata

orang semakin banyak yang mati maju perang niyat mengamuk berani tetapi terburu

di dom.

Dirtumpahi di peluru derasnya seperti hujan Pangeran Pancawati

sudah mendapatkan luka lengannya yang kiri mundur ke selatan sungai sudah dibopong

(41)

Kutipan di atas dapat dilihat suasana kisruh peperangan, yaitu pasukan Pangeran Pancawati telah dihujani peluru dan meriam oleh Kompeni. Pangeran Pancawati juga mendapatkan luka di lengan kirinya karena terkena tembakan.

2.1.3.4. Latar Waktu

Kutipan:

Enjing budhal tan winarna lampahira prapteng nagri Matawis

saha wadyanira pan ing Kartawinata kang arsa den kĕdhatoni ngalihkĕn aran

kutha ing Kartasari. (pupuh 6 bait 35 hal. 35)

Terjemahan:

Pagi pergi tidak disampaikan tujuan perjalanan sampai di negara Metawis (Mataram)

dengan prajuritnya sudah di Kartasura yang ingin di kuasai menyingkirkan nama

kota di Kartasari (Kartasura).

Kutipan di atas terdapat latar waktu yaitu menunjukkan latar waktu pagi hari.

Kutipan:

Sinumbaga abra sinang pasisir kang cĕlak sami wus dhatĕng aneng Sĕmarang kang bang wetan dereng prapti Pangran Harya Matawis nĕnggih kang dadi pakewuh sampun rawuh Santĕnan nĕdya jumĕnĕng pribadi

(42)

Sunan Kuning wau ing jĕjalukira. (pupuh VII bait 40 hal.

65)

Terjemahan:

Tersinari cahaya merah bersinar pesisir yang terdekat semua sudah datang di Semarang yang daerah timur belum datang Pangeran Harya Mataram yang menjadi sungkan

sudah datang Santenan (pathi) segera duduk disinggasana Sunan kuning itu namanya.

Kutipan di atas menunjukan latar waktu sore hari, kata abra

sinang ( cahaya merah bersinar) identik dengan warna pada

waktu sore hari yaitu saat matahari akan tenggelam maka sinarnya berwarna merah kekuning-kuningan.

Kutipan:

Kang akĕmit baris ing jro pĕlataran ngatyati smu kuwatir

samya kibir ing tyas sagung wong Kablitaran narka bĕdhah ing jro puri dalu punika

akeh kawijil ing ngling. (pupuh 6 bait 6 hal. 32)

Terjemahan:

Yang berjaga baris di dalam pekarangan berhati-hati sedikit kuwatir

pada berharap di hati semua orang Kablitaran

mengira masuk ke dalam kerajaan malam itu

Banyak keluar yang berbicara

Kutipan di atas menunjukan latar waktu yaitu malam, diceritakan kondisi orang di kablitaran pada malam hari.

(43)

2.1.3.5. Dunia Pengarang

Dunia pengarang merupakan cerita yang diungkap oleh pengarang. Dunia pengarang dapat tercermin dalam berbagai aspek di intensitas penghayatan pembaca seperti tema, amanat, karakter, alur, bahasa, ironi, kekompleksan cerita, tokoh, keterlibatan emosi pembaca, dan imajiasi. Dunia pengarang yang diambil dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu tema. Tema dalam karya sastra ini dapat diambil dari kesimpulan setelah membaca isi karya sastra yaitu bertemakan tentang peristiwa yang terjadi pada masa kepemimpinan Amangkurat IV, penulis/pengarang adalah orang yang tahu semua tentang masa kepemimpinan Amangkurat IV.

2.1.4. Lapis Dunia

Lapis dunia yang tidak usah dinyatakan atau dikemukakan, tetapi sudah implisit dalam cerita ataupun karya sastra yang disampaikan. Serat Babad Sunan Prabu berisi gambaran umum peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Prabu Amangkurat IV. Teks diawali dengan peristiwa wafatnya Paku Buwana I dan dilanjutkan dengan pengangkatan Pangeran Dipati yang selanjutnya bergelar Prabu Amangkurat Senapati Ngalaga di Murti menggantikan Paku Buwana I. Teks dilanjutkan dengan masa bertahtanya Prabu Amangkurat IV, yaitu cara untuk mempertahankan kepemimpinannya salah satunya dengan mencabut sejumlah benda kehormatan milik

(44)

kedua adiknya yaitu Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar sehingga menimbulkan perlawanan dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Kutipan:

