• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

(2) Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia. Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia 40132.

(3) ISBN 978-602-19911-1-4 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh, Institut Teknologi Bandung Gedung Labtek IX-C, lt. 3 Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132 http://crs.itb.ac.id email: office@crs.itb.ac.id. Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil Sumber gambar bunga : http://www.cepolina.com/ Cetakan Pertama : Mei 2012 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)..

(4)

(5) KATA PENGANTAR. Teknologi dibuat dan dikembangkan oleh manusia dengan tujuan untuk mempermudah pekerjaan. Merupakan hal yang penting untuk selalu melakukan inovasi dan memanfaatkan teknologi yang telah ada untuk aplikasi-aplikasi yang sangat bermanfaat bagi manusia. Penginderaan jauh, yang memiliki kemampuan memberi gambaran muka bumi, dapat memberi informasi akurat mengenai fenomena-fenomena spasial yang terjadi di permukaan bumi. Analisis yang dilakukan terhadap data penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mulai dari permasalahan lingkungan, pemantauan cuaca, hingga perkembangan ekonomi. Buku berjudul ‘Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia’ ini dimaksudkan sebagai sarana publikasi karya-karya ilmiah dalam bidang penginderaan jauh. Karya ilmiah mengenai perkembangan satelit radar, aplikasi penginderaan jauh dalam pemantauan atmosfer, perhitungan stok karbon, hingga pemodelan kota tiga dimensi menjadi bagian dalam buku ini. Redaksi berharap buku ini dapat menjadi media publikasi yang baik dan bermutu serta dapat dijadikan sumber pengetahuan baru dalam bidang penginderaan jauh. Tentunya partisipasi dari para penulis lain juga dinantikan agar semakin banyak inovasi baru mengenai pemanfaatan penginderaan jauh di masa yang akan datang.. Ketut Wikantika. i.

(6) SEKAPUR SIRIH. Penginderaan Jauh dalam Konteks Geospasial dan Perlunya Pemimpin Berpengetahuan Geospasial. Ketut Wikantika Kelompok Keilmuan Inderaja dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung Email : wikantika@yahoo.com. 1. Paradigma Baru Geospasial Terminologi geospasial saat kini semakin bermakna luas dan mempunyai keterkaitan erat antar ilmu disiplin satu dengan yang lainnya. Geospasial dalam arti terbatas bermakna “sesuatu” yang berkaitan dengan lokasi geografis dan karakteristik alamiah maupun obyek terkonstruksi serta batas-batas yang ada di permukaan, di atas dan di bawah permukaan bumi (Dictionary.com). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2011 dijelaskan bahwa geospasial adalah sifat keruangan yang menunjukkan posisi atau lokasi suatu obyek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada sistem koordinat nasional. Dan menurut Hagget (1978), arti “geo” pada geospasial bermakna geosfer (atmosfer), litosfer (lapisan kulit bumi), pedosfer (tanah beserta pembentukannya), hidrosfer (lapisan air yang menutupi permukaan bumi, misal danau, sungai, laut), biosfer (segenap unsur di permukaan bumi yang membuat kehidupan dan prosesnya) dan antroposfer (manusia dengan segala aktifitasnya). Jika definisi-definisi tersebut digabung tentunya lebih bermakna luas karena tidak hanya sifat fisik saja yang diamati, dianalisis, diidentifikasi dan divisualisasikan tetapi juga sifat atau aspek lain seperti sosial, budaya, kebiasaan, serta hal-hal lain yang bersifat non fisik. Saat kini, kesadaran akan pentingnya data dan informasi geospasial sudah mulai terbangun khususnya di Indonesia sejak terjadinya gempa dahsyat dan tsunami yang melanda Aceh dan wilayah sekitarnya tahun 2004. Kesadaran geospasial (geospatial awareness) bermunculan pada sebagian besar individu di instansi terkait pemerintah, organisasi masyarakat, lembaga non pemerintah dan kelompok masyarakat lainnya termasuk di komunitas pendidikan. Kesadaran lain yang juga terbangun secara langsung maupun tidak langsung karena ternyata baru “sadar” bahwa Indonesia adalah negeri yang “kaya” akan bencana. Ini hanya merupakan salah satu contoh bagaimana kita dapat memaknai karakteristik wilayah Indonesia secara geografis, geologis, meteorologist, topografis dan aspek lain sehingga muncul kesadaran bencana (disaster awareness) (Wikantika, 2005). Kesadaran bencana dan kesadaran geospasial mendorong dan memotivasi setiap individu untuk saling berinteraksi, berbagi dan bekerjasama dalam hal pengetahuan dan teknologi geospasial. Interaksi dan kerjasama termasuk penelitian,. ii.

(7) inovasi ini “melahirkan” suatu paradigma baru dalam “melihat” teknologi geospasial sebagai suatu alat berbasis geospasial secara utuh.. Gambar 1. Interaksi, kerjasama, inovasi “melahirkan” paradigma baru geospasial (sumber: Wikantika, 2007). Aktifitas geospasial dapat terjadi di matra laut, darat, maupun udara (termasuk di lapisan atmosfer dan ruang angkasa), pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang (Gambar 1). Kegiatan tersebut terjadi pada suatu wilayah yang terbatas (lokal), regional, nasional maupun global. Perkembangan teknologi geospasial dan aplikasinya melalui beberapa fase. Fase yang pertama dapat dikatakan sebagai fase awal atau tahapan awal pengembangan teknologi geospasial yang sifatnya standar dimana data geospasial dikumpulkan, diolah, dianalisi, disajikan dan jika perlu dimodelkan. Fase berikutnya adalah mengintegrasikan semua hasil pada fase pertama kemudian dilengkapi data sekunder dan atau informasi lainnya yang bersifat non geospasial menjadi sebuah sistem informasi terintegrasi berbasis geospasial dan non geo spasial. Pada tingkat pengambilan keputusan, perlu dibangun suatu sistem pengambil keputusan terintegrasi berbasis geospasial dan non geospasial. Fase-fase ini akan terus berkembang tergantung kebutuhan manusia dalam menjalani hidupnya di bumi dan kemungkinan melanjutkan kehidupannya di planet lain. Tentunya fase-fase ini akan terus berkembang jika didukung oleh suatu pengetahuan dan teknologi informasi, komunikasi dan komputer. Dan hal ini sudah terbukti dengan produksi film-film seperti Avatar yang termasuk dalam fase geo-entertainment termasuk film-film sejenis lainnya. Ketika fase-fase tersebut berkembang, teknologi pengolahan data geospasial semakin intensif dikembangkan, dilain pihak interaksi dan komunikasi serta sharing. iii.

(8) antar peneliti dengan latar belakang beragam (multi-disiplin) memunculkan kelompokkelompok kajian baru. Salah satunya adalah geo-planning yang diartikan sebagai proses perencanaan berbasis geospasial. Adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan jika perencanaan suatu wilayah tanpa data geospasial, tanpa informasi terkait dengan kondisi wilayah (geografis, topografis, lanskap dan lainnya) tersebut. Karakteristik sosial-ekonomi suatu wilayahpun dapat dikaji melalui suatu rangkain studi yang pada dasarnya ingin mendapatkan informasi yang terkait dengan pola dan status sosial dan ekonomi wilayah tersebut. Status sosial pada umumnya ditunjukkan oleh karakteristik populasi (penduduk) melalui jenis, pola dan sebaran permukiman. Sedangkan aspek ekonomi dapat dikaji melalui karakteristik tutupan lahan dan tata guna lahan. Istilah yang sering digunakan untuk mengkaji status sosial-ekonomi suatu wilayah disebut dengan socio-economic mapping. Begitu besar peluang berkembangnya komunitas-komunitas baru dalam mengintegrasikan pendekatan geospasial dengan suatu kajian ilmu tertentu sehingga memunculkan beragam kajian baru seperti geo-intelligence, geo-biodiversity, geoenvironment, geo-culture dan lain-lain. Kajian-kajian baru ini akan menumbuhkan kekuatan dalam mencari solusi-solusi alternatif dari masalah-masalah yang ada untuk ketangguhan bangsa dan ketahanan negara yang pada akhirnya paradigma baru geospasial ini akan dapat berkontribusi dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 2. Penginderaan Jauh dan Undang-undang Informasi Geospasial Sejak diundangkannya aturan baru terkait dengan informasi geospasial yaitu Undang-undang Informasi Geospasial (UU No. 4 tahun 2011) maka semakin jelas peran teknologi penginderaan jauh di Indonesia. Undang-undang ini secara tegas mengatur penyelenggara dan penyelenggaraan informasi geospasial dasar (IGD) dan informasi geospasial tematik (IGT). Kegiatan penyusunan IGT dapat dilakukan oleh badan pemerintah bahkan oleh perorangan. Hal ini sangat sesuai dengan dinamika pengumpulan data geospasial dengan teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh mempunyai kemampuan secara temporal untuk merekam fenomena perubahan terhadap obyek yang diamati terutama untuk produk penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial menengah dan kecil. Dengan keleluasaan bagi perseorangan untuk membuat IGT tentunya ini akan memberikan peluang yang sangat bagus bagi para peneliti untuk semakin meningkatkan aktifitas penelitiannya, karena secara legal sudah terlindungi dengan undang-undang tersebut. Sedangkan penyelenggaraan kegiatan pengumpulan IGT dapat menggunakan wahana darat, air, udara, dan ruang angkasa (satelit). Penyelenggaraan kegiatan tersebut wajib mendapatkan ijin jika menggunakan wahana selain satelit. Ini berarti memberikan keuntungan positif bagi para peneliti, badan swasta, perorangan dalam melakukan kegiatannya karena sampai saat ini data penginderaan jauh yang ada, sebagian besar dikumpulkan dari perekaman wahana satelit. Dilain pihak, Badan Informasi Geospasial (BIG), yang nantinya akan menjadi nama baru dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) akan mendapatkan banyak masukan dalam melakukan pengumpulan data geospasial melalui teknologi penginderaan jauh. Selain itu, dengan semakin banyaknya hasil penelitian terkait dengan pengumpulan IGT, maka diharapkan hasil ini akan menjadi public domain yang dapat diakses oleh siapapun.. iv.

