• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 2.1 Lokasi dan Keadaan Geografi Desa Penglipuran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 2.1 Lokasi dan Keadaan Geografi Desa Penglipuran"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

  22

2.1 Lokasi dan Keadaan Geografi Desa Penglipuran

Desa Penglipuran terletak di wilayah Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Desa Penglipuran berada pada jarak 45 km dari Ibu Kota Provinsi Bali dan 5 km dari Ibu Kota Kabupaten Bangli. Desa ini dapat dicapai dengan menggunakan mobil atau sepeda motor dengan kondisi jalan yang telah diaspal yaitu dari sisi timur melalui jalan raya Bangli-Kintamani, setelah sampai di Desa Kubu belok ke kiri dan dari sisi utara melalui jalan Kintamani-Kayuamba Bangli. Batas-batas wilayah Desa Penglipuran adalah di sebelah utara berbatasan dengan Desa Adat Kayang; di sebelah timur berbatasan dengan Desa Adat Kubu; di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Adat Cempaga; dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Adat Cekeng. Untuk lebih jelas, posisi Desa Penglipuran dapat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2.

Gambar 2.1 Peta Pulau Bali

Sumber: http://www.acls-indonesia.com/doc/maps/, diakses tanggal 07 April 2015

(2)

Gambar 2.2 Peta Kabupaten Bangli

Sumber:

http://i1307.photobucket.com/albums/s592/goindonesia13/penglipuranmap1, diakses tanggal 20 April 2015

Keadaan geografi merupakan keadaan permukaan bumi, iklim, flora, fauna serta hasil yang diperoleh dari bumi (Depdikbud, 1990: 270). Secara geografi Desa Penglipuran terletak pada koordinat 08o 08o 30o – 08o 31o 07o lintang selatan dan 115o 13o 43o – 115o 27o 24o bujur timur dengan ketinggian 500-625 meter di atas permukaan laut. Ditinjau dari iklimnya, Desa Penglipuran termasuk beriklim sedang dengan suhu udara berkisar 18oC – 32oC dengan curah hujan cukup tinggi berkisar 2000-2500mm per tahun sehingga cadangan air cukup tersedia. Permukaan tanahnya relatif datar dengan beda ketinggian berkisar 1-15 meter. Jenis tanah agak merah kekuningan dengan keadaan tanah yang subur sehingga dapat ditanami berbagai macam tanaman, namun yang paling cocok adalah tanaman kopi, salak, kelapa dan bambu (Profil Desa Wisata Penglipuran, 2013).

Berdasarkan Profil Desa Wisata Penglipuran (2013), Desa Penglipuran memiliki luas wilayah kurang lebih 112ha yang tata guna lahannya meliputi lahan

(3)

pertanian, kawasan hutan, pemukiman, dan tempat suci. Luas wilayah tersebut didominasi oleh lahan pertanian yang memiliki luas 50ha berupa lahan kering atau tegalan dengan tanaman pangan seperti ubi kayu, ubi jalar, cabai, bayam, dan talas. Sedangkan hasil perkebunan berupa buah-buahan seperti jeruk, manggis, salak, pepaya, durian, pisang, kelapa dan kopi. Kawasan hutan di Desa Penglipuran meliputi hutan kayu yang berada di seputaran tempat suci dan kuburan dengan luas 4ha dan hutan bambu dengan luas 45ha.

Pemukiman penduduk yang terletak di tengah wilayah Desa Penglipuran memiliki luas 9ha yang terdiri atas 76 pekarangan dengan arah melintang utara-selatan (kaja-kelod) yaitu pada jalur barat dan timur. Tata ruang masing-masing pekarangan meliputi (1) Utama Mandala, bagian paling suci berupa sanggah; (2) Madya Mandala, bagian tempat kegiatan dan aktifitas keluarga sehari-hari; (3) Nista Mandala, bagian belakang (teben) pekarangan.

Tempat suci di Desa Penglipuran seluas 4ha dibagi menjadi tiga ruang atau bagian yang dikenal dengan Tri Mandala, yakni (1) pada bagian Utama Mandala atau bagian utara desa,terdapat Pura Penataran, Pura Puseh, Pura Dukuh, Pura Rambut Sedana, Pura Empu Aji dan Pura Empu Nalwah; (2) pada bagian Madya Mandala atau bagian tengah desa yang merupakan pemukiman warga masyarakat terdapat beberapa pura milik desa dan dadia, seperti Pura Ratu Pingit, Pura Balai Banjar, Pura Dalem Tampuagan, Tugu Pahlawan; dan (3) pada Nista Mandala atau pada bagian selatan terdapat kuburan milik Desa Penglipuran dan juga beberapa tempat suci seperti Pura Dalem (Pura Pelapuhan), Pura Dalem Pingit, Pura Mas Ayu Manik Melasem dan Pura Ratu Tungkup.