Sĕmantĕn Pangeran Adipati Purbaya Adipati Balitar pinundhut upacarane duk panjĕnĕnganipun ingkang rama putra kĕkalih kĕndhagannya gotongan pĕngawinanipun

gangsal ingkang munggeng ngarsa

wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji upacara kaputran.(pupuh V bait 6 hal 27) Mung upacara sĕntana mĕksih

ingkang rayi kalih tan lĕnggana nanging anjarĕm galihe

myang gĕgadhuhanipun Jagasura wus denpundhuti wusdene ing Balora gih sampun pinundhut mila saya sangĕt susah

Bĕndara Pangran Balitar ngulig abdi paleler bojasmara.

(pupuh V bait 7 hal. 27)

Garwa Kandha kang ngadon-adoni angaturi angrĕbata pura

nungswa Jawa padha duwe punapa kaotipun

tuwin wĕling dalĕm kang swargi ing nĕgara sajawa

singa ingkang mĕngku putra kĕkalih punika

salĕrĕse dhuh gusti tumuta mukti

kĕsangĕtĕn rakanta. (pupuh V bait 9 hal. 28)

(h. 37) Garwa Kandha marmanya sru mamrih

ing mangke kinunjara pun Ragum ika arane Gĕdhong Tĕngĕn genipun dosanira asaba puri kados yen Garwa Kandha sangĕt aturipun

sĕmantĕn Pangeran Balitar anuruti abdine pinĕpak nuli

(45)

siyaga ing ngayuda. (pupuh V bait 28 hal. 31)

Terjemahan:

Begitu Pangeran Adipati Purbaya Adipati Blitar

diambil upacaranya (benda kehormatan pangeran) ketika mereka

yang ayahnya dua anak itu petinya digotong

pengiringnya

lima yang berada di depan

sudah diambil dipakai untuk menjadi raja upacara kaputran.

Hanya upacara keluarga kerajaan masih yang adik keduanya tidak menerima tetapi berbekas dihati

kepada kekacauannya Jagasura sudah diambil beserta yang di Balora juga sudah diambil

maka semakin sangat susah

Bendara Pangran Blitar mengelus abdi Memberikan makanan.

Garwa Kandha yang memanas-manasi memberitahu disekeliling pura

manusia jawa semua memiliki apa berlebih

juga wasiat Raja yang telah meninggal di Negara seluruh Jawa

singa yang memimpin kedua putra itu

sebenarnya dhuh Gusti ikutlah mukti kebangetan kakakmu.

Garwa Kandha rasa keras menghasut saat ini dipenjara

Ragum itu namanya Gedung Kanan tempatnya dosanya keluar puri

seperti yang Garwa Kandha sangat kata-katanya

begitu Pangeran Blitar

menuriti abdinya yang dipilih sebelumnya siap dalam peperangan.

(46)

Selanjutnya dikisahkan juga intrik-intrik dan perlawanan yang dilakukan oleh Kompeni di bawah komando Tuan Atmral Baritman yang memihak kepada Prabu Amangkurat IV. Kerjasama Prabu Amangkurat IV dengan Kompeni untuk melawan kedua pangeran berhasil, yaitu mereka telah berhasil mengasingkan Pangeran Purbaya ke Pulau Kap, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Kutipan:

Pasliyun saking nagri Bĕtawi ngaturi Panĕmbahan Purbaya sĕngadi General mangke ingkang arsa tĕtĕmu

lan Nĕmbahan Purbaya tuwin gandhek dalĕm sĕmana praptane (h. 180) anuju amundhut Pangeran Harya

lah ing ngriku gandhek Pasliyun nyarĕngi

angkate kur-ungkuran. (pupuh VIII bait 1 hal. 102) Sampun layar sangking ing Sĕmawis

Panĕmbahan lan sarowangira parestri lara tangise

asangĕt ing gĕgĕtun tamtunipun kĕna ing sandi ngomadaka Wĕlanda

maleca ing wuwus, sĕdyarasa sami ngamuka pan wus kasep gĕgamane wus denpeki

yata gantya winarna. (pupuh VIII bait 2 hal. 102) Ngĕlih nama Pangran Harya mangkin

Mangkunĕgara ing Kartasura kocap malih lah ing kono ingkang lumakyeng nglaut sampun prapta nagri Bĕtawi Panĕmbahan Purbaya lan sarowangipun Panĕmbahan Herucakra

pan binucal dhatĕng pulo Kap anunggil.