(9) 3. Kepemimpinan Berpengetahuan Geospasial Sebagian besar orang Amerika dan mungkin juga dunia mengenal dan paham peran George Washington sebagai pemimpin tentara melawan kekuatan Inggris saat terjadi Revolusi Amerika, dan George Washington sebagai Presiden Amerika yang pertama (lcweb2.loc.gov). Tetapi banyak yang tidak megetahui bahwa kehidupan mantan Presiden tersebut terkait dengan dunia geografi dan kartografi. Dia ternyata seorang surveyor dan pembuat peta (mapmaker). Antara tahun 1747 – 1799, Washington melakukan survei lebih dari 200 bidang tanah dengan total luas sekitar 6,5 juta meter persegi di 37 tempat berbeda. Setelah meninggal pada tahun 1799, lebih dari seribuan biografi mengulas kehidupan George Washington (Gambar 2). Sebagian besar dari biografi tersebut mengulas kehidupan sang mantan Presiden sebagai surveyor, bukan sebagai Presiden Negara Adidaya Amerika! George Washington hanyalah salah satu contoh pemimpin dunia yang punya kecerdasan geospasial. Kecerdasan geospasial yang dimilikinya dia bangun sebagian besar karena karirnya sebagai surveyor, dan dengan karirnya tersebut dia menjadi paham dengan negaranya sendiri, berpindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Washington paham betul apa yang menjadi kebutuhan wilayah tersebut dan mengerti apa yang menjadi “keunikan” suatu wilayah yang dia survei, dan kadang-kadang karena keunikannya justeru menjadi kelemahan wilayah tersebut. Karir sebagai tentara juga sangat membantu dan mewajibkan dia untuk mengerti persis suatu wilayah, apalagi untuk tujuan memata-matai musuh. Singkat kata, George Washington menjadi sosok pemimpin yang punya visi untuk mempertahankan Amerika sebagai negara yang utuh dan berdaulat. Tentu saja, sosok kepemimpinan berpengetahuan geospasial yang dimiliki Washington, salah satunya, mengantarkannya menjadi Presiden Amerika yang pertama.. Gambar 2. Soekarno: Presiden Indonesia ke-1 (kiri) dan George Washington: Presiden Amerika ke-1 (kanan) (sumber: id-id.facebook.com, oztorah.com). v.

(10) Jika George Washington adalah Presiden Amerika pertama dengan karir sebagai tentara dan surveyor (juru ukur tanah) mengantarkannya menjadi pemimpin dunia berpengetahuan geospasial. Bagaimana dengan Indonesia? Adakah pemimpin Indonesia berpengetahuan geospasial? Jawabnya adalah ada! Pemimpin tersebut adalah Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia (Gambar 2). Soekarno adalah “penggali” Pancasila karena dia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia dan dia sendiri yang menamainya Pancasila (id.wikipedia.org). Selain sebagai konseptor Pancasila, Soekarno juga dikenal sebagai arsitek beberapa bangunan bersejarah bersama Ir. Anwari dan Ir. Rooseno. Kalau kita cermati sila ke tiga dari Pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia” (The unity of Indonesia), maka sila ini mengandung makna yang sangat dalam. Salah satu makna dari sila ini adalah mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Makna ini mengandung arti “keruangan” atau wilayah secara geografis membentang dari Sabang sampai Merauke. Sila ke tiga inilah yang menunjukkan betapa pengetahuan tentang ruang (geospasial) dimiliki oleh Soekarno. Soekarno sebagai arsitek pun menunjukkan bahwa beliau memang seorang pemimpin berpengetahuan geospasial. Dan semangat Soekarno untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pun tetap terjaga sampai sekarang. DAFTAR REFERENSI Hagget, P., Geography: Modern synthesis, 1978. Wikantika, K., Mitigasi bencana berbasis geospasial dan partisipasi masyarakat: Mewujudkan spatial awareness dan disaster awareness, Kuliah Kapita Selekta Infrastruktur, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB, 2005. Wikantika, K., Urban sprawl phenomenon detection using spectral mixture analysis from multitemporal Landsat satellite images: A study case in Bandung basin, Indonesia, The 13th CEReS International Symposium on Remote Sensing “Disaster Monitoring and Mitigation in Asia”, Chiba University, Japan, October 29-30, 2007. Wikipedia, [http://id.wikipedia.org][diakses 10 Desember 2011].. vi.

(11) DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................................................................. i Sekapur Sirih .................................................................................................................... ii Daftar Isi ......................................................................................................................... vii Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh ........................................................... 1 Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model ............ 25 Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura- Omi .............................. 39 Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Sciamachy...................................................................................................... 55 Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida di Indonesia ................................................................................................. 70 Aplikasi Indraja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas Enso dan Iod ............................................................................................................................ 80 Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia Observasi menggunakan Data TRMM 3B43 ................................................................. 92 Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang ................................................................. 109 Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung ......................... 132 Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging ....................................................................................................................... 143 LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi ........... 156. vii.

(12)

(13) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh. Ishak Hanafiah Ismullah Kelompok Keilmuan Inderaja dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Abstrak Sistim Radar atau RAdio Detection and Ranging semakin berkembang termasuk dalam pemanfaatannya di bidang penginderaan jauh. Sebagai salah satu sistim penginderaan jauh aktif, sistim radar memanfaatkan gelombang mikro yang dipancarkan dalam berbagai panjang gelombang untuk memperoleh lokasi objek-objek di permukaan bumi. Penggunaan sistim radar pada pemetaan diawali dengan sistim radar apertur riil di mana penciteraan dilakukan ke arah miring (side looking). Permasalahan pada panjang antenna untuk memperoleh resolusi spasial yang tinggi pun terpecahkan dengan dikembangkannya sistim radar apertur sintetik (SAR) pada wahana satelit ERS, TerraSAR, maupun dengan pesawat seperti SRTM, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian pada berbagai disiplin ilmu menggunakan citra ini. Tidak hanya sampai di sana, penginderaan jauh radar kemudian dikembangkan dengan memanfaatkan perbedaan fasa yang diterima melalui sensor atau epok yang berbeda, yang disebut sebagai radar apertur sintetik interferometris (InSAR). Hal inilah yang kemudian mendukung penggunaan citra radar untuk menghasilkan DEM dengan ketelitian tinggi, pemetaan arus laut, dan peta kontur. Kata kunci : Radar, SAR, Radar Interferometris.. Abstract Radar or Radio Detection and Ranging system is still developed including in its utilization of remote sensing sector. As one of the active remote sensing system, radar use microwaves emited in various wavelengths to obtain the location of above ground objects. Utilization of radar in mapping sector was begun with riil aperture radar (RAR) system in which imaging system was done by the obliquity (side looking). Problems of the antenna length to obtain high resolusion was solved by the development of synthetic aperture radar (SAR) on spacecrafts such as ERS and TerraSAR, or aircraft such as SRTM, making it possible to do research in various disciplines. Furthermore, radar remote sensing the developed into the utilization of phase differences received by different sensors or at different times, called interferometric synthetic aperture radar. This system also support the use of radar imagery to produce high resolution DEM, sea current mapping, and contour map. Keywords : Radar, SAR, Interferometric Radar.. 1.

(14) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. Berawal dari percobaan yang dilakukan oleh H.R.Hertz pada tahun 1887 (Enc. Americana, 1968), yang mendemonstrasikan pengaruh pantulan gelombang radio yang diakibatkan berbagai macam objek dan membuktikan bahwa kecepatan rambat gelombang elektromaknetik sama dengan kecepatan cahaya, penginderaan jauh aktif terus berkembang sehingga objek yang jauh dapat terdeteksi. Kata Radar pertama kali digunakan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat (United States Navy -US Navy) pada tahun 1940 yang merupakan singkatan dari RAdio Detection And Ranging, yaitu untuk mendeteksi dan mengetahui lokasi suatu objek. Radar mulai dikembangkan dalam perang dunia ke II pada tahun 1940-an untuk mendeteksi pesawat terbang dan kapal laut, kemudian dilanjutkan dengan teknologi radar apertur riil (Real Aperture Radar) dengan sistim pandangan ke arah samping di pesawat terbang (Side Looking Airborne Radar - SLAR). Antara tahun enam puluhan dan tujuh puluhan, sistim SLAR ini mulai digunakan untuk keperluan non militer, terutama untuk analisis lahan dan survei sumber daya alam. Dalam tahun 1970-an itu juga, Jet Propulsion Laboratory (JPL) di Pasadena California, USA, melakukan penelitian khususnya pengembangan radar apertur riil menjadi radar apertur sintetik (Image Center, 1996). Peluncuran satelit Seasat pada tahun 1978, merupakan satelit pertama yang dikembangkan oleh Amerika Serikat yang membawa sensor radar untuk keperluan non militer, sangat disayangkan bahwa satelit ini hanya berumur 3 bulan (Schreier, 1993). Kemudian berturut-turut eksperimen lain yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan memanfaatkan pesawat ulang alik, yaitu Shuttle Imaging Radar (SIR) pada tahun 1981 dan 1984, serta pada tahun 2000 SRTM (Shuttle Radar Topographic Mapping). Hasil dari pesawat ulang alik ini menunjukkan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana salah satunya adalah dapat menembus permukaan gurun sahara pada kedalaman antara 10 m hingga 20 m dengan menggunakan band L (Image center, 1996). Rusia dengan satelit Cosmos juga menggunakan sistim radar apertur sintetik untuk penelitian oseanografi pada tahun 1983 dan satelit Almaz yang beroperasi pada tahun 1990 hingga 1992 untuk pemetaan. Satelit Radarsat milik Kanada yang diluncurkan pada tahun 1995 (Intermap, 1996), khususnya untuk pemantauan salju dan sejak tahun 1998 banyak digunakan untuk pemantauan lingkungan, terutama pencemaran minyak di laut (Radarsat, 1999). Peluncuran satelit Radarsat-2 pada tahun 2007, mempunyai resolusi spasial cukup tinggi, baik untuk planimetris maupun tinggi, sehingga dari citra satelit Radarsat-2 dapat dihasilkan citra ORRI (Ortho Rectified Radar Image) dan DEM ( Digital Elevation Model) dengan resolusi yang cukup baik, sehingga dapat digunakan untuk pemetaan skala 1 : 50.000. Dengan diluncurkannya satelit European Remote Sensing Satellite (ERS-1) pada tahun 1991, ERS-2 pada tahun 1995 (ESA-Esrin, 1997) penelitian-penelitian di bidang pengolahan citra radar satelit menjadi makin menarik. Pada awalnya misi utama dari satelit ERS-1 adalah untuk oseanografi, akan tetapi pada kenyataannya penelitianpenelitian berikutnya menunjukkan bahwa citra radar dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain. Salah satunya adalah dengan metoda radar apertur sintetik. 2.