(4)

Selain itu di Desa Penglipuran juga terdapat fasilitas umum yaitu satu buah balai banjar adat, satu buah balai banjar untuk kegiatan-kegiatan lainnya, tempat parkir, pertamanan, dan sekolah dasar negeri (SDN) nomor 2 Kubu. Penggunaan tata guna lahan di Desa Penglipuran dapat dirinci dalam tabel berikut.

Tabel 2.1 Penggunaan Tata Guna Lahan di Desa Penglipuran

No. Tata Guna Lahan Luas (Ha) Presentase (%)

1. Lahan pertanian 50 44,64 2. Hutan kayu 4 3,57 3. Hutan bambu 45 40,17 4. Pemukiman 9 8,03 5. Tempat suci 4 3,57 Jumlah 112 100

Sumber: Profil Desa Wisata Penglipuran, 2013

Dari tabel tersebut terlihat bahwa proposi pemanfaatan lahan untuk pemukiman sangat kecil (8,03%), sementara tegalan dimana penduduk lokal memanfaatkannya untuk keperluan pertanian lebih besar jumlahnya (44,64%), dan penggunaan untuk hutan dimana dapat menyerap, menyimpan dan mendistribusikan air sebesar (40,17%). Disini terlihat bahwa masyarakat Desa Penglipuran sudah memiliki kearifan lingkungan untuk memberi proporsi tanaman hijau lebih besar daripada yang lainnya. Sehingga apabila kita masuk ke Desa Penglipuran akan merasakan hawa yang sejuk dan asri. Adapun wilayah lingkungan Desa Penglipuran dapat dilihat pada gambar 2.3.

(5)

Gambar 2.3 Peta Wilayah Lingkungan Desa Penglipuran

Sumber: http://freddy-ryojihendrawan.blogspot.com/2011_07_01_archive.html, diakses tanggal 08 Juli 2015

2.2 Sejarah Desa Penglipuran

Pada umumnya setiap desa memiliki sejarahnya sendiri. Demikian pula halnya dengan Desa Penglipuran. Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Sejarah Desa Penglipuran berkaitan dengan Kerajaan Bangli yang dapat diketahui dari monografi Desa Penglipuran. Dalam monografi itu disebutkan bahwa pada zaman Kerajaan Bangli, Raja Bangli memerlukan tenaga masyarakat Desa Bayung Gede sebagai prajurit kerajaan. Berhubung letak Desa Bayung Gede cukup jauh dari pusat kerajaan Bangli dan perjalanan hanya dapat dilakukan dengan jalan kaki atau naik kuda, maka untuk memudahkan komunikasi dan mendekatkan jarak, beberapa warga Desa Bayung Gede dipindahkan dan dibuatkan tempat

(6)

peristirahatan untuk prajurit di wilayah Desa Kubu yang berada sekitar empat kilometer di sebelah utara kota Bangli. Lama-kelamaan warga ini menetap di tempat tersebut, jumlahnya semakin tahun semakin bertambah dan pada akhirnya membentuk sebuah desa baru yang berpisah dengan desa asal mereka yaitu Desa Bayung Gede.

Dalam monografi tersebut juga dijelaskan bahwa berdasarkan prasasti yang disimpan di Pura Dalem Ratu Pingit disebutkan pada mulanya Desa Penglipuran bernama Desa Kubu Bayung yang artinya orang Kubu yang berasal dari Desa Bayung atau orang Bayung yang tinggal di Desa Kubu. Keberadaan orang Bayung yang tinggal di Desa Kubu inilah menjadi cikal-bakal berdirinya Desa Penglipuran.

