• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Keterlibatan Tuan Guru Dalam Politik Praktis di Praya Lombok Tengah Lombok Tengah

Dalam dokumen Sampaikan olehmu dari padaku (Halaman 110-136)

mengalami pergeseran peran, sehingga tentu saja mengurangi peran seorang tuan guru, ia mengatakan:

“ yang sebenarnya seorang tuan guru itu harus banyak bersama masyarakat memberikan pengajian dan ceramah, seluruh waktunya disibukkan dengan dakwah dan pendidikan, kalau dia pimpinan pondok pesantren ya ful waktunya di Pondok Pesantren. Kalau tuan guru terlibat politik praktis otomatis akan terbagi perannya antara seorang tuan guru dan seorang politisi, lama lama bisa bergeser peran itu”

Peneliti melihat apa yang dirasakan oleh Atharuddin mewakili persepsi jamaah lain. Dimana tuan guru yang jadi politisi memang bisa berperan ganda secara proporsional tapi dalam beberapa kasus bisa saja mengalami pergeseran peran. Sebagai pimpinan pondok misalnya, bisa saja perannya digantikan oleh ustadz – ustadz lain sedangkan dia sendiri sibuk dengan tugasnya sebagai politisi.

B. Analisis Dampak Keterlibatan Tuan Guru Dalam Politik Praktis di Praya

bagaikan saudara kembar yang lahir dari seorang ibu dan keduanya bersifat koplemetaritas.

Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Ada beberapa kriteria seorang pejabat yang akan dipilih untuk memangku jabatan, diantaranya adalah:

a. Mengangkat Pejabat yang Ashlah (Paling Layak dan Sesuai); Pada saat Rasulullah SAW. Menaklukkan kota mekah dan menerima kunci ka’bah dari bani syaibah, maka kunci tersebut hendak diminta oleh Abbas bin Abdulmutholib agar dia memegang dua tugas sekaligus, yakni memberi minum jama’ah haji serta menjadi pelayan ka’bah.

Pengangkatan Pejabat untuk mengurusi perkara kaum Muslimin ini mutlak harus dilaksanakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan seleksi- seseleksi mungkin orang-orang yang hendak dipilih untuk memangku jabatan tersebut. Seperti jabatan Anggota DPRD. Demikianlah kebijakan yang harus ditrapkan oleh Waliyul amri (pemimpin pemerintahan) dalam memilih dan mengangkat para pejabatnya. Oleh karena itu jangan sekali- kali kaum muslimin menyerahkan jabatan kepada orang yang meminta jabatan, bahkan, orang seperti ini tertolak untuk menduduki suatu jabatan.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

هنع الله يضر ةرُم س نب نمحرلا دبع نع نمح رلا دبع اي : ملسو هيلع الله ىلص الله ل وسر يل لاق

ٍةلأْسم ٍرْيغ ْنعاهتيطْعُأ ْنِإو, اهْيلِإ تْلِكُو ٍةلءاسم نع اهتيِطعُأ نِءا كنِءاف ةرامِءلاا ِل ءاس ت لا ملسم هاور(.اهيلع تْنِعُا )

Artinya: Abdurrahman bin samurah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, Hai Abdurrahman, janganlah kamu minta jabatan dalam pemerintahan. Karena, jika kamu diberi jabatan melalui permintaanmu, maka bebanmu sungguh berat. Tetapi, jika kamu diberi jabatan tanpa kamu minta, maka kamu akan dibantu oleh orang banyak.

يِبِكن م ىلع ِه د يِب برضف :لاق ؟يِنْلِمْعتست لاأ الله لوسر اي : ُتلق :لاق هنع الله يضر رد يبأ نع

ِق حِب اه د خأ ْنملاِإ ,ٌةما د نو ٌيْزِخ هم ا يِقْلا مو ي ا هنإو ,ٌة نامأ اهنإو , ٌفْيِعض كنِإٍرد ا بأ اي :لاق مُث ,اه

ْيِفِهْيل ع يدلا ى دأو ملسم هاور(. ا ه

)

Artinya: Abu Dzar r.a. berkata, “saya bertanya, ya Rasululloh, mengapa anda tidak memberiku jabatan? Maka, Rasululloh menepukkan tangannya pada pundakku, lalu beliau bersabda, ‘hai Abu Dzarr, sungguh kamu ini lemah, sedangkan jabatan adalah amanat, dan jabatan itu akan menjadi kehinaan serta penyesalan pada hari kiymat, kecuali bagi orang yang memperolehnya dengan benar dan melaksanakan kewajibanya dalam jabatanya”.