(h. 181) rakanya sĕpuh pyambak. (pupuh VIII bait 4 hal. 102)

Pangran Bei tinarka marahi dene Adipati Natapura tanapi Surapatine

(47)

myang Suradilaga wus

miwah Jaka Tangkĕban tuwin sampun samya binucal

dhatĕng Selong wau Panĕmbahan Purubaya

aneng beteng alang-alang dera wrĕgil

lan putra garwanira. (pupuh VIII bait 5 hal. 102)

Terjemahan:

Pasliyun dari negara Betawi

mengundang Panembahan Purbaya Jendral yang bersemangat bertemu nanti yang ingin bertemu

dan Nembahan Purbaya dengan abdi dalem segitu

kedatangannya menuju mengambil pangeran harya

nah di situ abdi dalem Pasliyun mengikuti angkatannya banyak.

Sudah berlayar dari Semarang Panembahan dan pasukannya para sakit tangisnya

yang sangat kecewa tentunya terkena jebakan oleh Belanda

berubah pada perkataan berniat rasa sama marah

tapi sudah terlambat senjatanya sudah diminta kemudian berganti jenis.

Berganti nama Pangeran Harya nanti Mangkunegara di Kartasura

diceritakan berubahlah di sana yang berjalan di laut

sudah sampai Negara Betawi Panembahan Purbaya

dan kawan-kawannya Pangeran Harucakra

akan dibuang ke pulau Kap bersatu kakaknya tertua sendiri. Pangeran Bei berfikiran penyebab sedangkan adipati Natapura diteripa Surapatinya

sudah ke Surabaya dan juga Jaka Tangkeban

(48)

sudah sama-sama dibuang ke Selong tadi

Panembahan Purabaya

ada di beteng alang-alang oleh terakhir dan anak istrinya.

Cerita diakhiri dengan meninggalnya Amangkurat, namun sebelum Amangkurat meninggal, Prabu Amamngkurat menunjuk putra terbaiknya untuk penggantinya dalam memimpin kerajaan Kartasura. Prabu Amangkurat menunjuk empat putranya yang pantas untuk menggantikannya memimpin kerajaan Kartasura yaitu Pangeran Harya Mangkunegara, Ki Ngabehi, Ki Dipati dan Ki Buminata, selain ke-empat nama itu dilarang untuk menjadi penggantinya. Prabu Amangkurat memang menyiapkan penerus yang terbaik untuk kerajaan Kartasura beliau hanya memilih empat kandidat untuk penggantinya padahal Prabu Amangkurat memiliki 20 orang putra dan 8 orang putri. Sebelum Amangkurat IV meninggal beliau meminta kepada Kangjeng Ratu Ageng agar memberikan keris pusaka kepada Pangeran Harya Mangkunegara. Kemungkinan secara simbolis Amangkurat memilih Pangeran Harya Mangkunegara sebagai penggantinya untuk memimpin kerajaan, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Kutipan:

Grĕrah dalĕm saya manglayadi jroning pura saya aruwara putra garwa pyayi kabeh nalika nĕbda Prabu

mring Jĕng Ratu Agĕng kang wĕling bok ratu maringĕna

(49)

kang pusaka dhuwung mring putranira Ki Harya

Kangjĕng Ratu pamuwune sru ngrĕs ati

dhuwung wus tinampenan.(pupuh 9 bait 38 hal. 108)

Terjemahan:

Sakit sang raja semakin menjadi di dalam pura semakin tidak karuan anak istri priyayi semua

ketika berkata Prabu

kepada Kanjeng Ratu Agung yang berwasiat ibu Ratu memberikan

yang pusaka keris

kepada anaknya Ki Harya

Kangjeng Ratu kata-katanya keras membuat hati trenyuh keris sudah diterima.

Lapis dunia dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu hal yang terkait dengan keduniawian, yaitu sebagai berikut:

2.1.4.1. Pertentangan

Pertentangan merupakan proses sosial yaitu pada waktu individu atau kelompok berusaha memenuhi kebutuhan atau tujuan dengan jalan menentang dari pohak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Pertetangan dalam Serat

Babad Sunan Prabu yaitu pertetangan yang dilakukan oleh

Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar karena tidak terima dengan perilaku Prabu Amangkurat yang mengambil paksa semua benda kehormatan pangeran (upacara) dari Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar. Pertentangan yang dilakukan oleh kedua pangeran yaitu dengan cara memberontak dan menyerang Kerajaan Kartasura. Penyerangan terhadap Kerajaan Kartasura dapat dilihat dalam kutipan berikut:

(50)

Kutipan:

Garwa Kandha kang dadya cucuking ngarsa para lurah nambungi

ki gĕndara desa

lawan pun anggĕndara jaladara lawan malih kang mangundara

subala lan subali. (bait 1 pupuh 6 hal. 32)

Terjemahan:

Garwa Kandha yang menjadi pemimpin di depan para lurah mengikuti

para pemimpin desa juga menjadi pengikutnya mendung dan juga

yang membentuk mendung prajurit dan prajurit.