Disamping itu disebutkan bahwa secara etimologi Penglipuran berasal dari kata Pengeling Pura. Pengeling (eling) yang artinya ingat/mengingat dan pura yang berarti tanah leluhur. Jadi kata Penglipuran berarti ingat akan tanah leluhur atau tempat asal mula mereka. Dinyatakan pula bahwa kata Penglipuran berasal dari kata penglipur lara yang artinya penghibur. Ini berarti bahwa Penglipuran merupakan tempat untuk menghibur orang yang datang. Konon pada zaman kerajaan, Desa Penglipuran sering didatangi oleh Raja Bangli untuk beranjangsana dan digunakan sebagai tempat peristirahatan.

2.3 Keadaan Demografi Desa Penglipuran

Demografi merupakan susunan jumlah dan perkembangan penduduk (Depdikbud, 1990: 195). Dalam penelitian ini keadaan demografi di Desa Penglipuran meliputi kondisi penduduk berdasarkan faktor umur, tingkat

(7)

pendidikan, dan mata pencaharian hidup. Berdasarkan Profil Desa Penglipuran tahun 2013, jumlah penduduk di Desa Penglipuran sebanyak 936 orang yang terdiri atas 233 kepala keluarga (KK), meliputi 469 orang laki-laki dan 467 orang perempuan.

Berdasarkan faktor umur, penduduk di Desa Penglipuran per tahun 2013 berumur 0-56 keatas dapat dirinci dalam tabel berikut.

Tabel 2.2 Kondisi Penduduk Berdasarkan Faktor Umur

No. Umur (tahun) Jumlah (Orang) Presentase (%)

1. 0 - 1 20 2,13 2. 1 - 5 70 7,47 3. 5 - 7 65 6,94 4. 7 - 15 150 16 5. 15 - 56 375 40 6. 56 keatas 256 27,35 Jumlah 936 100

Sumber: Profil Desa Wisata Penglipuran, 2013

Data dalam tabel di atas menunjukkan bahwa berdasarkan faktor umur, penduduk Desa Penglipuran yang jumlahnya paling banyak adalah penduduk berumur 15-56 tahun sejumlah 375 orang (40%), penduduk berumur 56 tahun keatas sejumlah 256 orang (27,35%), penduduk yang berumur 7-15 tahun sebanyak 150 orang (16%), berumur 1-5 tahun berjumlah 70 orang (7,47%), berumur 5-7 tahun berjumlah 65 orang (6,94%) dan berumur 0-1 tahun berjumlah 20 orang (2,13%). Jumlah tersebut menggambarkan bahwa masyarakat di Desa Penglipuran rata-rata masih berusia produktif dengan presentase sebesar 40%.

Ditinjau dari tingkat pendidikan, penduduk di Desa Penglipuran ada yang tidak tamat SD dan ada pula yang mencapai pendidikan S2 seperti dapat dirinci dalam tabel berikut.

(8)

Tabel 2.3 Kondisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (Orang) Presentase (%) 1. Tidak tamat SD 18 2,88 2. Tamat SD 69 11,07 3. Tamat SLTP 362 58,10 4. Tamat SLTA 94 15,08 5. D1 11 1,76 6. D2 22 3,53 7. D3 6 0,96 8. S1 48 7,70 9. S2 2 0,32 Jumlah 623 100

Sumber: Profil Desa Wisata Penglipuran, 2013

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat di Desa Penglipuran didominasi oleh tamatan SLTP yang berjumlah 362 orang (58,10%), penduduk yang tamat SD sebanyak 69 orang(11,07%), kemudian yang melanjutkan ke jenjang S1 sebanyak 48 orang (7,70%), D2 berjumlah 22 orang (3,53%), tidak tamat SD 18 orang (2,88%), D1 berjumlah 11 orang (1,76%), D3 dengan jumlah 6 orang (0,96%), dan berpendidikan S2 berjumlah 2 orang (0,32%). Dari jumlah tersebut dapat dicermati bahwa walaupun masyarakat Desa Penglipuran didominasi oleh tamatan SLTP namun masyarakat sudah berupaya untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yakni sampai ke tingkat S2.

Dilihat dari mata pencaharian, penduduk Desa Penglipuran memiliki mata pencaharian yang bervariasi sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.