Barang siapa mengalihkan suatu jabatan dari seseorang yang sebenarnya lebih layak dan tepat untuk mendudukinya kepada orang lain karena faktor ikatan kekeluargaan, loyalitas atau persahabatan, atau kesamaan suku, atau karena adanya uang pelicin (suap), ataupun kepentingan-kepentingan tertentu, atau sebab yang lain, merasa iri terhadap orang yang lebih berhak dan layak menduduki posisi tersebut.

Kecintaan seseorang kepada buah hati (anak) atau hamba yang baru dimerdekakannya terkadang berpengaruh dalam pemberian wewenang (jabatan) atau sesuatu yang sebenarnya bukanlah menjadi haknya. Maka disinilah seseorang telah berhianat terhadap amanat yang telah diberikan kepadanya.

Sedangkan orang yang melaksanakan amanat, sekalipun bertentangan dengan hawa nafsunya, maka Allah meneguhkaNya, menjaga, dan memelihara harta dan keluarganya. Sedangkan orang yang memperturutkan hawa nafsunya, Alloh akan menyiksanya dengan menakdirkan sesuatu diluar tujuanya, yakni menimpakan kehinaan kepada keluarganya dan sekaligus melenyapkan hartanya.

Sesungguhnya mahluk itu adalah hamba-hamba Allah, dan para wali (pengurus dan pemimpin) adalah wakil-wakil Allah untuk hamba-hamba- Nya. Sementara itu, pada saat yang sama mereka juga menjadi wakil-wakil hamba atas diri mereka sendiri, sebagaiman dua orang yang menjalin mitra bersama. Maka, dalam lingkup demikian ini terjadi makna wilayat (wewenang) dan wakalah (wakil). Andaikata sang wali atau wakil tersebut dalam bertransaksi merugikan mitra usahanya dengan melepaskan barang daganganya dengan orang lain, dengan harga lebih murah atau dibawah harga sebenarnya hanya karena sipembeli adalah sahabat karib, saudara, atau orang yang disayangi atau menyerahkan perkara tersebut kepada orang lain yang tidak kompeten, padahal pada saat itu ada yang lebih mampu menjalankanya. Tindakan wali tersebut merupakan penghianatan terhdap mitra kerja yang telah memberikan kepercayaan kepadanya.

2. Memilih yang Terbaik Kemudian yang Dibawahnya

Jika masalah ini telah benar-benar dipahami, jelaslah bahwa tidak ada jalan lain kecuali memilih yang paling layak dan sesuai (tepat).

Namun kendalanya, orang yang benar-benar mumpuni seperti itu jarang ditemui. Dengan kata lain, bila profil yang tanpa cela untuk menduduki jabatan tertentu itu memang tidak ada, maka harus diseleksi sekali lagi secara selektif dari sejumlah calon yang ada, dan kemudian dipilihlah yang mempunyai kualitas tinggi(baik).

Apabila hal tersebut dilakukanya secara optimal, agar terpenuhi hak-hak wiayat(jabatan), dengan demikian dia telah melaksanakan amanat dan kewajiban di bidang ini. Pada posisi inilah dia tergolong para imam yang adil disisi Allah SWT, sekalipun dalam beberapa hal masih terdapat kekurangan yang tidak memungkinkan untuk menghilangkanya.

Ibnu Taimiyah juga menuturkan, Hendaklah memiilih orang yang paling sesuai untuk menempati setiap jabatan yang ada. Sesungguhnya

untuk menempati sebuah posisi (kedudukan) tertentu hendaknya memenuhi dua kriteria yakni Quwah (otoritas), dan amanat (jujur dan dapat dipercaya).