(15) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. interferometris, yang sangat menjanjikan penggunaaannya di masa mendatang. Peralatan Gelombang mikro aktif (Active Microwave Instruments - AMI) yang dibawa oleh wahana ERS-1 dan ERS-2, melakukan pengamatan permukaan bumi siang maupun malam terus menerus baik pada saat naik (Ascending) maupun turun (Descending) (CNES, 1999), dan EnviSAT dengan sistim ASAR (Advanced Synthetic Aperture Radar) yang diluncurkan pada tahun 2001. Untuk pertama kalinya didapat citra radar apertur sintetik dalam jumlah yang sangat banyak, meliputi hampir seluruh muka bumi, hal ini memungkinkan dilakukannya berbagai macam penelitian menyangkut berbagai macam disiplin ilmu, terutama yang menyangkut pengamatan permukaan bumi. Khusus untuk oseanografi, data radar apertur sintetik dapat digunakan untuk menyelidiki gelombang, arus laut, batimetri, monitoring daerah pesisir, hidrologi, perikanan dan pendeteksian hutan bakau. Untuk permukaan darat, data radar apertur sintetik cukup baik untuk pemetaan geologi dan pemetaan liputan lahan. Dengan menggunakan dua citra radar apertur sintetik dari ERS-1, dimungkinkan dilakukan pengolahan interferometrik melalui perhitungan fasa. Peluncuran ERS-2 pada bulan April 1995 yang mempunyai karakteristik sama dengan ERS-1, memungkinkan dilakukannya pengolahan citra radar apertur sintetik interferometris dengan pasangan tandem, yaitu gabungan antara citra ERS-1 dan citra ERS-2 yang lintasan orbitnya hanya berbeda satu hari (ESA-Esrin,1997). Satelit TerraSAR-1 yang diluncurkan pada tahun 2007 memanfaatkan gelombang X pada pencitraannya, dan pada tahun 2010, diluncurkan satelit TerraSAR-2 dengan karakteristik yang sama dengan TerraSAR-1. TerraSAR-1 dan TerraSAR-2 mengorbit secara tandem, sehingga dapat mencitrakan wilayah yang sama pada saat yang sama, dengan demikian gabungan dari keduanya akan menghasilkan DEM dengan tingkat ketelitian sangat tinggi, hingga sekitar 2 meter. Di samping itu semua, perkembangan radar apertur sintetik interferometris juga sangat maju dengan pesat, khususnya pelaksanaan dengan menggunakan wahana pesawat terbang. Intermap yang berbasis di Denver, Colorado Amerika Serikat, mengembangkan STAR3i, yaitu sistim pencitraan Radar dengan 2 antena sekaligus, yang dipasang di pesawat terbang (LearJet dan juga pesawat berbaling-baling). Mereka juga sedang mengembangkan STAR4 yang lebih canggih, dengan hasil DEM diharapkan akan mampu mencapai resolusi antara 1.5 hingga 2.0 meter. Pesaing Intermap adalah Orbisar, yaitu sistim yang dikembangkan oleh Orbisat, yaitu perusahaan swasta di Brasilia, yang memanfaatkan pesawat terbang dengan menggunakan 2 jenis panjang gelombang, yaitu gelombang X (Band-X) dan gelombang P (Band-P).. 3.

(16) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. 1.. KONSEP RADAR. Berbeda dengan sistim optis yang menggunakan cahaya tampak, sistim ini menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan oleh sensor, dan pantulan baliknya diterima kembali oleh sensor yang sama. Oleh karena itu sistim ini sering disebut sebagai sensor aktif. Prinsip utama sistim radar adalah mengukur jarak dari sensor ke target. Karena pada sistim ini menggunakan radiasi / iluminasi yang di pancarkan sendiri oleh sensor, maka sistim ini tidak tergantung dari cahaya matahari. Dengan demikian sistim ini dapat bekerja terus menerus baik siang maupun malam, meski distorsi atmosfir dapat terjadi dalam sistim ini (Hanssen and Usai, 1997). Konsep umum cara kerja radar lihat Gambar 1. Sensor. S Target Permukaan bumi Gambar 1. Konsep umum cara kerja radar S = Penjalaran gelombang elektromaknetik dari sensor ke target dan kembali ke sensor. Pada awal penggunaan sistim radar pada pemetaan/penginderaan jauh, dilakukan dengan sistim radar apertur riil (Real Aperture Radar - RAR), di mana pada sistim ini digunakan antena cukup panjang sekitar 4 hingga 6 meter dan dapat lebih panjang. Makin panjang antena akan didapat resolusi makin baik (Sabin, 1978). Dengan pemakaian antena yang panjang tersebut, sangat banyak keterbatasannya, terutama menyangkut penempatan antena yang panjang di wahana, khususnya pesawat terbang. Sistim radar menggunakan panjang gelombang mikro yang mempunyai ukuran sekitar 5 mm hingga 1000 mm, sehingga mampu menembus awan. Pita / Saluran (band), panjang gelombang dan frekuensi yang digunakan sistim radar dalam penginderaan jauh, dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan hubungan antara kemampuan menembus awan dan panjang gelombang dalam sistim radar dapat dilihat pada Gambar 2.. 4.

(17) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. Tabel 1. Panjang Gelombang dan Frekuensi yang digunakan sistim radar pada Penginderaan Jauh (CNES, 1993). Panjang Gelombang (cm) 0,8 - 1,1 1,1 - 1,7 1,7 - 2,4 2,4 - 3,8 3,8 - 7,5 7,5 - 15,0 15,0 - 30,0 30,0 - 100,0. Saluran Ka K Ku X C S. L P. . Frekuensi (Mhz) 40.000 - 26.500 26.500 - 18.000 18.000 - 12.500 12.500 - 8.000 8.000 - 4.000 4.000 - 2.000 2.000 - 1.000 1.000 - 300. . 9 Cm. . = Panjang gelombang.  = Frekuensi. 7 Cm 5GHz 5 Cm. 3 Cm. 10GHz. 1 Cm. 30GHz. awan air. 100 %. 75 %. 50 %. 25 %. 0 %(penembusan awan). Gambar 2. Hubungan panjang gelombang dengan penembusan awan (ESA –Esrin , 1996). 2.. GEOMETRI PENCITRAAN RADAR. Pencitraan radar, baik dengan wahana pesawat terbang maupun satelit, selalu dilakukan ke arah miring (side looking), untuk jelasnya dapat dilihat pada geometri pencitraan radar Gambar 3, dan hal ini akan berakibat timbulnya suatu resolusi spasial, yang terdiri dari komponen resolusi ke arah melintang lintasan disebut resolusi jarak (range resolution) dan resolusi ke arah searah lintasan disebut resolusi azimut (azimuth resolution). Pada radar apertur riil resolusi spasial ini ditentukan oleh sudut masuk, panjang pulsa dan lebar sorot ( beam width). Panjang pulsa dan sudut masuk berakibat. 5.

(18) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. pada ukuran elemen resolusi jarak, sedang lebar sorot berpengaruh terhadap elemen resolusi azimut (Schreier,1993). Resolusi jarak ( Rr. RAR. ), dan resolusi azimut ( Ra. Dari Gambar 4.a, Resolusi jarak Rr. Rr. RAR. =. RAR. RAR. ) dapat dilihat pada Gambar 4.. dapat dihitung melalui hubungan berikut,. c.t 2 Sin. (1). di mana  = sudut masuk, t = panjang pulsa dalam satuan waktu dan c = kecepatan pulsa gelombang mikro (dalam vakum).. Lintasan wahana Sensor.  H. Lintasan tanah. Arah Azimut (searah lintasan). Arah Jarak. Jarak tanah. (melintang lintasan) Gambar 3. Geometri Pencitraan Radar. 6.