(9)

Tabel 2.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Hidup

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (Orang) Presentase (%)

1. Petani 45 13,31 2. TNI/POLRI 6 1,77 3. PNS 26 7,69 4. Guru 25 7,39 5. Pensiunan PNS 13 3,84 6. Bidan 2 0,59 7. Tukang 33 9,76 8. Pengerajin Bambu 75 22,18 9. Pengerajin Makanan 24 7,10

10. Pengerajin Loloh Cemcem 11 3,25

11. Kapal Pesiar 35 10,35 12. Peternak 8 2,36 13. Penjahit 6 1,77 14. Pelukis 3 0,88 15. Perajin Kayu 8 2,36 16. Jasa Laundry 2 0,59

17. Veteran yang mendapat TUVET

16 4,73

Jumlah 338 100

Sumber: Profil Desa Wisata Penglipuran, 2013

Data dalam tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Penglipuran yakni 75 orang (22,18%) bekerja sebagai pengerajin bambu. Di samping itu terdapat 45 orang (13,31%) yang menekuni mata pencaharian di bidang pertanian, kemudian sejumlah 35 orang (10,35%) bekerja di kapal pesiar, ada pula masyarakat yang bekerja sebagai tukang sebanyak 33 orang (9,76%), PNS 26 orang (7,69%), guru 25 (7,39%) orang, pengerajin makanan 24 orang (7,10%), veteran 16 orang (4,73%), pensiunan PNS 13 orang (3,84%), pengerajin loloh cemcem 11 orang (3,25%) dan lain-lain.

Hal ini menunjukkan bahwa mata pencaharian utama masyarakat di Desa Penglipuran adalah sebagai pengerajin bambu dan petani. Selain itu masyarakat di

(10)

Desa Penglipuran juga sudah mulai tertarik dengan pekerjaan di bidang kepariwisataan seperti bekerja di kapal pesiar. Ini menunjukkan adanya peralihan jenis pekerjaan penduduk, yang semula hanya bergelut di bidang pengerajin dan pertanian menuju bidang kepariwisataan.

2.4 Organisasi Sosial

Organisasi sosial kemasyarakatan di Desa Penglipuran dapat digolongkan menjadi dua, yaitu Lembaga Desa Pakraman Penglipuran dan Lembaga Dinas Lingkungan Penglipuran. Lembaga Desa Pakraman Penglipuran bersifat otonom karena tidak secara langsung berkaitan dengan lembaga pemerintahan dinas (kelurahan maupun lingkungan). Hubungan lembaga desa pakraman dengan lembaga pemerintahan dinas hanyalah hubungan yang bersifat konsultatif.

Sistem pemerintahan di Lembaga Desa Pakraman Penglipuran disusun dalam satu kepemimpinan adat yang disebut Prajuru Desa Adat Penglipuran. Prajuru (pengurus) Desa Adat di Penglipuran ini dibedakan menjadi dua bagian, yakni prajuru desa adat dan prajuru ulu apad. Prajuru Desa Adat terdiri atas bendesa atau kelihan adat, dua orang penyarikan, dan seka-seka. Sedangkan prajuru ulu apad terdiri atas dua belas orang yang disebut dengan Jero Kancan Roras meliputi dua Jero Bayan (Jero Bayan Mucuk dan Jero Bayan Nyoman), dua orang Jero Bahu (Jero Bahu Mucuk dan Jero Bahu Nyoman), dua orang Jero

Singgukan (Jero Singgukan Mucuk dan Jero Singgukan Nyoman), dua orang Jero

Cacar (Jero Cacar Mucuk dan Jero Cacar Nyoman), dua orang Jero Balung (Jero Balung Mucuk dan Jero Balung Nyoman), dan dua orang Jero Pati (Jero Pati Mucuk dan Jero Pati Nyoman). Struktur lembaga Desa Pakraman Penglipuran dapat dilihat pada gambar 2.4

(11)

Gambar 2.4 Struktur Lembaga Desa Pakraman Penglipuran

Sumber: Monografi Desa Pakraman Penglipuran

Dilihat dari struktur lembaga Desa Pakraman Penglipuran diatas maka dapat dikatakan bahwa Desa Penglipuran merupakan Desa Bali Aga yang kepemimpinannya bersifat kolektif dimana kelihan dan kancan roras sebagai pemimpin atau tetua desa.

Desa Adat Penglipuran terdiri atas satu banjar adat sehingga bendesa adat juga merupakan kelihan adat. Kata kelihan berasal dari kata kelih yang berarti tua atau dewasa sehingga kelihan adalah orang yang dituakan dalam suatu komunitas kecil (Pitana, 1994: 150). Kelihan adat mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat (krama desa) dalam pelaksanaan upacara keagamaan, pembangunan tempat ibadah, serta sebagai pimpinan rapat dalam

(12)

musyawarah desa adat. Kelihan adat dipilih dari warga pengarep yang jumlahnya 76 orang, yang kedudukannya dalam susunan ulu apad masih ada dibawah nomor 12, dari nomor 13 – 76 yang telah memenuhi syarat dengan masa bakti selama lima tahun dan dipilih secara demokratis.