Kekuatan atau otoritas dalam setiap wewenang kekuasaan itu bergantung jenisnya. Otorits dalam kepemimpinan perang adalah keberanian, kepiawaian mengatur siasat, menyusun dan menerapkan strategi atau taktik perang. Dalam kepemimpinan perang. Karena pada hakikatnya perang itu sendiri adalah tipu daya. Dalam kepemimpinanya perang dibutuhkan juga kehandalan menguasai berbagai jenis peralatan perang, bagaimana memanah secara tepat, memakai pedang, kemhiran berkuda, antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan dan juga menguasai ilmu beladiri.

Sementara itu, kekuatan atau otoritas dalam pemerintahan dan berhukum terhadap sesama manusi adalah, sikap adil sebagaimana dicontohkan oleh Al-Quran dan Sunnah, disamping juga pengaktualisasianya di tengah-tengah masyarakat. Sementara amanat erat kaitanya dengan rasa takut(khauf) kepada Allah SWT. Dan tidak memperjualbelikan ayat-ayatNya dengan harga yang murah, serta menghindari rasa takut terhadap sesama manusia. Ketiga hal inilah yang dijadikan Allah SWT, sebagai asas dalam setiap pemerintahan untuk mengatur manusia.

3. Sedikitnya Manusia yang Mempunyai Sifat Quwwah (otoritas) dan Amanat

Realita menunjukkan bahwa orang yang memiliki sifat quwwah dan amanat sekaligus, sangatlah sedikit. Oleh karena itu, pemilihan maupun pengangkatan pejabat untuk menempati wilayat atau jabatan tertentu, haruslah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah itu sendiri. Dengan kata lain, jika terdapat dua calon pejabat dengan karakter berbeda, yaitu satu lebih menonjol kekuatanya, sementara yang lain lebih

menonjol sifat amanatnya. Menghadapi kenyataan seperti ini, maka prioritas utama ditentukan menurut kebutuhan dan kapasitas calon yang terpilihbagi wilayah tersebut. Dan mempertimbangkan sisi madharatnya yang lebih ringan.

Mayoritas ulama cenderung pengangkatan kepada mereka yang memiliki kualitas agama lebih baik. Para imam madzabpun bersepakat, yang patut menduduki jabatan ini adala orang yang mampu bertindak adil, layak dalam persaksian (komitmen terhadap agama). Disisi lain, para ulama berbeda pendapat atas pengajuan syarat keilmuan, haruskah seorang mujtahid, atau mugkin seorang muqallid (hanya mengikuti pendapat imam). Ataukah mengutamakan yang benar-benar memenuhi kriteria utama, barulah kemudian mencari yang setandartnya satu tingkat dibawah plihan utama (yang memenuhi semua persyaratan).

4. Hendaklah Untuk Mengetahui yang layak dalam pengangkatan

Prinsip mendasar dari sub bab ini adalah mengetahui yang paling sesuai. Hal ini akan dapat terealisasi bila mengetahui tujuan wilayah (wewenang kekuasaan) serta cara mencapainya. Jika tujuan dan sarana penunjang telah dipahami secara baik, sempurnalah masalah itu (tidak ada yang perlu dipertentangkan lagi). Maka, tidaklah mengherankan bila mayoritas raja-raja atau pemimpin negeri yang cenderung pada kehidupan duniawi dan kelezatanya, pastilah memilih para staf yang sehaluan denganya. Itulah tabiat pemimpin yang ambisius dan egoistis.

Sesuatu yang wajar dan sunnah, bila seorang pemimpin (imam) sallat, ataupun khatib pastilah dia seorang panglima perang pula, yang mewakili sang penguasa dalam urusan kemiliteran. Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW. Menunjuk Abubakar r.a, supaya menjadi imam shalat, kaum muslimin pun kemudian menunjuk menjadi anglima perang dan juga memegang jabatan lainya.

Demikianlah kebiasaan yang diterapkan oleh Rasulullah SAW.dalam mengangkat para sahabat beliau, untuk menduduki pos-pos tertentu, pastilah dia seorang imam shalat. Jika seorang pemimpin dalam mengangkat staf atau pejabat dalam suatu wilayah kekuasaan dengan mengacu pada kriteria-kriteria baku dari Allah SWT. Ataupun bila terpaksa melalui sistem undian, dengan demikian dia telah menunaikan dan memberikan amanat dan wilayat (wewenang) kepada ahlinya.