(19) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. (a). (b). .  H. . H. Rr R. Ra. RAR. Gambar 4. (a) Resolusi jarak (b) Resolusi azimuth (Platschorre,1997). Lebar sorot antena  menentukan besar resolusi azimut Ra dan makin kecil nilai jarak tanah R , resolusi azimut juga makin kecil , lihat Gambar 4.b. Resolusi azimut dapat dihitung melalui hubungan berikut, RAR. Ra. RAR. = R .. = H tan .. dan.  =.  d. (2). di mana H = tinggi sensor ,  = lebar sorot ,  = sudut masuk ,  = panjang gelombang mikro dan d panjang antena (Lillesands & Kiefer,1978). RAR. Dari hubungan di atas, dapat dilihat bahwa makin panjang antena, harga Ra makin kecil dan ini menunjukkan bahwa resolusi makin tinggi. Akan tetapi makin panjang antena, merupakan kendala dan merupakan kelemahan dari sistim ini, karena makin panjang antena akan makin sulit penempatannya di wahana.. 3.. RADAR APERTUR SINTETIK. Berawal dari kelemahan pada radar apertur riil yang memerlukan antena panjang untuk mendapatkan ketelitian tinggi, maka berkembang teknik baru dalam sistim penginderaan radar dengan antena yang relatif kecil yang dinamakan Radar Aperture Sintetik (Synthetic Aperture Radar). Radar apertur sintetik mengambil keuntungan dari gerakan wahana sepanjang lintasan, dan antena yang relatif kecil tadi mampu menggantikan fungsi dari antena yang panjang. Konsep radar apertur sintetik dapat dilihat dalam Gambar 5 .. 7.

(20) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. L.  H R. T. Gambar 5. Konsep radar apertur sintetik. R = adalah jarak tanah d = panjang antena.  lebar sorot. L = panjang antena sintetik = R. . = R..  d. =.  (rad) d. (m). d = Panjang antena dengan demikian makin besar jarak tanah, antena sintetik juga akan makin panjang. Hubungan di atas hanya berlaku untuk penjalaran satu arah, sedang dalam radar apertur sintetik penjalaran harus dua arah untuk membentuk antena sintetik tersebut. Maka untuk antena sintetik berlaku hubungan berikut (Kingsley, 1992),. s. =.  2L. d 2R. =. (rad). (3). sehingga resolusi azimut untuk sistim radar apertur sintetik menjadi,. Ra = R.  s =. d 2. (4). Dengan demikian resolusi spasial pada sistim radar apertur sintetik tidak tergantung pada panjang gelombang dan tinggi wahana, hanya tergantung pada ukuran fisik panjang antena-nya.. 4.. RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRIS. Radar apertur sintetik interferometris merupakan teknik pencitraan yang dapat diterapkan dengan menggunakan pesawat terbang maupun satelit. Pada penerapan dengan pesawat terbang, digunakan dua antena yang bekerja pada saat yang sama. Teknik ini dinamakan lintasan tunggal (single pass). Penerapan dengan menggunakan. 8.

(21) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. satelit hanya menggunakan satu antena, dan permukaan bumi diindera dengan cara pengulangan lintasan (repeat pass), karena antena mengindera tidak pada saat yang sama. Untuk lintasan tunggal dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7 di mana kedua antena dapat diletakkan di posisi melintang pesawat terbang (across track) ataupun di posisi memanjang pesawat (along track).. Pesawat terbang. B Bz By. . r 2 - r1 = r1.   2. (5). r2.  =. 2 . B y sin. . + B z cos. . (6). Gambar 6. Radar Apertur Sintetik Interferometris lintasan tunggal (single pass) - Sistem melintang pesawat ( across track) (Gens, 1996). Dalam Gambar 6 di atas, kedua antena masing-masing dipasang di kiri dan kanan sayap pesawat terbang. Satu antena sebagai pemancar dan penerima, sedang antena lainnya berfungsi sebagi penerima saja. B adalah jarak antara antena kiri dan antena kanan, dan dinamakan basis (baseline) kanan, sedangkan B y dan Bz merupakan komponen basis dalam arah mendatar dan tegak.  adalah sudut masuk, sedang miring (slant range), masing-masing dari antena pertama ke kedua ke objek yang sama di permukaan bumi.  adalah antara sinyal radar dari antena pertama dan dari antena kedua, gelombang mikro yang digunakan. Pada awal tahun 2000, dipesawat ulang-alik ( Shuttle Radar Topographic Mission).. r1 dan r2 adalah jarak objek dan dari antena beda fasa yang terjadi  merupakan panjang sistim ini diterapkan. 9.

(22) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. Pesawat terbang. B Gambar 7. Radar Apertur Sintetik Interferometris lintasan tunggal (single pass) - Sistim memanjang pesawat (along track) (Gens, 1996). Pada Gambar 7, kedua antena dipasang di muka dan di belakang pesawat terbang, sejajar dengan arah terbang pesawat. Jarak antara antena di muka dan di belakang pesawat disebut basis B. Kedua antena berfungsi sebagai pemancar dan penerima gelombang radar dengan panjang gelombang  . Karena pengaruh letak dari kedua antena, maka akan terjadi perbedaan waktu (delay) sebesar t dalam perekaman oleh antena pertama dan antena kedua. Hal ini akan berakibat perbedaan fasa sebesar  . Jika radiasi sinyal balik dari objek bergerak dengan kecepatan U, maka beda fasa yang terjadi adalah sebesar,.  =. 4. . .U .t. =. 4 .U .B .V. (7). di mana V adalah kecepatan pesawat terbang. Dalam radar apertur sintetik interferometris sistim pengulangan lintasan (repeat pass), hanya diterapkan di satelit, baik ERS-1, ERS-2, Radarsat, EnviSAT maupun JERS dan dapat dilihat pada Gambar 8 berikut, Lintasan satelit S2 B . S1  r2. r1 Lintasan satelit Gambar 8. Radar Apertur Sintetik Interferometris - Sistim pengulangan lintasan ( repeat pass ) (Kampes, 1999). 10.

(23) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. S 1 dan S 2 masing-masing adalah sensor pertama membawa satu antena dan sensor kedua juga membawa satu antena. Satelit melintas permukaan suatu area di bumi pada saat yang tidak sama, dengan membentuk jarak antar lintasan sepanjang B dan jarak ini dinamakan basis (baseline ). Sudut  adalah sudut masuk sedangkan r 1 dan r 2 adalah jarak miring dari sensor pertama dan kedua ke objek yang sama di permukaan bumi. Beda fasa  antara dua sinyal balik yang diterima dari objek di permukaan bumi pada kedua posisi antena adalah :.  =. 5.. 4. . (r2  r1). GEOMETRI RADAR BERBASIS SATELIT. (8). APERTUR. SINTETIK. INTERFEROMETRI. Seperti ditulis sebelumnya, Radar apertur sintetik interferometris yang diterapkan di satelit ERS-1 dan ERS-2, dilakukan dengan pengulangan lintasan. Untuk ERS-1, pengulangan lintasan pada area yang sama dilakukan dalam perioda 35 hari, begitu juga untuk ERS-2. Sehingga jika akan digunakan pasangan citra dengan satelit yang sama, minimum diperlukan waktu selama 35 hari. Hal ini menyebabkan pengaruh yang cukup besar terhadap sinyal balik-nya, karena pada perioda 35 hari umumnya sudah terjadi perubahan pada liputan lahannya (tumbuhan, dll) dan ini berakibat langsung pada sinyal balik. Dengan diluncurkannya satelit ERS-2 yang mempunyai karakteristik yang sama dengan ERS-1 dan melintas dengan beda waktu hanya satu hari, mengakibatkan gabungan pasangan ERS-1 dan ERS-2 sangat menarik karena perubahan liputan lahannya relatif masih tetap. Gabungan ERS-1 dan ERS-2 dinamakan dengan pasangan tandem. Pada ERS-1 dan ERS-2, sensor meng-indera kearah samping kanan dengan sudut masuk 23 0 dan tegak lurus arah lintasan. Dengan demikian jika satelit pada posisi naik (ascending), sensor mengarah ke-timur, dan pada saat turun (descending) sensor mengarah ke barat. Setiap piksel pada citra radar sesuai dengan suatu bagian di permukaan bumi. Nilai kecerahan dari setiap piksel ditentukan oleh amplitudo dari sinyal balik yang diterima antena. Dengan diluncurkannya satelit EnviSAT, dimana salah satu sensornya adalah ASAR yang mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan satelit ERS, memungkinkan dilakukan lebih banyak penelitian dengan memanfaatkan data satelit EnviSAT ini. Geometri pencitraan baik pada satelit ERS-1 maupun ERS-2 dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah ini,. 11.

(24) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. Lintasan orbit Sensor. .  L H. Gambar 9. Geometri pencitraan pada satelit ERS (Platschorre,1997). Dari gambar diatas, L adalah panjang pulsa, H adalah tinggi satelit,  merupakan lebar sorot, dan  adalah sudut masuk. Jika terdapat dua titik P dan R dengan jarak dan azimut tertentu, di-indera oleh satu sensor, maka kedua titik tersebut kemungkinan akan muncul di piksel yang sama sehingga tidak dapat dibedakan satu sama lain, padahal kedua titik tersebut mempunyai ketinggian yang tidak sama. Dengan demikian diperlukan sensor kedua untuk mengetahui ketinggian titik tersebut (Hartl,1996). Pada Gambar 10, terlihat bahwa jika sensor kedua melakukan pencitraan dengan posisi yang berbeda dari sensor pertama. Titik yang sama akan mempunyai fasa yang tidak sama di masing-masing citra dan beda fasa diantara kedua citra pada titik tersebut merupakan fungsi tinggi dari titik tersebut.. 12.