Penyarikan adalah juru tulis/sekretaris dari kelihan adat, bertugas mengabsen dan mengatur giliran tugas warga desa pengarep. Di Desa Adat Penglipuran terdapat dua orang penyarikan yang akan membantu kelihan adat dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Seperti halnya kelihan adat, penyarikan dipilih dari warga pengarep yang nomor urutnya dibawah nomor 12 dengan masa jabatan selama lima tahun.

Berdasarkan struktur Desa Pakraman Penglipuran, selain terdiri dari kelihan desa adat dan penyarikan juga terdapat seka. Pitana (1994: 113) menjelaskan pengertian seka adalah lembaga atau kelompok sosial yang lebih kecil sifat, ruang lingkup dan keanggotaannya dari banjar. Seka merupakan kesatuan dari beberapa orang anggota banjar yang menghimpun diri atas dasar kepentingan yang sama dalam beberapa hal. Clifford Geertz (dalam Pitana, 1994: 113) merumuskan pengertian seka sebagai berikut.

‘seka itu merupakan suatu organisasi yang dibentuk untuk mencapai suatu tujuan atau maksud yang khusus. Kelompok-kelompok seperti itu didirikan sementara waktu saja, tetapi ada pula yang bertahun-tahun bahkan untuk beberapa angkatan lamanya. Bisa didirikan untuk satu tugas saja, berlangsung dari satu tugas ke tugas yang lain; ada yang amat luas sifatnya danada juga yang terdiri dari beberapa orang anggota saja. Adapun seka tidak pernah sejajar tetapi selalu melintang batas-batas kesatuan sosial yang lain, seolah-olah mempersatukan orang-orang dari berbagai golongan, semata-mata atas dasar pertalian persahabatan yang punya persamaan kebutuhan’.

(13)

1. Prajuru Seka Gong adalah pengurus organisasi penabuh gamelan (gong), yang tugasnya mempersiapkan, mengatur, menyimpan peralatan gamelan dalam kegiatan upacara keagamaan.

2. Prajuru Seka Baris mempunyai tugas untuk mempersiapkan dan mengatur tarian baris pada saat kegiatan upacara keagamaan.

3. Prajuru Seka Peratengan bertugas di bidang penyediaan konsumsi atau sarana upacara dalam kegiatan keagamaan.

4. Prajuru Seka Pacalang bertugas mengkoordinir, menjaga dan mengatur

keamanan dan ketertiban di Desa Adat.

5. Prajuru Seka Truna bertugas membantu kegiatan adat yang ada di Desa Penglipuran, bersama-sama dengan organisasi lainnya yang semua anggotanya adalah masih remaja (truna) dan merupakan kader penerus yang akan mewarisi adat dan budaya di kemudian hari.

Warga atau krama Desa Adat Penglipuran terdiri dari warga tetap/penuh yang jumlahnya tetap 76 KK disebut sebagai pengayah atau krama pengarep (pang-arep = mereka yang ada di depan) yang bertanggung jawab penuh terhadap pembangunan fisik maupun non fisik di desa ini. Dari jumlah 76 orang krama pangarep ini menurut historisnya terdiri dari 2 kelompok. Pertama, warga pangarep yang memiliki tanah ayahan desa (AYDS) yang berjumlah 45 orang. Tanah AYDS yang dimiliki tidah hanya terletak di Desa Adat Penglipuran saja, tetapi juga di luar desa seperti; di Desa Cekeng, Sidembunut, Tanggahan Gunung, dan Buungan. Kedua, warga desa pengarep roban yangberjumlah 31 orang. Warga ini tidak memiliki tanah AYDS namun oleh Desa Adat Penglipuran diberikan menggarap tanah laba pura dengan sistem kontrak.