Kutipan di atas menunjukan bentuk perlawanan atau pertentangan yang dilakukan oleh Pangeran Purbaya dan Blitar yang menyerang Kerajaan Kartasura, adanya pertentangan dan penyerangan yang dilakukan oleh Pangeran Purbaya dan Blitar dikomando oleh Garwa Kandha.

2.1.4.2. Politik

Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di dalam masyarakat. Politik dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu perjanjian politik yang dilakukan oleh Prabu Amangkurat dengan Kompeni yaitu perihal hubungan sosial antara Orang Jawa dengan Belanda, dan perjanjian politik perihal perdagangan hasil bumi. Perjanjian politik yang disepakati oleh Kerajaan Kartasura dengan Belanda dapat dilihat dalam kutipan berikut:

(51)

Kutipan:

Sawab wus trĕrang sangking Kumpĕni prĕjangji (h. 16) gĕng kadi ywana ingkang wujud ro dadi sawiyos

tĕmĕn tulung-tinulung

wong Wĕlanda lawan wong Jawi mila mangkya Jĕng Sunan sajumĕnĕngipun

pami samad-sinamadan

yen wontĕna sangking bab prakawis jurit

Kumpĕni den andĕlna. (pupuh III bait 14 hal. 21) Ingkang kaping kalih ing prakawis

mĕnggah luluse ing tĕtumbasan panĕmpur ingkang warni wos ping katri bĕnangipun

lawan tanĕm tuwuh ing jawi ingkang warni marica cabe myang kumukus wiji sawi singat sangsam

kang punika akathah bayar Kumpĕni

General ing Jĕng Sunan. (pupuh III bait 15 hal. 21)

Terjemahan:

Sudah jelas dari Kompeni perjanjian agung seperti yang berwujud dan jadi satu suka tolong-menolong

orang Belanda dan orang Jawa jadi saat ini Kanjeng Sunan kepemerintahannya

dengan penuh keterbukaan dan keakraban jika ada sangkutnya dengan bab perang Kompeni yang diandalkan.

Yang kedua dalam perkara perihal jual beli

penjualan yang berupa beras yang ketiga benangnya

dengan tumbuh-tumbuhan (hasil bumi) di Jawa yang berupa merica

cabai serta kemukus biji sawi tanduk rusa

yang semuanya dibayar Kompeni General kepada Jeng Sunan.

(52)

Kutipan di atas menunjukkan kerjasama antara Kartasura dengan Kompeni oleh Paku Buwana I, dengan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati antara kerajaan dengan Kompeni. Perjanjian berisi tentang bagaimana hubungan kerajaan dengan Kompeni yaitu Kompeni menunjukkan kebesaran dan kekuasaan Raja Negeri Belanda terhadap negeri bawah angin, serta agar terjalin suatu kemanunggalan antara orang Jawa dan Belanda dengan jalan saling memberi dukungan, tolong-menolong dan apabila terjadi peperangan Kompeni dapat diandalkan, dalam hal perdagangan, Kompeni akan membayar banyak kepada kanjeng Sunan atas komoditi beras, benang, merica, cabe, kemukus, sawi, dan tanduk rusa. Perjanjian tersebut telah disepakati keduabelah pihak demi berlangsungnya tahta kerajaan. Perjanjian-perjanjian itu merupakan strategi politik Kompeni untuk menguasai Kartasura.