(25) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. Z. . S2. B S1.  H. r1. r2. R P X. h Y. Gambar 10. Geometri pencitraan radar apertur sintetik interferometris satelit (Hartl, 1996). S 1 dan S 2 diperlukan untuk menentukan ketinggian h diatas permukaan referensi, B merupakan basis,  sudut yang dibentuk oleh basis dan garis mendatar, sedang  adalah sudut masuk, r 1 dan r2 adalah jarak miring dari masing-masing sensor ke objek yang sama di permukaan bumi. H ketinggian sensor diatas permukaan referensi, sedang h tinggi objek. jika beda fasa adalah  , maka dapat dituliskan,.  r h. 4. = = =. . . r. r1 - r 2 H - r 1 Cos . Beda fasa terbatas pada pada rentang diukur dengan ambiguitas 2  .. 6.. (9). (10) -. dan  dengan demikian hanya dapat. BASIS. Dari ulasan sebelumnya, salah satu yang menentukan dalam menghitung beda fasa adalah Basis, baik pada sistim satelit maupun pesawat terbang, dan sering disebut dengan Basis Interferometrik (Interferometric baseline).. 13.

(26) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. Basis didefinisikan sebagai jarak antara kedua posisi antena/sensor. Untuk penerapan di satelit, basis interferometrik B dan komponennya, lihat Gambar 11 .. S. S2. 2. . S2 B. Bt. B. S1. S1 a. . B b. S1. Bd c. Gambar 11. Basis Interferometrik dan komponennya (a) Basis interferometrik dan orientasinya (posisi 1 sebagai posisi referensi) (b) Basis sejajar dan Basis tegak lurus (B. . danB  ) (c) Basis mendatar dan Basis tegak ( Bd danBt ) (DEOS, 1999). Dari panjang Basis Interferometrik B dan sudut orientasi α , basis dapat dibagi menjadi dua komponen, masing-masing komponen sejajar dan komponen tegak lurus, atau komponen mendatar dan komponen tegak. Panjang Basis interferometrik dapat mempengaruhi keperluan-keperluan tertentu. Penggunaan panjang Basis Interferometrik dari satelit ERS-1 untuk keperluan tertentu ditunjukkan pada Tabel 2 (Solaas, 1994). Pengaruh Basis Interferometrik terhadap perubahan ketinggian akan meningkat jika panjang Basis Interferometrik makin pendek. Tabel 2. Penggunaan panjang Basis interferometrik dari satelit ERS-1 untuk keperluan tertentu (Solaas, 1994). Aplikasi Praktis Model Permukaan Digital Pendeteksian perubahan permukaan. Panjang Basis < B. < 600 m. 150 m < B . < 300 m. 30 m < B . < 70 m. Dengan meningkatnya panjang Basis Interferometrik, maka derau fasa (phase noise) akan mengakibatkan makin rendahnya koherensi. Koherensi akan hilang sama sekali jika panjang basis interferometri tersebut mencapai batas kritisnya. Dekorelasi penuh akan terjadi bila Basis interferometrik B > 2768 meter (Kooij et al.,1995).. 14.

(27) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. 7.. PARAMETER-PARAMETER YANG MEMPENGARUHI BALIK PADA PENGINDERAAN RADAR. SINYAL. Umumnya sinyal balik pada sistim penginderaan radar di terima kembali di sensor pada kondisi yang sangat lemah, sehingga perlu dilakukan penguatan terhadap sinyal balik ini. Parameter yang berpengaruh terhadap sinyal balik ini dibagi menjadi dua bagian utama, masing-masing adalah, 1. Parameter sistim, 2. Parameter permukaan. 7.1 Parameter Sistim Dalam parameter sistim, dikenal beberapa hal yang mempengaruhi sinyal, masingmasing adalah Panjang gelombang, Polarisasi, dan Sudut masuk. Panjang Gelombang. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada sistim radar bekerja pada gelombang mikro dari panjang gelombang sekitar 5 mm hingga 1000 mm. Makin pendek panjang gelombang, makin tinggi resolusi yang dihasilkan, akan tetapi kemampuan penetrasinya makin kecil. Khusus untuk penggunaan Saluran-L dengan panjang gelombang 23,5 cm, dapat menembus hingga 20 meter, ini terjadi pada gurun Sahara pada padang pasir yang sangat kering. Polarisasi. Sangat tergantung pada orientasi dari medan elektrik dan medan magnetik pada gelombang elektromagnetik.. a. b. Gambar 12. Polarisasi pada sinyal radar; (a) polarisasi mendatar dan (b) polarisasi tegak (ASPRS,1998). Sistim radar dapat memancarkan dan menerima radiasi elektromagnetik baik dalam polarisasi mendatar maupun tegak. Interaksi gelombang radar dengan permukaan bumi dapat merubah polarisasi, berdasarkan sifat dari targetnya. Polarisasi pada sinyal radar ditunjukkan pada Gambar 12.. 15.

(28) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. Sudut Masuk. Merupakan sudut yang dibentuk oleh arah tegak dengan arah pancaran radar ke objek. Sudut masuk berubah mulai dari jarak dekat hingga jarak jauh, sehingga hal ini berpengaruh terhadap medan pandang. Untuk sudut masuk yang curam ( < 20 0 ) akan memberikan pantulan maksimum. Pemilihan sudut masuk harus memperhatikan kondisi topografi yang diinderanya, karena sangat berpengaruh terhadap terjadinya distorsi akibat kondisi topografi tersebut. Disamping itu, dikenal juga sudut masuk lokal, yaitu sudut masuk sebenarnya yang terjadi di setiap titik di permukaan tanah. Sudut masuk dan sudut masuk lokal ditunjukkan dalam Gambar 13.. Sudut masuk. . Sudut masuk. . Sudut masuk lokal. Sudut masuk lokal. . Gambar 13. Sudut masuk dan sudut masuk lokal (CNES, 2000). 7.2 Parameter Permukaan Parameter permukaan sangat erat hubungannya dengan kondisi permukaan yang diindera sistim radar. Interaksi antara radar dan material-material yang terdapat di permukaan dipengaruhi oleh beberapa unsur, antara lain, kekasaran permukaan, Geometri permukaan, dan Sifat dielektrika. Pancaran gelombang mikro yang berinteraksi dengan permukaan bumi akan dihamburkan oleh objek, di pantulkan secara spekular atau di pantulkan sempurna. Kekasaran permukaan. Kekasaran permukaan merupakan istilah yang relatif dan sangat tergantung pada panjang gelombang  , serta sudut masuk  , dimana permukaan yang halus dan kasar memenuhi pernyataan Kriteria Reyleigh berikut (Sabin, 1978) h <. h >.  25Cos.  4,4Cos. halus (11) kasar. dengan demikian untuk panjang gelombang yang sangat besar, hampir semua permukaan bumi tampak halus, sedang untuk panjang gelombang yang sangat pendek, permukaan bumi akan tampak kasar. Pada citranya, untuk parmukaan yang kasar, akan. 16.

(29) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. tampak cerah sedangkan untuk permukaan halus, akan tampak gelap. Pengaruh permukaan / objek terhadap sinyal balik ditunjukkan pada Gambar 14.. Sensor. a. b. c. Gambar 14. Pengaruh permukaan /objek terhadap sinyal balik. (a) dihamburkan; (b) spekular; (c) dipantulkan sempurna (Image Center, 1996). Geometri Permukaan. Seperti pada pemotretan udara (sistim optik), selalu dihadapkan pada objek-objek yang mempunyai ketinggian, sehingga menimbulkan pergeseran relief pada hasil citranya. Pada foto udara, pemotretan dilakukan dengan sumbu kamera tegak, sehingga pergeseran relief terjadi secara radial menjauhi titik nadir. Sedangkan pada citra radar, pergeseran relief terjadi tegak lurus terhadap lintasan terbang dan mendekati sensor. Karena bentuk geometri pencitraan dengan radar selalu dalam arah samping dan permukaan yang di indera tidak selalu datar, maka dengan adanya bentuk permukaan yang tidak datar tersebut, sistim radar akan selalu dihadapkan pada distorsi yang diakibatkan adanya kondisi tersebut. Distorsi yang diakibatkan terdiri dari (Abiyoto,1998), a.. Bayangan (shadowing ),. b.. Pemendekan ( foreshortening ),. c.. Tumpang tindih ( layover ).. Ketiga jenis distorsi tersebut sering disebut dengan distorsi topografis. Bayangan ( shadow ). Merupakan gambaran objek yang tidak tercakup oleh gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh sistim radar. Sehingga akibat tidak adanya sinyal balik yang diterima oleh sensor, maka daerah bayangan tersebut akan tampak gelap. Terjadinya bayangan akibat tertutup oleh bentuk topografi yang lebih tinggi pada arah jarak ditunjukkan dalam Gambar 15.. 17.

(30) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. Proyeksi pada bidang miring. A’ B’. bayangan. D’. B. A. C. D. Gambar 15. Terjadinya bayangan akibat tertutup oleh bentuk topografi pada arah jarak. Pemendekan (Foreshortening). Adalah pemendekan yang terjadi terhadap jarak sebenarnya. Bila bidang AB tegak lurus terhadap arah datang sinyal, maka jarak proyeksinya akan sama dengan nol. Pemendekan yang terjadi pada sistim radar. ditunjukkan dalam Gambar 16. Proyeksi pada bidang miring Pemendekan. A’ B’ B. A. C. Gambar 16. Pemendekan yang terjadi pada sistim radar. Pembalikan ( layover) . Distorsi ini terjadi bila titik di puncak dan titik di dasar objek terproyeksi terbalik terhadap posisi sebenarnya dilapangan . Hal ini bisa terjadi bila sinyal balik dari puncak objek diterima lebih cepat dibandingkan dengan sinyal balik dari dasar objek. Kondisi ini sangat mungkin terjadi di wilayah yang bergunung dengan kecuraman yang sangat tajam. Tumpang tindih yang terjadi pada sistim radar ditunjukkan dalam Gambar 17.. 18.