(14)

Kancan roras adalah dua belas orang warga desa adat pengarep yang merupakan tetua desa adat (peduluan ulu apad) yaitu warga pengarep nomor urut 1 (satu) sampai dengan 12 (dua belas) yang secara otomatis jabatannya tidak boleh dicari atau dihindari karena merupakan giliran secara berurut. Kancan roras mempunyai jabatan dan fungsi yang berbeda sesuai awig-awig desa adat yang ada. Kedudukan kancan roras dalam struktur organisasi adalah pengayom kelihan adat yang memberikan nasehat atau saran dan bersama prajuru lain menyusun perencanaan upacara agama serta pembangunan di Desa Adat Penglipuran. Warga kancan roras ini tidak lagi masuk/duduk dalam salah satu organisasi sosial wajib, karena yang bersangkutan telah mempunyai tugas khusus dalam jabatan ulu apad. Adapun pembagian tugasnya adalah sebagai berikut.

1. Jero Kubayan Mucuk didampingi oleh Jero Kubayan Nyoman, yang

mempunyai tugas sebagai pimpinan upacara keagamaan di Desa Adat Penglipuran.

2. Jero Bahu Mucuk didampingi oleh Jero Bahu Nyoman, bertugas membantu Jero Kubayan dalam pelaksanaan upacara keagamaan jika ada kelengkapan upacara yang kurang.

3. Jero Singgukan Mucuk didampingi oleh Jero Singgukan Nyoman, bertugas sebagai perantara/penghubung antara nomor (1, 2, 3, 4) dengan nomor berikutnya dalam pelaksanaan upacara keagamaan.

4. Jero Cacar Mucuk didampingi oleh Jero Cacar Nyoman, bertugas sebagai tukang cacar (mendistribusikan) sarana upacara dalam kegiatan upacara keagamaan di Desa Adat Penglipuran.

(15)

5. Jero Balung Mucuk didampingi oleh Jero Balung Nyoman, bertugas mencari bagian-bagian dari hewan yang akan digunakan sebagai sarana dalam upacara keagamaan.

6. Jero Pati Mucuk didampingi oleh Jero Pati Nyoman, bertugas menyembelih hewan kurban pada saat ada upacara keagamaan.

Pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai prajuru desa adat diatur dalam awig-awig Desa Adat Penglipuran. Awig-awig merupakan peraturan-peraturan hidup bagi sesama krama desa di desa adatnya untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, tertib dan sejahtera (Ngurah Oka, 2000: 25).

Desa Adat Penglipuran secara administrasi merupakan wilayah pemerintahan lingkungan Penglipuran Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Lembaga Dinas Lingkungan Penglipuran dipimpin oleh kepala lingkungan. Struktur Lembaga Dinas Lingkungan Penglipuran adalah sebagai berikut.

STRUKUTUR LEMBAGA DINAS LINGKUNGAN PENGLIPURAN

Sumber: Monografi Desa Pakraman Penglipuran   CAMAT LURAH KEPALA LINGKUNGAN BENDESA ADAT JERO KUBAYAN

(16)

Tugas dan Fungsi kepala lingkungan adalah sebagai perpanjangan tangan pemerintah kelurahan dalam memberikan pelayanan administrasi pemerintahan kepada masyarakat lingkungan Penglipuran dan melakukan koordinasi dengan struktur lembaga Desa Adat Penglipuran.

Kepala lingkungan di Desa Penglipuran dipilih oleh warga masyarakat melalui pemilihan langsung. Dalam pemilihan ini masyarakat Desa Penglipuran dibagi atas empat kelompok (bucu) yaitu kelompok timur laut (bucu kaja kangin), kelompok barat daya (bucu kaja kauh), kelompok barat laut (bucu kelod kangin) dan kelompok tenggara (bucu kelod kauh). Setiap kelompok masyarakat diwajibkan mencalonkan dua orang kandidat yang telah dipilih melalui musyawarah. Dengan demikian jumlah calon yang ada di desa adalah delapan orang. Dari delapan orang tersebut dipilih secara langsung oleh warga dengan cara memberikan satu biji jagung kepada setiap warga masyarakat. Jagung itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang sudah disediakan untuk kedelapan calon tersebut. Setelah pemilihan, jagung tersebut dihitung dan yang mendapatkan jumlah biji jagung terbanyak secara sah terpilih menjadi kepala lingkungan Desa Penglipuran.

Adapun syarat-syarat untuk menjadi seorang kepala lingkungan antara lainberpendidikan paling rendah SLTA, berkelakuan baik, sehat jasmani dan rohani, dan berumur maksimal 50 tahun. Masa jabatan sebagai kepala lingkungan di Desa Penglipuran adalah enam tahun dan dapat dipilih kembali dalam satu masa jabatan.