1. Dunia Dakwah dan Tuan Guru

Seseorang dianggap sebagai tuan guru, disamping ia memiliki keilmuan yang memadai, juga karena ia mengelola pondok pesantren. Di Pesantren tuan guru umumnya bertindak sebagai owner sekaligus manajer yang memegang otoritas penuh terlaksananya program pembelajaran pesantren.

Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan tradisional yang terus berkembang menjadi suatu lembaga pendidikian yang menyesuaikan dengan kebutuhan jaman, menunjukkan bahwa peran pesantren sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Salah satu keunikan dari pendidikan pesantren adalah bahwa murid atau yang lebih populer disebut santri belajar dan tinggal dalam asrama atau pondok yang disediakan oleh pesantren. Dengan demikian sebutan pondok pesantren atau pondok menjadi sangat populer. Masyarakat sering mengartikan istilah pondok identik dengan pesantren itu sendiri.

Pesantren merupakan lahan dakwah tuan guru yang paling utama, karena dengan pesantren yang dipumpinnya itulah seorang tuan guru dianggap ada dan diundang untuk berdakwah ke masyarakat. Barometer seorang tuan guru dapat dilihat dari besar ato kecilnya pondok pesantren, semakin besar pondok pesantrennya maka semakin besar pula kapasitas

seorang tuan guru, hal ini adalah peluang untuk untuk merambah wilayah dakwah yang yan lebih luas.

Dengan keterlibatan tuan guru dalam politik, idealnya adalah transformasi dakwah tuan guru. Dakwah secara khas dibedakan dari bentuk komunikasi lainnya, khususnya pada cara dan tujuan yang akan dicapai, yaitu secara persuasif dan mengharapkan terjadinya perubahan atau pembentukan sikap dan prilaku yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Dapat pula dibedakan dari segi komunikatornya (secara umum setiap muslim, secara khusus para ulama), dari segi pesan dakwah (bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits), dari segi cara atau approach- nya (hikmah, kasih sayang persuasif) dan dari segi tujuannya (melaksanakan ajaran Islam, bagi kaum muslim), sehingga esensi dari dakwah Islam itu sendiri adalah, tindakan membangun kualitas kehidupan manusia secara utuh.12

Cukup banyak metode yang telah dikemukakan dan dipraktekkan oleh para da’i dalam menyampaikan dakwah, seperti ceramah, diskusi, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya. Semuanya dapat diterapkan sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Tetapi harus digaris bawahi bahwa metode yang baik sekalipun tidak menjamin hal yang baik secara otomatis, karena metode bukanlah satu-satunya kunci kesuksesan. Akan tetapi, keberhasilan dakwah ditunjang dengan seperangkat syarat, baik dari pribadi da’i, materi, cara yang digunakan, subjek dakwah, ataupun yang lainya.13

Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin pesat ini, kegiatan dakwah memerlukan sebuah strategi yang jitu dan

12 Lihat Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1974), hal. 47- 48. 13 M. Quraish Shihab, Op.,cit, hal. 195.

konsep yang jelas.Dakwah yang diperlukan adalah yang mendorong pelaksanaan dan peningkatan kehidupan sosial, dikarenakan pada lapisan bawah (masyarakat awam) khususnya kebutuhan, yang semakin mendesak adalah “melepaskan diri dari himpitan hidup” yang semakin berat sehingga diperlukan proses diversifikasi atau penganekaragaman dalam kegiatan dakwah yang terus menerus.

Dalam kaitannya dengan makna dakwah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara seksama, agar dakwah dapat dilaksanakan dengan baik.28

Pertama, dakwah sering disalahartikan sebagai pesan yang datang dari luar. Pemahaman ini akan membawa konsekuensi kesalahlangkahan dakwah, baik dalam formulasi pendekatan atau metodologis, maupun formulasi pesan dakwahnya. Karena dakwah dianggap dari luar, maka langkah pendekatan lebih diwarnai dengan pendekatan interventif, dan para dai lebih mendudukkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Kedua,dakwah sering diartikan menjadi sekadar ceramah dalam arti sempit. Kesalahan ini sebenarnya sudah sering diungkapkan, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap saja terjadi penciutan makna, sehingga orientasi dakwah sering pada hal-hal yang bersifat rohani saja. Istilah

“dakwah pembangunan” adalah contoh yang menggambarkan seolah-olah ada dakwah yang tidak membangun atau dalam makna lain, dakwah yang pesan-pesannya penuh dengan tipuan sponsor.