(31) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. Proyeksi pada bidang miring Pembalikan. B’ A’. B. A. C. Gambar 17 Tumpang tindih yang terjadi pada sistim radar. Untuk mendapatkan citra tanpa memperhitungkan kondisi topografis, dapat dilakukan dengan teknik rektifikasi, yang sering disebut dengan pengolahan citra orthogonal (ortho-image). Pengolahan ini dilakukan koreksi pada setiap posisi dan ukuran piksel, kemudian diproyeksikan secara orthogonal. Sifat Dielektrika. Sering diindikasikan sebagai Konstanta dielektrika kompleks (Complex Dielectric Constant – CDC), yang mengindikasikan apakah energi gelombang mikro tersebut diserap, dipantulkan atau ditransmisikan. Kelembaban suatu material, sangat mempengaruhi sifat elektrisitas, sebagai contoh, pada konstanta dielektrika kompleks tinggi ( air = 80 ) merupakan reflektor yang baik. Material dengan konstanta dielektrika kompleks rendah akan menyerap enersi dan oleh karenanya dapat ditembus. Umumnya makin besar panjang gelombang radar yang digunakan, penembusan enersi akan makin dalam pada suatu material.. 19.

(32) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. 8. BEBERAPA CONTOH HASIL PENGOLAHAN a. Peta arus permukaan laut didaerah Amelan, Belanda. Hasil Pengolahan Radar Apertur Sintetik Interferometris data pesawat terbang. b. Model tinggi permukaan dijital (DEM / Digital Elevation Model) Hasil Pengolahan Radar Apertur Sintetik Inteferometris data pesawat terbang, metoda across track, oleh DLR Jerman, daerah West-Terschelling, Belanda. Skala menunjukkan tinggi dalam meter. 20.

(33) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. c. Interferogram hasil pengolahan Radar Apertur Sintetik Interferometris data satelit, untuk wilayah Gunung Cikuray dan Papandayan (Ismullah,2002).. d. Hasil pengolahan phase unwrapping dari interferogram yang ditunjukkan pada butir c, daerah Gunung Cikuray dan Papandayan.. 21.

(34) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. e. Model Tinggi Permukaan Dijital hasil konversi fasa menjadi tinggi, dari hasil phase unwrapping butir d, daerah Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan. 2700.00 2600.00 2500.00 2400.00 2300.00 2200.00 2100.00 2000.00 1900.00 1800.00 1700.00 1600.00 1500.00 1400.00 1300.00 1200.00 1100.00 1000.00. f.. Peta Garis Kontur dari hasil Radar Apertur Sintetik Interferometris daerah Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan, Jawa Barat, interval 25 meter. 9195000.00. 9194000.00. 9193000.00. 9192000.00. 9191000.00. 9190000.00. 9189000.00. 9188000.00. 9187000.00. 9186000.00. 807000.00. 22. 809000.00. 811000.00. 813000.00. 815000.00.

(35) Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. DAFTAR REFERENSI Abyoto Kun W. Penerapan Transformasi wavelet untuk reduksi spekel,Ektraksi ciri dan Segmentasi citra berdasarkan Tekstur. Disertasi Doktor. Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 1998. 168 Hal. ASPRS. Manual of Remote Sensing 3rd edtion, Vol. 2. John Wiley & Sons, Inc., 605 Third Avenue, New York.1998. CNES. ERS-1, Landsat , SPOT : Applications a complementary approach. Course material. BPPT, 1993. CNES. InSAR : Theory and Applications. Workshop materials, BPPT 8-16 Nov 2000, Jakarta, 2000. DEOS. Delft Object Oriented Radar Interferometry Software:User manual and Technical Documentation. Delft University of Technology, Delft 1.2 edition. 1999. ESA-ESRIN. SAR interferometry orbit listing. 1999 Gens R and Genderen JL van. Analysis the geometric parameters of SAR Interferometry for space borne systems. In International Archive of Photogrammetry and Remote Sensing XXXI, part B2, Vienna, pages 107-110, 1996. Hanssen Ramon and Usai Stefania. Interferometric phase analysis for monitoring slow deformation processes. In 3rd ERS Symp. On space at the service of our Environment, Florence, Italy, 17-21 March 1997, ESA SP-414, pp. 487-491, 1997. Hartl P. Sinthetic aperture radar, theory and applications. Faculty of Geodesy-Delft University of Technology. Lecture note, 1996. Image Center. Radar Remote Sensing. Course materials. Ontario, Canada, 1996. Intermap . Radar Theory and systems. Course materials. Intermap Technologies ,Gurdwara road,suit 200, Nepean. Ontario, Canada, 1996. Kampes B and Hanssen R. Delft public domain radar interferometry software: preocessing consideration and futur strategies. EOS transactions AGU, 81(19):S162, May-9, 2000. Kooij M , Halsema v D , Groenewoud, Mets W, Overgaauw G J, and Visser P. SAR Land Subsidence Monitoring. B C R S , 1995. Lillesands and Kiefer. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley and Son, pp. 422, 1978. Radarsat. Radarsat : Theory and Applications. Workshop and Seminar, Denpasar Bali, 26 April – 4 May 1999, Bali, Indonesia, 1999. Schreier G, editor. SAR Geocoding:data and systems. Whichmann Verlag. Karlsruhe, 1993. Solaas,GA. ERS-1 Interferometric baseline algorithm verification. ESA-ESRIN, Proj. Eng. Department, ERS Mission section. 1994. The Encyclopedia AMERICANA ,International edition vol. 14, 1968. Library of Congress catalog number : 68-12554. Copy ight by Encyclopedia Americana Corporation.. 23.

(36) Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. BIOGRAFI PENULIS Ishak Hanafiah Ismullah Prof. Dr. Ir. Ishak Hanafiah Ismullah, DEA lahir pada tanggal 7 Januari 1947 di Yogyakarta. Putra dari pasangan Bapak Ismullah Adi Putra (Alm.) dan Ibu Iswari ini menjalani masa sekolah berpindah-pindah di berbagai kota di Indonesia, Sekolah Dasar di Yogyakarta, Sekolah Menengah Pertama di Palembang, dan Sekolah Menengah Atas di Mataram. Professor yang juga pecinta musik dan olahraga ini kemudian melanjutkan pendidikannya ke ITB sebagai mahasiswa Teknik Elektro pada tahun 1965. Selama masa kuliah, Beliau juga aktif di berbagai kegiatan mahasiswa seperti Dema ITB, Resimen Mahasiswa Mahawarman ITB, dan juga Perhimpunan Mahasiswa Bandung. Setelah menyelesaikan tahap Sarjana Muda pada tahun 1972, atas dasar ketertarikan yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu alam, beliau melanjutkan studinya di Teknik Geodesi ITB dan memperoleh gelar Insinyur pada tahun 1975. Kemudian, Beliau melanjutkan kuliah dengan menekuni bidang fotogrametri di ITC Belanda dan juga mendalami bidang Teledetection di Universite Toulouse III, Prancis hingga tahun 1982. Di negara ini pula Beliau menikahi istrinya, Sri Murni Dwi Judhianty, seorang sarjana Teknik Mesin UI yang saat itu juga berkuliah di Prancis. Pasangan ini dikarunia tiga orang anak, yaitu Sarah, Daud, dan Ibrahim. Beliau pun meraih gelar Doktornya pada tahun 2002 di ITB. Beliau telah mengabdikan hidupnya sebagai dosen di ITB selama lebih dari 20 tahun, dan resmi mendapatkan gelar Professor pada tahun 2005 dengan bidang keahlian penginderaan jauh khususnya menggunakan Radar (Radio Detection and Ranging) dan telah menghasilkan banyak sekali penelitian yang ditekuni bersama kolega-koleganya. Pada awal tahun 2012, Beliau mengakhiri masa tugasnya sebagai pengajar di ITB.. 24.

(37) Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model: Sebuah Sistem untuk Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Muhamad Sadly Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Gedung II BPPT, lantai 19, Jl. M. H. Thamrin 8, Jakarta 10340 Email:sadly@ceo.bppt.go.id, msadly2000@yahoo.com. Abstrak Dalam riset ini diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam membangun model sistem penentuan lokasi keberadaan ikan di laut (Fishing Ground) untuk peningkatan efektifitas perikanan tangkap ikan pelagis ekonomis. Knowledge-Based Expert System Model yang diintegrasikan dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode konvensional adalah, penentuan lokasi penangkapan ikan masih dilakukan secara manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di dalam implementasinya. Model yang dikembangkan disini dinamakan Perangkat Lunak SIKBES-IKAN, atau Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intellgent Fish Tracker). Kegiatan ini direncanakan akan dilakukan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu pada tahapan pertama difokuskan pada studi literatur, pembangunan basis data spasial kelautan dan perikanan, pengumpulan data penginderaan jauh dan data lapangan, serta perancangan model prediksi lokasi fishing ground. Pada tahapan kedua, merupakan implementasi sistem yang difokuskan pada pengembangan model prediksi, pengujian dan validasi, serta pembangunan sistem informasi fishing ground berbasis website spasial (online system). Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi lokasi keberadaan ikan di laut yang lebih akurat dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan. Kegunaan dari hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi fishing ground yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses. Sedangkan, kontribusi dari hasil riset ini bagi iptek adalah pengembangan model SIKBES-IKAN untuk aplikasi dalam pengembangan Sistem Perikanan Tangkap Terpadu yang mempunyai konsep Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari berbasis website spasial (online system). Model yang dikembangkan memiliki ciri: intelligent decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat secara ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai lokasi keberadaan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya, perekonomian daerah dan devisa negara dari sektor. 25.

(38) Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. industri perikanan tangkap. SIKBES-IKAN akan diimplementasikan di wilayah perairan Teluk Tomini, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah dan perairan Selat Makassar dan sekitarnya, Provinsi Sulawesi Selatan. Kata kunci : Knowledge Based Expert System, Fishing Ground, Remote Sensing, intelligent decision support system. Abstract In this research proposed a new approach in the development of fishing ground prediction model in the sea, especially for Economic Pelagic Fish. Knowledge-Based Expert System is integrated with Remote Sensing and Geographic Information System (GIS) decided as a new approach in order to improve the existing conventional method. The main problem of a conventional method is the estimation of fishing ground using manual system and the result obtained is not optimal and impractical in its implementation. Model developed called SIKBES-IKAN or Intelligent Fish Tracker. SIKBES-IKAN is an integrated software consisting of Knowledge-Based Expert System/KBES, Remote Sensing and Geographic Information System (GIS). It is used to provide strategic data and information on highly potential fishing ground location while maintaining balance to prevent overfishing. SIKBES-IKAN can be used for government and private agencies that manage and plan the sea resources in Indonesia. These activities consist of two phases, i.e. in the 1st phase are focused on literature review, the development of marine and fishery spatial database, remote sensing and insitu data collection, and design of fishing ground prediction model. In the 2nd phase are focused on the development, testing and validation of fishing ground prediction model. Finally, building the fishing ground information system website spatial base (online system). SIKBES-IKAN can provide the fishing ground prediction more accurate than conventional method. Also, SIKBES-IKAN is capable of providing technology solutions to address these issues in the conventional method. SIKBES-IKAN having the concept: advanced, profitable, prosperity and sustainable in website spatial base (online system). Model developed is indicated by the characteristics as intelligent decision support system, cost minimizing objective function and economic beneficial. Furthermore, this system can provide appropriate information of fishing ground easily accessible, fast and accurate and also this model can help the fishermen to increase their income, local economic, country foreign exchange from fishery industry sector. The model will installed and implemented in several regions in Indonesia, for example in the waters of the Gulf of Tomini Parigi Moutong District, Central Sulawesi Province and the waters of Makassar Straits and surrounding, South Sulawesi. Keywords : Knowledge Based Expert System, Fishing Ground, Remote Sensing, intelligent decision support system. 26.

(39) Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. 1. LATAR BELAKANG Sistem Informasi Knowledge-Based Expert System Fishing Ground (SIKBES-FG) merupakan aplikasi database yang dibangun oleh Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai bagian dari upaya menginplementasikan hasil kajian-kajian teknolgi khususnya di sektor perikanan dan kelautan. Aplikasi ini disusun dengan menggunakan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam membangun model sistem penentuan lokasi keberadaan ikan di laut (Fishing Ground) untuk peningkatan efektifitas perikanan tangkap ikan pelagis ekonomis. Knowledge-Based Expert System Model yang diintegrasikan dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) beserta perhitungan nilai ekonominya dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode konvensional adalah, penentuan lokasi penangkapan ikan masih dilakukan secara manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di dalam implementasinya. Lebih lanjut, model yang dikembangkan di sini mengintegrasikan fishing ground dengan parameter sumberdaya perikanan tangkap (sosial, ekonomi dan valuasinya) sehingga dapat membantu pengguna/user didalam menyusun perencanaan strategis di bidang kelautan dan perikanan. Model yang dikembangkan disini dinamakan “SIKBES-IKAN” atau disebut juga Sistem Penjejak Ikan nan cerdas (Intelligent Fish Tracker) Kegiatan ini difokuskan pada: (a). Kajian Regional kondisi lingkungan perairan, Kajian kondisi fisik oseanografi (in situ); Kajian remote sensing; Kajian tingkah laku dan dinamika populasi ikan pelagis ekonomis penting. (b). Kajian Lokal (wilayah perairan Teluk Tomini); Kajian Knowledge-based model; Kajian ekonomi dan analisis dampak. Kegiatan diseminasi, berupa sosialisasi hasil akan dilakukan dalam forum seminar, workshop, pelatihan. Dalam penyusunan sistem informasi ini terdapat empat komponen utama yang berperan sangat besar, yaitu Sumber Perangkat Keras (hardware), meliputi segala bentuk fisik, peralatan dan benda yang digunakan dalam memproses informasi. Hal tersebut tidak melibatkan mesin saja tetapi juga melibatkan data media seperti magnetic disk : Sumber Perangkat Lunak (software), meliputi segala informasi dan instruksi. Perangkat lunak tidak hanya dalam menginstruksi operasi disebut program tetapi ada juga yang berbentuk prosedur ; Manusia, dibutuhkan untuk menjalankan dalam mengoperasikan semua Sistem Informasi. Manusia yang dimaksud adalah spesialis dan orang pengguna komputer ; Data Informasi, merupakan sesuatu yang berharga di dalam sumber pengorganisasian. Data dan Informasi disimpan data bases, model bases dan knowledge base dan dianggap sebagai bagian dari sumber data atau sumber informasi di dalam organisasi. Di akhir penyusunan diharapkan sistem ini dapat penyediaan informasi yang tepat guna mengenai daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan akurat; informasi mengenai potensi lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat ikan suatu perairan untuk menghidari ekploitasi sumberdaya ikan yang berlebih (overfisihing) agar bisa membantu untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan. 27.

(40) Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. selektivitas dalam Operasi Penangkapan Ikan (OPI) untuk ikan pelagis penting baik skala lokal maupun regional. 2. TUJUAN Tujuan utama pembangunan Sistem Informasi Perikanan Tangkap Terpadu Berbasis Knowledge-Based Expert System (SIKBES-IKAN) ini adalah : .    . Membangun dan mengembangkan basis data spasial beserta valuasi ekonomi terhadap mengenai karakteristik, sifat fisik perairan, zat hara dan habitat ikan pelagis penting baik yang terdapat dalam suatu perairan lokal maupun perairan skala regional. Membangun dan mengembangkan Knowledge-Based Expert System Model yang diintegrasikan dengan sistem informasi geografis (GIS) menggunakan data penginderaan jauh (remote sensing) untuk prediksi lokasi penangkapan ikan. Menyediakan informasi yang tepat guna melalui jaringan website mengenai daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan akurat dan near realtime. Menyediakan informasi estimasi ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan potensi lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat ikan di suatu perairan. Memberikan masukan untuk rekayasa operasional teknis dan kelembagaan dalam mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam khususya sektor kelautan dan perikanan.. 3. KEUNGGULAN SIKBES-IKAN Keunggulan utama dari software SIKBES-IKAN adalah mampu memberikan solusi teknologi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pada metode konvensional (yang merupakan salah satu peran BPPT). Keunikan Software SIKBES-IKAN ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai sistim pendukung keputusan secara cerdas (intelligenct decision support system), fungsi obyektif meminimumkan biaya (cost minimizing objective function), bermanfaat secara ekonomi, serta mempunyai konsep Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Lebih lanjut, Prediksi tidak sepenuhnya tergantung pada pengalaman dan pengetahuan operator. Dapat membantu pengguna/user dalam menyusun perencanaan strategis di bidang kelautan dan perikanan. Dapat memberikan data dan informasi fishing ground yang cepat, akurat, dan relatif mudah untuk diakses. SIKBES-IKAN dapat digunakan untuk Pemerintah dan instansi swasta dalam mengelola dan menyusun rencana strategis sumberdaya kelautan di Indonesia. Potensi aplikasi SIKBES-IKAN sebagai sumber informasi strategis daerah penangkapan ikan di Indonesia yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan optimasi hasil tangkap, bisa digunakan di instansi pemerintah untuk pengelolaan penangkapan ikan bagi industri.. 28.

(41) Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. 4. PEMBANGUNAN SISTEM SIKBES-IKAN: DESKRIPSI DAN METODOLOGI 4.1. Deskripsi Perangkat lunak SIKBES-IKAN dibangun dalam rangka memindahkan kearifan dan pengetahuan tentang kelautan dan perikanan yg diwarisi secara turun-temurun menjadi pengetahuan teknis untuk prediksi yang lebih akurat keadaan perikanan guna memastikan kelestarian dan optimasi pemanfaatan sumberdaya laut di Indonesia. Pada tahun 2008, perangkat lunak SIKBES-IKAN sudah dilindungi UU Hak Cipta dari Ditjen. HKI, Departemen Hukum dan HAM RI. Selanjutnya dalam rangka implementasi dan komersialisasi aplikasi sistem ini lebih lanjut, BPPT telah melakukan sosialisasi ke institusi kelautan dan perikanan, industri perikanan serta pemerintah daerah di Indonesia. Perangkat lunak SIKBES-IKAN memungkinkan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pengguna (user) dalam kerangka membantu menyusun perencanaan strategis dibidang kelautan dan perikanan berdasarkan data fishing ground (FG) yang diperoleh melalui sistem ini, adalah sebagai berikut: • • • • • • • • • • • • • •. Dimana posisi Fishing Ground (FG) yang terdeteksi? Berapa jarak dari pos pendaratan ikan ke titik FG ? Jenis armada / kapal (tonase) apa yang layak digunakan ? Berapa lama waktu tempuh dan arah dari pos pendaratan ikan ke titik FG ? Jenis alat tangkap apa yang layak digunakan ? Prasarana penunjang apa yang harus dlengkapi ? Jenis ikan apa yang kemungkinan menjadi target tangkapan ? Berapa besar modal yang harus dikeluarkan ? Berapa besar biaya operasional yang harus dikeluarkan ? Berapa besar produksi tangkapan yang akan dihasilkan ? Berapa kemungkinan keuntungan yang akan diperoleh ? Kombinasi mana yang paling menguntungkan untuk dilakukan penangkapan ? Berapa besar bagi hasil keuntungan untuk setiap kelompok orang yang terlibat ? Kearah mana kemungkinan titk FG akan bergerak ?. 4.2. Metodologi Metodologi yang akan dijabarkan berikut ini disusun secara hierarki disusun sedemikian rupa agar didapatkan hasil kajian yang komprehensif, sistematik dari hulu yang berisi mengenai pengembangan metode baru dalam prediksi lokasi penangkapan ikan (fishing ground) dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) hingga ke hilir yang berisi implementasi metode baru tersebut dalam penentuan fishing ground jenis ikan pelagis ekonomis sampai pada pembangunan perangkat lunak Sistem Informasi Perikanan Tangkap Terpadu (SIKBES-IKAN) berbasis expert system yang mana mengintegrasikan lokasi penangkapan ikan (fishing ground) dengan parameter sumberdaya perikanan tangkap (sosial, ekonomi dan valuasinya) sehingga dapat membantu pengguna/user dalam menyusun perencanaan strategis di bidang kelautan. 29.

(42) Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. dan perikanan yang bercirikan: intelligenct decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat secara ekonomi. (1). Pengembangan Model Integrasi Knowledge-Based Expert System-Remote Sensing-GIS Pada Gambar 1 diperlihatkan integrasi antara Sistem Pakar (expert system), Sistem Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jauh (remote sensing), yang merupakan konsep dasar yang diguanakan dalam pembangunan model. Sistem integrasi di sini merupakan metode baru yang digunakan dalam memetakan fishing ground dan valuasi ekonominya dan dirancang untuk menjawab 3 (tiga) pertanyaan yang biasa dijumpai di dalam studi ilmu kebumian. Komponen GIS & RS difasilitasi untuk menjawab pertanyaan pertanyaan ”What” dan ”Where”, yaitu RS & GIS database dan spatial analysis. Komponen Expert System disusun dengan 2 (dua) modul utama, yaitu : Knowledge-Base dan inference engine yang difasilitasi untuk menjawab pertanyaan ”Why”. Basis pengetahuan (knowledge base) dari sebuah expert system dibangun berdasarkan hasil dari pengambilan pengetahuan (knowledge acquisition) di dalam bentuk ”production rules”. Inference engine dalah sebuah alat pemroses pengetahuan (knowledge processing tool) pada komponen expert system (sistem pakar). Tugas utamanya adalah menggabungkan fakta-fakta (facts) dengan aturan-aturan (rules) untuk mengembangkan atau untuk menyimpulkan atau untuk menggambarkan kesimpulan tentang fakta-fakta baru.. Gambar 1. Sistem Integrasi Expert System, GIS dan Remote Sensing yang digunakan dalam membangun SIKBES-IKAN. 30.

(43) Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. (2). Lokasi Studi dan Akuisisi Data Daerah penelitian terletak di daerah pesisir Teluk Tomini, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan (Gambar 2). Sebagai data input, kita menggunakan Suhu Permukaan Laut (SST), Laut Permukaan Klorofil-a (SSC) dan data Kekeruhan berasal dari data satelit MODIS NASA. Sedangkan untuk memverifikasi hasil Perikanan Ground Model Prediksi, kami mengumpulkan data in-situ dari titik penangkapan ikan di kedua daerah, dan analisis statistik sederhana digunakan untuk memahami persentase akurasinya.. Gambar 2. Lokasi Kegiatan Implementasi SIKBES-IKAN. (3). Perancangan Ontology Knowledge-Based Expert System Untuk Prediksi Lokasi Keberadaan Ikan (Fishing Ground Prediction) Proses penentuan lokasi potensial keberadaan ikan (fishing ground) selanjutnya melalui para ahli/pakar (experts) disusun basis pengetahuan (knowledge base) tentang hubungan antara parameter-parameter yg mempengaruhi penentuan lokasi keberadaan ikan. Pada Gambar 2 diperlihatkan alur sistem yang digunakan di dalam membangun SIKBESIKAN. Dalam penelitian ini, kami menggunakan 3 (tiga) parameter oseanografi (SST, Klorofil-a Kekeruhan, dan) sebagai input data Pengetahuan Berbasis Sistem Pakar (Knowledge Based Expert System/KBES) untuk menentukan lokasi potensial penangkapan ikan. Parameter ini kemudian juga diproses untuk menyelidiki dan mengidentifikasi fenomena oseanografi (upwelling, front, dan eddy) di daerah studi yang diduga memiliki korelasi kuat dengan lokasi potensial penangkapan ikan. Dalam penerapan KBES menggunakan data harian dari SST, Chl-a, dan Kekeruhan (turbidity) sebagai variabel input untuk menghasilkan informasi sehari-hari pembentukan daerah potensial penangkapan ikan. Proses perumusan hubungan antar parameter (ontologi) dalam rangka menghasilkan lokasi potensial keberadaan ikan (fishing tground) diperlihatkan pada Gambar 3. Dari Gambar 3, diperlihatkan alur sistem SIKBES-IKAN, dimanan hubungan antar parameter (Chl, SST, Turbidity) serta arus laut untuk memprediksi pergerakan ikan,. 31.

(44) Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. yang akhirnya melakkan prediksi lokasi keberadaan ikan. Disamping prediksi FG, maka sistem SIKBSE-IKAN juga dirancang untuk membantu pengambil keputusan (decision makers) didalam membuat perencanaan strategis bidang kelautan dan perikan di wilayahnya serta bagaimana menghitung nilai ekonomi yang didapat nelayan dalam bentuk rekomendasi. Hasil dari rumusan ontology ini, selanjutnya diturunkan menjadi aturan-aturan (rules) yang digunakan didalam membangun model prediksi FG. Aturanaturan (heuristic rules) diturunkan dari knowledge base sistem perikanan tangkap yang merupakan hubungan antar parameter-parameter oseanografi dan fenomenanya dalam rangka mendapatkan lokasi potensial keberadaan ikan.. PREDIKSI PERGERAKAN. Gambar 3. Alur Sistem SIKBES-IKAN. (4). Konsep Model prediksi untuk Fishing Ground (A proposed cyclical modeling approach) Konsep pemodelan yang digunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan Knowledge based expert system yang diintegrasi dengan GIS dan data penginderaan jauh didasarkan pada pendekatan model yang bersiklus (seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3). Model ini terdiri dari tiga (3) tahap, seperti yang dijelaskan di bawah ini: (a). Tahap Pengamatan: untuk menentukan karakteristik perilaku ikan, kondisi fisik laut dan menggunakan metode pengenalan pola daerah penangkapan ikan dan yang bukan daerah penangkapan ikan; (b). Analisis dan interpretasi data (SST, Chl-a, dan turbidity);. 32.

(45) Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011. (c). Pemodelan dan tahap pengujian/verifikasi : pengujian dan validasi menggunakan data in-situ untuk prediksi daerah penangkapan ikan (fishing ground). Gambar 4. Konsep Model Prediksi Fishing Ground (A proposed cyclical modeling approach). Dari model ini, kita akan memahami bahwa terbukti dari kinerja model akan tergantung pada data umpan balik (feedback) dari pengamatan lapangan dan basis pengetahuan sistem pakar (knowledge base) dalam penyelidikan lebih lanjut yang dapat dilakukan dan disesuaikan dengan prediksi yang lebih akurat daerah penangkapan yang ada dan fenomena oseanografi. Aturan-aturan (heuristic rules) dalm bentuk IF-THEN Rule diformulasikan berdasarkan knowledge base yang telah disusun oleh para pakar (experts) untuk memprediksi lokasi keberadaan ikan (fishing ground). Aturan-aturanj (Heuristic Rules) yang telah diformulasikan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Heuristic Rules yang digunakan dalam Prediksi Fishing Ground. 33.

Gambar

Tabel  1. Panjang Gelombang dan Frekuensi yang digunakan sistim radar pada  Penginderaan Jauh (CNES, 1993)
Gambar  11.  Basis  Interferometrik dan komponennya (a) Basis interferometrik dan  orientasinya (posisi  1  sebagai posisi referensi)  (b) Basis  sejajar dan Basis tegak lurus
Gambar 1. Sistem Integrasi Expert System, GIS dan Remote Sensing yang   digunakan dalam membangun SIKBES-IKAN
Gambar 5.  FG peta yang dihasilkan oleh SIKBES-IKAN di perairan Teluk Tomini,   Sulawesi Tengah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang telah dikumpulkan akan diolah yang nantinya akan dibahas dalam tugas akhir ini. Adapun pengolahan data yang dilakukan meliputi:.. Perhitungan debit air limbah yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi cadangan karbon pada beberapa kelas umur, dan mengetahui hubungan antara Normalized Difference Vegetation Index ( NDVI ) dengan

Dalam kehidupan sehari-hari, kata perkawinan adalah kata yang sering kita dengar dan telah kita pahami artinya. Bagi anda semua yang sedang berada di sini, tentunya perkawinan

Pada praktikum ini dapat disimpulkan bahwa pengaruh suhu panas dan dingin terhadap denyut jantung katak ( Rana esculenta ) adalah pada suhu panas, denyut jantung

Ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang anemia pada ibu hamil, maka ibu hamil tersebut tidak mengalami anemia karena ibu hamil memiliki pemahaman yang

1) Proses pembelajaran termotivasi, baik murid maupun guru, dan utamanya minat siswa akan timbul. Mereka akan senang, terangsang dan tertarik sehingga

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan terhadap peningkatan minat masyarakat dalam pemanfaatan air bersih serta menganalisis pengaruh