(17)

2.5 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan di Desa Penglipuran mengikuti prinsip patrilineal, artinya hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis keturunan ayah (Koentjaraninggrat, 1980: 68). Sebagian penduduk Desa Penglipuran terikat hubungan darah akibat perkawinan yang dilakukan sesama warga atau endogami desa. Bagi laki-laki yang menikahi gadis dari klen/keluarga asal yang berbeda, maka dia tetap terikat dalam hak dan kewajibannya pada lingkup kekerabatan keluarga asalnya yang disebut dengan istilah dadia. Sedangkan bagi wanita yang menikahi klen/keluarga asal yang berbeda akan dengan sendirinya mengikuti keluarga asal suaminya (Hudyana, 2002: 55).

Kelompok kekerabatan yang disebut dadia (patrilineal minimal lineage) adalah sekelompok kekerabatan yang terdiri dari segabungan rumah tangga yang merasa diri berasal dari seorang nenek moyang, dimana satu dengan yang lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki (Danandjaja, 1989: 116). Di Desa Penglipuran terdapat lebih dari satu dadia, seperti yang disampaikan oleh I Nengah Santini (wawancara, 06 April 2015) sebagai berikut.

“Di Desa Penglipuran terdapat banyak dadia, ada Dadia Penyarikan, Gelgel, Samplangan, Tangkas, Kayu Selem dan Pulasari. Dadia yang paling besar di Desa Penglipuran adalah Dadia Pulasari dengan jumlah 50 KK yang menyungsung Pura Pedadian yaitu Pura Dadia Dalem Tampuagan Pulasari”.

Sistem perkawinan yang dianut oleh masyarakat Penglipuran adalah sistem perkawinan endogami maupun eksogami. Tidak ada larangan atau sanksi bagi laki-laki ataupun perempuan untuk menikah dengan seseorang dari luar Desa Penglipuran. Keunikan dari tradisi perkawinan di Desa Penglipuran adalah adanya

(18)

tradisi mapragat. Hal ini dapat diketahui dari informasi yang disampaikan oleh I Nengah Moneng (wawancara, 06 April 2015) seperti berikut.

“Upacara pernikahan di Desa Penglipuran selalu dilakukan di rumah mempelai wanita. Jika ada wanita penglipuran yang menikah, maka prosesi upacara pernikahan tersebut harus dilaksanakan di rumah mempelai wanita sesuai dengan adat penglipuran dan dipuput oleh Jero Kubayan”.

Pelaksanaan upacara tersebut terkait dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat yang percaya bahwa kalau tidak melakukan upacara mapragat, maka orang tersebut dianggap masih memiliki hutang, sebagaimana yang disampaikan oleh Kelihan Adat, I Wayan Supat (wawancara, 22 Maret 2015) sebagai berikut.

“Upacara perkawinan juga harus dilakukan di rumah mempelai wanita, kalau tidak dilakukan maka wanita tersebut dan keturunannya tidak diperbolehkan untuk bersembahyang ke Pura yang ada di penglipuran karena masih dianggap mempunyai hutang dan cuntaka”

Di Desa Penglipuran beristri lebih dari satu dianggap tabu, hal ini terbukti dengan adanya karang memadu sebagai tempat pengucilan bagi mereka yang melanggar. Bagi masyarakat yang beristri lebih dari satu menurut awig-awig dan drestha harus pindah dari karang kertinya ke karang memadu, hak dan kewajibannya sebagai krama desa pun dicabut. Di karang memadu mereka akan dibuatkan rumah oleh warga desa, akan tetapi yang bersangkutan tidak boleh melewati jalan umum, masuk ke pura dan mengikuti kegiatan adat.