2.1.4.3. Kasih Sayang

Kasih sayang merupakan sikap saling menghormati dan mengasihi semua ciptaan Tuhan baik mahkluk hidup maupun benda mati seperti rasa kasih sayang ibu terhadap anaknya berdasarkan hati nurani yang luhur. Seperti yang terdapat dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu kasih sayang yang dimiliki oleh Kangjeng Ratu Ageng yang menyayangi ketiga putranya yaitu Prabu Amangkurat, Pangeran Purbaya dan

(53)

Pangeran Blitar. Terlihat saat terjadi peperangan antarsaudara Kangjeng Ratu Ageng sangat bersedih karena melihat ketiga putra yang sangat disayangi terlibat dalam perang. Kangjeng Ratu Ageng sangat khawatir terhadap Pangeran Purbaya dan Blitar saat terjadi peperangan kedua pangeran mengalami kekalahan, Kangjeng Ratu Ageng sangat khawatir dan dengan rasa kasih sayang beliau memastikan untuk melihat kedua putranya apakah baik-baik saja. Kekhawatiran dan kasih sayang Kangjeng Ratu Ageng dapat dilihat pada kuitipan berikut:

Kutipan:

Malbeng pura malih sing kidul kewala nulya mundur tumuli

sawadya lon-lonan sĕmantĕn pan meh ĕbyar Kangjĕng Ratu Agĕng nĕnggih dupi miyarsa

amuwun kuntrang-kantring. (pupuh 6 bait 17 hal. 34) Masambat kang raka Jĕng Sinuhun Swarga

dhuh lah e Sri Bupati tan sagĕd kawula tĕngga putra paduka Sunan gawanĕn ngĕmasi putra paduka

(h. 42) sami bĕrwala jurit.(pupuh 6 bait 18 hal. 34) Samangkana Kangjĕng Ratu lajĕng minggah dhumatĕng Gunung Kunthi

Pangeran Balitar prapta ing Purubaya ngidul sawadyanira glis kang ibu mirsa

ngawe nguwuh anjĕlih. (pupuh 6 bait 19 hal. 34) Asta tĕngĕn angawe-awe kang putra

(54)

angusapi waspa

dhuh kulup dipuninggal ngungsia kangmasmu nuli Ki Purubaya

dhuh kulup poma aglis. (pupuh 6 bait 20 hal. 34)

Terjemahan:

Masuk ke dalam Pura yang letaknya di sebelah selatan sering mundur kemudian

berjalan bergandengan

hanya beberapa yang akan bubar Kangjeng Ratu Ageng melihat semua itu

kemudian menangis tersedu-sedu.

Sang kakak Mengeluh kepada Kangjeng Sinuhun Swarga dhuh lah e Sri Bupati

aku tidak bisa menunggu putra raja Sunan bawalah mati putra paduka

(h.42) prajurit saling berperang.

Begitulah Kangjeng Ratu kemudian naik menuju Gunung Kunthi

Pangeran Balitar

bertemu dengan Purubaya

menuju ke selatan dengan tergesa-gesa bersama teman-temannya

Sang Ibu mengetahui

melambaikan tangan berseru memanggil. Tangan kanan melambai-lambai sang anak tanganya yang kiri

mengusapi air mata duh ikut ditinggal menyikir kakakmu cepat Ki Purbaya

duh ikut cepat.

Kutipan di atas sangat jelas rasa kasih sayang Kangjeng Ratu Ageng terhadap putranya, terbukti sangat sedih dan khawatir melihat ketiga putranya terlibat perang saudara.

Referensi

Dokumen terkait

PHQJJXQDNDQ ELW ò´ 3HQHntuan ukuran bit berdasarkan bit selection chart yang akan di lampirkan pada lampiran D. Setelah mendapat hasil dari penentuan kedalaman casing maka akan

Mengingat bahwa masalah yang dapat terjadi pada sistem ventilasi sangat luas cakupannya, maka pembatasan-pembatasan yang diambil sehubungan dengan tinjauan perawatan sistem

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki undang-undang yang sedang berlaku pada saat

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksana Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – keten Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 60,

Se)uah sistem harus sesuai $engan sistem nyata serta sesuai $engan &ro$uk  yang $ihasilkan% 2anyak &erusahaan $alam menjalankan sistemnya menggunakan a&likasi

1 STI- Meningkatkan kemahiran dan kepakaran guru melalui seminar dan kursus anjuran PPD, JPS dan agensi-agensi tertentu 2 ST4- Memastikan aktiviti kokurikulum dijalankan

Produk material zeolitik yang didapatkan dikarakterisasi menggunakan FT-IR untuk melihat gugus fungsi dan struktur kimia dari produk material zeolitik pada gelombang

Penurunan kegiatan ekspor dan produksi pertambangan mineral yang belum diikuti kemampuan dalam menyerap potensi mineral di dalam negeri ini menurunkan aktivitas ekonomi