Ketiga, masyarakat yang dijadikan sasaran dakwah sering dianggap masyarakat yang vacum ataupun steril, padahal dakwah sekarang ini berhadapan dengan satu setting masyarakat dengan beragam corak dan

28 Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 69.

keadaannya, dengan berbagai persoalannya, masyarakat yang serba nilai dan majemuk dalam tata kehidupannya, masyarakat yang berubah dengan cepatnya, yang mengarah pada masyarakat fungsional, masyarakat teknologis, masyarakat saintifik dan masyarakat terbuka.

Keempat, Sudah menjadi tugas manusia untuk menyampaikan saja (al-Ghaasyiah: 21-22), sedangkan masalah hasil akhir dari kegiatan dakwah diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Ia sajalah yang mampu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada manusia, Rasulullah SAW sendiripun tidak mampu memberikan hidayahnya kepada orang yang dicintainya (al-Qashash: 56). Akan tetapi, sikap ini tidaklah berarti menafikan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari kegiatan dakwah yang dilakukan. Dakwah, jika ingin berhasil dengan baik, haruslah memenuhi prinsip-prinsip manajerial yang terarah dan terpadu, dan inilah mungkin salah satu maksud hadis Nabi, “Sesungguhnya Allah sangat mencintai jika salah seorang di antara kamu beramal, amalnya itu dituntaskan.”(HR Thabrani). Karena itu, sudah tidak pada tempatnya lagi kalau kita tetap mempertahankan kegiatan dakwah yang asal-asalan.

Kelima, secara konseptual Allah SWT akan menjamin kemenangan hak para pendakwah, karena yang hak jelas akan mengalahkan yang bathil (al-Isra’ : 81). Akan tetapi, sering dilupakan bahwa untuk berlakunya sunatullah yang lain, yaitu kesungguhan (ar-Ra’d:

11). Hal ini berkaitan dengan erat dengan cara bagaimana dakwah tersebut dilakukan, yaitu dengan al-Hikmah, mau’idzatil hasanan, dan mujadalah billatii hiya ahsan (an-Nahl: 125).

Berbicara tentang dakwah adalah berbicara tentang komunikasi, karena komunikasi adalah kegiatan informatif, yakni agar orang lain mengerti, mengetahui dan kegiatan persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu faham

atau keyakinan, melakukan suatu kegiatan atau perbuatan dan lain-lain.40 Keduanya (dakwah dan komunikasi) merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan.

Dakwah adalah komunikasi, akan tetapi komunikasi belum tentu dakwah, adapun yang membedakannya adalah terletak pada isi dan orientasi pada kegiatan dakwah dan kegiatan komunikasi. Pada komunikasi isi pesannya umum bisa juga berupa ajaran agama, sementara orientasi pesannya adalah pada pencapaian tujuan dari komunikasi itu sendiri, yaitu munculnya efek dan hasil yang berupa perubahan pada sasaran. Sedangkan pada dakwah isi pesannya jelas berupa ajaran Islam dan orientasinya adalah penggunaan metode yang benar menurut ukuran Islam. Dakwah merupakan komunikasi ajaran-ajaran Islam dari seorang da’i kepada ummat manusia dikarenakan didalamnya terjadi proses komunikasi.41

2. Relasi Islam Politik

f. Relasi Islam dan Politik

Pemikiran Politik dalam Islam berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Beberapa nama pemikir muslim yang menjadi rujukan dalam pemikiran politik diantaranya Al-Mawardi (w.1058 M), Ibn Taimiyyah (w.1328 M) Ibn Khaldun (w.1406 M), Ibn Abd al- Wahhab (w.1793 M), Jamaluddin al-Afghani (w.1897 M), dan Muhammad Abduh (w.1905 M). Selain beberapa nama itu, tokoh pergerakan Islam yang tidak kalah penting adalah Hasan al-Banna.

40 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek ( Bandung: Rosda, 2002 ), hal. 9.

41 M. Kholili, Makalah “ Dakwah Sebagai Bentuk Komunikasi Persuasi” (Yogyakarta), Hal.5.

Beliau berasal dari tanah Mesir dan mempunyai pemikiran yang menarik dalam bidang politik.42

Berpolitik praktis bukanlah sesuatu yang haram dalam Islam. menjauh dari politik sama halnya menyerahkan kekuasaan kepada manusia yang tidak bertanggung jawab atau orang yang bukan ahlinya, akibatnya negara akan dipimpin oleh pemimpin amitiran yang tidak mengerti atau paham mengenai ketatanegaraan serta pengambilan keputusan atau kebijakan.

Sejarah mencatat, bahwa hijrahnya Nabi SAW ke Madinah merupakan strategi politis dan sekaligus menjalankan misi dakwahnya. Sikap politik ini bertujuan untuk menyelamatkan diri beserta para pengikutnya dari gangguan serta ancaman kaum Quraish.

Nabi SAW di Madinah menyusun kekuatan dan mengatur strategi dakwah dengan mempersaudarakan sesama muslim, yaitu menyatukan kaum Muhajirin dan Anshor.

Persatuan ini bertujuan agar fanatisme jahiliah menjadi cair dan tidak ada sesuatu yang diperjuangkan kecuali Islam. Dengan persaudaraan ini rasulullah telah mengikat suatu perjanjian yang sanggup menyingkirkan belenggu jahiliah dan fanatisme kesukuan. Terbuti persatuan antar kabilah sangat memb antu dalam menjaga serta menciptakan stabilitas keamanan. Untuk menciptakan kestabilan politik secara menyeluruh Nabi SAW tidak hanya mengikat sendi-sendi masyarakat Islam secara internal

42 Ridwan, Hubungan Islam Dan Politik Di Indonesia Perspektif Pemikiran Hasan Al- Banna, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume 12, Nomor 2, Juli-Desember 2017, 223.

dengan menciptakan kesatuan akidah, politik dan sistem kehidupan di antara sesama muslim, beliau juga mengatur hubungan dengan non-muslim.43

Secara umum ada tiga posisi tentang hubungan agama dan negara. Pertama, mereka yang memandang bahwa Islam adalah agama dan negara (din wa daulah) yang menghendaki adanya negara Islam dan pemerintahan Islam (an-nizam al-islami). Kedua, mereka yang menyatakan bahwa Islam adalah agama saja, bukan negara. Karena itu, antara urusan agama dan negara harus dipisahkan, negara tidak boleh mencampuri urusan agama.44

Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan agama dan negara.Teori-teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik (unified paradigm), paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dan paradigma sekularistik (secularistic paradigm).45

1) Paradigma Integralistik

Paradigma ini memecahkan masalah dikotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau

4343 Ahmad Zumaro, Politik Sebagai Instrumen Dakwah Dalam Memanimalisir Kemunkaran, Jurnal Ath-Thariq, Vol. 02 Tahun 2018. 334

44 Zainal Fikri, Politik Islam antara Dakwah dan Orientasi Kekuasaan, Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 13 No. 26, Juli–Desember 2014, 57

45 A. Jufri, Konsepsi Politik Islam Dan Realitas Relasi Islam Dan Negara Di Indonesia Pascareformas, FARABI Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, Vol. 18 No. 2, Desember 2018.42

negara.Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi" (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di "tangan”

Tuhan Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad.46

Beberapa kalangan Muslim beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa Syari'ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan;

bahwa gagasan tentang negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan bahwa, sementara mengakui prinsip syura (musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata lain, dalam konteks pandangan semacam ini, sistem politik modern di mana banyak negara Islam yang baru merdeka telah mendasarkan bangunan politiknya diletakkan dalam posisi yang berlawanan dengan ajaran- ajaran Islam.47

2) Paradigma Simbiotik

Agama dan negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik

46 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Yayasan Indonesia Tera (Anggota IKAPI), Magelang, 2001, . V.

47 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina), .273

Dalam dokumen Sampaikan olehmu dari padaku (Halaman 110-136)