2.6 Sistem Religi

Masyarakat Desa Adat Penglipuran merupakan satu kelompok masyarakat Bali Aga (Bali Mula) yang menganut Agama Hindu. Masyarakat Desa Penglipuran masih tetap mempertahankan tempat-tempat suci (pura) dan ritual tradisional warisan nenek moyang mereka. Tempat-tempat suci yang dimaksud,

(19)

antara lain Pura Penataran/Bale Agung sebagai tempat pemujaan Dewa Brahma, Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Dalem (Pelapuan) sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa, selain ketiga pura tersebut di Desa Penglipuran juga terdapat sejumlah pura lainnya seperti Pura Empu Aji sebagai tempat pesraman, Pura Empu Naluah untuk memuliakan mata air, Pura Dukuh sebagai tempat berstanya arwah pendeta orang Bali Aga, Pura Rambut Sri Sedana sebagai tempat untuk memuja dewa kemakmuran dan kesejahteraan, Pura Ratu Sakti Mas Ayu Manik Melasem, Pura Ratu Sakti Gede Tungkub, Pura Dalem Pingit sebagai tempat prasasti, Pura Rajapati, dan Pura Balai Banjar sebagai tempat pemujaan Bhagawan Penyarikan.

Menurut kelihan adat I Wayan Supat dalam wawancara (22 Maret 2015) menyebutkan bahwa di Desa Penglipuran terdapat berbagai ritual-ritual tradisional. Ritual tersebut antara lain (1) Nyaeb, merupakan upacara awal dari siklus bercocok tanam yang ditandai dengan membuka aliran air, upacara ini dilaksanakan di perbatasan Desa Penglipuran dengan Desa Kayang pada Sasih Sada (bulan kedua belas menurut sistem perhitungan kalender tradisional Bali). Upacara ini dipersembahkan kepada Dewa Wisnu dengan tujuan untuk memohon kesuburan; (2) Mamungkah, adalah upacara pada saat mulai membajak lahan pertanian. Masyarakat memohon ijin kepada Ibu Pertiwi karena akan mengolah tanah. Upacara ini dilakukan pada Sasih Kasa (Juli) yang dipersembahkan kepada Ratu Sakti Kentel Bumi dengan mempersembahkan hewan kurban berupa sapi;

(3) Nangkluk Merana, merupakan upacara pengendalian hama yang dilaksanakan

di perempatan desa pada Sasih Keenem (Desember) dengan sarana satu ekor sapi betina. Upacara ini dilakukan untuk keselamatan manusia dan tumbuhan

(20)

sehubungan dengan adanya perubahan iklim; (4) Ngaturang Upeti, adalah upacara persembahan hasil-hasil bumi yang diperoleh setiap tahun berupa umbi-umbian (pala bungkah), buah-buahan (pala gantung) dan sayur-sayuran atau daun-daunan (pala wija). Upacara ini dilaksanakan setelah Nyepi pada Sasih Desta (Mei).

Gambar

Gambar 2.1 Peta Pulau Bali
Tabel 2.1 Penggunaan Tata Guna Lahan di Desa Penglipuran
Gambar 2.3 Peta Wilayah Lingkungan Desa Penglipuran
Tabel 2.2 Kondisi Penduduk Berdasarkan Faktor Umur
+4

Referensi

Dokumen terkait

15 tahun 1986 tanggal 10 Maret 1986 Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar diperluas menjadi 6 wilayah kecamatan, dimana 9 desa/Kelurahan dari wilayah Kabupaten Simalungun masuk

Kelompok Etnis yang menempati desa Pegajahan tergolong masyarakat yang heterogen dengan latar belakang yang berbeda, yaitu Etnis Simalungun (etnis lokal), Etnis Batak, Etnis

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Islam dianut oleh sebagian besar masyarakat Desa Simpang Gaung yaitu 3164 orang atau 98.44% dari komposisi penduduk yang ada,

Di Kecamatan Tambang ini ada beberapa industri rumah tangga yang bergerak di bidang pengolahan makanan ringan keripik nenas terkhusus di Desa Kualu

Jenis kelamin responden yaitu laki-laki sebanyak 64% sedangkan wanita sebanyak 36% dari jumlah tersebut dapat diketahui bahwa penduduk laki-laki desa wiyurejo

Hal itu terbukti dari Data Monografi Desa dan Kelurahan Sepanjang yang menunjukkan penurunan jumlah petani dari tahun ke tahun misalkan saja ditahun 2010 petani Desa

Untuk kebutuhan sehari-hari berupa sayur-sayuran, beras, serta berbagai jenis kebutuhan harian lainnya masyarakat Desa Pantai Cermin Kanan mendapatkannya dari kedai sampah

Sesuai dengan topik pembahasan ini, memfokuskan pada desa dan kelurahan yang terdapat di Kecamatan Marpoyan Damai dan gambar desa serta kelurahan tersebut dijelaskan berikut ini: