• Tidak ada hasil yang ditemukan

ةراشلإاو لوقلاو لعفلا فى ةاكالمحاب كلذ نوكي دق و ونم كحضي وجو ىلع صئاقنلاو ءايملإاو

“Hujjat al-Islam al-Ghazâlî menyebutkan bahwa penistaan (istihza) adalah menghina, merendahkan, dan mengungkap aib atau kekurangan orang lain dengan cara menertawakannya. Hal tersebut bisa dengan cara menertawakannya, meniru perilaku, perkataan, maupun isyarat”.32

Dengan melihat pemaparan al-Alûsî yang menggunakan diksi berbeda dengan al-Ghazâlî, padahal al-Alûsî mengutip darinya, ini menandakan bahwa keduanya yaitu Istihza` dan as-Sukhriyyah memiliki makna yang sama. Adapun Al-Ashfahâni mengatakan

الم لاقي دقو ةيفخ فى حزم ءزلها :ءزى

حزلماك وى

al-Huz`u yaitu perbutan seseorang yang hakikatnya mencemooh

(mengejek) tetapi berpura-pura seakan-akan ia sedang bersendagurau.33 Selain kata Istihza` dalam bahasa Arab kata penodaan diartikan dengan beberapa kata antara lain: dannasa yaitu pencemaran, seperti kalimat tadnîsul „irdhi (pencemaran/penodaan atas kehormatan) adapun kata dannasa senada dengan istikhfa` yang artinya meremehkan. Kemudian kata sabba yang artinya menghina/menodai seperti sabbu ad-dîn artinya penghinaan/penodaan terhadap agama, sebagaimana dalam firman Allah,

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui

31 Nasiruddin, “Telaah Penafsiran Wahbah al-Zuhaili Dalam Tafsir al-Munir Tentang Penistaan Agama dalam al-Qur`an”, dalam Jurnal Keislaman dan Humaniora, 2017, h. 55

32 Mahmûd al-Alûsî, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsir Al-Qur`an al-„Azhîm wa as-Sab‟ al- Matsânî, (Beirut: Dâr ath-Thibâ‟ah al-Munîriyyah, 1985), Vol. 1, h. 158

33 حزلماك وى الم لاقي دقو ةيفخ فى حزم ءزلها :ءزى lihat al-Mufradat Fi Gharib Al-Qur`an, h.

705

batas tanpa pengetahuan”. (QS. al-An‟âm [6]: 108). Kata sabba senada dengan asy-syatmu dan al-waji‟ yang artinya menghina/mencaci-maki.34 Kemudian kata Tho‟ana yang artinya pencemaran, seperti dalam surat at- Taubah ayat 12 pada lafadz Tho‟ana fi syarafihi artinya mencemarkan kehormatannya. Kata serupa yaitu kata Adzâ yang artinya menyakiti seperti perbuatan menyakiti Allah dan RasulNya dalam surat al-Ahzab ayat 57. Kemudian kata Hadda yang artinya menentang dalam QS. al- Mujâdilah ayat 20. Istilah yang bisa diartikan penodaan adalah perbuatan yang bersifat menodai agama, atau terhadap sesuatu yang dihormati juga dimuliakan, seperti menghina atau melecehkan juga menyakiti Tuhan, para Nabi, malaikat, dan Al-Qur`an.35

Penistaan atau penghinaan dikenal dengan istilah Blasphemy (Inggris) atau Goldslastering (Belanda). Blasphemy berasal dari Bahasa Yunani yaitu blasphemein, yang merupakan paduan dari kata blaptein (to injure yang artinya melukai/merusak) dan pheme (reputasi), sehingga blasphemein mengandung arti melukai reputasi/nama baik.36 Dalam arti luas, blasphemy dapat diartikan sebagai penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang tidak boleh diserang (tebu). Bentuk blasphemy umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agama-agama yang mapan. Di beberapa Negara tindakan tersebut dilarang oleh hukum. Blasphemy dilarang keras oleh tiga agama Ibrahim (Yahudi, Kristen dan Islam). Dalam agama Yahudi, blasphemy adalah menghina nama Tuhan atau mengucapkan hal-hal yang mengandung

34 Al-Ashfahani, al-Mufradât fî Gharîb Al-Qur`an, (al-Baz: Maktabah Nazar Musthafa al-Baz) h. 291

35 Muhammad Dahri, “Tindak Pidana Penodaan Agama Di Indonesia: Tinjauan Pengaturan Perundang-Undangan dan Konsep Hukum Islam, Vol. 1 No. 2Juli-Desember 2017”, at-Tafahum: Journal of Islamic Law, 2017, h. 62

36 Margiyono, dkk, Bukan Jalan Tengah Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center, 2010), h. 53

kebencian terhadap Tuhan. Dalam agama Kristen, dalam Kitab Perjanjian baru dikatakan menista roh kudus adalah dosa yang tak diampuni dan pengingkaran terhadap trinitas juga digolongkan sebagai blasphemy dan dalam Kitab Perjanjian lama, pelaku blasphemy diancam hukuman mati, dengan cara dilempari batu. Sedangkan dalam agama Islam, blasphemy adalah mengina Tuhan, Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang diakui dalam Al-Qur`an serta menghina Al-Qur`an itu sendiri. Adapun Budha dan Hindu tidak mengenal adanya blasphemy, paling tidak secara resmi.37 Dengan demikian, menghina Tuhan, KitabNya, dan utusanNya bagaimana pun bentuk hinaannya, merupakan perbuatan yang termasuk kepada penistaagama menurut agama Islam.

Blasphemy menjadi hukum Negara sejak munculnya teokrasi, dimana terjadi penyatuan antara kekuasaan agama dengan kekuasaan politik.

Negara-negara Eropa pada abad ke-17 menetapkan pelaku penistaan agama sebagai tindak kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman berat. Begitu juga di belahan-belahan bumi lain, dimana terjadi penyatuan antara agama dan politik, baik itu Negara Kristen, Yahudi maupun Islam. Tujuan memidanakan penistaan agama adalah untuk membatasi kebebasan berbicara, tidak melanggar norma sosial mengenai kesopanan dan hak orang lain. Memasuki abad ke-20, penistaan agama pelan-pelan dihapus dari hukum pidana di beberapa Negara Eropa, hal itu dikarenakan hukum dibuat berdasarkan nilai-nilai Kristen karena Kristen merupakan jantung hukum Inggris. Setiap perkataan yang bertentangan dengan nilai dan ajaran Kristen dianggap sebagai tindak pidana. Istilah yang bisa diartikan penodaan adalah perbuatan yang bersifat menodai agama, atau terhadap

37 Margiyono, dkk, Bukan Jalan Tengah, (Jakarta: ILRC, 2010), h. 122

sesuatu yang dihormati juga dimuliakan, seperti menghina atau melecehkan Tuhan, para nabi, malaikat, dan Al-Qur`an.38

Konsep penodaan atau penistaan merupakan suatu konsep yang lebih mengarah pada penghinaan meliputi hal-hal yang mengarah pada apa-apa yang dianggap melecehkan agama, dari sikap, tindakan, perkataan bahkan beberapa penafsiran yang dianggap berbeda dengan ketentuan dan kaidah ilmu tafsir yang disepakati.39 Kriteria yang dapat dianggap menista/menodai agama, harus memenuhi unsur: disengaja, unsur kebencian terhadap agama lain, menghina dan melecehkan, mencemooh dan memaki, serta mengolok-ngolok.40

B. Pro dan Kontra terhadap UU Penistaan Agama

Sejak tahun 1999, masalah penodaan agama menjadi perhatian PBB.

Resolusi PBB tentang penodaan agama dimana resolusi ini merupakan upaya untuk “menghentikan polarisasi, diskriminasi, ekstrimisme dan misinterpretasi terhadap Islam” karena Islam sering dikaitkan dengan terorisme dan pelanggaran HAM, khususnya setelah peristiwa 11 September yang menguatkan sentiment Islamophobia.

Berdasarkan evaluasi yang disampaikan oleh beberapa pelapor khusus PBB, penerapan konsep “defamation of religion” di beberapa negara, seperti Pakistan, Iran, dan Mesir justru menimbulkan masalah hak asasi manusia, seperti pembungkaman kebebasan berekspresi, xenophobia dan

38Muhammad Dahri, “Tindak Pidana Penodaan Agama Di Indonesia: Tinjauan Pengaturan Perundang-Undangan dan Konsep Hukum Islam, Vol. 1 No. 2Juli-Desember 2017”, dalam at-Tafahum: Journal of Islamic Law, 2017, h. 62

39 Kementrian Agama RI, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014).h. 208

40 Didiek Ahmas Supadie, dkk, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2012), Cet-Ke. II, h. 35

ketegangan antar umat beragama. Sehingga konsep “defamation of religion” kembali dipertanyakan.41

Begitu pun dengan negara Indonesia, yang mana khususnya pada masalah UU penistaan agama terbagi kepada dua kelompok, pertama kelompok mempersoalkan UU tersebut dan kelompok kedua sebaliknya.

Pada tanggal 20 Oktober 2009, dilaksanakan sidang Uji Materi UU Penodaan Agama oleh Mahkamah Konstitusi dari pihak pemohon diantaranya Gus Dur, Musdah Mulia, M. Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. Selain individu, beberapa pemohon badan hukum privat adalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (DEMOS), dan sebagainya. Alasan pemohon mempersoalkan UU PNPS yaitu:42

1. Atauran itu bersifat karet dan tidak jelas ukurannya, menghukumi penafsiran seseorang yang seharusnya dilindungi konstitusi, dan sudah banyak korban terkait aturan ini, beberapa diantara mereka Ahmad Mushaddeq, Lia Aminuddin Eden, pemimpin Komunitas Eden dan lain sebagainya.43

2. Bertentangan dengan prinsip persamaan di muka hukum, hak kebebasan beragama, meyakini keyakinan, dan untuk bebas dari perlakuan diskriminatif. Juga dapat menunjukkan adanya pembedaan atau pengutamaan terhadap agama.

41 Margiyono, dkk, Bukan Jalan Tengah Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center, 2010), h. 58

42 Alamsyah M Djafar, [IN] Toleransi Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2018), h. 228

43 Alamsyah M Djafar, [IN] Toleransi Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama, h. 229

3. Bertentangan dengan prinsip Negara hukum dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.44

Adapun Pemerintah dan DPR RI bersikap UU Penodaan masih diperlukan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Begitupun sejumlah ormas (pihak terkait) seperti MUI, PP Muhamadiyah, PHDI, Matakin, FPI, HTI, FUI, yang mana mendukung dipertahankannya UU Penodaan Agama.45

Pada 19 April 2011, MK membacakan keputusannya, MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Beberapa pertimbangan hukumnya antara lain:

1. MK berpandangan jika UU Penodaan Agama ini dicabut sebelum ada peraturan baru yang lain, dikhawatirkan timbul penyalahgunaan dan penodaan agama yang dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

2. Pasal-pasal dalam UU Penodaan Agama harus dipandang dari perspektif keindonesiaan. Penghormatan Negara Indonesia atas berbagai konvensi dan perangkat hak asasi manusia harus tetap didasarkan pada falsafah konstitusi NKRI yang menghormati nilai- nilai agama.46

C. Penistaan Agama menurut Pemuka Agama Islam

Wacana mengenai penodaan agama merupakan wacana yang masih terus menimbulkan polemik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam ranah hukum positif, tetapi juga dalam ranah pemikiran keislaman secara luas.

44 Alamsyah M Djafar, [IN] Toleransi Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama, h. 231

45 Alamsyah M Djafar, [IN] Toleransi Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama, h. 233

46 Alamsyah M Djafar, [IN] Toleransi Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama, h. 235

Apakah berhak memutuskan bahwa seseorang atau kelompok tertentu telah menodai agama? Bukankah yang berhak menentukan seseorang menodai agama hanya Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sering muncul dalam hal perbincangan mengenai masalah siapa yang paling berhak dan memiliki wewenang dalam memutuskan perkara hukum terkait dengan kasus seputar agama.47

Di sisi lain, dalam pemaknaan penistaan atau penodaan agama pun berbeda tiap individunya. Melalui penelitian lapangan yang dilakukan oleh team khusus terkait penistaan atau penodaan agama diperoleh tiga kelompok:

1. kelompok mayoritas, yang mana pendapat dari kelompok ini hampir sama dengan mengambil garis besar bahwa konsep penodaan agama adalah perbuatan sengaja yang dilakuakan untuk melukai, menghina suatu agama diantaranya menghina Nabi, ajaran aqidah yang telah disepakati dan melanggar pokok-pokok agama.48

2. Kelompok pertengahan, yang mana berpendapat bahwa hakikat dari penistaan atau penodaan agama itu multitafsir dan harus diperjelas supaya lebih spesifik dan UU penistaan agama perlu direvisi bahkan diganti menjadi UU kehidupan beragama spesifik dan tidak biasa.49 3. Kelompok minoritas, yang mana tidak sepakat dengan kata-kata

penodaan/ penistaan agama, karena sebetulnya tidak ada penistaan/

penodaan agama itu, karena itu keyakinan masing-masing.50

47 Rohmatul Izad, “Fenomena Penistaan Agama Dalam Perspektif Islam Dan Filsafat Pancasila (Studi kasus terhadap Demo Jilid II pada 04 November 2016)”, Panangkaran, Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat, 2017, h. 172

48 Kementrian Agama RI, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam, h. 109

49 Kementrian Agama RI, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam, h. 208

50 Kementrian Agama RI, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam, h. 136

D. Derivasi Ayat-ayat Penodaan Agama

Tidak banyak pakar yang merumuskan definisi penistaan secara istilah. Kendati demikian, apabila melihat semua pemaparan tentang makna penistaan agama, boleh dikatakan efek dari definisi satu dengan definisi yang lain saling berkaitan. Ketika penistaan agama atau pencemaran nama baik agama dilakukan oleh satu pihak, tentunya perlakuan satu pihak tersebut berdampak pada objek yang dilakukan oleh pihak tersebut, misalnya tersinggung, tersakiti, terendahkan dan lain sebagainya.

Membahas masalah penodaan agama, tidak ada ayat spesifik terhadap penodaan agama, hanya saja terdapat beberapa kosa kata yang masuk kepada salah satu makna penodaan agama yang telah dijelaskan di atas.

Diantaranya menyakiti, menentang dan lain sebagainya. Hanya saja tidak semua ayat-ayat yang mengandung kosa kata tersebut masuk kepada masalah penodaan agama. Berikut derivasi ayat penodaan agama:

1. Kata Adzâ (ٜرا)

Menurut Imam al-Maraghi dalam Tafsirnya, kata adzâ berarti menyakiti. Menyakiti Allah dengan melakukan apa yang Dia haramkan seperti kekufran dan kemaksiatan, menyakiti Rasul dengan mengatakan Rasul orang gila, penyair dan lain sebagainya, menuduh orang mukmin melakukan perbuatan yang mana dia tidak melakukannya51, seperti dalam firman Allah:

َِّْْإ

َْٓ٠ِزٌَّ ْٱ

ْ َُْٚر ؤُ٠ ْ

ََّْلل ٱ

ٌَُُْٗٛعَسَٚ ْ

ََُُُْٕٙؼٌَ ۥْ

َُّْلل ٱ

ِْٟف ْ بَ١ ُّٔذٌ ٱ

َْٚ ْ

ِْحَشِخٓ لْ ٱ

ْبٕٗ١ُِِّْٙبٗثاَزَػْ ٌََُُّْٙذَػَأَٚ ْ

َْٚ ٘٥

َْٓ٠ِزٌَّ ٱ

ْ َُْٚر ؤُ٠ ْ ١ِِِٕ ؤُّ ٌ ٱ

َْٓ

َْٚ ْ

ِْذَِِٰٕ ؤُّ ٌ ٱ

ْبَِِْش ١َغِث ْ

ْْاُٛجَغَز و ٱ

ِْذَمَف ْ

ْْاٍََُّٛز د ٱ

ْب ّٗ صِإَْٚبَٰٕٗز ُٙث ْ

ْب ٕٗ١ِجُِّ

٘١

ْ

51 Ahmad Musthafa al-Maraghî, Tafsir al-Maraghi, terj. dari Tafsir al- Maraghi, Anwar Rasyidi, dkk, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1974), h. 49

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.

(QS. al-Ahzâb [33]: 57-58)

Kata Adzâ yang bermakna menyakiti, menyusahkan dan merugikan52, dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 24 kali dalam 22 ayat Al-Qur`an. Jika dilihat dari bentuknya, kata adzâ di dalam Al-Qur`an bentuknya terbagi menjadi 3. Pertama berupa fi‟il mâdhi terulang sebanyak 14 kali yang terdapat dalam QS. al-Ahzâb [33]: 69, 53 (dua kali), 57 dan 58, QS. Ibrâhim [14]: 12, QS. ash- Shaff [61]: 5, QS. at-Taubah [9]: 61 (dua kali), QS. an-Nisa` [4]: 16, QS. Ali Imrân [3]: 195, QS. al-An‟âm [9]: 34, QS. al-„Ankabût [69]:

10, dan 264, QS. al-A‟râf [7]: 129.53

Kedua berupa mashdar terulang sebanyak 9 kali yang terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]: 196, 222, 262, 263 dan 264, QS. Ali Imrân [3]: 111 dan 186, QS. al-Ahzâb [33]: 48, QS. an-Nisa` [4]: 102.

Ketiga berupa fi‟il mudhâri terulang sebanyak satu kali yaitu dalam QS. al-Ahzâb [33]: 59.54

2. Kata Hadda (ّْذد ) ْ

Imam al-Marghi memaknai kata hadda (yang menyangkut dengan penodaan agama) adalah menentang Allah dan Rasul dengan

52Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet-Ke. 14, h. 15

53 Muhammad Fuad „Abdul Baqi, al-Mu‟jâm al-Mufahras li Alfâdz Al-Qur`an, (Mesir: Darul Hadits, 2007), h. 32

54 Muhammad Fuad „Abdul Baqi, al-Mu‟jâm al-Mufahras li Alfâdz Al-Qur`an, h. 33

melanggar ketentuan atau mencela Rasul dalam perbuatan atau akhlak dan sifatnya.55 Sebagaimana firman Allah:

ْ ٌََُأ

ََُّْٗٔأْ ْآٍَُّٛ ؼَ٠ ْ